riba

download riba

of 12

description

dsad

Transcript of riba

Riba

Riba .. antara Keharaman dan Kebolehan (2)(Mengkaji tulisan Dr. Muh. Sayyid Thanthawi)Oleh : Muhammada al-Banna

Sumber : Web site Islam online (20/12/2002).Penerjemah : Tim Pakeis

Ada beberapa motivasi yang mendorong saya untuk menjawab tulisan Syekh al-Azhar.. karena tulisan tersebut memuat dalil-dalil yang menjadi sandaran fatwa Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Riset Islam).

Dalil-dalil yang dipakai oleh Dr. Sayyid Thantawi lebih lengkap, maka tulisannya yang menjadi bahan kajian ini karena dengan mengkajianya berarti telah mengkaji fatwa Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Riset Islam). Adapun dalil-dalil tesebut sebagai berikut :Dalil Pertama : Masalah keuntungan ditentukan di muka ataupun tidak bukan masalah-masalah ibadah atau akidah yang tidak bisa dirubah-rubah, tetapi masalah ini termasuk muamalat (ekonomi) yang berlandaskan kerelaan kedua belah pihak dalam akad.

Jika masalah penentuan keuntungan di muka termasuk muamalat (ekonomi) yang bisa berubah-rubah, maka ada beberapa point dalam dalil ini yang harus dijelaskan yaitu :

1. Maksud penentuan keuntungan di muka.2. Muamalat yang bisa berubah-rubah.

3. Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.

1. Maksud penentuan keuntungan di muka.

Jika yang dimaksud oleh Dr. Thanthawi adalah penentuan keuntungan dalam akad mudharabah atau qiradh artinya menentukan keuntungan seperti setengah atau sepertiga sesuai dengan kesepakatan, maka itu saya setuju.

Jika yang dimaksud adalah presentase seperti 10% atau 15% atau lebih besar atau lebih sedikit yang diambil dari individu atau bank atau negara atau yang lainnya dengan menjamin modalnya, maka tambahan ini berarti tanpa ada imbalan dan jaminan. Ini termasuk pinjaman yang diambil manfaatnya (qardun jarro nafan) dengan disyaratkan pada waktu akad yaitu riba dengan alasan bahwa peminjam (muqridh) tidak pernah berpikir dalam usaha apa dananya diinvestasikan? tapi yang terpenting baginya adalah dalam setiap tahun atau dalam waktu tertentu ia akan mengambil bunganya dalam jumlah tertentu baik dana yang diinvestasikan itu untung ataupun rugi. Oleh karena itu penentuan keuntungan seperti ini termasuk riba.

Dalil yang menunjukan bahwa tambahan yang ada dari penentuan keuntungan di muka- yang disyaratkan antara peminjam dengan kreditor itu riba banyak sekali diantaranya :

a. Frman Allah swt :

. Yang artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279)

Maksudnya kamu hanya berhak mendapatkan modal tanpa ada tambahan baik disyaratkan ataupun tidak. Hal ini dikatakan oleh al-Imam al-jashash dalam tafsir Ahkamu al-Quran : Sudah maklum bahwa riba jahiliyah adalah pinjaman jatuh tempo dengan bunga yang disyaratkan, maka bunga tersebut sebagai imbalan dari tempo yang diberikan maka Allah swt melarangnya.

Di samping itu ia juga mengatakan : riba jahiliyah adalah pinjaman yang disyaratkan ada tempo dan bunga terhadap peminjam.

Ibnu Qudamah menukil dalam kitabnya al-Mughni ijma ulama tentang keharaman tambahan yang disyaratkan, ia mengatakan : Setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahannya itu haram tanpa ada perbedaan di antara para ulama.

Ibnu al-Mundzir mengatakan : Para ulama telah ijma jika kreditor mensyaratkan kepada peminjam berupa tambahan atau hadiah kemudian atas dasar itu ia meminjamkan, maka jika ia mengambilnya itu termasuk riba.

Hal ini menunjukan bahwa penentuan bunga dimuka berarti kreditor mensyaratkan kepada peminjam bunga dari modal dalam masa tertentu seperti beberapa hari atau beberap tahun dengan jumlah presentase tertentu itu adalah riba yang diharamkan oleh syara.

Muamalat yang bisa berubah-rubah.

Yaitu setiap bentuk muamalat yang tidak pernah dijelaskan hukum baik keharamannya atau kebolehannya. Dalam hal ini saya sependapat dengan Dr. Thanthawi selama hal itu tidak keluar dari ruh syariah artinya setiap muamalat yang tidak tercampuri dengan penipuan, kedzoliman, pencurian, riba dan hal-hal lain yang diharamkan oleh Allah swt.Kerelaan kedua belah pihak dalam akad.

Ini adalah batasan yang diberikan oleh beliau agar bentuk-bentuk transaksi ekonomi sah. Saya ingin bertanya : apakah setiap muamalat yang ridha kedua belah pihak dalam akad itu dibolehkan oleh syara? apakah setiap bentuk transaksi yang menjadi keridhoan pihak akad itu berati boleh?. Tentu saja jawabannya tidak.

Sesungguhnya syariah ini juga menjelaskan hukum akadnya. Dr. Qardhawi telah memberikan permisalan yang tepat yaitu kesepakatan itu sangat penting sekali menurut syariah, ia mengatakan : Jika seorang laki-laki berkata kepada seseorang didepan orang banyak dengan mengatakan: ambillah uang ini dan izinkan saya berzina dengan anak perempuanmu, kemudian anak perempuannya menerimanya maka keduanya telah melakukan perbuatan yang paling keji. Tetapi jika yang dikatakan : Nikahkan saya dengan anak perempuanmu dengan uang ini sebagai mahar kemudian orang itu menerimanya dan kemudian anak perempuannya menerimanya pula maka ketiga-tiganya telah berbuat baik.

Bagi yang meneliti definisi-definisi para ulama tentang riba, nampak bahwa ridha dengan tambahan dari modal tidak merubah substansi riba.

Imam al-Jashash mengatakan : riba yang diketahui dan dilakukan oleh bangsa arab menghutangi beberapa dirham dan dinar dengan atas dasar saling ridha diantara mereka.

Apakah kesepakatan dengan bank untuk untuk menaruh uang didalamnya dengan bunga dalam jumlah tertentu pada waktu tertentu sebagai tambahan dari modal itu telah keluar dari riba?

Jika beliau mengkhususkan saling ridha ini dalam batas-batas syariat Islam untuk menjaga kemashlahatan hamba. Maka apakah syariat membolehkan muamalah ini walaupun dengan saling ridha?, Dan beliau sendiri telah menyebutkan perkataan Imam al-Jashsash dalam kitabnya ahkamu al-Quran seperti halnya ia menukil dari buku ar-Riba wa al-Muaamalat fi al-Islam karangan Muhammad Rasyid Ridha sebagai dalil bahwa ini adalah riba jahiliyah.

Bukankah ungakapan yang dinukil ini menunjukan bahwa peminjam meminjam sampai masa tertentu dengan bunga pinjaman dengan keridhaan itu riba? dan ini yang dilakukan oleh bank-bank ribawi.Dalil yang kedua : Beliau mengqiaskan penentuan keuntungan di muka atas perintah pemerintah dengan pematokan harga (tasir), jika mashlahat menuntut hal tersebut, juga menjaga harta masyarakat dan hak-hak mereka serta menghindari terjadinya persengketaan antar bank-bank dan para nasabahnya.

Beliau memulai penjelasan dalil ini dengan pernyataan yang aksioma bahwa syariah ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dalam setiap waktu dan tempat,walaupun nampak secara sekilas mashlahat ini dzohir menyalahi nash-nash dari Nabi asaw.

Beliau berdalil dengan hadits tasir yaitu Rosulullah saw mematok harga barang, kemudian dengan tuntutan mashlahat bagi manusia dan menghilangkan mafsadat para pedagang, maka para fuqaha membolehkannya.

Ini adalah penjelasan yang baik, tetapi jika sudah sampai pada penentuan keuntungan dalam presentase tertentu sebagai keuntungan modal atas perintah negara dengan mengqiaskan pendapat para puqaha, ini adalah qiyas yang salah karena maqis alaih (yang diqiaskan) bukan termasuk al-Quran ataupun as-Sunnah. Dan Qiyas yang diperlonggar itu dibatasi jika maqis alaih (yang diqiyaskan) termasuk al-Quran atau as-Sunnah.

Adapun maqis (yang diqiyaskan) diqiyaskan dengan maqis alaih (yang diqiyaskan) dengan tanpa illat yang sama (al illat al jamiah) kemudian maqis ini menjadi maqis alaih karena diqiyaskan dengan masalah lain (maqis) dengan tanpa illat yang sama (al illat al jamiah) juga tetapi hanya punya kesamaan dalam beberapa hal antara maqis yang kedua dengan maqis alaih yang pertama.

Jika kita menerapkan rukun-rukum qiyas dalam masalah ini, kita akan menemukan bahwa yang menjadi ashl qiyas menurut beliau- adalah pendapat para fuqaha tentang bolehnya membatasi penentuan harga untuk menghilangkan kesewenang-wengan. Dan yang menjadi farun (cabang) adalah negara membatasi keuntungan bank sedangakan yang menjadi illat adalah -seperti yang ia katakan- adalah menghilangkan kedzoliman dan hukumnya adalah ibahah (boleh).

Jika kita melihat rukun yang ketiga yaitu illat, kita akan menemukan masalah ini masih diperdebatkan. Dr. Muhammad Baltaji Hasan mengatakan : betapapun kita merenungi ayat-ayat riba dalam al-Quran dan hadits-hadits beserta asbab an-nuzul yang berkenaan dengannya, kita tidak akan menemukan walaupun tersirat bahwa Allah swt mengharamkan riba jahiliyah itu karena mengandung mengeksploitasi fakir dan mendzoliminya.

Akal manusi boleh jadi melihat bahwa ini termasuk maksud diharamkannya riba ini, tetapi tidak ada seorangpun yang memastikan bahwa illat keharamannya riba adalah mencegah mengeksploitasi fakir dan mendzoliminya. Dan yang mengkaji kitab-kitab tafsir akan menemukan bahwa kedzaliman yang dimaksud dalam ayat adalah tambahan dari hak (modal) terlepas dari kondisi kreditor dan peminjam dan mashlahatnya dalam akad ribawi, -dan menegaskan hal sebelemnya- bahwa kedzaliman ada pada tambahan dari hak (modal) dengan imbalan tempo.

Dr. Fathi Lasyin (Mantan mustasyar di pengadilan negara Mesir) mengatakan : Perbuatan riba adalah lebihan yang dilahirkan dari pinjaman, dan karakteristik pinjaman itu adalah sifat dalam tanggung jawabnya dan dalam jaminannya untuk dikembalikan barang sejenisnya.

Sudah jelas illat eksploitasi (istighlal) dan kedzaliman (dzulm) yang dipakai oleh Dr. Thantawi untuk mengqiyaskan antara menerapkan penentuan keuntungan di muka atas perintah waliyyu al-amri dengan kebolehan tasir atas pendapat para fuqaha itu berbeda.

Di antara syarat illat yang di terima illat yang ada dalam ashl itu juga illat yang ada dalam far. Oleh karena itu harus ada kesamaan illat dalam ashl yang hukumnya berlandaskan nash atau ijma dengan illat dalam far, jika tidak sama maka qiyasnya tidak sah menurut mayoritas ulama bahkan ashhab ar-royu mensyaratkan adanya kesamaan dalam illat.

Dengan penjelasan ini, kita bisa menilai qiyas yang dipakai oleh Dr. Thanthawi itu tidak benar atau dalam ungkapan para ahli ilmu ushul qiyas la yunqas (qiyas yang tidak benar).

Di samping itu dharurat dalam permasalahan tasir itu nampak jelas dan mendesak sekali karena monopli dan meningkatnya harga barang itu berhubungan dengan kebotohan pokok manusia. Oleh karena itu para fuqaha membolehkan tasir untuk menghindari dharar yang kan menimpa manusia.

Maka di mana letak dharuratnya jika seseorang menyimpan uangnya di sebuah bank untuk mendapatkan keuntungan dengan ada jaminan kerugian?

Menjaga mashlahat manusia

Dalam ungkapan beliau : jika pemerintah memandang setelah bermusyawarah dengan para ahli- bahwa ada kemashlahatan yang menuntut bank-bank untuk menentukan keuntungan di muka bagi para nasabahnya, maka merka boleh melakukannya...

Pendapat ini mengarah pada pendapatnya muktazilah yang mengedepankan akal dari syara. Tidak boleh menghukumi syariah dengan pengalaman dan ilmu manusia tetapi syariah yang menghukumi sah atau tidaknya mereka.

Tidak boleh beralasan dengan pendapat para ahli ekonomi bahwa riba harus dilakukan untuk meningkatkan perdagangan. Dan jika ini dilakukan maka berarti menghukumi syariah dengan pengalaman dan ilmu manusia, dan karena mashlahat adalah bagian dari agama yang menjadi standar keeradaannya.

Betapapun manusia mengira kemashlahatan satu masalah, tetapi ia harus mengmbalikannya kepada nash-nash syariah dan maqashidnya, jika sesuai maka diambil jika tidak maka sebaliknya.

Tetapi ini tidak berarti syariah merintangi mashlahat manusia dalam ilmu dan pengalamannya. Tetapi sebaliknya nash-nash syariah banyak mengajak manusia untuk memiliki ilmu dan berpikir. Di samping itu Allah swt. mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Mungkin para ulama mengira sesuatu itu ada mashlahat manusia dalam satu perkara tetapi Allah swt mengetahui sebaliknya dan melarangnya karena menjaga kemashlahatan manusia. Kita tidak mempermasalahkan nash tetapi yang kita permasaahkan adalah pemahaman manusia terhadap nash tersebut yang dalam banyak kondisi berdasarkan kepada hawa nafsu dan pandangan parsial tidak menyeluruh.Dalil ketiga

Dr. Thantawi mengatakan: Tidak ada satu nashpun yang melarang pihak akad untuk menentukan keuntungan di muka dalam akad mudharabah. Maka bank sebagai penanam modal boleh menentukan keuntungan di muka dalam akad mudharabah dengan para nasabahnya yang menyimpan uangnya di bank dengan maksud investasi dalam usaha-usaha yang dihalalkan oleh Allah swt.

Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa transaksi antara bank dengan nashabah bukan akad mudharabah. Karena prinsip mudharabah berbeda dengan prinsip qardh (pinjaman) yang terjadi antara bank dengan nasabah. Bank berinteraksi dengan riba dengan kredit berbunga sedangkan mudharabah berbeda dengan praktek riba. Supaya gambaranmasalahnya jelas, saya akan menjelaskan perbedaan antara qardh dengan mudharabah.

Perbedaan dalam substansi

Dalam pinjaman ditentukan bunga sesuai dengan jumlah pinjaman dan masanya seperti 10% atau sedikit atau lebih banyak dalam pertahun, terlepas apakah pinjaman ini untung atau rugi, dan ini yang dilakukan oleh bank.

Adapun dalam mudharabah keuntungan riil dibagi antara pemilik modal dengan mudharib (pengelola) sesuai dengan presentase yang telah disepakati bersama. Sedangkan kerugian diambil dari modal dan mudharib tidak menanggung kerugian.Perbedaan dalam hubungan antara kedua belah pihak

Dalam qardh hubungan antara kreditor dan peminjam bukan akad syirkah, karena kreditor yang memiliki sejumlah uang dan ia berkepentingan dengan usaha peminjam, begitu pula dengan peminjam ia menginvestasikannya untuk keperluannya sendiri, ia memiliki harta dan menjamin untuk mengembalikannya beserta bunganya, jika untung maka hasilnya untuk dirinya dan jika rugi maka ia menanggung sendiri kerugian tersebut.

Adapun mudharabah adalah sebuah syirkah dimana keuntungan dan kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak. Pengelola tidak memiliki modal tetapi hanya mengelolanya saja sebagai wakil dari pemilik modal. Dan keuntungan berapapun besarnya- dibagikan diantara mereka sesuai dengan kesepakatan. Dan ketika kerugian pemilik modal menanggung kerugian modal dan pengelola menanggung kerugian tenaga dan ia tidak menanggung kerugian kecuali jika disebabkan oleh kelalaiannya.

Dalil yang disebutkan oleh Dr. Thanthawi bisa dijawab dalam 2 point :

1. Bahwa syara tidak melarang penentuan keuntungan di muka dalam akad mudharabah.

2. Para nasab h menyimpan uangnya di bank dengan tujuan investasi.

Point pertama bahwa syara tidak melarang penentuan keuntungan di muka dalam akad mudharabah.

Banyak para fuqaha menyebutkan ketidak bolehan menentukan atau mensyaratkan keuntungan tertentu dalam akad mudharabah. Bahkan Ibn al-Mundzir menyebutkan ijma ulama tentang mudharabahnya menjadi bathil jika salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan kepada seseorang bagian keuntungan tanpa melibatkan yang lain. Ia mengatakan : Para ulama yang saya hapal telah ijma batalnya qiradh jika salah satu atau setiap pihak akad mensyaratkan untuk dirinya beberapa dirham. Ijma bisa kita temukan dalam penejelasan para fuqaha seperti yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafii.

Paont yang kedua, Apapun nama yang mengikatkan antara bank dengan nasabah dengan bunga, imbalan tempo termasuk riba. Karena illat keharamannya adalah tambahan yang ditentukan dimuka dengan tempo pinjaman baik akadnya berupa pinjaman ataupun jual beli, selama ada tambahan yang ditentukan dengan tempo itu adalah riba terlepas dari jenis transaksinya dan tambahan itu ditentukan dari awal akad atau ditentukan ketika peminjam tidak mampu membayar pinjaman pada waktunya. Perubahan niat itu tidak merubah hukum selama illatnya adalah tambahan yang ditentukan dimuka itu ada.Dalil yang keempat

Dalam dalil-dalilnya Dr. Thanthawi melihat bahwa bank sebagai pihak yang membayar bunga yang menjadi tanggung jawabnya- tidak menentukan kuntungan di muka kecuali setelah pengkajiaan yang teliti terhadap kondisi pasar dunia dan pasar setempat serta kondisi ekonomi di masyarakat dan kondisi setiap transaksi dan keuntungan umummnya.dst.

Selain itu penentuan ini juga berdasarkan intruksi dari bank central yang merupakan pemegang kebijakan antara bank dengan nasabahnya.

Pengkajiaan yang teliti untuk menentukan keuntungan di muka ini di mana pemilik modal mengambil bunga dan tidak menanggung kerugian sedikitpun, ini adalah pendapat yang tidak sesuai dengan realita. Bank central sendiri yang memberik intruksi jumlah presentase bunga ini tidak bisa membayar deposito bank seluruhnya ketika bank mengalami pailit.

Sudah maklum bahwa bank central melarang untuk melakukan investasi langsung kecuali dibeberapa negara dan itupun dalam jumlah yang sedikit sekali. Bank central mengmbil dana cadangan sebesar 25%. Maka dari mana bank centrak bisa membayar seluruh deposito bank jika terjadi pailit?.

Realitanya sendiri mendukung hal ini, bahkan di Amerika sendiri sebagai pusat sistem kapitalis yang berlandaskan pada riba. Bank central menyususn langkah-langkah dan menentukan bunga dan tidak bisa menutupi kerugian satu bankpun, karena undang-undang yang melarangnya untuk melakukan investasi langsung. Di samping itu keberadaan bank sebagai perantara dan mengandalkan 2,5% dana cadangan di bank lain. Jika bank central tidak bisa menutupi kerugian satu bankpun, bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan dan intruksinya!

Kemudian apakah intruksi dan pengkajian yang teliti ini yang menjamin keuntungan- apakah merubah bentuk muamalat dan transaksi riba? Juga kajian ini tidak selamanya teliti, terbukti banyak sekali bank ribawi yang tidak bisa menjamin deposito beserta keuntungan. Diantara contohnya :

NoJumlah bank yang pailitTahun

1.4000 bank1933

2.77 bank1983

3.19 bank1984

4.120 bank1985

5.131 bank1986

6.141 bank1987

Adapun jumlah kerugian beberap bank-bank di Amerika pada tahun 1987 sbb:

NoNama bankJumlah kerugian

1.Stero Coorporation3 Milyar $

2.Bank Amerika1,1 Milyar $

3.CIS1,6 Milyar $

4.Manhattan1,7 Milyar $

5.Manufacture Hanofer3 Milyar $

6.City Coorp3 Milyar $

Ini terjadi pada paruh awal tahun 1987.

Di negara Mesir sendiri banyak bank-bank yang mengalami kerugian, di antaranya yang terkenal yang dialami oleh mashrif tanmiyah wa at tijarah pada tahun 1995. Dari sini jelas bahwa alasan bahwa keuntungan itu di jamin karena bank melakukan pengkajian seperti yang dikemukakan oleh Dr. Thanthawi adalah alasan yang tidak relistis.

Di sisi lain, ada pertentangan antar dalil ini dengan dalil yang keenam. Di sini beliau mengatakan bahwa kajian yang teliti ini telah menjamin keuntungan yang lebih besar karena tidak ada kerugian, ini dipahami dari perkataannya. Sedangkan pada dalil yang ke enam ia mengatakan bahwa penentuan keuntungan tidak bertentangan dengan kemungkinan kerugian. Dalil yang kelima

Dr. Thanthawi melihat pada saat ini penentuan keuntungan di muka memberi manfaat terhadap pemilik modal juga pengelola.

Bagi pemilik modal ia akan mengetahui haknya dengan pasti tanpa ada kebohongan, dengan begitu ia bisa mengatur kehidupannya.

Dan bagi pengelola, ini menuntutnya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh supaya berhasail mendapatkan keuntungan melebihi jumlah yang ditentukan untuk pemilik modal. Juga agar sisa keuntungan yang diberikan kepada pemilik modal itu menjadi bagian murni keuntungannya sebagai balasan dari tenaga dan kesunguhannya.

Jika penentuan yang dimaksud oleh beliau adalah penentuan presentase keuntungan bersih dalam akad mudharabah, maka itu tidak ada masalah. Tetapi nampaknya yang beliau maksud adalah penentuan presentase keuntungan tertentu yang diambil oleh nasabah dari bank setelah beberapa waktu sebagai bunga dari modal, dan ini adalah riba.

Kemudian ia mengatakan bahwa ini ada manfaatnya bagi pemilik modal dan pengelola, tapi apakah setiap mashlahat itu menurut pandangan manusia itu dibolehkan oleh syara.

Kenyataannya, syara banyak menyebutkan hal-hal yang memiliki manfaat tetapi diharamkannya seperti khamr dan maisir (judi). Allah swt. berfirman :

Yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. 2:219)

Firman Allah swt. menunjukan bahwa ada manfaat yang bisa mereka dapatkan, tetapi tidk ada seorangpun yang bisa mengatakan bahwa khomr dan maisir itu halal.

Kemudian Dr. Thantawi mengatakan : dengan penentuan ini, pemilik modal mengetahui bagiannya.

Apakah riba menjadi bagiannya dan sumber kehidupannya dan mata pencahariannya ?.Dalil keenam

Dr. Thanthawi memandang bahwa penentuan keuntungan di muka yang tidak bertentangan dengan kerugian yang mungkin terjadi oleh pihak pengelola, bank atau yang lainnya. Sudah menjadi kelaziman bahwa dalam proyek-proyek perdagangan yang bermacam-macam jika salah seorang mengalami kerugian dalam salah satu proyeknya dan memperoleh keuntungan dalam proyek yang lain, maka keuntungan tersebut akan menutupi kerugian yang ada.

Beliau berdalil dengan perkataan Ibnu Quddamah dalam kitabnya al-Mughni : seorang pengelola dalam mudharabah jika membeli dua barang kemudian untung dalam salah satu barang dan rugi dalam barang yang lain, maka kerugian ditutupi dengan keuntungan.

Dalil ini bertentangan dengan dalil yang ke empat. Di samping itu alasan keenam ini berarti dana yang disimpan di bank itu bercampur, Nasabah yang menyerahkan jumlah dana yang besar disamakan dengan yang menyerahkan dengan jumlah kecil dalam presentase keuntungan. Apa kesalahan orang yang beruntung modalnya hingga bagian dari keuntungannya harus menutupi kerugian orang lain?.

Dalam kajian ekonomi sudah menjadi kelaziman bahwa tidak ada hubungan antara harga bunga dengan keuntungan peminjam dan kerugiannya, antara harga bunga dengan invlasi, bahkan bunga menjadi sebab terjadinya invlasi.

Harga bunga ini tidak dipengaruhi oleh presentase keuntungan atau kerugian, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Undang-undang negara.

2. Kepentingan pemilik bank dan lembaga keungan.

3. Para penjual valas di pasar modal yang mempengaruhi harga di pasar.4. Kondisi keuntungan dan pailit.

5. Kondisi penawaran dan permintaan

Maka bunga tidak dipengaruhi oleh kondisi dana kreditor baik untung ataupun rugi tetapi dipengaruhi oleh undang-undang negara, kepentingan pemilik bank dan lembaga keungan dll. Boleh jadi bagian presentase seseorang tinggi sedangkan yang lainnya rendah sesuai dengan faktor-faktor di atas.

Jika semua harta di simpan dalam satu bank misalnya, apakah mereka memisahkan setiap deposito atau mencampurkannya?. Sebenarnya bank menerima deposito dan mencampurnya dalam satu proyek usaha atau meminjamkan kepada pihak lain.

Sekarang ada pertanyaan apakah boleh mencampur dana yang kelola oleh dua orang dengan keuntungan yang berbeda?. Menurut para fuqaha muamalah ini tidak sah kecuali modal, pihak usaha, dan bidang usaha diketahui dengan jelas.

Maka hendaknya diketahui bahwa harta yan dikelola dalam bidang usaha tertentu ini miliki seseorang dan keuntungan tertentu pula sesuai dengan kesepakatan, begitu pula dengan harta-harta lain yang dalam bidang usaha tertentu. juga harus membedakan antara dua usaha, tidak mencampur harta mudharabah dengan hartanya sendiri, jika itu terjadi maka ia menjaminnya.

Perkataan Ibnu Quddamah yang dijadikan dalil oleh Dr. Thanthawi berkaitan dengan masalah mudharabah antara seorang pemilik modal dan seorang mudharib.

Adapaun masalah dalam makalah ini dijelaskan oleh Ibnu Quddamah dalam judul wal-wadiah ala qadri al-mal (kerugian disesuaikan dengan jumlah modal) ia mengatakan : Jadi kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan jumlah modal yang milikinya, jika modal keduanya sama maka kerugian dibagi dua, jika modalnya keduanya 3/3 maka kerugian yang ditanggung juga 3/3, kami tidak mengetahui perbedaan dalam masalah ini.

Hukum ini lebih tepat untuk perbankan dan jika sudah terbukti bahwa dana yang terkumpul dibank itu tidak jelas di kelola dalam investasi apa, karena keuntungan tidak dibagi antara pihak akad tetapi mereka pasti mendapatkan peresentase keuntungan baik uasaha tersebut untung ataupun rugi. Jika masalahnya seperti ini maka maka mudharabahnya fasid (tidak sah).

Dalil ke tujuh

Dr. Thanthawi mengatakan : Hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) mengakibatkan pemilik modal mendapatkan perhatian khusus dari pengelola yaitu bank atau yang lainnya yang mungkin tidak terpercaya (ghairu amin). Ia menyatakan misalnya : saya tidak untung sedikitpun.., padahal ia beruntung banyak yang menyebabkan kedzaliman yang dilarang oleh syariah.

Alasan ini bisa dijelaskan dalam dua hal :

1. Kaidah fikih menyebut al-ashlu baraatu adz-dzimmah (asalnya setiap orang bebas taggung jawab), kalau memang begitu mengapa kita memperkirakan sebaliknya. 2. Jika misalnya- bank ghairu amin, mana yang lebih baik tidak investasi di bank atau sebaliknya?.

Dalil ke delapan

Dr. Thanthawi mengatakan : Negara dan para fuqaha bisa intervensi kepada para shunna (para pembuat barang) agar menjamin barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian mereka. Begitu pula negara boleh intervensi dalam akad mudharabah untuk menentukan presentasi keuntungan di muka, dan modal dijamin yang masuk dalam kategori mashalih mursalah.

Betulbahwa para fuqaha intervensi kepada para shunna (para pembuat barang) agar menjamin barang yang ada pada mereka dengan illat ihmal (kelalaian). Ini adalah jaminan bagi para pemilik modal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain shunna bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjaga barang yang ada padanya dengan amanah. Dan jika terjadi kerusakan di luar kemampuannya, maka di luar bertanggung jawabnya.

Dan hal ini berbeda dengan deposito di bank, di mana bank menentukan keuntungan di muka, menjamin seluruh modal dari kerugian, dan deposan sangat yakin bahwa ia akan mengambil bunga sesuai dengan kesepakatan.

Bentuk ini walaupun ada mashlahatnya tetapi bertentangan dengan al-Quran yang qothiyyu ats-tsubut qothiyyu ad-dilalah yaitu firman Allah swt :

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279(

Allah swt. berfirman : maksudnya dengan mengambil tambahan dan dengan menitip modal juga, bahkan kamu mendapatkan hasil dari usaha dan kerjamu tanpa ada kelebihan ataupun ada kekurangan.

Sedangkan Dr. Thanthawi mengatakan boleh menentukan keuntungan di muka sebagai tambahan dari modal yang dijamin. Pendapat mana yang kita ambil, perkataan al-Quran atau pendapat Dr. Thanthawi?.

Dr. Thanthawi mengkategorikan ini sebagai mashlahat mursalah. Sudah maklum bahwa jika nash al-Quran dan as-Sunnah berupa qothiyyu ad-dilalah maka persepsi adanya mashlahat mursalah hilang pula walaupun maslahat tersebut dengan landasan qiyas. Tetapi qiyas bertentangan dengan nash qothiyyu ats-tsubut qothiyyu ad-dilalah, maka mashlahat tidak bisa dijadikan landasan lagi.

Yang menjadi ashl dalam illat ini adalah para shunna (para pembuat barang) yang menjamin barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian. Kemudian saat ini hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) diqiyaskan dengan ihmal (kelalaian). Apakah ada kesamaan anatara illat khorrob dzimam dengan illat ihmal dari setap sisi?.

Tentu saja jawabannya tidak, disamping itu sesuai dengan kaidah al-ashlu baraatu adz-dzimmah (asalnya setiap orang bebas taggung jawab) bukan sebaliknya.

Jika kita mengkaji syarat-syarat illat, kita akan menemukan bahwa illat ini berbeda dengan teori syarat-syarat illat yang dikaji oleh para ulama. Diantaranya syarat : tidak ada muarid ar-rajih (dalil rajih yang menentang) terhadap illat ini. Sedangkan illat ini bertentangan dengan nash dan ijma.

Tidak ada nash yang lebih jelas selain nash al-Quraan yang mengatakan :

yang artinya : Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. 2:279(

Di samping itu juga kesepakat para ulama dalam lembaga kajian fikih.

Di antara syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas adalah kesamaan illat dalam ashl dan far.

Juga syarat illat yang tidak ada adalah qiyas di atas illat yang ada dalam far tidak melahirkan hukum lain yang berbeda dengan hukum ashl. Hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) yang ada pada bank menuntuk kita menunggu sampai membaik dan stabil dan sesuai dengan syariat. Adapun menjamin shunna (para pembuat barang) barang yang ada pada mereka dari setiap kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian tidak menuntut meninggalkan mereka, tetapi minimal dengan menjamin mereka dengan cara yang baik. Berbeda dengan bank yang mengambil harta bukan haknya bahkan berupa tambahan dari modal.

Di samping itu di antara syarat illat yang lain adalah kejelasan illat (wudhuh al-illat) yang tidak ada dalam qiyas di atas, karena hilangnya sadar tanggung jawab (khorrob dzimam) itu illat yang tidak jelas, Sedangkan ketentuannya illat itu tertentu dab jelas. Dalil ke sembilan

Dr. Thantawi mengatakan : Tidak ada seorang Imampun yang mengatakan bahwa penentuan keuntungan di muka dalam akad mudharabah merubahnya menjadi akad ribawi sekaligus keuntungan yang dihasilkan dari investasi menjadi haram. Tetapi para fuqaha hanya ijma bahwa akad mudharabahnya fasid (tidak sah) karena penentuan keuntungan tersebut.

Jika para fuqaha sudah ijma bahwa akad mudharabahnya fasid (tidak sah), apakah itu maksudnya akad tersebut harus dilanjutkan walaupun fasid. Karena akad yang fasid itu menunjukan akad tersebut telah berakhir, oleh karena itu tidak ada riba atau yang lainnya karena akad sudah selesai, karenannya mereka menghukuminya setiap akad mudharabah yang salah satu pihak akadnya mensyaratkan tambahan itu fasid.

Para fuqaha sejauh pengetahuan kami- tidak pernah menyinggung akad itu tetap berlangsung seperti ini, karena sudah jelas bahwa pendapat mereka adalah hukum yang harus diamalkan. Tidak logis jika dilanggar karena pendapat mereka berdasarkan syariat.

Jika akadanya fasid, apakah kita membolehkannya kemudian menjadikannya ashl dalam mengqiyaskan far ( menjamin keuntungan dan modal di bank) kemudian menghukuminya dengan sah juga? Seharusnya minimal kita menghukuminya dengan fasid dan mengharamkannya tidak dengan mengatakan akad tersebut terus berlangsung dan mengqiyaskannya.

() Ustadz Said Hawa mengatakan bahwa modal tidak menghasilkan keuntungan dengan sendirinya tetapi bagi yang lain itu menghasilkan keuntungan. Setelah itu modal tidak menghasilkan keuntungan dengan kesiapannya dalam menanggung kerugian. Jadi sekedar modal hanya mengakibatkan berkurang dengan zakat dan tidak melahirkan keuntungan jika tanpa imbalan. Lihat al-Islam, Said Hawa juz I hal. 96, cet. Wahbah Kairo, Syawwal 1407/Juni 1987.

Lihat juga Haqoiq wa Syubuhat haula Wadai al Bunuk wa Syahadatu al Istitsmar wa Shonadiq at-Taufir , Syekh Muhammad Abdullah al-Khotib dan yang lainnya, hal. 53

)) Surat al-Baqarah ayat 279.

)) Ahkamu al-Quran, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 637 638, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.

)) Opcit, hal 641.

)) al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni fi fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid IV hal. 390, Cet. Dar al-Fikr al-Arabi Beirut 1414 H/1994 M.

() Bai al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira kama Tujrihi al-Masharif al-Islamiyah fi Dhoui an-Nushush wa al-Qawaid asy-Syariyyah karangan Dr. Yusuf Qardhawi hal. 29, 111, Maktabatu wahbah cet. II 1407/1987.

() Ahkamu al-Quran, Abu Bakar Ahmad ar-Rozi al-Jashosh (wafat tahun 370 H) Jilid I hal. 635, cet. Dar al-Fikr 1313 H/1993 M.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 126.

(( Opcit hal. 98.

(( Lihat Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 137 - 138.

() Lihat Ilamu al-Muqiin karangan Ibnu alQayyim juz I hal. 14.

() Illat dalam tasir itu dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi), sedangkan dalam riba adalah tambahan dan dzulm (kedzaliman) dan istighlal (eksploitasi) adalah diantara hikmah diharamkannya riba.

() al-Majmu syarh al-Muhadzab takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthii juz XII hal. 359, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal.

() Uqud at-Tamin, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 36

() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 52, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.63 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.

() Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar) hal.51, dar-Alhuda 1406/1986.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 137.

() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syariah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi hal. 62,63, Muassasatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.

( (Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 138, 139.

() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Khotib dan yang lainnya hal. 84, Dar al-Manar cet. II 1410/1990. Lihat juga tulisan Syekh Muhammad Mushtafa Syalabi (Anggota Majma Buhuts al-Islamiyah dan Guru besar Univ. Kairo) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal. 38 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.

() Fiqh as-Sunnah karangan Sayyid Sabiq Juz III hal. 213.

() Al-Mudawwanah al-Kubra karangan Imam Malik juz XII hal 86, al-Bab al-Halabi tanpa tanggal- dengan riwayat Imam Sahnun bin Said at-Tunukhi dari Imam Abdurrahman bin Qasim dari Imam Malik r.a.

() Al-Majmu Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi takmilatu asy-Syekh muhammad Najib Muthii juz V hal. 160, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal. Lihat juga : Fath al-Qadir juz VII hal.417 dalam kitab ibi diterangkan bahwa akad mudharabah menjadi fasid dengan disyaratkannya beberapa dirham kepada salah stu pihak akad.

() Uqud at-Tamin, Prof. Dr. Muhammad Baltaji Hasan hal. 38 40.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 138.

() Lihat juga tulisan Said Bin Ahmad al-Lutah (President Direktur Isamic Bank Dubai) dalam majalah Iqtishad al-Islami edisi 97 hal. 15 Dzulhijjah 1409/Nopember 1988.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139 - 138.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139.

() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.

() Haqaiq wa asy-Syubuhat wadai al-Bunuk karangan Syekh Abdullah Khotib dan yang lainnya hal. 56, lihat juga Majalah Iqtishad al-Islami edisi 101 hal.66 Rabiu ast-tsani 1410/Nopember 1989.

() al-Majmu Syarh al-Muhadzab karangan Asy-Syairazi Takmilatu asy-Syekh Muhammad Najib Muthii juz XV hal. 156, cet. Makatabat al-Irsyad Jeddah Saudi Arabia tanpa tanggal

() al-Mughni dan Syarh al-Kabir Matn al-Muqni fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karangan Muwaffiquddin Ibnu Quddamah dan Syamsuddin Ibnu Quddamah, jilid V hal. 162 - 163, Cet. Dar al-Fikr al-Arabi Beirut 1414 H/1994 M.

() Opcit Juz V hal. 147.

() Jika digunakan untuk keperluan ini bukan untuk kredit berbunga.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 139 - 140.

() Syar al-qawaid al-Fiqhiyyah karangan Syekh Ahamad Bin Syekh Muhammad az-Zarqa hal. 105, dar Alqolam, cet. kedua 1409/1989.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 140 141.

() Lihat : Dhaman al-Udwan fi al-Fiqh al-Islami karangan Dr. Muhammad Ahmad Siraj hal.319, dar ats-Tsaqafah, cet pertama 1409/1989.

() Surat al-Baqarah ayat 279.

() Lihat : Tafsir Ibnu al-Katsir Juz I hal 355.

() Dhawabith al-Mashlahat fi asy-Syariah al-Islamiyah karangan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi hal. 120, Muassatu ar-Risalah, cet. VI 1412/1992.

()Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 43, dar-Alhuda 1406/1986.

() Surat al-Baqarah ayat 279

((Lihat : al-Anwar as-Sathiah fi Thuruqi Itsbati al-Illat al-Jamiah karangan Prof. Dr. Ramadhan Abdul Wadud Abdu at-Tawwab (Guru Besar Ushul Fiqh Fakultas Syariah Qanun Univ. Al-Azhar hal. 51, dar-Alhuda 1406/1986.

() Opcit hal. hal. 52

() Opcit hal. 55.

() Muamalatu al-Bunuk wa Ahkamuha asy-Syariyyah hal. 142.