ria.docx

21
LAPORAN KASUS Hematemesis Melena Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik A.A.Sagung Ria Ardha Anggani ; Lab/ SMF Ilmu Penyakit Dalam FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar PENDAHULUAN Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat – obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan alcohol, pada penderita gagal ginjal kronis 1 . Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA variseal disebabkan karena pecahnya varises esophagus. Sedangkan , SCBA non variseal antara lain ulkus peptikum, gastritis erosifa, duodenitis, “ Mallory Weisssyndrome dan keganasan. terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari keseluruhan kasus perdarahan akut saluran cerna. 2 Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan

Transcript of ria.docx

Page 1: ria.docx

LAPORAN KASUS

Hematemesis Melena Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik

A.A.Sagung Ria Ardha Anggani ;

Lab/ SMF Ilmu Penyakit Dalam

FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat – obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan alcohol, pada penderita gagal ginjal kronis1. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA variseal disebabkan karena pecahnya varises esophagus. Sedangkan , SCBA non variseal antara lain ulkus peptikum, gastritis erosifa, duodenitis, “ Mallory Weiss” syndrome dan keganasan. terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari keseluruhan kasus perdarahan akut saluran cerna.2

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif. NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai : (1) kelainan struktural atau fungsional ginjal selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan LFG, yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pencitraan; (2) LFG < 60 mL/menit/1,73 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Istilah gagal ginjal mengacu kepada penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m atau membutuhkan terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi). PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah gangguan gastrointestinal, yang merupakan gangguan non renal yang paling sering ditemukan disamping diabetes melitus dan penyakit arteri koroner. Gangguan gastrointestinal berkaitan dengan malnutrisi yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal. Oleh karenanya, gangguan gastrointestinal yang menyertai PGK perlu mendapat perhatian.

Page 2: ria.docx

Kasus

Pasien laki – laki usia 69 tahun, Suku Bali, pekerjaan sebagai petani, datang ke IGD

RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarganya dengan keluhan BAB kehitaman

sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien mengeluh BAB kehitaman

sebanyak empat kali dengan konsistensi lembek berwarna kehitaman ada ampas

namun tidak berlendir dan darah dengan volume kira – kira setengah gelas aqua.

Pasien juga mengatakan sempat mengalami mual dan muntah. Mual dan muntah

tersebut muncul bersamaan dengan munculnya keluhan BAB kehitaman. Muntah

dikatakan sehari terjadi satu sampai dua kali dalam sehari. Muntah dikatakan

berisikan makan dan minuman yang dikonsumsi dengan volume kira – kira ¼ gelas

aqua. Pasien juga sempat mengalami muntah yang berisikan sedikit darah bercampur

dengan makanan. Darah yang dimuntahkan saat itu berwarna merah kehitaman dan

berbentuk gumpalan – gumpalan. Muntah darah tersebut dikatakan terjadi 1x.

Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 3 hari yang lalu. Nyeri perut

dirasakan seperti terbakar dan adanya rasa perih di uluhati. Nyeri uluhati dan nyeri

perut tidak mereda walaupun pasien sudah makan. Biasanya pasien hanya beristirahat

untuk mengurangi keluhannya. Semenjak keluhan BAB kehitaman dan muntah

muncul, pasien juga merasa nafsu makan berkurang dan hanya makan bubur, pasien

mengatakan setiap pasien ingin makan seperti merasa kenyang sehingga badannya

lemas sulit untuk berjalan. BAK dikatakan berkurang sejak 4 hari SMRS. Karena

pasien merasa semakin lemas dan keluhan berak kehitaman yang dirasakan semakin

memberat maka pihak keluarga langsung memutuskan membawa pasien ke IGD

RSUD Sanjiwani Gianyar. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri lutut kiri

sejak 4 tahun yang lalu, nyeri dikatakan memberat ketika pasien berjalan. Pasien

sudah sempat datang ke dokter sejak lama untuk mengobati keluhannya namun belum

membaik.

Pasien sebelumnya belum pernah mengalami berak kehitaman sebelumnya.

Pasien mengakui dirinya menderita rematik sudah sejak 4 tahun dan sering meminum

obat – obatan rematik yang dibelinya sendiri di apotek. Namun, sekitar sekitar 2 tahun

Page 3: ria.docx

terakhir pasien sering datang ke puskesmas untuk suntik obat rematik dan jika sudah

disuntik maka pasien merasa lebih baik. Pasien rutin melakukan suntik obat setiap

minggu dan pasien juga rutin meminum obat rematik sendiri.

Namun pasien tidak tahu nama obat yang diminum maupun yang disuntikkan.

Penyakit kuning, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit

sistemik lainnya disangkal oleh pasien.

Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.

Untuk riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan

penyakit sistemik lainnya dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.

Pasien adalah seorang petani tetapi semenjak penyakit rematiknya dirasakan

semakin memberat pasien memutuskan saat ini tidak bekerja hanya melakukan

aktivitas ringan di rumah. Keadaan rumah pasien dikatakan cukup bersih dan pasien

tinggal bersama anak, menantu dan cucunya. Hubungan sosial pasien dengan keluarga

dan lingkungannya baik. Pasien memiliki kebiasaan meminum kopi sejak lama kira –

kira 4 gelas dalam sehari. Pasien memiliki riwayat merokok saat masih muda. Minum

alkohol disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 24 April 2015 ditemukan

kesan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis, GCS

ditemukan E4V5M6, dengan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 78xmenit, respiratory

rate 18x/menit dan temperature axial 36,40 celcius. Pada status general pada kepala

dalam keadaan normocephali dengan wajah pucat, mata didapatkan reflek pupil

positif isokor, dan ditemukannya anemis namun tidak tampak ikterik, telinga hidung

dan tenggorokkan masih dalam batas normal, pada leher ditemukan JVP +2 cmH2O,

pada thoraks sismetris tanpa ada jejas, pada jantung suara S1S2 tunggal regular tanpa

murmur, di paru – paru suara vesikuler positif simetris tanpa ada rhonki dan

wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus positif normal tanpa

ada distensi, shifting dullness (-), spider navi (-), vena kolateral (-), hepar dan lien

tidak teraba. Sedangkan pada ekstremitas didapatkan akral hangat di keempat region

ekstremitas tanpa adanya oedem. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus

sfingter ani positif, mukosa licin, tidak didapatkan adanya massa, pada handscoen

ditemukan adanya feses kehitaman.

Page 4: ria.docx

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD dari darah lengkap

ditemukan WBC 10,0 (N), RBC 1,58 (L), HCT 10,2 (L), HGB 3,3 (L), MCV 64,4

(L), MCH 20,8 (L) dan PLT 142 (L). Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan Na 141

(N), K 6,3 (H), Cl 119 (H). Pemeriksaan gula darah didapatkan 213 (H). Untuk

pemeriksaan fungsi hati dari SGPT ditemukan 10 (N) dan SGOT ditemukan 16 (N)

Hasil dari pemeriksaan BUN 182 (H) dan Serum Creatinin 3,1 (H). saat di ruangan

dilakukan pemasangan NGT dengan hasil jernih. Dan hasil EKG didapatkan dalam

batas normal.

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien

didiagnosis kerja dengan Hematemesis melena e.c susp gas ulkus peptikum, anemia

berat H-M, ACKD prerenal dd renal on CKD ec susp PNC dd/NO. Pasien kemudian

diterapi secara non farmakologis seperti diet dan mobilisasi selama MRS, serta terapi

secara farmakologis dengan IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Omeprazole 1x1 vial, Antasida

syrup 3xC1, Sucralfat syrup 3xC1, Asam tranexamat 3x500mg, dan diberikan tranfusi

PRC 2 kolf atau sampai hb >10, Pasien juga dijadwalkan untuk melakukan endoskopi

agar dapat memastikan penyebabnya.

PEMBAHASAN

Dari uraian kasus di atas ada beberapa hal menarik yang bisa ditinjau. Dimulai dari

perdarahan yang terjadi apakah merupakan perdarahan saluran cerna atas atau bawah.

Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya

hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah,

sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik

umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. 1,2 Pada kasus

ini didapatkan adanya hematemesis dan melena.

Berdasarkan epidemiologi ulkus peptikum didapatkan insidensi jauh lebih

rendah pada perempuan dibandingkan laki – laki dengan perbandingan 2 : 1.1 Ulkus

peptikum dapat dijumpai pada semua umur, namun usia puncak terjadinya ulkus

peptikum adalah 50 – 60 tahun yang mengarah ke kerusakan organ yang disebabkan

oleh turunnya regenerasi sel pada organ salah satunya organ gastrointestinal.2 Pada

kasus ini, pasien seorang laki – laki berumur 60 tahun dimana beresiko dalam

terjadinya ulkus peptikum.

Page 5: ria.docx

Terjadinya ulkus peptikum dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Dengan

ditemukannya kuman Helicobacter Pylori dianggap merupakan penyebab utama ulkus

peptikum, disamping OAINS. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya peningkatan

WBC. Hal ini menunjukkan berarti hematemesis melena e.c ulkus peptikum bukan

karena adanya infeksi Helicobacter Pylori, kemungkinan penyebab terjadinya ulkus

peptikum adalah penggunaan obat rematik (OAINS) jangka lama.3

Banyak kemungkinan penyebab ulkus peptikum. Ulkus peptikum disebabkan

oleh gangguan keseimbangan dari faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif

dibagi menjadi 2 yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Beberapa faktor eksogen

penyebab ulkus peptikum yaitu obat – obatan NSAIDs, alkohol dan infeksi

Helicobacter Pylori.1,5 Helicobacter Pylori sekitar 90% dari tukak lambung dan 75%

dari tukak lambung berhubungan dengan Helicobacter pylori adalah bakteri gram

negative, hidup dalam suasana asam pada lambung atau duodenum. Kemudian sekresi

lambung, normalnya produksi asam lambung kira – kira 20 mEq/jam. Pada penderita

tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Dalam masyarakat yang

paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa lambung dengan

penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat – zat lain dapat menimbulkan

kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan

kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs,

menhambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga

menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi

prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, menurunkan

sekresi mucus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan

duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun. Kedua,

penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan poliferasi sel sel

mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa.hal ini terjadi akibat hambatan

COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi

nekrosis sel epitel. Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang

diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2

menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler

gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan pelepasan mikrovaskular

sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat – obatan

golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyenbabkan terjadinya resiko

Page 6: ria.docx

perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai.4,5 Pada

kasus yang terjadi pada pasien, penggunaan obat – obatan NSAIDs sudah dilakukan

selama bertahun – tahun dan gejala yang timbul sesuai dengan teori yang ada, yaitu

menimbulkan berak kehitaman dan muntah darah.

Pemeriksaan fisik pada kasus ulkus peptikum tidak ada menunjukkan tanda –

tanda yang spesifik. Pada pemeriksaan fisik pasien ini hanya didapatkan konjungtiva

palpebra pucat menandakan kurang darah.3 Kekurangan darah ini dicurigai akibat

defisiensi vitamin B12. Untuk gambaran umum dari defisiensi vitamin B12 atau

defisiensi asam folat tidak ditemukan. Untuk mengetahui derajat dan penyebab dari

kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan

darah lengkap.4 Pada pasien ini,dilihat dari hemoglobulin, MCV dan MCH maka

pasien ini mengalami anemia berat H-M. Pemeriksaa khusus untuk mengetahui

apakah penyebab anemia hipomikro makrositer tersebut berasal dari defisiensi folat

atau vitamin B12 salah satunya dapat dilakukan pengukuran kadar vitamin B12 serum

dan asam folat serum.

Pada anamnesis pasien juga mengelukan frekuensi kencing yang berkurang

sejak 4 hari SMRS, seharinya pasien BAK sebanyak kurang lebih 3 kali. Dari

pemeriksaan darah juga ditemukan adanya peningkatan kadar serum kreatinin (3,1)

dan BUN (182). Berdasarkan umur, jenis kelamin, keluhan dan pemeriksaan fungsi

ginjal pasien didiagnosis menderita penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronik

(PGK) adalah penyakit kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi

klinis termasuk gangguan gastrointestinal yang berperan terhadap meningkatnya

morbiditas dan mortalitas. Meskipun prevalensi dan insidens gangguan

gastrointestinal pada PGK sulit diperkirakan dan beberapa penelitian melaporkan

hasil berbeda, prevalensi dan insidensnya lebih tinggi dibanding populasi. Gejala

gastrointestinal yang paling sering ditemukan adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen,

diare, dan konstipasi. Patogenesis gangguan gastrointestinal pada pasien PGK belum

sepenuhnya diketahui. Beberapa kelainan yang mendasari gangguan gastrointestinal

pada PGK antara lain gastroparesis, lesi saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran

cerna atas dan bawah, angiodisplasia, pankreatitis akut, iskemi mesenterik akut,

nekrosis kolon akibat resin penukar ion.

Page 7: ria.docx

Jenis lesi saluran cerna bagian atas yang ditemukan secara endoskopis antara

lain hiatus hernia, esofagitis, erosi lambung, erosi duodenum, ulkus duodenum,ulkus

esofagus, dan angiodisplasia. Jenis lesi yang ditemukan secara histopatologik adalah

gastritis superfi sial kronik dan gastritis atrofik. Hiatus hernia lebih banyak ditemukan

pada pasien hemodialisis, sedangkan kelainan lambung meski juga lebih banyak

ditemukan pada pasien dialisis dibanding kontrol tetapi tidak signifikan. Beberapa lesi

saluran cerna bagian atas yang ditemukan antara lain: gastritis, duodenitis, erosi

esofagus, ulkus lambung dan pseudomelanosis duodenum.

Patogenesis lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK belum jelas

diketahui. Salah satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon

gastrin yang meningkat menyebabkan peningkatan produksi asam lambung oleh sel

parietal. Penelitian tentang produksi asam lambung pada pasien PGK melaporkan

hasil yang beragam, mulai dari akloridia hingga hiperkloridia. Meskipun tidak

ditemukan pada semua pasien PGK,peningkatan produksi asam lambung jelas

ditemukan pada sebagian pasien PGK. Hipergastrinemia pada PGK terjadi karena

berkurangnya bersihan hormon gastrin sebagai akibat penurunan LFG, tetapi mungkin

juga karena meningkatnya sekresi hormon gastrin akibat peningkatan densitas sel G

yang terdapat pada PGK. Akloridia diduga merupakan stimulus terjadinya

hipergastrinemia melalui mekanisme umpan balik antara sel G dan rendahnya asam

yang menstimulasi sekresi gastrin.

Infeksi Helikobakter pylori diduga salah satu faktor yang berperan dalam

meningkatnya prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK. Urease yang

dihasilkan H. pylori mengubah urea menjadi amonia. Kadar ammonia lambung yang

tinggi bersifat toksik terhadap epitel lambung dibanding urea. Hiperamonemia

lambung menyebabkan perubahan pada turnoverselular dengan cara menginduksi

apoptosis sehingga memperlambat penyembuhan lesi mukosa. Prevalensi infeksi

H.pylori sendiri dilaporkan bervariasi dengan kisaran 21%-66% pada pasien PGK

dan 35%-75% pada kontrol. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi H. pylori

yang lebih tinggi pada pasien PGK dibandingkan dengan pada populasi umum, tetapi

beberapa penelitian lain melaporkan prevalensi yang lebih rendah. Hal ini mungkin

disebabkan perbedaan metode diagnostik yang digunakan, populasi yang diobservasi,

prevalensi H. pylori pada individu sehat, ciri klinis dan demografis kelompok yang

Page 8: ria.docx

diteliti, penggunaan antibiotik dan proton pump inhibitor,serta faktor lain yang belum

diketahui.

Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu komplikasi PGK yang sering

ditemukan, dan insidens dan mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan pada populasi

normal . Patogenesis perdarahan saluran cerna pada PGK belum jelas, diduga faktor

yang berperan terhadap perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia

terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia,

penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.

Angiodisplasia adalah malformasi vaskular yang tidak berhubungan dengan sindrom

familial, kelainan kulit ataupun kelainan sistemik manapun, dan merupakan kelainan

vaskular saluran cerna yang paling sering ditemukan pada populasi dengan prevalensi

0,82%. Angiodisplasia sebagai penyebab perdarahan saluran cerna lebih sering

ditemukan pada pasien PGK dibandingkan pada populasi normal dengan prevalensi

berkisar 19-32% pada pasien PGK dan 5% pada populasi. Angiodisplasia juga

merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang pada

pasien PGK. Etiologi angiodisplasia belum diketahui tetapi berhubungan dengan

proses degeneratif vaskular yang diakselerasi oleh hipooksigenasi mukosa usus akibat

penyakit vaskular perifer aterosklerotik. Diagnosis angiodisplasia paling sering

ditegakkan melalui endoskopi. Sensitivitas kolonoskopi dalam menemukan

angiodisplasia pada kolon yaitu sebesar 81%. Angiodisplasia paling sering ditemukan

di sekum dan kolon asendens. Angiografi mesenterika selektif dapat digunakan pada

kasus perdarahan aktif. Helical CT angiography merupakan teknik pencitraan baru

dan menjanjikan sebagai modalitas diagnostik non-invasif untuk angiodisplasia dan

perdarahan samar saluran cerna, tetapi peran angiografi pada PGK terbatas karena

penggunaan kontras secara intravena. Technetium-( Tc-) labeled scintigraphy juga

dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan akitf namun penggunaannya terbatas

karena sensitivitasnya rendah. Tidak ada tata laksana khusus untuk angiodisplasia

pada PGK. Angiodisplasia dapat diterapi lokal menggunakan argon plasma

coagulation, koagulasi laser, atau koagulasi panas. Jika ada lesi perdarahan besar,

embolisasi atau injeksi vasopresin melalui angiografi dapat digunakan. Untuk kasus

perdarahan rekuren atau persisten meskipun sudah diterapi secara endoskopis, reseksi

secara bedah harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang bukan merupakan kandidat

intervensi bedah, estrogen (dengan atau tanpa progesteron) dapat diberikan, akan

tetapi karena efikasi yang masih kontroversial dan efek samping seperti metrorhagia,

Page 9: ria.docx

ginekomastia, retensi cairan, trombosis, stroke, kanker payudara dan endometrium,

dibutuhkan uji klinis untuk menentukan efi kasi dan keamanan terapi estrogen pada

PGK. Terapi jangka panjang menggunakan octreotide dilaporkan dapat menurunkan

kebutuhan transfusi dan mencegah rekurensi dengan cara menurunkan aliran darah

splanknik.

Perdarahan saluran cerna bagian atas akut lebih sering terjadi pada pasien

PGK dibandingkan dengan populasi normal. Insidensnya diperkirakan lebih dari 21

kasus perdarahan setiap 1000 orang setiap tahunnya dengan risiko mortalitas yang

tinggi. Diperkirakan perdarahan saluran cerna bagian atas akut menyebabkan 3-7%

kematian pasien gagal ginjal. Merokok, disabilitas, dan riwayat penyakit

kardiovaskular merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada

gagal ginjal, sedangkan faktor risiko lain yang biasa dihubungkan dengan perdarahan

saluran cerna seperti penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin,

dan antikoagulan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan saluran

cerna bagian atas pada pasien gagal ginjal.

Perdarahan saluran cerna bagian bawah baik akut maupun kronik pada gagal

ginjal tidak banyak dilaporkan, tetapi adenoma, karsinoma, dan angiodisplasia lebih

sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Prevalensi lesi

kolon lainnya meningkat pada populasi tertentu saja; contohnya, prevalensi

divertikulosis pada pasien PGK, tidak lebih tinggi dibandingkan pada populasi, tetapi

prevalensi divertikulosis dan diverticulitis pada penyakit ginjal polikistik justru lebih

tinggi daripada populasi.

Perdarahan saluran cerna kronis biasanya diketahui dengan uji darah samar

tinja. Prevalensinya pada pasien PGK diperkirakan sekitar 19%. Lokasi tersering

perdarahan saluran cerna kronis bagian atas adalah duodenum, dan lesi duodenum

ditemukan pada 61% pasien gagal ginjal. Pada saluran cerna bagian bawah, lokasi

perdarahan kronis tersering adalah kolon proksimal. Angiodisplasia dan erosi saluran

cerna merupakan penyebab terseringperdarahan saluran cerna kronis bagian atas,

sedangkan neoplasma merupakan penyebab sering perdarahan kronis saluran cerna

bagian bawah.

Divertikulosis merupakan salah satu penyebab paling sering perdarahan

saluran cerna bagian bawah pada pasien gagal ginjal. Divertikulosis berkontribusi

menyebabkan 30-50% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah pada populasi.

Insidens perdarahan saluran cerna bagian bawah karena divertikulosis pada pasien

Page 10: ria.docx

gagal ginjal sama dengan populasi. Akan tetapi insidens perdarahan divertikular pada

pasien penyakit ginjal polikistik dewasa yang menjalani dialisis rumatan lebih tinggi

yaitu sekitar 83% pada suatu penelitian dan 50% pada penelitian lainnya. Sembilan

puluh persen (90%) divertikuli ditemukan dikolon sebelah kiri, dengan lokasi

tersering yaitu pada kolon sigmoid, tetapi sebanyak 50% perdarahan disebabkan oleh

divertikuli pada kolon sebelah kanan. Penyebab pasti terbentuknya divertikulosis

belum jelas, tetapi dipikirkan karena diskinesia usus dan peningkatan tekanan

intralumen kolon. Faktor risiko terbentuknya divertikulosis meliputi kurangnya

konsumsi serat, konstipasi dan obesitas. Modalitas diagnostik awal pilihan untuk

mengevaluasi divertikulosis adalah kolonoskopi. Jika endoskopi tidak mungkin atau

tidak dapat menegakkan diagnosis, dynamic enhanced helical CT Scan dapat

digunakan. Selain itu,contrast-enhanced magnetic resonance angiography (MRA)

dapat digunakan untuk mendeteksi divertikuli berdarah dengan sensitivitas dan spesifi

sitas 100% dibandingkan skintigrafi nuklir yangvsensitivitas dan spesifisitasnya 78%

dan 72%. Selain bersifat diagnostik, kolonoskopi juga bersifat terapetik jika

divertikuli yang berdarah telah diidentifi kasi. Arteriografi dengan pemberian

vasopresin ataupun embolisasi hanya digunakan untuk pasien yang tidak mungkin

menjalani endoskopi, pasien dengan perdarahan berulang atau menetap, dan hasil

kolonoskopi yang tidak diagnostik, mengingat embolisasi dapat berisiko

menyebabkan infark. Laparotomi eksplorasi dengan kolektomi parsial ataupun total

dianggap teknik diagnostik defi nitif jika divertikuli yang berdarah sulit diidentifikasi

dengan teknik lainnya.

Dalam penananganan pasien dengan ulkus peptikum dibagi menjad 2 terapi

yaitu terapi non medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non

medikamentosa terdiri dari istirahat, diet, menghindari faktor agresif terjadinya ulkus

peptikum (merokok, alkohol, dan obat - obatan) sedangkan terapi medikamentosa

terdiri dari antasida dan obat – obatan penangkal kerusakan mucus (koloid

bismuth,sukralfat,prostaglandin, antagonis reseptor H2/ARH2, proton pump

inhibitor/PPI).6 Pada kasus ini penanganan dari pasien dengan ulkus peptikum sesuai

degan teori yaitu pasien MRS, diberikan diet bubur saring, asam traneksamat,

antasida, sukralfat, ,Omeprazole, dan tranfusi PRC untuk keluhan anemia

sebelumnya.

Page 11: ria.docx

Untuk mendiagnosis pasti ulkus peptikum perlu dilakukan pemeriksaan

penunjang endoskopi saluran cerna atas yaitu esofagogastrodudodenoskopi untuk

melihat langsung mukosa dari saluran pencernaan. Endoskopi gastrointestinal atas

digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui

endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi

telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui

pemeriksaan radiologis karena ukuran atau lokasinya.6 Pada pasien ini, perlu

dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat apakah benar ulkus peptikum

sebagai penyebab dari hematemesis dan melena serta dapat menyingkirkan diagnosis

lainnya.

Ringkasan

Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di

sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Hematemesis adalah

muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan

indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA) . Pada perdarahan

saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau

melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah . Anamnesis awal pasien

datang dengan keluhan bab kehitaman, disertai mual muntah. Dikatakan muntah

disertai darah dan ampas makanan. Pasien mengatakan sering mengalami nyeri pada

persendian sehingga pasien mengkonsumsi obatnyeri sendi, kemungkinan obat yang

di konsumsi adalah NSAID, penggunaan NSAID dapat menyebabkan kerusakan pada

mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,

khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menhambat kerja dari enzim

siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi

prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada

penggunaan NSAID. Pada pemeriksaan fisik didapatkan wajah pasien tapak pucat,

conjungtiva mata pucat, pada pemeriksaan RT didapatkan feses kehitaman. Dari

pemeriksaan penunjang Didapatkan HGB, MCV dan MCH menurun, Ureum dan

creatinin meningkat. Berdasarkan pemeriksaan fungsi ginjal pasien menderita

penyakit ginjal kronis. Penyakit hinjal kronis merupakan salah satu faktor predisposisi

yang menyebabkan terjadinya perdarahan saluran cerna. Patogenesis perdarahan

saluran cerna pada PGK belum jelas, diduga faktor yang berperan terhadap

perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran

Page 12: ria.docx

cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet

dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.

Page 13: ria.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas 2009. Pathophysiology

and Treatment of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy.

Available at Pendahuluan.pdf. FKM Universitas Indonesia. Access on 25 Mei

2015.

2. Abdulrahman IS, Al-Quorain AA. Prevalence of gastroesophageal refl ux

disease and its association with Helicobacter pylori infection in chronic renal

failure patients and in renal transplant recipients. Saudi J Gastroenterol 2008.

Access on 24 Mei 2015

3. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk.

Gastroesophageal refl ux disease in chronic renal failure patients : evaluation

by endoscopic examination. Tokai J Exp Clin Med. 2009;34(3):80-3. Access

on 24 Mei 2015

4. Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,

Tukak Gaster; Tukak Duodenum. 2010. Jakarta.

5. Schafer Theodore W. Peptic Ulcer Disease. The American College of

Gastroenterology, Bthesda, Maryland.

6. Wenas NT. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. In :

Simadibrata MK, Abdullah M, Syam AF, editors. The 4th international

endoscopy workshop & international symposium on digestive disease.

Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI; 2009. p. 83-4.