ria.docx
Transcript of ria.docx
LAPORAN KASUS
Hematemesis Melena Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik
A.A.Sagung Ria Ardha Anggani ;
Lab/ SMF Ilmu Penyakit Dalam
FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar
PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. pylori atau penggunaan obat – obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan alcohol, pada penderita gagal ginjal kronis1. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA variseal disebabkan karena pecahnya varises esophagus. Sedangkan , SCBA non variseal antara lain ulkus peptikum, gastritis erosifa, duodenitis, “ Mallory Weiss” syndrome dan keganasan. terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari keseluruhan kasus perdarahan akut saluran cerna.2
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan terminologi baru dari the National Kidney Foundation’s Kidney Disease and Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) pada tahun 2002, mencakup sejumlah proses patofisiologis yang berhubungan dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang progresif. NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai : (1) kelainan struktural atau fungsional ginjal selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan LFG, yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pencitraan; (2) LFG < 60 mL/menit/1,73 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Istilah gagal ginjal mengacu kepada penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m atau membutuhkan terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi). PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis, salah satunya adalah gangguan gastrointestinal, yang merupakan gangguan non renal yang paling sering ditemukan disamping diabetes melitus dan penyakit arteri koroner. Gangguan gastrointestinal berkaitan dengan malnutrisi yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal. Oleh karenanya, gangguan gastrointestinal yang menyertai PGK perlu mendapat perhatian.
Kasus
Pasien laki – laki usia 69 tahun, Suku Bali, pekerjaan sebagai petani, datang ke IGD
RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarganya dengan keluhan BAB kehitaman
sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien mengeluh BAB kehitaman
sebanyak empat kali dengan konsistensi lembek berwarna kehitaman ada ampas
namun tidak berlendir dan darah dengan volume kira – kira setengah gelas aqua.
Pasien juga mengatakan sempat mengalami mual dan muntah. Mual dan muntah
tersebut muncul bersamaan dengan munculnya keluhan BAB kehitaman. Muntah
dikatakan sehari terjadi satu sampai dua kali dalam sehari. Muntah dikatakan
berisikan makan dan minuman yang dikonsumsi dengan volume kira – kira ¼ gelas
aqua. Pasien juga sempat mengalami muntah yang berisikan sedikit darah bercampur
dengan makanan. Darah yang dimuntahkan saat itu berwarna merah kehitaman dan
berbentuk gumpalan – gumpalan. Muntah darah tersebut dikatakan terjadi 1x.
Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 3 hari yang lalu. Nyeri perut
dirasakan seperti terbakar dan adanya rasa perih di uluhati. Nyeri uluhati dan nyeri
perut tidak mereda walaupun pasien sudah makan. Biasanya pasien hanya beristirahat
untuk mengurangi keluhannya. Semenjak keluhan BAB kehitaman dan muntah
muncul, pasien juga merasa nafsu makan berkurang dan hanya makan bubur, pasien
mengatakan setiap pasien ingin makan seperti merasa kenyang sehingga badannya
lemas sulit untuk berjalan. BAK dikatakan berkurang sejak 4 hari SMRS. Karena
pasien merasa semakin lemas dan keluhan berak kehitaman yang dirasakan semakin
memberat maka pihak keluarga langsung memutuskan membawa pasien ke IGD
RSUD Sanjiwani Gianyar. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri lutut kiri
sejak 4 tahun yang lalu, nyeri dikatakan memberat ketika pasien berjalan. Pasien
sudah sempat datang ke dokter sejak lama untuk mengobati keluhannya namun belum
membaik.
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami berak kehitaman sebelumnya.
Pasien mengakui dirinya menderita rematik sudah sejak 4 tahun dan sering meminum
obat – obatan rematik yang dibelinya sendiri di apotek. Namun, sekitar sekitar 2 tahun
terakhir pasien sering datang ke puskesmas untuk suntik obat rematik dan jika sudah
disuntik maka pasien merasa lebih baik. Pasien rutin melakukan suntik obat setiap
minggu dan pasien juga rutin meminum obat rematik sendiri.
Namun pasien tidak tahu nama obat yang diminum maupun yang disuntikkan.
Penyakit kuning, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit
sistemik lainnya disangkal oleh pasien.
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
Untuk riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan
penyakit sistemik lainnya dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
Pasien adalah seorang petani tetapi semenjak penyakit rematiknya dirasakan
semakin memberat pasien memutuskan saat ini tidak bekerja hanya melakukan
aktivitas ringan di rumah. Keadaan rumah pasien dikatakan cukup bersih dan pasien
tinggal bersama anak, menantu dan cucunya. Hubungan sosial pasien dengan keluarga
dan lingkungannya baik. Pasien memiliki kebiasaan meminum kopi sejak lama kira –
kira 4 gelas dalam sehari. Pasien memiliki riwayat merokok saat masih muda. Minum
alkohol disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 24 April 2015 ditemukan
kesan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis, GCS
ditemukan E4V5M6, dengan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 78xmenit, respiratory
rate 18x/menit dan temperature axial 36,40 celcius. Pada status general pada kepala
dalam keadaan normocephali dengan wajah pucat, mata didapatkan reflek pupil
positif isokor, dan ditemukannya anemis namun tidak tampak ikterik, telinga hidung
dan tenggorokkan masih dalam batas normal, pada leher ditemukan JVP +2 cmH2O,
pada thoraks sismetris tanpa ada jejas, pada jantung suara S1S2 tunggal regular tanpa
murmur, di paru – paru suara vesikuler positif simetris tanpa ada rhonki dan
wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus positif normal tanpa
ada distensi, shifting dullness (-), spider navi (-), vena kolateral (-), hepar dan lien
tidak teraba. Sedangkan pada ekstremitas didapatkan akral hangat di keempat region
ekstremitas tanpa adanya oedem. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus
sfingter ani positif, mukosa licin, tidak didapatkan adanya massa, pada handscoen
ditemukan adanya feses kehitaman.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD dari darah lengkap
ditemukan WBC 10,0 (N), RBC 1,58 (L), HCT 10,2 (L), HGB 3,3 (L), MCV 64,4
(L), MCH 20,8 (L) dan PLT 142 (L). Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan Na 141
(N), K 6,3 (H), Cl 119 (H). Pemeriksaan gula darah didapatkan 213 (H). Untuk
pemeriksaan fungsi hati dari SGPT ditemukan 10 (N) dan SGOT ditemukan 16 (N)
Hasil dari pemeriksaan BUN 182 (H) dan Serum Creatinin 3,1 (H). saat di ruangan
dilakukan pemasangan NGT dengan hasil jernih. Dan hasil EKG didapatkan dalam
batas normal.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis kerja dengan Hematemesis melena e.c susp gas ulkus peptikum, anemia
berat H-M, ACKD prerenal dd renal on CKD ec susp PNC dd/NO. Pasien kemudian
diterapi secara non farmakologis seperti diet dan mobilisasi selama MRS, serta terapi
secara farmakologis dengan IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Omeprazole 1x1 vial, Antasida
syrup 3xC1, Sucralfat syrup 3xC1, Asam tranexamat 3x500mg, dan diberikan tranfusi
PRC 2 kolf atau sampai hb >10, Pasien juga dijadwalkan untuk melakukan endoskopi
agar dapat memastikan penyebabnya.
PEMBAHASAN
Dari uraian kasus di atas ada beberapa hal menarik yang bisa ditinjau. Dimulai dari
perdarahan yang terjadi apakah merupakan perdarahan saluran cerna atas atau bawah.
Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya
hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah,
sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan manifestasi klinik
umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan jernih. 1,2 Pada kasus
ini didapatkan adanya hematemesis dan melena.
Berdasarkan epidemiologi ulkus peptikum didapatkan insidensi jauh lebih
rendah pada perempuan dibandingkan laki – laki dengan perbandingan 2 : 1.1 Ulkus
peptikum dapat dijumpai pada semua umur, namun usia puncak terjadinya ulkus
peptikum adalah 50 – 60 tahun yang mengarah ke kerusakan organ yang disebabkan
oleh turunnya regenerasi sel pada organ salah satunya organ gastrointestinal.2 Pada
kasus ini, pasien seorang laki – laki berumur 60 tahun dimana beresiko dalam
terjadinya ulkus peptikum.
Terjadinya ulkus peptikum dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Dengan
ditemukannya kuman Helicobacter Pylori dianggap merupakan penyebab utama ulkus
peptikum, disamping OAINS. Pada kasus ini tidak didapatkan adanya peningkatan
WBC. Hal ini menunjukkan berarti hematemesis melena e.c ulkus peptikum bukan
karena adanya infeksi Helicobacter Pylori, kemungkinan penyebab terjadinya ulkus
peptikum adalah penggunaan obat rematik (OAINS) jangka lama.3
Banyak kemungkinan penyebab ulkus peptikum. Ulkus peptikum disebabkan
oleh gangguan keseimbangan dari faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif
dibagi menjadi 2 yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Beberapa faktor eksogen
penyebab ulkus peptikum yaitu obat – obatan NSAIDs, alkohol dan infeksi
Helicobacter Pylori.1,5 Helicobacter Pylori sekitar 90% dari tukak lambung dan 75%
dari tukak lambung berhubungan dengan Helicobacter pylori adalah bakteri gram
negative, hidup dalam suasana asam pada lambung atau duodenum. Kemudian sekresi
lambung, normalnya produksi asam lambung kira – kira 20 mEq/jam. Pada penderita
tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Dalam masyarakat yang
paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa lambung dengan
penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat – zat lain dapat menimbulkan
kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan
kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs,
menhambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga
menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi
prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, menurunkan
sekresi mucus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan
duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun. Kedua,
penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan poliferasi sel sel
mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa.hal ini terjadi akibat hambatan
COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi
nekrosis sel epitel. Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang
diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2
menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler
gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan pelepasan mikrovaskular
sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat – obatan
golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyenbabkan terjadinya resiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai.4,5 Pada
kasus yang terjadi pada pasien, penggunaan obat – obatan NSAIDs sudah dilakukan
selama bertahun – tahun dan gejala yang timbul sesuai dengan teori yang ada, yaitu
menimbulkan berak kehitaman dan muntah darah.
Pemeriksaan fisik pada kasus ulkus peptikum tidak ada menunjukkan tanda –
tanda yang spesifik. Pada pemeriksaan fisik pasien ini hanya didapatkan konjungtiva
palpebra pucat menandakan kurang darah.3 Kekurangan darah ini dicurigai akibat
defisiensi vitamin B12. Untuk gambaran umum dari defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat tidak ditemukan. Untuk mengetahui derajat dan penyebab dari
kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan
darah lengkap.4 Pada pasien ini,dilihat dari hemoglobulin, MCV dan MCH maka
pasien ini mengalami anemia berat H-M. Pemeriksaa khusus untuk mengetahui
apakah penyebab anemia hipomikro makrositer tersebut berasal dari defisiensi folat
atau vitamin B12 salah satunya dapat dilakukan pengukuran kadar vitamin B12 serum
dan asam folat serum.
Pada anamnesis pasien juga mengelukan frekuensi kencing yang berkurang
sejak 4 hari SMRS, seharinya pasien BAK sebanyak kurang lebih 3 kali. Dari
pemeriksaan darah juga ditemukan adanya peningkatan kadar serum kreatinin (3,1)
dan BUN (182). Berdasarkan umur, jenis kelamin, keluhan dan pemeriksaan fungsi
ginjal pasien didiagnosis menderita penyakit ginjal kronis. Penyakit ginjal kronik
(PGK) adalah penyakit kerusakan ginjal minimal 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus. PGK dapat menyebabkan berbagai manifestasi
klinis termasuk gangguan gastrointestinal yang berperan terhadap meningkatnya
morbiditas dan mortalitas. Meskipun prevalensi dan insidens gangguan
gastrointestinal pada PGK sulit diperkirakan dan beberapa penelitian melaporkan
hasil berbeda, prevalensi dan insidensnya lebih tinggi dibanding populasi. Gejala
gastrointestinal yang paling sering ditemukan adalah nausea, vomitus, nyeri abdomen,
diare, dan konstipasi. Patogenesis gangguan gastrointestinal pada pasien PGK belum
sepenuhnya diketahui. Beberapa kelainan yang mendasari gangguan gastrointestinal
pada PGK antara lain gastroparesis, lesi saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran
cerna atas dan bawah, angiodisplasia, pankreatitis akut, iskemi mesenterik akut,
nekrosis kolon akibat resin penukar ion.
Jenis lesi saluran cerna bagian atas yang ditemukan secara endoskopis antara
lain hiatus hernia, esofagitis, erosi lambung, erosi duodenum, ulkus duodenum,ulkus
esofagus, dan angiodisplasia. Jenis lesi yang ditemukan secara histopatologik adalah
gastritis superfi sial kronik dan gastritis atrofik. Hiatus hernia lebih banyak ditemukan
pada pasien hemodialisis, sedangkan kelainan lambung meski juga lebih banyak
ditemukan pada pasien dialisis dibanding kontrol tetapi tidak signifikan. Beberapa lesi
saluran cerna bagian atas yang ditemukan antara lain: gastritis, duodenitis, erosi
esofagus, ulkus lambung dan pseudomelanosis duodenum.
Patogenesis lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK belum jelas
diketahui. Salah satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon
gastrin yang meningkat menyebabkan peningkatan produksi asam lambung oleh sel
parietal. Penelitian tentang produksi asam lambung pada pasien PGK melaporkan
hasil yang beragam, mulai dari akloridia hingga hiperkloridia. Meskipun tidak
ditemukan pada semua pasien PGK,peningkatan produksi asam lambung jelas
ditemukan pada sebagian pasien PGK. Hipergastrinemia pada PGK terjadi karena
berkurangnya bersihan hormon gastrin sebagai akibat penurunan LFG, tetapi mungkin
juga karena meningkatnya sekresi hormon gastrin akibat peningkatan densitas sel G
yang terdapat pada PGK. Akloridia diduga merupakan stimulus terjadinya
hipergastrinemia melalui mekanisme umpan balik antara sel G dan rendahnya asam
yang menstimulasi sekresi gastrin.
Infeksi Helikobakter pylori diduga salah satu faktor yang berperan dalam
meningkatnya prevalensi lesi saluran cerna bagian atas pada pasien PGK. Urease yang
dihasilkan H. pylori mengubah urea menjadi amonia. Kadar ammonia lambung yang
tinggi bersifat toksik terhadap epitel lambung dibanding urea. Hiperamonemia
lambung menyebabkan perubahan pada turnoverselular dengan cara menginduksi
apoptosis sehingga memperlambat penyembuhan lesi mukosa. Prevalensi infeksi
H.pylori sendiri dilaporkan bervariasi dengan kisaran 21%-66% pada pasien PGK
dan 35%-75% pada kontrol. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi H. pylori
yang lebih tinggi pada pasien PGK dibandingkan dengan pada populasi umum, tetapi
beberapa penelitian lain melaporkan prevalensi yang lebih rendah. Hal ini mungkin
disebabkan perbedaan metode diagnostik yang digunakan, populasi yang diobservasi,
prevalensi H. pylori pada individu sehat, ciri klinis dan demografis kelompok yang
diteliti, penggunaan antibiotik dan proton pump inhibitor,serta faktor lain yang belum
diketahui.
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu komplikasi PGK yang sering
ditemukan, dan insidens dan mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan pada populasi
normal . Patogenesis perdarahan saluran cerna pada PGK belum jelas, diduga faktor
yang berperan terhadap perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia
terhadap mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia,
penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.
Angiodisplasia adalah malformasi vaskular yang tidak berhubungan dengan sindrom
familial, kelainan kulit ataupun kelainan sistemik manapun, dan merupakan kelainan
vaskular saluran cerna yang paling sering ditemukan pada populasi dengan prevalensi
0,82%. Angiodisplasia sebagai penyebab perdarahan saluran cerna lebih sering
ditemukan pada pasien PGK dibandingkan pada populasi normal dengan prevalensi
berkisar 19-32% pada pasien PGK dan 5% pada populasi. Angiodisplasia juga
merupakan penyebab tersering perdarahan saluran cerna bagian bawah berulang pada
pasien PGK. Etiologi angiodisplasia belum diketahui tetapi berhubungan dengan
proses degeneratif vaskular yang diakselerasi oleh hipooksigenasi mukosa usus akibat
penyakit vaskular perifer aterosklerotik. Diagnosis angiodisplasia paling sering
ditegakkan melalui endoskopi. Sensitivitas kolonoskopi dalam menemukan
angiodisplasia pada kolon yaitu sebesar 81%. Angiodisplasia paling sering ditemukan
di sekum dan kolon asendens. Angiografi mesenterika selektif dapat digunakan pada
kasus perdarahan aktif. Helical CT angiography merupakan teknik pencitraan baru
dan menjanjikan sebagai modalitas diagnostik non-invasif untuk angiodisplasia dan
perdarahan samar saluran cerna, tetapi peran angiografi pada PGK terbatas karena
penggunaan kontras secara intravena. Technetium-( Tc-) labeled scintigraphy juga
dapat digunakan untuk mendeteksi perdarahan akitf namun penggunaannya terbatas
karena sensitivitasnya rendah. Tidak ada tata laksana khusus untuk angiodisplasia
pada PGK. Angiodisplasia dapat diterapi lokal menggunakan argon plasma
coagulation, koagulasi laser, atau koagulasi panas. Jika ada lesi perdarahan besar,
embolisasi atau injeksi vasopresin melalui angiografi dapat digunakan. Untuk kasus
perdarahan rekuren atau persisten meskipun sudah diterapi secara endoskopis, reseksi
secara bedah harus dipertimbangkan. Untuk pasien yang bukan merupakan kandidat
intervensi bedah, estrogen (dengan atau tanpa progesteron) dapat diberikan, akan
tetapi karena efikasi yang masih kontroversial dan efek samping seperti metrorhagia,
ginekomastia, retensi cairan, trombosis, stroke, kanker payudara dan endometrium,
dibutuhkan uji klinis untuk menentukan efi kasi dan keamanan terapi estrogen pada
PGK. Terapi jangka panjang menggunakan octreotide dilaporkan dapat menurunkan
kebutuhan transfusi dan mencegah rekurensi dengan cara menurunkan aliran darah
splanknik.
Perdarahan saluran cerna bagian atas akut lebih sering terjadi pada pasien
PGK dibandingkan dengan populasi normal. Insidensnya diperkirakan lebih dari 21
kasus perdarahan setiap 1000 orang setiap tahunnya dengan risiko mortalitas yang
tinggi. Diperkirakan perdarahan saluran cerna bagian atas akut menyebabkan 3-7%
kematian pasien gagal ginjal. Merokok, disabilitas, dan riwayat penyakit
kardiovaskular merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada
gagal ginjal, sedangkan faktor risiko lain yang biasa dihubungkan dengan perdarahan
saluran cerna seperti penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin,
dan antikoagulan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan saluran
cerna bagian atas pada pasien gagal ginjal.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah baik akut maupun kronik pada gagal
ginjal tidak banyak dilaporkan, tetapi adenoma, karsinoma, dan angiodisplasia lebih
sering ditemukan pada pasien PGK dibandingkan dengan populasi. Prevalensi lesi
kolon lainnya meningkat pada populasi tertentu saja; contohnya, prevalensi
divertikulosis pada pasien PGK, tidak lebih tinggi dibandingkan pada populasi, tetapi
prevalensi divertikulosis dan diverticulitis pada penyakit ginjal polikistik justru lebih
tinggi daripada populasi.
Perdarahan saluran cerna kronis biasanya diketahui dengan uji darah samar
tinja. Prevalensinya pada pasien PGK diperkirakan sekitar 19%. Lokasi tersering
perdarahan saluran cerna kronis bagian atas adalah duodenum, dan lesi duodenum
ditemukan pada 61% pasien gagal ginjal. Pada saluran cerna bagian bawah, lokasi
perdarahan kronis tersering adalah kolon proksimal. Angiodisplasia dan erosi saluran
cerna merupakan penyebab terseringperdarahan saluran cerna kronis bagian atas,
sedangkan neoplasma merupakan penyebab sering perdarahan kronis saluran cerna
bagian bawah.
Divertikulosis merupakan salah satu penyebab paling sering perdarahan
saluran cerna bagian bawah pada pasien gagal ginjal. Divertikulosis berkontribusi
menyebabkan 30-50% kasus perdarahan saluran cerna bagian bawah pada populasi.
Insidens perdarahan saluran cerna bagian bawah karena divertikulosis pada pasien
gagal ginjal sama dengan populasi. Akan tetapi insidens perdarahan divertikular pada
pasien penyakit ginjal polikistik dewasa yang menjalani dialisis rumatan lebih tinggi
yaitu sekitar 83% pada suatu penelitian dan 50% pada penelitian lainnya. Sembilan
puluh persen (90%) divertikuli ditemukan dikolon sebelah kiri, dengan lokasi
tersering yaitu pada kolon sigmoid, tetapi sebanyak 50% perdarahan disebabkan oleh
divertikuli pada kolon sebelah kanan. Penyebab pasti terbentuknya divertikulosis
belum jelas, tetapi dipikirkan karena diskinesia usus dan peningkatan tekanan
intralumen kolon. Faktor risiko terbentuknya divertikulosis meliputi kurangnya
konsumsi serat, konstipasi dan obesitas. Modalitas diagnostik awal pilihan untuk
mengevaluasi divertikulosis adalah kolonoskopi. Jika endoskopi tidak mungkin atau
tidak dapat menegakkan diagnosis, dynamic enhanced helical CT Scan dapat
digunakan. Selain itu,contrast-enhanced magnetic resonance angiography (MRA)
dapat digunakan untuk mendeteksi divertikuli berdarah dengan sensitivitas dan spesifi
sitas 100% dibandingkan skintigrafi nuklir yangvsensitivitas dan spesifisitasnya 78%
dan 72%. Selain bersifat diagnostik, kolonoskopi juga bersifat terapetik jika
divertikuli yang berdarah telah diidentifi kasi. Arteriografi dengan pemberian
vasopresin ataupun embolisasi hanya digunakan untuk pasien yang tidak mungkin
menjalani endoskopi, pasien dengan perdarahan berulang atau menetap, dan hasil
kolonoskopi yang tidak diagnostik, mengingat embolisasi dapat berisiko
menyebabkan infark. Laparotomi eksplorasi dengan kolektomi parsial ataupun total
dianggap teknik diagnostik defi nitif jika divertikuli yang berdarah sulit diidentifikasi
dengan teknik lainnya.
Dalam penananganan pasien dengan ulkus peptikum dibagi menjad 2 terapi
yaitu terapi non medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non
medikamentosa terdiri dari istirahat, diet, menghindari faktor agresif terjadinya ulkus
peptikum (merokok, alkohol, dan obat - obatan) sedangkan terapi medikamentosa
terdiri dari antasida dan obat – obatan penangkal kerusakan mucus (koloid
bismuth,sukralfat,prostaglandin, antagonis reseptor H2/ARH2, proton pump
inhibitor/PPI).6 Pada kasus ini penanganan dari pasien dengan ulkus peptikum sesuai
degan teori yaitu pasien MRS, diberikan diet bubur saring, asam traneksamat,
antasida, sukralfat, ,Omeprazole, dan tranfusi PRC untuk keluhan anemia
sebelumnya.
Untuk mendiagnosis pasti ulkus peptikum perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang endoskopi saluran cerna atas yaitu esofagogastrodudodenoskopi untuk
melihat langsung mukosa dari saluran pencernaan. Endoskopi gastrointestinal atas
digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui
endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi
telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan radiologis karena ukuran atau lokasinya.6 Pada pasien ini, perlu
dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat apakah benar ulkus peptikum
sebagai penyebab dari hematemesis dan melena serta dapat menyingkirkan diagnosis
lainnya.
Ringkasan
Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di
sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Hematemesis adalah
muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan
indikasi adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA) . Pada perdarahan
saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau
melena serta aspirasi nasogastrik didapat adanya darah . Anamnesis awal pasien
datang dengan keluhan bab kehitaman, disertai mual muntah. Dikatakan muntah
disertai darah dan ampas makanan. Pasien mengatakan sering mengalami nyeri pada
persendian sehingga pasien mengkonsumsi obatnyeri sendi, kemungkinan obat yang
di konsumsi adalah NSAID, penggunaan NSAID dapat menyebabkan kerusakan pada
mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menhambat kerja dari enzim
siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi
prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada
penggunaan NSAID. Pada pemeriksaan fisik didapatkan wajah pasien tapak pucat,
conjungtiva mata pucat, pada pemeriksaan RT didapatkan feses kehitaman. Dari
pemeriksaan penunjang Didapatkan HGB, MCV dan MCH menurun, Ureum dan
creatinin meningkat. Berdasarkan pemeriksaan fungsi ginjal pasien menderita
penyakit ginjal kronis. Penyakit hinjal kronis merupakan salah satu faktor predisposisi
yang menyebabkan terjadinya perdarahan saluran cerna. Patogenesis perdarahan
saluran cerna pada PGK belum jelas, diduga faktor yang berperan terhadap
perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran
cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan antiplatelet
dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas 2009. Pathophysiology
and Treatment of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy.
Available at Pendahuluan.pdf. FKM Universitas Indonesia. Access on 25 Mei
2015.
2. Abdulrahman IS, Al-Quorain AA. Prevalence of gastroesophageal refl ux
disease and its association with Helicobacter pylori infection in chronic renal
failure patients and in renal transplant recipients. Saudi J Gastroenterol 2008.
Access on 24 Mei 2015
3. Kawaguchi Y, Mine T, Kawana I, Yasuzaki H, Kokuho T, Toya Y, dkk.
Gastroesophageal refl ux disease in chronic renal failure patients : evaluation
by endoscopic examination. Tokai J Exp Clin Med. 2009;34(3):80-3. Access
on 24 Mei 2015
4. Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I,
Tukak Gaster; Tukak Duodenum. 2010. Jakarta.
5. Schafer Theodore W. Peptic Ulcer Disease. The American College of
Gastroenterology, Bthesda, Maryland.
6. Wenas NT. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. In :
Simadibrata MK, Abdullah M, Syam AF, editors. The 4th international
endoscopy workshop & international symposium on digestive disease.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI; 2009. p. 83-4.