rhinosinusitis dgn polip

83
TUTORIAL RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN POLIP HIDUNG Danil Anugrah Jaya (2008730007) Herdy Rizky Susetyo (200873000 ) BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2013 Pembimbing : dr. Dian Nurul al

description

rino

Transcript of rhinosinusitis dgn polip

TUTORIAL

RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN POLIP HIDUNG

Danil Anugrah Jaya (2008730007)

Herdy Rizky Susetyo (200873000 )

Rika Enjelia (200873000 )

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tuorial ini yang berjudul:

Rinosinusitis Kronis dengan polip hidung Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan tutorial ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan tutorial ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tutorial ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Jakarta, Juli 2013

Penulis

DAFTAR ISI

iLEMBAR PENGESAHAN

iiKATA PENGANTAR

iiiDAFTAR ISI

1PENDAHULUAN

11.1. Latar Belakang

21.2. Tujuan Penulisan

21.3. Teknik Pengumpulan referensi

21.4. Sistematika Penulisan

3ISI

3II.1. Definisi

3II.2. Anatomi Sinus

5II.3. Patogenesa

7II.4. Etiologi

8II.5. Klasifikasi

8II.6. Gejala dan Diagnosis

14II.7. Komplikasi sinusitis

17PENUTUP

18DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Rhinosinusitis merupakan suatu proses infalamasi yang melibatkan mukosa dari nasal dan satu atau lebih sinus paranasal. Mukosa dari nasal dan sinus-sinus paranasal membentuk suatu ikatan atau kountinuitas bentuk dan dengan demikian lebih sering mucosa dari sinus paranasal akan terlibat jika terdapat suatu penyakit atau kelainan primer yang diakibatkan suatu proses peradangan dari mukosa nasal. Akut rhinosinusitis yang diakibatkan suatu infeksi virus sering berhubungan dengan selesma atau common cold dimana hal tersebut paling sering diakibatkan oleh infeksi virus. Hal ini sering sekali ditemukan atau dihadapi oleh dokter umum, dokter spesialis paru, dan dokter spesialis THT diseluruh dunia.

Hal tersebut telah diestimasi atau diperhitungkan, dimana anatara 30% dan 50% dari keseluruhan pasien yang dokter keluarga temukan menderita beberapa bentuk rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit yang paling sering dilaporkan secara konstitusi sekitar 14% ( 30 juta) kasus di Amerika menurut departemen sensus dimana secara estimasi biaya sekitar 5.78 juta dollar Amerika dikeluarkan per tahun. Dengan rata-rata dewasa muda mengalami serangan sekitar 2-5 kali dalam 1 tahun dengan grup yang paling tinggi diantara usia 3 dan 6 tahun.

European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps (EPOS) pada tahun 2012 menetapkan ke dalam 3 inti yaitu, definisi secara klinik, definisi secara studi epidemiologi, dan definisi berdasarkan simptom tanpa pemeriksaan THT dan radiologi. Rhinosinusitis akut ditetapkan sebagai suatu serangan mendadak dua atau lebih simptom, salah satunya harus suatu bentuk obstruksi/kongesti/blokade dari nasal atau keluarnya kotoran dari nasal (anterior/post nasal drip), dengan atau tidak nyeri fasial dan rasa tertekan, hilang atau berkurangnya penciuman lebih dari 12 minggu, baik itu deisertai dengan polip atau tidak disertai dengan polip.

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam pembahasan tutorial ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat suatu massa di rongga hidung merupakan polip atau bukan selain perlu dikuasai anatomi dari hidung juga perlu dimengerti serta dikuasai beserta dengan tata cara pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam tutorial ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan pada polip nasi dan secara keseluruhan mengenai keluhan pada pasien.

1.3. Teknik Pengumpulan referensiDalam penyusunan tutorial ini, metode pengumpulan referensi yang digunakan adalah secara tidak langsung melalui kepustakaan yaitu buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berhubungan dengan judul dari referat ini yaitu obstruksi saluran pernapasan atas.

1.4. Sistematika PenulisanTutorial ini disusun secara sistematis mulai dari bab pendahuluan yang membahas latar belakang, tujuan penulisan, teknik pengumpulan referensi dan sistematika penulisan. Kemudian diikuti bab pembahasan yang akan menjelaskan tentang toipk. Terakhir bab III yang merupakan bab penutup yang akan disimpulkan mengenai pembahasan pada bab II serta kritik dan saran juga akan disampaikan pada bab III tersebut.

BAB IIISIPERTANYAAN

Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal ?

Pengertian rinosinusitis & polip Hidung?

Apa penyebab ?

Bagaimana patofisiologi?

Bagaimana pembagian klasifikasi pada rinosinusitis & stadium pada polip hidung?

Bagaimana tanda dan gejala rinosinusitis & Polip Hidung?

Bagaimana penatalaksanaanrinosinusitis & Polip hidung?

Komplikasi rinosinusitis & Polip hidung?

II.1. Anatomi

2.1.1 Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1

Gambar 5. Anatomi hidung luarHidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 6. Anatomi tulang hidung

2.1.2 Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. 1Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. 1Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 1

Gambar 7. Anatomi Hidung Dalam

2.1.3

Batas Rongga HidungDinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lemoeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. 12.1.4Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. 1

Gambar 8. Kompleks Osteomeatal

2.1.5Suplai Darah (Vaskularisasi Hidung)

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. 1Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 1Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 1

Gambar 9. Pembuluh Darah Hidung2.1.6Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. 1Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1

Gambar 10. Persarafan Hidung

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 12.1.7Sistem MukosiliarSeperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran ttanspor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. 12.1.8 Sistem Limfatik

Suplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka. 1Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna. 1

2.1.9Sinus Paranasal

Gambar 11. Sinus Paranasal

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. 1Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid. 1a. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupaka sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah:1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M22. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnyaSinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertamaberkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka. 1Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal denganpuncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbitalberjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum. 1Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum samadengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitupremolar dan molar. 1Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan cabang dari n. infraorbita. 1Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakangprocessus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi. 1b. Sinus Ethmoidalis

Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh selposterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidakdapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anteriordiatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa. 1Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring (15). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelahmedial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan berat antara atapmedial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior berbatasandengan sinus sfenoid. 1Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis melaluin.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal. Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih sedikit dalamjumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus. 1Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentukoleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea. 1c. Sinus Frontalis

Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagianbesar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun. 1Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. Dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anteriorlebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata. 1Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear. 1d. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidakberkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun. 1Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangatbervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperiordari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm). Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkatpneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus. 1Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus. 1II.2Histologi Hidung

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). 1Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified collumner ephitelium) dan di antaranya terdapat sel sel goblet.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated ephitelium ). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna cokelat kekuningan. 1Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. 1Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusioid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. 1II.3Fisiologi

2.3.1 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. 2a. Sebagai Jalan Napas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2

Gambar 12. Proses Inspirasi

b. Pengatur Kondisi Udara

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. 2Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya. 2Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. 2c. Sebagai Penyaring Dan Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme. 2d. Indra Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 2e. Resonansi Suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 2f. Proses Bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. 2g. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 2

2.3.2 Fisiologi Sinus Paranasal

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinusparanasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantupengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak, membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan muka. 2a. Mengatur Kelembaban Udara Inspirasi

Menurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi untukmelakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dankemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwabernafas dengan mulut dapat menurunkan volume akhir CO2 yang dapatmeningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea. 2Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untukmemanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus danrongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untukpertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak memilikivaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2b. Penyaringan Udara

Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imunatau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiridari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yangpaling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studimenunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telahkita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000 ppbdimana beberapa peneliti sudah berteori tentang sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia. 2Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkandengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yangturut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,merupakan tempat yang paling strategis. 2c. Fungsi Sinus Lainnya

Sinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangiberat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwaposisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Fungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.1II.4. RinosinusitisDefinisi

Rinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon peradangan membran mukosa sinus paranasalis, yang biasanya dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis. Sehingga besar infeksi sinus paranasalis bersifat rinogen dan rinitis sering diiringi oleh perubahan pada sinus, istilah rinosinusitis saat ini merupakan istilah yang lebih sidukai untuk sinusitis, khususnya pada anak-anak dimana penyakit ini terlihat sebagai satu kesatuan penyakit yang sama.3 Epidemiologi

Rinosinusitis merupakan penyakit yang umum dijumpai dalam praktek sehari-hari. rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hingga 30 % individu di Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode rinosinusitis dalam hidupnya.3,4Insiden dan prevalensi rinosinusitis sebenarnya tidak diketahui secara pasti pada beberapa kasus. Perkiraan prevalensi rhinosinusitis akut didasrakan pada hasil Ct scan yang menunjukkan bahwa 90% terjadi pada pasien yang pilek karena virus dan bakteri bersamaan. Setiap tahun, anak-anak dan orang deawasa rata-rata antara 6 dan 8 atau 2 sampai 3 mengalami infeksi saluran peranfasan atas. Oleh karena itu , lebih dari 1 milliar kasus rinosinusitis terjadi setiap tahun. 4

Bila suatu rinosinusitis merupakan peradangan dari lapisan mukosa hidung dan sinus paranasalis, maka dapatlah dikatakan bahwa rinosinusitis dapat terjadi pada setiap infeksi saluran nafas atas .Tetapi pada anak-anak dimana rongga sinus paranasalis relatif kecil dengan ukuran ostium sinus paranasalis yang relatif besar, maka tidak terdapat retensi sekret, sehingga meskipun terjadi rinitis karena virus yang dapat meluas ke lapisan mukosasinus paranasalis mukus yang terdapat dalam rongga sinus akan dengan cepat dikeluarkan oleh gerakan silia. Oleh karena itu pada anak-anak usia 2 3 tahun jarang timbul masalah klinis. Infeksi dari sinus paranasalis lebih mungkin terjadi pada anak yang lebih besar, namun demikian ini tidak berarti bahwa insiden infeksi sinus paranasalis pada anak-anak lebih jarang daripada orang dewasa karena anak-anak lebih sering terkena infeksi saluran nafas atas daripada orang dewasa.4Etiologi

Faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya rinosinusitis adalah : Udem mukosa hidung : infeksi saluran nafas atas rinitis alergi, rinitis non alergi, merokok, berenang. Obstruksi mekanik : hipertofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi, trauma, benda asing, neoplasma. Faktor tersering adalah infeksi saluran nafas atas oleh virus rinitis alergi. Udem mukosa hidung merupakan karakteristik infeksi akut atau rinitis alergi yang mengakibatkan obstruksi ostium, penurunan kerja silia dalam sinus paranasalis dan meningkatnya produksi mukus serta kekentalannya. Ritis non alergi dapat mengalami efek yang serupa dengan rinitis alergi. Faktor fisiologis dapat menjadi faktor predisposisi terkena rinosinusitis. Misalnya, rokok yang memiliki efek yang sangat besar karena dapat meningkatkan produksi mukusdan memperlambat gerak silia.5Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di alam rumah dimana salah satu atau kedua orang tuanya merokok, mengalami peningkatan insiden kelainan pernafasan dan rinosinusitis. Obstruksi mekanis juga dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk terkena rinosinusitis. Beberapa keadaan seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi, trauma, benda asing dan neoplasma harus dikesampingkan dengan pemeriksaan endoskopi pada pasien rinosinusitis berulang. Pada anak, hipertrfi adenoid merupakan factor terpenting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoktomi utnutk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid da[at didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. 1,5Tabel

Faktor Penyebab Rinosinusitis.7

Faktor LingkunganInfeksi Microbial pathogen

Alergi/atopi/asma

Polusi udara

Faktor AnatomiKonka bullosa

Deviasi septum

Gangguan Mukosiliar

Penyakit SistemikGanngguan genetic

Immunodefisiensi

Gangguan metabolic

Refluks laringofaringeal.

Resistensi Obat-obatan

Cemas dan Depresi

Telah diketahui bahwa berbagai factor fisik, kimia, saraf, hormonal, dan emosiaonal dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam derajat yang lebih rendah. Secara umum sinusitis kronik lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan penyakit sistemik perlu dipertimbangkna dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam factor-faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembaba, dan keekeringan,, demikaina pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan predisposisi infeksi.Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. 6Klasifikasi dna Mikrobiologi

Rinosinusitis diklasifikasikan menjadi :

Akut : infeksi yang berlangsung dengan batas sampai 4 minggu, dan dibagi menajdi gejala yang berat dan non berat.

Akut berulang : berlangsung 4 atau lebih episode dalam 1 tahun.

Subakut : berlangsung antara 4 sampai 12 minggu, dan meupakan transisi anatara infeksi akut dan kronis.

Kronik : Jika lebih dari 12 minggu.

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya factor predisposisi hars dicari dan diobati secara tuntas. 5

Menurut beberapa penelitian, bakteri utaama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), H.influenzae (20-40%), dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak , M,catarrhais lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik , factor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong kea rah bakteri negarif gram dan anaerob.1,6Patogenesis

Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung -> pembengkakan (udem) dan eksudasi -> obstruksi (blokade) ostium sinus - gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang ada di rongga sinus -> hipoksi (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif) -> permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat -Mransudasi, peningkatan eksudasi serus, penurunan fungsi silia -> retensi sekresi di sinus a pertumbuhan kuman. Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibatdari colds (infeksi virus) dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Sekitar 0,5% - 5% dari rinosinusitis virus (RSV) pada dewasa berkembang menjadi rinosinusitis akut bakterial, sedangkan pada hanya sekitar 5 % - 10% saja. 5

Peneliti lain mengatakan, infeksi saluran napas atas akut yang disertai komplikasi rinosinusitis akut bakterial tidak lebih dari 13%. Bakteri yang paling sering dijumpai pada rinosinusitis akut dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus influenzae, sedangkan pada anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaero-philic streptococci), dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat. Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi virus. 5

Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat. Inflamasi yang berlangsung iama (kronik) sering berakibat penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehinggastium sinus makin buntu. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan-mengarah pada rinosinusitis kronik (gambar 5). Bakten yang sering dijumpai pada rinosinusitis kronik adalah Staphylococcus coagulase negative (51%), Staphylococcus aureus (20%), anaerob (3%), Streptococcus pneumoniae, dan bakteri yang sering dijumpai pada rinosinusitis akut bakterial.7Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. 7Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. 7Gejala KlinisRiwayat pasien sangat penting dalam rinosinusitis kronis (CRS) karena tumpang tindih luas antara gejala sinus dan proses penyakit lainnya, serta korelasi yang minim antara gejala dan temuan endoskopi dan radiografi.8Pasien dengan sinusitis kronis dapat disertai dengan gejala berikut:

Kongesti nasal / Obstruksi nasal

Nasal discharge (dapat ditemukan berbagai karakter mulai dari sekret yang tipis ke tebal hingga purulen)

Postnasal drip

Rasa penuhan wajah, rasa tertekan, dan sakit kepala

Batuk produktif kronis

Hyposmia

Sakit tenggorokan

Nafas berbau busuk

Anoreksia

Eksaserbasi asma

Sakit gigi

Gangguan visual

Sneezing / Bersin

Telinga Tersumbat

Demam yang tidak diketahui

Sinusitis kronis memiliki manifestasi gejala dan tanda yang lebih ringan daripada sinusitis akut. Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri / rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu, dalam sinusitis kronik pun masih dapat ditemukan gejala demam namun dalam level yang lebih ringan. Keluhan nyeri atau rasa tertekan didaerah sinus terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,nyeri pada wajahbiasanya ada dalam sinusitis kronis. Nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri didahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan diverteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. 9Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia dimana anak yang lebih tua mungkin mengeluh hilangnya rasa akibat sumbatan hidung terkait dan anosmia., halithosis. Dalam pengaturan pediatrik, halitosis dilaporkan lebih sering oleh orang tua dari anak-anak muda, Sumbatan hidung dengan pernapasan mulut dan sakit tenggorokan yang terkait dapat hadir, postnasaldrip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas, sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, gejala nokturnal mungkin termasuk mendengkur dan batuk karena postnasal drip terkait sehingga terdapat batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara Tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-brnkhitis), bronkhiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis. 9Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 9Penggalian pada anamnesis pasien harus fokus pada faktor-faktor kunci berikut, dimulai dengan pertimbangan kriteria diagnostik mayor dan minor: Kehadiran gejala utama (termasuk drainase purulen anterior hidung, bernanah-berubah warna pada drainase hidung posterior, obstruksi atau penyumbatan hidung, kongesti wajah, nyeri pada wajah atau tekanan, dan hyposmia atau anosmia).

Kehadiran gejala minor (termasuk sakit kepala, sakit telinga atau kepenuhan, halitosis, sakit gigi, batuk, demam,lemas).

Durasi gejala

Memperburuk dan menghilangkan faktor-faktor

Sejarah hidung sebelumnya atau bedah sinus paranasal

Obat yang diberikan apabila diberikan

Perawatan sebelumnya dan durasi

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada pasien dengan sinusitis kronis dapat menampaka berbagai temuan klinis. Hal ini harus mencakup pemeriksaan fisik kepala lengkap dan pemeriksaan leher (limfadenopati) untuk memastikan diagnosa dan untuk menyingkirkan gangguan yang lebih serius.10 Pemeriksaan fisik dengan :

Inspeksi : Memperhatikan ada atau tidaknya pembengkakan pada daerah muka. Pembengkakan dipipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan suatu bentuk sinusitis maksila akut. Pembengkakan dikelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses. 10

Palpasi : Palpasi sinus dilakukan untuk mengevaluasi nyeri atau bengkak. Sakit atau nyeri tekan didasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita pada palpasi atas sinus frontalis atau maksilaris dapat dicatat.Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunujukkan adanya sinusitis maksila. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan didaerah kantus medius.10 Transiluminasi sinus maksilaris atau frontal mungkin berguna, tidak memiliki sensitivitas tetapi mungkin memiliki nilai di tangan berpengalaman. 10 Pemeriksaan kavum oris atau rongga mulut dserta orofaring pemeriksaan digunakan untuk mengevaluasi integritas langit-langit atau palatum dan kondisi gigi dan untuk mencari bukti postnasal drip. Eritema orofaringeal dan sekresi purulen dapat dicatat. Karies dentis pun mungkin ditemukan dan dicatat. 10 Rhinoskopi anterior, dengan menggunakan spekulum hidung, digunakan untuk mengevaluasi kondisi mukosa hidung dan mencari drainase purulen atau bukti polip hidung atau massa lainnya. Faktor lain untuk sinusitis kronik yang dapat dievaluasi adalah deviasi septum hidung dan konka hipertrofi. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau dimeatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). Pada rhinosinusitis akut, mukosa edema, dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius. Pemeriksaan hidung harus dilakukan baik sebelum dan sesudah penggunaan dekongestan topikal. 10 Pemeriksaan hidung dapat dilengkapi dengan menggunakan nasal endoskopi (jika tersedia). Endoskopi (rhinoscopic) temuan pemeriksaan meliputi:1. Nasal eritema mukosa, edema2. sekresi purulen3. Sumbatan hidung karena deviasi septum hidung atau turbinates hipertrofi4. polip nasal

Imaging Nose and Sinus Paranasal

Prosedur Pencitraan atau prosedur imaging adalah alat penting dalam diagnostik penyakit rhinologis. Selain radiografi konvensional sinus, yang paling penting disini ialah modalitas pencitraan saat ini ialah Computed Tomography dan pencitraan magnetic resonance imaging.11Radiografi konvensional

Indikasi

Radiografi Standar sinus paranasal berupa proyeksi occipitomental proyeksi dan Proyeksi occipitofrontal atau disebut juga proyeksi Caldwell masih rutin diperoleh, khususnya di kasus peradangan akut. Mereka juga memperoleh untuk mengevaluasi fraktur tengah wajah. 11Nilai Diagnostik

Nilai radiografi sinus secara inheren dikompromikan dengan adanya superimposed structured struktur yang ditumpangkan. Jika operasi sebelumnya telah dilakukan pada sinus paranasal, interpretasi rontgen lebih lanjut terhambat oleh jaringan parut, yang dapat memberikan gambaran opasitas dari sinus. Kadang-kadang sulit untuk mengevaluasi sinus sphenoid di Proyeksi occipitomental. Jika ada indeks tinggi kecurigaan keterlibatan sinus sphenoid, proyeksi sinus lateralis. Luasnya Kraniokaudal sinus frontal dan maksila juga dapat dievaluasi dengan teknik ini. 11

Computed Tomography (CT)

Indikasi

Selain malformasi, indikasi utama untuk CT scan hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronis, trauma (terutama frontobasal patah tulang), dan tumor. CT scan sinus terganggu oleh gigi palsu mengandung logam, yang menyebabkan balok-pengerasan artefak yang secara signifikan dapat menurunkan kualitas gambar. 11Scan Planes

Computed tomography dapat memberikan nonsuperimposed gambar utama dari sinus paranasal di koronal dan bagian aksial. Gambar Sagital dapat direkonstruksi sekunder dari aksial atau scan koronal, tetapi mereka memiliki kualitas yang lebih kurang. 11

Scan Acquisition

Scan dapat diperoleh dengan menggunakan sekuensial, singleslice Teknik (CT konvensional) atau spiral terus menerus Teknik (spiral atau heliks CT). Keuntungan dari CT spiral adalah cakupan yang lengkap tanpa interslice kesenjangan ("Volume scan") dan waktu pemeriksaan yang lebih pendek (sekitar 20 detik), membuat gambar kurang rentan untuk pernapasan dan gerak artefak. 11Dokumentasi

Gambar CT didokumentasikan pada film radiografi harus menempati seluruh frame, hanya menampilkan struktur yang relevan untuk membuat interpretasi. Interpretasi Biasanya aerasi sinus paranasal menunjukkan kerapatan udara pada CT scan-i.e., mereka tampak hitam. Normal lapisan mukosa sinus tidak divisualisasikan. Itu Dinding sinus tulang muncul hyperdense (putih). 11

Magnetic Resonance Imaging

Indikasi

Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki sedikit indikasi dibandingkan CT pada pasien dengan penyakit sinus paranasal. Hal ini terutama karena MRI dalam kenyataan lebih rendah daripada CT dalam mendefinisikan batas-batas tulang dari sinus. Kekuatan MRI terletak pada diskriminasi jaringan lunak unggul. MRI diindikasikan pada penyakit yang melibatkan sinus paranasal di samping rongga atau orbit tengkorak (misalnya, tumor dan kongenital malformasi seperti encephaloceles). Hal ini juga dapat memberikan informasi yang berguna dalam membedakan lesi jaringan lunak di dalam sinus paranasal (Mucocele, kista, polip), dan dapat membedakan antara jaringan tumor solid dan reaksi inflamasi perifocal. 11Kontraindikasi

Sebelum memesan pemeriksaan, dokter harus mempertimbangkan prinsip fisik dasar MRI-yaitu, pemanfaatan medan magnet dan frekuensi radio energi. Saat ini, MRI merupakan kontraindikasi pada kebanyakan pasien dengan perangkat dikendalikan secara elektrik seperti jantung alat pacu jantung, pompa insulin, pompa sitostatik, atau koklea implan. Sebaliknya, modern bahan fiksasi internal seperti titanium biasanya bukan magnetik dan Oleh karena itu MRI-kompatibel. 11

Sinoskopi

Pemeriksaan ke dlaam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat dimeatus inferior atau difosa kanina. 11Penatalaksanaan

Tujuan terapi sinusitis adalah :

1. Mempercepat penyembuhan

2.Mencegah komplikasi

3.Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi pada sinus-sinus paranasal menjadi pulih secara alami. 12 Antibiotik dan dekongestan

Antibiotika serta pengunaan dekongestan merupakan terapi pilihan utama pada pengobatan yang ditujukan untuk sinusitis akut bacterial, bertujuan untuk menghilangkan serta mengeliminasi imfeksi dan inflamasi atau pembengkakan pada mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibotik yang dipilih adalah golongan penicillin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka pilihan terapi antibiotika dapat diberikan amiksisilin klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke -2 . Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang seuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain juga dapat diberikan jika diperlukan, sperti analgetik, mukolitik, stroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl. Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergikny ynag dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaikanya diberikan antihistamin generasi ke -2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tamabahan yang dapat bermanfaat. Imumoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.12 Tindakan Operasi

Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau distandarisasi, terutama pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat membuta (blinding/ masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan dengan masalah etik kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalahsangat sulit untuk memperoleh kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat dibandingkan untuk menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. 12Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitia kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hamper semua jenis bedah sinus terdahulu karena meberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kroni disertai kista atau kelaianan yang irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur. 12 Tatalaksana Rinosinusitis berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS )2012 :12

Skema managemen rinosinusitis akut pada pediatri untuk pelayanan primer

Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadii pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.13 Komplikasi Orbital Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita,abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.

Komplikasi Intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural , abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus. Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa : Osteomielitis dan abses subperisotal.

Kelainan Paru

Sperti bronchitis kronik dan bronkhiektasis. Adanya kelaian sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sebagai sino-bronkhitis. Selain itu juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan. 13

Pencegahan

Untuk menghindari mengembangkan sinusitis selama serangan dingin atau alergi, menjaga sinus Anda jelas dengan: 13 Menggunakan dekongestan oral atau kursus singkat semprot hidung dekongestan Menghindari perjalanan udara. Jika Anda harus terbang, menggunakan dekongestan nasal spray sebelum lepas landas untuk mencegah penyumbatan sinus memungkinkan untuk mengalirkan lendir. menghindari penyelaman mendalam dalam kolam renang dapat membantu mencegah infeksi sinus. Jika Anda memiliki alergi, cobalah untuk menghindari kontak dengan hal-hal yang memicu serangan. Jika Anda tidak bisa, gunakan antihistamin over-the-counter atau resep dan / atau obat semprot hidung resep untuk mengendalikan serangan alergiPrognosis

Karena ini adalah suatu keadaan atau kondisi yabng persisten, sinusitis kronis dapat menjadi penyebab suatu bentuk morbiditas yang signifikan. Jika tidak diobati, dapat mengurangi kualitas hidup dan produktivitas orang yang memiliki suatu bentuk sinusitis kronik.Sinusitis kronis dikaitkan dengan eksaserbasi asma dan komplikasi yang serius seperti abses otak dan meningitis, yang dapat menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. 14Pengobatan dini dan agresif untuk sinusitis kronis biasanya menghasilkan hasil yang memuaskan. Bedah sinus endoskopi fungsional (FESS) mengembalikan kesehatan sinus dengan bantuan lengkap atau sedang gejala pada 80-90% pasien dengan berulang atau tidak responsif medis sinusitis kronis. 14Sinusitis kronis jarang mengancam kehidupan, meskipun komplikasi serius dapat terjadi karena dekat dengan orbita dan rongga tengkorak. Sekitar 75% dari semua infeksi orbital secara langsung berhubungan dengan sinusitis. Komplikasi intrakranial tetap relatif jarang, dengan 3,7-10% infeksi intrakranial berhubungan dengan sinusitis14II. 5. Polip HidungDefinisiDidefinisikan secara luas, polip hidung adalah lesi abnormal yang berasal dari setiap bagian dari mukosa hidung atau sinus paranasal. Polip adalah hasil akhir dari berbagai proses penyakit pada rongga hidung. Polip paling sering dibahas adalah lesi jinak hidung semitransparan yang timbul dari mukosa rongga hidung atau dari satu atau lebih dari sinus paranasal, sering pada saluran keluar dari sinus. 1Beberapa polip dapat terjadi pada anak dengan sinusitis kronis, rhinitis alergi, cystic fibrosis (CF), atau sinusitis jamur alergi (AFS). Sebuah polip individu bisa menjadi polip antral-choanal, polip besar jinak, atau tumor jinak atau ganas (misalnya, encephaloceles, glioma, hemangioma, papiloma, remaja angiofibromas nasofaring, rhabdomyosarcoma, limfoma, neuroblastoma, sarkoma, Chordoma, karsinoma nasofaring, papiloma pembalik). Mengevaluasi semua anak dengan poliposis hidung beberapa jinak untuk CF dan asma. 1EtiologiEtiologi polip tidak diketahui. Beberapa teori mempertimbangkan polip akibat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan peradangan kronis pada hidung dan sinus hidung ditandai dengan edema stroma dan variabel menyusup seluler. Sementara banyak aspek telah didokumentasikan untuk mendukung teori ini, penyebab awal masih belum diketahui dan mungkin berbeda dalam banyak kasus. 2,3Secara historis telah diasumsikan bahwa alergi cenderung untuk polip karena gejala-gejala dari rhinorrhea berair dan bengkak mukosa hadir dalam kedua penyakit bersama dengan kelimpahan eosinofil dalam sekresi hidung. Namun, studi epidemiologi memberikan sedikit bukti untuk mendukung hubungan dengan polip ditemukan hanya 1% -2% dari pasien dengan tes tusuk kulit positif. Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa polip tidak lebih umum pada orang atopik. Penelitian telah menunjukkan bahwa bagaimanapun total dan IgE spesifik serta fitur histologis lainnya alergi-jenis polip yang berhubungan dengan tes tusuk kulit positif tetapi tidak berkorelasi dengan tingkat eosinofil. Oleh karena itu tetap mungkin bahwa mekanisme alergi lokal dengan tidak adanya fitur sistemik dapat memainkan peran dalam patogenesis polip. 2,3Banyak penelitian telah difokuskan pada eosinophilic mediator dalam jaringan polip dan menunjukkan bahwa jenis sel yang berbeda menghasilkan mediator ini. Interleukine-5 (IL-5) telah ditemukan secara signifikan dibesarkan di polip dibandingkan dengan kontrol sehat dan konsentrasi IL-5 adalah independen dari status atopik pasien (Bachert et al, 2001). Peran kunci dari IL-5 adalah mendukung porting oleh temuan bahwa perawatan jaringan polip eosinofil-disusupi dengan menetralisir anti-IL-5 antibodi monoklonal menghasilkan eosinofil apoptosis. Peraturan dari IL-5 reseptor juga telah diteliti dengan regulasi bawah yang ditemukan terjadi di polip, terutama berkaitan dengan asma. 2,3Hubungan antara poliposis dan kultur jamur telah didirikan selama bertahun-tahun. Laporan lebih lanjut terkait temuan ini dengan alergi aspergillosis bronchopul-monary. Pengakuan ini memunculkan istilah 'alergi sinusitis jamur' yang didiagnosis dengan adanya tes RAS positif terhadap jamur, polip, komputerisasi erized tomography (CT) temuan bahan hyperdense dalam rongga sinus, lendir alergi dengan bukti histologis eosinophilic dominan, dan identifikasi jamur di sinus lendir. Hal ini muncul karena dari tipe reaksi hipersensitivitas 3 yang mengarah ke edema mukosa berulang, representasi antigen dan resultan NP. Sifat yang tepat dari jamur dalam patogenesis polip tetap belum terpecahkan tetapi penelitian lebih lanjut akan membantu menjelaskan ini di masa depan.

Ada beberapa bukti untuk elemen genetik untuk polip. Sebuah link telah dibuktikan baru-baru ini antara HLA-A74 dan NP, tetapi pengetahuan saat ini di daerah ini masih sangat terbatas. 2,3Kondisi medis umumnya terkait dengan polip termasuk asma, bronkiektasis, dan cystic fibrosis. Ada subkelompok diakui pasien dengan Samnter itu Triad terdiri poliposis, asma, dan hipersensitivitas aspirin yang membuat hampir 10% kasus polip. 2Patogenesis

Patogenesis hidung poliposis tidak diketahui. Pengembangan polip telah dikaitkan dengan peradangan kronis, disfungsi sistem saraf otonom, dan predisposisi genetik. Kebanyakan teori menganggap polip menjadi manifestasi utama dari peradangan kronis, karena itu, kondisi yang menyebabkan peradangan kronis di rongga hidung dapat menyebabkan polip hidung.4Kondisi berikut ini berhubungan dengan beberapa polip jinak:

Asma bronkial - Pada 20-50% pasien dengan polip

CF - Polip di 6-48% pasien dengan CF

Rhinitis alergi

AFS - Polip pada 85% pasien dengan AFS

Rinosinusitis

Tardive ciliary primer

Aspirin intoleransi - Pada 8-26% pasien dengan polip

Intoleransi Alkohol - Dalam 50% pasien dengan polip hidung

Sindrom Churg-Strauss - Polip hidung pada 50% pasien dengan sindrom Churg-Strauss

Sindrom muda (yaitu, kronis sinusitis, hidung poliposis, azoospermia)

Rhinitis nonallergic dengan sindrom eosinofilia (nares) - Polip hidung pada 20% pasien dengan nares

Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa polip berhubungan lebih kuat dengan penyakit nonallergic dibandingkan dengan penyakit alergi. Secara statistik, polip hidung lebih sering terjadi pada pasien dengan asma nonallergic (13%) dibandingkan dengan asma alergi (5%), dan hanya 0,5% dari 3000 orang atopik memiliki polip hidung.5Beberapa teori telah menjelaskan patogenesis polip hidung, meskipun tidak ada tampaknya untuk bertanggung jawab penuh untuk semua fakta yang diketahui. Beberapa peneliti percaya bahwa polip merupakan exvagination dari hidung normal atau sinus mukosa yang mengisi dengan edema stroma, yang lain percaya polip adalah entitas yang berbeda yang timbul dari mukosa. Berdasarkan tinjauan literatur dan beberapa studi yang rumit dari sifat bioelektrik polip, Bernstein berasal sebuah teori yang meyakinkan tentang patogenesis polip hidung, membangun teori-teori lain. 5Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada dinding nasal lateral atau sinus mukosa sebagai akibat dari interaksi host virus-bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan kasus, polip berasal dari area kontak dari meatus media, terutama celah sempit di wilayah ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan terutama ketika menyempit oleh peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps dari submukosa dapat terjadi, dengan reepithelialization dan pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat terbentuk dari mukosa karena proses inflamasi tinggi dari sel epitel, sel endotel vaskular, dan fibroblas mempengaruhi integritas bioelektrik dari saluran natrium pada permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam bagian dari mukosa hidung. Hal ini meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan pembentukan polip. 5Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor atau pecah epitel. Teori ketidakseimbangan vasomotor mendalilkan bahwa permeabilitas pembuluh darah meningkat dan gangguan pembuluh darah regulasi menyebabkan detoksifikasi produk sel mast (misalnya, histamin). Efek berkepanjangan produk ini dalam hasil stroma polip di ditandai edema (terutama di polip gagang bunga) yang diperparah dengan obstruksi drainase vena. Teori ini didasarkan pada stroma sel-miskin polip, yang buruk vascularized dan tidak memiliki persarafan vasokonstriktor. 5Teori pecah epitel menunjukkan bahwa pecahnya epitel mukosa hidung disebabkan oleh peningkatan turgor jaringan dalam penyakit (misalnya, alergi, infeksi). Pecah ini menyebabkan prolaps dari lamina propria mukosa, membentuk polip. Cacat yang mungkin diperbesar oleh efek gravitasi atau obstruksi drainase vena, menyebabkan polip. Teori ini, meskipun mirip dengan Bernstein, memberikan penjelasan kurang meyakinkan untuk polip pembesaran daripada teori fluks natrium didukung oleh data Bernstein. Baik teori sepenuhnya mendefinisikan memicu inflamasi. 5Pasien dengan CF memiliki kecil saluran rusak klorida konduktansi, diatur oleh adenosin monofosfat siklik (cAMP), yang menyebabkan transportasi klorida normal melintasi membran sel apikal sel epitel. Patogenesis poliposis hidung pada pasien dengan CF dapat dikaitkan dengan keadaan ini. 7Gejala dan tanda

Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama. Dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh 14, sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok. 5

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring.8Diagnosis

Manifestasi polip hidung tergantung pada ukuran polip. Polip kecil mungkin tidak menghasilkan gejala dan dapat diidentifikasi hanya selama pemeriksaan rutin ketika mereka anterior ke tepi anterior konka media. Polip yang terletak posterior ke situs yang tidak biasanya terlihat selama pemeriksaan rhinoskopi anterior rutin dilakukan dengan otoskop dan tidak terjawab kecuali anak merupakan gejala. Polip kecil di daerah di mana polip biasanya muncul (yaitu, meatus tengah) dapat menghasilkan gejala dan memblokir saluran keluar dari sinus, menyebabkan gejala sinusitis akut kronis atau berulang. 10Polip gejala yang memproduksi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung, postnasal drainase, sakit kepala, mendengkur, dan rhinorrhea. Ditemukannya hyposmia atau anosmia dapat menjadi petunjuk bahwa polip, daripada sinusitis kronis saja. Epistaksis yang tidak timbul dari iritasi hidung septum anterior (yaitu, daerah Kiesselbach) biasanya tidak terjadi dengan beberapa polip jinak dan mungkin menyarankan lain, lebih serius, lesi rongga hidung. 10Poliposis besar atau polip tunggal yang besar (misalnya, antral-choanal polip yang menghambat rongga hidung, nasofaring, atau keduanya) dapat menyebabkan gejala tidur obstruktif dan pernapasan dengan mulut kronis. 10Dalam sebuah artikel yang dikirimkan untuk publikasi, penulis telah melaporkan 40% anak dengan AFS disajikan dengan kelainan kraniofasial, dibandingkan dengan 10% orang dewasa dengan AFS. Poliposis besar jarang menyebabkan kompresi cukup ekstrinsik pada saraf optik untuk mengurangi ketajaman visual. Selanjutnya, karena mereka tumbuh lambat, polyposes besar biasanya tidak menimbulkan gejala neurologis, bahkan mereka yang meluas ke rongga intrakranial. 10Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung terasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. 10Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan. 10Pemeriksaan Fisik

Mulailah pemeriksaan fisik untuk polip hidung dengan prosedur rhinoskopi anterior Untuk anak-anak kecil, otoscope genggam dan spekulum otologic biasanya digunakan. Sebuah otoscope ditempatkan di rongga hidung memberikan inferior konka, septum anterior, dan wilayah di rongga hidung memanjang ke tepi anterior konka menengah dan midportion dari septum. Meatus tengah (yaitu, daerah di bawah konka tengah lateral) sering bisa dilihat menggunakan rhinoskopi anterior jika anak kooperatif dan jika tidak ada edema mukosa signifikan atau sekresi yang hadir dalam rongga hidung anterior. 10.

Untuk polip hidung jinak, meatus media adalah lokasi yang paling umum. Jika cukup terlihat, dilihat dari meatus media dapat mengungkapkan apakah cukup patologi hadir untuk menjamin memesan CT scan sinus, daripada preforming endoskopi prosedur kaku atau fleksibel yang mungkin marabahaya pasien muda dan orang tua. Namun, kaku atau fleksibel endoskopi adalah metode terbaik untuk memeriksa rongga hidung dan nasofaring untuk sepenuhnya menilai anatomi hidung dan untuk menentukan luas dan lokasi polip hidung. 10Untuk anak-anak kecil, nasopharyngoscope fiberoptik fleksibel sering digunakan karena tidak mengakibatkan traumatis bagi anak-anak yang bisa bergerak kepala mereka dari kecemasan atau ketidaknyamanan. Pada anak kooperatif dan remaja, sebuah endoskopi kaku dapat digunakan untuk menilai meatus menengah dan reses sphenoethmoid. Lakukan decongestion memadai dan anestesi dari rongga hidung sebelum prosedur endoskopik untuk setiap anak yang lebih tua dari 6 bulan. 10Untuk anak-anak, mengevaluasi dinding posterior rongga mulut dapat juga menunjukkan gejala-gejala dari poliposis (misalnya, bersamaan drainase postnasal dengan sinusitis kronis). Polip besar atau lesi rongga hidung juga dapat menonjol ke dalam orofaring posterior dari nasofaring, ini mungkin terjadi sebagai lesi di belakang langit-langit dan uvula atau mungkin menekan langit-langit inferior dan anterior (lihat gambar di bawah). 10Lakukan pemeriksaan otoscopic karena poliposis luas yang menyebabkan disfungsi tuba eustachius dapat menyebabkan cairan dan infeksi di ruang telinga tengah. Pemeriksaan yang cermat terhadap sistem diinervasi dari saraf kranial dan struktur kraniofasial membantu menentukan perluasan potensi lesi hidung ke dalam struktur vital disekitarnya. Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997): 1Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius

Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tetapi belum memenuhi rongga hidung.

Stadium 3 : Polip yang massif.

Laboratorium Studi

Penelitian laboratorium langsung di proses patologis diyakini dapat berguna untuk mendiagnosis atas polip hidung.

Anak-anak dengan poliposis yang berhubungan dengan rhinitis alergi harus memiliki evaluasi untuk alergi mereka, ini mungkin termasuk tes serologi radioallergosorbent (RAST) atau beberapa bentuk tes kulit alergi. Mabry dkk menunjukkan penurunan tingkat kekambuhan polip pada anak-anak diobati dengan imunoterapi diarahkan pada semua antigen yang mereka alergi, khususnya cetakan, Oleh karena itu, tes alergi dan pengobatan mungkin penting dalam mengobati sinusitis jamur alergi (AFS) .12Melakukan uji klorida keringat atau pengujian genetik untuk cystic fibrosis (CF) pada setiap anak dengan beberapa polip hidung jinak. 12Pap hidung untuk eosinofil dapat membedakan alergi dari penyakit sinus nonallergic dan menunjukkan apakah anak mungkin responsif terhadap glukokortikoid. Kehadiran neutrofil dapat menunjukkan sinusitis kronis. 12Pemeriksaan RadiologiKriteria standar untuk mengevaluasi lesi hidung, polip hidung atau sinusitis terutama, adalah tipis-potong (1-3 mm) CT scan daerah maksilofasial, sinus aksial, dan bidang koronal. Lakukan CT scan kompatibel jika sistem gambar-dipandu intraoperatif digunakan. 12Foto polos radiografi tidak memiliki nilai yang signifikan setelah polip didiagnosis. Foto Polos Sinus paranasal (Posisi Waters, AP, Caldwell, Lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 12Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi. Gambar dari suatu polip nasi yang tampak dengan endoskopi. 12Juga melakukan MRI pada pasien dengan kemungkinan keterlibatan intrakranial atau perpanjangan polip hidung jinak. 12CT scan temuan dan temuan MRI dapat membantu mendiagnosis polip atau polip, menentukan luasnya lesi di rongga hidung, sinus, dan seterusnya, dan sempit diferensial diagnosis polip biasa atau presentasi klinis. 12

Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 terkadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila12 Temuan histologis

Histologi, polip hidung ditandai dengan semu epitel kolumnar bersilia, penebalan membran basal epitel, dan beberapa ujung saraf. Stroma polip hidung edema. Vaskularisasi miskin dan tidak memiliki persarafan, kecuali di dasar polip. Penulis melaporkan baik hiperplasia kelenjar seromucous atau kelenjar hampir tidak ada atau langka ketika membandingkan polip pada konka inferior atau menengah. Hiperplasia kelenjar dapat menyebabkan kelenjar cystically melebar dan merosot mengandung lendir inspissated. 12Sel eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling sering diidentifikasi, terjadi pada 80-90% dari polip. Eosinofil, yang ditemukan dalam polip pasien dengan asma bronkial dan alergi, mengandung butiran dengan produk-produk beracun (misalnya, leukotrien, eosinophilic cationic protein, protein utama basofilik, platelet-activating factor, eosinophilic peroksidase, zat vasoaktif lain dan faktor kemotaktik). Faktor-faktor beracun bertanggung jawab untuk lisis epitel, kerusakan saraf, dan ciliostasis. Protein spesifik granul, leukotrien A4, dan platelet-activating factor tampaknya bertanggung jawab atas pembengkakan mukosa dan hyperresponsiveness. 12Eosinofil dalam darah perifer yang normal dan dalam mukosa hidung biasanya 3 hari terakhir. Dalam kultur sel polip hidung, eosinofil hadir setidaknya 12 hari. Ini apoptosis tertunda eosinofil dimediasi, sebagian, oleh penyumbatan reseptor Fas, biasanya dengan protease yang membantu memulai proses kematian sel. Apoptosis tertunda juga dimediasi oleh peningkatan interleukin 5 (IL) -5, IL-3, dan granulosit-makrofag colony-stimulating factor (GM-CSF) disekresikan oleh limfosit T, yang membantu mempertahankan eosinofil dari kematian. Glukokortikoid tampaknya membantu mengurangi polip atau reaksi polypoid pada pasien dengan jaringan eosinofilia, mungkin, sebagian, dengan menghambat IL-5. 12Sel lain inflamasi, neutrofil, terjadi pada 7% kasus polip. Jenis polip terjadi dalam hubungan dengan CF, sindrom tardive ciliary primer, atau sindrom muda. Polip ini tidak merespon dengan baik terhadap kortikosteroid karena mereka tidak memiliki eosinofil kortikosteroid-sensitif. Sel mast Degranulated hadir. Degranulasi mungkin terjadi dalam nonimmunoglobulin E-dimediasi fashion. Peningkatan jumlah sel plasma, limfosit, dan myofibroblasts juga terjadi. 12Diagnosa Banding

Diagnosis banding dari polip nasi adalah :

a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil

Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang.13 Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki14b. Keganasan pada hidung

Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin. 13Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian steroid hidung oral dan topikal adalah terapi medis utama untuk hidung poliposis. Antihistamin, dekongestan, dan natrium kromolin memberikan sedikit manfaat. Imunoterapi mungkin berguna untuk mengobati rhinitis alergi tetapi, bila digunakan sendiri, biasanya tidak menyelesaikan polip yang ada. Mengelola antibiotik untuk superinfeksi bakteri. 14Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik topikal atau sistemik. Injeksi langsung ke polip tidak disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) karena laporan kehilangan penglihatan unilateral pada 3 pasien setelah injeksi steroid intranasal dengan Kenalog. Keselamatan mungkin tergantung pada spesifik ukuran partikel obat, obat berat molekul besar seperti Aristocort lebih aman dan lebih kecil kemungkinannya untuk ditransfer ke daerah intrakranial. Hindari injeksi langsung ke pembuluh darah. 14Steroid oral adalah pengobatan yang paling efektif untuk hidung poliposis. Pada orang dewasa, kebanyakan penulis menggunakan prednison (30-60 mg) selama 4-7 hari dan lancip obat selama 1-3 minggu. Dosis bervariasi untuk anak-anak, tetapi dosis maksimum biasanya 1 mg / kg / hari selama 5-7 hari, kemudian lancip selama 1-3 minggu. Tanggap terhadap kortikosteroid tampaknya tergantung pada ada atau tidaknya eosinofilia, dengan demikian, pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma harus merespon pengobatan ini. 14Pasien dengan poliposis tidak didominasi oleh eosinofilia (misalnya, pasien dengan fibrosis kistik [CF], sindrom silia primer tardive, atau sindrom Young) mungkin tidak merespon steroid. Penggunaan jangka panjang steroid oral tidak dianjurkan karena banyak efek samping potensial (misalnya, retardasi pertumbuhan, diabetes mellitus, hipertensi, efek psikotropika, efek samping GI, katarak, glaukoma, osteoporosis, dan nekrosis aseptik kepala femoral). 14Banyak penulis menganjurkan pemberian steroid topikal hidung untuk polip hidung, baik sebagai pengobatan utama atau sebagai pengobatan sekunder terus-menerus segera setelah steroid oral atau operasi. Steroid yang paling hidung (misalnya, flutikason, beclomethasone, budesonide) efektif meredakan gejala subyektif dan meningkatkan aliran udara hidung ketika diukur secara obyektif (terutama dalam studi plasebo-terkontrol double-blind). Sebuah tinjauan sistematis dari 19 studi menemukan hasil yang serupa. Persiapan topikal steroid fluticasone, mometasone, dan budesonide ditunjukkan untuk memperbaiki gejala nasal pada pasien dengan hidung poliposis. [8] Beberapa studi menunjukkan flutikason memiliki timbulnya tindakan lebih cepat dan kemungkinan keunggulan ringan sampai beclomethasone. 14Pemberian kortikosteroid topikal umumnya menyebabkan efek samping lebih sedikit dibandingkan penggunaan kortikosteroid sistemik karena mantan bioavailabilitas yang terbatas. Penggunaan jangka panjang, terutama pada dosis tinggi atau dalam kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, menyajikan risiko sumbu penekanan hipotalamus-hipofisis-adrenal, pembentukan katarak, retardasi pertumbuhan, pendarahan hidung, dan, dalam kasus yang jarang, perforasi septum hidung. 14Seperti halnya terapi jangka panjang, memantau penggunaan semprotan kortikosteroid topikal. Namun, jangka panjang (> 5 y) studi evaluasi penggunaan beclomethasone telah menunjukkan tidak ada degradasi epitel pernapasan normal epitel skuamosa terlihat pada rhinitis atrofi kronis. Selain itu, generasi baru dari steroid sistemik (misalnya, flutikason, NASONEX) tampaknya memiliki bioavailabilitas kurang dari steroid hidung yang lebih tua, seperti beclomethasone. 14Terapi Konservatif a. Kortikosteroid sistemik

merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. 14b. Kortikosteroid spray

dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan14c. Leukotrin inhibitor.

Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi. 14Terapi Pembedahan

Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi : 14d. Polipektomi intranasal

e. Antrostomi intranasal

f. Ethmoidektomi intranasal

g. Ethmoidektomi ekstranasal

h. Caldwell-Luc (CWL)

i. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

Intervensi bedah diperlukan untuk anak-anak dengan beberapa poliposis hidung jinak atau rinosinusitis kronis yang gagal terapi medis maksimal. Polypectomy sederhana efektif pada awalnya untuk meringankan gejala hidung, terutama untuk polip yang terisolasi atau sejumlah kecil polip. Dalam jinak beberapa poliposis hidung, polypectomy yang penuh dengan tingkat kekambuhan tinggi. 14Bedah sinus endoskopi (BSE) adalah teknik yang lebih baik yang tidak hanya menghilangkan polip tetapi juga membuka celah di meatus media, di mana mereka paling sering bentuk, yang membantu menurunkan tingkat kekambuhan. Yang tepat tingkat operasi yang dibutuhkan, apakah pemusnahan lengkap (yaitu, prosedur Nasalide) atau aerasi sederhana dari sinus, tidak sepenuhnya diketahui, hanya karena kelangkaan studi. Perbandingan Langka menunjukkan bahwa prosedur pemusnahan lengkap adalah sebagai efektif atau unggul aerasi sinus, tingkat komplikasi yang rendah dengan ahli bedah berpengalaman. Penggunaan microdebrider bedah telah membuat prosedur lebih aman dan lebih cepat, memberikan pemotongan jaringan yang tepat dan penurunan hemostasis dengan visualisasi yang lebih baik14Operasi langsung di jaringan yang sakit yang terlihat pada CT scan pada saat operasi. Pasien dengan penyakit seperti CF, sindrom tardive ciliary primer, atau sindrom muda dapat melanjutkan operasi tanpa perawatan medis ekstensif karena penyakit ini biasanya tidak merespon dengan baik terhadap pengobatan kortikosteroid. Setelah jaringan yang sakit telah dihapus dari rongga hidung dan sinus, sistem paru biasanya membaik. Pertimbangkan penggunaan sistem gambar-dipandu untuk menentukan lokasi yang tepat dari intranasal, sinus, orbital, dan struktur intrakranial untuk poliposis besar atau operasi revisi karena landmark bedah mungkin tidak ada atau diubah. Untuk teknik-teknik khusus dalam operasi sinus anak, dengan dan tanpa polip. 14Nasal poliposis terjadi pada 6-48% anak dengan CF. Pembedahan dilakukan ketika anak-anak menjadi gejala. Kekambuhan polip di CF hampir universal yang memerlukan operasi berulang setiap beberapa tahun. Bahkan, kekambuhan khas untuk banyak penyakit yang menyebabkan polip hidung, pasien harus menerima konseling pra operasi tentang kemungkinan ini. Untuk lesi selain polip hidung jinak yang menghasilkan polip hidung, polip harus dibiopsi atau dihapus, tergantung pada proses penyakit. 14komplikasi

Poliposis besar atau polip tunggal yang besar (misalnya, polip antral-choanal) yang menghambat rongga hidung dan / atau nasofaring dapat menyebabkan gejala tidur obstruktif dan pernapasan mulut kronis. Jarang, poliposis besar, diamati pada CF dan AFS dapat mengubah struktur kraniofasial. Hal ini dapat mengakibatkan proptosis, hypertelorism, dan diplopia.15Dalam sebuah artikel yang dikirimkan untuk publikasi, penulis melaporkan bahwa 40% anak-anak (dibandingkan dengan 10% orang dewasa) dengan AFS disajikan dengan kelainan kraniofasial. Poliposis besar jarang menyebabkan kompresi cukup ekstrinsik pada saraf optik untuk mengurangi ketajaman visual. Satu studi melaporkan bahwa 3 dari 82 pasien dengan AFS memiliki perubahan visi dari kompresi saraf optik dalam sinus sphenoid yang diselesaikan dari waktu ke waktu dengan penghapusan penyakit. Namun, karena polip ini lambat tumbuh, mereka biasanya tidak menimbulkan gejala neurologis, bahkan ketika mereka memperpanjang ke dalam rongga intrakranial. 15Prognosa

Kekambuhan polip adalah setelah pengobatan umum dengan terapi medis atau bedah jika beberapa polip jinak yang hadir (lihat Perawatan Bedah). Polip tunggal yang besar (misalnya, polip antral-choanal) cenderung kambuh. 15BAB III

PENUTUP

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.Paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang, pada anak hanya sinus maksila dan sinus etmoid yang berkembang, sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid belum.

Sinusitis terjadi jika ada gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Akibatnya lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.

Faktor predisposisi sinusitis adalah obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor dalam rongga hidung. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan mukosa serta kerusakan silia.

Secara klinis sinusitis dibagi menjadi sinusitis akut, bila gejala berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu. Sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronis bila lebih dari 3 bulan. Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam dan ra