Rheumatoid Arthritis
description
Transcript of Rheumatoid Arthritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rheumatoid Arthritis
2.1.1. Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang
berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan
dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,
nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam
sendi (Gordon, 2002). Menurut Daud (2003) dan Engram (1998),
artritis reumatoid (RA) merupakan penyakit inflamasi kronik,
sistemik, dengan etiologi yang tidak diketahui, yang terutama
menyerang sendi. Inflamasi sendi dapat mengalami remisi, tetapi bila
berlangsung terus akan terjadi destruksi sendi yang progresif
(deformitas), dan berakibat ketidakmampuan dalam berbagai tingkat.
Berbeda dengan osteoartritis, dimana kelainan utamanya dimulai dan
proses degenerasi pada rawan sendi, maka pada artritis reumatoid
dimulai dengan radang pada sinovia (sinovitis) disusul oleh proses
kerusakan sendi.
6
2.1.2. Insidensi
Artritis reumatoid ± 2 ½ kali lebih sering menyerang wanita daripada
pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada
wanita. Insidensi puncak adalah antara usia 40 – 60 tahun (Daud,
2010).
2.1.3. Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-
antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun et al., 2008),
endokrin, faktor nutrisi, geografi, pekerjaan, faktor psikososial,
infeksi bakteri, spirokaeta, virus dan imunologik (Daud, 2010).
2.1.4. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
7
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Smeltzer dan Bare, 2002). Lamanya rheumatoid arthritis berbeda
pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak
adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian
kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long,
1996).
Gambar 1.1Gambar Sendi lutut normal dan reumatoid artritis
8
Gambar 1.2Gambar sendi lutut Normal (kanan), Rheumatoid arthritis (kiri)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang,
penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini
tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan
pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun.
Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada
umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh)
ataupun gejala kembali (Reeves et al., 2001).
Menurut American College of Rheumatology (2010), artritis
rheumatoid (RA) memiliki 7 kriteria gejala yaitu:
a) Kekakuan pagi hari di dalam dan sekitar sendi minimal satu
jam.
9
b) Pembengkakan atau cairan di sekitar tiga atau lebih sendi secara
bersamaan yang telah berlangsung paling sedikit selama 6
minggu.
c) Setidaknya satu bengkak di daerah pergelangan tangan,
metakarpofalangeal (MCP) atau proksimal interfalang (PIP)
selama 6 minggu atau lebih.
d) Arthritis melibatkan sendi yang sama di kedua sisi tubuh
(arthritis simetris).
e) Rheumatoid nodul, benjolan pada kulit penderita rheumatoid
arthritis. Nodul ini biasanya di titik-titik tekanan dari tubuh,
paling sering siku.
f) Faktor reumatoid positif dengan menggunakan metode
pemeriksaan yang pada orang normal hasil positifnya tidak lebih
dari 5%.
g) X-ray tampak perubahan di tangan dan pergelangan tangan khas
dari rheumatoid arthritis, harus disertai erosi dan dekalsifikasi
tulang yang tidak rata pada sendi yang terlibat.
Manifestasi sistemik artritis rheumatoid menurut Long (1996) yaitu
kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, takikardi,
berat badan menurun, anemia, demam subfebris, nyeri otot dan sendi
dan kekakuan. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid
arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta
10
beratnya penyakit (Smeltzer dan Bare, 2002). Jika ditinjau dari
stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
a) Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial
yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat
bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya
kontraksi tendon.
c) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang
kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada
penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika
terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut.
Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah
digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi
sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang
lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas
jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh
ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang
11
tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi
(Smeltzer & Bare, 2002).
Manifestasi ekstraartikuler artritis rheumatoid (Daud, 2010) sebagai
berikut :
a) Kulit : nodul subkutan, vaskulitis
b) Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan
katup jantung
c) Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis
fibrosis interstitiel difusi
d) Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi
medula spinalis
e) Mata : sindrom Sjogren
f) Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia,
trombositopenia, dan neutropenia
2.1.6. Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe
dari 7 gejala berdasarkan American College of Rheumatology (2010),
yaitu:
12
a) Rheumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b) Rheumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
c) Probable rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
d) Possible rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2
kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan darah tepi berupa amenia nomokrom normisitik
b) Laju endap darah meningkat, sesuai dengan aktifitas penyakit,
makin aktif penyakit makin tinggi LED
c) Faktor reumatoid (RF) penting, tetapi bukan penentu diagnosis.
Walaupun RF negatif, diagnosis RA tetap dapat ditegakkan
secara klinik dan radiologik. Penderita dengan titer RF yang
13
tinggi cenderung menunjukkan gejala sistemik, artritis erosif
dan destruktif
d) Anti Nuclear Antibody (ANA) dan antigen lainnya dapat
ditemukan pada sebagian kecil penderita ,umumnya dengan titer
yang rendah
e) HLA-DR4 positif pada sebagian pasien. Pemeriksaan ini tidak
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
f) Cairan sinovia : Jumlah sel antara 5.000-20.000 mm3, titer
komplemen rendah, RF positif dan bekuan mucin jelek
g) Pemeriksaan radiologik yang terbaik ialah melihat pada sendi
pengelangan dan jari-jari tangan. Pada awal penyakit
menunjukkan gambaran pembengkakan jaringan lunak dan
osteoporosis juxtaartikuler. Pada stadium lebih lanjut ditemukan
gambaran permukaan sendi yang tidak rata akibat erosi sendi,
penyempitan celah sendi, subluksasi dan akhinrnya ankilosis
sendi (Daud, 2010)
2.1.8. Kriteria Diagnostik
Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria atau
lebih, berdasarkan 7 kriteria gejala oleh American College of
Rheumatology (2010). Sedangkan kriteria remisi klinik pada artritis
reumatoid yaitu bila ditemukan 5 gejala di bawah atau lebih selama 2
bulan berturut-turut :
14
a) Lama kaku pagi tidak lebih dari 15 menit
b) Tidak ada rasa lemah
c) Tidak ada nyeri sendi (dari riwayat penyakit)
d) Tidak ada nyeri gerakan atau bengkak sendi
e) Tidak ada pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi atau
sekitar sarung tendon
f) Laju endap darah kurang dan 30 mm/jam pada wanita dan
20 mm/jam pada pria (cara Westengren)
Kriteria progresivitas dari rheumatoid artritis menurut Michael
(1995) adalah :
a) Derajat I, Awal
Pada pemeriksaan radiologik tidak ditemukan perubahan
destruktif
Pada pemeriksaan radiologik dapat ditemukan gambaran
osteoporosis
b) Derajat II, Sedang
Pada pemeriksaan radiologik ditemui gambaran
osteoporosis, dengan atau tanpa destruksi ringan tulang
subkondral dapat ditemukan destruksi ringan rawan
sendi.
15
Tidak ditemukan deformitas, walaupun dapat ditemukan
keterbatasan gerak sendi.
Atrofi otot disekitarnya.
Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuler,
seperti nodul atau tenosivitis.
c) Derajat III, Berat
Pada pemeriksaan radiologik selain osteoporosis dapat
ditemukan destruksi rawan sendi dan tulang.
Deformitas sendi, seperti subluksasi, deviasi ulnar,
hiperekstensi tanpa disertai fibrosis atau ankilosis sendi.
Atrofi otot yang nyata.
Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuter,
seperti nodul atau tenosivitis.
d) Derajat IV, Terminal
Fibrosis atau ankilosis sendi
Kriteria dari derajat III
2.1.9. Penatalaksanaan
a) Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai
penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga
16
terjalin hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan
dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan
yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien
untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama
(Mansjoer, dkk. 2001).
b) Obat antinflamasi non steroid (OAINS). Sudah menjadi
perjanjian bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru,
pengobatannya harus dimulai dengan OAINS, kecuali ada
kontra indikasi tertentu. OAINS ini merupakan obat tahap
pertama (first line) dan dikenal berbagai jenis yang mempunyai
efek analgesik dan antiflamasi yang baik. Obat golongan ini
tidak dapat menghentikan/mempengaruhi perjalanan penyakit
artritis reumatoid (Smeltzer & Bare, 2002). Terdapat 6 golongan
obat yaitu :
Golongan salisilat
Golongan indol: indometasin
Golongan turunan asam propionat: ibuprofen, naproksen,
ketoprofen, diklofenak
Golongan asam antranilik: natrium meklofenamat
Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam, meloxikam
Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon
17
c) Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs. Obat
golongan ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis
reumatoid, karena itu disebut sebagai obat remitif atau disease-
modifying antirheumatic drugs/DMRD. Karena efek kerjanya
lambat maka disebut sebagai slowacting-antirheumatic
drugs/SAARD. Obat golongan ini baru memberikan efek setelah
pemakaian selama minimal 6 bulan dan tidak mempunyai efek
langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi, oleh karena itu
sambil menunggu efek obat ini terbentuk, maka biasanya pada
awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan OAINS untuk
mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat SAARD telah
terbentuk maka OAINS dapat dikurangi, bahkan dihentikan bila
pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan demikian
SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-line
drug). Indikasi pemberian SAARD terutama ditujukan pada
penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti
radiologik adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat
golongan ini sangat toksik dan mempunyai efek samping yang
besar, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat, maka
sebaiknya pemberian obat ini dilakukan oleh seorang dokter
spesialis. Obat yang termasuk golongan ini ialah:
Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin
Garam emas
18
Penisilamin
Sulfasalasin
Obat imunosupresif
d) Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering
menyebabkan gangguan psikis dan keputusasaan penderita. Hal
ini perlu diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi
pengobatan yang diberikan, baik obat-obatan maupun terapi
fisik. Aspek sosial perlu pula diperhatikan, karena penderita
harus menyesuaikan pekerjaan dan kehidupan sehari-harinya
dengan penyakit yang dideritanya, mungkin sekali penderita
perlu mengganti jenis pekerjaannya atau merubah kebiasaan
hidupnya (Michael, 1995).
e) Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan
preventif antara lain dengan melakukan sinovektomi untuk
mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang.
Pembedahan reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas
yang terjadi antara lain dengan melakukan artroplasti.
f) Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari-hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada
pagi hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih
mudah bergerak.
19
g) Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit
ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan,
menjaga berat badan tetap stabil, menjaga asupan makanan
selalu seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, terutama
banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen bisa
menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3. Di dalam
omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara
persendian agar tetap lentur.
2.2. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas yang
dilakukan sehari-hari dapat terganggu. Hal ini disebabkan adanya gerakan
sendi yang terbatas. Rheumatoid arthritis mengurangi kemampuan
seseorang untuk menggerakkan sendi mereka dalam jangkauan gerakan
yang penuh. Sumber utama dari perubahan aktivitas ini adalah rasa tidak
nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku
dan sakit. Saat pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada dokter mereka,
mereka disarankan untuk mengurangi jumlah kegiatan mereka, dan
bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi untuk istirahat yang
banyak. Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang berlebihan dapat
merusak kesehatan (Gordon, 2002). Pengaruh negatif dari sistem otot dan
tulang yang tidak bergerak, mencakup: terhentinya pertumbuhan otot,
tendon, ligament dan tulang. Melemahnya otot otot, tendon, ligament dan
20
tulang. Merosotnya kondisi tulang rawan sendi, bertambahnya risiko tulang
yang patah karena hilangnya massa tulang, suatu kondisi yang disebut
dengan osteoporosis.
Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang tergaggu diterjemahkan
dalam kapasitas fungsional yang semakin rendah atau kemampuan
melakukan aktivitas semakin berkurang. Kemampuan yang menurun seperti
membungkuk untuk memungut sesuatu, membersihkan kebun, menyisir
rambut, bangun dari tempat tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri
(Gordon, 2002). Selain itu juga pasien dengan rheumatoid arthritis
mengalami kesulitan melakukan kegiatan normal sehari-hari dalam hal
berpakaian, berdandan, mencuci, menggunakan toilet, menyiapkan
makanan, dan melakukan pekerjaan rumah. Gejala-gejala rheumatoid
arthritis dapat juga menganggu kerja bagi orang banyak. Setengah dari
pasien-pasien rheumatoid tidak lagi mampu bekerja 10-20 tahun setelah
kondisi mereka didiagnosis.