Rhenald Kasali Blogspot Com 16
-
Upload
arya-setyaki -
Category
Documents
-
view
247 -
download
0
Transcript of Rhenald Kasali Blogspot Com 16
-
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
1/17
-
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
2/17
-
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
3/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 10:58 Tidak ada komentar:
dan surga adalah dua janji yang selalu digunakan untuk menjerat.
Mengenal Resiko
Hidup dan kemajuan memang selalu berjalan beriringan dengan resiko. Sebuah kata bijak saya
temukan di sebuah situs. Bunyinya begini: "The person risks nothing does nothing,has nothing
and is nothing, He may avoid suffering and sorrow but he cannot fell, learn, grow and love."
Kurang lebih artinya beginilah. "Orang-orang yang tidak menjalani hidup beresiko akan tak
memiliki apa-apa, dan ia nothing(tak ada apa-apanya). Mereka menghindari kepahitan dan rasa
sakit, tetapi tidak bisa merasa, belajar, tumbuh dan mencintai."
Mungkin Anda pernah membaca kata bijak lain yang bunyinya lebih spesifik lagi. Kalau
diterjemahkan kira-kira jadinya begini. "Mereka yang tak pernah melakukan kesalahan apa-apa
bukan berarti hebat. Jangan-jangan mereka tak pernah melakukan apa-apa." Bukankah untukmenyatakan cinta pada lawan jenis saja Anda mnghadapi resiko ditolak? Bahkan para komedian
baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum Stand up Commedypun
mengakui, mereka menghadapi resiko tidak lucu. Tetapi sebagai manusia kita memiliki sebuah
kehebatan, yaitu belajar.
Siapakah yang harus belajar? Rakyat biasa, para profesional yang menggerakkan dunia usaha,
yang digaji oleh para pelaku money game, atau juga penegak hukum dan pembuat undang-
undang? Saya kira semua pihak harus mulai mewaspadainya. Orang tua dan guru saja tidak
cukup belajar. Indonesia adalah bangsa yang populasinya sedang tumbuh secara cepat. Kelas
menengahnya juga tumbuh dan semakin banyak orang yang baru mulai naik kelas, mulai punya
tabungan dan membeli kendaraan baru. Selalu akan ada orang-orang baru yang menjadi sasaran
penipuan. Dan yang paling penting sebenarnya adalah bangsa ini harus bergerak lebih cepat
untuk menghadang para penipu.
Undang-undang dan peraturan harus dibuat lebih cepat untuk membatasi ruang gerak toxicentrepreneur, dan penegak hukum harus cepat menangkap dan menghukum mereka.
Masalahnya, para penipu sadar betul bahwa uang haram yang mereka dapatkan itu juga diminati
oleh ribuan oknum penegak hukum. Sementara ribuan anak-anak muda tengah diracuni oleh
buku-buku yang menyajikan kata-kata jalan pintas seperti: cara cepat kaya, punya banyak
apartemen tanpa modal, kerja cerdas, jangan bekerja untuk cari uang-buatlah uang bekerja sendiri
untuk Anda, bagaimana membuat usaha baru langsung difranchise-kan, dan seterusnya. Mereka
belajar bahwa kaya adalah hak mereka, dan jalan pintas boleh dilakukan, sedangkan kerja keras
sudah tak zamannya lagi. Padahal dengan cara-cara demikian mereka hanya akan bermuara
dalam usaha money games dan berlabuh di rumah tahanan atau pelarian yang mengasingkan.
Kalau sudah begini, para penerbit buku pun harus ikut bertanggungjawab.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
JUMAT, 22 JUNI 2012
Assertiveness - Jawapos 18 Juni 2012
Di atas pesawat komersial armada Amerika, seorang pria Asia masuk tergopoh-gopoh membawa
sebuah tas besar. Di belakangnya, ikut seorang perempuan muda menggendong bayi yang baru
berusia satu setengah tahun. Tangan kanan pria itu menenteng tas besar sedangkan tangan
kirinya yang tengah digips menggantung pada kain segitiga, layaknya pasien patah tangan.
Di pintu masuk, pramugari bule menghardiknya. "Itu tak bisa dibawa masuk, terlalu besar" Ujarnya
tegas. ""Lalu bagaimana?"tanya pria itu. "I don't know, " Ujarcrewbule tadi. "We will call your
agent,"tambahnya ketus.
Pria itu mencoba memasukkan tas itu ke dalam bak kabin di atas kepala penumpang. Seorang
pria tua berdiri dan menolongnya. Dan seorang pria lainnya ikut membantu. Mereka sudah lebih
dulu duduk, dan bak kabin sudah cukup penuh. Mereka bertiga menyusun letak tas dan mati-
matian memasukkan tas besar itu karena ukurannya pas sekali. Setelah berupaya keras, tas itu
pun berhasil masuk. Dan semua penumpang bersorak gembira, seakan menunjukkan
ketidaksukaan pada pelayanan airlines yang buruk.
Pria tadi beserta istri dan anak bayinya lega duduk di kursi, dan crewtadi tak mempedulikannya.
Pria itu adalah saya, dan perempuan tadi adalah istri saya, yang tahun 1998 kembali ke tanah air
setelah lebih dari 6 tahun menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Bodoh, lugu, ribet, namun tetap
santun. Itu saya alami dan betapa gregetan menghadapi crewyang kaku dan tak melayani. Kalau
saya ingat, saya hanya bisa berbatin, "pantas airlinesnya bangkrut."
Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman sebuah film pendek dari teman-teman saya dari
jaringan global Yale School of Management. Di situ tergambar seorang crewyang menegurpenumpang yang masih memakai ponsel di dalam pesawat. Pria itu mohon-mohon waktu
beberapa detik karena emergency. Tetapi crew tak peduli, ponsel diambil dan dicemplungkan ke
dalam gelas kopi. Dan ia pun beranjak pergi. Film itu ditutup sebuah pesan: Be assertive, or you
loose customers!
Bukan Agresif
2011 (13)
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-min=2011-01-01T00:00:00-08:00&updated-max=2012-01-01T00:00:00-08:00&max-results=13http://void%280%29/http://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4600674431813844185&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/seorang-guru-di-langit-biru-jawa-pos-25.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/seorang-guru-di-langit-biru-jawa-pos-25.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
4/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:26 Tidak ada komentar:
Dalam kamus, kata assertive diartikan tegas dan assertiveness adalah ketegasan. Namun
sebenanya assertiveness adalah sebuah training tentang keberanian menyatakan apa yang
dipikirkan atau dirasakan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan. Assertiveness
tak dapat disebarkan tanpa latihan, itu sebabnya harus ada dalam kurikulum sekolah dan
diajarkan kepara calon eksekutif.
Celakanya, "tegas" di sini sering diartikan sebagai perilaku yang garang. Tengoklah pendapat-
pendapat tentang kepala negara yang sering kita dengar. "Presiden tidak decisive, tidak tegas."
Tetapi tengoklah bagaimana mereka menyampaikannya. Semua itu disampaikan dengan tone
tinggi, sangat garang. Agresif. Persis seperti crewairlines yang memasukkan ponsel ke dalam
gelas kopi ataucrewyang membentak saya 14 tahun yang silam.
Di jalan-jalan raya di Jakarta, ribuan caci maki juga semakin sering dilontarkan oleh orang-orangyang tidak sabar. Sepeda motor begitu mudah membunyikan "klakson amarah" hanya karena
kendaraan lain kurang sigap memacu kecepatan.
Di lain pihak kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang
lain.
Beberapa hari lalu misalnya, guru-guru TK dan PAUD Rumah Perubahan menyelenggarakan
pentas seni kenaikan kelas. Mereka menyewa tenda yang disepakati harganya dua juta rupiah,
dan warnanya biru. Esoknya tenda dipasang, namun bukan berwarna biru. Apa yang dilakukan
para guru? Anda benar, mereka memdiamkannya dengan alasan tenda sudah terpasang.
Hal serupa juga sering kita saksikan di check in counterdi Bandara. Orang-orang yang tak
berbudaya, merapat ke depan tanpa menghormati antrean, dan petugas membiarkannya, bahkan
melayaninya. Di satu pihak ada kelompok agresif, di lain pihak ada kelompok yang susah bilang
"tidak." Jadilah kekacauan.
Membangun Bangsa, Bangun Budayanya
Di banyak negara maju, pemerintah tidak hanya mengurus pertahanan-keamanan dan
kesejahteraan saja, melainkan juga kebudayaan. Kebudayaan bukan sekedar seni pertunjukan
atau ekonomi kreatif, melainkan bagaimana masyarakat saling mengikat diri,
membentukspiritkesatuan. Dan tanpa assertiveness ikatanpun pupus.Assertiveness ditanam
sejak usia dini dan dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.
Hongkong dan Taiwan beberapa tahun ini gencar mengkampanyekan kata "terima kasih" dan cara
tersenyum. Maklum mereka memang malas tersenyum, padahal ekonominya hidup dariservice.
Sebaliknya, pada tahun 1989, masyarakat Jepang digemparkan oleh buku "Japan That Can Say
No" ("No" to leru nihon) yang ditulis pemimpin senior LDP, Shintaro Ishihara bersama almarhum
pendiri Sony, Akio Morita. Pasalnya, orang-orang Jepang terlalu mendiamkan dan susah bilang"tidak", sehingga mudah didikte barat, dan kalau antreannya diserobot ya mereka diam saja. Pada
tahun 1996, buku serupa ditulis di China: China Can Say No.
Orang-orang yang pasif terlalu toleran terhadap maunya orang lain. Tetapi mereka tidak
menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang agresif memicu konflik. Kalau
gilirannya diserobot, mereka rela berkelahi dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan
martabat orang lain. Ia terlalu respek terhadap dirinya sendiri dan tak merubah prilaku buruk
masyarakat.
Di tengah-tengah ada kelompok pasif-agresif yang sarkastis. Tidak terima diserobot, tetapi tidak
berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang tidak tepat. Ngomongnya kasar, sinis, tetapi
tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, beraninya hanya pada lantai,
atau dinding atau pada teman-teman lewat gosip atau social media dengan nama samaran.
Di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Skandinavia, juga diThailand, assertiveness diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter
dan kepribadian. Dengan bekal assertiveness, bawahan tidak akan membiarkan atasannya
korupsi. Bahkan di kampus sekalipun, dosen-dosen yang tidak
memiliki assertiveness membiarkan rektornya korupsi. Paling-paling hanya gerundel di belakang.
Sedangkan mereka yang berani berbicara terlalu keras. Akibatnya kampus hanya maju dari segi
gedung-gedung yang tumbuh cepat, padahal di balik itu terjadi pembiaran dan pengrusakan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
SELASA, 19 JUNI 2012
The Power of Unreasonable - Sindo 14 Juni 2012
Saya sedang menyiapkan bahan-bahan untuk sebuah seminar international di New York saat
diminta berbicara di depan para petani herbal dalam Bogor Organic Festival hari Minggu lalu. Di
depan saya berjajar sekitar seratus orang yang disebut Jhon Elkington dan Pamela Hartigan
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=4996847253623383960&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/assertiveness-jawapos-18-juni-2012.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
5/17
sebagai unreasonable models. Mereka duduk di bawah sebuah tenda besar di halaman kampus
pasca sarjana IPB.
Mereka disebut unreasonablekarena berbagai alasan. Investasi besar-besaran tetapi kok bukan
untuk memupuk kekayaan? Investasinya kok seperti orang yang keasyikan konsumsi. Tidak mikir
ROI atau ROA. Pokoknya senang diri, sepuas hati. Tetapi mereka ingin merubah sesuatu,
memperbaiki atau entahlah kalau menghancurkan sistem yang sudah ada.
Dalam bahasa di ranah inovasi, mereka disebut sebagai destructive innovator. Lihat saja apa yang
dilakukan Helianti yang membuat kampung herbal di Yogya dan diam-diam menembus Eropa
dengan beras warna-warni asli Indonesia. Ia membangun jaringan perlahan-lahan. Ketika sulit
mengklaim status organik karena memerlukan banyak sertifikasi, ia justru menggunakan kata
natural. Di kantornya hanya ada 10 orang, tetapi di belakangnya ada ribuan petani yang menanamdengan menghitung biaya bersama-sama. Mereknya, Javara mulai dikenal seperti arang batok
kelapa Cococha yang ramah lingkungan yang dipasarkan Bambang Warih Kusumo. Kala orang
Eropa dilanda krisis, mereka memilih masak di rumah ketimbang makan di luar.
Ratu herbal lainnya siapa lagi kalau bukan Ning Hermanto yang selalu tampil dengan topi mahkota
berwarna serba ungu. Media massa menjuluki pelopor mahkota Dewa ini sebagai Ratu Herbal. Ia
mengajarkan para petani meracik daun-daunan mulai dari sirsak sampai sukun. Tetapi ketika ia
menemukan formula untuk membuat telur asin bebas kolesterol, resepnya justru diobral ke sana
kemari.
Hari minggu itu, nenek Ambar yang menjadi pemasok telur asin ke berbagai supermarket yang
belajar dari Ning harmanto juga hadir. Mereka sedang menapak agar bisa merevolusi. Dari UMKM
menjadi pengusaha besar. Mimpi mereka, 5 tahun lagi kantor Kementerian Koperasi dan UMKM
berganti nama menjadi Kementerian Usaha Menengah dan Besar. Bukan untuk gagah-gagahan,
melainkan agar pengusaha-pengusaha baru jangan berpikir yang kecil-kecil terus.
Social Enterprise
Orang-orang yang unreasonable itu kini ada dimana-mana. Di Semarang ada, juga di Bali, Aceh,
Papua, dan sebagainya. They seek profit in unprofitable pursuits, ujar Erlington dan Hartigan.
Tetapi cara kerjanya 100% berbeda dengan cara yang ditempuh wirausaha konvensional.
Kalau orang lain selalu melirik usaha-usaha yang sudah jelas dan jelas-jelas untung, mereka justru
menciptakan keuntungan dari hal-hal yang dianggap tidak menguntungkan. Seorang anggota
asosiasi yang saya pimpin (AKSI) menyebut usahanya di atas sebuah kali di Semarang sebagai
MLM alias Multi Level Manusia.
Caranya agak mirip dengan yang ditempuh oleh Orlando Rincon Banilla, pemuda yang dibesarkan
di sebuah perkampungan drug dealer di Columbia. Di perkampungan kumuh itu ia memimpin
gerakan kaum kiri yang berupaya mengembalikan sistem sosial dan keadilan. Karena
leadershipnya menonjol, ia pun ditawari beasiswa untuk kuliah di Universitas Medellin. Di sana iamengambil double major: Antropologi dan sistem engineering. Disitulah ia mulai tertarik menjadi
wirausaha dan membangun perusahaan yang diberi nama Open System.
Tak pernah ia bayangkan perusahaan pembuat software ini maju pesat. Tv, internet, ponsel, PLN,
dan perusahaan-perusahaan besar lain menjadi pelanggannya. Pada tahun 2004, kekayaan
bersihnya mencapai $14 juta. Tetapi ia tidak puas. Ia berkelana ke India, melihat apa yang terjadi
di Bangalore, lalu menelusuri surga IT di Irlandia. Tuhan membukakan matanya bahwa sistem
business yang ia lihat sehari-hari adalah sistem ketidak adilan yang membuat orang muda
terperangkap menjadi buruh atau pegawai.
Open systempun ia tinggalkan.
Mereka ini memang Unreasonable. Yang membuatnya untung saja tidak membuatnya tertarik.
Orang seperti Orlando justru membangun Parquesoft. Ini agak mirip dengan Putra Sampoerna
yang meninggalkan bisnis rokok yang menguntungkan dan yayasannya masuk ke sektorpendidikan yang unprofitabledanaktif mengembangkan angel investor. Parquesoft, yang didirikan
Orlando adalah non profit innovation park yang mengumpulkan ribuan anak-anak kampung putus
sekolah, menjadikan mereka pengusaha IT seperti dirinya.
Anda ingin tahun bagaimana hasilnya? Lima tahun yang lalu saja, software buatan anak-anak
kampung itu telah menembus 40 negara dan menjadikan mereka sebagai wirausaha yang terus
naik kelas. Bisnis Orlando adalah bisnis Multi Level Manusia, dan orang-orang seperti mereka
disebut adalah Social enterpreneurs yang kini menjadi tren dan mereka mendirikan social
enterprise.
Bagi saya social enterprise adalah ya enterprise. Namun berbeda dengan business enterprise
tradisional. Social enterprise mempunyai social missionyang jelas. Profitnya juga tidak dipakai
untuk memperbesar tabungan pendirinya di bank, melainkan diputar untuk kesejahteraan dan
memberantas ketimpangan sosial. Seperti air sungai yang keruh sekalipun, sepanjang mengalir ia
tak pernah menjadi busuk layaknya air kubangan. Demikianlah filosofi social entrepreneurs.Biarkan tak besar, asalkan mengalir dan berputar.
Dan berbeda dengan pejuang-pejuang sosial yang berjuang melalui demo dan advokasi-advokasi
politik beraliran dialektis-konfliktis, mereka menggunakan market tradingproduct yang
diwirausahakan seperti layaknya pengusaha sejati. Tengok saja bagaimana almarhum Paul
Newman yang aktif membiayai anak-anak penderita kanker. Di hari tuanya itu Paul Newman
berwirausaha di sektor makanan dalam kemasan berskala besar.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
6/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 00:19 Tidak ada komentar:
Jadi, social enterprise ya samalah dengan bisnis yang Anda kenal. Ia adalah enterprise dengan
social mission. Inilah topik yang akan saya bahas tanggal 19 Juni siang nanti di menara UOB.
Orang-orang yang unreasonable ini adalah gabungan dari inovasinya Bill Gates dengan mangkuk
sucinya Bunda Teresa. Bagi saya, inilah jalan menuju perubahan sosial yang sudah lama
dirindukan para negarawan besar
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
+1 Rekomendasikan ini di Google
Korupsi Orang Kampus - Jawapos 11 Juni 2012
Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang pengalaman saya sebagai guru. Di situ
saya teringat dengan cerpen Oemar Bakri yang ditulis Fajar Gitarena, seorang guru SD di
Jogjakarta. Ia bercerita tentang seorang guru yang sudah 30 tahun mengabdi dan akan segera
pensiun. Namun kendaraannya tetap sama: sepeda motor tua yang mogok dan bannya sudah
menipis.
Saat motornya akan dijalankan untuk menghadapi pelepasan pensiun, Oemar Bakri menghadapi
masalah. Bannya bocor, padahal lubang tambalannya sudah banyak. Di tanggal tua itu ia tak
punya uang. Maka ia pergi ke bank. Naik bis tak perlu bayar, karena sopir dan keneknya dulu
murid-muridnya. Di bank ia juga ditolong saat antre, karena pimpinan cabangnya mengenalinya
sebagai gurunya. Namun saat pulang, uangnya dirampas copet. Ia lapor polisi dan polisi yang
menangkap copet beserta copetnya ternyata murid-muridnya juga.
Itulah realita yang dihadapi seorang guru. Murid-muridnya ada dimana-mana. Ada yang sukses
menjadi pengusaha dan manager, namun tak sedikit yang harus menguras keringat hidup di jalan.
Ada yang jadi penegak hukum namun juga ada yang ditangkap aparat karena melanggar hukum.
Kampus dan sekolah mendidik yang baik-baik, namun hasilnya siapa yang tahu? Anak-anak kita
tidak hanya belajar dari kita, melainkan juga pada orang-orang dimana mereka berada.
Demikianlah yang saya alami, punya murid di KPK, Kepolisian, dan Mahkamah Agung yang
sangat reformis, namun kemungkinan juga ada yang menjadi tahanan mereka.
Alam semesta tidak berjalan sendiri-sendiri. Kita semua saling berinteraksi, dan apa yang kita
lakukan akan menimbulkan akibat-akibat. Seorang yang berbuat harus rela bertanggung jawab.
Menerima hukum sebab-akibat berarti menerima karma. Tak bisa menghindar, kendati bisa
memutar-mutar menyulitkan pemeriksa, menyeret orang lain yang tak bersalah. Tetapi seperti
obat nyamuk yang tidak basah, ujung kepalanya bisa terbakar juga.
Misalokasi
Korupsi di kampus belakangan juga ramai diberitakan. Dan sebagai pendidik saya tentu ikut
merasa malu dan terpanggil untuk menegakkan dan mengembalikannya. Tetapi sistem politik
seperti ini tampaknya sungguh merepotkan. Orang-orang kampus yang mau jadi pimpinan harus
ikut melobi mentri, karena mentri punya suara yang besar. Melobi mentri berarti menemui tokoh-
tokoh politik.
Demikian pula anggarannya. Sejak dunia pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang besar,
ada tendensi untuk mengalihkan spirit of entrepreneurship yang 10 tahun lalu didengung-
dengungkan menjadi spirit of bureaucracy. Dulu, anda tentu masih ingat, di baliho-baliho besar di
depan kampus-kampus PTN terpampang tulisan pengumuman pemilihan calon Rektor yang isinya
mencari orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk memimpin kampus.
Artinya Rektor harus pandai mencari uang dari fundraising, menjual patent dan seterusnya. Lihatsaja bagaimana Business School di NUS (Singapore) memiliki gedung yang megah bernama
gedung Mochtar Riyadi, atau Warthon School yang memiliki professor dengan sponsor Sukanto
Tanoto. Mereka mencari dana agar bisa menghasilkan pendidikan kelas dunia yang berbobot.
Tetapi tengoklah apa yang terjadi saat ini? Rektor-rektor tertentu mencoba menjual independensi
mimbar ilmiahnya agar menjadi satker (satuan kerja) Depdiknas. Alih-alih
memperbesarresources secara entrepreneurial, mereka justru beralih ke negara dan melobi ke
pejabat dan parlemen untuk mendapatkan anggaran negara. Selebihnya, anda tentu tahu sendiri
apa akibatnya.
Melobi uang negara dewasa ini berarti melobi pengambil keputusan anggaran aparatur negara,
berarti mereka harus mendekat pada pelaku-pelaku politik, partai politik dan aroma uang pun
tercium. Yang pasti mereka akan bertambah kuat secara politis karena uang sudah berbicara.
Teori prilaku mengatakan, penjahat keuangan enggan berhubungan dengan banyak orang. Mereka
hanya ingin memelihara orang yang sama.
Apa akibatnya sistem yang demikian bagi sistem pendidikan di Indonesia ? Kampus-kampus akan
tak bebas lagi berpikir, para pemimpin tak bebas dari kesucian ilmiah, pengelolaan keuangan
semakin tersentralisasi, pemimpin tertinggi dapat menjadi sangat otoriter, bahkan akan terjadi
pemborosan dan kebocoran keuangan secara besar-besaran. Kalau ini dibiarkan governance
structure akan hanya menjadi bagian dari pencitraan.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6607743997226812010&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/power-of-unreasonable-sindo-14-juni.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
7/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 00:17 Tidak ada komentar:
Pendidikan Indonesia akan semakin jauh dari pemupukan modal insani. Terjadi misalokasi besar-
besaran dari uang untuk mendidik - menjadi uang untuk pembangunan fisik. Beasiswa sulit
dikorupsi, tetapi bisa diperlambat pembayarannya. Tetapi gedung-gedung fisik dan peralatan,
mudah diambil komisinya, diberi mark up dan seterusnya. Maka tak mengherankan bila para
koruptor lebih tertarik membangun gedung-gedung super besar ketimbang memperbaiki mutu
tenaga didik.
Alokasi anggaran pun akan begitu sulit mengalir ke bawah untuk membiayai operasional
pendidikan pada tingkat fakultas atau program studi. Jangan berharap gedung-gedung bersih
fakultas yang dulu Anda saksikan bisa Anda nikmati di hari esok. Pengalaman saya, saat ini saja
untuk mendapatkan tissue toilet saja susah setengah mati.
Di negara-negara yang kaya saja, pemerintah tak mau membiarkan kampus-kampusnya steril darimasyarakatnya. Apalagi di negara yang gedung-gedung SD nya masih banyak yang harus
dibangun. Kampus harusnya dipimpin orang-orang berdedikasi tinggi, dengan integritas yang tak
bisa dibeli oleh kekuasaan.
Kalau sudah demikian, orang-orang kepercayaan politisi akan menguasai kampus, dan orang-
orang lugu yang dipercaya menjadi wali amanah akan repot menghadapi jago-jago silat yang
pandai menekuk lutut mereka. Menghadapi orang-orang yang street smart itu diperlukan sebuah
wawasan dan juri yang tak bisa dibeli pula.
Tak bisa dibeli, bukan hanya oleh uang, tetapi juga oleh mulut manis, cara-cara halus, kiriman
bunga, perhatian atau kehadiran dalam acara-acara tertentu. Tengoklah ke bawah, dan bicaralah
dengan unit-unit terkecil, maka kebenaran akan ditemukan disana.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
SABTU, 09 JUNI 2012
Nongkrong - Sindo 7 Juni 2012
Istilah nongkrong muncul di halaman depan harian terkemuka dunia. The New York Times 28
Mei 2012. Nongkrong marak di hampir semua kota besar maupun kecil di Indonesia, mulai dari
Banca Aceh (kedai kopi), sampai ke Timika di Papua. Anak-anak muda dan orang tua gemar
nongkrong, atau kata anak muda, hang out! Segelas besar minuman dingin untuk berlima,
camilan tinggal diambil, fresh dan hangat, dan tentu saja free wifi.
Bagi The New York Times, nongkrong adalah sebuah marketing insightyang hanya dilihat oleh
segelintir pengusaha. Nongkrong itu artinya duduk-duduk, kongkow-kongkow, ngelirik kiri kanan,
dan umumnya dipakai untuk mengosongkan diri.
Saya kira The New York Times ada benarnya. Kebiasaan mengosongkan diri kalau sedikit
dipoles bisa berubah menjadi sarana belajar yang efektif. Lihat saja anak-anak muda di Boston, di
seberang kampus Harvard. Di sudut-sudut jalan Harvard Square Anda menemukan kafe-kafe donat
atau kedai-kedai kopi yang buka 24 jam. Di dalamnya hanya ada anak-anak muda yang asyik
berselancar di internet ditemani secangkir kopi dan sepotong donat coklat.
Di meja-meja lainnya Anda temui mahasiswa kedokteran yang sedang mojok membaca buku.
Dan di kiri kanannya mahasiswa MBA tengah membahas business case. Mereka lupa jam,
sampai beberapa orang terpekur oleh alunan alunan musicterus berbunyi. Tetapi budaya mereka
bukanlah budaya nongkrong di warung, setelah masa kuliah selesai mereka kembali menjadi
manusia individual yang asyik dengan urusannya sendiri-sendiri. Budaya komunal yang biasa
kongkow-kongkow hanya ada di beberapa wilayah di dunia, seperti masyarakat mediterania dan
Indonesia.
Seven Eleven
Adalah Henri Honoris, generasi ke 3 dan penerus dari pemegang hak distribusi Fuji Film di
Indonesia yang melihat marketing insight itu. Di usianya yang masih muda Henri dipanggil
pulang ayahnya untuk menyelamatkan usaha keluarga yang mulai dying. Siapa lagi yang masih
mau membeli film-film rol? Semua sudah serba digital, dan generation Csudah hadir.
Bisnis fotografi Fuji Film di Indonesia drop dari sekitar 2 triliyun rupiah (2002) menjadi Rp.212 miliar
pada tahun 2010. Itupun lebih banyak cetakan-cetakan saja, baik foto studio maupun perkawinan.
Outlet-outlet Fuji banyak ditutup dan sebagian besar asetnya menganggur.
Prinsip yang dibangun Henri sederhana saja. Perusahaan keluarga tak bisa diteruskan dengan
cara yang sama. Pilihannya adalah cara yang ditempuh oleh Putra Sampoerna (jual!) atauperbaiki. Kalau tidak, ya mati! Cuma itu. Henri memutuskan untuk memperbaikinya: Change!
Pada tahun 2006 ia menyurati Seven Eleven yang berkedudukan di Dallas-Texas. Tetapi seperti
kenyataan yang diterima hampir semua pengusaha kita saat itu, 7-Eleven menolaknya mentah-
mentah. Kami belum tertarik. Perhatian kami masih ditujukan ke Brazil, India dan Vietnam, ujar
mereka.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/nongkrong-sindo-7-juni-2012.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=6448963717790070329&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/korupsi-orang-kampus-jawapos-11-juni.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
8/17
-
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
9/17
-
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
10/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:55 Tidak ada komentar:
Mana Janji Suci-nya? Saya kira Andapun tak perlu muluk-muluk membuatmission statementdi
depan, padahal bisnis Anda belum tentu bergerak. Buat saja janji suci dan ucapkanlah berulang-
ulang agar ia memiliki kekuatan gaib. Pengalaman saya dalam membangun usaha, justru yang
belum apa-apa sudah di visi-misi kanlah yang gugur di depan. Visi-misi baru Anda perlukan pada
tahapan formalisasi, tahap lepas landas setelah keruwetan start-up Anda lewati. Mari kita buat
mantra yang gaib itu.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Keluar Dari Kecakapan Ujian
Setiap kali memasuki masa Ujian Nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah
ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan
bersedih menjelang UN. Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para
guru adalah para murid itu banyak dosa dan telah melakukan kesalahan pada orangtua. Alhasil
bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut kesurupan atau
kerasukan setan.
Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk
membuka pintu masa depan anak selain ujian?
Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkanproduk-produk yang standar, yang seakan-akan anak adalah output hasil produksi. Kita seperti
sedang melewati sebuah area "ban berjalan" dengan seorang manajer Jepang, yang mengawasi
ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.
Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut berbakat khusus (special
talent), namun di pabrik kita sebut produk gagal. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah
kata special talent, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari
beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?
Kecakapan Bakat
David McClelland pernah menyatakan bahwa suatu bangsa harus dibangun dengan sistem
kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan
lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han
di China pada abad ke 2 SM, dan dibawa ke dunia barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.
Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke
kecakapan intelegensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa
diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan.
Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Negeri atau seleksi
menjadi PNS melalui pemeriksaan kecapan tertulis. Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari
bahasa, IPA, matematika, hingga Pancasila. Rumus-rumus itu dihafalkan dituangkan pada kertas.
Sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan intelegensia.
Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan
negara harus bertindak secara adil. Negara adalah segala-galanya.
Tetapi itukan dulu. Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada
di pemerintahan, dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya Universitas Negeri. Masyarakatnya
boleh memilih, mau hidup di world 0.0, atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau
professional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: Empat Dunia Yang
Membingungkan).
Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS
bukanlah segala-galanya. Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan
persaingan dan saling melengkapi. Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan
kecakapan ujian, melainkan kecakapan-kecakapan impak, yaitu apa yang sebenarnya dapat
dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang
pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impak
yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian
seterusnya.
Kecakapan seperti ini disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas
Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih
ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masa depannya
dengan lebih damai dan lebih membahagiakan.
Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliahInternational Marketing. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan
sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus Dasar-Dasar Marketing. Suatu ketika saya iseng
menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua
semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya
bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan
dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak marketable dari kacamata
rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=7613960627343958804&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mantra.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mantra.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
11/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:55 Tidak ada komentar:
Begitulah the power of exam merit. Mereka mendapatkan nilai A dalam transkrip nilai karena
bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang
mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas,
hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu
mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa
Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S2 di Amerika. Belajar bahasa Inggris di
masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset?
Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa saya bayangkan mengapa pengusaha
mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan
sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa
mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkanbelajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu
saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana
kertas, atau ilmuwan-ilmuwanpaper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Sistem Politik dan Prestasi Ekonomi
Dalam buku Why Nations Failed, Daron Acemoglu dan James Robinson membandingkan duapengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Bill Gates mewakili pengusaha
yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko.
Apa yang membedakan keduanya patut kita renungkan di sini sehingga bisa dijadikan pegangan
dalam mengembangkan kewirausahaan di tanah air. Apakah Indonesia akan puas dengan
bangunan-bangunan usaha UMKM yang kecil-kecil dan informal dengan tax ratio yang rendah?
Atau menjadikan mereka sebagai industrialis yang inovatif.
Gates dan Slim
Semua sudah tahu, Bill Gates tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat mendorong
terjadinya inovasi dan kompetisi. Bagi yang pro subsidi dan birokasi, itu namanya sistem yang
"liberal". Namun, dalam pemerintahan yang relatif bersih, sistem itu mendorong tumbuhnya sektor-
sektor usaha formal, karena perizinan begitu mudah dan transparan. Politisi tidak mengintervensi
dunia usaha, semua terlihat transparan.
Bunga bank di Amerika Serikat berkisar antara 2 3 persen sehingga memudahkan pengusahamenjadi start up. Infrastruktur begitu bagus sehingga pengusaha beroperasi dalam ekonomi biaya
rendah dan SDM hebat mudah didapat asalkan gajinya cocok. Kalau bank tak mau membiayai
sebuah investasi inovatif yang pasarnya belum jelas, ada venture capitalatau angel investor.
Kalaupun Anda tidak mau menjalankan bisnis sendiri, Anda bisa menjual paten hasil temuan Anda.
Karya cipta Anda dilindungi oleh undang-undang, hakimnya tak bisa disuap, pencuri atau
pendomplengnya dihukum berat.
Demikianlah Gates tumbuh menjadi besar walaupun memulainya dari sebuah garasi kecil.
Didukung venture capital, lalu go public. Hal serupa juga kita saksikan pada Mark Zuckerberg
(Facebook), Larry Page (Google) atau alm. Steve Jobs. Polanya serupa. Namun kalau mereka
membandel, ya tetap saja dikenakan sangsi. Tak peduli apakah mereka orang terkenal, orang
kaya, pengurus partai atau selebriti. Mereka tak perlu menaruh mantan jenderal, mantan birokrat
senior atau pimpinan partai sebagai komisaris. Mereka adalah mereka, semua dilindungi undang-
undang dan bila bersalah, ya dihukum.
Itulah yang dihadapi oleh Gates yang diseret pengadilan pada tanggal 8 Mei 1998 dengan tuduhan
menjalankan praktek monopoli saat ini membundlingInternet Explorer dengan Windows Operating
System. Praktek ini diamati oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat dan FTC sejak 1991.
Microsoft dinyatakan bersalah dan didenda besar.
Hal serupa juga pernah dialami oleh orang-orang terkenal seperti Martha Stewart yang bahkan
sempat dipenjara karena ketahuan melakukan insider tradingdengan menjual sahamnya secara
besar-besaran sebelum harganya jatuh. Karier Stewart pun tamat.
Bagaimana dengan Carlos Slim yang tahun lalu dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya
di dunia dengan menyalib Bill Gates? Slim dibesarkan dalam sistem politik yang korup yang
tidak memungkinkan dirinya menjadi usahawan besar selain berkongsi dengan penguasa. Negara
seperti ini biasanya juga tidak menaruh perhatian pada hak-hak cipta. Usaha-usaha yang tumbuh
di dalam sistem seperti ini biasanya hanya usaha-usaha kecil.
Imigran yang ayahnya berasal dari Lebanon ini semula hanya menerima warisan sebuaha toko,
yang lalu merambah ke usaha properti. Tetapi yang membuatnya kaya bukanlah usaha yang
berbasiskan inovasi, melainkan Telmex. Telmex adalah perusahaan telekomunikasi yang mulanya
milik negara dan pasarnya monopoli.
Saat Carlos Salinas menjadi presiden, pemerintah mengumumkan untuk melepas 51% sahamnya
kepada publik(1989). Meski Carlos Slim bukanlah penawar tertinggi, ia dinyatakan sebagai
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8015842968469113419&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/keluar-dari-kecakapan-ujian.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
12/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:54 Tidak ada komentar:
pemenang. Tetapi bisakah ia membayar tunai semuadealyang sangat besar itu? Tentu tidak.
Saya rasa Anda masih ingat kisah para pengusaha nakal kita yang melakukan praktek yang
sama. Mereka menggoreng-goreng saham itu sampai harganya tinggi, lalu membayarnya dari
kenaikan harga saham atau dari devidennya. Karena dekat dengan politisi, mereka bisa menekan
penguasa supaya harga belinya murah. Tetapi kalau tak kebagian, mereka bikin ribut dan
mempersoalkan kenapa harganya murah lewat parlemen.
Di sini ada juga yang lebih pandai dari Carlos Slim. Mereka mengakali bupati atau gubernur yang
ngiler mendapat dana kampanye. Gubernur atau bupati disuruh menguasai saham perusahaan
asing yang menambang di daerahnya sebagai bagian dari pengalihan saham sesuai undang-
undang. lalu operatornya diserahkan pada mereka. Atau mereka yang meminjamkan uang agar
pemda menguasai sahamnya, lalu dijanjikan pendapatan tetap. Setelah dikuasai, pemda digusur,
dan pembayaran dicicil. Lalu alamnya dikuras habis-habisan. Harga saham naik, alam rusak,namun rakyat tetap miskin.
Mari kita kembali ke Carlos Slim. Melalui kongkalikong dengan pada para pejabat, ia menguasai
sejumlah area usaha. Namun bagaimana kalau melanggar hukum? Berbeda dengan Gates yang
kena sangsi, Slim selalu lolos. Ketika berhadapan dengan kasus monopoli di tahun 1996, Slim
dibebaskan dan tak dikenai hukuman.
UKM Indonesia
Kisah tentang Carlos Slim mengingatkan saya pada seorang anak muda yang terinspirasi dengan
gagasan-gagasan kewirausahaan. Ketika insinyur-insinyur muda Indonesia lebih tertarik membuat
keripik, kebab dan jamur goreng melalui gerobakchise secara UMKM di kaki lima, anak muda ini
justru menjalankan usaha kreatif di berbagai mal dan melawan investor asing. Ia pun berhasil.
Uang sewa ratusan juta rupiah perbulan yang dituntut mal ia bayar. Dan ternyata hasilnya
menguntungkan. Ia membuat kaos seperti ini : I Love Paris. Tetapi di bawahnya tertulis NotHotman. Bisa saja ia disomasi pengacara yang biasa berhasil mempailitkan lawan-lawan kliennya
itu. Tapi syukurlah itu tak terjadi.
Puncak kreativitasnya mentok saat ia menjual baju-baju yang ia desain untuk pasangan Cagub
Jokowi-Ahok yang ternyata laku keras. Saat ia menjelaskan langkah itu, entah mengapa, tangan
saya reflex memukul dahi saya sendiri. Oh My Ghost! CEO Mal itu pendukung Foke. Foke, dan
juga mantan gubernur DKI sangat dekat dan biasa duduk bersama para manor mall Jakarta. Saat
bersama-sama memasarkan Jakarta Great Sale beberapa tahun terakhir ini, Saya yang pernah
jadi model iklannya melihat keakraban itu. Pengusaha mal mana yang bisa menjauh dari
walikota?
Anda tahu apa yang terjadi?
Sejak saat itu kiosnya digeser ke belakang. Barang-barang dagangannya dikuasai pemilik mal,
dan kiosnya yang laku itu diberikan pada orang lain. Ia dipindahkan ke belakang, meskipun
sanggup membayar dan kiosnya digemari anak-anak muda.
Padahal saya ini jualan Jokowi karena pasar, bukan ideologis", ujarnya. Ia pun sekarang luntang-
lantung mencari perlindungan.
Seorang pengacara yang aktif di komisi tiga DPR, teman Jokowi didatangi dan diminta bantuan.
Tentu saja anggota dewan yang pro rakyat ini marah mendengar cerita itu. Ia siap membantu,
tetapi ada syaratnya. Ia minta saham.
Saham? Bukankah anak muda itu tokoh partai yang membawa harapan Indonesia ke depan?
Apa tidak salah? Tidak pak, ia bersungguh-sungguh ujarnya.
Saya ingin menutup kolom ini dengan sebuah pesan moral: Sistem politik seperti ini hanya akan
menghasilkan pengusaha-pengusaha kecil, usaha gerobak kaki lima yang sulit untuk maju.
Insinyur kita hanya akan jadi pengusaha camilan saja. Sementata yang membuat boiler, otomotif,
permesinan, apalagi robot yang mampu menjelajahi asteroid, pasti bukan anak-anak kita.
Di bagian atas, usaha-usaha besar yang sarat perizinan dan tanah (pertambangan dan
infrastruktur) dikuasai mereka yang berkong-kalikong dengan politisi. Sementara di bagian bawah
tak ada yang melindungi entrepreneuruntuk naik kelas. Tak ada akses pada modal besar denganbunga rendah seperti di negara-negara lain, atau seperti yang dinikmati para konglomerat di era
orde baru. Dan tak ada jaminan hukum terhadap inovasi. Bagaimana mau menghasilkan industri-
industri besar? Sistem politik seperti ini sungguh tak menguntungkan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Mereka yang Merombak Usaha Warisan
Donald Trump termenung saat ditanya Steve Forbes tentang apa yang ia persiapkan untuk suksesibisnisnya. Ia hanya bisa berharap anak-anaknya bahagia dengan pilihan orang tuanya.
Erick senang dengan klub bisnis dan itu cocok dengan personalitas saya. Adapun Don senang
dengan bangunan-bangunan, dia fokus di gedung,ujarnya. Trump punya tiga anak, dua pria dan
satu perempuan. Ia belum mempersiapkan apa-apa untuk anak gadisnya yang katanya masih
terlalu dini. Jadi cerita difokuskan pada dua pangeran penerusnya. Seperti Trump, kebanyakan
orang tua yang usahanya berhasil di sini juga memandang usaha lebih dari sekadar kereta hidup.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8646643732037802410&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/sistem-politik-dan-prestasi-ekonomi.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
13/17
Itulah hidupnya sendiri, personalitas dan identitas diri. Usaha dan bangunannya dilihat sama
seperti seorang bikersmemandang Harley-nya atau dokter yang memandang ikan koi hobinya.
Lain Trump, lain Peter Gontha yang dikenal dengan Java Jazz-nya. Bersama putrinya, Dewi
Gontha, hari Selasa lalu keduanya berbagi cerita di depan kelompok Wanita Wirausaha di Jakarta.
Gontha justru bangga dengan anak perempuannya yang sudah 8 tahun membesarkan Java Jazz
dan kini mulai menjadi usaha hiburan yang terpandang.
Meneruskan atau Merombak?
Dalam old school business, orang-orang tua selalu beranggapan anaknya bahagia menjalani
pilihan orang tua. Anaknya merupakan penerus bukan pembaharu. Rumah milik orang tua kelak
menjadi rumah anak dan usaha yang dibangun orang tua akan diteruskan anak-anak danketurunannya. Demikianlah kita melihat Charles Saerang, Irwan Hidayat, dan Jaya Suprana
meneruskan usaha yang diwariskan satu-dua generasi di atas mereka. Neneknya buka usaha
jamu,cucunya ikut.
Tapi bisakah hal itu dilakukan hari ini? Lihatlah fakta-fakta berikut ini. Saat diangkat sebagai CEO
pada 1986, tak terlihat tanda-tanda apa pun anak ini akan menjual perusahaan yang didirikan
kakeknya pada 1913. Ia begitu tekun membina warisan dari ayahnya dan mulai merekrut tenaga
profesional asing untuk mempercepat proses pertumbuhan usaha. Tapi pada Maret 2005 publik
dikejutkan, perusahaan berpendapatan bersih (saat itu) Rp15 triliun tersebut dijual kepada pihak
asing.
Perusahaan ini sangat besar, posisinya berada di urutan ketiga dalam industri dan merupakan
salah satu legenda di sini. Perusahaan yang memproduksi 41,2 miliar batang rokok itu dijual
Putera Sampoerna kepada Philip Morris dan ia beralih ke bisnis-bisnis baru, yakni perkebunan
sawit, telekomunikasi, infrastruktur, dan microfinance. Tak dapat saya bayangkan hal ini bisaterjadi bila Aga Sampoerna (yang meninggal dunia 1994) masih ada. Ceritanya mungkin akan
berubah.
Tapi zaman berlalu, generasi baru pun berubah pikiran. Lebih dari setahun yang lalu saya didatangi
seorang anak muda yang tergopoh-gopoh mencari saya. Setelah bertemu ia hanya minta waktu
untuk menjelaskan visi usahanya. Namun ada satu hal yang ia wanti-wanti. Bapak, tolong jangan
ceritakan ini kepada ayah saya sebelum menjadi kenyataan Fernando, nama anak muda itu,
adalah putra Jimmy Iskandar yang dulu dikenal sebagai fotografer istana dan merintis usaha foto
cetak kanvas.
Jimmy Iskandar merintis Tarzan Photo sejak tahun 1948 sehingga wajar bila ia merasa bisnis ini
sebagai bagian dari personalitasnya dan berharap anak-anaknya dapat meneruskan kejayaannya.
Apakah yang diimpikan Fernando? Saya sudah membantu papa. Semuanya saya lakukan
dengan sungguh-sungguh sampai hari ini.Tapi saya sudah menabung sejak lama, sekarang saya
sedang menegosiasi tempatnya. Nanti pada saat peletakan batu pertama, papa dan mama baruboleh melihatnya,kata dia.
Dan pada hari yang dijanjikan itu saya melihat orang tua Fernando sungguh terkejut. Sebuah
maket besar yang akan segera dibangun muncul di hadapannya. Penerus itu berencana
membangun usaha baru yang mirip Disneyland, tetapi digabung dengan pengembangan talenta
anak. Usaha orang tua jalan terus, tetapi anak sudah punya mainan baru. Bagaimana ke depan?
Apakah pembaharuan itu tidak baik?
Benarkah meneruskan yang sama persis dengan yang dilakukan pendahulu akan lebih
menguntungkan? Saya masih memiliki sejumlah kasus lain yang kalau saya ceritakan di sini tentu
tak akan cukup mengisi seluruh halaman surat kabar ini yang menceritakan kisah tentang anak-
anak yang mengubah arah usaha orang tuanya. Sayang bila orang tua tidak memahami
perubahan-perubahan yang terjadi dan talenta yang dimiliki anak-anaknya. Saya ingin mengajak
orang tua membaca kembali goresan pena Kahlil Gibran di bawah ini.
Anak kalian bukanlah anak kalian. Mereka putra putri kehidupan yang merindu pada dirinya
sendiri. Berikan kepada mereka cinta kalian, tetapi jangan gagasan kalian, karena mereka
memiliki gagasan sendiri. Kalian boleh membuatkan rumah untuk raga mereka, tetapi tidak untuk
jiwa mereka, karena jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak bisa kalian
kunjungi, sekalipun dalam mimpi.
Renungan itu saya tunjukkan ke hadapan banyak orang tua yang tak puas dengan apa yang
dilakukan anak-anaknya yang mengambil jalan yang berbeda dengan kehendak orang tua. Usaha
sudah besar, tetapi anak tak tertarik sama sekali.
Talenta Pembaharuan
Dalam old school business, anak-anak mampu menjadi penerus karena mereka dicetak melalui
sistem persekolahan pabrikan. Metode pabrik yang mencetak murid secara massal dan terstandar
adalah metode kuno yang hanya dipaksakan oleh pemerintah yang tidak paham terhadappendidikan. Biasanya persekolahan seperti itu menerapkan sistem kecakapan ujian (exam merit)
sehingga kecakapan murid diukur dari nilai-nilai ulangan dan ujiannya.
Dan supaya efisien, sekolah juga tidak mau repot-repot memahami gejolak lentera jiwa siswa,
mereka cuma dibanding-bandingkan dengan angka sehingga didapat peringkat. Angka itu adalah
angka kertas, bukan merupakan kesimpulan dari berbagai kecenderungan anak. Suatu ketika
misalnya saya pernah mempertanyakan seorang mahasiswa yang diberi nilai A oleh dosen
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
14/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:54 Tidak ada komentar:
marketingnya.
Tapi setiap kali mengajaknya bicara, saya menemukan fakta lain. Wajahnya, bahasa tubuh,
gestur, dan caranya berbicara sama sekali tidak marketable. Bagaimana mungkin anak ini bisa
diberi nilai A? Anda tak usah bingung, ia dapat nilai A karena ukuran kecakapan di negeri ini
adalah kecakapan ujian. Dosen yang bukan pendidik hanya fokus pada kertas ujian, jadi
kecakapannya sulit diandalkan.
Kalau cara mendidiknya demikian, talenta-talenta yang tersembunyi tetap tersembunyi dan sulit
berkembang. Sistem ini sudah lama dibongkar di mana-mana,tetapi tampaknya masih berlaku di
sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah-sekolah berbasis agama di sini. Sekolah seperti ini
cenderung mendidik dan menutup telinga dan mata hatinya pada talenta-talenta ciptaan Tuhan.
Kendati demikian, benihbenih kesadaran yang berlawanan justru tumbuh di sejumlah guru dan
sekolah-sekolah tertentu yang diam-diam mereformasi dini dari merit exam ke talent exam. Mereka
masih terseok-seok hanya karena satu hal, yaitu ujian nasional yang diberlakukan negara. Tapi
baiklah kita kembali kepada anak-anak yang mengembangkan talentanya. Biasanya hal itu justru
terjadi pada anak-anak yang dibawa orang tuanya bersekolah di luar negeri.
Putra Sampoerna sempat bersekolah di Hongkong dan Australia, Dewi Gontha di Amerika Serikat,
dan banyak lagi para pembaharu justru mendapatkan talenta-talenta asli mereka yang bisa jadi
berbeda dengan kehendak orang tuanya. Jadi menurut saya mereka yang menemukan talenta-
talenta khusus itu berpotensi memperbaharui usaha orang tua dalam arti yang lebih revolusioner,
bisa sekarang, bisa juga setelah Anda tidak ada. Lantas untuk apa mencemaskan mereka?
Bukankah justru yang harus dicemaskan mereka yang sekedar numpang hidup pada bisnis
keluarga? Mereka ini mempunyai ciri-ciri persis seperti penumpang bus. Mereka boleh ngantuk,
bahkan bisa tertidur, dan tak tahu arah jalan. Bisnis keluarga justru bisa berakhir di tanganmereka. Jadi, berikanlah kesempatan kepada anak-anak untuk mengenal talenta mereka sendiri.
Anak-anak ini mungkin akan membongkar usaha yang Anda rintis.
Tapi mereka tak akan membuatnya menjadi museum catatan sejarah yang gelap dan tak
bertenaga. Mereka hanya memperbaharui dan merombak arah agar panjang usia. Jangan
penjarakan jiwa mereka, sebab mereka mempunyai pikiran seluas cakrawala kosmos ini.
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Inklusivitas
Mungkinkah orang-orang Indonesia menjadi Asteroidpreneur seperti yang saya ulas minggu lalu?
Ketika ekonomi China berjaya, bukan hanya orang-orang Amerika dan Eropa yang terperangkap
oleh sinarnya. Pengusaha-pengusaha asal Jepang, Korea, bahkan lawan psikologisnya, Taiwan
juga ingin berinvestasi di sana. Dengan metode Guang Xi, jaringan kedaerahan dan kesukuan,
bahkan pengusaha keturunan asal Indonesia juga berinvestasi dan memindahkan sekolah anak-
anaknya ke China.
China adalah magnet, sekaligus masa depan. Banyak orang percaya China akan menggantikan
peran Amerika Serikat sebagai penguasa dunia. Sama seperti ucapan banyak orang terhadap
Jepang sekitar 25 tahun yang silam. Dan saya menduga, pandangan ini kemungkinan akan
bernasib sama seperti Jepang ketika Kaname Akatmatsu mengulas paradigma angsa terbang (the
flying geese paradigm) dengan Jepang sebagai pemimpinnya di Asia.
Angsa-angsa yang berada di depan selalu diikuti angsa-angsa lain kemanapun ia pergi. Ia menjadi
navigator. Tetapi dalam perjalanannya ternyata tak banyak angsa yang bisa terus berada di depan.
Ia bisa goyah dan gundah sehingga kedudukannya diganti yang lain.
Begitu halnya dengan Jepang dan China yang kini sedang bergulat menghadapi kembalinya
kepemimpinan Amerika Serikat dengan energy murah (khususnya shale gas, yang di fraktur dari
batu-batu di perut bumi , dan biayanya hanya seperempat dari gas-gas alam asal Qatar atau
Indonesia).
Untuk menjadi pemimpin angsa terbang diperlukan Asteroidpreneur, bukan sekedar UKM-Preneur,
apalagi kalau hanya coba-coba dan hanya bergelut di bidang usaha yang mudah-mudah saja
dengan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Kapan menjadi industrinya?
UKM dan Motivator
Salah satu ciri negara yang angsa-angsanya cuma ikut-ikutan terbang adalah pengusahanya
kesulitan melompat. Usaha-usaha mikronya terbelengguseperti burung dara yang sayap-sayapnyadi jahit. Supaya bisa terbang tinggi, tentu saja belenggu-belenggu itu harus di lepas.
Sejak krisis moneter menghantam Indonesia 15 tahun yang lalu, kita menaruh harapan pada
UMKM. Jumlahnya terus meningkat, dari 51,5 juta (2010) menjadi 54,5 juta tahun ini. Tetapi di lain
pihak gairah berindustri turun drastis. Tak ada lagi orang-orang seperti Sukanto Tanoto yang di
awal tahun 1980-an berani membangun industri pulp and paper. Semua anak-anak muda cuma
asyik membuat roti, kue, burger, lele, ikan bakar dan warung gerobak yang di grobak-chise kan.
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=3512521202630360030&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/mereka-yang-merombak-usaha-warisan.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
15/17
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:53 Tidak ada komentar:
Bisa diduga kemana muaranya para wirausahawan seperti ini. Ketika jenuh, mereka beralih
menjadi motivator atau pembicara UKM. Modalnya apalagi kalau bukan spirit Robert Kyosaki yang
mengajarkan bagaimana menjadi orang kaya. Tak sedikit pula yang menanamkan cara-cara
pemasaran bombastis atau cara-cara spiritual. Kata seorang industrialis, perlu dibedakan benar-
benar mana yang merupakan hasil dari suatu percobaan dengan coba-coba. Kelihatannya, lebih
banyak yang iseng dengan coba-coba, bukan kesungguhan yang didasarkan bukti-bukti empiris
yang dapat digeneralisasikan. Dan tentu saja, bisnis seperti ini lebih banyak h it and run. Tapi tak
apa, sepanjang order sebagai motivator masih bisa jalan terus, bukan?
Kita memerlukan UKM untuk menyelamatkan pengangguran, namun untuk memajukan bangsa,
negeri ini juga bentuk industri-industri besar yang dibangun berbasiskan pengetahuan,
sophisticated management dan profesionalisme. Indonesia butuh banyak pesawat-pesawat kecilyang bisa menembus daerah-daerah pedalaman seperti yang dilakukan Ibu Susi Pujiastuti (Susi
Air) atau kapal-kapal penjelajah berbobot ringan yang dibuat dari teknologi material komposit yang
dibuat Lisa Lundin di Banyuwangi.
Kita memerlukan UMKM untuk membuat desain-desain baju dan keperluan konsumsi ringan, tetapi
untuk membuat energy dan otomotif diperlukan usaha-usaha besar. Usaha-usaha besar adalah
lokomotif untuk menarik usaha-usaha kecil.
Inklusivitas
Apa yang membuat anak-anak Amerika bisa menambang di Asteroid sementara kita sibuk melobi
Bupati untuk menambang perut bumi? Ekonom MIT, Daron Acemoglu, bersama James A Robinson
(Harvard) mencari jawabannya. Dalam buku barunya (Why Nations Failed) yang saya jadikan
bacaan wajib di program doktoral di UI, diungkapkan pentingnya spirit inklusivitas.
Dugaan saya, bangkit kembalinya Amerika bukan karena tangible assets atau kekayaan alamnya.Ketika Inggris masuk ke Benua Amerika pada abad ke 16 (yang kelak menjadi Amerika Serikat)
bukanlah karena negeri ini kaya hasil bumi seperti yang dikuasai Spanyol atau Portugis.
Melainkan karena hanya itulah yang tertinggal.
Amerika menjadi bangsa besar justru karena prinsip inklusivitas. Abraham Lincoln menghapuskan
perbudakan, Luther King menghancurkan segregasi warna kulit. Selera-selera picik terhadap
superioritas ras, agama, atau kelompok-kelompok disingkirkan demi penghargaan pada kesamaan
hak. Jangankan diskriminasi terhadap ras, terhadap gender saja bisa menjadi masalah besar.
Dengan prinsip-prinsip itulah orang-orang pintar dari mancanegara pindah ke Amerika Serikat.
Mereka bisa kuliah dengan tenang dan menjadi ilmuwan-ilmuwan terpandang. Ada kemerdekaan
hakiki yang dirasakan, tatapi begitu seseorang mengeluarkan ancaman pada orang lain, hukum
selalu ditegakan.
Karena itulah banyak anak-anak pintar Indonesia yang tidak pulang mengabdi disini. Seperti
ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang saya temui di Silicon Valleyyang hidup tenang bersama dengananak-anaknya yang sudah mulai berkuliah di kampus-kampus terkenal. Mereka diperlakukan
sama dengan orang-orang cerdas lainnya yang datang dari India, Pakistan, Iran, China, Korea,
Rusia, Canada dan sebagainya.
Cara ini sepertinya tengah di terapkan pemerintah Singapura yang dulu diduga mempunyai selera
etnik terhadap para pelajar berprestasi kaum keturunan Tionghoa di Asia Tenggara. Singapura
kini mulai membidik anak-anak pandai dari berbagai etnik, termasuk dari Indonesia. Tak
mengherankan tak lama lagi mereka akan menjadi negeri yang tak kalah hebat dari China dan
Amerika.
Lantas apa yang akan dilakukan oleh para UKMpreneur Indonesia? Menurut hemat saya, ini lah
saatnya anak-anak muda beralih dari UKM menjai industi. Dan untuk itu prinsip inkluivitas perlu
dibangun. Ayo melompatlah! Jadilah Asteroidpreneur, jangan berpuas diri!
Rhenald KasaliFounder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Perjalanan Dinas
Seorang pembaca menulis, kalau dari 4,7 juta PNS menghabiskan biaya perjalanan dinas sebesar
Rp 23,9 Triliun (2012), maka rata-rata perorang PNS hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 5,1
juta rupiah. Namun yang membuat hatinya tersayat-sayat adalah fakta ketika ia membaca
perjalanan dinas 560 orang anggota DPR yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 140 milliar. Kalau
dibagi rata, maka setiap orang wakil rakyat yang kaya-kaya dan senang belanja itu menghabiskan
sekitar Rp 250 juta.
"Wajar" Katanya, "Bila mereka diprotes mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri."
Perjalanan dinas yang besar telah menjadi ciri birokrasi dan kekuasaan pasca reformasi. Di
berbagai media kita membaca, anggaran perjalanan dinas terus dicuri orang-orang tak bertanggung
jawab dengan tiket-tiket bodong. Namun anehnya, bukan dikurangi, budgetini justru terus
diperbesar. Dari rencana semula Rp 2,9 Triliun (2009) menjadi Rp 15,2 Triliun. Lalu hanya selisih
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.htmlhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=702702288961365953&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/inklusivitas.html -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
16/17
dua tahun, angkanya sudah berlipat dua tahun ini menjadi Rp 23 triliun.
Bagaimana bangsa ini mengatasi masalah ini?
Rampingkan Semuanya
Organisasi pemerintahan yang gemuk adalah ciri pemerintahan World 1.0 yang saya bahas
minggu lalu, sedangkan di era early globalization yang ditandai dengan desentralisasi dan
deregulasi, pemerintahan yang sehat dan pro rakyat tidak memerlukan PNS dalam jumlah besar.
Kalau pemerintahan mau sehat dan rakyatnya memiliki daya juang yang tinggi, berikan ruang yang
besar pada masyarakat untuk berpartisipasi. Inilah ideologi pemerintahan di World 2.0.
Tetapi alih-alih menjadi ramping, di era desentralisasi ini, jumlah pejabat ditingkat pusat justru
berlipat ganda. Jumlah pejabat eselon satu dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlipat dua.Kalau yang diatasnya berlipat dua, otomatis yang dibawahnya ikut berlipat- sudah begitu jumlah
badan dan komisi-komisi terus bertambah, dan maing-masing menuntut tambahan sekretars
jenderal dan deputy yang kedudukannya setara dengan eselon 1. Dan sekarang pun ada eselon 1
dan ada eselon 1A.
Sementara jumlahnya terus bertambah, kualitas layanan tidak membaik. Fungsi pemerintah pusat
berkurang tetapi orangnya terus bertambah. Di berbagai daerah, masalahnya juga sama saja.
Daerah-daerah terus menuntut pemekaran, dan semua pegawai tidak tetap menuntut di PNS-kan.
Di beberapa propinsi saya menemukan kepemimpinan-kepemimpinan buruk yang mengakibatkan
PNS adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muda untuk bekerja. Industri tidak digerakkan dan
pertanian dibiarkan mati suri.
Padahal sejak tahun 1990-an negara-negara yang perekonomiannya sehat telah mengajarkan kita
bahwa pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang ramping. Ramping jumlah orangnya,dan ramping strukturnya. Negara harus bertobat untuk mengurus semua hal kalau tidak bisa
mengaturnya. Lebih baik bekerja dengan struktur yang simpel dengan orang-orang terpilih yang
diberi gaji besar daripada menjadi semacam lembaga sosial yang menampung pengangguran
dengan gaji kecil-kecil sehingga banyak orang mempunyai alasan untuk mengambil penghasilan di
luar dari pendapatan resmi.
Pegawai yang besar jumlahnya dengan gaji yang kecil telah mengakibatkan tak ada kontrol dan
tak ada pembinaan. Orang-orang yang semula bagus, entah mengapa, setelah lima sepuluh tahun
bekerja di birokrasi banyak yang terkontaminasi, menjadi kurang produktif dan tidak disiplin.
Birokrasi telah berubah menjadi organisasi yang sangat gugup dan begitu kuat untuk melayani
dirinya sendiri. Boleh dikata apapun yang dibutuhkan para pegawai ada di tempat setiap kantor
kementerian atau badan-badan milik pemerintah, meski tidak merata dan tergantung pada power
yang mereka miliki.
Banyak kantor kementerian yang setiap level direktorat jenderalnya memiliki balai diklat sendiri-
sendiri lengkap dengan prasarana yang hebat, namun sayang kualitas trainernya maaf, masih
perlu di upgrade kembali. Mereka masing-masing memiliki fasilitas ruang rapat yang bagus,
termasuk vila yang besar di puncak, tetapi lebih senang menyewa kamar di hotel. Sebagian
kementerian punya lapangan sepakbola, kolam renang dengan kualitas sedikit di bawah stadion
nasional dan tentu saja segudang fasilitas lainnya.
Kalau mau bepergian, urus kenaikan pangkat sampai urus kematian ada seksi pembaca doa.
Semuanya lengkap ada didalam. Pendeknya, Birokrasi memiliki kemampuan melayani atasan
sendiri yang prima. Par Excellence.
Namun keterampilan melayani keatas yang berlebihan ini tidak diikuti dengan kemampuan
melayani masyarakat dengan baik. Perijinan dan infrastruktur justru mendapat keluhan terbesar.
Belum lagi pelayanan-pelayanan rutin. Prosesnya berbelit-belit, lama dan terkesan kurang orang,
kurang dukungan prasarana. Padahal birokrasi kita gemuk dan sudah terlalu banyak orang.Bukankah ini sudah saatnya berbenah?
Evaluasi-Eliminasi
Merampingkan birokrasi memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ditengah-tengah
sistem politik seperti ini akan semakin besar tantangannya. Namun apapun bentuk sistem
politiknya saya kira sudah saatnya dilakukan 3E, yaitu Evaluasi, Estimasi, dan Eliminasi.
Inilah saatnya melakukan evaluasi apakah kita ingin terus hidup seperti ini atau berubah. Birokrasi
tak bisa diperkuat hanya melalui kepemimpinan perseorangan. Ia harus dibongkar, bahkan
dirancang ulang. Evaluasi ini hanya meliputi 3R, yaitu Requirement,return, dan reward. Tetapi
dengan sistem dan budaya yang seperti ini, umumnya evaluasi hanya dilakukan untuk mengejar
kenaikan imbal jasa (reward), sedangkan kinerjanya (return) dan kualifikasi (requirement)
diabaikan.
Para pemimpin hendaknya menyadari bahwa dalam setiap lembaga terjadi tiga hal berikut inidalam pengelolaan SDM, yaitu abuse, diuse dan misuse. Intinya, hanya ada sedikit orang yang
melakukan pekerjaan segudang (abuse) dan ada banyak orang yang kerjanya hampir tidak ada
atau terlalu sedikit (disuse). Sementara itu, bagian terbesar pegawai di birokrasi justru
mengalami misuse: Terlalu banyak orang melakukan hal yang salah.
Pengalaman saya di birokrasi menemukan ketiga hal diatas menjadi sangat biasa dalam pekerjaan
sehari-hari. Menteri-menteri lebih sibuk mengurusi panggilan parlemen dan melakukan perjalanan
converted by Web2PDFConvert.com
http://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDFhttp://www.web2pdfconvert.com/?ref=PDF -
7/28/2019 Rhenald Kasali Blogspot Com 16
17/17
Posting Lebih Baru Posting LamaBeranda
Langganan: Entri (Atom)
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 03:52 Tidak ada komentar:
dinas atau hal-hal teknis. Tak ada yang memikirkan kelembagaan dan masa depan kementerian.
Ketika merasa frustasi, menteri-menteri lalu memilih bekerja dengan staf-staf khusus dan pejabat-
pejabat tertentu saja, sedangkan sisanya urus diri masing-masing.
Biaya perjalanan dinas yang membengkak bagi saya adalah sebuah alarm peringatan bahaya,
bahkan birokrasi kita telah semakin tambun dan sibuk urus dirinya sendiri. Inilah saatnya untuk
meremajakan, melakukan transformasi mendasar untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik
Rhenald Kasai
Founder Rumah Perubahanl
Rekomendasikan ini di Google
Template Simple. Gambar template oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.
http://www.blogger.com/http://www.istockphoto.com/googleimages.php?id=5972475&platform=blogger&langregion=inhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://rhenald-kasali.blogspot.com/http://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-max=2012-06-05T03:52:00-07:00&max-results=7http://rhenald-kasali.blogspot.com/search?updated-max=2012-08-02T14:45:00-07:00&max-results=7&reverse-paginate=truehttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=facebookhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=bloghttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=1900678470367809521&postID=8899422984849380794&target=emailhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.html#comment-formhttp://rhenald-kasali.blogspot.com/2012/06/perjalanan-dinas.html