Rhenald Kasali Blogspot Com 13
-
Upload
arya-setyaki -
Category
Documents
-
view
45 -
download
9
description
Transcript of Rhenald Kasali Blogspot Com 13
Beranda
RABU, 08 AGUSTUS 2012
Pendataran dan Perubahan - jawapos 6 Agustus 2012Angin perubahan kembali bertiup. Kalau kepala sekolah mendiamkan para senior melakukanbullying pada para juniornya, maka orangtua cukup menekan tombol twitter dan bergeraklah dewikeadilan. Para siswa, dan kepala sekolah SMA Don Bosco mungkin tak pernah menyangkakasusnya akan menjadi perhatian nasional. Mereka juga tak menyangka harus bermalam dikantor polisi. Bisakah insiden SMA Don Bosco menjadi awal bagi berakhirnya insiden bullyingyang masih marak di berbagai sekolah?
Tentu saja bisa, asalkan masyarakat mau menjalin kekuatan yang sekarang justru ada ditangannya sendiri. Ia bergeser dari pusat-pusat kekuasaan formal yang menyandera kehidupan pada kekuatan mayarakat sipil yang saling terhubung satu dengan lainnya. Saya kira itu pulalahyang tengah bergerak di dunia penegakkan hukum dan di dunia pendidikan. Saat berubah, keduanya juga mengalami inertia (kelembaman) dan kekenyalan yangsama sehingga sempat berlarut-larut, namun kontrol publik begitu kuat sehingga sulitmenyembunyikan agenda-agenda terselubung. Kalau mau ditambahkan, angin perubahan sebenarnya juga tengah bertiup di LembagaPenyiaran Publik (TVRI). Saat ini kalau anda perhatikan, layar TVRI mulai lebih kinclong, penyiar-penyiar muda mulai tampak, program-program baru mulai masuk daftar 30 besar, dan Liga Italiaakan jadi tontonan menarik. Bagaimana inertia dan resistensinya ? Tentu saja pasti ada. Namun apakah yang membuat gelembung perubahan tidak berhenti di tempat danmenumbangkan kepongahan? Inilah puncak dari gelembung komunikasi horizontal yangfenomenanya juga kita saksikan dalam putaran pertama pilgub DKI kemarin atau dalamkekisruhan kuasa di Universitas Indonesia. Kekuasaan bergeser dari pejabat ke tangan rakyat, dariartis besar ke rakyat jelata, dari partai politik kepada pelayan publik.
Kasus UI Untuk memudahkan, saya mulai saja dengan gelombang keributan yang minggu ini ramaidiberitakan tentang rektor UI. Setelah delapan dekan mengeluarkan mosi tidak percaya padaatasannya, kini hampir semua elemen di UI, termasuk dewan guru besar menyatakan hal serupa.Hari Jumat kemarin mahasiswa (BEM) pun “memecat rektor”. Ini benar-benar sejarah kelam dalamkepemimpinan Universitas negri yang diikuti oleh leadership yang lemah pada tingkat kementrian.Mengurus satu orang saja menjadi berbelit-belit. Hal mudah telah dibuat menjadi sulit. Fakta-faktadiabaikan, padahal mereka sudah diberitahu.
Publik yang tak mengerti mungkin mengira perlawanan berawal dari pemberian gelar padaraja Arab Saudi –tak lama setelah seorang TKI dihukum pancung- akhir tahun lalu. Namunsebenarnya, pemicu awal adalah rentetan fakta-fakta yang dibocorkan para pegawai di lingkaransatu kepada para dosen. Mulai dari biaya pakan hewan peliharaan rektor sampai biaya perjalanandinas. Sementara hampir semua fakultas mengalami kesulitan pendanaan, atasannya asyikmemakai anggaran tanpa kontrol. MWA yang diadukan ternyata punya masalah yang sama, rektorenggan dikontrol, bahkan pembangunan-pembangunan gedung dilakukan tanpa approval mereka.Wajar bila akhirnya MWA hendak memberhentikan rektor, tetapi mendiknas menganulirnya.
Saya tidak ingin bercerita banyak tentang lembaga yang sangat saya cintai ini, tetapiintinya adalah munculnya kekuatan komunikasi horizontal yang begitu kuat yang mengungkapkansegala kepalsuan dan menyatukan perlawanan. Sampai saat ini, bisul terlihat sudah akan pecah,kecuali politik kembali memainkan perannya. Saya hanya menyayangkan para pejabat negarayang tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi. Di abad ini, leadership yang kuatharus diimbangi dengan kemampuan mendengarkan yang baik. Menguasai anggaran ataukedudukan formal saja tak cukup menjadikan seseorang pemimpin kelas satu.
Universitas yang berwatak kolegial, di tangan pemimpin yang pongah bisa berubahmenjadi sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisasi di UI justru dibangun pada saat duniasedang menuju ke era desentralisasi dan people empowerment. Pemimpin yang pongah biasanyalupa bahwa kekuasaan itu paradox, pada saat merasa kuat, sesungguhnya ia sangat lemah. Kekuatan itu pudar, saat kepercayaan hilang.
Segi Tiga Terbalik Siap atau tidak, universitas tentu harus terus berubah dan memperbaharui komitmennya.
Blog ini bukanlah blog pribadi RhenaldKasali, melainkan blog yang berisi kumpulanartikel beliau yang dimuat di berbagai mediamassa di Indonesia.
TENTANG BLOG INI
Rhenald Kasali adalah dosen FakultasEkonomi Universitas Indonesia dan KetuaProgram Pascasarjana Ilmu ManajemenFakultas Ekonomi universitas tersebut.Selain bergerak sebagai akademisi, priabergelar Ph. D. dari University of Illinois inijuga produktif menulis. Buku-buku yangditulisnya selalu menjadi perhatian kalanganbisnis dan hampir semua bukunya menjadibest seller di kalangan mahasiswa.
Berikut beberapa buku yang telah ditulis Prof.Rhenald Kasali.
Sembilan Fenomena Bisnis - 1997
Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi,Targeting dan Positioning, GramediaPustaka Utama (1998)
Sembari Minum Kopi Politiking diPanggung Bisnis, Gramedia PustakaUtama
Sukses Melakukan Presentasi, GramediaPustaka Utama (2001)
Change!, Gramedia Pustaka Utama(2005)
Recode Your Change DNA, GramediaPustaka Utama (2007)
Mutasi DNA Powerhouse, GramediaPustaka Utama (2008)
Wirausaha Muda Mandiri, GramediaPustaka Utama (2010)
Myelin: Mobilisasi intengibles sebagaikekuatan perubahan, Gramedia PustakaUtama (2010). Buku ini menjadi rujukanperusahaan-perusahaan besar diIndonesia
Cracking Zone, Gramedia Pustaka Utama(2011)
Selain mengajar di Universitas Indonesia, iajuga menjadi dosen terbang di ProgramMagister Manajemen Universitas SamRatulangi, Universitas Tanjung Pura,Universitas Udayana, dan UniversitasLampung.
Atas kerja kerasnya, Rhenald mendapatkanbeberap penghargaan sebagai berikut.
Piagam Penghargaan Satya Lencana
PROFIL RHENALD KASALI
Penghargaan
2ShareShare More Next Blog» Create Blog Sign In
converted by Web2PDFConvert.com
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 22:01 Tidak ada komentar:
Demikian juga dengan Polri yang tengah berperang melawan korupsi. Bila dulu semua Jendraltergantung pada komando Kapolri dengan kedekatan senioritas almamater, maka kini para Jendralsangat tergantung pada seluruh warga negara. Semua ini terjadi melalui proses pendataran, yangbergulir begitu cepat dalam 10 tahun terakhir ini.
Dalam proses pendataran itu, segitiga hirarki dengan CEO, atau komandan di pucukpimpinan telah menjadi terbalik. Para CEO, penguasa, komandan dan orang-orang pintar kiniharus puas duduk dibawah melayani atasan-atasan yang dalam strata adalah bawahan-bawahannya sendiri. Semua orang sekarang dituntut untuk menjalankan pelayanan dan memimpindengan servant leadership seperti yang diajarkan Robert Greenleaf (1977).
Dalam tesis Greenleaf, pemimpin adalah pelayan: CEO adalah pelayan bagi parapelanggan, komandan adalah pelayan bagi prajurit, presiden adalah pelayan rakyat dan pejabatadalah pelayan publik. Greenleaf mengatakan ada sepuluh pilar yang harus dimiliki setiappemimpin, tetapi saya mengerucutkannya menjadi tiga: Kemampuan mendengar, berempati, danmenangkap keinginan akar rumput. Hanya mereka yang mampu menjalankan amanah inilah yangakan berhasil, sedangkan yang mempertahankan kuasa akan jatuh dan terkubur dalam kesulitan.Itulah pesan dari proses pendataran ini.
Rhenald KasaliFounder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
SENIN, 06 AGUSTUS 2012
Kepemimpinan Orang-orang Kalah - Kompas 6 Agustus2012JOKO Widodo yang maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta mengatakan dirinya tak punyauang. Maka, ia pun menjadi bingung saat dituding telah menjalankan politik uang.
Pertarungan antara kubu Joko Widodo-Basuki T Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli masihterus berlangsung, seperti halnya yang dihadapi hampir semua kontestan pilkada dari Aceh hinggaPapua. Dalam banyak kesempatan selalu ditemui babak selanjutnya.
Meskipun demikian, reaksi yang muncul dari setiap pihak bisa berbeda. Ada yang menunjukkanbahwa mereka memiliki sikap pemenang yang berorientasi ke depan dan introspektif terhadapmasa lalu, ada yang bertarung dengan mentalitas pecundang yang berorientasi ke masa lalu danmenyalahkan orang lain.
Kalau diperhatikan, hampir semua politisi yang bertarung pada era demokrasi ini tidak siapmenyambut kemenangan. Yang menang gagal menjalankan apa yang dijanjikan dan bila kalahselalu menyalahkan orang lain. Kalau mencari uang gagah berani, tetapi bila tertangkapmelakukan kejahatan enggan bertanggung jawab.
Belajar akui kesalahan
Lima belas tahun yang lalu saat masih bersekolah di Amerika Serikat, anak saya pulang ke rumahdengan muka terluka. Begitu bertemu ibunya, ia menangis sambil memeluk. ”It’s OK mommy, itwas my mistake. I was wrong.” Saat kembali ke Indonesia ia suka protes. ”Mengapa teman-temanaku suka tak mengakui kesalahan? Mereka pun selalu mengulanginya.”
Sebagai orangtua, saya tentu kesulitan menjawab. Akan tetapi, saya berpikir, anak-anak belajardari orangtua dan orangtua belajar dari para pecundang yang tidak siap menerima kekalahan.
Jawaban itu akhirnya saya peroleh dari Denis Waitley (1986) yang menulis ”Psychology ofWinning” hasil studi Kassam, Morewedge, Gilbert, dan Wilson (Psychological Science, April2011). Saya jadi mengerti mengapa Presiden Amerika Serikat yang kalah dengan gagah beranimengucapkan selamat kepada pemenang hanya sesaat setelah hasil polling mengumumkankekalahannya. Saya juga jadi mengerti, mengapa anak-anak di dunia Barat lebih seringmengatakan ”saya yang salah”, sementara di sini semakin banyak orang yang mengatakan ”bukansalah saya”.
Dari berbagai literatur diketahui bahwa di negara-negara demokratis, selain komunikasi yangasertif, pada anak-anak selalu ditanamkan sikap-sikap pemenang. Seorang pemenang bukanotomatis memenangi persaingan, melainkan yang menjaga kehormatannya.
Orang kalahSeingat saya, di sekolah anak saya dulu, guru selalu mengingatkan bahwa pada akhirnya orangyang kalah bukanlah yang terpenjarakan atau tergusur dari kursinya, melainkan orang yangmelemparkan kesalahannya kepada pihak lain.
Ketika seorang pemenang mencari cara ”bagaimana menyelesaikan” masalahnya, orang- orangyang kalah ”sibuk mencari alasan”. Tak banyak pemimpin yang menyadari bahwa mereka telahmenjadi ”bagian dari masalah” dan bukan solusi.
Karya Satya 10 tahun dari PresidenRepublik Indonesia , Piagam No.112451/4-22/2004
Penghargaan "KREATIVITAS" di bidangPendidikan dari Yayasan PengembanganKreativitas, Yayasan PengembanganKreatifitas , Surat No. 46/SK-YPK/IV/2005
Piagam Penghargaan dari RektorUniversitas Indonesia sebagai PenulisBuku , UI , Piagam Penghargan Rektor UItgl. 9 Mei 2005
Alice & Charlote Biester Award (1995)
Dosen Terbaik, FEUI (2003)
Pada 4 Juli 2009, Rhenald dinobatkanmenjadi guru besar Ilmu Manajemen diUniverstas Indonesia. Saat pengukuhannyasebagai guru besar, Rhenald membawakanorasi ilmiahberjudul "Keluar dari Krisis:Membangun Kekuatan Baru Melalui CoreBelief dan Tata Nilai".
sumber www.wikipedia.com
Guru Besar
PENGIKUT
▼ ▼ 2012 (74)► ► Oktober (9)
► ► September (7)
▼ ▼ Agustus (4)Pendataran dan Perubahan - jawapos 6
Agustus 2012
Kepemimpinan Orang-orang Kalah -Kompas 6 Agustus ...
Gejala berpikir “di belakang kurva”semakin menonj...
Tempe - Jawapos 30 Juli 2012
► ► Juli (7)
► ► Juni (12)
► ► Mei (4)
► ► April (6)
► ► Maret (8)
► ► Februari (8)
► ► Januari (9)
► ► 2011 (13)
ARSIP BLOG
converted by Web2PDFConvert.com
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 08:38 Tidak ada komentar:
Seorang pemenang selalu menghormati orang-orang yang lebih hebat dan mau belajar. Ia dihormatibukan karena menang atau dicurangi, melainkan karena menghormati kemenangan, menjagakehormatan.
Sementara orang yang mengabaikan kehormatannya selalu merendahkan keberhasilan orang laindan merasa lebih hebat dari siapa pun juga. Wajar bila mereka gemar mencegah agar orang lainberhasil. Mereka menggunakan argumentasi omong kosong dengan nada keras. Berbeda denganpemenang yang argumentasinya kuat, tetapi disampaikan dengan lembut dan santun.
Mau ke mana Indonesia kalau para politisi dan pemimpinnya tak punya karakter pemenang? Apajadinya kalau generasi muda tidak dipersiapkan untuk menjadi pemenang? Bangsa yang kalahakan selalu curiga dan memusuhi bangsa-bangsa yang lebih hebat dan beranggapan bahwa adaperan faktor keberuntungan. Padahal, pemenang melihat keberuntungan sebagai buah dari kerjakeras dan disiplin. Bangsa yang kalah mudah tersulut emosi, tetapi ragu-ragu bertindak.
Rhenald kasali Guru Besar FEUI; Founder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
KAMIS, 02 AGUSTUS 2012
Gejala berpikir “di belakang kurva” semakin menonjol belakangan ini. Gejala ini ditandai dengankeputusan-keputusan yang bersifat reaktif, instant, short term (jangka pendek), jalan pintas,populis, emosional, dan tentu saja tidak visioner. Tidak visioner, tidak terkoordinasi satu denganlainnya, tidak didasarkan fakta-fakta yang mendalam tentang keadaan di masa depan (intelligencedata gathering), tidak menyatu, tidak didukung leadership yang kuat, dan tentu saja tidak kritis.Bangsa-bangsa yang besar atau yang merdeka memilih kemandirian. Dan kemandirian berartihidup “di depan kurva” dengan mengantisipasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi di depanuntuk menyelamatkan bangsa dari persoalan-persoalan yang lebih buruk.
The Pain or The Gain
Dalam literatur strategic thinking dikenal istilah “ ahead of the curve” yang berartimenduduki posisi 10% teratas. Kalau sebuah data besar dipetakan, maka biasanya posisi 10%teratas ada di sisi sebelah kanan. Dan mereka yang duduk di posisi 10% teratas itu disebutberada di kepala kurva.Bangsa-bangsa yang duduk di kepala kurva diketahui memiliki cara berpikir jauh ke depan(thinking ahead) dan berani menghadapi “pain” (rasa sakit) untuk mendapatkan “gain” (manfaatdikemudian hari). Sebaliknya, mereka yang menduduki posisi 10% di sebelah kiri punyakecenderungan berpikir di belakang kurva seperti yang saya sebut di atas.
Orang-orang yang berpikir di belakang kurva punya kecenderungan enggan bertarung melawankesulitan, dan bila menghadapi tantangan selalu melihat rasa sakit (pain) yang besar ketimbangpotensi “gain” di masa depan.
Seperti itulah Philip Delves Broughton (2008) menggambarkan mahasiswa Harvard yang kelakmemimpin perusahaan-perusahaan besar dan rela membayar US$ 175.000 selama dua tahun diBoston, plus kurang tidur dan bertarung melawan rasa khawatir. Bukunya Ahead of The Curve (TwoYears at Harvard Business School) bercerita tentang apa-apa saja yang ia hadapi selama duatahun di Harvard. Buku ini berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Joseph H. Ellis (2007) yangwalaupun berjudul sama lebih berbicara tentang perilaku data hari ini yang cenderungmembingungkan, dengan indikator-indikator saling bertentangan, persis seperti data poolingpilkada, serta petunjuk-petunjuk yang menyesatkan.
Ellis menempatkan data-data itu pada konteksnya dan berkesimpulan, hanya bila seseorangberani melepaskan jiwanya dari sejarah dan kegalauan, maka ia baru bisa menjelajahi kurva barudi masa depan. Tentu saja hidup di depan kurva bagi kedua penulis itu adalah hidup yang penuhtantangan yang bila dijalankan akan membawa bangsa itu terus ke depan. Sementara yangmenganut cara berpikir di belakang kurva akan terus menjadi bodoh, dan sering tertawa sendirimentertawakan kesulitannya.
Tempe, Mobnas dan BBM
Ada benang merah yang sama antara pengambilan keputusan tentang pembebasan beamasuk kedelai saat pengusaha tempe mogok produksi dengan rangkaian kebijakan sejumlahpihak pada produksi mobil-mobil nasional yang marak belakangan ini (dan segera setelah itumenjadi museum) dengan keributan para politisi tentang subsidi BBM.
Semua solusi yang diambil jelas sekali mencerminkan cara berpikir jangka pendek,instant, populis, reaktif dan jalan pintas. Tidak banyak pemimpin yang berpikir bahwa cara terbaikmendapatkan kedelai untuk kepentingan industri tempe adalah mengembalikan kemerdekaan parapetani. Namun karena para petani tersebar luas di seantero nusantara (dan kebijakannya ada ditangan para Gubernur dan Bupati), dan urusan pembenahan pertanian membutuhkan strategimenyeluruh memerangi para mafia (mulai dari mafia pupuk, importir, pestisida dan irigasi) sungguhmerepotkan, maka diambilah jalan paling sederhana yaitu memangkas habis bea masuk yangsudah kecil itu (5%).
converted by Web2PDFConvert.com
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 14:46 Tidak ada komentar:
Lantas apakah dampaknya bagi ketersediaan kedelai dan masa depan pertanianIndonesia ? Hal serupa juga tampak dalam langkah-langkah produksi mobil-mobil nasional yang belummempersiapkan banyak hal, atau subsidi BBM yang ternyata hanya dinikmati rakyat Indonesiabagian barat dan sebagian di tengah. Rakyat yang hidup di bagian timur yang justru memilikicadangan sumber daya energy yang besar justru harus membayar BBM empat kali lebih mahaldari harga subsidi karena infrastruktur di daerah-daerah itu tidak sebaik di Pulau Jawa.
Kalau diurut kebelakang dari ke depan maka cara-cara bekerja serupa tampak jelas dalambanyak kasus. Mulai dari bagaimana Pemda DKI memindahkan para peziarah di makam MbahPriok, sampai penutupan terminal bayangan di jalan tol Jatibening. Dari pembuatan iklanparawisata Indonesia di stasiun televisi BBC (yang sekedar muncul) sampai kebijakan impor berasdan aneka pangan lainnya. Dari upaya menggantikan BBM dengan BBG yang dilakukan tanpapersiapan sampai impor garam secara besar-besaran.
Ada kesan kuat bangsa ini telah terperangkap oleh cara berpikir yang reaktif dengan sudutpandang di belakang kurva. Ini berarti ketidakpastian di masa depan yang harusnya bisa dilihat,telah diabaikan karena macam-macam sebab. Sebab pertama, para pemimpin “buta” melihatfakta, atau “takut” memandang realita yang harus dihadapi. Kedua, Indonesia telah tersandera olehsystem politik yang mengarah pada kegagalan bertindak. Ketiga, negeri ini telah dikuasai olehpara mafia yang mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang terabaikan olehnegara. Keempat, tidak ada “integrator” yang berperan menyatukan seluruh gerak vertikal –horizontal dalam system managemen pemerintahan pusat maupun daerah.
Atau, keempat itu semuanya hadir karena absennya strategic planning dalampembangunan yang menyatukan seluruh gerak bangsa dengan kepemimpinan yang kuat.Pembicaraan saya dengan para CEO menyimpulkan, keadaan yang terakhir itulah yang sangatdirasakan. “Stakeholder” Indonesia “sangat bermain” dan “liar”. Kinilah saatnya untuk memotongsemua “Red Tapes” yang membelenggu Indonesia. Melahirkannya kembali, memerdekakan daribelenggu yang mengikat pikiran di belakang kurva.
Rhenald KasaliFounder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Tempe - Jawapos 30 Juli 2012Duh tempe. Mengapa engkau menghilang?Beberapa waktu lalu saya pernah didatangi oleh sebuah badan sosial international untukmembangun pabrik tempe. Tentu saja motifnya bukan komersial, melainkan menimbulkan “echoeffect” dengan menghadirkan pabrik tempe yang efisien dan mampu menjadi role model dalamperbaikan kualitas produk dan efisiensi produksi.
Orang-orang asing yang membuat model pabrik tempe itu berargumentasi, tempe adalah makananrakyat Indonesia yang sangat populer. Ia bahkan menjadi andalan gizi masyarakat. Bahkanalmarhum Ong Hokham, sejarawan UI, pernah menulis bahwa rakyat yang disiksa tentara Jepangmasih bisa selamat karena makan tempe. Tempe telah menyelamatkan bangsa ini dari bencanagizi buruk karena kandungan proteinnya cukup besar. Tanpa tempe tak jelas betul bagaimana kitamelewati krisis ekonomi 1997 yang melumpuhkan daya beli rakyat.
Namun lebih dari itu ia menunjukkan foto-foto yang sudah bisa kita lihat dan selama ini kitadiamkan. Yaitu tentang proses pembuatannya yang maaf, sungguh menggelikan. Anda tentusudah sering mendengarnya. Dalam skala rumahan, pegawai pabrik berkaos singlet yangmenginjak-injak kedelai, dalam ruangan yang lembab dan tertutup, higienitas menjadi pertaruhan.Sementara kualitas air yang pabriknya terletak di tepi kali menjadi masalah, demikian juga drum-drum bekas oli dan bahan-bahan cair berbahaya yang dipakai dalam prosesnya. Tetapi apa bolehbuat, selama ini kita sehat-sehat saja makan tempe yang demikian, bukan?
Saya pun tertarik untuk menyediakan lokasi agar pabrik yang benar, dapat dijadikan acuan paraperajin tempe. Jadi motif kami lebih untuk mengedukasi. Hanya saja sayangnya, biaya investasipembuatan pabrik tempe yang modern ini memang tidak kecil bila dibandingkan dengan usaha-usaha rumahan yang bisa dibuat seadanya saja dalam ruangan rumah kontrakan. Namun dalamjangka panjang ini jelas jauh lebih hemat. Jadi dengan proses yang lebih modern, hasilproduksinya harus diarahkan untuk segmen kelas atas yang berpenghasilan tinggi.
Solusi Harga
Jadi ketika harga kedelai mulai bergerak baik dari Rp 5000,- menjadi Rp 8000,- kami pun ikutterperanjat. Tentu saja menghapuskan bea masuk kedelai bukanlah satu-satunya solusi yang bisadan harus dilakukan. Benar apa kata produsen tempe, bea masuk nol persen baru menguntungkanimportir. Apalagi dului sudah pernah dilakukan tapi kemudian berubah lagi. Bahkan kebijakan inibisa menjadi desinsentif bagi petani kedelai. Lantas bagaimana jadinya kalau semua ini terjadibenar-benar karena gagal panen dan perubahan iklim dunia?
Saya kira solusi mengatasi kenaikan harga tempe ada di banyak titik. Pertama, pemerintah harusbisa mengembalikan anak-anak petani ke ladang-ladang pertanian. Ini berarti biaya produksi
converted by Web2PDFConvert.com
Posting Lebih Baru Posting LamaBeranda
Langganan: Entri (Atom)
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 14:45 Tidak ada komentar:
pertanian harus bisa ditekan. Penyediaan pupuk, perbaikan irigasi, benih-benih unggul,pemberantasan hama, perbaikan infrastruktur dan seterusnya harus segera diupayakan. Kalau diera Soeharto hal itu bisa dilakukan harusnya saat ini juga bisa diteruskan.
Kedua, berikan harga jual produk pertanian yang menarik. Jadi jangan gantikan produk merekadengan barang impor kendati dalam jangka pendek lebih murah dan mudah. Sekarang inipenduduk dunia tengah memasuki sebuah era dimana demand pangan telah jauh melebihisupplynya. Ini berarti harga-harga pangan akan terus bergerak naik dan bangsa-bangsa yangdiprioritaskan mengkonsumsinya adalah mereka yang bersedia membeli dengan harga yang lebihtinggi.
Jadi kalau rakyat Indonesia tak bersedia membeli beras atau tempe dengan harga tinggi, petanibisa menjualnya kepada bangsa lain yang membutuhkannya.
Namun ketiga, tempe merupakan sumber gizi rakyat kecil yang daya belinya masih belum cukupkuat. Ini berarti pemerintah harus bersiap-siap dengan kebijakan semacam “food stamp” yangdibagikan kepada konsumen-konsumen yang terancam gizi buruk agar dapat mengkonsumsimakanan bergizi.Dan tentu saja solusi yang perlu diambil tidak hanya ada pada elemen harga. Masih ada solusikeempat yang melengkapi ketiga hal diatas, yaitu perbaikan efisiensi sarana produksi temperakyat.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa industri tempe Indonesia masih dapat diperbaiki lagiprosesnya. Air limbah yang mengandung biogas misalnya, masih dapat digunakan untukmenghemat pemakaian energi. Demikian pula dengan limbah-limbah padatnya yang sekarangdiperebutkan oleh peternakan rakyat sebagai pakan ternak. Sementara itu fasilitas produksi yangketinggalan zaman sudah saatnya diperbaharui. Diperlukan investasi-investasi baru dengandukungan dana-dana murah pemerintah. Para pekerjanya pun perlu dilatih ulang agar dapatmenghasilkan produk-produk baru yang lebih bernilai tambah, lebih efisien dan menghemat biayaproduksi.
Dari kecamata marketing, tempe juga memiliki ruang yang sangat besar untuk diperbaharui. Saatini masih sulit dibedakan mana tempe yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas danmana yang untuk rakyat biasa selain outletnya saja. Tempe yang dijual untuk rakyat jelata dipasar-pasar tradisional dan warung ternyata kualitas tampilan dan rasanya belum ada bedanyadengan yang ada di supermarket. Maka tempe pun masih dapat diperbaharui pemasarannya.
Mari kita terima signal yang dikirim pengusaha tempe sebagai alarm peringatan bahwa era panganmurah telah berakhir dan diperlukan daya tarik yang besar untuk menumbuhkan kembali sektorpertanian baik on farm maupun paska panennya. Ingat lho, tempe itu heritage asli Indonesia.Sama nilai sejarahnya dengan batik dan keris.
Rhenald KasaliFounder Rumah Perubahan
Rekomendasikan ini di Google
Template Simple. Gambar template oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.
converted by Web2PDFConvert.com