Revisi_pemikiran Pendidikan Atiyah Al Abrasyi_prof. Abd. Majid & m. Sugeng Solehuddin
Transcript of Revisi_pemikiran Pendidikan Atiyah Al Abrasyi_prof. Abd. Majid & m. Sugeng Solehuddin
PEMIKIRAN PENDIDIKAN M. ATHIYAH AL-ABRASYI
MAKALAH (REVISI)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan IslamDosen Pengampu : Prof.Dr.H. Abdul Majid, M.Ag
Dr. M. Sugeng Solehudin, M.Ag
Disusun oleh:
KUDUNG ISNAINI 2052113023
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
TAHUN 2013
PEMIKIRAN PENDIDIKAN M. ATHIYAH AL-ABRASYI
I. PENDAHULUAN
Problematika pendidikan Islam sebagaimana halnya pendidikan lainnya
merupakan persoalan besar yang senantiasa berada dalam proses dan tidak akan
pernah mencapai titik akhir. Oleh karena itu, debat akademik mengenai
pendidikan Islam tidak akan pernah selesai dan tidak mungkin dielakkan.1
Perkembangan pendidikan Islam sejak masa Nabi sampai masa kejayaannya
pada abad IV H. dapat diketahui melalui kitab-kitab sejarah Islam, sejarah
kebudayaan Islam maupun melalui pemikiran dan pembaruan dalam Islam.
Namun kegiatan penulisan sejarah perkembangan pendidikan Islam secara
keseluruhan sejak zaman Rasulullah sampai sekarang baru dimulai pada abad ke
XX, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad ’Athiyah al-Abrasyi. Beliau
menghimpun kembali setiap pemikiran yang berkaitan dengan perkembangan
pendidikan Islam yang pernah ditulis oleh para pemikir dan pendidik seperti
Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.2
Dalam perkembangan sejarahnya umat Islam telah mengalami dan
melalui beberapa periode yang dapat dirinci sebagai beikut: Periode klasik (650-
1250); Masa kemajuan I (650 -1000); Masa disintegrasi (1000-1250); Periode
pertengahan (1250-1500); Masa kemunduran I (1250-1500); Masa tiga kerajaan
besar (1500-1800); Fase kemajuan II (1500-1700); Fase kemunduran II (1700-
1800); dan Periode modern (1800).3 Baru pada permulaan abad XX munculah di
dunia Islam tokoh-tokoh pembaharu di bidang pendidikan, di antaranya Ahmad
Dahlan, Naquib Al-Atas, Mahmud Yunus, dan Muhammad ’Athiyah Al-
Abrasyi. Karena jika ditinjau dari segi administrasi dan organisasi serta sistem
pendidikan modern, maka pada masa kemunduran itu pendidikan Islam
mengalami kemunduran pula.4 Dalam makalah ini tidak akan membahas
perkembangan pendidikan Islam secara keseluruhan, akan tetapi makalah ini 1 Mastuhu, Pendidikan Islam Indonesia dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 1992), hlm. 12 Muhammad ‘Atiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: Isa
al-Babi, 1976), hlm. 3.3 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang,
1982), hlm. 56-89.
1
akan difokuskan pada pembahasan tentang pemikiran pendidikan menurut
Muhammad Athiyah al-Abrasyi.
Sebelum membahas tentang bagaimana pemikiran Muhammad Athiyah
al-Abrasyi dalam pendidikan, perlu dijelaskan lebih dahulu dalam pembahasan
dibawah ini tentang biografi dari Muhammad Athiyah al-Abrasyi untuk lebih
mengenalkan sosok pemikir abad XX ini.
II. PEMBAHASAN
Konsep tentang pendidikan Islam teramat luas jangkauannya, karena
menyangkut berbagai bidang yang berkaitan dengannya, mulai dari pengertian
dasar, tujuan, pendidik, subyek didik, alat-alat, kurikulum, pendekatan dan
metode, lingkungan, sampai pada lingkungan pendidikan.5 Oleh karena itu
dalam makalah ini tidak akan dibahas secara keseluruhan, tulisan ini akan lebih
merujuk pada pemikiran Muhammad Athiyah Al-Abrasyi dalam pendidikan.
Untuk lebih memudahkan dan lebih memahami pemikiran Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi dalam pendidikan, akan diterangkan lebih dulu catatan
singkat tentang sosok pemikir dan penulis abad 20 ini.
A. Biografi Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah
lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir, pusat ilmu-
pengetahuan Islam, dan terakhir sebagai guru besar pada Fakultas Darul
Ulum, Cairo University, Cairo. Beliau secara sistematis telah menguraikan
pendidikan Islam dari zaman ke zaman, serta mengadakan perbandingan
dengan prinsip, metode, kurikulum dan sistim pendidikan modern di dunia
Barat pada abad ke-20. Muhammad Athiyah al-Abrasyi dengan keahliannya
telah menjelaskan dalam buku “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam”, posisi
Islam mengenai ilmu, pendidikan dan pengajaran, berdasarkan al-Qur’an dan
Hadis, dan menjelaskan pula fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga,
4 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1985), hlm. 98.
5 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), hlm. 4
2
perpustakaan, seminar-seminar dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia
pendidikan Islam sejak dari zaman keemasannya sampai kita sekarang ini.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi berkesimpulan bahwa metode
pendidikan Islam serta kurikulum yang telah dipakai bertahun-tahun yang
lalu itu, telah mampu melahirkan ulama dan sarjana-sarjana kenamaan seperti
Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibnu Haitsam, Ibnu Khaldun,
Thabrani, Ibnu Katsir, Al-Bairouni, Jahez, Al-Ma’ari, Al-Mutanabbi, dan
sebagainya. Mereka itu telah memancarkan sinar ilmu pengetahuan itu ke
Eropa dan kepada peradaban dunia pada umumnya, bahkan prinsip-prinsip
pendidikan pendidikan modern abad ke-20 telah lebih dahulu dicetuskan oleh
sarjana-sarjana pendidikan Islam beratus tahun yang lalu.6
Muhammad Athiyah al-Abrasyi adalah seorang ulama’, cendekiawan
yang telah mendalami agama Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa
asing, seorang psikolog dan pendidik jebolan London, penulis yang produktif
dan seorang guru besar. Sebagai salah seorang dari sekian banyak ilmuwan
muslim yang sangat produktif mencetuskan gagasan dan ide menuju
perbaikan dan peningkatan kualitas umat Islam pada era sekarang ini dengan
menawarkan konsep-konsep dasar bagi pendidikan Islam yang merupakan
hasil dari sari pati dari nilai ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang digalinya.7
Melihat dari latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui
beliau merupakan modal dasar bagi beliau untuk berkiprah sebagai salah
seorang di antara pembaharu di Mesir dan dunia Islam, mengingat umat dan
masyarakat yang di hadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah
kemajuan. Dalam buku dasar-dasar pokok pendidikan Islam, terlihat bahwa
pemikirannya banyak merujuk pada pemikiran Al-Ghazali, Al-Farabi,
maupun Ibnu Sina.
B. Tujuan Pendidikan Islam
6 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S., judul asli, Attarbiyah al Islamiyah, cet. vii, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. ix-x
7 Abu Kasim, Konsep Pendidikan Islam (Tela’ah pemikiran Muhammad athiyah al-Abrasyi), (JIPTIAIN: Knowledge Management Research Group, 2008), hlm. 22
3
Tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan
budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-
laki maupun wanita, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar
dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dengan baik,
memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu
perbuatan yang tercela karena ia tercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap
pekerjaan yang mereka lakukan.8
Ada beberapa tujuan pendidikan Islam seperti yang telah dijelaskan
oleh M. Athiyah Al-Abrasyi dalam berbagai tema, diantaranya yaitu:
1. Jiwa pendidikan Islam adalah budi pekerti
Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam
telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah
jiwa pendidikan Islam. Sehingga tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam
adalah mencapai akhlak yang sempurna (mulia), dengan tidak
mengesampingkan dari segi-segi yang lain, seperti jasmani, akal, ilmu,
dan lainnya.9 Berkaitan dengan masalah pendidikan budi pekerti,
Soetrisno dalam bukunya “Kapita Selekta Ekonomi Indonesia”
memberikan sebuah contoh akibat dari minimnya pemberian pendidikan
budi pekerti, bahwa meluasnya korupsi pada waktu sekarang, merupakan
salah satu akibat karena pada waktu-waktu silam pembangunan
pendidikan moral dan pendidikan budi pekerti kurang mendapatkan
tekanan. Sebaliknya, usaha pemberantasan korupsi yang antara lain juga
dilaksanakan melalui pendidikan moral, maka efeknya baru akan nampak
setelah melalui proses waktu yang relatif lama.10
2. Memperhatikan agama dan dunia sekaligus
Ruang lingkup pendidikan dalam pandangan Islam tidaklah sempit, tidak
hanya sebatas pendidikan agama maupun pendidikan dunia saja, akan
8 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1039 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 110 Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), hlm.
94-95
4
tetapi umat Islam mengusung dari keduanya, yaitu dunia dan akhirat.
Sebagaimana sabda Rasul saw. “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan
engkau akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok”.
3. Memperhatikan segi-segi manfaat
Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya,
sebagaimana yang telah dikutip oleh M. Athiyah al-Abrasyi dari
pendapatnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan As-Safa, bahwa kesempurnaan
manusia itu tidak akan tercapai kecuali dengan menyerasikan antara
agama dan ilmu.11
4. Mempelajari ilmu semata-mata untuk ilmu itu saja
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, di mana ilmu diajarkan
karena ia mengandung kelezatan-kelezatan rohaniah, untuk dapat sampai
kepada hakekat ilmiah dan akhlak yang terpuji.
5. Pendidikan kejuruan, pertukangan, untuk mencari rezeki
Mempersiapkan peserta didik untuk berkarya, berpraktek, dan
berproduksi sehingga ia dapat bekerja, mendapat rezeki, hidup dengan
terhormat, serta tetap memelihara segi-segi kerohanian dan keagamaan.12
Dengan kata lain mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.13
Pendidikan kejuruan harus memandang peserta didik sebagai individu
yang selalu dalam proses untuk mengembangkan diri dan segenap potensi
yang dimilikinya. Pengembangan ini merupakan proses yang terjadi pada
diri peserta didik, seperti proses menjadi lebih dewasa, menjadi lebih
pandai, menjadi lebih matang, yang menyangkut proses perubahan akibat
pengaruh eksternal, antara lain berubahnya karir atau pekerjaan karena
perkembangan sosial ekonomi masyarakat.14
11 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 312 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 413 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 3714 Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional; Menuju Bangsa Indonesia
yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 309
5
Sedangkan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip Samsul
Nizar dalam bukunya Hasan Langgulung “Manusia dan Pendidikan” bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan
kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan
melalui latihan jiwa, akal pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional;
perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya mencakup
pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif;
dan mendorog semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas,
maupun seluruh umat manusia.15
Telah banyak para ahli memberikan definisi tentang tujuan
pendidikan Islam, dimana rumusan atau definisi satu berbeda dari definisi
yang lain. Meskipun demikian, pada hakikatnya rumusan dari tujuan
pendidikan Islam adalah sama, mungkin hanya redaksi dan penekanannya
saja yang berbeda.16 Karena sebuah tujuan itu sangatlah penting, tanpa adanya
tujuan yang jelas pendidikan tidak dapat mengevaluasi dirinya sendiri. Tanpa
objek evaluasi, pendidikan tidak dapat menera perkembangan kemajuan yang
telah mereka lakukan.17
C. Pendidikan Islam adalah Pendidikan Ideal
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana yang dikutip
oleh Syafaruddin dalam bukunya “Pendidikan dan Pemberdayaan
Masyarakat”, pendidikan ialah, “suatu proses mempersiapkan seseorang
(anak didik) agar ia dapat hidup dengan sempurna, bahagia, cinta kepada
tanah airnya, kuat jasmaninya, sempurna akhlaknya, sistematik pemikirannya,
halus perasaannya, cakap dalam karyanya, bekerjasama dengan orang lain,
15 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan..., hlm. 37-3816 Baca lebih banyak lagi tentang tujuan pendidikan Islam menurut para ahli dalam, Moh.
Roqib, Ilmu Pendidikan Islam...,hlm. 2717 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 67
6
indah ungkapannya dalam tulisan dan lisannya, dan tangannya melakukan
pekerjaannya dengan terampil.”18
Pendidikan Islam telah berabad-abad sebelumnya menyuarakan
banyak prinsip dari metode-metode penting dalam dunia pendidikan, telah
bersaham dalam kebangunan mental dan pembentukan akhlak. Secara ringkas
pendapat-pendapat abadi mengenai hal ini dapat kita ungkapkan sebagai
berikut:
1. Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan
Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan
yang sama dalam belajar. Tidak ada perbedaan atau kelebihan bagi orang
Arab dan yang bukan Arab, orang kaya dengan orang miskin, laki-laki
ataupun perempuan kecuali dengan taqwanya. Begitu juga pendidikan
dalam Islam tidak terikat pada batas umur, ataupun jenis kelaminnya.19
Dalam Islam, wanita juga diwajibkan menuntut ilmu pengetahuan seperti
halnya kaum pria tanpa perbedaan.20
Menurut M. Athiyah al-Abrasyi, demokrasi yang hakiki di dalam
pendidikan pengajaran adalah dimana pendidikan itu tidak terikat kepada
peraturan-peraturan keras, ijazah-ijazah, pembayaran-pembayaran atau
syarat-syarat yang bersifat menjajah, sehingga hal tersebut tidak menjadi
penghalang bagi orang-orang dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dengan
demikian pintu pendidikan terbuka seluas-luasnya untuk siapa saja dan
kapan saja.21 Sehingga tidak terdapat apa yang dinamakan sistem kelas
dalam pelajaran, seperti sekolah-sekolah yang dengan bayaran buat orang-
orang berada dan sekolah-sekolah gratis buat anak-anak orang yang
berkekurangan.22
Dalam pendidikan Islam terwujud prinsip-prinsip demokrasi,
kebebasan, persamaan dan kesempatan yang sama buat belajar, tanpa
18 Syafaruddin, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat; Esay-esay Pemikiran Pemberdayaan dari Aspek Manejerial, Kecerdasan dan Kepribadian, (Medan: Perdana Publishing, 2012), hlm. 250
19 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 520 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 12221 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 722 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 8
7
diskriminasi antara si kaya dan si miskin.23 Dalam kitab “At-Tarbiyah al-
Islamiyah Wafalasifatuha” M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan bahwa
sesungguhnya pendidikan Islam itu meliputi prinsip-prinsip (demokrasi),
yaitu kebebasan, persamaan, dan kesempatan yang sama dalam
pembelajaran, dan untuk memperolehnya tidak ada perbedaan antara si
kaya dan si miskin, sesungguhnya mencari ilmu bagi mereka merupakan
suatu kewajiban dalam bentuk immateri, bukan untuk tujuan materi
(kehendak), dan menerima ilmu itu dengan sepenuhnya hati dan akal
mereka, dan mencarinya dengan keinginan yang kuat dari dalam dirinya,
dan mereka banyak melaksanakan perjalanan panjang dan sulit dalam
rangka memecahkan masalah-masalah agama.24
Kebebasan dan demokrasi dalam pendidikan sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas seharusnya bisa diterapkan di negara Indonesia.
Meskipun sekarang pada tingkat sekolah dasar sudah dilaksanakan sekolah
gratis atau tanpa adanya pungutan biaya, akan lebih baik lagi jika hal
tersebut diteruskan pada jenjang yang lebih tinggi sampai perguruan tinggi
bahkan jika memungkinkan sampai mencapai gelar doktor atau profesor.
2. Pembentukan akhlak yang mulia adalah tujuan utama pendidikan Islam
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam sehingga
setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan
dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlaq al-karimah.25
3. Bicaralah dengan manusia sesuai dengan akalnya
Anak-anak janganlah diomongi dengan bahasa yang ia tidak mengerti,
dan orang-orang besar jangan pula dilawan bicara dengan bahasa anak-
anak.26 Seorang guru hendaknya memiliki potensi untuk lebih mengenal
kepribadian siswa, baik dalam bersikap maupun bertutur kata.27
23 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1024 Mohammad Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wafalasifatuha, (Dar Al-
Fikr, tt.), hlm. 3025 M. Abdul Mujieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail M., Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-
Ghazali; Mudah Memahami dan menjalankan Kehidupan Spiritual, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 38
26 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1227 Rohmat, Pilar Peningkatan Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Cipta Media Aksara,
2012), hlm. 147
8
4. Perbedaan metode yang dipergunakan dalam pengajaran
Metode mengajar yang dipergunakan dalam mengajar anak-anak berbeda
dengan yang dipakai untuk orang dewasa. Hal ini disebabkan cara
berpikir dan cara pandang mereka sudah berbeda.28 Hal demikian menurut
penulis tentu tidak semua metode selalu terpisah antara yang anak-anak
dan orang dewasa, karena banyak metode pengajaran yang baik dan bisa
digunakan untuk anak-anak dan orang dewasa (semua umur). Sebagai
contoh dalam bukunya Jamal Ma’mur Asmani yang berjudul “7 tips
aplikasi pakem” diantaranya berisi tentang macam-macam metode
pembelajaran, seperti metode ceramah, metode proyek, metode
eksperimen, metode diskusi dan metode lain yang hampir kesemuanya itu
bisa digunakan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa.29 Hanya saja
yang perlu di bedakan antara anak-anak dan orang dewasa mungkin pada
materinya saja. Mengingat cara pandang dan cara berpikir mereka sudah
berbeda.
5. Pendidikan Islam adalah pendidikan bebas
Tidak adanya tekanan kepada siswa dalam sebuah pembelajaran, siswa
diberikan kemerdekaan dalam menyatakan pendapatnya pribadi serta
diberikan kebebasan dalam mengajukan pertanyaan.30 Dalam pandangan
Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Beragama
berarti berilmu dan berilmu berarti beragama. Karena itu, tidak ada
dikotomi antara agama dan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas
dinilai atau dikritik.31
6. Sistem pendidikan individu dalam pendidikan Islam
Yang dimaksud pendidikan individu ialah memperhatikan kekuatan setiap
individu dari segi tingkat kesanggupannya mempelajari bahan-bahan yang
28 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 13-1429 Baca lebih banyak lagi tentang ‘Macam-macam Metode Pembelajaran’ dalam, Jamal
Ma’mur Asmani, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan); Menciptakan Metode Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), hlm. 32-51
30 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1531 Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan; Studi Kritis Terhadap Pemikiran
Pendidikan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hlm. 83
9
dipelajarinya. Setiap siswa bebas memilih guru, subyek atau mata
pelajaran yang disenangi dengan tidak ada paksaan.32 Islam mengatur
pendidikan individu di masyarakat dalam setiap aspek kehidupan. Islam
memperhatikan pendidikan individu, mulai dari pendidikan jasmani,
rohani, tingkah laku, dan pendidikan berpikir. Kesemuanya itu dilakukan
untuk menyempurnakan keberadaan individu dalam kelompoknya.33
7. Perhatian atas pembawaan dan instink seseorang dalam tuntunan ke
bidang-bidang karya yang dipilihnya
Anjuran Ibnu Sina sebagaimana yang dikutip oleh Athiyah Al-Abrasyi
dalam menekankan supaya instink anak-anak diperhatikan sebagai
landasan dalam pendidikannya. Beliau berkata: “Tidak semua pekerjaan
yang di cita-citakan si anak itu terbuka dan sesuai baginya, tetapi
hanyalah pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat-sifat dan
pembawaannya”.34 Hal ini sebagaimana bayi yang semula tidak berdaya
dan pasif akan segera menemukan sumber dan potensi kemampuannya.
Ini tidak berarti bahwa keterwujudannya ditentukan semata-mata oleh
pengaruh kekuatan di luar dirinya. Anak manusia menjadi aktif karena
menemukan (discovery) kemampuan, perasaan dan pikirannya, kekuatan
dan keterbatasannya. Dipandang dari sudut pandang pikiran dan
perasaannya, ia mempunyai kebebasan untuk berubah dan memilih.35
Hal serupa seperti yang diceritakan oleh Abu Hurairah dari yang
disabdakan oleh Rasulullah saw:
�و� �ه� ا ان �صر� ن �و� ي �ه� ا ه�ود�ان �و�اه ي ب� ة� ف�أ �ف�ط�ر� �د ع�ل�ى ال و�ل � ي �ال و�د ا م�ام�ن� م�و�ل
�ه� )رواه االربعة( ان م�جس� ي
32 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 15-1633 Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, judul
asli Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, penerjemah Sihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 243
34 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1735 Conny Semiawan, Theodorus Immanuel Setiawan, Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu;
Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Jakarta: Teraju, 2007), hlm. 1
10
“Tiada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah,
hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang yahudi,
atau nashrani, atau majusi”.36
Pendapat Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Athiyah Al-Abrasyi
bahwa pendidikan berpengaruh dalam perawatan instink serta pembawaan
dan dalam pendidikannya, begitu pula dalam mendorong apa yang harus
diberikan dorongan. Al-Ghazali mengatakan bahwa “sebuah bibit, baik
apel ataupun korma tidak ada artinya sebelum di tanam. Begitu pula
dalam dunia pendidikan; pendidikan itu tidak akan dapat merubah bibit
(heredity) dengan jalan mengadakan proses-proses tertentu, tidak dapat
menjadikan bibit apel menjadi korma, atau bibit korma menjadi apel”.37
8. Cinta ilmu dan menyediakan diri untuk belajar
Setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar, akan
menggunakan seluruh waktunya melakukan penelitian, pembacaan dan
studi dan akan berdaya upaya memecahkan problematik ilmiah,
mencernakan ilmu pengetahuan yang didapatinya.38 Dengan demikian,
dikalangan muslim banyak bermunculan ulama-ulama dan sarjana
kenamaan, ahli fiqih, sastrawan, penyair dan ahli bahasa yang telah
menghasilkan karya-karya agung dan berharga dibidang tafsir, hadits,
fiqih, tauhid, balaghah, syari’at dan ensiklopedi-ensiklopedi bahasa, yaitu
buku-buku yang merupakan referensi yang tidak seorangpun sarjana-
sarjana di Timur maupun Barat yang sanggup menandinginya.39
9. Perhatian terhadap cara-cara berpidato, berdebat dan kelancaran lidah
Diharapkan kepada juru-didik agar berfikir dengan otak, merasa dengan
hati, melaksanakan sesuatu dengan kemauan keras, diharapkan supaya
menumpahkan perhatian kepada soal-soal berpidato, berdiskusi, berbicara
36 Syekh Mansyur Ali Nashif, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW, jilid I, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1993), hlm. 62
37 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 2738 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 1939 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 19-20
11
yang tertib, serta penggunaan ucapan-ucapan yang jitu dengan pena dan
lidah.40
10. Pelayanan terhadap anak-anak secara halus
Sebelum Islam, banyak dipakai terhadap anak-anak sistem keras dan
kasar. Kemudian para filosof Islam memperingatkan bahayanya sistem ini
dalam pendidikan. Kemudian mereka menyarankan dengan cara-cara
lunak lembut, dengan jiwa yang halus, lunak, lembut dan kasih sayang
dengan menyelidiki kesalahan-kesalahan yang menyebabkan kekeliruan
tersebut. Karena pendidikan dengan sistem kekerasan dianggap dapat
membunuh cita-cita dan menumpulkan kepintaran.41
D. Pendidikan dan Moral dalam Islam
Dalam konteks pendidikan moral ini, sebagaimana yang dikutip oleh
Wijayanto dalam bukunya Nurcholis Madjid yang berjudul “Islam, Iman, dan
Ihsan sebagai Trilogi Ajaran Ilahi” bahwa Cak Nur (panggilan akrab Nur
Cholis Majid) berpendapat, ada relasi signifikan antara perbuatan baik
dengan tasawuf. Inti tasawuf adalah kesadaran akan Tuhan. Kesadaran inilah
yang oleh Cak Nur dipandang sebagai dasar akhlak (moralitas) dalam Islam,
yang kemudian disebut ihsan, yakni kesadaran total individu akan Tuhan
yang Maha hadir.42
Tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam ialah untuk
membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam
bicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat
bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari
pendidikan Islam ialah pendidikan moral dan akhlak. Tujuan pendidikan
Islam bukanlah sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu
pengetahuan saja, tetapi untuk mendidik akhlak dengan memperhatikan segi-
segi kesehatan, pendidikan phisik dan mental, perasaan dan praktek, serta
mempersiapkan anak-anak menjadi anggota masyarakat.43 Sehingga dapat
40 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 2041 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 20-2142 Wijayanto, Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia; Sebab, Akibat, dan
Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 83843 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 104
12
dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk mencapai apa
yang disebut Al-Kamil. Ini berarti aspek intelektual dan spiritual atau moral
ditanamkan secara simultan dan bersamaan.44
E. Guru dan Murid dalam Islam
Guru adalah spiritual father atau bapak-rohani bagi seorang murid,
ialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan
membenarkannya, maka menghormati guru berarti penghormatan terhadap
anak-anak kita, menghargakan guru berarti penghargaan terhadap anak-anak
kita, dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang, sekiranya setiap guru
itu menunaikan tugasnya dengan sebaiknya.45
Hendaklah seorang penuntut ilmu meneliti, melihat, dan memilih
guru-guru yang baik untuk menuntut ilmu. Hendaklah guru tersebut berasal
dari orang yang ahli dalam agama, orang shalih, orang yang terhormat, orang
yang suci, orang yang mengamalkan ilmunya, orang zuhud, dan ahli ibadah.
Jangan memilih guru yang suka mencari-cari perkara aneh yang tidak bisa
diterima akal, yang sibuk bersama pencari harta dunia, yang melecehkan
ilmu, yang suka mencari kekeliruan-kekeliruan, dan yang suka mencari
kepuasan orang-orang awam atau masyarakat umum.46
Menurut M. Athiyah Al-Abrasyi, ada sifat-sifat, hak-hak dan
kewajiban yang harus dimiliki oleh serang guru.
1) Sifat-sifat, hak-hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh guru dalam
pendidikan Islam
a. Zuhud tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari
keridaan Allah semata
Menurut Athiyah Al-Abrasyi bahwa menerima gaji itu tidak
bertentangan dengan mencari keridhaan Allah dan zuhud di dunia ini,
karena seorang alim atau sarjana betapa pun zuhud dan kesederhanaan
44 Akhmad Jenggis Prabowo, Kebangkitan Islam, (Yogyakarta: NFP Publishing, 2011), hlm. 113
45 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 13646 ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an
dan As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2007), hlm. 185
13
hidupnya membutuhkan juga uang dan harta untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
b. Kebersihan guru
Seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan,
bersih jiwa dan terhindar dari sifat ria, dengki, permusuhan,
perselisihan dan lain-lain.
c. Ikhlas dalam pekerjaan
Ikhlas dan jujur dalam pekerjaannya serta bijaksana dan tegas dalam
kata dan perbuatannya, lemah lembut tanpa memperlihatkan
kelemahan, keras tanpa memperlihatkan kekerasan.47 Dengan kata lain
seorang guru harus memiliki dan melaksanakan kejujuran
profesional.48
d. Suka pemaaf
Seorang guru harus memiliki kepribadian dan memiliki harga diri,
menjaga kehormatan, mengahindarkan hal-hal yang hina dan rendah,
menahan diri dari sesuatu yang jelek, tidak bikin ribut dan berteriak-
teriak supaya dia dihormati dan dihargai.
e. Seorang guru merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru
Mencintai muridnya sebagaimana mencintai anak-anaknya sendiri,
memikirkan keadaannya sebagaimana memikirkan keadaan anak-
anaknya sendiri.49
f. Harus mengetahui tabiat murid
Guru harus mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan
pemikiran murid agar ia tidak kesasar di dalam mendidik anak-anak.50
Karena guru merupakan perintis-perintis kebudayaan dan penuntun-
penuntun generasi mendatang.51
g. Harus menguasai mata pelajaran
47 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 137-13848 Rohmat, Pilar Peningkatan Mutu ..., hlm. 8749 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 13850 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 13951 Sayyid Mahdi as Sadr, Saling Memberi Saling Menerima, judul asli The Ahl Ul-Bayt;
Ethical Role-Models,penerjemah Ali bin Yahya, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 41
14
Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang diberikannya,
serta memperdalam pengetahuannya tentang itu sehingga janganlah
pelajaran itu bersifat dangkal, tidak melepaskan dahaga dan tidak
mengenyangkan lapar.52
2) Hak-hak dan kewajiban murid dalam pendidikan Islam
a. Siswa harus membersihkan hatinya dari segala sifat buruk.
b. Niat yang baik, dengan maksud mengisi jiwanya dengan fadhilah, dan
mendekatkan diri kepada Allah.
c. Bersedia mencari ilmu tanpa ada keraguan sedikitpun meskipun
ditempat yang jauh.
d. Jangan sering menukar guru, berpikirlah sebelum bertindak.
e. Hendaklah menghormati guru dan memuliakannya karena Allah serta
mampu menyenangkan hati mereka.
f. Janganlah merepotkan dan berlaku tidak sopan terhadap guru serta
jangan berbicara sebelum mendapat izinnya.
g. Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan menipu, jangan pula
minta pada guru membukakan rahasia, diterima pernyataan maaf dari
guru bila selip lidah.
h. Sungguh-sungguh dan tekun dalam belajar
i. Memiliki jiwa saling mencintai dan persaudaraan dalam pergaulan.
j. Bertekad belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang
ilmu, apalagi merendahkannya, hendaklah menganggap semua ilmu
berfaedah.53
Terkait dengan masalah hak-hak guru dan murid sebagaimana
yang dikatakan oleh Sayyid Mahdi as Sadr bahwa Alexander54 pernah
ditanya mengapa ia senantiasa menghormati gurunya lebih dari ayahnya.
Ia menjawab, “Ayahku adalah pembangun kehidupan duniaku, sedangkan
guruku adalah pembangun kehidupanku yang kokoh”.55
52 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 13953 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 147-148 54 Alexander Agung (356-323 SM), seorang raja Macedonia yang masyhur, penakluk
kekaisaran Persia, dan seorang ahli militer yang jenius.55 Sayyid Mahdi as Sadr, Saling Memberi..., hlm. 41
15
F. Prinsip-prinsip Pokok dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam diwaktu dulu tidak tertentu atau terikat
dengan sekian jam untuk suatu mata pelajaran dalam seminggu seperti halnya
sekarang ini.56 Ada dua paparan yang dikemukakan oleh Muhammad Athiyah
Al-Abrasyi mengenai masalah kurikulum.
1. Kurikulum tingkat pertama dalam Islam
Bahan-bahan pokok yang diberikan kepada anak-anak tingkat
pertama secara umum adalah sebagai berikut: Al-Qur’an dan sendi-sendi
agama, membaca, menulis, berhitung, bahasa, sajak-sajak yang
mengandung ajaran-ajaran akhlak, menulis baik, cerita-cerita, dan latihan
berenang dan naik kuda. Untuk anak-anak orang besar terdapat kurikulum
yang berbeda, mereka diperhatikan secara khusus dengan tugas-tugas yang
akan mereka pikul, seperti belajar pidato, sejarah (terutama sejarah
peperangan), tata tertib bersidang, serta memperhatikan pula bahan-bahan
pokok seperti diatas.57
Pada zaman Kerajaan Islam Raya dahulu, ia akan mencatat
beberapa kekhususan dalam rencana pelajaran tingkat permulaan sebagai
berikut:
- Rencana pembelajaran mengarah pada bidang keagamaan
- Masalah pendidikan akhlak dan moral diperhatikan sekali
- Mengutamakan segi keagamaan dan akhlak
- Menghawatirkan pemberian mata pelajaran mengenai keindahan
kesenian, dalam periode anak-anak.58
56 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 16057 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 16358 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 165-166
16
2. Kurikulum pendidikan tinggi Islam
Rencana pelajaran yang mencakup ilmu-ilmu eksakta dan sastera
ini muncul pada waktu pemikiran-pemikiran Islam sudah mulai maju,
kemerdekaan berpikir mulai berkembang, bidang-bidang penelitian
semakin luas, dan sangat digiatkan perkembangan ilmu pengetahuan dari
segala cabang yang mencakup ilmu-ilmu eksakta, sastera, aktivitas-
aktivitas ilmiah dan filsafat dalam kerajaan Islam.59
Dari kurikulum pelajaran tingkat tinggi tersebut M. Athiyah Al-
Abrasyi mengambil beberapa kesimpulan:
a. Perhatian kaum Muslimin terhadap studi keagamaan sangat besar dan
mendahului perhatian mereka terhadap subyek-subyek lain.
b. Menurut pendapat Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ikhwan As-Safa,
kesempurnaan insan ini tidak akan terwujud kecuali dengan
penyerasian antara ilmu agama dan ilmu-ilmu eksakta.
c. Kecenderungan kepada pelajaran-pelajaran sastera-dan ilmu
keagamaan dan kemanusiaan, lebih besar daripada terhadap ilmu-ilmu
eksakta.
d. Kurikulum atau rencana pelajaran ilmu-ilmu eksakta dan sastera di
tingkat tinggi, lebih bersifat penggalian terhadap ilmu eksakta dan
yang bersifat penggalian terhadap ilmu eksakta dan yang bersifat
humanitas. Tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pendidikan
rohani sebelum pendidikan otak dan akal. Siswa-siswa kedokteran
sebagai contoh, mereka mempelajari logika, nahu, syair Arab, dan
beberapa bagian ilmu-ilmu ke-Islaman oleh karena spesialisasi pada
waktu itu adalah sangat jarang.60
G. Dasar-dasar Pokok dalam Pendidikan Islam
1. Tidak ada pembatasan umur dalam mulai belajar
2. Tidak ditentukan lamanya seorang anak di sekolah
3. Berbedanya cara yang digunakan dalam memberikan pelajaran
4. Dua ilmu jangan dicampur-adukkan59 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 16960 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 172
17
5. Memperhatikan pembawaan anak-anak dalam beberapa bidang mata
pelajaran sehingga mereka dengan mudah dapat mengerti
6. Memulai dengan pelajaran bahasa Arab setelah itu pelajaran al-Qur’an al-
Karim.
7. Perhatian terhadap pembawaan dan instink anak-anak dalam pemilihan
bidang pekerjaan
8. Permainan dan hiburan.61
H. Metode umum dalam pengajaran
Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi metode adalah jalan yang
dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik tentang segala
macam pelajaran dalam segala mata pelajaran.62
1. Metode mempelajari al-Qur’an
Sebelum belajar membaca dan menulis, anak-anak menghafal surat-surat
singkat dari al-Qur’an secara lisan, yaitu dengan jalan membacakan
kepada mereka surat-surat singkat dan merekapun membaca bersama-
sama.63
2. Pengajaran syair dan sajak bagi anak-anak
Filosof-filosof Islam mempunyai cara terrsendiri dalam mengajarkan
syair dan sajak. Guru-guru memilihkan syair-syair yang mudah dan
singkat buat anak-anak dan mudah pula dari segi timbangannya.64
3. Pelajaran pada tingkat tinggi
- Memasuki institut-institut tinggi tanpa syarat; dimulai pada umur
dewasa, masa belajarnya mungkin 5 tahun atau bahkan lebih dari 10
tahun. Boleh memilih guru yang ia sukai.
- Mengembara untuk mencari ilmu: mahasiswa mengembara dari satu
ke lain negeri untuk mengambil ilmu pengetahuan secara langsung
dari guru besar dalam subjek-subjek tertentu.
61 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 187-19562 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Saudi Arabia: Dar al-
Ahya’, tth), hlm. 243.63 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 19764 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 199
18
- Kebebasan mahasiswa dan mahaguru; tidak ada kelas-kelas untuk
masing-masing kelompok pelajar. Pelajar bebas datang atau tidak
sekolah, bebas memilih gurunya sendiri, guru bebas pula menentukan
jumlah kuliah yang mereka berikan dalam setiap minggu maupun
tentang waktu-waktu kuliah.
- Sistem diskusi dan berdebat
- Ujian; dahulu setiap murid tidak diharuskan melakukan ujian, hanya
satu macam mata pelajaran yang pernah diadakan ujian yaitu ujian
terhadap dokter-dokter di Baghdad di masa pemerintahan Khalifah al-
Muqtadir, di abad 10 Hijriyah, di hadapan Sinam bin Tsabit yang
melakukan ujian-ujian lisan terhadap dokter-dokter tersebut. Sebagai
ganti ujian, guru-guru memberikan syahadah atau ijazah kepada
murid-muridnya, sebagai pernyataan selesainya kurikulum yang
dilalui.65
Metode dalam pembelajaran, merupakan patokan umum atau cara
umum dalam pembelajaran. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa metode
pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum atau cara umum
pembelajaran partisipatif.66
I. Karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi
Adapun karya-karya Muhammad Athiyah al-Abrasyi yang terdapat
dalam bukunya yang berjudul “At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha”
ada 52 buah judul buku atau karyanya, diantaranya adalah:
1. Ruh al-Islam (Kairo: Isa al-babi al-Halabi Bi Sayyidina Husain, tt)
2. 'Azamah al-Islam, Juz I, (Kairo: al-Anglo al-Misriyah 165 Syari'
Muhammad Fardi, tt)
3. 'Azamah al-Islam, Juz II, (Kairo: al-Anglo al-Misriyah 165 Syari'
Muhammad Fardi, tt)
4. 'Azamah ar-Rasul Muhammad saw, (Kairo : Dar al-Katib al-'Arabi, tt)
65 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar..., hlm. 200-201666 Berliana Kartakusumah, Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer
(Jakarta: Teraju, 2006), hlm. 81
19
5. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, (Mesir: Isa al-Babiel Halabi Bi
Sayyidina Husain, tt)
6. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Mesir: Isa al-Babiel Halabi Bi Sayyidina
Husain, tt)
7. Al-Ittijahat al-haditsah fi al-Tarbiyah, (Mesir: Isa al-Babiel Halabi Bi
Sayyidina Husain, tt)
8. Al-Thuruq al-Khassat fi al-Tarbiyah li Tadris al-Lughat al-Arabiyah
Wadiin, (Kairo: al-Anglo al-Misriyah 165 Syari' Muhammad Fardi, tt)
9. At-Tufalah Sani’atul Mustaqbal, au Kaifa Nurabbi at-Falana, (Kairo: al-
Anglo al-Misriyah, tt)
10. Al-Ilmu Shi’ar al-Surah Thaqofyah, (Kairo: al-Anglo al-Misriyah, tt)
11. Ushul al-Tarbiyah Misaliah fi Emile li J. J. Rosseau, (Kairo: Dar al-Katib
al-Araby, tt).67
Melihat dari pemikiran Muhammad Athiyah Al-Abrasyi tentang
pendidikan seperti tersebut diatas, tentunya tidak hanya untuk dipelajari saja.
Akan tetapi lebih dari itu, pendidikan haruslah diterapkan dalam dunia nyata.
Sebagai contoh, Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, agama yang
selalu mendambakan perdamaian. Sehingga Islam, dalam setiap kali pertemuan
juga menganjurkan uluk salam ‘assalamu’alaikum’, sehingga dapat mengingatkan
bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk dirinya sendiri.68
Madame Haydar,69 pernah mengajukan pertanyaan begini, “mengapa
orang-orang Nasrani umumnya berkelakuan baik, berpengetahuan tinggi dan
menghargai kebersihan, sedang kita umat Islam umumnya kurang dapat
dipercayai, bodoh-bodoh, dan tidak tahu kebersihan?” Madame Haydar
melanjutkan, “Kalau kita perhatikan orang Islam yang pergi ke masjid, kita lihat
wajah mereka tidak berseri-seri dan pakaiannya kotor-kotor. Tetapi, sebaliknya
orang-orang Nasrani yang pergi ke gereja bersih-bersih, baik wajah maupun
67 Mohammad Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah Al-Islamiyah..., hlm. 317-31968 Iis Arifudin, "PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM: RAHMATAN LIL ‘ALAMIN
(Gagasan dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam)." Jurnal Forum Tarbiyah. Vol. 9. No. 2. 2012. , hlm. 143
69 Madame Haydar adalah istri seorang kolega dari Kedutaan Besar Lebanon di Brussel, Belgia.
20
pakaiannya. Ekonomi mereka lebih baik dari ekonomi orang Islam. Demikian
juga pendidikan mereka lebih tinggi. Orang-orang Islam ketinggalan”.
Keadaan umat Islam sebagaimana digambarkan Madame Haydar tidak
terbatas hanya pada umat Islam di negerinya sendiri, yaitu Lebanon. Hal yang
serupa juga kita alami di Indonesia. Umat Islam di negeri kita lebih rendah
ekonomi dan pendidikannya dari umat lain.70 Menurut Harun Nasution,
pandangan Madame Haydar itu bukanlah semata-mata persoalan kebudayaan,
tetapi juga masalah agama.71
Berdasarkan pengalaman pribadinya, setelah mengikuti pendidikan dan
pelajaran dari beberapa tempat dan fakultas, Harun Nasution berpendapat bahwa
pelajaran yang diberikan secara tradisional tidak mementingkan pemakaian akal
dan pendidikan akhlak. Yang banyak dijalankan dalam cara ini ialah
memompakan pengetahuan keagamaan ke dalam diri anak didik. Institut Studi
Islam, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat, dengan kurikulumnya yang
berbeda dengan yang ada di lembaga pendidikan agama tradisional, sebaliknya,
menonjolkan pemakaian akal dan pendidikan akhlak dalam Islam.72
70 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 52
71 Ibid., hlm. 5372 Ibid., hlm. 54
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah, At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa falasifatuha, (Dar Al-Fikr, tt.)
___________, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S., judul asli, Attarbiyah al Islamiyah, cet. vii, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
___________, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Saudi Arabia: Dar al-Ahya’, tth)
Ali, Mohammad, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional; Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, (Jakarta: Grasindo, 2009)
Arifudin, Iis, "PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM: RAHMATAN LIL ‘ALAMIN (Gagasan dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam)." Jurnal Forum Tarbiyah. Vol. 9. No. 2. 2012. , hlm. 143
Asmani, Jamal Ma’mur, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan); Menciptakan Metode Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011)
As-Sadr, Sayyid Mahdi, Saling Memberi Saling Menerima, judul asli The Ahl Ul-Bayt; Ethical Role-Models,penerjemah Ali bin Yahya, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003)
Baharits, Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, judul asli Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, penerjemah Sihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2005)
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT Grasindo, 2007)
Kartakusumah, Berliana, Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer, (Jakarta: Teraju, 2006)
Kasim, Abu, Konsep Pendidikan Islam (Tela’ah pemikiran Muhammad athiyah al-Abrasyi), (JIPTIAIN: Knowledge Management Research Group, 2008)
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1985)
Mastuhu, Pendidikan Islam Indonesia dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 1992)
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,( Jakarta: Kencana, 2006)
22
Mujieb, M. Abdul, Syafi’ah, dan H. Ahmad Ismail M., Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali; Mudah Memahami dan menjalankan Kehidupan Spiritual, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009)
Nada, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid, Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2007)
Nashif, Syekh Mansyur Ali, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW, jilid I, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1993)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
___________, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 2000)
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Prabowo, Akhmad Jenggis, Kebangkitan Islam, (Yogyakarta: NFP Publishing, 2011)
Rohmat, Pilar Peningkatan Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Cipta Media Aksara, 2012)
Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009)
Semiawan, Conny, Theodorus Immanuel Setiawan, dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu; Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, (Jakarta: Teraju, 2007)
Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992)
Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan; Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008)
Syafaruddin, Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat; Esay-esay Pemikiran Pemberdayaan dari Aspek Manejerial, Kecerdasan dan Kepribadian, (Medan: Perdana Publishing, 2012)
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia; Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)
23