REVISI I RENCANA AKSI KEGIATAN PENCEGAHAN DAN … · dijabarkan dalam bentuk program, kegiatan,...

56
REVISI I RENCANA AKSI KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG TAHUN 2015-2019 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG TAHUN 2018

Transcript of REVISI I RENCANA AKSI KEGIATAN PENCEGAHAN DAN … · dijabarkan dalam bentuk program, kegiatan,...

REVISI I RENCANA AKSI KEGIATAN

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG TAHUN 2015-2019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

MENULAR LANGSUNG TAHUN 2018

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. VISI DAN MISI

Dalam Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Langsung 2015 – 2019 tidak ada visi dan misi Direktorat PPPML.Rencana Aksi PPPML

mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Program Ditjen P2P dan Renstra Kemenkes yang

melaksanakan visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia

yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”. Upaya untuk

mewujudkan visi ini adalah melalui 7 misi pembangunan yaitu :

1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang

kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritime dan mencerminkan

kepribadian Indonesia sebagai Negara kepulauan.

2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan

Negara hukum.

3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai

Negara maritim.

4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.

5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

6. Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan

berbasiskan kepentingan nasional, serta

7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Selanjutnya terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA yang ingin

diwujudkan pada kabinet Kerja, yakni :

1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan

rasaaman pada seluruh warga negara.

2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tatakelola pemerintahan yang

bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa

dalam kerangka Negara kesatuan.

4. Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum

yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis

ekonomi domestik.

2

8. Melakukan revolusi karakter bangsa.

9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Kementerian Kesehatan mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya seluruh

Nawacita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.Terdapat dua

tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1) meningkatnya status

kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap responsiveness) dan

perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.

Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua kontinum siklus

kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja,

maternal, dan kelompok lansia. Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak

(impact atau outcome).dalam peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang

akan dicapai adalah:

1. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346

menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).

2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.

3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.

4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,

serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.

5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.

B. LATAR BELAKANG

Tantangan pembangunan kesehatan semakin kompleks, Tantangan tersebut diantaranya

semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu

beban ganda penyakit (di satu sisi, angka kesakitan penyakit infeksi masih tinggi namun di

sisi lain penyakit tidak menular mengalami peningkatan yang cukup bermakna); disparitas

status kesehatan antar wilayah cukup besar, terutama di wilayah timur (daerah terpencil,

perbatasan dan kepulauan/DTPK); peningkatan kebutuhan distribusi obat yang bermutu dan

terjangkau; jumlah SDM Kesehatan kurang, disertai distribusi yang tidak merata; adanya

potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta integrasi

pembangunan infrastruktur kesehatan yang melibatkan lintas sektor di lingkungan

pemerintah, Pusat-Daerah, dan Swasta.

Disamping isu beban penyakit dan faktor risiko, isu lain yang muncul dalam pengendalian

penyakit dan penyehatan lingkungan adalah perubahan lingkungan strategis baik global,

regional maupun nasional. Beberapa yang kita hadapi kedepan antara lain :

3

1. Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan adanya

window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah penduduk usia

produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang puncaknya terjadi sekitar

tahun 2030.

2. Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif pada tanggal 1 Januari

2016. Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi lebih dari 560

juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan tersendiri bagi

Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang mencakup liberalisasi

perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan.

3. Berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, banyak

negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakan-tindakan untuk

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan masyarakat. Khususnya

dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini disebut Sustainable Development

Goals (SDGs)

4. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan respon global yang

paling kuat terhadap tembakau dan produk tembakau (rokok), yang merupakan

penyebab berbagai penyakit fatal

5. Agenda Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Securty Agenda/GHSA)

dicanangkan di Washington DC dan Gedung PBB Genewa secara bersamaan pada

tanggal 13 Februari 2014.

Melihat tantangan, isu dan perubahan lingkungan strategis diatas serta amanat Undang-

undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)

Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun

2015-2019 yang berisi upaya-upaya pembangunan bidang kesehatan yang disusun dan

dijabarkan dalam bentuk program, kegiatan, target, indikator termasuk kerangka regulasi

dan kerangka pendanaannya.

Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat

dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya

kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial

dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran yang akan dicapai dalam Program Indonesia

Sehat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 (RPJMN 2015-2019)

adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya

kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial

dan pemerataan pelayanan kesehatan melalui strategi pembangunan nasional. Dalam

Undang Undang No. 36 tahun 2009 disebutkan bahwa untuk mewujudkan derajat

4

kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan

yang terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan dalam bentuk kegiatan dengan strategi

pendekatan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Dengan telah ditetapkannya RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan Presiden nomor 2 tahun

2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui Keputusan Menteri

Kesehatan nomor HK.02.02/2015, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Menular Langsung telah menyusun Rencana Aksi Kegiatan Direktorat PPPML tahun 2015 –

2019 yang merupakan jabaran kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit sesuai dengan tugas pokok dan fungsi termasuk langkah-langkah

antisipasi tantangan program selama lima tahun mendatang. Dengan adanya SOTK baru

maka telah dilakukan revisi pada Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Pengendalian Penyakit

Menular Langsung Tahun 2015-2019 menjadi Rencana Aksi Kegiatan Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit Menular Langsung Tahun 2015-2019.

Sasaran Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dalam

Rencana Aksi Kegiatan P2PML merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes

yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat P2PML yang terdiri atas:

1. Persentase cakupan penemuan kasus baru kusta tanpa cacat.

2. Persentase kabupaten/kota dengan angka keberhasilan pengobatan TB paru BTA positif

(Success Rate) minimal 85%.

3. Persentase angka kasus HIV yang diobati.

4. Persentase kabupaten/kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tata

laksana Pneumonia melalui program MTBS.

5. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis B pada

kelompok berisiko.

6. Persentase Pelabuhan/ Bandara/ PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi dini

penyakit menular langsung 100 %.

Berdasarkan Instruksi Presiden dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan

Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah maka mulai dari

pejabat Eselon II diwajibkan melaporkan Akuntabilitas kinerjanya sebagai

pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta pengelolaan sumber

daya kebijaksanaannya berdasarkan perencanaan strategi yang dirumuskan sebelumnya.

5

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dibangun dalam rangka upaya

mewujudkan good governance dan sekaligus result oriented government. SAKIP

merupakan sebuah sistem dengan pendekatan manajemen berbasis kinerja (Performance-

Base Management) untuk penyediaan informasi kinerja guna pengelolaan kinerja.Dalam

rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna,

bersih dan bertanggungjawab, serta sebagai wujud pertanggungjawaban instansi

pemerintahan yang baik, maka perlu disusun laporan akuntabilitas pada setiap akhir tahun.

C. TUGAS FUNGSI DAN POKOK

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung mempunyai tugas

melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,

prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan,

evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular

langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung menyelenggarakan

fungsi:

a. penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian tuberkulosis,

infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular seksual,

hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular

langsung;

b. penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian

tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular

seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular

langsung;

c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pencegahan

dan pengendalian tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit

infeksi menular seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit

tropis menular langsung;

d. penyiapan pemberian bimbingan teknisdan supervisi di bidang pencegahan dan

pengendalian tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit

infeksi menular seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit

tropis menular langsung;

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian

tuberkulosis, infeksi saluran pernapasan akut, HIV AIDS dan penyakit infeksi menular

seksual, hepatitis dan penyakit infeksi saluran pencernaan, dan penyakit tropis menular

langsung; danpelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

6

D. STRUKTUR ORGANISASI

Gambar 1. Struktur Organisasi Direktorat P2PML Tahun 2018

*)Data per 16 Desember 2018

Direktorat P2PML terdiri dari lima sub direktorat yaitu Subdit Tuberkulosis, Subdit HIV

dan Penyakit IMS, Subdit ISPA, Subdit Hepatitis dan Penyakit ISP, dan Subdit Penyakit

Tropis Menular Langsung. Masing-masing subdit dipimpin oleh seorang kepala dan

dibantu oleh dua kepala seksi. Tahun 2018, terjadi kekosongan untuk pimpinan subdit

ISPA sejak Juli sampai akhir Desember 2018.

7

E. SUMBER DAYA MANUSIA

Grafik 1.Jumlah Pegawai ASN Dit. P2PML

*) Data per tanggal 16 Desember 2018

Dari jumlah pegawai ASN di Direktorat P2PML sebanyak 100 orang.Subdit Tuberkulosis

dengan 17 (17%), Subdit HIV/AIDS dan PIMS sebanyak 19 orang (19%), Subdit ISPA

sebanyak 11 orang (11%), Subdit Hepatitis dan PISP sebanyak 15 pegawai (15%),

Subdit Penyakit Tropis Menular Langsung sebanyak 14 orang (14%) dan Subbag Tata

Usaha sebanyak 22 orang (22%) termasuk Direktur Dit. P2PML. Adapun tenaga honorer

yang diperbantukan pada Direktorat P2PML sebanyak 9 orang yang ditugaskan di subdit

dan subbag.

Grafik 2. Latar belakang pendidikan pegawai ASN Direktorat P2PML

*) Data per tanggal 16 Desember 2018

Pada Direktorat P2PML, dari 100 orang pegawai ASN, jumlah pegawai yang memiliki

pendidikan terakhir S3 sebanyak 1 orang (1%), S2 sebanyak 46 orang (46%), S1

sebanyak 42 orang (42%), D IV sebanyak 1 orang (1%), D III sebanyak 5 orang (5%),

SMA sebanyak 3 orang (3%) dan SD sebanyak 1 orang (1%).

8

Grafik 3

Pegawai ASN berdasarkan golongan IV, III, II, I

Pada Direktorat P2PML, pegawai dengan golongan terbanyak adalah pegawai golongan

III sebanyak 64 orang (64%), kemudian golongan IV sebanyak 30 orang (30%),

golongan II sebanyak 5 orang (5%) dan golongan I sebanyak 1 orang (1%).

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Pada dasarnya laporan akuntabilitas kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit Menular Langsung tahun 2018 ini menjelaskan pencapaian kinerja Direktorat

P2PML selama Tahun 2018. Capaian kinerja tersebut dibandingkan dengan rencana

kinerja (perjanjian kinerja) sebagai tolok ukur keberhasilan tahunan organisasi. Analisis atas

capaian kinerja terhadap rencana kinerja memungkinkan diidentifikasinya sejumlah celah

kinerja bagi perbaikan kinerja di masa yang akan datang. Dengan kerangka fikir seperti itu,

sistimatika penyajian laporan akuntabilitas kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit Menular Langsung sebagai berikut :

Kata Pengantar

Ikhtisar Eksekutif

Daftar Isi

Bab I (Pendahuluan), menjelaskan secara ringkas visi dan misi, latar belakang, tugas

pokok dan fungsi, Struktur Organisasi, Sumber Daya Manusia Direktorat Pencegahan

9

dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML), serta sistematika penyajian

laporan.

Bab II (Perencanaan Kinerja dan Perjanjian Kinerja), menjelaskan tentang

Perencanaan Kinerja dan Perjanjian Kinerja tahun 2018 sesuai dengan Rencana Aksi

Program P2PML.

Bab III (Akuntabilitas Kinerja), menjelaskan tentang pengukuran kinerja, capaian

kinerja tahun 2018, analisis akuntabilitas kinerja dan realisasi anggaran serta

sumberdaya manusia yang digunakan dalam rangka pencapaian kinerja Direktorat

Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) selama Tahun 2018.

Bab IV (Penutup), berisi kesimpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta

tindak lanjut di masa mendatang yang akan dilakukan oleh Program untuk

meningkatkan kinerjanya.

Lampiran-Lampiran

• Perjanjian Kinerja

• Laporan Evaluasi Kinerja Triwulanan

10

BAB II

PERENCANAAN KINERJA

A. PERENCANAAN KINERJA

Perencanaan Kinerja merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin

dicapai selama kurun waktu satu sampai dengan lima tahun secara sistematis dan

berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau

yang mungkin timbul. Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP)

perencanaan kinerja instansi pemerintah terdiri atas tiga instrumen yaitu: Rencana Strategis

(Renstra) yang merupakan perencanaan 5 tahunan, Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan

Perjanjian Kinerja (PK). Perencanaan 5 tahunan Direktorat P2PML mengacu kepada

dokumen Rencana Aksi Program Ditjen PP dan PL Tahun 2015-2019. Terkait dengan

perubahan SOTK baru sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

nomor 64 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan maka

sedang dilakukan revisi terhadap Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit dan Rencana Aksi Kegiatan Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Menular Langsung Tahun 2015 - 2019.

1. Rencana Aksi Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Langsung Tahun 2015-2019

Menindaklanjuti Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015 – 2019 dan

Rencana Aksi Program (RAP) Tahun 2015 – 2019 sebagai bentuk perencanaan

strategis yang lebih operasional maka Direktorat P2PML telah menyusun Rencana Aksi

Kegiatan (RAK) Tahun 2015 – 2019 yang memuat Tujuan dan Sasaran Strategis serta

arah kebijakan dan strategi yang menjadi pedoman Direktorat P2PML dalam

menetapkan Rencana Kinerja Tahunan (RKT).

2. Arah Kebijakan Dan Strategi Nasional

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 merupakan

bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-

2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi

setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang

ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat,

memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara

11

adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh

wilayah Republik lndonesia.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025 adalah

meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya

Angka Harapan Hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka

Kematian Ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi

pembangunan kesehatan 2005- 2025 adalah: 1) pembangunan nasional berwawasan

kesehatan; 2) pemberdayaan masyarakat dan daerah; 3) pengembangan upaya dan

pembiayaan kesehatan; 4) pengembangan dan dan pemberdayaan sumber daya

manusia kesehatan; dan 5) penanggulangan keadaan darurat kesehatan.

Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat

kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan

masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan

kesehatan.

Indikator Program PPPML yang tercantum dalam sasaran pembangunan kesehatan

pada RPJMN 2015-2019 sebagai berikut :

Tabel 1

Indikator RPJMN 2015-2019

Program P2PML

Indikator Status Awal 2014

Target 2015

Target 2016

Target 2017

Target 2018

Target 2019

Meningkatnya Pengendalian Penyakit Menular Langsung

a. Prevalensi Tuberkulosis (TB) per 100.000 penduduk

297 280 271 262 254 245

b. Prevalensi HIV (persen) 0,35 <0,50 <0,50 <0,50 <0,50 <0,50

c. Jumlah provinsi dengan eliminasi Kusta 20 21 23 25 26 34

Kebijakan pembangunan kesehatan difokuskan pada penguatan upaya kesehatan dasar

(Primary Health Care) yang berkualitas terutama melalui peningkatan jaminan kesehatan,

peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang didukung

12

dengan penguatan sistem kesehatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan. Kartu

Indonesia Sehat menjadi salah satu sarana utama dalam mendorong reformasi sektor

kesehatan dalam mencapai pelayanan kesehatan yang optimal, termasuk penguatan upaya

promotif dan preventif.

Sasaran Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular Langsung dalam

Rencana Aksi Kegiatan PPML merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes yang

disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat PPML. Sasaran tersebut adalah

meningkatnya pengendalian penyakit menular langsung pada akhir tahun 2019 yang

ditandai dengan:

1. Persentase cakupan penemuan kasus baru kusta tanpa cacat.

2. Persentase kabupaten/kota dengan angka keberhasilan pengobatan TB paru BTA positif

(Success Rate) minimal 85%.

3. Persentase angka kasus HIV yang diobati.

4. Persentase kabupaten/kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tata

laksana Pneumonia melalui program MTBS.

5. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis B pada

kelompok berisiko.

Tabel 2

SASARAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

MENULAR LANGSUNG

TAHUN 2015 - 2019

SASARAN INDIKATOR TARGET

2015 2016 2017 2018 2019

Menurunnya angka

kesakitan dan

kematian akibat

penyakit menular

langsung

1. Persentase cakupan

penemuan kasus baru

kusta tanpa cacat

82 85 88 91 95

2. Persentase

kabupaten/kota dengan

angka keberhasilan

pengobatan TB paru BTA

positif (Success Rate)

minimal 85%

78

81 84 87 90

13

3. Persentase kasus

HIV yang diobati

45 47 50 52 55

4. Persentase

kabupaten/kota yang

50% puskesmasnya

melakukan pemeriksaan

tatalaksana pneumonia

melalui program MTBS

20 30 40 50 60

5. Persentase

kabupaten/kota yang

melaksanakan deteksi

dini hepatitis B pada

kelompok berisiko

5 10 30 60 80

6. Persentase

pelabuhan/bandara/PLB

D yang melaksanakan

kegiatan deteksi dini

penyakit menular

langsung sebesar 100%

100 100 100 100 100

B. PERJANJIAN KINERJA

Perjanjian Kinerja atau Penetapan Kinerja Direktorat P2PML merupakan Dokumen

Pernyataan kinerja/kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja Direktorat P2PML kepada Ditjen

P2P untuk mewujudkan target-target kinerja sasaran Direktorat P2PML pada tahun 2016.

Penetapan Kinerja Direktorat P2PML di susun berdasarkan dokumen Rencana Aksi

Kegiatan Program PPML Tahun 2015 – 2019 yang setiap tahunnya di rumuskan menjadi

Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan telah diangggarkan dalam DIPA dan RKA-KL Tahun

2018. Target-target kinerja sasaran program yang ingin dicapai Direktorat P2PML dalam

dokumen Penetapan Kinerja Direktorat P2PML Tahun 2018 adalah sebagai berikut :

NO SASARAN

PROGRAM

INDIKATOR

TARGET

1 Menurunnya angka

kesakitan dan 1

Persentase cakupan penemuan kasus baru

kusta tanpa cacat

91%

14

kematian akibat

penyakit menular

langsung

2 Persentase Kasus TB yang ditatalaksana

sesuai standar

79%

3 Persentase angka kasus HIV yang diobati 52%

4

Persentase Kabupaten/Kota yang 50%

Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan

tatalaksana Pneumonia melalui program

MTBS

50%

5

Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko

60%

6

PersentasePelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi dini penyakit menular langsung sebesar 100%

100

Jumlah anggaran Program P2PML berdasarkan DIPA awal SP DIPA- 024.05.1.465833/2018

2017 tanggal 5 Desember 2017 adalah sebesar Rp. 640.112.761.000.Kemudian pada bulan

Oktober 2018, terdapat penambahan Rp 46.316.505.000,-, sehingga total anggaran menjadi

Rp 686.429.266.000 berdasarkan DIPA Revisi No SP DIPA- 024.05.1.465833/2018 revisi ke-

3 tanggal 16 Oktober 2018.

Pada tanggal 18 Desember 2018 terdapat penambahan anggaran untuk Hibah Luar Negeri

Langsung sejumlahRp 403.093.543.000,- sehingga total anggaran P2PML berdasarkan

DIPA Revisi No. SP DIPA- 024.05.1.465833/2018 revisi ke-5tanggal 18 Desember

2018menjadi Rp.1.089.522.809.000,-

Kemudian pada tanggal 22 Januari 2019 terdapat penambahan anggaran Hibah Luar Negeri

Langsung sejumlah Rp 30.352.341.000,- sehingga total anggaran P2PML berdasarkan DIPA

Revisi No. SP DIPA- 024.05.1.465833/2018 revisi ke-6 tanggal 22 Januari 2019 menjadi Rp

1.119.875.150.000,-.

15

BAB III

AKUNTABILITAS KINERJA

A. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI

Dalam mengukur kinerja program pencegahan dan pengendalian penyakit menular

langsung di tahun 2018 terdapat beberapa sasaran strategis yang tertuang dalam dokumen

Rencana Aksi Kegiatan P2PML tahun 2018.

Berikut adalah target dan capaian indikator program pencegahan dan pengendalian

penyakit menular langsung tahun 2018.

NO SASARAN

PROGRAM

INDIKATOR

TARGET REALISASI

1 Menurunnya

angka kesakitan

dan kematian

akibat penyakit

menular langsung

1 Persentasecakupanpenemuan

kasusbarukustatanpacacat 91 85,19

2 Persentasekasus TB yang

ditatalaksanasesuaistandar 79 85

3 Presentasi Kasus HIV yang

Diobati 52 54,8

4

Persentasekab/kota yang 50%

puskesmasnyamelakukantatala

ksanastandar pneumonia

50 36,19

5

Persentasekab/kota yang

melaksanakankegiatandeteksid

ini hepatitis B dan C

padakelompokberisikotinggi

60 67,51

6

PersentasePelabuhan/Bandara

/PLBD yang melaksanakan

kegiatan deteksi dini penyakit

menular langsung sebesar

100%

100

100

Dilihat dari capaian masing-masing indikator, untuk tahun 2018, Direktorat Pengendalian

Penyakit Menular Langsung dapat melaksanakan tugas utama/TUPOKSI yang menjadi

tanggung jawab unit organisasi. Uraian kinerja dari masing-masing indikator adalah sebagai

berikut:

16

1. Persentase Cakupan Penemuan Kasus Baru Kusta tanpa Cacat

a. Penjelasan Indikator

Keterlambatan dalam penemuan kasus dan penanganan pasien kusta dapat

mengakibatkan kecacatan tubuh permanen pada pasien kusta. Kecacatan tubuh

akandapat mengarah kepada stigmatisasi dan diskriminasi orang yang mengalami

kusta dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya.

Salah satu strategi nasional dalam program pengendalian penyakit kusta adalah

menemukan kasus kusta baru sedini mungkin tanpa cacat, dan mengobati sampai

sembuh sesuai obat yang terstandar secara global dengan prinsip

Multidrugtherapy.Untuk dapat memonitoring dan mengevaluasi keberhasilan program

tersebut, digunakan indikator persentase cakupan penemuan kasus baru tanpa cacat

yang dapat merefleksikan perbaikan dalam kegiatan penemuan kasus yang dilakukan

secara lebih dini, sehingga dapat menekan angka keterlambatan penemuan kasus

dan angka cacat serendah mungkin.

b. Definisi Operasional

Persentase cakupan penemuan kasus baru kusta tanpa cacat adalah jumlah kasus

baru kusta tanpa cacat (cacat tingkat 0) diantara total kasus baru yang ditemukan di

suatu wilayah dalam periode waktu 1 (satu) tahun.

c. Rumus Cara Perhitungan

Menghitung persentase kasus baru kusta tanpa cacat adalah sebagai berikut:

Pembilang (nominator) bagi indikator tersebut adalah jumlah kasus baru kusta tanpa

cacat (cacat tingkat 0) yang ditemukan di suatu wilayah, sedangkan penyebut

(denominator) adalah jumlah kasus baru yang ditemukan di suatu wilayah dalam

periode waktu 1 (satu) tahun.

Persentase cakupan

penemuan kasus baru

kusta tanpa cacat =

Jumlah kasus baru kusta tanpa cacat yang

ditemukan (cacat tingkat 0)

X 100% --

Jumlah kasus baru yang ditemukan dalam

periode 1 tahun

17

d. Capaian indikator

Indikator proporsi kasus baru kusta tanpa cacat ditargetkan mencapai angka 91%

pada tahun 2018. Data yang diterima dari seluruh provinsi hingga TW III

menyebutkan proporsi kasus baru kusta tanpa cacat adalah sebesar 85,19%

(pencapaian target 93,6%).

Angka tersebut berada di bawah target yang telah ditetapkan, namun apabila

dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya, terlihat adanya trend

peningkatan capaian yang konstan, dari 78,1% pada tahun 2015, menjadi 85,19% di

tahun 2018.Hal tersebutdapat dilihat pada Grafik 4 sebagai berikut:

*Data per April tahun 2019

Grafik 4. Target dan Capaian Indikator Persentase Cakupan Penemuan Kasus Baru

Tanpa Cacat Tahun 2014-2019

Target yang digunakan di tingkat global untuk mengukur kecacatan yang diakibatkan

oleh kusta dan keterlambatan penemuan kasus adalah menggunakan indikator angka

cacat tingkat 2.Meskipun indikator global berbeda dari indikator RAK yang digunakan

yaitu “Proporsi Kasus Baru Kusta Tanpa Cacat”, namun kedua indikator tersebut sama-

sama merefleksikan perubahan dalam deteksi kasus baru dengan penekanan pada

penemuan kasus secara dini.Apabila kegiatan penemuan kasus secara dini dilaksanakan

dengan baik maka proporsi kusta baru tanpa cacat akan meningkat, sebaliknya angka

cacat tingkat 2 mengalami penurunan. WHO dalam Weekly Epidemiological Record

Tahun 2018 menyatakan bahwa dari total 210.671 kasus baru, terdapat 12.189 kasus

8082

85

88

91

95

79.578.1

82.3

84.4 85.19

70

75

80

85

90

95

100

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Target Capaian

18

dengan cacat tingkat 2 pada tahun 2017 (angka cacat tingkat 2 sebesar 1,6 juta per

1.000.000 penduduk). Sebanyak 11.014 (90,3%) berasal dari ‘Negara-negara Prioritas

Global’ seperti India, Brazil, Bangladesh, dan lainnya, termasuk Indonesia. Angka cacat

tingkat 2 dilaporkan mengalami penurunan pada periode 5 tahun terakhir pada ‘Negara-

negara Prioritas Global’.

Indikator proporsi kasus kusta baru tanpa cacat merupakan indikator proksi dari indikator

RAP Provinsi dengan Eliminasi Kusta.Apabila banyak kasus kusta baru tanpa cacat yang

ditemukan artinya kegiatan penemuan kasus yang selama ini dilakukan sudah cukup baik

mendeteksi kasus secara dini.Sumber penularan tersembunyi dapat ditemukan dan

diobati sehingga mata rantai penularan dapat diputus.Hal tersebut berdampak pada

tercapainya status eliminasi di tingkat provinsi maupun kabupaten.

Sebanyak 24 provinsi mencapai status eliminasi kusta di tahun 2018. Adapun 10 provinsi

lainnya yang belum mencapai eliminasi di antaranya adalah Provinsi Sulawesi Utara,

Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,

Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Papua Barat. Peta status eliminasi kusta tingkat

provinsi di Indonesia dapat dilihat di bawah ini.

19

Gambar 2. Perbandingan Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia

Tahun 2016 hingga 2018

e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator

Beberapa upaya yang dilaksanakan dalam rangka mendukung pencapaian indkator

di atas di antaranya:

a) Advokasi Dan Sosialisasi LP/LS serta Pelatihan Singkat Petugas dalam

rangka Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia di Wilayah

Endemis

Kegiatan ini dilaksanakan pada kabupaten/kota endemis kusta dan frambusia

yang berada di 9 kabupaten/kota regional Maluku – Maluku Utara, 12

kabupaten/kota regional Papua – Papua Barat, dan 53 kabupaten/kota selain

regional tersebut. Kegiatan ini diselenggarakan dengan mengundang lintas

program dan lintas sektor serta stakeholder terkait lainnya. Adanya kegiatan

advokasi dan sosialisasi tersebut diharapkan dapat memperkuat komitmen LS/LP

setempat dalam kegiatan penemuan kasus kusta dan frambusia, baik melalui

dukungan politik maupun dengan pengalokasian sumber daya.Sedangkan

Sulteng

20

pelatihan singkat bagi petugas diharapkan dapat me-refresh pengetahuan dan

keterampilan petugas dalam mendeteksi dan melakukan manajemen kasus.

b) Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case

Finding/ ICF)

Pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia dilaksanakan

menggunakan 2 metode, yaitu metode skrinning bercak/koreng di 16

kabupaten/kota endemis di regional Papua/Papua Barat; serta metode

pendekatan keluarga menggunakan bantuan format bercak pada 6

kabupaten/kota endemis di regional Maluku – Maluku Utara, serta 48

kabupaten/kota selain regional tersebut.

Pada daerah di regional non Papua, kegiatan tersebut dilaksanakan

menggunakan bantuan format penemuan bercak.Setiap keluarga akan

melakukan skrining terhadap anggota keluarganya sendiri menggunakan format

penemuan bercak yang dibagikan oleh kader. Format tersebut diisi oleh kepala

keluarga dan akan dipilah oleh kader dan petugas kesehatan. Suspek yang

ditemukan kemudian diperiksa dan konfirmasi diagnosisnya oleh tenaga

kesehatan terlatih. Metode ini diharapkan dapat memperluas cakupan penemuan

kasus di masyakarat.Di beberapa wilayah, kegiatan ini diintegrasikan dengan

kegiatan PIS-PK.

Gambar 3. Salah satu pasien kusta yang ditemukan dari kegiatan Penemuan Kasus di

Kabupaten Teluk Wondama Tahun 2018

c) Pelatihan Nasional Pemegang Program P2 Kusta dan Frambusia terakreditasi

diselenggarakan sebanyak 3 batch.

21

d) Finalisasi Draft Permenkes Penanggulangan Kusta sekaligus revisi pedoman

nasional sebagai lampiran Permenkes diselenggarakan sebagai upaya

memperkuat payung hukum pengendalian kusta di Indonesia.

e) Pengawalan Penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedoktearn (PNPK

Kusta) yang diinisiasi oleh Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia

(PERDOSKI) dan melibatkan organisasi profesi terkait lain.

f) Menyelenggarakan Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta

dan Frambusia bersama anggota DPR RI Komisi IX yang membawahi bidang

kesehatan. Kegiatan ini dilaksanakan pada 11 kabupaten/kota terpilih dengan

tujuan melakukan advokasi dan sosialisasi program kusta kepada pimpinan

setempat serta Lintas Program dan Lintas Sektor untuk mendapatkan dukungan

kebijakan dan kemitraan daerah.

g) Advokasi ke provinsi dan kabupaten/kota Endemis bersama dengan kunjungan

Goodwill Ambassador WHO untuk kusta, Yohei Sasakawa, dalam rangka

meningkatkan komitmen dan kesadaran pemangku kepentingan terhadap

program kusta, serta partisipasi masyarakat dan OYPMK dalam pencarian kasus

kusta.

h) Menyelenggarakan Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort

Nasional P2 Kusta dan Frambusia yang bertujuan melakukan monitoring dan

evaluasi program yang dilaksanakan oleh provinsi dan kabupaten/kota di

Indonesia serta melakukan validasi dan finalisasi data tahun 2017.

22

Gambar 4. Penyerahan penghargaan terhadap Pengelola Program Kabupaten/Kota

Terbaik oleh Direktur P2PML dalam Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data

Kohort Nasional P2 Kusta dan Frambusia Tanggal 26-29 Maret 2018 di Surabaya

i) Menyelenggarakan Pertemuan Akselerasi Eliminasi Kusta dan Frambusia yang

bertujuan untuk menyamakan pandangan tentang perlunya upaya akselerasi

dalam pencapaian target serta identifikasi kekuatan, peluang, hambatan serta

tantangan dalam program P2 kusta di wilayah masing-masing.

j) Menyelenggarakan kegiatan Validasi Data pada 2 provinsi yang belum mencapai

eliminasi kusta. Tujuan kegiatan tersebut adalah meningkatkan kemampuan

pengelola program kabupaten/kota dalam pencatatan dan pelaporan program

serta melakukan pembersihan (cleaning) registerterhadap data P2 kusta provinsi

dan kabupaten/kota

k) Melaksanakan persiapan dan pelaksanaan kegiatan Pengobatan Pencegahan

Kusta terhadap Kelompok Berisiko di 3 pulau di kabupaten Sumenep dan

melaksanakan evaluasi kegiatan tersebut di Kabupaten Sampang sebagai

kabupaten yang telah melaksanakan kegiatan pengobatan pencegahan kusta

dalam beberapa tahun terakhir.

l) Mengembangkan kegiatan inovasi seperti perluasan sasaran pengobatan

pencegahan kusta (kemoprofilaksis), pengembangan pelatihan e-learning, pilot

pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, pengembangan skin-

apps, dan lain-lain.

f. Analisis Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

Indikator “Proporsi Kasus Kusta Tanpa Cacat” cenderung mengalami peningkatan

dari tahun ke tahun. Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan sumber daya

khususnya dari Pemerintah Pusat (kusta sebagai Program Prioritas Nasional) melalui

kegiatan intensifikasi penemuan kasus kusta secara aktif yang berkelanjutan dalam

beberapa tahun terakhir pada daerah endemis kusta, Penemuan kasus baru yang

selama ini tersembunyi di masyarakat meningkat secara signifikan dan pola

penemuan kasus berubah ke arah yang semakin dini. Dengan tatalaksana kasus dan

pengobatan yang tepat, kecacatan akibat kusta dapat dicegah.

Meskipun mengalami peningkatan dari tahun-ke tahun, proporsi kasus kusta baru

tanpa cacat belum dapat mencapai target yang ditentukan, karena terdapat

23

permasalahan lain pada daerah endemis rendah maupun daerah yang sudah

mencapai eliminasi. Karena sudah mencapai status eilminasi, pada beberapa daerah

tersebut kusta tidak lagi dianggap sebagai program yang perlu mendapatkan

perhatian lebih dan pelaksanaan surveilans kasus menjadi kurang optimal, sehingga

seringkali ditemukan banyak kasus cacat akibat adanya keterlambatan penemuan

kasus.

Hal lain yang mempersulit penemuan kasus secara dini adalah adanya stigma dan

diskriminasi terhadap Orang yang Mengalami Kusta (OYMK) dan Orang Yang Pernah

Mengalami Kusta (OYPMK) yang menghambat pasien mendapat pengobatan sedini

mungkin, sehingga kecacatan tidak dapat terhindari.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi

Hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan strategi program kusta adalah

sebagai berikut:

1. Kemitraan dan Dukungan Lintas Program & Sektor

a. Di banyak kabupaten/kota kantong sekalipun, kusta tidak dipandang sebagai

prioritas masalah kesehatan masyarakat. Hal ini berakibat sebagian besar

wilayah kantong kusta dan frambusia tidak mendapat dukungan lintas

program dan sektor dalam program pencegahan dan pengendalian kusta dan

frambusia.

b. Belum maksimalnya kemitraan dengan organisasi profesi, RS dan praktek

dokter swasta dalam menciptakan pelayanan kusta yang komprehensif dan

terstandar

c. Belum maksimalnya keterlibatan OYPMK dalam program P2 Kusta.

2. Sumber Daya Kesehatan dan Peningkatan Kapasitas Petugas

a. Angka mutasi petugas kesehatan yg cukup tinggi menyebabkan program

pencegahan dan pengendalian kusta di daerah berjalan kurang maksimal.

b. Pada daerah endemis rendah, pemahaman dan ketrampilan petugas

kesehatan dalam deteksi dini dan penanganan kasus kusta masih perlu

ditingkatkan lagi, karena penyakit tersebut dianggap sudah tidak ada lagi di

wilayah tersebut

3. Stigma terhadap Penyakit Kusta

24

a. Self stigma pada pasienkusta menghambat pencarian pengobatan sedini

mungkin.

b. Stigma masyarakat terhadap pasien kusta dan keluarganya akibat kurangnya

pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kusta

c. Stigma petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada

pasien kusta.

4. Akses Geografis

Sebagian besar daerah kantung kusta kusta berada di lokasi yang sulit dijangkau

menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju

pelayanan kesehatan.

5. Surveilans dan Manajemen Logistik

a. Kelengkapan dan ketepatan waktu pengiriman pelaporan masih perlu

ditingkatkan.

b. Pada beberapa daerah endemis rendah, surveilans tidak berjalan dengan

adekuat, mengakibatkan terjadinya keterlambatan penemuan kasus.

c. Donor mendistribusikan obat dalam beberapa kali pengiriman ke Indonesia,

hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pendistribusian obat dari pusat ke

daerah, sehingga sempat terjadi kekurangan stok obat di beberapa daerah.

7. Anggaran

Sistem pencairan danauntuk akun perjalanan dinas menggunakan sistem LS,

sehingga mempersulit pelaksanaan kegiatan di lapangan karena daerah pada

umumnya tidak bersedia melaksanakan kegiatan dahulu tanpa adanya uang

muka.

h. Pemecahan Masalah

Beberapa upaya pemecahan masalah program pengendalian penyakit kusta adalah

sebagai berikut:

a) Mempererat integrasi program dengan program lain, misalnya kusta-frambusia,

kusta-filariasis, kusta-ispa, kusta- PIS PK, dan lain-lain.

b) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadappemangku

kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam pencapaian

eliminasi kusta.

25

c) Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor, organisasi

profesi agar memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program sesuai dengan

tupoksi masing-masing

d) Memperluas cakupan kegiatan pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta

secara aktif.

e) Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan

secara rutin.

f) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE dalam rangka

menghilangkan stigma kusta di masyarakat.

g) Mengawal finalisasi Permenkes Penanggulangan Kusta

h) Mengawal penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) oleh

Organisasi Profesi terkait.

i) Mendorong daerah endemis rendah agar terus melakukan pengamatan kasus

kusta secara aktif dengan tetap memperhatikan kejadian kasus kusta pada anak

dan kasus cacat.

j) Melaksanakan pengembangan kegiatan inovasi seperti perluasan sasaran

pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis), pengembangan pelatihan e-

learning, pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi,

pengembangan skin-apps,dan lain-lain.

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

Di awal tahun, blokir anggaran terjadi pada salah satu item perjalanan dinas dalam

rangka kegiatan Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia di

kabupaten/kota endemis, dengan nilai Rp608.094.000,-. Hal tersebut menyebabkan

terbatasnya dana supervisi pusat dan provinsi ke kabupaten/kota endemis kusta dan

frambusia yang sebagian besar berada di wilayah yang cukup jauh dari ibukota

provinsi. Hal tersebut secara tidak langsung dapat berdampak pada kualitas kegiatan

Intensifikasi Penemuan Kasus di Lapangan.

Realisasi anggaran tidak dapat mencapai 100% akibat proses pencairan dana untuk

akun perjalanan dinas menggunakan sistem LS. Hal tersebut mempersulit

pelaksanaan kegiatan di lapangan karena daerah pada umumnya tidak bersedia

melaksanakan kegiatan dahulu tanpa adanya uang muka, sedangkan untuk

pengajuan LS, diperlukan Surat Tugas dan nama pelaksana kegiatan di daerah.

Selain itu, ada kabupaten/kota yang menolak melaksanakan kegiatan bersumber

dana pusat karena alokasi dana transport daerah sulit yang tidak mencukupi. Sulitnya

26

medan dan daerah yang berpulau-pulau menyebabkan tingginya biaya transportasi

ke lokus-lokus kusta.

2. Persentasekasus TB yang ditatalaksana sesuaistandar

a. Penjelasan Indikator

Persentasekasus TB yang ditatalaksanasesuaistandaradalah indikator yang

sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran layanan pengobatan pasien TB

serta dalam rangka memutus mata rantai penularan dan mencegah terjadinya kebal

obat. Angka ini menggambarkan jumlah kasus TB yang mendapat layanan

pengobatan sesuai standar yang dilaporkan ke program.

b. Definisi operasional

Jumlah semua kasus TB yang mendapat layanan pengobatan sesuai standar

dan dilaporkan dibagi semua kasus TB yang mendapat layanan pengobatan dan

dilaporkan dikali 100%.

c. Rumus/cara perhitungan

Jumlah semua kasus TB yang mendapat layanan pengobatan sesuai

standar dan dilaporkan

----------------------------------------------------------------------------------------- X 100 %

Jumlah dibagi semua kasus TB yang mendapat layanan

pengobatan dan dilaporkan

d. Capaian indikator

Capaian persentasekasus TB yang ditatalaksanasesuaistandar pada tahun 2015

sebesar 97,3%, tahun 2016 sebesar 97,2%, tahun 2017 sebesar 95,1% dan tahun

2018 sebesar 85%. Bila dibandingkan dengan targetindikator maka capaian

persentase kasus TB yang ditatalaksanasesuai standar tahun 2015sebesar 135%,

tahun 2016 sebesar 130%, tahun 2017 sebesar 124% dan tahun 2018 sebesar

107,6%.Dari data ini dapat dilihat bahwa persentase kasus TB yang

ditatalaksanasesuaistandarsudah mencapai target yang ditentukan sebagaimana

dapat dilihat pada grafik berikut:

27

Grafik 5. Persentase kasus TB yang ditatalaksana sesuai standar tahun 2015 - 2018

Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian semakin

baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin buruk

kinerjanya. Dengan demikian pada tahun 2018, indikator persentasekasus TB yang

ditatalaksanasesuaistandarsudah mencapai target dengan capaian sebesar

107,6%.Jika dibandingkan capaian persentasekasus TB yang

ditatalaksanasesuaistandar dari tahun 2015 – 2018 terlihat seperti menurun. Namun

demikian capaian pada tahun 2018 hasilnya lebih rendah dari tahun-tahun

sebelumnya karena pembaginya/denominatornya lebih besar, yaitu sudah

mengikutkan hasil kegiatan penyisiran kasus TB dari rumah sakit karena belum

terintegrasinya Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) dan Sistem Informasi

Manajemen Rumah Sakit (SIM RS), dalam artian kita sudah mulai ekspansi agar

notifikasi kasus TB juga dapat dilaporkan di RS pemerintah dan swasta (mandatory

notifikasi kasus). Dengan demikian walaupun persentase lebih rendah dari

sebelumnya, tapi tingkat kehandalannya sudah lebih baik karena notifikasi kasus

sudah lebih baik lagi.

e. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator

1. Upaya akselerasi yang dilakukan program nasional sejak pertama kali

diputuskannyaDirectly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi

penanggulangan TB di Indonesia

2. Ekspansi laboratorium pemeriksaan TB:

Pada tahun 2018 terdapat 7,372 laboratorium mikroskopis TB yang terdiri dari

6,036 PRM/PPM dan 1,336 RS/BKPM/BBKPM. Jumlah Laboratorium Rujukan

Intermediate (LRI) sebanyak 159 di 25 provinsi (144 Kab Kota), sedangkan 9

0

72 75 77 79 80

0

97.3 97.2 95.1

85

0

20

40

60

80

100

120

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Target

Realisasi

28

provinsi yang belum mempunyai LRI adalah Provinsi Kepri, Jambi, Bengkulu,

Bali, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua

Barat).

Jumlah Laboratorium Cultured Drug-Susceptibility (CDST) di Indonesia: 19 Lab

biakan (di 11 provinsi), 11 Lab DST lini 1 (di 8 provinsi), 9 Lab DST lini 2 (di 6

provinsi). Tes Cepat Molekuler: 792 Laboratorium Tes Cepat Molekuler (TCM) di

34 provinsi per Desember 2018, dengan utilisasi TCM 2018 sebanyak 35%, serta

sudah adanya Second Line - Line Probe Assay (LPA). LPA lini 2 dapat

mendeteksi secara cepat Mycobacterium Tuberculosis (MTB) dan resistansi

terhadap fluoroquinolon dan obat injeksi lini dua. Sebanyak 7 laboratorium

dinyatakan lulus LPA lini dua (BBLK Surabaya, RSUP Persahabatan Lab

Mikrobiologi FKUI, BBLK Palembang, Hasanuddin Mediacl University Research

Center (HUMRC) Makassar, BBLK Jawa Barat dan RSUP dr. Kariyadi)

3. Ekspansi fasilitas pelayanan TB resistensi obat.

Indonesia memulai pengobatan pasien TB RO yang diawali di dua Rumah Sakit,

yaitu RSUP Persahabatan Jakarta dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya melalui

KEPMENKES RI No.117/MENKES/SK/II/2009 sebagai acuan pelaksanaan TB

RO. Perjalanan dari tahun ketahun, jumlah kasus TB RO semakin meningkat.

Dengan adanya peningkatan kasus TB RO di Indonesia, maka perluasan

Manajemen Terpadu Pengobatan TB Resisten Obat (MTPTRO) harus

ditingkatkan. Peningkatan akses sangat diperlukan untuk dapat memberikan

pelayanan kepada seluruh pasien TB RO. Sampai dengan saat ini, fasilitas

pelayanan kesehatan TB RO dilaksanan di Fasyankes Rujukan TB RO yang ada

di 34 Provinsi. Tingginya jumlah kasus yang ada dan terbatasnya layanan TB RO

berpengaruh terhadap akses layanan juga berpengaruh terhadap keberhasilan

pengobatan pasien TB RO. Untuk mendekatkan akses, meningkatkan cakupan

layanan dan keberhasilan pengobatan pasien TB RO perlu dilakukan perluasan

penyelenggara layanan. Untuk mendukung rencana ekspansi layanan TB RO,

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.HK.01.07/MENKES/350/2017 tentang “Rumah Sakit dan

Balai Kesehatan Pelaksana Layanan Tuberkulosis Resistan Obat”.Hingga Bulan

September 2018 pelayanan TB RO sudah dilaksanakan di 171 RS/ Balkes di 34

provinsi.

4. Pembentukan jejaring riset TB (JetSet TB). Riset menjadi salah satu pilar untuk

mendukung strategi dan kebijakan TB berbasis bukti. Banyak penelitian TB yang

tersebar di seluruh Indonesia baik yang dilaksanakan oleh Universitas maupun

Lembaga riset yang ada di bawah Kemenkes, Kemenristek Dikti maupun

Kementerian lain. Kegiatan riset tersebut harus dapat dimanfaatkan dan

diarahkan untuk mendukung akselerasi tercapainya eliminasi TB di Indonesia.

29

Untuk mewadahi kegiatan tersebut pada April 2017, telah dibentuk Jejaring Riset

TB yang disebut dengan JETSET TB Indonesia, beranggotakan akademisi,

profesi, dan peneliti di bidang TB. Dibentuknya JETSET TB ini bertujuan untuk

membangun basis data penelitian TB yang aktual dan terkini, membangun

kapasitas peneliti TB yang professional, membangun komunikasi efektif antar

peneliti dan pengambil kebijakan dan membangun kemitraan strategis dengan

Program TB di seluruh Indonesia. Pada Bulan November 2018 telah

dilaksanakan Seminar Nasional yang diselenggarakan di Makasar bekerjasama

dengan FK Universitas Hasanuddin.

5. Pelaksanaan Moping Up/ penyisiran kasus ke rumah sakit-rumah sakit baik

rumah sakit pemerintah maupun swasta.

6. Pengiriman umpan balik hasil entri SITT dan hasil penyisiran kasus ke rumah

sakit yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota.

7. Telah terbentuk 6 Koalisi Organisasi Profesi Indonesia (KOPI) TB Provinsi dan

16 KOPI TB Kabupaten/Kota (per Desember 2018)

8. Telah terselenggaranya Implementing Organization Public Private Mix (IO

PPM)Catalytic Funding yang merupakan salah satu Sub-Recipient (SR) untuk

danaCatalytic Funding dari The Global Fund. Tujuan dari IO PPM ini adalah

menemukan missing cases pada fasilitas kesehatan non-NTP baik pemerintah

maupun swasta melalui pendekatan komprehensif untuk melibatkan fasyankes

non-NTP dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan TB dan notifikasi kasus

TB melalui pendekatan DPPM. Setelah berbagai tahap seleksi, IO PPM yang

telah terpilih adalah Kolaborasi PDPI dan YKI. Saat ini IO PPM dalam proses

persiapan untuk dapat melaksanakan intervensi pada tahun 2019-2020. IO PPM

akan menerapkan pendekatan District-based Public-Private Mix (DPPM) melalui

KOPI TB di 37 kab/ kota. Pemilihan 37 kab/kota tersebut didasarkan pada beban

TB tertinggi di Indonesia

9. Pendanaan pemerintah pusat untuk penanggulangan TB telah meningkat secara

bermakna dalam beberapa tahun terakhir, menjadi salah satu upaya exit strategy

dari ketergantungan terhadap dana dari donor.

30

Gambar 5. #TOSSTBC juga dikumandangkan di media sosial, lewat lokakarya blogger

kesehatan untuk peduli TBC, tagar atau hashtag TBC pada hari itu berhasil menjadi

trending topic nasional!

Gambar 5. Kampanye Penanggulangan TBC dengan Semangat Perjuangan Hari Kartini

dalam Kartini Run 2018 tersebut yang pada hari itu juga turut dihadiri oleh Ibu Negara RI, Hj. Iriana Joko Widodo.

31

Gambar 6. Pertemuan Tingkat Tinggi di New York, 26 September 2018.

untuk Tuberkulosis (High Level Meeting on Tuberculosis)di Markas Besar PBB, Indonesia

Berbagi Pengalaman Penanggulangan TBC.

f. Analisis Penyebab Keberhasilan

Tercapainya target Persentasekasus TB yang ditatalaksanasesuaistandardisebabkan

karena berbagai ekspansi yang sudah dilaksanakan sepertiekspansi DOTS (Directly

Observed Treatment Short-course), ekspansi laboratorium pemeriksaan TB, ekspansi

fasilitas pelayanan TB RO sehingga mendukung meningkatnya kasus TB yang

ditemukan dan diobati, peran pengawas menelan obat dan fasilitas layanan kesehatan

yang semakin baik, serta telah dilaksanakannya moping up/ penyisiran kasus ke RS

yang ada di Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi

1. Meningkatnya epidemi kasus TB resisten obat.

2. Belum semua kasus TB berhasil dijangkau.

3. Pendekatan yang terlalu sentralistis dan global.

4. Sebagian besar Kab/Kota belum mempunyai komitmen politis yang ditandai

dengan adanya peraturan daerah dan peningkatan anggaran untuk P2TB.

5. Lemahnya aspek manajemen program.

6. Meskipun pendanaan pemerintah pusat meningkat, kontribusi anggaran dari

provinsi dan kabupaten untuk pengendalian TB masih tetap minimal di

kebanyakan daerah.

7. Banyak mitra pemain tetapi kurang terintegrasi menjadi kekuatan yang sinergis.

32

h. Pemecahan Masalah

Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6

strategi yaitu:

1. Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota

- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial

- Regulasi dan peningkatan pembiayaan

- Koordinasi dan sinergi program

2. Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu

- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)

- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat

- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan

lain sebagainya

- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru

- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding

- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan

Semesta (health universal coverage).

3. Pengendalian Faktor Risiko

- Promosi lingkungan dan hidup sehat.

- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.

- Pengobatan pencegahan dan imunisasiTB.

- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan

dankeberhasilan pengobatan yang tinggi.

4. Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB

- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat

- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah

5. Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB

- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.

- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan

pengobatan TB.

- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis

keluarga dan masyarakat.

6. Penguatan Sistem kesehatan

- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.

- Mengelola logistic secara efektif.

33

- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.

- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk

kewajiban melaporkan(mandatory notification).

- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

3. Persentase Kasus HIV yang diobati sebesar 50%

a. Penjelasan Indikator

Dalam upaya mengendalikan prevalensi tetap dibawah 5% sehingga penularan

pada populasi umum tetap rendah maka Kementerian Kesehatan

mengembangkan kebijakan ARV sebagai pengobatan sekaligus pencegahan.

Peningkatan jumlah ODHA (orang dengan HIV AIDS) yang dapat mengakses dan

tetap dalam terapi ARV diharapkan dapat menurunkan penularan dan

meningkatkan lama dan produktivitas hidup ODHA.

b. Definisi operasional

Persentase jumlah orang positif HIV dan masih dalamterapi pengobatan ARV

dibandingkan jumlah orang positif HIV dan memenuhi syarat untuk memulai terapi

pengobatan ARV.

c. Rumus/cara perhitungan

Jumlah ODHA yang masih mendapatkan ART

--------------------------------------------------------------------------- x 100 %

Jumlah ODHA yang memenuhi syarat memulai ART.

d. Capaian indikator

Capaian indikator presentase kasus HIV yang diobati tahun 2018 sebesar 54,80%

dari target 50%. Data didapatkan melalui sistem informasi HIV AIDS dan IMS

yang diinput oleh layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengbatan) HIV AIDS

di seluruh Indonesia.Ada sebanyak 108.479 ODHA yang mendapatkan terapi ARV

dibandingkan tahun 2017 sebanyak 91.369 ODHA. Pada tahun ini, mulai

diterapkan kebijakan test and treat tanpa memandang nilai CD4, sehingga capaian

pengobatan meningkat. Kebijakan obat ARV sebagai pengobatan dan pencegahan

diharapkan dapat menurunkan tingkat penularan HIV sehingga peningkatan jumlah

ODHA yang dapat mengakses dan tetap dalam terapi ARV setiap tahunnya dapat

mendukung pengendalian prevalensi HIV tetap dibawah 5% pada populasi umum.

34

Grafik 6.Target dan Realisasi Capaian Presentase Kasus HIV yang diobati Tahun 2015-

2018

e. Analisa Penyebab Keberhasilan

Peningkatan jumlah ODHA yang mengetahui status HIV nya sejalan dengan

peningkatan jumlah inisiasi ARV pada ODHA. Penerapan SUFA (strategic use of

ARV) dengan tujuan memperluas inisiasi dini ART, untuk segera mendapatkan

pengobatan ARV berapapun jumlah CD4 nyapada kelompok populasi kunci (WPS,

Penasun, Waria, LSL) dan kelompok khusus (ibu hamil, pasien ko-infeksi TB-HIV,

pasien ko-infeksi Hepatitis B-HIV, dan ODHA yang pasangan tetapnya HIV

negatif), semakin diperluas dengan implementasi kebijakan baru yakni member

pengobatan ARV tanpa memandang jumlah CD4, sehingga jumlah yang

mendapatkan terapi ARV juga meningkat. Selain itu upaya dalam meningkatan

jumlah petugas kesehatan dan layanan terlatih PDP (Pengobatan Dukungan dan

Perawatan) HIV sehingga telah ada 755 UPK Rujukan ARV dan 199 UPK Satelit

ARV yang tersebar di 283 Kabupaten/Kota di seluruh Provinsi Indonesia sampai

dengan tahun 2018.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator

1. Meningkatkan pembiayaan pengendalian HIV AIDS melalui APBN khususnya

pengadaan reagen tes HIV, obat ARV dan IMS

2. Meningkatkankerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya

pencegahan dan pengendalian penularan HIV

3. Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan

elektronik serta kampanye sosialisasi ABAT

45.00%47.00%

50.00%52.00%

55.00%

47.30% 47.01%50.43%

54.80%

0.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

70.00%

80.00%

2015 2016 2017 2018 2019

Target

Capaian

35

4. Mendorong daerah untuk menyusun regulasi tentang pencegahan dan

penanggulangan HIVAIDS.

5. Meningkatkan dan mempertahankan kabupaten/kota mampu memberikan

layanan komprehensif HIV dan IMS.

6. Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom.

7. Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART

8. Peningkatan jumlah layanan Tes HIV dan layanan Infeksi Menular Seksual

(IMS)

9. Peningkatan kualitas layanan LASS dan PTRM yang telah ada.

10. Akselerasi peningkatan orang yang melakukan Tes HIV antara lain melalui

mobile tes HIV, serta memaksimalkan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan

(TIPK)

11. Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui kebijakan Test and

Treat, dengan memperluas inisiasi dini ART tanpa memandang jumlah CD4.

12. Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis manual

maupun elektronik.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi

1. Masih tingginya penularan HIV dan IMS

a) Penularan HIV pada subpopulasi heteroseksual semakin meningkat

termasuk penularan pada subpopulasi homoseksual dan biseksual, terutama

LSL (Lelaki Seks Lelaki) muda.

b) Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, Waria belum berhasil

dikendalikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat pemakaian

kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko dan kesadaran

untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar.

c) Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga masih terjadi namun

penularan pada dari ibu ke anaknya mulai dapat teratasi.

2. Pengetahuan dan kesadaran masayarakat tentang HIV dan pencegahan

penularannya masih perlu ditingkatkan

a) Masih banyak kelompok di masyarakat yang masih awam terhadap risiko

penularan HIV, terutama masyarakat dengan keterbatasan sumber informasi

dan juga pada populasi remaja.

b) Belum terbangunnya kesadaran pada populasi berisiko untuk menolong diri

sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga serta masyarakat

dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS.

c) Kesadaran masyarakat termasuk populasi berisiko untuk mengetahui status

HIV nya masih relatif rendah.

36

d) Masih tingginya stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan petugas

kesehatan kepada ODHA.

3. Terbatasnya Ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV AIDS dan

IMS

a) Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan

terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS

serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah

prioritas dan besarnya populasi berisiko.

b) Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu memberikan

layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu ditingkatkan untuk

memenuhi kebutuhan.

4. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan

evaluasi

a) Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan

rehabilitasi terkait HIV dan IMS belum terintegrasi dalam sistem informasi

fasilitas layanan kesehatan

b) Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan pelaporan

program HIV AIDS dan IMS

c) Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinyu akibat ketidak seragaman

komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan,

pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan

kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV AIDS dan IMS terutama

dalam era desentralisasi

h. Rencana Pemecahan Masalah

a) meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan

AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal,

organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya

manusia;

b) meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;

c) meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,

bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada

upaya preventif dan promotif;

d) meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi,

dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban tertinggi

e) meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;

f) meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang

merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;

37

g) meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan

penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu

sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan

AIDS; dan

h) revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS,

i) penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas,

j) peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan kader

masyarakat dalam upaya penjangkauan,

k) penguatan distribusi kondom dan layanan alat suntik steril (LASS) di

Fasyankes,

l) perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas,

m) perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS dan bahaya Napza di lingkungan

pendidikan formal dan non-formal.

n) meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping

ODHA, terutama dalam hal pendampingan terapi ARV.

o) mendukung peningkatan sumber daya di kabupaten/kota untuk meningkatkan

cakupan program terutama tes dan pengobatan.

p) meningkatkan sistem informasi data dan pemanfaatannya termasuk aplikasi

sistem informasi logistic.

i. Peningkatan Penyediaan Sumber Daya

Peningkatan pengadaan jumlah reagen tes HIV yang disediakan menjadi 7,5 juta

tes di tahun 2018 dibandingkan 4 juta tes di tahun 2017 diharap akan mampu

meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes HIV pada tahun 2019.

4. Persentase kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya Melaksanakan Pemeriksaan

Tatalaksana Pneumonia melalui Program MTBS

a. Penjelasan Indikator

Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena

penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan

dan kematian Balita.Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus

pneumonia pada balita.

Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas

harus diberikan tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit

penuh dan melihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam

(TDDK), baru kemudian di klasifikasi menjadi pneumonia, pneumonia berat dan

batuk bukan pneumonia, serta diberikan tindakan sesuai klasifikasi yang telah

ditentukan.

38

Prosentase Balita yang di

berikan tatalaksana standar

Jumlah balita yang datang dengan keluhan

batuk dan atau kesukaran bernapas yang

diberikan tatalaksana standar (dihitung

napas/dilihat TDDK)

Jumlah kunjungan balita dengan batuk dan

atau kesukaran bernapas

Prosentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan Tatalaksana Standar

Pneumonia adalah angka prosentase kabupaten/kota yang 50% dari seluruh

puskesmas yang ada diwilayahnya melaksanakan tatalaksana standar pneumonia

minimal 60%.

Puskesmas yang melaksanakan tatalaksana standar pneumonia adalah angka

persentase kasus pneumonia balita yang diberikan tatalaksana standar yaitu

dihitung napas dalam waktu satu menit penuh atau dilihat ada tidaknya Tarikan

Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK) minimal 60% dari seluruh kunjungan

balita dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas.

b. Definisi Operasional

Persentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukanTatalaksana Standar

Pneumonia adalah angka persentase kabupaten/kota yang 50% dari seluruh

puskesmas yang ada di wilayahnya melaksanakan standar pneumonia minimal 60%.

Puskesmas yang melaksanakan tatalaksana standar pneumonia adalah angka

persentase kasus pneumonia balita yang diberikan tatalaksana standar yaitu

dihitung napas dalam waktu satu menit penuh atau dilihat ada tidaknya Tarikan

Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK) minimal 60% dari seluruh kunjungan

balita dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas.

c. Rumus Cara Perhitungan

Indikator program P2 ISPA yaitu Persentase Kabupaten/Kota yang 50%

Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana Pneumonia melalui

program MTBS, untuk dapat menghitung indikator tersebut dapat dilakukan:

Di Tingkat Puskesmas :Cara menghitung prosentase yang diberikan tatalaksana

standar yaitu jumlah balita batuk dan atau kesukaran bernapas yang dihitung

napasatau dilihat TDDK dibagi seluruh kunjungan balita dengan keluhan batuk

danatau kesukaran bernapas.

= x100%

39

Prosentase Puskesmas yang

melakukan Tatalaksana

standar

Jumlah Puskesmas yang melakukan

TatalaksanaStandar minimal 60%

Jumlah Puskesmas yang ada di wilayah Kab/Kotatersebut

Persentase Kabupaten/Kota

yang 50% Puskesmasnya

melakukan pemeriksaan dan

tatalaksana Pneumonia

melalui program MTBS

Jumlah Kab/Kota yang minimal 50%

Puskesmasnya Melaksanakan

Tatalaksa Standar

Jumlah Kab/Kotayang ada di wilayah tersebut

Di Tingkat Kabupaten : Cara menghitung persentase puskesmas yang melaksanakan

tatalaksana standar pneumonia yaitu jumlah puskesmas yang telah melaksanakan

tatalaksana standar minimal 60% dibagi jumlah seluruh puskesmas yang ada di

kab/kota tersebut.

= x100%

Di Tingkat Provinsi dan Pusat :Cara menghitung persentase kabupaten/kota yang 50%

puskesmasnya telah melaksanakan tatalaksana standar yaitu jumlah kabupaten/kota

yang 50% puskesmasnya telah melaksanakan tatalaksana standar dibagi jumlah

seluruh kabupaten/kota yang ada.

= x100%

d. Capaian Indikator

Capaian indikatorPersentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan

pemeriksaan dan tatalaksana standar Pneumonia pada tahun 2018 sebesar 36.19%

dari target, capaian ini masih rendah dari target yang di harapkan sebesar 50%.

40

Grafik 7.

Capaian Indikator Persentase Kabupaten/ Kota yang 50% Puskesmasnya Melaksanakan

Tatalaksana Standar Pneumonia

e. Upaya yang Dilakukan Untuk Mencapai Indikator

Beberapa kegiatan dalam mencapai indikator program P2 ISPA antara lain;

- Sosialisasi sistem pelaporan terkait penambahan variabel indikator kinerja.

- Penyegaran materi tatalaksana kasus di tingkat pelayanan kesehatan dasar.

- Bimbingan teknis layananan pengawasan asistensi P2 ISPA bersama lintas

sektor/program, ahli/profesi

- ToT P2 ISPA bagi petugas Provinsi dan Kabupaten sebanyak 2 angkatan

- Review kinerja program pencegahan dan pengendalian penyakit ISPA

- Pendampingan dan Advokasi P2P ISPA

- Review perencanaan dan pengembangan program pencegahan dan

pengendalian penyakit ISPA

- Rapat Internal Subdit Pengendalian ISPA

- Review& penggandaan Buku Tatalaksana Pneumonia Bagi Fasyankes Tingkat

Pertama

- Review& penggandaan Buku Saku Kader

- Desain & pengadaan media Advokasi P2P ISPA (Payung, Tas ISPA, Pulpen

ISPA, Agenda ISPA)

- Distribusi logistik khusus

2015 2016 2017 2018

20%

30%

40%

50%

14.62%

28.07% 28.21%

36.19%

Target Capaian

41

f. Analisa Penyebab Kegagalan

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap tercapainya indikator program tersebut

antara lain :

- Tatalaksana standar belum optimal dilaksanakan di seluruh puskesmas, dari

beberapa kunjungan ke puskesmas alat ari sound timer yang digunakan untuk

menghitung napas cepat tidak tersedia di beberapa puskesmas, bila ada

kondisinya sudah rusak.

- Kebanyakan puskesmas tidak memiliki hasil pencatatan terkait variabel dalam

indikator yang baru, sehingga banyak puskesmas tidak melakukan pengisian data

khususnya pada variabel yang digunakan dalam perhitungan indikator tersebut.

g. Kendala/ Masalah yang Dihadapi

Beberapa masalah yang dihadapi dalam pencapaian indikator antara lain :

- Belum semua puskesmas tersosialisasi dengan penambahan variabel di sistem

pencatatan dan pelaporan, hal ini menyebabkan kesulitan dalam perhitungan

indikator.

- Tidak semua puskesmas, pustu dan polindes memiliki ARI Sound Timer, alat

tersebut yang direkomendasikan oleh WHO guna melakukan hitung napas.

- Belum semua puskesmas melaksanakan tatalaksana standar pada kunjungan

balita batuk atau kesukaran bernapas.

- Buku bantu yang dikembangkan di puskesmas (register) tidak memadai untuk

membuat pelaporan ISPA

- Dana kegiatan ISPA di beberapa kabupaten/ kota tidak tersedia.

h. PemecahanMasalah

Upaya yang akan dilakukan guna mengatasi permasalah yang dihadapi antara lain

- Lebih intens dalam melaksanakan sosialisasi ditingkat provinsi, kabupaten/kota

dan puskesmas dalam aplikasi sistem pelaporan terkait dengan adanya

penambahan variabel pengukuran indikator.

- Mengupayakan modifikasi register yang di terapkan di puskesmas agar

mendukung dalam pembuatan laporan P2 ISPA, melalui kegiatan bimbingan

teknis ke beberapa puskesmas terpilih.

- Melakukan peningkatan kualitas tatalaksana standar di tingkat puskesmas, pustu

dan polindes dengan kegiatan layanan sosialisasi standar tatalaksana yang di

adakan di beberapa kabupaten/kota terpilih sesuai dengan prioritas program

dengan melibatkan petugas puskesmas.

- Mengadakan alat untuk deteksi dini, seperti ARI Sound Timer dan Pulse Oxymetri

sebagai prototipe dan pelengkap kekurangan yang ada puskesmas.

42

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

Sumber Daya yang berpengaruh terhadap kinerja antara lain;

Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk

puskesmas mengalami masalah ketenagaan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi

pendidikan yang belum sesuai, mutasi yang begitu cepat, rangkap tugas, beban

kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan, hal

ini dapat diatasi dengan upaya bimbingan jarak jauh, selain mengirimkan soft file

baik pedoman, materi yang bisa dipelajari, serta penyampaian informasi melalui

beberapa media seperti group whatsapp, hp dan lain-lain.

Dana. Permasalahan dana berkaitan efisiensi dana di saat kegiatan sedang berjalan

sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program P2 ISPA baik di

pusat maupun di provinsi, selain itu kegiatan ISPA di kabupaten/kota banyak yang

tidak mendapat anggaran sama sekali. Untuk mengatasi permasalahan tersebut

dilakukan dengan memprioritaskan baik kegiatan maupuan lokasi kegiatan yang

memiliki daya ungkit dalam meningkatkan capaian indikator program. Beberapa

kegiatan yang dilakukan di prioritaskan pada daerah yang bias melakukan sharing

budget khususnya dalam kegiatas sosialisasi program.

Alat dan Bahan. Kegiatan deteksi dini pneumonia sangat tergantung dengan

kegiatan menghitung napas pasien balita dengan keluhan batuk atau kesukaran

bernapas, yang memerlukan alat untuk menghitung napas, berdasarkan

rekomendasi WHO alat yang digunakan adalah Sound Timer, alat ini banyak yang

tidak tersedia di puskesmas, pustu dan polindes sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan di masyarakat, bila ada kondisinya banyak yang telah

rusak.Permasalahan ini dapat diatasi sementara dengan menggunakan alat hitung

yang ada di puskesmas seperti jam tangan dengan detik, stop watch pada hp dan

lain-lain.

Metode. Upaya pengumpulan data yang cepat dan lengkap terus ditingkatkan

dengan memanfaatkan software pelaporan yang sudah ada.

5. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B pada

kelompok berisiko.

a. Penjelasan Indikator

Pengendalian penyakit Hepatitis B akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan dan

pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok berisiko. Kelompok

berisiko yang dimaksud terutama adalah ibu hamil, kemudian petugas kesehatan,

mahasiswa/pelajar kesehatan, perempuan penjaja seks, penasun, waria, LSL/Gay,

warga binaan penjara, pasien klinik IMS, orang dengan terinveksi HIV, penderita cuci

43

darah, keluarga yang tinggal serumah dengan penderita hepatitis B, dan orang

dengan riwayat keluarga terinfeksi hepatitis B. Saat ini deteksi dini Hepatitis B

diprioritaskan kepada ibu hamil karena resiko tertular hepatitis B paling besar adalah

dari Ibu ke anak sebesar 90%.

b. DefinisiOperasional

Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis B

pada ibu hamil dan kelompok berisiko lainnya dalam kurun waktu 1(satu) tahun.

Deteksi dini hepatitis B dilakukan dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test

(RDT) HBsAg pada ibu hamil dan kelompok berisiko lainnya

c. Rumus Cara Perhitungan

Persentase kabupaten/kota

yang melaksanakan Deteksi

Dini Hepatitis B pada kelompok

berisiko

=

Jumlah Kabupaten/Kota yang

melakukan deteksi dini Hepatitis B X 100%

Jumlah seluruh Kabupaten/Kota di

Indonesia

d. Capaian Indikator

Pada Tahun 2017 Jumlah Kabupaten Kota yang melaksanakan Deteksi Dini

Hepatitis B sebanyak 173 (33,66%) dan pada tahun 2018 terdapat penambahan 174

kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) sehingga total

kabupaten yang melaksanakan DDHB sampai dengan tahun 2018 sebanyak

347kabupaten/kota atau sebesar 67,51% yang tersebar di 34 Provinsi. Persentase

kabupaten/kota yang melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) pada kelompok

berisiko tiap tahun berhasil mencapai target yang telah ditentukan seperti tergambar

dalam grafik dibawah ini.

Grafik 8. Target dan Realisasi Capaian Persentase Kab/Kota Yang Melaksanakan DDHB

Tahun 2015-2018

44

Pada Tahun 2018 Pelaksanaan Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil dan

kelompok berisiko lainnya sudah tersebar di 34 Provinsi. Terdapat 7 Provinsi yang

telah mencapai 100% kabupaten/kota melaksanakan Deteksi Dini Hepatitis B

(DDHB) pada Ibu hamil atau kelompok berisiko lainnya yaitu DKI Jakarta, Banten,

DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan

Kalimantan Selatan. Tapi masih terdapat 12 Provinsi yang capaian kabupaten/kota

melaksanakan DDHB dibawah target tahun 2018 yaitu 60% seperti terlihat pada

peta dibawah ini.

Gambar 7. Peta Sebaran Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini

Hepatitis B (DDHB) Tahun 2018

2015 2016 2017 2018

Target 5 10 30 60

Capaian 5.8 17.12 33.66 67.51

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Per

sen

tase

Tahun

Target Capaian

45

Gambaran Pelaksanaan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) di Indonesia Tahun

2018

Hasil pelaksasanaan Deteksi Dini Hepatitis B pada ibu hamil di Indonesia tahun 2018

• 347 (67,51%) Kabupaten/kota telah melaksanakan DDHB di 34 Provinsi

• 1.531.521 ibu hamil diperiksa HBsAg

• 29.060 (1,90%) ibu hamil terdeteksi HBsAg Reaktif

• 15.747 bayi dari ibu yang HBsAg reaktif diberikan HBIg

• 752 bayi dari ibu yang HBsAg reaktif diperiksa HBsAg

• 7 (0,94%) bayi terdeteksi HBsAg Reaktif

HBIg (Hepatitis B Immunoglubulin) merupakan serum antibodi spesifik Hepatitis B

yang memberikan perlindungan langsung kepada bayi yang lahir dari ibu dengan

HBSAg reaktif (positif) selain imunisasi rutin sesuai program nasional. Data

pemeriksaan bayi dari ibu yang HBsAg Reaktif masih relatif sedikit karena baru 3

Provinsi yang melaporkan pemantauan bayi dari ibu HbsAg Reaktif yaitu Provinsi

Lampung, DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Menurut WHO, Pemberian HBIg dan

Vaksin Hepatitis bisa mencegah sampai 95% infeksi Hepatitis B, karena sebanyak

5% infeksi Hepatitis bisa terjadi selama masih dalam kandungan (In utero

transmission) yang berhubungan dengan tingkat HBV DNA si ibu.

Grafik 8. Kaskade Pencegahan Penularan Hepatitis B dari Ibu Ke anak

29,060

15,747

752 747 70

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

∑ Ibu HBsAg Reaktif

∑ Bayi Mendapatkan

HBIg

∑ anak diperisa HBsAg

∑ Bayi HBsAg Non Reaktif

∑ Bayi HBsAg Reaktif

46

Tabel 3. Pelaksanaan Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) di Indonesia Tahun 2018

No Nama Provinsi

Kab

/Kota

∑ kab

/Kota

DDHB

Kab/kota

DDHB

(%)

∑ Sasaran

Bumil di

Kab/Kota

DDHB

∑ Ibu

Hamil

diperiksa

HbsAg

Ibu

Hamil

diperiksa

HBsAg

(%)

∑ Ibu

Hamil

HBsAg

Reaktif

Ibu

Hamil

HBsAg

Reaktif

(%)

∑ Bayi

dari Ibu

HBsAg

Reaktif

Dapat

HBIG

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Aceh 23 20 86,96 114.941 59.929 52,14 559 0,93 304

2 Sumatera Utara 33 7 21,21 130.505 11.484 8,80 186 1,62 222

3 Sumatera Barat 19 18 94,74 118.500 46.955 39,62 460 0,98 238

4 Riau 12 7 58,33 104.566 12.876 12,31 218 1,69 158

5 Jambi 11 9 81,82 60.696 24.381 40,17 399 1,64 331

6

Sumatera

Selatan 17 11 64,71 120.063 19.250 16,03 186 0,97 59

7 Bengkulu 10 7 70,00 33.010 8.143 24,67 164 2,01 123

8 Lampung 15 13 86,67 154.785 83.004 53,63 1.302 1,57 1.087

9 DKI Jakarta 6 6 100,00 187.291 119.868 64,00 1.788 1,49 1.008

10 Jawa Barat 27 14 51,85 499.584 67.348 13,48 958 1,42 619

11 Jawa Tengah 35 33 94,29 567.594 333.269 58,72 5.125 1,54 3.268

12 DI Yogyakarta 5 5 100,00 59.612 10.437 17,51 97 0,93 34

13 Jawa Timur 38 33 86,84 555.636 269.905 48,58 6.134 2,27 2.752

14 Kalimantan Barat 14 12 85,71 97.046 13.766 14,19 348 2,53 63

15

Kalimantan

Tengah 14 6 42,86 32.165 6.589 20,48 148 2,25 36

16

Kalimantan

Selatan 13 13 100,00 89.426 34.853 38,97 721 2,07 428

17

Kalimantan

Timur 10 10 100,00 82.394 35.030 42,52 933 2,66 414

18 Sulawesi Utara 15 12 80,00 37.839 4.384 11,59 75 1,71 50

19 Sulawesi Tengah 13 3 23,08 20.569 8.282 40,26 273 3,30 172

20 Sulawesi Selatan 24 24 100,00 186.128 96.437 51,81 2.441 2,53 1.544

21

Sulawesi

Tenggara 17 12 70,59 60.540 9.406 15,54 341 3,63 41

22 Bali 9 7 77,78 54.341 32.489 59,79 476 1,47 97

23

Nusa Tenggara

Barat 10 10 100,00 114.583 58.732 51,26 1.754 2,99 848

24 Nusa Tenggara

Timur 22 8 36,36 67.886 13.511 19,90 747 5,53 171

25 Maluku 11 1 9,09 10.778 2.198 20,39 50 2,27 0

47

26 Papua 29 13 44,83 44.226 13.368 30,23 547 4,09 169

27 Banten 8 8 100,00 266.543 91.854 34,46 1.442 1,57 650

28 Maluku Utara 10 5 50,00 18.856 4.632 24,57 210 4,53 130

29 Gorontalo 6 4 66,67 19.003 7.696 40,50 232 3,01 191

30 Kepulauan

Bangka Belitung 7 6 85,71 25.600 12.490 48,79 399 3,19 310

31 Papua Barat 13 2 15,38 10.159 1.255 12,35 12 0,96 43

32 Kepulauan Riau 7 2 28,57 6.574 3.570 54,30 74 2,07 101

33 Sulawesi Barat 6 3 50,00 22.209 7.002 31,53 73 1,04 6

34 Kalimantan Utara 5 3 60,00 10.996 7.128 64,82 188 2,64 80

NASIONAL 514 347 67,51 3.984.644 1.531.521 38,44 29.060 1,90 15.747

e. Upaya yang DilakukanUntukMencapaiIndikator

1. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang

Hepatitis Virus melalui peringatan hari Hepatitis Sedunia (HHS), Gerakan aksi

Perduli Hepatitis, media KIE cetak dan elektronik

Acara Puncak Hari Hepatitis Sedunia Tahun 2018

Sosialisasi Program Hepatitis dan PISP melalui Gerakan Aksi Perduli Hepatitis di

Manggarai Barat, NTT dan Keerom, Papua.

48

2. Peningkatan dan penguatan kerja sama lintas program seperti KIA, HIV,

Laboratoriun dan promkes serta lintas sektor dalam upaya pencegahan dan

pengendalian Hepatitis

3. Kerja Sama dengan Subdit Maternal Neonatal dan HIV menyusun Revisi

Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari

Ibu Ke Anak

Penyusunan Revisi Manlak PPIA HIV,

Sifilis dan Hepatitis B

TOT Triple Eliminasi

4. Melakukan advokasi untuk mendorong daerah menyusun regulasi tentang

pencegahan dan penanggulangan Hepatitis

5. Peningkatan kapasitas pengelola program hepatitis di daerah dalam Deteksi Dini

Hepatitis B dan C

6. Peningkatan pencatatan dan pelaporan data Deteksi Dini Hepatitis baik secara

manual maupun elektronik (SIHEPI)

Pelatihan aplikasi SIHEPI

49

7. Peningkatan kemitraan dengan organisasi profesi seperti Perhimnpunan Peneliti

Hati Indonesia (PPHI), Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) untuk

meningkatkan layanan Hepatitis yang komprehensif dan terstandard

8. Peningkatan kemitraan dengan komunitas kelompok berisiko untuk

mendapatkan akses terhadap kelompok berisiko yang susah dijangkau

Diskusi dengan PPHIDR. dr. Rino Alvani

Gani, Sp.PD-KGEH dan dr. Irsan Hasan,

Sp.PD-KGEH

Diskusi dengan Ketua Pernefri Dr. Aida

Lydia, PhD, Sp.PD-KGH

f. Analisa Penyebab Keberhasilan/Kegagalan

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja terkait dengan tenaga,

pengetahuan dan ketrampilan, dana, dan data.

Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk

puskesmas mengalami masalah ketenagaan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi

pendidikan yang belum sesuai, perpindahan yang begitu cepat,beban kerja yang

tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan, bahkan ada

provinsi yaitu provinsi Maluku yang tidak memiliki petugas Hepatitis sehingga pusat

berusaha melakukan koordinasi langsung dengan dinas Kesehatan kabupaten.

Pengetahuan dan ketrampilan. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit Hepatitis

dan bahaya Hepatitis serta ketrampilan yang dimiliki oleh petugas dalam penegakan

diagnosa.

Dana. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan efisiensi dana di saat

kegiatan sedang berjalan sehingga berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan

program.

50

Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari provinsi masih rendah. Data yang

ada belum dilakukan analisis, baik tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat

pengumpulan data).

g. Kendala/ Masalah yang Dihadapi

a) Program Hepatitis masih relatif baru sehingga belum semua kabupaten

tersosialisasikan program hepatitis yang berakibat juga kepada kurangnya

pengetahuan dan keperdulian masyarakat terhadap hepatitis B dan C

b) Program Hepatitis masih belum menjadi prioritas di daerah sehingga

mengakibatnya kurangnya kepedulian dinas kesehatan provinsi dan Kabupaten

akan program hepatitis termasuk dalam hal pencatatan dan Pelaporan hasil

Kegiatan Program Hepatitis dan PISP

c) Keterbatasan kemampuan petugas, sarana dan prasana

d) Keterbatasan akses layanan

h. PemecahanMasalah

a. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan subdit HIV dan

maternal Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak

(PPIA) HIV, Sifilis dan Hepatitis B (Triple Eliminasi)

b. Kolaborasi dengan Subdit Hepatitis untuk menjangkau populasi Berisiko

Hepatitis B dan C dan melakukan Survey bersama dengan subdit HIV untuk

mengetahu gambaran masalah Hepatitis B dan C di Provinsi Jawa Barat.

c. Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam Deteksi dini termasuk dalam

pencatatan dan pelaporan.

d. Peningkatan kapasitas Dokter Spesialis Dalam dalam tatalaksana Hepatitis

e. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang

Hepatitis Virus melalui peringatan hari Hepatitis Sedunia (HHS)

f. Peningkatan kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri,

ahli, UN, lintas program dalam penanggulangan Hepatitis

g. Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis

i. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya

Dalama pencapaian target kinerja yang optimal, progrma Pencegahan dan

Pengendalian Hepatitis berusaha memprioritaskan kegiatan yang efeknya lebih besar

51

tapi mudah dijangkau yaitu dengan melaksanakan Deteksi Dini pada Ibu Hamil, serta

mengoptimalkan kerjasama dengan program HIV dan KIA untuk menjangkau sasaran.

6. Persentase Pelabuhan/ Bandara/ PLBD Yang Melaksanakan Kegiatan Deteksi Dini

Penyakit Menular Langsung sebesar 100%

a. Definisi Operasional

Jumlah PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi dini penyakit menular langsung

minimal satu penyakit menular langsung (HIV/AIDS, TB, Kusta, Hepatitis/ Diare,

Pneumonia/ ISPA) dalam waktu 1 tahun.

b. Rumus/ cara perhitungan

Jumlah PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi dini penyakit

menular langsung

x 100

Jumlah PLBD yang ada

c. Capaian indikator

Pada tahun 2018 seluruh PLBD sudah melaksanakan kegiatan deteksi dini penyakit

menular langsung minimal satu penyakit menular langsung yaitu HIV/AIDS, TBC, dan

Kusta.

d. Upaya yang Dilakukan Untuk Mencapai Indikator

Dalam rangka mencapai indikator tersebut, upaya-upaya yang sudah dilaksanakan

antara lain berkoordinasi dengan RSUD, Puskesmas, Pustu, serta Kabupaten dan

Kota. yang ada di sekitar wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan (Pelabuhan,

Bandara, PLBD).

e. Analisa Penyebab Keberhasilan

Tercapainya indikator ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

1. Adanya peningkatan kapasitas untuk SDM baik melalui pelatihan dan workshop

program pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung di KKP oleh

pusat pada tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya.

2. Meningkatnya jejaring kerja dan kerjasama berbagai stakeholder di wilayah kerja

KKP/PLBD.

3. Adanya komitmen KKP/PLBD untuk secara rutin melaksanakan pemeriksaan

kesehatan di lingkungan KKP/PLBD yang bertujuan untuk memutuskan mata

rantai penularan penyakit menular langsung di lingkungan PLBD.

52

f. Kendala/ Masalah yang Dihadapi

1. Keterbatasan SDM di PLBD khususnya pada wilayah kerja, sehingga banyak

yang rangkap tugas dan menyesuaikan jadwal kegiatan dari kantor induk.

2. Adanya efisiensi anggaran sehingga beberapa kegiatan sosialisasi dan screening

penyakit tidak terlaksana.

g. Pemecahan Masalah

1. Mengusulkan penambahan jumlah SDM sesuai keahlian yang dibutuhkan seperti

Dokter, perawat dan analis kesehatan (petugas laboratorium) ke eselon I

2. Menjalin kerjasama dengan pihak ketiga dalam menunjang kegiatan deteksi dini

di PLBD.

B. Realisasi Anggaran

Dalam mencapai kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Langsung didukung oleh Sumber Daya Anggaran yang berasal dari APBN dan PHLN.

Sesuai DIPA tahun 2018 anggaran tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 4

Alokasi dan Realisasi Anggaran Bersumber APBN Direktorat P2PML

Tahun 2018

In Pagu APBN Realisasi APBN Sisa %

Subbag TU 2.235.493.000 2.052.425.950 165.727.050 91,81

Subdit HIV/AIDS Dan PIMS 227.426.841.000 221.498.216.618 5.608.454.082 97,39

Subdit TB 283.993.848.000 281.662.123.670 2.301.269.530 99,18

Subdit Hepatitis dan dan PISP 114.833.107.000 112.731.686.190 2.098.541.210 98,17

Subdit ISPA 5.037.414.000 4.262.745.467 634.177.493 84,62

Subdit PTML 52.902.563.000 40.874.889.332 11.441.409.146 77,26

Total 686.429.266.000 663.082.087.227 22.249.578.511 96,60

*) Data per 31 Desember 2018

Berdasarkan tabel anggaran di atas, dapat dilihat bahwa realisasi anggaran Dit. P2PML Tahun

2018 sebesar 96,60%. Masih terdapat Rp. 22.249.578.511 (3,4%) yang tidak terlaksana di

tahun tersebut.

53

Tabel 5

Alokasi dan Realisasi Anggaran Bersumber PHLN Direktorat P2PML

Tahun 2018

No

SUMBER HIBAH LUAR NEGERI ALOKASI DIPA HIBAH 2018

REALISASI % PEMBERI HIBAH NO. REGISTER

433.445.884.000 432.888.707.537 99,87

1 GF Komp. AIDS 2E6AZTKA 150.454.628.000 150.127.065.296 99,78

2 GF Komp TB 26KCA77A 267.011.199.000 267.010.281.162 100

3 GF AIDS - KPAN 2W4KQU4A 10.683.693.000 10.683.693.000 100

4 IPF – KPAN 71454001 714.733.000 714.733.000 100

5 NLR 71791901 - - 0

6 UNFPA 2PAHK2CA 315.113.000 315.113.000 100

7 WHO 71229501 158.842.000 - 0

8 WHO 2VC2PCGA 3.242.555.000 3.172.701.079 97,85

9 UNICEF-HIV 2PHFDNDA 865.121.000 865.121.000 100 *)Data per 31 Januari 2019

Berdasarkan tabel anggaran di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan kegiatan pencegahan

dan pengendalian penyakit menular langsung dengan sumber dana PHLN untuk PAGU nya

sebesar Rp. 433.445.884.000,-, untuk REALISASI sebesar Rp. 432.888.707.537,-.

54

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

a. Penemuan kasus secara aktif dengan melibatkan masyarakat yang dilakukan secara

rutin dapat mencegah terjadinya keterlambatan penemuan kasus yang sudah

mengalami kecacatan.

b. Pendanaan untuk program pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung

tahun 2018 didukung oleh APBN dan hibah luar negeri langsung seperti WHO, GF

AIDS, GF TB, UNICEF, UNFPA, dan IPF.

c. Program pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsungyang sudah

mencapai target indikator kinerja adalah TBC, HIV, Hepatitis serta target

pelabuhan/bandara/PLBD yang melaksanakan kegiatan deteksi dini penyakit menular

langsung.

d. Program pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsungyang belum

mencapai target indikator kinerja adalah kusta dan ISPA.

e. Proporsi kasus baru kusta tanpa cacat tahun 2018 adalah sebesar 85,19%. Meskipun

belum mencapai target yang ditetapkan, apabila dibandingkan dengan pencapaian

tahun lalu (84,4%) mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,79%.

f. Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melakukan pemeriksaan

tatalaksana pneumonia melalui program MTBS belum mencapai target namun masih

akan mengalami perubahan karena masih ada provinsi yang belum melakukan finalisasi

data.

B. TINDAK LANJUT

a. Meningkatkan kegiatan pelatihan singkat, orientasi, bimbingan teknis bagi petugas di

layanan kesehatan.

b. Memperluas cakupan kegiatan intensifikasi penemuan kasus kusta terutama di daerah

endemis, dan menindaklanjuti kasus yang ditemukan dengan memberikan pengobatan

segera secara tepat.

c. Meningkatkan kegiatan advokasi program P2kustaterhadap pemangku kepentingan

terkait agar memperkuat komitmen dan dapat mengalokasikan sumber daya bagi

program.

55

d. Meningkatkan kegiatan sosialisasi dan penyebaran media KIE agar masyarakat memiliki

pemahaman yang tepat terhadap penyakit menular terutama untuk penyakit HIV dan

Kusta sekaligus sebagai upaya penghilangan stigma dan diskriminasi.

e. Memperbaiki kualitas surveilans terutama di daerah endemis rendah dan melakukan

integrasi kegiatan penemuan kasus dengan program lain untuk memperluas cakupan

kegiatan.

f. Meningkatkan monitoring dan evaluasi pada setiap program yang ada di Direktorat

P2PML agar target indikator dapat tercapai sebagaimana mestinya.