review : Pemetaan Kemiskinan Partisipatif
description
Transcript of review : Pemetaan Kemiskinan Partisipatif
REVIEWPemetaan Kemiskinan Partisipatif
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN2012
PEMETAAN KEMISKINAN PARTISIPATIF
Kemiskinan dalam masyarakat tidak selalu berarti miskin secara finansial,
dalam hal ini keadaan kemiskinan karena keterbatasan pendapatan (kemiskinan
absolute). Berbeda dengan kondisi tersebut, kemiskinan juga diartikan sebagai tolak
ukur tingkat kesenjangan social dalam masyarakat (kemiskinan relative). Secara
umum, kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh adanya distribusi dan kebijakan
ekonomi pemerintah yang keliru, namun kemiskinan juga dapat disebabkan secara
alamiah (cacat, sakit, bencana alam) serta akibat pergeseran faktor budaya yang
menyebabkan kemalasan, kansumtif dan hidup boros.
Kemiskinan dapat didesentralisasisebagai kondisi masyarakat yang kekurangan
baik materi maupun kekurangan kesehatan, berada di bawah standar hidup,
memiliki keterbatasan sumberdaya, kurangnya rasa aman, cenderung tersingkirkan,
tidak adanya kesetaraan social dan berketergantungan.
Tingkat kemiskinan terefleksi dari jumlah penduduk miskin yang berada pada
garis standar tertentu. Hal ini tentunya menjadi bagian vital yang dibutuhkan
pemerintah dalam melakukan tindakan khusus menanggulangi dan mengeliminasi
kemiskinan. Tingkat kemiskinan dapat diukur dari suatu penetapan garis kemiskinan
(poverty line) berdasarkan tingkat pendapatan atau tingkat pengeluaran per tahun.
Dengan cara ini, pemerintah dapat mengetahui seberapa besar persentase
penduduk miskin. Hal ini dilakukan pemerintah guna mendukung terciptanya
kebijakan-kebijakan atau aturan untuk menanggulangi masalah social dan
kemiskinan, Sebagai regulator, pemerintah berperan untuk menelurkan kebijakan-
kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Pengumpulan data penduduk miskin menggunakan metode garis kemiskinan
tentu memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap validitas data yang diperoleh.
Bahkan, lemahnya lembaga/instansi yang berperan dalam pengumpulan data
kemiskinan seringkali salah arah dan pada akhirnya berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan dan pelaksanaannya. Validitas dan ketersediaan data
merupakan factor kritikal dalam analisis kemiskinan. Ukuran-ukuran obyektif dalam
menentukan jumlah dan presentase penduduk miskin semestinya tidak hanya
bermuara pada kondisi ekonomi masyarakat semata. Lebih dari itu banyak factor
yang mengindikasikan kemiskinan, sehingga kemiskinanpun tidak bersifat tunggal
atau hanya satu dimensi. Sedikitnya ada tiga dimensi yang menyertai kemiskinan,
pertama dimensi ekonomi atau material dimana berasas kebutuhan yang bersifat
material. Kedua, kemiskinan berdimensi social dan budaya dimana ukuran
kemiskinan bersifat kualitatif karena tidak bisa diukur secara kuantitatif. Ketiga,
kemiskinan berdimensi structural atau politik artinya kemiskinan terjadi karena
adanya kemiskinan structural dan politik sehingga orang miskin tidak memiliki sarana
untuk terlibat dalam politik maupun kedudukan struktur social. Demikian halnya jika
kemiskinan ditentukan dari hasil survey. Validitas data kurang obyektif dan seringkali
mengandung bias atau kekeliruan dalam survei. Beberapa hal tersebut perlu dikaji
ulang oleh pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan dalam mengentaskan
kemiskinan, sehingga pengambilan keputusan tidak berpihak dan tepat sasaran.
Pemetaan kemiskinan secara partisipatif merupakan alternative pendekatan
yang lebih tepat untuk mengukur dan menanggulangi kemiskinan jika dibandingkan.
Pemetaan kemiskinan pada metode ini lebih bersifat partisipatif karena melibatkan
masyarakat secara aktif dalam pemecahan masalah yang mereka hadapi. Sehingga
data yang diperoleh lebih mengena (tepat) sebagai proyeksi kemiskinan dan
menyangkut berbagai aspek maupun dimensi kemiskinan. Dengan demikian, setiap
kebijakan pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan dari hasil pemetaan ini lebih
tepat sasaran dan menyentuh mereka yang riil masuk dalam kategori penduduk
miskin.
Pendekatan dalam pemetaan partisipatif kemiskinan ini memiliki dua metode
yang berhubungan erat yakni Rapid Rural Apprasial (RRA) dan Partisipatory Rural
Apprasial (PRA). Kedua metode ini diakui memiliki ketepatan (keakuratan) dalam
mengatasi permasalahan kemiskinan. PRA didefinisikan sebagai metode yang
memungkinkan masyarakat untuk saling berbagi dan menganalisis pengetahuan
mereka tentang kondisi dan kehidupan desa. Prinsip PRA hampir sama dengan
prinsip Rapid Rural Appraisal (RRA), diantaranya: cara belajar terbaik, belajar secara
cepat dan progresif, membuat keseimbangan, mengoptimalkan pertukaran,
menggunakan ilmu ukur, mencari keanekaragaman, fasilitasi, kesadaran otokritik
dan tanggung jawab serta pertukaran informasi dan gagasan.
Metode-metode yang digunakan pada PRA antara lain untuk: (1)
mengumpulkan data dan informasi, (2) menganalisis informasi, (3) mengumpulkan
dan menganalisis data, dan (4) komunikasi. Metode PRA telah teruji dapat
diterapkan untuk melakukan pemetaan atau penentuan penduduk miskin. Melalui
metode ini, konsep kemiskinan dapat ditentukan berdasarkan versi masyarakat
disertai berbagai factor yang menurut pemahaman mereka menjadi penyebab
kemiskinan, sehingga konsep kemiskinan bukan ditentukan dari pelaku pemetaan.
Hasilnya, pemetaan kemiskinan dengan PRA lebih kontekstual dan menghasilkan
standarisasi yang bersifat lokal. Kaitannya dengan peran pemerintah, Pemetaan PRA
dapat dijadikan sebagai metode yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan
yang kompleks. Pemerintah sebagai Dinamisator, menggerakkan partispasi
multipihak dalam proses pengumpulan data dan informasi yang terkait dengan
kemiskinan dan keberdayaan masyarakat. Kemudian memfasilitasi masyarakat
miskin melalui berbagai program pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan menuju kemandirian masyarakat. Dengan demikian, problem kemiskinan dapat
diuraikan dengan cara yang tepat dan efektif.
SUMBER BACAAN
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup
(LPPSLH). _______ Pemetaan Kemiskinan Partisipatif. LPPSLH, Konsultan
Manajemen Wilayah (KMW) VII.