Resume Malaria (199)
Transcript of Resume Malaria (199)
RESUME
Black Water Fever - Malaria
Skenario D :
Seorang ibu 26 tahun hamil 3 bulan, datang ke Puskesmas dengan keluhan demam,
suhu 37,5oC dan buang air kecil berwarna hitam seperti kopi. Dari anamnesis diketahui
bahwa ibu tersebut bertempat tinggal di Manokwari sejak 10 tahun yang lalu. Pemeriksaan
fisik : keadaan umum tampak sakit sedang, konjungtiva agak pucat. Pemeriksaan
laboratorium : Hb 9,3g/dl, leukosit 7000/µl, pada pemeriksaan darah tepi didapat eritrosit
yang mengandung trofozoit.
Uraian :
Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala klinis penyakit malaria
khas dan mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai mengigil. Saat
itu, malaria diduga disebabkan oleh hukuman dewa karena pada waktu itu ada wabah di
sekitar kota Roma. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah rawa yang mengeluarkan bau
busuk ke sekitarnya, sehingga disebut “malaria” (mal area = udara buruk = bad air).
Pada abad ke-19, Laveran menemukan gametosit berbentuk pisang dalam darah
seorang penderita malaria. Kemudian Ross (1897), menemukan bahwa malaria ditularkan
oleh nyamuk yang banyak terdapat di sekitar rawa.
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang sel darah merah (eritrosit) dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dala darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan
splenomegali, dan dapat berlangsung akut maupun kronis. Infeksi malaria dapat berlangsung
tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat.
A. Etiologi
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil, dan mammalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel
darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan
1
seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari
100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada
binatang primata).
Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah Plasmodium vivax yang menyebabkan
malaria tertiana (Benign Malaria) dan Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria
tropika (Malignan Malaria). Plasmodium ovale pernah dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor,
dan pulau Owi (utara Irian Jaya).
B. Epidemiologi
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah di mana sebagian
besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di
darah. Di dalm sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony
atau pre-erythrocytes schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk
Plasmodium falciparum dan 15 hari untuk Plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati
terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke
sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk
hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan
menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan
dinding berubah lonjong, pada P. falcifarum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang
disebut knob yang nantinya penting dalam proses cytoaherence dan rosetting. Setelah 36 jam,
invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan
mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini
pada P. falcifarum, P.vivax, dan P.ovale adalah 48 jam dan pada P.malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah, sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak
menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst
yang akan menjadi matang dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar
ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
2
Tingginya side positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu daerah dan pola
klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi, endemisitas daerah dibagi menjadi :
Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate > 75%
C. Patofisiologi dan Gejala Klinis
Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan
oleh P.falcifarum. Patogenesis malaria falsifarum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor
pejamu (host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas
parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalh tingkat
endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit
dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami dua stadium, yaitu stadium cincin pada 24
jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan
antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk
stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya, bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa
GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-
1) dari makrofag.
3
Studi patologi malaria dapat dilakukan pada malaria falcifarum karena kematian
biasanya disebabkan oleh P.falcifarum. Selain perubahan jaringan dalam patologi malaria
yang penting ialah keadaan mikro-vaskular di mana parasit malaria berada. Beberapa organ
yang terlibat antara lain : otak, jantung-paru, hati-limpa, ginjal, usus, dan sumsum tulang.
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa menyebabkan
reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi eritrosit yang merupakan
proses patologi dari penyakit malaria. Infeksi eritrosit ini mengakibatkan 250 juta kasus
malaria dan 2 juta kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Proses terjadinya patologi
malaria serebral yang merupakan salah satu dari malaria berat adalah terjadinya perdarahan
dan nekrosis sekitar venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi leukosit dan monosit, terjadi
sumbatan pembuluh darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi.
Imunitas terhadap malaria sangat kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen
sistem imun, baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang
timbul secara alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas
spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek dan barangkali tidak ada
imunitas yang permanen dan sempurna.
Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam badan
hospes sampai timbul gejala demam, biasa berlangsung 8-37 hari, tergantung pada spesies
parasit (terpendek untuk P.falcifarum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya infeksi dan
pengobatan sebelumnya atau derajat imunitas hospes. Di samping itu, juga tergantung pada
cara infeksi, yang disebabkan oleh tusukan nyamuk atau secara induksi, misal melalui
transfusi darah yang mengandung stadium aseksual. Masa tunas intrinsik berakhir dengan
timbulnya serangan pertama.
Masa prapaten berlangsung sejak sporozoit masuk sampai ditemukan parasit malaria
dalam darah untuk pertama kali karena jumlah parasit telah melewati ambang mikroskopik.
Masa tunas intrinsik parasit malaria yang ditularkan oleh nyamuk kepada manusia adalah 12
hari untuk malaria falcifarum, 13-17 hari intuk malaria vivax dan malaria ovale serta 28-30
hari untuk malaria malariae (kuartana).
Perjalanan penyakit malaria berbeda antara orang yang tidak kebal (tinggal di daerah
non-endemis) dan orang yang kebal atau semi-imun (tinggal di daerah endemis malaria).
Kesalahan atau keterlambatan diagnosis malaria pada orang non-imun, akan menyebabkan
risiko terjadinya malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
Pada orang non-imun biasanya demam terjadi lebih kurang 2 minggu setelah kembali
dari daerah endemis malaria. Demam atau riwayat demam dengan suhu 38oC biasanya
4
ditemukan pada penderita malaria. Pada permulaan penyakit, biasanya demam tidak bersifat
periodik sehingga tidak khas dan dapat terjadi setiap hari. Demam dapat bersifat remiten atau
terus menerus.
Demam dapat disertai gejala lain yang tidak spesifik, seperti : menggigil, lemas, sakit
kepala, nyeri otot, batuk, dan gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah, dan diare. Setelah
lebih kurang 1-2 minggu serangan demam yang disertai gejala lain akan diselingi periode
bebas penyakit. Demam kemudian bersifat periodik yang khas untuk penyakit malaria yaitu
bersifat intermiten.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas,
pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi
dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrit Oksida).
Pada kelompok semi-imun atau yang tinggal di daerah endemis malaria, gejala klinis
biasanya lebih ringan dibandingkan penderita non-imun. Di daerah ini dapat ditemukan
sejumlah besar penderita dengan parasitemia, tetapi tanpa gejala klinis (asimtomatik).
Walaupun demam bukan merupakan indikator yang tepat untuk malaria di daerah endemis,
tetapi pada setiap penderita demam, malaria sebagai penyebab tetap harus dipertimbangkan.
Sakit kepala, perasaan dingin, dan nyeri sendi merupakan gejala klinis yang sering ditemukan
pada kelompok anak.
Pada infeksi malaria, periodisitas demam berhubungan dengan waktu pecahnya
sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk aliran darah. Timbulnya demam
juga bergantung pada jumlah parasit. Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa
stadium :
Stadium menggigil, dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga menggigil.
Penderita menutupi badannya dengan baju tebal dan selimut. Nadinya cepat, tetapi
lemah, bibir dan jari tangan menjadi biru, kulitnya kering dan pucat. Kadang-kadang
disertai muntah. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.
Stadium puncak demam, dimulai pada saat rasa dingin sekali berubah menjadi panas
sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala
makin hebat, biasanya ada mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Perasaan
haus sekali pada saat suhu naik menjadi 41oC atau lebih. Stadium ini berlangsung
selama 2-6 jam.
5
Stadium berkeringat, dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat
tidurnya basah. Suhu turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang
normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun, merasa lemah tetapi
lebih sehat. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Serangan demam yang khas sering mulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam.
Setelah itu terjadi stadium apireksia. Serangan demam makin lama makin berkurang beratnya
karena tubuh menyesuaikan diri dengan adanya parasit dalam badan dan karena respons imun
hospes.
Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut
rekrudesensi, yang timbul karena parasit dalam eritrosit jumlahnya meningkat kembali. Hal
ini biasanya terjadi karena dosis obat yang inadekuat atau karena parasit resisten terhadap
obat yang diberikan. Demam dapat timbul kembali sewaktu-waktu dalam 4-6 minggu. Di
daerah endemis hal ini sulit dibedakan dengan terjadinya infeksi baru. Relaps disebabkan
oleh parasit daur eksoeritrosit dari hati masuk ke eritrosit dan menjadi banyak. Relaps dapat
terjadi 4 minggu atau lebih setelah pemberian klorokuin.
D. Diagnosis
Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal
penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat
pengobatan kuratip maupun preventip. Adapun diagnosa malaria dapat ditegakkan melalui
suatu pemeriksaan yang sangat penting yaitu pemeriksaan tetes darah untuk malaria. Adapun
pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :
1. Tetesan Darah Tebal
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup
banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah untuk dibuat dan ketebalan
dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit
dilakukan selama 5 menit. Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit
dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit/200 leukosit. Bila
leukosit 10000/µl maka hitung parasitnya adalah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan
jumlah parasit/µl darah.
2. Tetesan Darah Tipis
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit, dapat dilakukan
6
berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit/1000 eritrosit. Bila jumlah parasit
>100000/µl darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk
menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan
jumlah parasit yang minimal. Pewarnaan dilakukan dengan pewarnaan Giemsa atau
Leishman’s atau Field’s, dan juga Romanowsky. Pewarnaan Giemsa yang umum dipakai
pada beberapa laboratorium dan merupakan pewarnaan yang mudah dengan hasil yang
cukup baik.
3. Tes Antigen : P-F Test
Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum. Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak
memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, dan tidak memerlukan alat khusus.
Deteksi untuk antigen vivax sudah beredar dengan metode ICT. Tes sejenis dengan
mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara
immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Tes ini dapat
mendeteksi dari 0-200 parasit/µl darah dan dapat membedakan apakah infeksi
P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah
dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes ini
tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya.
4. Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik indirect
fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
malaria atau pada keadaan di mana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat
sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia.
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat ujisaring donor
darah. Metode-metode tes serologi antara lain : indirect hemaglutination test,
immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
5. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu yang
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil yang positif.
7
8
Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering disebut
pernicious manifestasions. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebeumnya, dan
sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan.
Komplikasi terjadi 5-10 % pada seluruh penderita yang dirawat di RS dan 20 % diantaranya
merupakan kasus yang fatal.
Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang
menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi
sebagai berikut :
1. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30
menit setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian
berdasar GCS (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equal dengan keadaan
klinis soporous.
2. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress.
3. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik harus
dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg
BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg/dl.
5. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome).
6. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg/dl.
7. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau
perbedaan temperatur kulit-mukosa >10oC.
8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna, dan disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam.
10. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD).
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh
kapiler pada jaringan otak.
Sesuai dengan hal yang dialami oleh seorang ibu dalam skenario, maka dia dapat
dinyatakan mengalami komplikasi malaria berupa Malaria Haemoglobinuria (Black Water
Fever). Black Water Fever adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut,
menggigil, demam, hemolisis intravaskular, hemoglobinemi, hemoglobinuri, dan gagal ginjal.
Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi P.falcifarum yang berulang-ulang pada orang
non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi, adanya hemolisis
karena kina ataupun antibodi terhadap kina belum pernah dibuktikan. Black Water Fever
dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan enzim G-6-PD dan biasanya parasit falsiparum
positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-PD yang biasanya disebabkan karena
pemberian primakuin. Gejalanya adalah warna urin kehitam-hitaman karena hemolisis
intravaskular yang masih disertai demam. Biasanya terjadi pada penderita non-imun yang
pernah tinggal di daerah endemik untuk beberapa lama. Penderita diberi obat malaria yang
sesuai bila ditemukan parasitemia. Bila perlu diberikan transfusi darah segar. Bila terjadi
oliguria, peningkatan ureum dan kreatinin darah dapat dilakukan dialisis.
E. Penatalaksanaan
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang terdiri dari:
1. Anamnesis secara lengkap (allo dan/auto-anamnesis bila memungkinkan)
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan :
a. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik
malaria.
c. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
d. Riwayat sakit malaria.
e. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
f. Riwayat mendapat transfusi darah.
Selain hal diatas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan keadaan
berupa gangguan kesadaran dalam berbagai derajat, keadaan umum yang lemah, kejang-
kejang, panas sangat tinggi, mata atau tubuh kuning, perdarahan hidung, gusi, atau saluran
pencernaan. Pada penderita malaria berat sering ditemukan nafas cepat dan atau sesak nafas,
muntah terus-menerus dan tidak dapat makan minum, warna air seni seperti teh tua dan dapat
sampai kehitaman, jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan pada :
a. Demam (T ≥ 37,5°C).
b. Konjunctiva atau telapak tangan pucat.
c. Pembesaran limpa (splenomegali).
d. Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
a. Temperatur rektal ≥ 40°C.
b. Nadi cepat dan lemah/ kecil.
c. Tekanan darah sistolik <70mmhg
d. Frekuensi nafas >35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per menit pada
balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
e. Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11.
f. Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
g. Tanda dehidrasi : mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kerins,
produksi air seni berkurang.
h. Tanda-tanda anemia berat: konjunktiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat.
i. Terlihat mata kuning atau ikterik.
j. Adanya ronkhi pada kedua paru.
k. Pembesaran limpa dan atau hepar.
l. Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
m. Gejala neurologik: kaku kuduk, reflek patologis.
3. Pemeriksaan laboratorium: parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji
fungsi ginjal, dan lain-lain untuk mendukung atau menyingkirkan diagnosis /
komplikasi lain, misalnya: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai tiga komponen penting
yaitu:
1. Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria
2. Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
3. Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas
sebelum dirujuk adalah:
1. Tindakan umum (di tingkat puskesmas):
Persiapan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang
lebih tinggi, dengan cara:
a. Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan
beri oksigen (O2)
b. Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
c. Monitoring tanda-tanda vital antara lain: keadaan umum, kesadaran, pernafasan,
tekanan darah, suhu dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui
perkembangannya)
d. Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai
kriteria diagnostik mikroskopik
e. Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna
kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera
f. Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
g. Buat/isi status penderita yang berisi catatan mengenai: identitas penderita, riwayat
perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan &
pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang
dianggap perlu (misal: bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus
menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign
disatukan ke dalam status penderita.
2. Pengobatan Simptomatik :
a. Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia: parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri
setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
b. Bila kejang, beri antikonvulsan: dewasa: Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan
jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian, bila masih kejang. Jangan
diberikan lebih dari 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif
dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x (dewasa) diberikan 2X sehari.
Pemberian Obat anti Malaria spesifik: kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat
pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam kina HCL 25 % injeksi, 1
ampul berisi 500 mg / 2 ml. Pemberian anti malaria pra-rujukan (di puskesmas): apabila tidak
memungkinkan pemberian kina maka dapat diberikan dosis Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM
(dosis tunggal).
F. Prognosis
Penderita malaria falciparum berat prognosisnya buruk, sedangkan penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi prognosisnya cukup baik bila dilakukan pengobatan dengan
segera dan dilakukan observasi hasil pengobatan.
Pasien yang ada di skenario adalah seorang wanita yang sedang hamil 3 bulan, namun
sedang menderita malaria. Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan II
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita
hamil dan masa puerperium di daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal ini disebabkan
karena penurunan imunitas selama kehamilan. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya
respon imun pada kehamilan, seperti : peningkatan dari hormon steroid dan gonodotropin, α
fotoprotein, dan penurunan dari limfosit yang menyebabkan kemudahan terjadinya infeksi
malaria. Wanita hamil memiliki risiko terserang malaria falciparum lebih sering dan lebih
berat dibandingkan wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak
ditemukan di plasenta sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut
mengalami supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistim imun baik humoral
maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai "benda
asing" di dalam tubuh ibu.
Supresi sistim imun selama kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal.
Konsentrasi hormon progesteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat
aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga
berperan dalam menghambat respon imun.
Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan baik bagi ibu dan janin yang
dikandungnya, karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Pada
ibu menyebabkan anemi, malaria serebral, edema paru, gagal ginjal bahkan dapat
menyebabkan kematian. Pada janin menyebabkan abortus, persalinan prematur, berat badan
lahir rendah, dan kematian janin. Infeksi malaria pada wanita hamil sangat mudah terjadi
karena adanya perubahan sistim imunitas ibu selama kehamilan, baik imunitas seluler
maupun imunitas humoral, serta diduga juga akibat peningkatan horman kortisol pada wanita
selama kehamilan.
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria di dalam :
- Darah maternal
- Darah plasenta / melalui biopsi.
Gambaran klinik malaria pada wanita non-imun (di daerah non-endemik) bervariasi
dari malaria ringan tanpa komplikasi (uncomplicated malaria) dengan demam tinggi, sampai
malaria berat (complicated malaria) dengan risiko tinggi pada ibu dan janin (maternal
mortality rate 20-50 % dan sering fatal bagi janin). Sedangkan gambaran klinik malaria pada
wanita di daerah endemik sering tidak jelas, mereka biasanya memiliki kekebalan yang semi-
imun, sehingga tidak menimbulkan gejala, misal : demam dan tidak dapat didiagnosis klinik.
Adapun pengaruh malaria terhadap ibu antara lain :
1. Anemia
Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang mengandung parasit
sehingga akan menyebabkan anemi. Jenis anemi yang ditemukan adalah hemolitik
normokrom. Pada infeksi P. falciparum dapat terjadi anemi berat karena semua umur eritrosit
dapat diserang. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis karena
fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga dapat disebabkan peningkatan autohemolisis
baik pada eritrosit berparasit maupun tidak berparasit sehingga masa hidup eritrosit menjadi
lebih singkat dan anemi lebih cepat terjadi. Pada infeksi P. vivax tidak terjadi destruksi darah
yang berat karena hanya retikulosit yang diserang. Anemi berat pada infeksi P. vivax kronik
menunjukkan adanya penyebab immunopatologik. Malaria pada kehamilan dapat
menyebabkan anemi berat terutama di daerah endemis dan merupakan penyebab morta-litas
penting. Anemi hemolitik dan megaloblastik pada kehamilan mungkin akibat sebab
nutrisional atau parasit terutama sekali pada wanita primipara.
2. Sistim sirkulasi
Bila terjadi blokade kapiler oleh eritrosit berparasit maka akan terjadi anoksi jaringan
terutama di otak. Kerusakan endotel kapiler sering terjadi pada malaria falciparum yang berat
karena terjadi peningkatan permeabilitas cairan, protein dan diapedesis eritrosit. Kegagalan
lebih lanjut aliran darah ke jaringan dan organ disebabkan vasokonstriksi arteri kecil dan
dilatasi kapiler, hal ini akan memperberat keadaan anoksi. Pada infeksi P. falciparum sering
dijumpai hipotensi ortostatik.
3. Edema pulmonum
Pada infeksi P. falciparum, pneumonia merupakan komplikasi yang sering dan
umumnya akibat aspirasi atau bakteremia yang menyebar dari tempat infeksi lain. Gangguan
perfusi organ akan meningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi edema interstitial. Hal
ini akan menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi paru. Gambaran makroskopik paru berupa
reaksi edematik, berwarna merah tua dan konsistensi keras dengan bercak perdarahan.
Gambaran mikroskopik tergantung derajat parasitemi pada saat meninggal. Terdapat
gambaran hemozoin dalam makrofag pada septa alveoli. Alveoli menunjukkan gambaran
hemoragik disertai penebalan septa alveoli dan
penekanan dinding alveoli serta infiltrasi sel radang. Edema paru dapat terjadi karena
beberapa sebab yaitu peningkatan permeabilitas vaskuler sekunder terhadap emboli dan DIC,
disfungsi berat mikrosirkulasi, fenomena alergi, terapi cairan yang berlebihan bersamaan
dengan gangguan
fungsi kapiler alveoli, kehamilan, malaria serebral, tingkat parasitemi yang tinggi, hipotensi,
asidosis dan uremia.
4. Hipoglikemi
Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang
menyebabkan kecenderungan hipoglikemi terutama saat trimester terakhir. Selain itu, sel
darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa 75 kali lebih banyak daripada sel darah
normal. Di samping faktor tersebut, hipoglikemi dapat juga terjadi pada penderita malaria
yang diberi kina secara intravena. Hipoglikemi karena kebutuhan metabolik parasit yang
meningkat menyebabkan habisnya cadangan glikogen hati. Pada orang dewasa hipoglikemi
sering berhubungan dengan pengobatan kina, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan
penyakit itu sendiri. Hipoglikemi sering terjadi pada wanita hamil khususnya pada primipara.
Gejala hipoglikemi juga dapat terjadi karena sekresi adrenalin yang berlebihan dan disfungsi
susunan saraf pusat. Mortalitas hipoglikemi pada malaria berat di Minahasa adalah 45%,
lebih baik daripada Irian Jaya sebesar 75%.
5. Infeksi plasenta
Pada penelitian terhadap plasenta wanita hamil yang terinfeksi berat oleh falciparum
ditemukan banyak timbunan eritrosit yang terinfeksi parasit dan monosit yang berisi pigmen
di daerah intervilli. Juga ditemukan nekrosis sinsisial dan proliferasi sel-sel sitotrofoblas.
Adanya kelainan plasenta dengan penimbunan pigmen tetapi tidak ditemukan parasit
menunjukkan adanya infeksi yang sudah sembuh atau inaktif.
6. Gangguan elektrolit
Rasio natrium/kalium di eritrosit dan otot meningkat dan pada beberapa kasus terjadi
peningkatan kalium plasma pada saat lisis berat. Rasio natrium/kalium urin sering terbalik.
Hiponatremi sering ditemukan pada penderita sakit berat dan karena ginjal terlibat dapat
terjadi peningkatan serum kreatinin dan BUN.
7. Malaria serebral
Malaria serebral merupakan ensefalopati simetrik pada infeksi P. falciparum dan
memiliki mortalitas 20-50%. Serangan sangat mendadak walaupun biasanya didahului oleh
episode demam malaria. Kematian dapat terjadi dalam beberapa jam. Akan tetapi banyak dari
mereka yang selamat mengalami penyembuhan sempurna dalam beberapa hari. Pada anak-
anak sekitar 10% terjadi sekuele neurologik. Sejumlah mekanisme patofisiologi ditemukan
antara lain obstruksi mekanis pembuluh darah serebral akibat berkurangnya kemampuan
deformabilitas eritrosit berparasit atau akibat adhesi eritrosit berparasit pada endotel vaskuler
yang akan melepaskan faktor-faktor toksik dan akhirnya menyebabkan permeabilitas
vaskuler meningkat, sawar darah otak rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang
pada dan di sekitar pembuluh darah serebral.
Seiring dengan upaya untuk mengurangi kasus malaria pada semua golongan, termasuk
ibu hamil, maka Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui perusahaan farmasi mengeluarkan
beberapa golongan obat anti-malaria, antara lain sebagai berikut :
1. Klorokuin
Farmakologi Bagaimana mekanisme timbulnya efek plasmodisidal dari klorokuin masih belum dimengerti sepenuhnya. Namun diduga obat ini beraksi dengan menghambat enzim tertentu yang bisa menganggu transkripsi dan pemisahan untai DNA protozoa. Obat ini juga meningkatkan pH eritrosit dan menurunkan metabolisme fosfolipid protozoa. Pemberian klorokuin oral diserap cepat dan lengkap oleh saluran cerna, hanya sejumlah kecil dosis yang ditemukan pada feses. Sekitar 55% klorokuin dalam plasma terikat dengan konstituen nondiffusible. Eskresi klorokuin cukup lambat, tapi meningkat dengan pengasaman urin. Klorokuin mengalami degradasi yang lumayan besar dalam tubuh. Metabolit utamanya adalah desethylchloroquine, sekitar seperempat dari total material yang dijumpai di urin serta bisdesethylchloroquine, suatu derivat carboxylic acid.
Indikasi Untuk mengobati serangan akut malaria karena P. vivax, P.malariae, P. ovale, dan galur P. falciparum yang rentan. Obat ini juga diindikasikan untuk pengobatan extraintestinal amebiasis. Klorokuin tidak bisa mencegah kekambuhan pada pasien dengan malaria vivax atau malariae. Pasalnya, obat ini tidak efektif mengatasi bentuk exoerythrocytic dari parasit.
Dosis & Cara Pemberian
Terapi supresi/profilaksis, dosis dewasa: 500 mg klorokuin posfat setara dengan 300 mg klorokuin basa pada hari yang sama tiap minggu. Dosis anak: 5 mg klorokuin basa per kg BB. Jika memungkinkan, terapi harus dimulai dua minggu sebelum paparan. Tapi jika gagal, pemberian dua kali dosis (loading dose) 1 g klorokuin fosfat setara 600 mg klorokuin basa atau 10 mg klorokuin basa/kg BB pada anak, bisa dilakukan dalam dosis terbagi dua dengan jarak pemberian 6 jam. Terapi supresi harus diteruskan hingga 8 minggu setelah meninggalkan area endemik.
Pada serangan akut, untuk dewasa diberikan dosis awal 1 g (=600 mg basa). Dan setelah 6-8 jam diberikan dosis tambahan 500 mg (= 300 mg basa) dan dosis tunggal dua hari berturut-turut. Jadi, rejimen ini memenuhi total dosis dalam tiga hari,
2,5 g klorokuin posfat atau 1,5 g klorokuin basa. Dosis untuk dewasa dengan bobot badan rendah, bayi, dan anak-anak diberikan dalam empat tahap dosis. Dosis pertama: 10 mg basa/kg BB (tidak lebih dari 600 mg basa). Dosis kedua: (6 jam setelah dosis pertama) 5 mg basa/kgBB (tidak lebih dari dosis tunggal 300 mg basa). Dosis ketiga: (24 jam setelah dosis pertama) 5 mg basa/kg BB. Dosis keempat (36 jam setelah dosis pertama) 5 mg basa/kg BB.
Untuk radical cure malaria vivax and malariae, jika perlu diberikan terapi secara bersamaan dengan obat yang mengandung senyawa 8-aminoquinoline.
Kontraindikasi Perubahan retina dan gangguan lapang pandang, hipersensitif, gangguan gastrointestinal, gangguan saraf, dan kelainan darah.
Interaksi Antasid dan kaolin bisa mengurangi absorpsi klorokuin. Simetidin menghambat metabolisme klorokuin hingga bisa meningkatkan kadar klorokuin dalam plasma. Klorokuin secara signifikan mengurangi ampisilin.
Efek Samping Sakit kepala, gangguan GI, erupsi kulit, depigmentasi, kehilangan rambut, kornea berwarna putih, gangguan penglihatan, kerusakan retina, dan jarang depresi sumsum tulang.
Awal Penggunaan 1945
Resistensi Kasus resistensi pertama dilaporkan pada 1957. Sekarang resistensi yang luas telah terjadi terhadap Plasmodium falciparum. Resistensi terhadap Plasmodium vivax juga sudah mulai dilaporkan atau ditemukan.
Nama dagang Avloclor, Maralex, Mexaquin, Nivaquine, Resochin
2. Sulphadoxine-pyrimethamine
Farmakologi Keduanya biasa digabung dalam satu tablet yang berisi 500 mg sulfadoxine dan 25 mg pyrimethamine.Aktivitas keduanya sama-sama sebagai antagonis asam folat. Sulfadoxine menghambat dihydropteroate synthase, sedangkan pyrimethamine menghambat dihydrofolate reductase. Setelah pemberian 1 tablet, kadar puncak plasma untuk pyrimethamine (sekitar 0,2 mg/L) dan sulfadoxine (sekitar 60 mg/L) dicapai setelah 4 jam. Keduanya terikat dengan protein plasma sekitar 90% dan bisa melintasi barrier plasenta serta masuk ke dalam air susu. Pyrimethamine dan sulfadoxine memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang, 100 jam dan 200 jam masing-masingnya. Hal inilah yang menjadi ciri khas keduanya.
Indikasi Mengobati serangan akut malaria, uncomplicated P. falciparum malaria untuk pasien yang diduga telah resisten dengan klorokuin, dan sebagai profilaksis jika bepergian ke daerah endemik.
Dosis & Cara Pemberian
Terapi kuratif diberikan dosis tunggal: dewasa 2-3 tablet, anak 10-14 tahun 2 tablet, 7-9 tahun 2 tablet, 4-8 tahun 1 tablet, dan usia < 4tahun ½ tablet. Profilaksis semi imun setiap 4 minggu: dewasa 2-3 tablet, anak 9-14 tahun 2 tablet, 4-8 tahun 1 tablet, < 4 tahun ½ tablet. Profilaksis non imun setiap 2 minggu, dewasa 2 tablet, anak 9-14 tahun 1 ½ tablet, 4-8 tahun 1 tablet, dan usia 4 tahun ½ tablet. Dosis pertama diberikan 1-2 hari sebelum keberangkatan dan diteruskan selama di daerah tersebut dan 4 minggu pertama setelah kembali.
Kontraindikasi Hipersensitif terhadap salah satu obat, bayi baru lahir, prematur, wanita hamil, profilaktik pada gagal hati atau ginjal serta diskrasia darah.
Interaksi Meningkatkan aktivitas antikoagulan, antidiabetik oral, dan fenitoin.
Efek Samping Kemerahan pada kulit dan pruritus, gangguan gastrointestinal (mual dan kembung), Steven-Johnson dan Syndroma Lyell, diskrasia darah, dan krusakan sel hati.
Peringatan Hindari paparan dengan matahari karena mungkin saja menimbulkan reaksi pada kulit.
Awal Penggunaan 1967
Resistensi Pada1967 telah muncul laporan resistensi sulfadoxine dan pyrimethamine. Baik secara in vitro dan in vivo terbukti bahwa kepekaan galur P. falciparum terhadap kedua obat ini berkurang. Resistensi secara klinis terhadap malaria P. falciparum sering dilaporkan beberapa negara di Asia Tenggara, Amerika Selatan, Afrika. Oleh karena itu penggunaan obat ini harus dilakukan secara hati-hati di daerah tersebut. Sulfadoxine danpyrimethamine bisa jadi kurang efektif mengobati recrudescent malaria. Artinya, pasien yang pernah menerima terapi sulfadoxine dan pyrimethamine, baik kuratif atau profilaksis, kemungkinan tidak lagi efektif.
Nama dagang Fansidar, Suldox
3. Ekstrak Artemisia sp folium
Farmakologi Ektrak Artemisia sp mengandung lima senyawa yang aktif sebagai antimalaria. Senyawa induknya adalah artemisinin. Bahkan tiga derivatnya lebih aktif dari artemisinin. Satu diantaranya larut dalam air (artesunat) dan dua lainnya larut
lemak (artemeter dan arteeter). Semua senyawa tersebut langsung dimetabolisme secara biologis menjadi metabolit aktif, dihidroartemisinin. Artemisinin sensitif bahkan pada konsentrasi nanomolar.
Indikasi Antimalaria
Dosis & Cara Pemberian
Dewasa 1 tablet 250 mg, anak 11-15 tahun ¾ tablet, 7-10 tahun ½ tablet, 3-6 tahun 1/3 tablet, dan usia < 3 tahun ¼ tablet. Seluruh dosis diberikan 2 kali sehari. Pada hari pertama dosis harus dilipatgandakan.
Awal Penggunaan 2000
Resistensi -
Nama dagang Maltron
Daftar Pustaka :
1. Harijanto, P.N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed.4. Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006 : 1732-41
2. Balai Penerbit FKUI. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Ed.4. Jakarta : Penerbitan
Departemen Parasitologi FKUI. 2008 : 189-220
3. Modul Blok 12 : INFEKSI dan IMUNITAS
4. library.usu.ac.id/download/fk/pd-umar5.pdf
5. http://www.majalah-farmacia.com
6. www.wartamedika.com/2006/09/ pencegahan - malaria .html
7. pier.acponline.org/physicians/public/d1001/diagnosis/d1001-s3.html
8. http://www.klikdokter.com/userfiles/malaria2.JPG
9. http://medicafarma.com/2008/05/malaria.html
10. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/146_07MalariapadaKehamilan.pdf