Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

22
RESUME I. HAK AZASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK 1. TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI A. Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi : Kemunculan Negara-Negara Demokrasi Baru Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh militer sehingga muncullah diktator. Negara-negara yang tadinya otoriter, lama kelamaan berubah menjadi demokrasi dikarenakan oleh kegerahan masyarakatnya yang ditindas. Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham demokrasi, antara lain : Yunani, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay, Polandia, Jerman Timur, Hongaria, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Untuk memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM. 1

description

Tugas Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Transcript of Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Page 1: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

RESUME

I.     HAK AZASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK

1.     TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI

A.    Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi : Kemunculan Negara-Negara

Demokrasi Baru

Otoriter dan totaliter adalah suatu ideologi negara yang kekuasaan tertingginya

dipegang oleh militer sehingga muncullah diktator. Negara-negara yang tadinya

otoriter, lama kelamaan berubah menjadi demokrasi dikarenakan oleh kegerahan

masyarakatnya yang ditindas.

Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat.

Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham

demokrasi, antara lain : Yunani, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay,

Polandia, Jerman Timur, Hongaria, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Untuk

memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan

masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.

Menurut Samuel P. Huntington, negara yang otoriter dulunya berubah menjadi

demokrasi adalah lebih dari 40 (empat puluh) negara. Adapun perubahan tersebut

dengan cara, antara lain :

–          Ada perubahan dengan cara yang signifikan;

–          Penguatan kelompok reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi;

–          Negosiasi dengan kelompok oposisi; dan

–          Intervensi Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa.

Menurut Anthony Giddens fungsi pemerintah dalam hal transisi, antara lain :

–          Menyediakan sarana untuk kepentingan-kepentingan yang beragam;

1

Page 2: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

–          Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling

bersaing;

–          Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas

mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

–          Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk

bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;

–          Mengatur pasaar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika

monopoli mengancam;

–          Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan

kebijakan;

–          Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam

sistem pendidikan;

–          Menopang sistem hukum yang efektif;

–          Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam

intervensi makro maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;

–          Membudayakan masyarakat – pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang

berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut,

dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya; dan

–          Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta sasaran-sasaran global.

Negara totaliter bukan sekedar hanya mengontrol kehidupan masyarakat, 

mempertahankan kekuasaan sebuah elit politik, juga bukan sekedar rezim seorang

diktator yang haus kuasa, tetapi juga sebuah sistem politik yang melebihi bentuk

kekuasaan negara yang mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi

kehidupan masyarakat.

2

Page 3: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Ada 2 (dua) rezim totaliter yang dikenal pada abad ini, yaitu : pemerintahan

Nasional – Sosialisme (NAZI), Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman; dan kekuasaan

Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953), yang

kemudian menyebar ke negara lain di Eropa Timur, Cina, Korut, dan Indocina.

B.   Reposisi Hubungan Sipil – Militer

Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan adanya suatu

pemisahan hubungan antara sipil dan militer, membangun kekuasaan wilayah publik,

merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi

demokrasi, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar,

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran,

mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi

ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.

C.   Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan Dengan Rezim

Sebelumnya

Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut

dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut

Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk,

langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah

instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan yang

adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus diperhatikan.

D.   Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan Dengan Militer

Dalam Paradigma Baru ada yang disebut sebagai kelompok reformis yang

menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik

tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan. Pada kenyataan yang ada,

pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil.

3

Page 4: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Menurut Harold Crouch, ada 5 (lima) langkah yang perlu ditempuh untuk

mengubah paradigma TNI-POLRI tersebut, yaitu :

–          Mengurangi peran TNI-POLRI di dalam pemerintahan;

–          Penghapusan kekaryaan;

–          Menetralisasi politik;

–          Pemisahan POLRI dari TNI; dan

–          Orientasi pertahanan.

Dengan adanya langkah yang ditempuh oleh TNI-POLRI di Indonesia tersebut,

tampak bahwa kepemimpinan TNI-POLRI yang baru telah menunjukkan dukungan

terhadap demokratisasi dan secara berkala merujuk pada “supremasi sipil” suatu

terminologi yang selalu dihindari oleh kelompok militer masa lalu.

Menurut Robert Lowry mengenai peningkatan anggota militer dengan sipil

seharusnya meningkat 24% selama 19 tahun dari tahun 1993 – 2019. Jika kenaikan

tersebut tercapai maka hal itu merupakan suatu kenaikan yang signifikan dan dapat

merubah dan memperkuat struktur keanggotaan militer dalam konteks perbandingan

antara jumlah personil yang berdinas aktif dibandingkan dengan jumlah penduduk.

2.     HAK AZASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK

A.   Kasus Pembunuhan Steven Biko Di Afrika Selatan

Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang kharismatik, ia

ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam pos tersebut dan

meninggal ditempat sekitar 1 (satu) bulan dari waktu penahanannya. Meninggal

dengan mulut berbusa dan penuh luka bekas pukulan.

Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang berada pada pos tempat Steven Biko

dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika

Selatan, namun hal tersebut hanya bisa dikabulkan apabila mereka menceritakan

4

Page 5: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

segala tindakan mereka kepada Steven. Konstitusi Transisi Afrika Selatan

mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan segala aspek yang akan

ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan maka

tidak akan ada habisnya.

B.   Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi

Selanjutnya, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko mengajukan tuntutan

kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku

tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi

Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan

dengan hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan mendalilkan

bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan

bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian

menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven

Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan jujur dan

pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

C. Perspektif Hukum Internasional

Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, pemberian amnesti

kepada pembunuh Steven Biko merupakan inkonstitusional dan bertentangan dengan

hukum internasional. Begitu juga dengan negara-negara domestik lebih memilih

penghukuman dari pada amnesti karena sudah memiliki hukum yang sah untuk

menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk pembalasan dendam. Masyarakat

internasional dapat dengan sendirinya menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan

menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan.

5

Page 6: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward looking” versus

kelompok yang mengutamakan prinsip “outward looking”. Outward looking adalah

semua ketentuan dan badan internasional bersifat mengikat (binding) dan harus

dilaksanakan sedangkan inward looking adalah keputusan-keputusan internasional

memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan negara. 

3.     PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA

A.   Negara Amerika Latin

Menurut O’Donnell ada beberapa karakteristik transisi politik di Amerika Latin

dan Eropa Selatan, antara lain : heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika Latin dari

pada Eropa Selatan;  memenuhi kategori otoriterisme birokratis; dan memiliki unsur-

unsur patrimonialis.

Contoh negara otoriter birokratis dan otoriter tradisional, yaitu : Di Nikaragua

yang dikuasai oleh rezim Somoza adalah termasuk salah satu negara yang memenuhi

kategori ini; Contoh negara otoriter “populis” adalah Peru.

B.   Non – Amerika Latin

Di Yunani, pada tanggal 21 April 1967 suatu kelompok perwira militer tingkat

menengah yang disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana

menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara

sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan

mengembalikan Yunani ke arah demokrasi; Di Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal

Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan

memerintah secara totaliter dengan tujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan

kepada masyarakat. Namun, pada tahun 1980-an, rezim totaliter di Spanyol tersebut

diganti dengan rezim yang demokratis yang benar-benar berbeda dengan

pemerintahan sebelumnya.

6

Page 7: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

TANGGAPAN

Dari pengamatan dan informasi yang didapatkan, perubahan dari negara totaliter

menjadi negara demokrasi terjadi karena beberapa hal. Di beberapa negara terjadi

penguatan kelompok reformis sehingga mendorong pemerintahan menjadi demokratis.

Ada pula yang terjadi karena negosiasi antara rezim berkuasa dengan kelompok oposisi.

Dalam sedikit kasus juga terdapat campur tangan Amerika Serikat dalam menjatuhkan

rezim otoriter dan menggantikannya dengan pimpinan baru yang demokratis dan dipilih

rakyat.

Kepentingan Amerika Serikat ini biasanya dibungkus dengan isu hak asasi manusia.

Walaupun apabila kita gali lebih dalam, kepentingan ekonomi lebih banyak berperan di

dalamnya. Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dan adidaya tidak ingin ada suatu

negara lain yang memiliki power lebih besar dan mampu untuk menyaingi sebagai negara

adikuasa.Khusus untuk negara-negara di Timur Tengah yang kaya akan minyak, kita tidak

dapat menafikan campur tangan Amerika Serikat dalam proses revolusi yang terjadi

disana. Walaupun harus diakui, negara-negara tersebut diperintah oleh rezim otoriter,

tetapi mereka sesungguhnya berhak untuk menentukan nasib diri mereka sendiri tanpa

campur tangan pihak luar.

Bahwa ada suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang otoriter

berkuasa maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu perubahan ke arah

yang lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi disebut

transisi politik. Apabila kita kaitkan dengan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998,

hal ini juga terjadi di negara kita. Setelah selama 32 tahun kita berada di bawah rezim

Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto yang otoriter, melalui gerakan reformasi yang

dimotori mahasiswa, maka akhirnya pemerintahan Orde Baru tumbang. Tumbangnya

pemerintahan Orde Baru ini membawa korban yang tidak sedikit, akan tetapi relatif lebih

7

Page 8: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

mulus dibandingkan tumbangnya rezim-rezim otoriter di negara-negara lain yang

seringkali menimbulkan revolusi dan pertumpahan darah dan mengakibatkan korban jiwa

dalam jumlah yang besar.

Menurut Jimly Ashidiqie, Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan

kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang

menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa

yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam

wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai

pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa

terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang

terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu

dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.1

Seluruh permasalahan yang ditimbulkan dalam hal ini adalah tidak terlepas dari

Human Rights (Hak Azasi Manusia), dan bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2 (dua)

hukum dalam menghukum para pelaku kejahatan tersebut antara lain adalah hukum yang

berlaku pada zaman rezim tersebut berkuasa dan hukum yang baru dibuat pada masa

transisi.2 Permasalahan yang timbul adalah bagaimana cara membersihkan seluruh rezim

komunis dan para pejabatnya, hal ini menjadikan hal yang utama pada kalangan

internasional.

Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi menurut M. Akil Mochtar, SH. MH.,

sangat tergantung pada empat faktor kunci yaitu komposisi elite politik, desain institusi

politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non-elite,

1 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 10.2 Satya Arinanto. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015, hlm. 241

8

Page 9: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

dan peran masyarakat madani (civil society).3 Serta dalam rangka upaya membangun

demokrasi di Indonesia maka diperlukan adanya 8 faktor pendukung sebagai berikut:

1) Keterbukaan sistem politik;

2) Budaya politik partisipatif egalitarian;

3) Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan;

4) Rakyat yang terdidik, cerdas dan peduli;

5) Partai politik yang tumbuh dari bawah;

6) Penghargaan terhadap hukum;

7) Masyarakat Madani yang tanggap dan bertanggung jawab;

8) Dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan mayoritas.4

Setelah reformasi berjalan, keinginan militer untuk berkecimpung dalam dunia politik

masih sangat besar. Padahal gerakan reformasi secara politik telah mengariskan kehidupan

sosial politik Indonesia setelah mundurnya Soeharto, harus bebas dari segala bentuk

cengkeraman militer. Makna yang terkandung dalam semangat itu adalah konsolidasi

demokrasi harus memungkinkan terjadinya pembenahan-pembenahan institusi kenegaraan

demi mengupayakan pewujudan tatanan politik yang demokratis. Prasyarat utama untuk

mewujudkan konsolidasi demokrasi itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang

dikenal sebagai asas Dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer.

Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR

Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan

bahwa: “Peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya

penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-

sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.”3 M. Akil Mochtar, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2005, hlm.4.4 M. Akil Mochtar, Ibid.

9

Page 10: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

Kristalisasi gagasan reformasi militer, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR diatas,

yang menjadi agenda utama dari gerakan demokratisasi di tahun 1998, dan kemudian

disuarakan oleh masyarakat luas terutama kalangan mahasiswa, akademisi dan kelompok

pro-demokrasi seperti lembaga swadaya masyarakat.

Alasan kuat untuk sesegera mungkin menghapus peranan sosial politik militer yang

disebut sebagai dwi-fungsi ABRI itu adalah ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi

itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis. Dalam

posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan

dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat. Menurut Robert P Clark, Intervensi

angkatan bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:

1.      Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan,

menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan paksaan untuk

memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam

menghadapi krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat;

2.      Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-

raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu untuk

memerintah secara kolektif;

3.      Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang besar atau oleh

negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;

4.      Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara-negara tetangga.5

Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari

prinsip-prinsp yang ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel.

Prinsip-prinsip dimaksud, adalah sebagai berikut:

5 Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm. 155

10

Page 11: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

1.   Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola pemerintahan.

Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem

politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif,

eksekutif dan yudikatif.

2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara

demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.

3.  Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.

4.  Militer patuh dan tunduk pada hukum.

5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara

reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar)

dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-

batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-

upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi.

6.  Militer bersifat netral dalam politik.

7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan

keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.

8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman,

dan masyarakat sipil secara umum.

9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang

dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.

Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas diperlukan

prasyarat:

11

Page 12: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

1.Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi

manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan  pemisahan

kekuasaan (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas

militer;

2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi

partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran,

panitia pertahanan, ombudsman parlemen);

3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri

Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri

Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana

Menteri, dan seterusnya;

4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan pengadilan khusus yang

berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer);

5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa

sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap

mempertahankan efektivitas militer yang tinggi;

6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar

konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan

bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan;

7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan

kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan

kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama (termasuk pertahanan),

serta media yang bebas dan beragam;

8. Elit militer dan elite politik yang kompeten

12

Page 13: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

9. Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun militer) yang

memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab,

dan menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut

pada militer. Sebaliknya, personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-kewajiban

mereka dengan bangga dalam batasan-batasan hukum yang diberikan).6

Sementara beberapa hal pokok yang perlu ditempatkan dibawah kendali

politik/parlemen adalah:

1. Hubungan sipil dan militer—integrasi militer ke dalam masyarakat;

2. Kerangka hukum, kesejahteraan sosial dan keamanan;

3. Gaya kepemimpinan, pelatihan dan pendidikan;

4. Kesiapan tempur.

Pada masa perubahan/ transisi ada konsep penengah yang lain dari aturan hukum

transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi

dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestik. Dalam periode perubahan

politik, hukum internasionallah yang menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum

yang ada, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung

kekal.

Hukum internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang

dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas

berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.

Komisi dari Masa TransisiGerakan yang timbul setelah masa transisi adalah komisi

kebenaran dan rekonsiliasi untuk menegakkan konsepsi keadilan transisional (transisional

justice). Adapun yang diadili pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah kejahatan

melawan kedamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.7

Menganai pemutusan hukuman kejahatan Genoside harus memenuhi Unsur-unsur yang

harus dipenuhi dalam pemutusan hukuman dalam hal genocide apabila : membunuh anggota 6 Dietrich Genschel, Politik Militer dalam Transisi demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kontras, 2003, hal. 20-227 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dilihat: www.e-learning.unram.ac.id. Dikutip pada 10 Oktober 2015

13

Page 14: Resume Dan Tanggapan Politik hukum Buku Prof Satya Arinanto

kelompok; menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota

kelompok, dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian, memaksa tindakan-tindakan yang

bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok masyarakat; dan memindahkan

secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain. Hal ini dikarenakan ada

perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward looking” versus kelompok yang

mengutamakan prinsip “outward looking”. Outward looking adalah semua ketentuan dan

badan internasional bersifat mengikat (binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward

looking adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan,

sebab konsep kedaulatan negara.

Dalam penjabaran sebelumnya, pada dasarnya konsep Hak Asasi Manusia masih

menjadi perdebatan di seluruh dunia. Karena setiap negara datau daerah di seluruh dunia

memiliki pemahamannya masing-masing mengenai konsep Hak Asasi Manusia itu sendiri

yang terkadang saling bersinggungan satu sama lain. Oleh karena itu sebagai manusia yang

pada dasarnya dilindungi oleh hak tersebut, memperjuangkan agar hak-hak yang dimiliki

tersebut dilindungi oleh pemerintah agar terpenuhi segala kebutuhan untuk bertahan hidup

merupakan hal yang sangat signifikan dan harus diperjuangkan oleh umat manusia diseluruh

dunia berdasarkan keyakinan mengenai hak asasi yang diyakini.

14