restrukturisasi bumn

28
BAB I PENDAHULUAN Menteri BUMN dalam berbagai kesempatan menyatakan untuk tidak memberikan penekanan pada kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menjadi strategi terdepan pengelolaan BUMN selama lima tahun terakhir ini. Dalam Master Plan Sebaliknya, orientasi atau fokus perhatian dari Kantor Kementerian BUMN dalam lima tahun mendatang adalah bagaimana agar setiap BUMN berupaya untuk selalu terus menerus menciptakan dan meningkatkan nilai (value creation and improving) perusahaan agar mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang sebesar-besarnya dan mampu meningkatkan kuantitas serta kualitas, baik produk dan layanan kepada konsumen dan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa restrukturisasi BUMN, sebagai salah satu kebijakan pokok Kementerian BUMN, telah dipilih sebagai strategi utama untuk perbaikan kinerja Beberapa pihak mengemukakan pesimismenya terhadap proses restrukturisasi yang dipilih pemerintah untuk mengelola BUMN. Beberapa argumen yang terangkum adalah proses restrukturisasi BUMN akan membutuhkan proses yang lama dan ongkos yang besar, karena kurangnya dukungan politik yang kuat dan berkesinambungan,. Selain itu tidak adanya keprihatinan (sense of crisis) pada pemilik saham dan

Transcript of restrukturisasi bumn

BAB I

PENDAHULUAN

Menteri BUMN dalam berbagai kesempatan menyatakan untuk tidak memberikan

penekanan pada kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menjadi

strategi terdepan pengelolaan BUMN selama lima tahun terakhir ini. Dalam Master Plan

Sebaliknya, orientasi atau fokus perhatian dari Kantor Kementerian BUMN dalam lima

tahun mendatang adalah bagaimana agar setiap BUMN berupaya untuk selalu terus

menerus menciptakan dan meningkatkan nilai (value creation and improving) perusahaan

agar mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang sebesar-besarnya dan mampu

meningkatkan kuantitas serta kualitas, baik produk dan layanan kepada konsumen dan

masyarakat. Ini menunjukkan bahwa restrukturisasi BUMN, sebagai salah satu kebijakan

pokok Kementerian BUMN, telah dipilih sebagai strategi utama untuk perbaikan kinerja

Beberapa pihak mengemukakan pesimismenya terhadap proses restrukturisasi yang

dipilih pemerintah untuk mengelola BUMN. Beberapa argumen yang terangkum adalah

proses restrukturisasi BUMN akan membutuhkan proses yang lama dan ongkos yang

besar, karena kurangnya dukungan politik yang kuat dan berkesinambungan,. Selain itu

tidak adanya keprihatinan (sense of crisis) pada pemilik saham dan manajer BUMN

tentang urgennya restrukturisasi BUMN yang merupakan prasyarat penting dilakukannya

restrukturisasi. Sedikitnya jumlah manajer Indonesia yang memiliki kompetensi

profesional merestrukturisasi perusahaan juga dikatakan akan menyulitkan proses

restrukturisasi BUMN. Restrukturisasi BUMN juga akan menumbuhkan perlawanan

sengit yang kemungkinan besar akan timbul dari pihak-pihak yang merasa dirugikan

dengan adanya restrukturisasi BUMN dan adanya pemimpin perusahaan yang

memanfaatkan proses restrukturisasi untuk kepentingan sendiri.

perusahaan-perusahaanmiliknegara.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut cukup wajar melihat bagaimana pemerintah

memperlakukan BUMN selama ini, walaupun mungkin perlu dilakukan riset yang lebih

komprehensif untuk mendapatkan data pendukung untuk beberapa argumen yang

disampaikan. Selain itu argumen-argumen yang ada masih menyisakan pertanyaan

tentang alternatif strategi yang perlu dipertimbangkan Kementerian BUMN, baik untuk

memudahkan proses restrukturisasi tersebut maupun sebagai pengganti strategi

restrukturisasi itu sendiri. Kemudian, dalam keadaan Kementerian BUMN sudah berbulat

tekad untuk melakukan restrukturisasi BUMN, akan lebih baik jika kita memikirkan

langkah-langkah yang perlu dilakukan agar restrukturisasi perusahaan-perusahaan milik

negara tersebut dapat dilakukan dengan baik, daripada bersikap pesimis. Karena itu

tulisan ini mencoba membahas beberapa hal yang kiranya bisa dilakukan pemerintah

untuk menghilangkan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut dalam merestrukturisasi

BUMN.

BAB II

PEMBAHASAN

I. BUMN

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi

dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. Badan Usaha Milik

Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna

mewujudkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam perekonomian nasional untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang belum optimal. Sebagaimana termaktub

dalam Undang-Undang 19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian

besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal

dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah

kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan

terbatas lainnya. Konstelasi ekonomi-politik dalam skala global juga akan berkorelasi

dengan konteks nasional. Globalisasi adalah suatu tantangan terbesar bagi kemandirian

perekonomian nasional, khususnya BUMN dalam fungsinya menyelenggarakan

perekonomian guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan ekonomi

hari ini adalah semakin mantabnya posisi liberalisme ekonomi yang ditandai dengan

semakin tingginya ketimpangan sosial masyarakat. Hingga dirasa peran BUMN menjadi

sangat krusial untuk melakukan suatu inovasi tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi

namun juga dalam pemerataan ekonomi nasional.

BUMN dalam segi bentuk, ada 2 macam :

a) Perusahaan Umum (Perum) à Public Corporation

· Memiliki tujuan sosial dan tujuan keuntungan (profit oriented) dengan

pembagian presentase tujuan 50-50 (fifty-fifty)

· Modal keseluruhan dimiliki oleh negara dan dipisahkan dengan APBN,

tetapi dipertanggungjawabkan secara tersendiri kepada Departemen

Keuangan dan tekhnis.

· Karyawan Perum sebagian merupakan PNS dan sisanya Perum diberikan

otonomi untuk merekrut pegawai perusahaan sendiri

b) Persero à State Company

· Modal sebagian saja dimiliki oleh negara , hanya ada aturan bahwa yang

harus dimiliki oleh negara adalah 51% dan sisanya dimiliki oleh non

pemerintah, yaitu 49%.

· Pegawai Persero tidak memiliki fasilitas seperti PNS pada umumnya,

diperlakukan seperti pegawai swasta biasa (ada UU yang mengatur)

· Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing

kuat

· Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Secara praktis peran BUMN adalah sebagai stabilitator, dinamisator, sekaligus

innovator dalam perekonomian nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa BUMN

merupakan salah satu instrument utama negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Senyampang dengan hal tersebut BUMN merupakan manifestasi dari suatu amanat

konstitusi, UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara”.

Secara statistik bila ditinjau dari jumlah BUMN sampai saat ini terdapat sekitar 139 yang

masih eksis.

Pertanyaan kemudian yang muncul adalah bagaimana BUMN mengalami kerugian

mengingat BUMN adalah instrument ekonomi nasional yang mampu memonopoli hajat

hidup orang banyak. Hal ini dikarenakan adanya missed management yang bermuara

pada nuansa politis yang masih menghinggapi BUMN.

Mengingat banyak BUMN yang kinerjanya kurang baik, maka BUMN perlu

diberdayakan secara optimal. Tujuan dari pemberdayaan BUMN tantara lain :

· Agar mampu berperan sebagai pendukung bangkitnya perekonomian nasional serta

dapat memberikan kontribusi kepada APBN (dividen dan pajak).

· Agar mampu berperan sebagai sarana dan prasarana untuk mencetak Sumber Daya

Manusia yang unggul terutama dalam kepemimpinan dunia usaha.

· Agar mampu berperan sebagai kekuatan penyeimbang (conterveiling power) terhadap

kekuatan ekonomi yang telah ada, melalui aliansi strategis dengan pihak lain pada

tingkat nasional maupun internasional, termasuk dalam rangka kemitraan dengan Usaha

Kecil,Menengah dan Koperasi.

· Agar dapat mendayagunakan asset yang dikelola secara optimal, antara lain melalui

program restrukturisasi dan privatisasi secara transparan dan simultan.

Mengingat BUMN memegang peranan yang penting dan turut mempengaruhi kinerja

perekonomian nasional, maka BUMN perlu dikelola dengan efektif dan efisien

berdasarkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hal lain yang juga perlu

diperhatikan adalah bagaimana BUMN mampu menjadi sokoguru perekonomian yang

berdasarkan pada falsafah Pancasila, utamanya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang

selaras dengan pemerataan ekonomi. Solusi akan peningkatan kualitas BUMN adalah

berkaitan dengan proses restrukturisasi. Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk

menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional.

Hal ini penting adanya guna peminimalisiran nuansa politis yang seringkali menjadi

permasalahan utama dalam pengelolaan di tubuh BUMN. Hingga nantinya BUMN

mampu mandiri sebagai instrument penggerak perubahan perekonomian

nasional yang lebih progresif dan produktif.

II. Restrukturisasi BUMN

Kalimat pertama dalam bukunya The Renewal Factor, Robert H. Waterman Jr.

mengatakan bahwa the constant is change. Yang tetap adalah perubahan. Namun

sayangnya banyak orang yang membenci perubahan, banyak orang takut terhadap

perubahan bahkan sebagian lagi tidur pada saat perubahan datang. Tanpa perubahan tidak

mungkin kita akan bertahan.

Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang

merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan

guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.

Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat

beroperasi secara efisien, transparan, dan professional. Tujuan restrukturisasi adalah

untuk:

1. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;

2. memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;

3. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen

4. memudahkan pelaksanaan privatisasi.

Restrukturisasi meliputi:

a. restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor

dan/atau peraturan perundang-undangan;

b. restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi:

1. peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat

monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah;

2. penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN

selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban

pelayanan publik.

Salah satu masalah yang menyebabkan BUMN di masa lalu kurang mampu menunjukkan

prestasi bisnisnya adalah kurang jelasnya arah kebijakan BUMN, hingga dibentuknya

Kementerian Negara BUMN (1998) dan diterbitkannya UU No. 19/2003 (tentang

BUMN) dirasa mampu mereduksi permasalahan yang ada dalam BUMN.

Dibentuknya Kementerian Negara BUMN adalah untuk lebih menegakkan peran

Pemerintah sebagai kuasa pemegang saham/pemilik BUMN yang terpisah dengan peran

Pemerintah sebagai regulator. Sedangkan UU No. 19/2003 telah mendikotomikan

peran antara

pemilik, regulator supervisor dan operator. Untuk bank BUMN, misalnya pemilik adalah

Pemerintah melalui Menteri BUMN, regulator dan supervisor adalah Bank Indonesia, dan

bagi yang sudah go public, supervisor lain adalah Menteri Keuangan melalui Badan

Pengawasan Pasar Modal, sedangkan operator adalah Dewan direksi yang diawasi oleh

Dewan Komisaris. Dengan adanya dikotomi ini, maka intervensi politik dan birokrasi

semakin dapat diminimalisir akan berdampak pada profesionalisme manajerial BUMN

yang semakin optimal.Kebijakan pemerintah dalam restrukturisasi BUMN didorong oleh

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi organisasi dalam

kinerja BUMN itu sendiri dan keuangan Negara yang tidak menggebirakan. Sedangkan

faktor eksternal yang menjadi pendorong restrukturisasi BUMN adalah pendirian dan

aktivitas organisasi bisnis internasional serta regional yang menetapkan prinsip-prinsip

pasar bebas dalam bisnis global.

Sedangkan tujuan go-public sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN di Indonesia

adalah untuk :

i.Meningkatkan penerimaan Negara yang digunakan untuk mempercepat pelunasan

hutang luar negeri dengan beban bunga komersil dan untuk meningkatkan penerimaan

BUMN yang akan digunakan untuk membiyai investasi baru.

ii.Meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN dipasar.

iii.Mendorong pertumbuhan pasar modal dalam negeri. Progam restukturisasi BUMN

sebagai salah satu upaya pemerintah untuk membenahi BUMN agar pengelolaanya

sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Pasal 33

undang-undang dasar 1945 sebagai pedoman dalam sistem ekonomi nasional bukanlah

suatu prinsip atau ketentuan yang berdiri sendiri, melainkan sangat erat dengan prinsip-

prinsip lainya terutama dengan masalah kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pasal 33

ditempatkan bersama dengan pasal 34 di dalam bab tentang kesejahteraan sosial.

Kesejahteraan sosial merupakan suatu tujuan yang sangat erat dengan masalah

keadilan sosial seperti yang dimaksudkan oleh sila kelima pancasila dan asas-asas yang

secara konstitusional pada pembukaan undang-undang dasar 1945.

Restuktrurisasi BUMN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjadikan

BUMN sebagai sarana pemerintah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia sesuai dengan yang dimaksud oleh sila kelima pancasila dan alenia keempat

pembukaan undangundang dasar 1945. Menurut Rawls, teori keadilan merupakan teori

yang paling komprehensif sampai saat ini. Menurut Rawls “keadilan adalah kejujuran.

Keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian

dalam kesatuan, dan antara tujuan pribadi dengan tujuan bersama, itulah yang disebut

dengan keadilan. Secara hipotesis teori Rawls ini dapat diaplikasikan dengan kondisi di

Indonesia. Dalam realitas terjadi ketimpangan dalam sektor ekonomi nasional, oleh

karena itu perlu diperbaiki. Oleh karena itu melalui restrukturisasi BUMN, secara ideal

merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menata kembali sistem ekonomi nasional

yang dalam prakteknya tidak seimbang tersebut. Peran BUMN yang strategis dan jumlah

aset yang relatif sangat besar akan merupakan sarana yang dapat memungkinkan

penataan kembali sistem ekonomi nasional seperti yang dikemukakan oleg Rawls dengan

seruan untuk reorganisasi sebagai syarat untuk dapat menuju kepada suatu masyarakat

ideal yang baru. Sedangkan tujuan keadilan sosial ialah menyusun suatu masyarkat yang

seimbang dan teratur dimana semua warganya mendapatkan kesempatan untuk

membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya

mendaptkan bantuan seperluhnya. Pemerintah sebagai pimpinan Negara bertugas untuk

memajukkan kesejahteraan yang merata dan dalam rangka itu berhak dan berwajib untuk

menuntut kepada para warganya agar memberikan sumbangan mereka sesuai dengan

kemampuan mereka masing-masing.

Agenda dari setiap BUMN adalah bagaimana mampu survive dalam perubahan yang ada.

Restrukturisasi merupakan salah satu cara BUMN agar tetap eksis dalam menggerakkan

perekonomian nasional dengan cara penataan ulang secara mendasar.

Pertanyaan pokok sebelum membenahi tata kelola BUMN adalah apakah kita telah

benar-benar memahami BUMN dan mengapa BUMN menjadi demikian. Pertanyaan ini

sangat fundamental, mengingat upaya pembenahan BUMN tidak sepenuhnya berhasil

disebabkan tidak cukup mengetahui ke-BUMN-an itu sendiri. Bahkan, program

restrukturisasi BUMN akan menjadi bumerang tersendiri apabila tidak dipahami secara

mendasar. Restrukturisasi BUMN yang berhasil memerlukan strategi yang kontekstual.

Konteks BUMN yang strategis adalah budaya perusahaan, kepemimpinan, dan tugas atau

misi BUMN.

a. Budaya Perusahaan

Salah satu cara memahami BUMN adalah dengan membandingkan budaya kerjanya,

karena nilai budaya yang ada dalam organisasi perusahaan, secara signifikan ikut

menentukan keberhasilan pendayagunaan sumber daya manusia dalam pencapaian

tujuan bersama.

1) Orientasi Kerja. Dalam perusahaan swasta yang berorientasi hasil, pola manajerial

cenderung kepada kemampuan produktivitas pencapaian tujuan (manajement by

objective). Sedangkan di perusahaan BUMN kecenderungannya orientasi kerja

adalah prosedur. Hingga ada stigma di BUMN adalah birokrasi berbelit. Hal ini

berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang kurang efisien dalam

mengeksekusi bahkan cenderung subjektif.

2) Cara Menghadapi Masalah. Pada perusahaan BUMN, budaya yang berkembang

adalah mengedepankan proses penyelesaian masalah daripada permasalahannya

sendiri. Konsekuensinya, kebijakan perusahaan menjadi lebih lambat, karena

setiap isu terjebak pada proses daripada substansinya.

3) Punishment. Hal ini berkaitan dengan nalar subjektifitas yang lebih diutamakan

daripada objektifitas pada mekanisme kerja BUMN. Penghargaan terhadap

karyawan lebih mengutamakan senioritas daripada kinerja yang telah dicapai.

4) Komunikasi. Pada perusahaan swasta, terdapat kecenderungan untuk menghargai

komunikasi yang terbuka, lugas dan apa adanya. Proses inovasi pun berasal dari

bottom – up sehingga berdampak pada kinerja perusahaan yang progresif.

Berbeda pada BUMN yang cenderung kaku, pun proses inovasi lebih mengarah

pada pola top – down sehingga akan berdampak pada keberlangsungan BUMN

semakin tertinggal dalam persaingan yang semakin global.

5) Kesetaraan. Watak paternalistik yang mengakar kuat di tubuh BUMN

menyebabkan sulit menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance.

b. Kepemimpinan

Restrukturisasi akan lebih berhasil jika dimulai dari pemimpinnya, terlebih untuk

organisasi yang sedang menurun kinerjanya. Selain daripada BUMN membutuhkan

pemimpin berkualitas yang the right man in the right place, juga harus merubah nilai

paternalistik menjadi lebih “membumi”. Dalam hal ini kaum-kaum teknokrat akan

lebih berarti daripada kepemimpinan yang bersifat “karbitan” yang berbau nepotisme.

c. Misi BUMN Perusahaan swasta biasanya berkembang dengan cepat karena memiliki

tugas yang lebih sempit, yaitu menciptakan nilai dan memberikan laba. Terlepas dari

itu, mereka juga dituntut menjadi corporate citizen, yaitu menjadi warga negara yang

baik, dengan melakukan program corporate social responsibility. BUMN, sejak awal

didirikan mengemban tugas nasional – bukan tugas korporasional. Misalnya,

menyalurkan kredit bersubsidi (seperti BRI), menjaga ketersedian pupuk nasional

(seperti PUSRI), menjaga distribusi BBM (Pertamina), ketersediaan listrik (PLN), dan

lain-lain.Hal ini menjadi pekerjaan rumaha (PR) tersendiri bagi BUMN untuk

menyeleraskan kewajiban terhadap pelayanan publik dengan tugas eksistensialnya

sebagai perusahaan. UU No. 19/2003 pasal 12 dikatakan bahawa BUMN persero adalah

BUMN yang bertujuan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan

berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Sementara pada pasal 36 disebutkan bahwa maksud dan tujuan perum adalah

menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umumberupa penyediaan

barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat

berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Amanat undang-undang

tersebut sudah jelas kiranya untuk melaksanakan secara konsisten dan berkomitmen

terhadap rakyat. Saat ini, BUMN berjumlah 139 perusahaan. Tentu saja, tidak seluruh

BUMN menjadi unit usaha yang menguntungkan (profit making). Maka dari itu, perlu

dikelompokkan unit usaha yang berfungsi sebagai public service obligation (PSO),

seperti transportasi publik, rumah sakit,dan sebagainya. Selain itu, ada kelompok usaha

yang memang sangat strategis, seperti Perum Peruri (percetakan uang), Perum PNRI

(percetakan dokumen negara), PT Pindad (produsen senjata api).

Restrukturisasi kelembagaan harus dimulai dari pangkalnya, yaitu kementerian negara

BUMN. Selama ini, Kementerian ini memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu perumusan

kebijakan publik dan pengelolaan BUMN.

Agar tidak menimbulkan kerancuan, Kementerian Negara BUMN sebaiknya

memfokuskan diri pada perumusan kebijakan publik. Kementerian ini juga bisa menjadi

semacam “penghubung” dengan DPR dan lembaga lain yang terkait (juga dengan

masyarakat). Dalam kaitannya dengan strategi pembangunan nasional, dialah yang harus

menerjemahkan visi Presiden ataupun kebijakan Bappenas.

Idealnya, Menteri Negara BUMN berperan sebagai Kepala Badan yang bertugas

merumuskan kebijakan publik, mengembangkan secara strategis dan politis semua

BUMN. Tentu saja isu-isu terkait hukum dan kebijakan makro pengembangan BUMN

berada dalam ruang lingkupnya. Adapun urusan teknis operasional BUMN akan berada

di tangan para direksi perusahaan holding dan direksi setiap BUMN.

Restrukturisasi juga dilakukan dengan membentuk beberapa perusahaan holding.

Holding-holding tersebut dibentuk dengan mempertimbangkan kesamaan karakteristik

bisnis, skala usaha ataupun alasan-alasan keekonomisan lainnya. Untuk menampung unit-

unit usaha unggulan, misalnya, bisa dibentuk sebuah perusahaan holding dari kelompok

BUMN blue chips.Bisa juga kelompok usaha berbasis keuangan bersatu menjadi

perusahaan investasi yang membawahi bank, sekuritas, asuransi dan multifinance.

III. Holding Company Sebagai Alternatif Solusi Dalam Restrukturisas BUMN

Agar tujuan Reformasi BUMN (restrukturisasi) dapat diwujudkan maka salah satu cara

untuk mencapainya adalah dengan mengelompokan BUMN kedalam beberapa grup yang

dikenal dengan Holding Company. Dengan demikian perlu di mengerti dan diyakini

bahwa pembentukan Holding bukanlah tujuan tetapi hanya alat untuk mencapat tujuan

yakni pembentukan perusahaan yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi.

Melalui pengelompokan BUMN kedalam Holding dimungkinkan terjadinya peningkatan

penciptaan nilai pasar perusahaan (market value creation) yakni usaha untuk melipat

gandakan nilai perusahaan yang ada saat ini. Disamping itu melalui Holding diharapkan

pula akan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif. Karena akan memberikan fokus

dan skala usaha yang lebih ekonomis, mampu menciptakan corporate leverage sehingga

dapat meningkatkan bargaining position. Selain itu akan dapat pula menciptakan sinergi

yang optimal (melalui pendekatan vertical integration), dan harus mampu melakukan

rationalisasi perusahaan yang mempunyai value creation yang rendah.

Adapun bentuk dari holding adalah sebagai berikut:

1. Umbrella holding adalah pembentukan holding yang akan mengelola suatu

kelompok prusahaan yang berasal dari sektor yang berbeda misalnya Agroindustri

dan farmasi.

2. Focused holding yakni membentuk beberapa holding yang terdiri dari perusahaan

yang berasal dari satu sektor.

3. Roll-up adalah menggabungkan BUMN yang usahanya sama kedalam satu perusahaan.

4. Sedangkan status quo adalah tetap memelihara BUMN yang telah ada atas dasar

standalone karena tidak dapat digabungkan ke kelompok manapun. Sejalan dengan

tujuan pembentukan Holding, maka program ini akan memberikan

manfaat sebagai berikut: (1) Mendorong proses penciptaan nilai, market value creation

dan value enhancement. (2) Mensubstitusi defisiensi manajemen di anak-anak

perusahaan. (3) Mengkoordinasikan langkah agar dapat akses ke pasar internasional.

(4) Mencari sumber pendanaan yang lebih murah. (5) Mengalokasikan kapital dan

melakukan investasi yang strategis. (6) Mengembangkan kemampuan manajemen

puncak melalui cross-fertilization.

Suatu niat yang baik tentu selalu akan ada tantangannya (bukan hambatan). Demikian

pula dengan pembentukan perusahaan yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi

melalui Holding, banyak pro dan kontra dilontarkan. Terutama oleh kelompok yang

belum pernah melakukan kegiatan bisnis secara nyata atau pihak yang belum mengetahui

konsep dan strategi program ini secara rinci. Bagi praktisi bisnis atau pebisnis rencana ini

sangat mudah dimengerti dan memang cara terbaik (meskipun bukan obat yang mujarab)

untuk menyelamatkan BUMN yang patut untuk diselamatkan.

Dan new business dimaksudkan membentuk perusahaan baru yang bergerak dibidang

usaha yang memang dibutuhkan oleh seluruh BUMN misalnya information technology.

Dari aspek legal masih perlu pula dikaji pengaruh ketentuan peraturan perundangan yang

baru terhadap beroperasinya Holding, misalnya Undang-undang Otonomi daerah,

Undang-undang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ataupun Undang-undang

Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Tidak sehat. Dan untuk bentuk usaha

Holding sendiri apabila yang dimaksud adalah Strategic Holding atau Management

Holding saat ini belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya dan belum diatur

dalam Undang-undang No. 1/1995 tentang Perseroan terbatas.

Pembentukan Holding telah pula menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya birokrasi

baru yang berarti menambah beban pembiayaan baru yang akan menciptakan high-cost

economy. Sesungguhnya pola Holding yang ditawarkan adalah justru untuk

menghilangkan prosedur birokrasi yang saat ini masih ada sedangkan untuk beban

overhead-nya sendiri akan dapat dikendalikan karena sebenarnya dalam Holding hanya

diperlukan antara 20 -30 orang saja tenaga-tenaga yang profesional dan memiliki visi

strategik kedepan. Dengan demikian kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu timbul

apabila menyadari bahwa kelemahan holding akan dengan mudah dipecahkan dengan

baik oleh suatu leadership yang kuat. Disamping itu berbagai keuntungan yang akan

diperoleh dari Holding pun tampak sangat jelas antara lain efisiensi usaha sebagai akibat

vertical-integration, cross-vertilization tenaga kerja khususnya eksekutif BUMN, prioritas

investasi untuk sektor yang lebih menguntungkan.

BAB III

PENUTUP

Restrukturisasi BUMN menjadi sebuah klise. Terlalu sering diulang-ulang, sehingga

justru kehilangan makna dan urgensi. Padahal, kompleksitas masalah membuat isu

restrukturisasi tetap menjadi sesuatu yang relevan sekaligus mendesak. Paling tidak, ada

dua alasan mengapa restrukturisasi BUMN menemukan kembali relevansinya. Pertama,

krisis finansial global telah membuat perdebatan “swasta” versus “negara” menjadi

aktual.

Sudah agak lama, kesadaran kita dibawa pada satu prinsip besar bahwa pengelolaan

swasta selalu lebih baik daripada negara. Maka, Let the free market do and let

government sleep. Namun, pengalaman krisis belakangan ini membuat negara

dibangunkan kembali dari tidurnya. Kedua, menghadapi Pemilu 2009, isu BUMN

menjadi salah satu topik hangat. Di tengah potensi kemiskinan dan pengangguran yang

semakin meningkat, kehausan akan peran BUMN juga menguat. Tampaknya, tak terlalu

sulit menggalang niat untuk sesegera mungkin melakukan restrukturisasi. Soalnya adalah

bagaimana dan mulai dari mana. Untuk memulai sesuatu, kita perlu berpikir apa tujuan

akhirnya. Tak terlalu salah kalau kita mengatakan tujuan akhir restrukturisasi BUMN

adalah meningkatkan daya saing. Visi Indonesia 2030 menargetkan ada 30 perusahaan

nasional yang masuk ke dalam Fortune Global 500. Rasanya, tak berlebihan jika di antara

sekian perusahaan tersebut, termasuk di dalamnya BUMN.

Kita perlu berkaca pada keberhasilan BUMN Malaysia yang tergabung dalam

perusahaan holding Khazanah Nasional Berhad dan BUMN Singapura di bawah naungan

Temasek Holdings. Fakta ini membuktikan perusahaan di bawah kepemilikan negara

sangat mungkin menjadi pemain besar di tingkat dunia. Kita perlu membedakan antara

“kepemilikan” dan “pengelolaan”. Meski kepemilikan tetap di tangan negara, tetapi

pengelolaan bisa tetap dilakukan secara profesional, sebagaimana layaknya perusahaan

swasta. Mungkinkah? Tentu saja, ada beberapa prasyarat kelembagaan yang harus

dipenuhi. Pertama, aparatur negara yang terkait dengan BUMN harus mengedepankan

prinsip governance (good public governance). Kedua, pada level unit-unit usaha sendiri,

harus selalu berorientasi pada penerapan prinsip good corporate governance.

Dengan penerapan sistem governance secara komprehensif, akan muncul struktur,

system dan prinsip yang baik, sehingga dalam jangka panjang akan muncul “budaya’ dan

“generasi” baru yang sejalan dengan peningkatan daya saing BUMN. Terkait dengan

struktur dan sistem, keberadaan BUMN selama ini tidak bisa dipisahkan dari sistem

kelembagaan birokrasi kenegaraan. BUMN berada di bawah Kementerian Negara diatur

oleh peraturan perundang-undangan yang kadang kala masih bertabrakan satu sama lain,

juga diatur oleh berbagai departemen teknis, dan berurusan dengan berbagai kekuatan

politik di DPR. Campur aduk ini membuat kinerja BUMN tidak bisa maksimal. Seorang

direktur sebuah BUMN misalnya, waktunya habis untuk acara seremonial serta melayani

kepentingan berbagai pihak (termasuk DPR), sementara waktunya untuk mengurusi

perusahaan menjadi sedikit. Saat ini, BUMN berjumlah 139 perusahaan. Tentu saja, tidak

seluruh BUMN menjadi unit usaha yang menguntungkan (profit making). Maka dari itu,

perlu dikelompokkan unit usaha yang berfungsi sebagai public service obligation (PSO),

seperti transportasi publik, rumah sakit, dan sebagainya. Selain itu, ada kelompok usaha

yang memang sangat strategis, seperti Perum Peruri (percetakan uang), Perum PNRI

(percetakan dokumen negara), PT Pindad (produsen senjata api). Gagasan ini

membutuhkan kemauan politik yang kuat, mengingat restrukturisasi BUMN adalah hal

yang kompleks. Selain ganjalan politik dan perundang-udangan di tingkat parlemen, ada

pula hal teknis yang menghambat, seperti persoalan pajak penggabungan perusahaan.

Belum lagi mengenai interpretasi Undang-Undang Kekayaan Negara yang mengandung

implikasi hukum cukup tinggi.

Pendek kata, tanpa ada kemauan politik yang kuat, cita-cita tentang BUMN yang berdaya

saing tinggi hanya tetap wacana. Upaya untuk mewujudkannya harus terus didorong,

hingga pada tujuannya, yakni BUMN yang berdaya saing tinggi, akan memberi manfaat

bagi kemakmuran bangsa.

BAB IVDAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/13784/1/2001MH648.pdf diakses pada tanggal 26 November 2011

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/perundangan/2006/09/04/19-tteg-bumn.pdf diakses pada 27 November 2011

http://mediadata.co.id/MCSIND-2010/Privatisasi-dan-Restrukturisasi-18-Besar-BUMN-Menuju-Go-Publik.pdf diakses pada 27 November 2011

http://www.madani-ri.com/wp-content/uploads/2009/06/paper-bumn-as-of-3-juni-2009_reformasi-kelembagaan-dan-penerapan-governance-menuju-bumn-berdaya-saing-global_.pdf diakses pada 27 Novemeber 2011