Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu ...
Transcript of Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu ...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Responsivitas Dinas Kesehatan
Dalam Pembinaan Jamu Tradisional
Di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap
Disusun oleh :
Wiji Wijayanti D0107022
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana
Pada Jurusan Ilmu Admnistrasi
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul :
RESPONSIVITAS DINAS KESEHATAN DALAM PEMBINAAN
JAMU TRADISIONAL DI KECAMATAN KROYA KABUPATEN
CILACAP
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si
NIP. 19610825 198601 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN
Telah Disetujui dan Disahkan Oleh Penguji Skripsi Jurusan Ilmu
Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Pada Hari : Kamis
Tanggal : 28 Juli 2011
Panitia Penguji :
1. Drs.Suharsono,M.S
NIP. 195107011979031001
Ketua
(.....................................)
2. Herwan Parwiyanto,S.Sos,M.Si
NIP. 1975505052008011033
Sekretaris
(.....................................)
3. Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si
NIP. 19610825 198601 2 001
Penguji
(.....................................)
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Prof.Drs.Pawito,Ph.D
NIP. 19540805 198503 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
.......Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat
QS. AL Mujaadallah Ayat 11
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ”Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai kepada ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan
berjalan sampai bertahun-tahun
QS. AL Kahfi Ayat 60
”Ilmu hanya akan didapat dengan belajar. Kesabaran dan kemurahan hati hanya
akan didapat dengan bersungguh-sungguh. Barang siapa yang menginginkan
kebaikan, akan diberikan kepadanya, dan barang siapa yang menjaga dirinya
dari kejelekan, ia akan dilindungi.”
( Al Hadits Shahihah Al Jami’)
Tidak ada hal yang mustahil di dunia ini dengan izin Allah.Bermimpi, siapkan strategi, dan melangkahlah dengan keyakinan
kuatkan dengan do’a selalu agar Dia (Allah) selalu menuntun.(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh hormat skripsi ini kupersembahkan
kepada :
Bapak dan ibuku yang selalu mencurahkan kasih
sayangnya sepanjang hidupku, selalu memberikan
motivasi dalam meraih mimpi-mimpiku, selalu berdoa
demi kesuksesanku.
Kakakku Supriyanto yang selalu memberi dukungan,
bimbingan, dan doa.
Adikku Yoga Winursita dan Siwi Setyowati Pramudya
N yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan
do’a
Fatkhurrohman yang senantiasa menemani,
mendukung dan memberikan motivasi
Keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu per
satu yang selalu mendukungkung
Sahabat-sahabatku (Ike, Lusi, Riza, Marat, Uti, Ripi)
yang selalu menemani dan membantuku.
Almamater AN ’07 yang tidak pernah terlupakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Wiji Wijayanti, D0107022, Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011. 124 halaman.
Perkembangan tekhnologi yang makin pesat membuat perajin jamu tradisional yang di Kecamatan Kroya mencampur sejumlah produksi mereka menggunakan Bahan Kimia Obat. Bahan Kimia Obat merupakan suatu larangan dalam produksi jamu tradisional. Hal ini menjadikan produksi jamu tradisional mendapat larangan produksi dan edar dari Dinas Kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkajiresponsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan terhadap perajin jamu tradisional dan mengetahui hambatan-hambatan dalam mewujudkan responsivitas tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, yang didapat dari hasil wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Tekhnik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Validitas data menggunakan triangulasi data. Analisis yang digunakan adalah analisis interaktif.
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan berdasarkan data-data yang diperoleh adalah Berdasarkan empat komponen responsivitas yaitu kemampuan menanggapi permasalahan, kemampuan mengenal kebutuhan, kemampuan memenuhi kebutuhan dan kecepatan dalam memenuhi kebutuhan secara keseluruhan pembinaan yang dilakukan Dinas Kesehatan tidak responsif. Terdapat satu komponen dari keempat komponen tersebut diatas yang dinilai cukup responsif yaitu kemampuan dalam menanggapi permasalahan. Sedangkan komponen lainnya tidak responsif. Hambatan yang terjadi dalam pencapaian responsivitas tersebut adalah masalah dana dan komunikasi. Dana tersebut selain sebagai modal juga sebagai nilai keuntungan. Sedangkan komunikasi yaitu lemahnya konsensus dan lemahnya penyampaian pendapat oleh pengusaha jamu. Rekomendasi yang diberikan penulis adalah agar Dinas Kesehatan lebih memperhatikan: (i) kebutuhan-kebutuhan untuk perwujudan CPOTB diantaranya adalah gedung standar CPOTB, Apoteker, perizinan, bahan baku dan pengetahuan tentang tanaman khasiat obat, (ii) Berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lebih cepat dan terarah agar permasalahan BKO dapat cepat terselesaikan, (iii) Mengintensifkan komunikasi dengan perajin melalui jejak dengar pendapat antara Dinas Kesehatan dan Perajin.
Kata Kunci: Dinas Kesehatan, Responsivitas, Jamu Tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT
Wiji Wijayanti, D0107022, Responsiveness Health Office in Development Herbal Medicine in Kroya Sub-district Cilacap Regency. A Thesis, Majoring in Public Administration, Faculty of Political and Social Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2011, page.124
Development of rapidly technology having a spesific place in the human life especially in society who made traditional human medicine in Kroya sub-district. They are mix their production with chemical drugs. It is a prohibition in producing traditional herbal medicine. This problem made some of production haven’t permit Health Office to produce and distribution. This research purpose toknow responsiveness Health Office doing development of herbal entrepeneur and to know some detentions to being responsive.
This research is descriptive research. Data used by commposed primary and secondary from interview in deep, observation and documentation. Sample used a purposive sampling. The validity used triangulation. whereas analyze used interactive analyze. Result of this research are :
According the four component of responsivess whom clasified by researcher are capability to respect the problem, capability to identify of demand, capability of supply the demand and the time used to supply of demand and its for all are unresponsive. Basicly that four component whom identified by reseacher there is one component was responsive its capability to respect of problem. It seen on Tradisional Manufacturing Practice Good provided to herbal entrepeneur based on health legislation. The others seen that some herbal entrepeneur’s need unfulfilled. The destention of responsivennes are money and communication. Money as capital and as the value of profit. Whereas communication as limited of consensus between Health Office staff and herbal entrepeneur; and as limited of herbal entrepeneur’s aspiration to Health Office.
Reseacher recommens the Health Office: (i) to more identifying and fill up the herbal entrepeneur’s need to purpose realizing the Tradisional Manufacturing Practice Good, its are building, pharmacist, licensing and knowledge about the plant which used efficacy of medicinal plants. (ii) make effort to fulfilled the herbal entrepeneur need’s with quickly and directional. Thus the problem herbal entrepeneur can be resolved. (iii) Futhermore the researcher expect the to increasing communication between the herbal entrepeneur and Health Office staff with trail hearing to realize communication both .
Keyword: Health Office, Herbal Medicine, Responsiveness
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dengan mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional Di Kecamatan Kroya. Penyusunan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan khusus kepada:
1. Prof.Dr.Ismi Dwi Astuti N,M.Si selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap beserta staff di dalamnya khususnya Bagian Farmami
3. Kepala Koperasi Aneka Sari Bapak Amir Fuad beserta staff di dalamnya.
4. Kepada Pengrajin Jamu di Kecamatan Kroya5. Kepada kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih sayang dan
kesabaran yang tiada habisnya dan tidak tergantikan untuk setiap dukungan dan doa restu yang tidak pernah putus.
6. Kepada Kakakku Supriyanto atas doa dan dukungannya7. Kepada Adikku Yoga Winursita dan Siwi Setyowati Pramudya
Ningrum atas do’a dan motivasinya.8. Kepada Fatkhurrohman yang senantiasa menemani dan memotivasi9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses
penyusunan skripsi ini.10.Teman-teman seperjuangan AN-07
Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kemampuan dalam skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Surakarta,
Penulis
Wiji Wijayanti D 0107022
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HalamanHALAMAN JUDUL........................................................................................ iHALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iiHALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iiiHALAMAN MOTTO ...................................................................................... ivHALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vABSTRAK ....................................................................................................... viABSTRACT ....................................................................................................... viiKATA PENGANTAR ..................................................................................... viiiDAFTAR ISI.................................................................................................... ixDAFTAR TABEL............................................................................................ xDAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiBAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah................................................................. 1B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6C. Tujuan ............................................................................................ 6D. Manfaat .......................................................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORIA. Paradigma Administrasi Negara
1. Good Governance ...................................................................... 13 2. Responsivitas.............................................................................. 16 3. Kesehatan Dalam Perspektif Undang-undang ........................... 33
B. Konsep Pemikiran .......................................................................... 35BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 39B. Tekhnik Pengumpulan Data........................................................ 44C. Tekhnik Analisis Data ................................................................ 48D. Matriks Penelitian....................................................................... 52
BAB IV. HASIL PENELITIANA. Deskripsi Lokasi Kabupaten Cilacap ............................................ 53B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Responsifitas Pembinaan Jamu Tradisional oleh Dinas Kesehatan782. Hambatan Responsivitas Dinas Kesehatan .............................. 1063. Matriks Responsivitas .................................................................... 118
BAB V PENUTUP1. Kesimpulan ........................................................................................ 1192. Saran .................................................................................................. 122
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 : Perbedaan New Public Management & New Public Servis ........ 12
Tabel 3.1 : Matriks Penelitian ....................................................................... 52
Tabel 4.1 : P4B menurut jenis kelamin periode tahun 2008 ......................... 57
Tabel 4.2 : Jumlah Perusahan Industri Dan Tenaga Kerja Menurut Kode
Industri Kabupaten Cilacap Tahun 2009 ................................... 59
Tabel 4.3 : Mata Pencaharian Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut
Lapangan Usaha Akhir Tahun 2009 ........................................... 63
Tabel 4.4 : Banyaknya Buruh Tani, Nelayan, Buruh Industri, Buruh Bangunan,
PNS, TNI/ POLRI Dan Pensiunan Menurut Desa Tahun 2009.......... 64
Tabel 4.5 : Data Pembagian Perajin Jamu Tradisional Koperasi Aneka Sari 77
Tabel 4.6 : Daftar Hadir Peserta BinTek CPOTB Bekerjasama Dengan BPOM
Semarang ............................................................................................. 83
Tabel 4.7 : Matriks Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam Pembinaan Jamu
Tradisional di Kecamatan Kroya Kab.Cilacap ........................... 118
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Three Dimention Of Responsiveness ...................................... 20
Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran ............................................................... 38
Gambar 3.3 : Komponen Dalam Analisis Data............................................ 48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Industri skala kecil atau home industry sangat mempengaruhi tingkat
perekonomian suatu negara dan memberikan konstribusi yang sangat besar
dalam mengurangi angka pengangguran yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dengan industri jamu tradisional atau
obat tradisional di Cilacap khususnya Cilacap Timur kecamatan Kroya yang
merupakan industri rumah tangga yang memproduksi jamu tradisional khas
daerah Cilacap. Menurut Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa industri ini
terbukti mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 6121 orang dari 254 perajin
jamu tradisional yang tersisa dari sekitar 1000 perajin pada tahun 1997-2000
pada waktu dulu sewaktu jamu ini dalam masa kejayaannya.
Industri jamu tradisonal ini telah memproduksi jutaan jamu tradisional
yang tersebar hampir diseluruh nusantara dan selama ini produksinya telah
membawa manfaat yang besar baik bagi konsumen maupun produsennya,
serta mengenalkan kabupaten Cilacap terhadap daaerah lain melalui produk
jamu yang khas dari daerah ini. Agar jamu tradisional ini mampu bertahan
dan terus berkembang dibutuhkan suatu usaha pembinaan. Selain pengelolaan
dan pemberdayaan, perlindungan terhadap eksistensi industri rumahan ini
kian menjadi penting untuk melindungi dari segelintir pihak dengan
kepentingan pribadinya yang dapat merugikan pihak lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Seiring dengan berkembangnya industri ini serta berkembangnya
pengetahuan dan harapan masyarakat pelaku industri jamu, akhirnya terjadi
upaya pencampuran jamu tradisional dengan obat kimia dengan harapan
mampu meningkatkan kualitas jamu tradisional. Upaya ini dilakukan dengan
bekal pengetahuan seadanya dari pelaku industri jamu dan tanpa adanya
arahan dari tenaga ahli farmasi serta pantauan atau arahan dari pihak yang
berwenang. Usaha pencampuran tersebut ternyata berdampak positif terhadap
jumlah produksi industri ini karena harganya yang murah dan khasiat yang
cepat terasa namun ternyata berpengaruh terbalik terhadap kelangsungan
industri di lingkungan masyarakat. Tidak adanya pantauan, resep atau
pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku industri jamu dalam indikasi
pencampuran obat kimia tertentu mendapat perhatian yang keras dari
pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas
Kesehatan setempat dan sektor kepolisian sebagai upaya yang di kategorikan
sebagai kriminalitas.
Berbagai pelaku industri yang terbukti mencampuri hasil produksinya
dengan menggunakan bahan kimia obat tertentu mendapat pencekalan dengan
memberhentikan kegiatan produksi atau menyita hasil produksinya di
pasaran. Berbagai pelaku industri menjadi gulung tikar dan tidak mampu lagi
berproduksi karena modal yang seadanya menjadi hilang akibat hasil operasi
pasar tersebut. Jumlah perajin yang merugi dapat terlihat dari sejumlah
perajin yang mendatakan diri di Koperasi dari yang semula berjumlah 1000
perajin pada tahun 1997-2000 sekarang hanya berjumlah ± 254 perajin yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masih aktif, belum lagi ditambah dengan mereka yang tidak mendatakan diri
di Koperasi karena keanggotaannya bersifat sukarela.
BPPOM menghimbau bahwa dengan adanya pencampuran jamu
tradisional dengan bahan obat kimia akan membahayakan kesehatan bahkan
nyawa bagi konsumen jamu ini. Namun berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan Kepala Koperasi Aneka Sari selama ini belum ada
konsumen yang mati karena mengonsumsi jamu tradisional Cilacap ataupun
komplain dari konsumen yang terkena penyakit dalam akibat meminum obat
tradisional atau jamu tradisional ini. Himbauan ini jelas mematikan image
jamu tradisional di mata para konsumennya. Selama ini juga belum ada kata
sepakat mengenai tolak ukur over dosis yang dihimbaukan oleh BPPOM
melalui Dinas Kesehatan atas produksi jamu Cilacap yang menggunakan
BKO (Bahan Obat Kimia).
Diungkapkan oleh Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa akibat dari
permasalahan ini berbagai ribuan karyawan menjadi menganggur, ratusan
salesman atau distributor menjadi kehilangan pekerjaan mereka, serta pemilik
industri kecil jamu tradisional tersebut tidak lagi mempunyai pendapatan atau
pemasukan akibat berhentinya usaha mereka. Masalah pelik ini telah terjadi
hampir sekitar 10 tahun lamanya namun hingga sampai sekarang belum ada
penyelesaian yang tepat yang mampu mewakili kepentingan berbagai pihak
yang terlibat di dalamnya.
Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap selaku badan yang berwenang
dalam fungsi kesehatan masyarakat diharapkan mampu untuk mengelola,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memberdayakan, dan melindungi kegiatan ekonomi yang bergerak dalam
bidang kesehatan khususnya industri jamu tradisional atau obat tradisional.
Sekarang ini industri jamu tradisional atau obat tradisional di Cilacap dalam
kondisi yang kritis dan memprihatinkan. Bahkan boleh dikatakan hampir
punah. Terlihat hanya tinggal segelintir perajin yang mampu bertahan yaitu
sejumlah ± 254 perajin dari jumlah sebelumnya yaitu 1000 perajin pada tahun
1997-2000. Dikatakan oleh Sekretaris Koperasi Aneka Sari bahwa
menurunnya jumlah perajin tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya adalah :
1). Pembunuhan karakter terhadap jamu tradisional Cilacap karena disinyalir
menggunakan BKO yang membahayakan kesehatan oleh beberapa
oknum tertentu bahwa jamu Cilacap berbahaya untuk dikonsumsi.
2). Plagiat dari daerah lain karena terbuktinya potensi industri rumah tangga
ini dalam menghasilkan rupiah yang besar. Apalagi didorong oleh
lemahnya eksistensi industri jamu ini di Cilacap.
3). Lemahnya koordinasi antar perajin jamu tradisional di kabupaten Cilacap
4). Preferensi oleh masyarakat sebagai akibat dari pembunuhan karakter
terhadap jamu ini melalui media massa
Dibutuhkan suatu sikap, tindakan dan ketegasan dari pemerintah
melalui Dinas Kesehatan khususnya akan fenomena yang terjadi terhadap
industri ini dan menjadikan hasil indutri ini tidak merugikan kesehatan
maupun keselamatan konsumennya seirama dengan pemberdayaan jenis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
usaha ini sehingga masyarakat kembali mendapatkan sumber pendapatan
mereka.
Sikap Dinas Kesehatan dalam permasalahan ini menjadi suatu
perhatian yang penting terkait sebagai lembaga yang membawahi masalah
kesehatan masyarakat dan mengingat tingginya potensi ekonomi dalam sektor
ini. Diharapkan kebijakan melalui program pembinaan yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan merupakan kebijakan yang tepat dan mampu menjawab
persoalan yang terjadi serta sesuai dengan kebutuhan dan harapan stakeholder
lainnya yaitu perajin jamu dan konsumen.
Sikap Dinas Kesehatan tersebut dengan memberikan tanggapan bahwa
para perajin jamu harus menstandarkan produksinya sesuai dengan ketentuan
CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Hal ini didukung
dengan kegiatan pembinaan yang dilakukan baik formal maupun informal.
Pembinaan yang telah berlangsung lama tersebut ternyata belum
memberikan hasil yang efektif. Hal ini terbukti karena masih adanya
pengusaha jamu yang menggunakan BKO. Dengan demikian dalam upaya
pencapaian tujuan tersebut yaitu produk jamu yang sesuai dengan CPOTB,
pembinaan harus dilakukan secara tepat yaitu pemberian layanan yang sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat sebagai penerima layanan dengan
tetap menerapkan prinsip adil dan bijaksana. Pemenuhan pelayanan yang
sesuai dengan aspirasi tersebut hendaknya juga tidak menganggu ketentraman
masyarakat lainnya yang berada diluar sasaran program pembinaan tersebut.
Sehingga pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan harus sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yaitu pembinaan yang responsif
terhadap perajin jamu. Responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan yang
diberikan kepada perajin jamu menjadi hal penting yang harus diamalkan
dalam upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik sebagai pemberi
layanan kepada masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan industri jamu
atau obat tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap?
2. Apa hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan dalam melakukan
pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional di Kecamatan Kroya
Kabupaten Cilacap?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dibagi dalam tiga tujuan, yaitu :
1. Tujuan Operasional
a. mengetahui responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan jamu
tradisional atau obat tradisional di Kecamatan Kroya Kabupaten
Cilacap.
b. mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi di dalam pembinaan
jamu tradisional atau obat tradisional.
c. sebagai bahan rekomendasi bagi pelaksanaan program pembinaan
dimasa yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Tujuan Fungsional
Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada Dinas Kesehatan dalam
melakukan pembinaan industri jamu tradisional atau obat tradisional
secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.
3. Tujuan Individu
Sebagai syarat bagi penulis untuk memenuhi gelar Sarjana pada Jurusan
Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain :
1. Sebagai informasi bagi pembuat kebijakan khususnya Dinas Kesehatan
mengenai program pembinaan dalam mengatasi masalah produksi jamu
yang dianggap membahayakan kesehatan karena adanya kandungan bahan
obat kimia berbahaya oleh sejumlah perajin industri jamu tradisional atau
obat tradisional.
2. Meningkatkan kegiatan ekonomi para pelaku industri jamu tradisional atau
obat tradisional dengan pemenuhan kebutuhan mereka dengan tepat dan
cepat.
3. Mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaannya agar dapat diselesaikan
bersama dan menjadi suatu bahan rekomendasi bagi program kebijakan di
masa yang akan datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Sektor industri jamu tradisional atau obat tradisional dapat terus
berkembang dan menopang perekonomian daerah Kabupaten Cilacap pada
umumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel
bebas tertentu dimasukan dalam penelitian karena berdasarkan teori tersebut
variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau
merupakan salah satu penyebab (Mustofa, 2009:142).
Seiring dengan berkembangnya kehidupan masyarakat melalui
meningkatnya kesejahteraan hidup mereka, pemerintah daerah dituntut untuk
menyelenggarakan pemerintah yang aspiratif terhadap suara rakyat, serta
melibatkan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai
konsekuensinya maka masyarakat harus ditempatkan secara aktif dalam kegiatan
penyelenggaraan pemerintah. Pelibatan masyarakat hanya akan terjadi jika mereka
diberi ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi. Penciptaan kesempatan itu
dengan meletakan masyarakat sebagai pihak yang ikut menentukan posisi dalam
pelayanan publik. Konsep peletakan masyarakat sebagai pihak yang juga ikut
memainkan posisi dalam pelayanan publik terkandung dalam paradigma New
Public Management. Dengan demikian maka perlu diterapkannya paradigma New
Public Manajement.
Konsep New public Manajement ini dipandang sebagai suatu konsep baru yang ingin menghilangkan monopoli pelayanan yang tidak efisien yang dilakukan oleh pejabat–pejabat pemerintah serta diupayakan agar para pemimpin birokrasi menemukan alternatif cara-cara pelayanan publik berdasarkan perspektif ekonomi (Thoha, 2008:75).
Penerapan konsep perspektif ekonomi tersebut memberikan impilikasi
adanya ketidakadilan pada pelayanan publik terhadap mereka yang lemah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ekonominya (kepemilikan sumber dana). Hal ini dalam konsep New Public
Management hanya mereka yang memiliki sumber daya ekonomi akan menerima
pelayanan prima. Semakin tingginya sumber ekonomi dari penerima pelayanan
diharapkan akan bergaris lurus dengan pelayanan yang akan diterima, hal ini
sesuai dengan prinsip yang dijalankan dalam dunia bisinis. Hal ini menciptakan
ketidakadilan pelayanan publik walaupun tujuannya adalah untuk meningkatkan
motivasi pemberian kualitas yang prima. Adanya kelemahan tersebut menciptakan
terjadinya pergeseran paradigma pada penyelenggaraan pemerintahan agar
tercipta keadilan pada semua lapisan masyarakat yaitu penerapan New Public
Service. Konsep New Public Service menerapkan masyarakat sebagai citizenship
(kewarganegaraan) yang demokratis yaitu individu bebas secara aktif untuk
terlibat dalam komunitas dan kehidupan politik (Thoha, 2008:85).
New Public Service memandang masyarakat sebagai pihak yang harus
dilayani secara adil tanpa membedakan kepemilikian sumber daya. Terdapat
pembatasan yang jelas antara hak dan kewajiban antara pemerintah dan
masyarakat. Dalam New Public Service menekankan adanya pelibatan secara
penuh masyarakat dalam proses pemerintahan. Memandang masyarakat bukan
lagi sebagai klien namun sebagai citizenship.
Citizenship yang democratic ialah adanya keterlibatan yang aktif dari warga Negara dalam proses pemerintahan. Warga Negara tidak hanya melihat dari perspketif individu dalam persoalan yang lebih besar, namun dia melihat semua persoalan dari perspketif yang lebih luas untuk kepentingan umum (concern to whole), merasa ikut memiliki, dan adaya moral bond dengan komunitasnya (Sandel, 1996 dalam Thoha, 2008:86).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penerapan masyarakat sebagai citizen yang demokratis dalam
perwujudannya dibutuhkan tata pemerintahan yang baik yang mampu
memfasilitasi, memenuhi dan mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan
masyarakat secara adil. Yaitu tanpa membedakan penerima layanan tersebut baik
kaya maupun miskin mendapatkan prioritas yang sama. Pelaksanaan prinsip good
governance (tata pemerintahan yang baik) menjadi keharusan yang tidak bisa
dielakan lagi. Merupakan suatu konsep yang menerapkan prinsip-prinsip suatu
pemerintahan yang baik yang sesuai dengan harapan masyarakat.
New Public Manajement and New Public Service konsep tersebut
memiliki pandangan pesrpektif yang berbeda. Keduanya memiliki tujuan yang
sama yaitu berupaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat
hanya saja caranya yang berbeda. New Public Service merupakan upaya
penyempurnaan atas kekurangan New Public Management agar lebih berorientasi
kepada masyarakat. Dengan demikian sehingga masyarakat akan lebih terlayani
dengan baik secara merata dan adil. Pelayanan yang baik akan bisa dirasakan oleh
masyarakat bukan hanya yang kuat baik secara ekonomi maupun pengaruhnya
dalam kehidupan sosial namun oleh semua lapisan masyarakat.
Denhart and Denhart (2002:28) mengkonsepkan perbedaan New Public
Management and New Public Service sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2.1Perbedaan New Public Management and New Public Service
Perspektif(1)
NPM(2)
NPS(3)
Dasar teoritikal dan epistemologi
Teori ekonomi, dasarpembahasan yang lebih menekankan pada ilmu sosial positif
Teori demokratis, pendekatan yang bervariasi untuk pengetahuan yang positif, interpretatif dan kritis
Rasionalitas & keterkaitan model perilaku manusia
Tekhnikal dan rasional ekonomi, “orang ekonom” atau kepentingan sendiri dalam pembuatan keputusan
Strategi atau rasionalitas formal, multi tes rasionalitas (politik, ekonomi, dan organisasi)
Pemahaman kepentingan publik
Kepentingan publik mewakili kumpulan kepentingan individual
Kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang pembagian nilai
Kepada siapa pelayanan publik yang responsif ditunjukan
Pelanggan Warga negara
Peran mekanisme pemerintah dalam mencapai kebijakan yang objektif
Mengendalikan ( menggerakan sebagai katalisator dalam melancarkan kekuatan pasar). Menciptakan mekansime & struktur insentif utk mencapai kebijakan yg objektif melalui agen prifat dan non- profit
Melayani (negosiasi dan penghubung kepentingan antara warganegara dan kelompok komunitas, menciptakan pembagian nilai). Membangun koalisi publik & lembaga privat utk menemukan kesepakatan satu sama lain atas suatu kebutuhan
Struktur organisasi yang diasumsikan
Organisasi desentralisasi publik dengan kontrol utama dalam suatu lembaga
Kolaborasi struktur dengan pembagian kepemimpinan internal & eksternal
Sumber: Buku karangan Janet Denhart dan Robert Denhart. The Public Service-Serving, not Steering (2002)
Perwujudan New Public Service membutuhkan suatu kondisi
pemerintahan yang baik dan bertangggung jawab terhadap kebutuhan dan
kepentingan masyarakat agar tercipta kesejahteraan bersama. Pemerintahan yang
baik merupaka pemerintahan yang menekankan konsep transparansi atau
keterbukaan, partisipasi, dasar hukum, responsivitas, orientasi pada konsensus,
keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas dan visi strategi (Fahmal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2006:62). Komponen-komponen tersebut merupakan komponen dalam arah
menuju pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik
merupakan kondisi berlangsungnya paradigma New Public Service yang
menempatkan masyarakat sebagai citizen yang ikut aktif dalam kegiatan
pemerintahan. Pemerintahan yang baik mencerminkan kesinergian antara
pemerintah, swasta dan masyarakat.
1. Good Governance
Pelaksanaan good governance merupakan konsekuensi terhadap
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akan pelayanan yang lebih
baik. Good governance merupakan suatu proses demokratisasi agar masyarakat
bisa ikut berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan pemerintah, agar
pemerintah mampu untuk menerapkan sikap terbuka terhadap masyarakatnya
dan pengamalan nilai-nilai lainnya yang terdapat pada nilai-nilai good
governance. Tata pemerintahan yang mampu menciptakan keharmonisan
hubungan antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Mengakomodasi
berbagai kepentingan di dalamnya dengan bijaksana dan responsif tehadap
kebutuhan dan kepentingan publik.
Perwujudan good governance salah satunya dilihat melalui kontribusi
masing-masing pihak atau stakeholder tersebut dalam proses pemerintahan.
Dalam hal ini sering kali terjadi perbedaan kepentingan pada masing-masing
stakeholder. Pemerintah dituntut untuk transparan dalam menjalankan jalannya
pemerintahan. Good governance diterapkan pada seluruh bidang kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
baik ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya yang dijalankan oleh
pemerintah.
Pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan dalam segala
kebijakan yang dilakukannya terkait dengan proses pemerintahan yang
dijalankannya. Sehingga tercipta adanya akuntabilitas. Akuntabilitas publik
menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk
pada pejabat politik yang dipilih oleh masyarakat (Dwiyanto, 2006:51).
Pemerintah harus mampu membagi peranan dari masing-masing stake
holder yaitu merupakan pihak-pihak yang terlibat baik pemberi dan penerima
layanan maupun pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya dengan secara
optimal dan adil sesuai dengan kontribusinya. Mengatur dan mengelola
masyarakat aktif dalam kegiatan pemerintahan sehingga ikut merasa memiliki
dan masyarakat yang partisipatif dalam permasalahan publik yang sedang
terjadi. Dengan demikian akan memberikan akses untuk menciptakan
komunikasi dua arah secara berkesinambungan antara pemerintah dan
masyarakat.
Tata pemerintahan yang baik membagi dan mengoptimalkan peran dari
masing-masing stakeholder diantaranya yaitu sektor swasta. Yaitu dengan
mengelola dan membina agar peran swasta ikut membantu dalam menjaga
perekonomian agar berjalan dengan baik yaitu dengan menciptakan kehidupan
yang stabil dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kegiatan ekonomi.
Oleh karena itu pemerintah perlu mengakomodasikan kepentingan sektor
swasta secara responsif agar usaha mereka dapat berkembang dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut Kesepakatan APKASI (Asosiasi Pemerintahan Kabupaten
Seluruh Indonesia) dan APEKSI (Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh
Indonesia) bahwa salah satu prinsip dalam mewujudkan tata pemerintahan
yang baik yaitu adanya daya tanggap (Fahmal, 2006:66). Kemampuan daya
tanggap tersebut mengandung makna kepekaan para penyelenggara pemerintah
dalam menangkap aspirasi atau kepentingan masyarakat. Daya tanggap
merupakan kemampuan pemerintah dalam menangkap hal-hal yang diharapkan
oleh masyarakat dengan mengidentifikasi kebutuhan dan mengakomodasikan
kepentingan masyarakat. Apabila pemerintah mampu mengenali dan
menangkap kebutuhan masyarakat maka dapat dikatakan penyelenggaraan
pemerintahan tersebut telah responsif (Tangkilisan, 2005:177).
Menurut UNDP dalam Tangkilisan (2005:115) bahwa salah satu
karakteristik good governence adalah responsiveness yaitu bahwa setiap
lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus
mencoba melayani setiap stakeholder. Mardiasmo (2002:18) dalam
Tangkilisan (2005:114) bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah
untuk menciptakan good governance. Oleh karena itu dalam perwujudan
pemerintahan yang baik sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 pemerintah perlu
menekankan responsiveness beserta prinsip lain yang mengikuti. Dengan
menerapkan responsivitas dalam proses penyelenggaranan kepentingan publik
maka akan dihasilkan pelayanan yang efektif dan optimal karena pelayaan
yang diberikan akan berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat selaku
penerima layanan tersebut dalam upaya melakukan pembangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kemampuan daya tanggap pemerintah terhadap kepentingan dan kebutuhan
masyarakat merupakan wujud responsivitas pemerintah kepada masyarakat
dalam mewujudkan pemerintahan yang baik. Dengan demikian responsivitas
perlu dan penting untuk diterapkan dalam pemerintahan agar pemerintah selalu
tanggap dalam kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya.
2. Responsivitas
Pelayanan publik yang responsif akan memainkan dampak yang
signifikan terhadap tujuan pelayanan publik itu sendiri. Hal ini karena
pelayanan yang diberikan berangkat dari kebutuhan dan harapan masyarakat
selaku penerima layanan sehingga yang diberikan merupakan representasi dari
harapan. Dengan demikian pelayanan publik yang sesuai dengan harapan
masyarakat menunjukan kinerja yang baik pada suatu pemerintahan yang tidak
akan terlepas dari konsep good governance. Upaya mewujudkan pelayanan
publik yang responsif dapat dilakukan melalui beberapa cara.
Tangkilisan (2005:222) mengemukakan bahwa responsivitas berkaitan
dengan kecepatan tanggapan yang dilakukan oleh aparatur atau petugas
terhadap kebutuhan penggunan jasa dalam hal ini masyarakat yang
membutuhkan pelayanan. Dengan demikian bahwa salah satu upaya melihat
responsivitas pelayanan publik dapat dilihat melalui kecepatan pemerintah
dalam memberikan tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat.
Responsivitas merupakan salah satu usaha mewujudkan pemerintahan
yang baik yang didambakan oleh masyarakat. Responsivitas menunjukan
kemampuan pemerintah dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program–program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat (Dwiyanto, 2006:177). Bukan hanya kemampuan dalam
menanggapi kebutuhan masyarakat tetapi merupakan upaya yang dilakukan
oleh pemerintah dalam mengembangkan program-program dalam upaya
memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Seringkali kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut saling
bertentangan satu sama lain serta isu publik tersebut seringkali merupakan
upaya yang sengaja diciptakan oleh sekelompok komunitas tertentu.
Kepentingan masyarakat yang saling bertentangan tersebut saling bersaing
dalam mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dalam keadaaan ini pemerintah
dituntut untuk peka dalam mengidentifikasi kepentingan yang harus
mendapatkan prioritas dengan menerapkan azas keterbukaan atau transparansi.
Tangkilisan (2005:177) bahwa responsivitas yang rendah ditunjukan
dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat.
Pemerintah yang responsif merupakan pemerintah yang bijaksana dalam
merespon masalah yang terjadi di tengah masyarakat untuk kemudian
mendapat intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Peran serta
masyarakat dalam intervensi terhadap permasalahan mereka merupakan hal
penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Dengan demikian
pemerintah mengenal dan memahami kebutuhkan mereka sehingga intervensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang dilakukan akan menjadi efektif dan efisien. Hal ini karena mengacu
kepada harapan serta aspirasi masyarakat secara langsung dan transparan.
Dalam mewujudkan responsivitas dibutuhkan sikap fleksibilitas
organisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang terus berubah seiring dengan
perubahan lingkungan. Begitupula terhadap perubahan yang terjadi di
lingkungan yang menciptakan kebutuhan yang semakin berubah, organisasi
dituntut untuk lebih responsif.
“The organization most sensitive to change in the environment have a strategic organizational capability that enable them to change easily and thus to continue to maintain acceptable result without incurring high reorganization cost. In this way, organizational responsiveness is based on the concept of fleksibility”. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility. volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 668)www.emeraldinsight.com/0953-4814.htm
Dalam jurnal internasional Measuring the organizational
responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009
oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras mengemukakan mengenai
konsep suatu manajemen fleksibilitas dalam mewujudkan organisasi yang
responsif, yaitu :
The coalignment of flexibility to required flexibility can be operatively defined by measuring the gap between what management percieves as necessary for meeting the enviromental demand of the sectors and what management actuallly percieves within its firms. This gap between actual and required flexibility show indirectly the organizational the responsifness when management percieves that the firm is not co-aligned with enviromental demand. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 671) www.emeraldinsight.com/0953-4814.htm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila suatu organisasi ingin
menyadari tingkat responsivitasnya terhadap penerima layanan salah satunya
dengan menyadari apabila organisasi tersebut sudah tidak lagi fleksibel. Sikap
tidak fleksibel tersebut terlihat pada gap yang terjadi yaitu kesenjangan antara
yang dipahami oleh organisasi sebagai kebutuhan dengan kebutuhan yang
sebenarnya yang terjadi di lapangan. Secara tidak langsung responsivitas
organisasi dapat ditunjukan dengan kepekaan organisasi dalam memahami, dan
memenuhi kebutuhan lingkungannya.
Dengan menganalisis gap ini kita dapat menentukan kekurangan dan
kelebihan yang dapat digunakan untuk menilai perubahan yang dibutuhkan
dalam organisasi dan arah manajemen yang diperlukan atau yang seharusnya
dilakukan. Dengan demikian untuk mewujudkan responsivitas Dinas
Kesehatan yaitu dengan menganalisis kesenjangan yang terjadi antara yang
telah diberikan oleh Dinas Kesehatan sebagai bentuk pemberian layanan
kepada perajin jamu dan layanan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh perajin
jamu tersebut.
Dalam jurnal tersebut juga dikemukakan bahwa pelurusan kembali
antara lingkungan dan organisasi harus dianalisis menggunakan suatu konsep
yang tepat berdasarkan literatur. Ketepatan tersebut dapat dipahami dengan
baik dalam konsistensi internal antara suatu set-variabel yang fundamental.
Responsivitas organisasi ditunjukan dengan adanya fleksibilitas organisasi
dengan adanya kesadaran untuk menyesuaikan yang diberikan oleh organisasi
terhadap kebutuhkan dalam lingkungannya dalam suatu sektor dan tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang diberikan untuk mengatasinya. Volberda dalam jurnal tersebut juga
mengemukakan bahwa:
Volberda (1996) combines more/less variety of capabilities and fast/slow response to distinguish four types of flexibility: steady-state, operational, structural and strategic. Drawing on the literature to date, we will now define the different types of managerial flexibility1. Strategic flexibility2. Structural flexibility3. Operational flexibility4. Internal and external scopes(Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 670) www.emeraldinsight.com/0953-4814.html
Volberda (1996) dalam jurnal tersebut juga mengemukakan bahwa
kombinasi banyak sedikitnya berbagai kemampuan dan cepat lambatnya
respon, untuk membedakannya terdapat 4 tipe fleksibilitas yaitu : keadaaan
yang kondusif, operasional, struktur dan strategi. Penggambaran literatur
tersebut dapat ditetapkan pada perbedaan tipe fleksibilitas manajemen, yaitu
1. Fleksibilitas strategi, berkaitan dengan kemampuan dalam menyesuaikan
perubahan dalam lingkungan
2. Fleksibilitas struktur, berkaitan dengan kegiatan manajerial termasuk di
dalamnya manajemen SDM, dan beberapa kegiatan manajerial yang dapat
mempengaruhi fleksibilitas struktur seperti sistem kewenangan, job
design, training, kerja tim, partisipasi, rekruitmen, dan sistem kompensasi
3. Fleksibilitas operasional, dibutuhkan ketika perubahan dalam lingkungan
tidak melibatkan suatu perubahan dalam hubungan antara
perusahaan/organisasi dengan lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Lingkup internal dan eksternal. Lingkup internal merupakan kemampuan
organisasi menyesuaikan dengan lingkungannya sedangkan lingkup
eksternal merupakan kemampuan organisasi mempengaruhi lingkungan
demikian juga untuk mengembalikan kerentanannya.
Dengan demikian cepat/lambatnya suatu respon organisasi salah
satunya dipengaruhi oleh fleksibilitas organisasi melalui manajemennya yang
dapat dibedakan kedalam empat hal tersebut diatas. Dalam mengukur
responsivitas tidak semua kepentingan masyarakat tersebut harus mendapat
perhatian dari pemerintah. Pemerintah harus peka karena banyak diantara
masalah yang mengemuka ke publik merupakan masalah yang sengaja
diciptakan demi kepentingan salah satu pihak tertentu yang menyebabkan
kerugian lebih banyak pada pihak lainnya. Dari hasil penelitian dalam jurnal
tersebut diungkapkan mengenai cara melihat responsifitas organisasi bahwa:
“Practising should test the level or organization responsiveness in their companies and take decisions according to what is needed, considering the different dimention fleksibility. These decisions may involve proposing and evaluating alternative or taking into account to speed of activating/deactivating each option and its cost of entry/exit. A measurement scale for organizational responsiveness allows managers to integrate contextual and internal variable in the same variable while simulataneosly taking into the range, cost and speed dimensions of fleksibility”. (Journal Internasional: Measuring the organizational responsiveness trough managerial fleksibility volume 22 issue 6 tahun 2009 oleh Antonio J Verdu & Jose Maria Gomez-Gras page 683) www.emeraldinsight.com/0953-4814.html
Santosa (2008:131) bahwa responsivitas merupakan kemampuan
lembaga publik dalam merespon kebutuhan masyarakat terutama yang
berkaitan dengan basic needs (kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya). Dengan demikian pelayanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
publik harus mengutamakan kebutuhan dasar manusia dan HAM. Hal ini
karena eksistensi manusia bergantung dengan kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan hakikinya yaitu HAM.
Dalam mewujudkan responsivitas tidak terlepas dari fleksibilitas
yang diberikan oleh pemberi layanan dalam memenuhi kebutuhan pihak yang
dilayani. Begitupula dalam proses atau rantai dalam memenuhi kebutuhan
tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan penerima layanan atau
masyarakat. Berikut merupakan kutipan dalam jurnal internasional bahwa
responsivitas dalam proses penyampaian suatu pelayanan membutuhkan
kesatuan hubungan antara adanya karaktersitik produk yang inovatif dan
memiliki fungsi sesuai yang diharapkan; dan lingkar kebutuhan hidup:
“Responsiveness in the wider supply chain context has been discussed by Fisher (1997), who argue that product characteristic (innovatif or functional) and life cycle need to be linked to the layout and function (conversion and market mediation) of the supply chain”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 605) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html
Bahwa responsivitas dalam konteks rantai atau proses penyampaian
produk (program) yang telah didiskusikan oleh Fisher (1997) bahwa
karakteristik produk dan lingkar kehidupan perlu untuk dihubungkan dalam
gambaran dan fungsi dari rantai atau proses penyampaian layanan tersebut.
Dengan demikian karakteristik program yang akan diberikan perlu
dihubungkan dengan sesuai kebutuhan atau kondisi kehidupan yang sedang
terjadi dalam proses penyampaian program layanan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“........a consensus that different organisations will need different types of fleksibility in order to be responsive to market needs”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 608) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html
Dengan demikian dalam menciptakan fleksibilitas organisasi sebagai
upaya mewujudkan organisasi yang responsif membutuhkan tipe flekibilitas
yag berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhan pasar dalam hal ini yaitu
kondisi masyarakat. Berikut merupakan kerangka dimensi responsivitas dalam
proses rantai penyampaian produk (layanan) dalam jurnal internasional “The
Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Matthias Holweg dalam Journal
Internsional of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun
2005 page 618 :
Gambar 2.1
(Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 page 618) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“........These commonalities can be grouped into three “dimensions” of responsiveness. These dimensions follow the systems approach of considering a manufacturing system’s inputs (in terms of customer demand), transformation processes (in terms of manufacturing and logistics, as well product customisation), its outputs (in terms of order fulfilment), and its environment (in terms of generic industry variables such as the typical product life cycle, seasonality of demand, etc.)”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 hal 605) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html
Bahwa dapat dikelompokan tiga dimensi responsivitas dalam
penyampaian pelayanan. Dimensi-dimensi ini mengikuti pendekatan sistem
dalam mempertimbangkan suatu sistem input manufacturing (dalam hal
permintaan pelanggan), proses transformasi (dalam hal pemenuhan kebutuhan)
dan lingkungan itu sendiri (dalam hal variabel industri umum seperti siklus
kebutuhan hidup yang khusus, kondisi dari kebutuhan dan lain sebagainya).
Konsep tersebut merupakan konsep yang lebih mendekati dengan dunia bisnis
namun karena sesuai dengan perkembangan paradigma administrasi negara
sekarang ini maka perlu adanya pengadopsian nilai-nilai swasta yang sekiranya
dibutuhkan dalam perkembangan kehidupan manusia. Ackoff dalam jurnal ini
mengemukakan bahwa :
Ackoff (1971) for example defines a “response” as:
“. . . a system event for which another event that occurs to the same system or to its environment is necessary but not sufficient; that is, a system event produced by another system or environmental effect (the stimulus). Thus a response is an event of which the system itself is the co-producer”. (Journal Internasional “The Three Dimensions Of Responsiveness” oleh Mattyhias Holweg dalam Journal Internsional Of Operation & Production Management volume 25 issue 7 tahun 2005 halaman 604) www.emeraldinsight.com/0144-3577.html
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam jurnal tersebut juga dijabarkan bahwa dengan memperhatikan
kepada penerapan manajemennya dalam tugas yang responsif, masukan ini
diberikan melalui permintaan pelanggan. Dengan adanya perintah analisis
masukan dan keluaran digunakan untuk menganalisis proses (rantai
responsivitas). Salah satunya adalah dengan permulaan suatu pemenuhan
masukan yang spesifik ke dalam sistem dan mengukur keluar dengan waktu
yang dibutuhkan. Sistem memproduksi dengan waktu yang responsif dengan
keinginan pelanggan dalam menunggunya.
Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa beberapa perdebatan yang relevan
dapat diidentifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
kontribusi untuk diskusi masalah responsivitas dalam rantai permintaan. Pada
kesempatan yang lain lemahnya definisi lebih dahulu oleh Matson kekurangan
dalam bukti empirik dalam meruntuhkan klaim time–based, dengan daya saing
yang jelas mendemontrasikan kebutuhan yang komprehensif dan pemersatu
konsep model responsif. Rantai penyediaan yang responsif seperti dalam
gambar diatas terdiri dari :
1. Dimensi produk
2. Dimensi proses
3. Dan dimensi volum
Dimensi produk tersebut merupakan dimensi yang berkaitan sebagai
faktor kunci seperti poin dari produk yang dibiasakan (biasa dikonsumsi) yaitu
terkait dengan bentuk produk, memastikan itu bersifat modular (menyatu) atau
integral (terpisah) termasuk di dalamnya berbagai produk internal dan eksternal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adalah kunci determinan sebagai rantai permintaan seperti pada keseluruhan
rantai dalam suatu kehidupan yang diterapkan dalam suatu produksi.
Dimensi proses, merupakan dimensi yang mencakup pengatur waktu
produksi yang tidak hanya kegiatan proses manufaktur, tapi juga kemampuan
merespon dari operasi penyediaan dan logistik merupakan hal yang tidak kalah
penting. Dengan demikian pengaturan rantai penyediaan dalam jangka
menyediakan dan poin produk yang biasa diinginkan oleh pelanggan adalah
hal yang krusial. Dalam hal ini yaitu kemampuan organisasi dalam proses
pemberian layanan dimulai dari pembentukan program atau pengembangan
program layanan sampai dengan penghantarannya kepada masyarakat
pengguna atau sasaran program.
Sedangkan dimensi volum termasuk faktor permintaan alami dan
variabilitas, harapan pelanggan dalam jangka waktu pemesanan sampai pada
penyampaiannya dengan waktu yang dibutuhkan dan dengan produk yang
beragam, seperti pada faktor distribusi dalam distribusi permintaan di luar jarak
dari spesifikasi yang ditawarkan (kualitas melebihi dari yang diharapkan).
Responsivitas menunjukan kinerja pelayanan suatu organsasi. Menurut GDS 2002, melihat responsivitas pelayanan publik dari banyaknya keluhan masyarakat terhadap pelayanan dan tindakan pemerintah dalam menanggapi keluhan tersebut, dan kepedulian pemerintah terhadap masalah kesehatan, pendidikan, maupun UKM, ketiga bidang tersebut dijadikan indikator responsifkarena ketiga jenis pelayanan tersebut amat diperlukan oleh masyarakat banyak dan menjadi kebutuhan strategis dari masyarakat luas (Dwiyanto, 2003 : 88).
Dari beberapa definisi responsivitas dan unsur unsur yang terkait maka
peneliti memutuskan beberapa indikator yang akan digunakan dalam mengukur
responsivitas Dinas Kesehatan terhadap pembinaan perajin atau pengusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
obat tradisional disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi. Indikator-
indikator tersebut antara lain adalah:
1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional
2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau
perajin OT
3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan
Selain itu terdapat beberapa hal yang ikut mempengaruhi responsivitas
dalam suatu pelayanan publik. Penerapan responsivitas membutuhkan
partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan melalui keterbukaan atau
transparansi serta komunikasi yang baik antar pemerintah dan masyarakat.
Komunikasi dibutuhkan agar terjamin kesesuaian harapan antara pemerintah
dalam masyarakat sehingga apabila terjadi kesalahpahaman dapat terselesaikan
dengan baik. Namun sebaliknya apabila tidak ada keselarasan komunikasi
diantara keduanya harapan masing-masing pihak akan susah teridentifikasi
dengan baik dan tepat.
Rendahnya responsivitas penyelenggaraan pelayanan publik mengindikasikan aparat birokrasi memiliki keengganan memberikan pelayanan publik dengan baik yang disebabkan karena belum adanya komunikasi yang interaktif antara aparat birorasi dengan para pengguna jasa. Yaitu belum adanya komunikasi yang eksternal secara nyata oleh birokrasi (Dwiyanto, 2006:68).
Komunikasi eksternal merupakan komunikasi dengan pihak luar
organisasi khususnya yaitu masyarakat. Komunikasi tersebut terlihat masih
banyaknya gap pelayanan yang terjadi. Yaitu belum ditemukannya kesamaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
persepsi antara pengguna jasa dan pemberi layanan ataupun arus infomasi yang
mengalir di dalamnya belum sesuai dengan kebutuhan. Komunikasi yang baik
ditunjang dengan adanya manajemen informasi yang baik sehingga informasi
yang ada dapat dikomunikasikan dengan efektif dan efisien.
Manajemen informasi tersebut dapat ditinjau dari segi internal
maupun eksternal. Segi internal terlihat melalui manajemen informasi yang
dilakukan oleh suatu organisasi atau instansi untuk menunjang jalannya
ketercapaian tujuan organisasi serta dalam menangani suatu masalah atau
program tertentu dalam diri organsasi.
Dengan beredarnya informasi dari unit ke unit lain maka terjadilah arus informasi atau hubungan informasi antar unit. Hubungan tersebut merupakan hubungan antar sub-sistem dalam suatu kaitan kerja sama suatu sistem. Dengan demikian disebut Sistem Informasi. Karena sistem informasi tersebut dikerjakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen agar tujuan dapat tercapai dengan efisien dan efektif, maka disebut Management Sistem Informasi (Amsyah, 2001:03).
Agar suatu program atau fungsi dalam suatu organisasi dalam
berjalan dengan baik dibutuhkan suatu sistem informasi yang mampu
mendukung jalannya pekerjaan tersebut. Yaitu informasi yang mengalir secara
sempurna dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Sistem informasi
tersebut merupakan suatu rangkaian informasi yang tersusun sedemikian rupa
sehingga di dalamnya terdapat hubungan saling ketergantungan satu sama lain
dengan tujuan untuk mewakili berbagai unsur di dalamnya untuk memudahkan
organisasi dalam mencapai tujuannya.
Manajemen informasi eksternal dilihat dari manajemen sistem informasi
dari suatu organisasi diolah dengan cara sedemikian rupa sehingga organsasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mampu menyajikan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh publik
dengan kecapaian kepentingan bersama. Selain itu komunikasi eksternal juga
ditunjukan melalui kemampuannya dalam menjalin komunikasi yang interaktif
dengan penerima layanan. Pengelolaan informasi menjadi sedemikian penting
dalam menunjang kinerja suatu organisasi agar lebih memahami keadaan dan
kebutuhan masyaarakat sehingga tercipta komunikasi yang lancar antara
pemerintah dan masyarakat.
Selain komunikasi hal-hal lain yang ikut berpengaruh terhadap
responsivitas suatu layanan publik adalah sumber daya manusia baik secara
kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia tersebut meliputi pihak
pemberi layanan maupun penerima layanan. Hal lainnya adalah sumber-
sumber daya lain meliputi kesediaan fasilitas sarana dan prasarana pendukung
pelayanan publik maupun kesediaan alokasi dana yang sesuai dengan
kebutuhan.
Sumber daya manusia merupakan kunci penentu dalam suatu isu
ataupun masalah publik. Hal ini karena manusia merupakan pelaku sekaligus
sasaran dalam suatu isu publik. Begitupula dalam suatu pelayanan publik.
Sebaik apapun konsep layanan publik dibuat dengan sempurna namun jika
pelaksana tidak melaksanakannya dengan baik maka tidak akan sesuai dengan
harapan. Hal ini juga berbanding lurus dengan pihak penerima layanan, apabila
manusia itu sendiri sebagai penerima layanan tidak menyadari atau tidak
adanya kemauan dalam menjalankan atau menerima layanan publik tersebut
maka tidak akan efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Agar dalam suatu organisasi publik dapat berperan secara maksimal
dalam menjalankan fungsinya, yaitu memberikan layanan publik sesuai dengan
prinsip good governance maka sumber daya manusia yang ada di dalamnya
harus sesuai dengan kebutuhan dalam penyediaan pelayanan publik.
Kesesuaian tersebut meliputi kualitas maupun kuantitasnya. Berkualitas apabila
kuantitasnya tidak sesuai atau seimbang dengan fungsi yang harus dijalankan
maka fungsi tersebut tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien, begitupula
sebaliknya. Sedarmayanti (2010:322) organisasi birokrasi publik dapat
dibentuk dengan membagi habis fungsi pemerintahan sehingga tercipta struktur
organisasi yang layak dan sesuai dengan dasar pemikiran dan fungsi
pemerintahan.
Dengan demikian bahwa agar organisasi publik berjalan dengan baik
dan mampu memenuhi tuntutan fungsi organisasi itu sendiri harus diimbangi
dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan yang berarti tidak kurang dan
tidak berlebih. Begitupula dengan kualitas sumber daya manusia itu sendiri
harus sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hessel (2005:188) bahwa aparatur
yang berkualitas memiliki beberapa aspek yang perlu dibina yaitu inisiatif,
kreativitas, percaya diri sendiri, dinamika, fleksibel, loyalitas, kemampuan
berkomunikasi, semangat untuk bekerja kelompok dll.
Kualitas manusia dapat dilihat dari kemampuannya dalam menyikapi
dan mengerjakan sesuatu atau menghadapi suatu masalah. Robbins & Judge
(2008:57) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan adalah
seseorang yang mampu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang diberikan padanya. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual
dibutuhkan oleh seseorang dalam menjalankan berbagai tugas yang berkaitan
dengan aktivitas yang berkaitan dengan nalar dan pola pikir yang biasanya
diperoleh melalui proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Sedangkan
kemampuan fisik berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan
aktivitas otot yang membutuhkan stamina tubuh yang prima.
Hal berikutnya adalah sumber-sumber daya lain diantaranya adalah
kesediaan fasilitas sarana dan prasarana yang menunjang jalannya pelayanan
publik serta adanya alokasi dana yang sesuai dengan kebutuhan. Sumber daya
manusia yang siap baik secara kualitatif maupun kuantitatif apabila tidak
didukung dengan sumber-sumber daya lainnya seperti fasilitas sarana dan
alokasi dana yang cukup maka program atau layanan tersebut akan menjadi
susah terealisasikan.
Ekowati (2009:80) mengemukakan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat melalui pelayanan publik organsasi tidak bisa lepas dari kebutuhan akan financial yang cukup dimana mampu memenuhi kebutuhan pelaksanaan program pelayanan publik. Alokasi sumber daya finansial yang memadai juga dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan fasilitas yang dibutuhkan terkait dengan pelaksanaan program sehingga masyarakat pengguna dapat menikmati fasilitas sesuai kebutuhan pelaksanaan suatu program.
Kebebasan daerah dalam konsep otonomi daerah ditujukan agar
daerah mampu melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan lebih responsif. Seringkali pelaksanaan otonomi daerah dalam hal
manajemen pemerintah daerah cenderung menjadi salah kelola.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Adanya pelaksanaan otonomi daerah diharapkan pemerintah daerah
menjadi lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat bisa
terlayani dengan baik. Dalam kenyataannya seringkali dijumpai adanya
pelayanan dari pemerintah daerah yang justru menyulitkan kepentingan
masyarakatnya. Menurut Sutari Sukawi dalam Romli (2007:139) masalah
tersebut seringkali ditemui dalam aparat pemerintah daerah salah satunya
adalah karena lemahnya sanksi yang tegas sehingga cenderung tidak ada
control yang baik dalam kinerja mereka.
Lemahnya displin dan buruknya mental aparatur dalam menjalankan
tugasnya merupakan akibat adanya sanksi yang tidak tegas yang bisa
menjadikan mereka bekerja dengan lebih professional yang berorientasi efektif
dan efisien dalam memberikan pelayanan yang responsif terhadap masyarakat.
Kesan budaya patrimonial pada birokrasi kita harus diubah secara tegas.
Menekankan bahwa birokrat bukan pihak yang dilayani tapi justru mereka
yang harus melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat dengan baik.
Osborne dalam Romli (2007:140) berpendapat bahwa “Pemerintah
yang demokratis lahir untuk melayani warganya, tugas pemerintah adalah
untuk mencari cara menyenangkan warganya”. Dengan demikian bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang mengenal dengan baik
kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya serta menempatkan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat diatas kebutuhan pribadi mereka. Menuntut birokrat
agar agresif dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga
tercipta rasa puas atas pelayanan tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kompetensi birokrasi yang dituntut oleh good governance adalah kemampuannya untuk menjembatani antara negara dan masyarakat madani, yaitu birokrasi harus mampu memberikan pelayanan publik dengan adil dan inklusif dengan sebaik–baiknya dan hal ini menuntut kemampuan untuk memahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, merumusakannya dalam kebijakan mengimpelementasikannya (Khan dan Meimer dalam Tangkilisan, 2005:187).
Dalam penelitian ini peneliti akan melihat dan menyimpulkan
kemampuan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dalam memenuhi kebutuhan
dan aspirasi masyarakat khususnya mengenai industri jamu tradisional atau
obat tradisional dari sisi kesehatan masyarakat dan menyelesaikan masalah
yang tengah terjadi agar menjadi produksi yang layak konsumsi sesuai dengan
fungsi dari Dinas ini.
3. Kesehatan Dalam Perspketif UU
Kesehatan merupakan aspek kehidupan yang begitu penting dan
menetukan aspek kehidupan yang lainnya. Tanpa kesehatan manusia tidak
mampu menjalankan aktivitas hidupnya dengan baik. Dengan kesehatan
manusia mampu melakukan produktivitasnya dengan baik sehingga mampu
berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terdapat hubungan yang
positif antara kesehatan dan produktivitas kerja (Todaro & Smith, 2004:413).
Dalam sistem kesehatan masyarakat, terdapat 5 (lima) karakteristik utama,
yakni adanya peran pemerintah; masyarakat sebagai fokus program kesehatan;
hubungan antara pemerintah dan masyarakat; pelayanan, dan kewenangan
pemerintah (Dwiyanto, 2009:357). Dengan demikian dalam upaya kesehatan
dibutuhkan sinergitas dan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mewujudkan kesehatan masyarakat secara adil dan merata dalam berbagai
bentuk pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu kesehatan harus diupayakan pada seluruh masyarakat
secara adil dan merata. Kesehatan menunjukan martabat bangsa. Upaya
kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui cara
tradisional sesuai dengan Pasal 48 ayat 1 (b) : penyelengaraan upaya kesehatan
melalui kegiatan pelayanan kesehatan tradisional (UU Kesehatan, 2009:189).
Khususnya di Indonesia sebagai negara agraris yang kaya akan jenis flora
yang bermanfaat bagi kesehatan manusia yang merupakan kekayaan tersendiri
yang tidak semua negara lain memilikinya.
Upaya kesehatan tradisional dalam dilakukan dengan dua jenis kegiatan.
Tertuang pada pasal Pasal 59 tentang pelayanan kesehatan tradisional ayat 1
(a): pelayanan kesehatan menggunakan ketrampilan (b) : pelayanan kesehatan
yang menggunakan ramuan (UU Kesehatan, 2009:193). Akan menjadi lebih
baik apabila dua jenis pelayanan kesehatan tradisional tersebut secara
maksimal dan secara berkesinambungan. Ramuan yang berkhasiat dipadukan
dengan tekhnik ketrampilan meramu dengan baik dan professional.
Dalam prosesnya agar masyarakat memiliki kemampuan untuk
menghasilkan atau produktif maka masyarakat harus dilibatkan dalam
pengolahan sumber daya yang dimiliki salah satunya kekayaan alam hayati
seperti banyaknya jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk kesehatan. Dalam UU
kesehatan Pasal 99 ayat 2 : masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat
dipertanggungjawabkan (UU Kesehatan, 2009:205). Pertanggungjawaban
tersebut yaitu tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain termasuk pada
konsumen hasil produksi tersebut.
Agar produksi jamu atau obat tradisional sesuai dengan standar kesehatan
maka produksinya harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh
Lembaga Balai Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.4.1380 yaitu tentang
CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Dalam CPOTB
tersebut mengandung materi bahan produksi, standar gedung yang digunakan,
tekhnisi, izin produksi dan edar. Dengan demikian suatu produksi jamu atau
obat tradisional hanya boleh diproduksi dan diedarkan apabila telah sesuai
dengan CPOTB melalui izin yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang
terkait di daerah khususnya Dinas Kesehatan dalam lingkup kabupaten atau
kota. Begitu pula mengenai izin industri OT dan pendaftaran OT yang
dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Nomor : 246/Menkes/Per/V/1990.
4. Konsep Pemikiran
Alur pemikiran dalam penelitian ini dapat terlihat dalam kerangka
pemikiran mengenai penelitian tentang Responsivitas Dinas Kesehatan Dalam
Pembinaan Jamu Tradisional atau Obat Tradisional.
Seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi mulai dikenal oleh
masyarakat luas serta mendapat tempat dihati masyarakat maka industri jamu
tradisional atau obat tradisional juga tidak ketinggalan atas adanya
perkembangan tekhnologi tersebut. Perkembangan tekhnologi tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menciptakan sejumlah perajin berussaha meningkatkan kualitas jamunya. Hal
ini dibuktikan dengan adanya perajin yang berusaha mencampuri jamu
produksinya dengan BKO ( Bahan Kimia Obat) namun ada juga yang tetap
konsisten dengan ramuan herbal. Adanya sejumlah perajin jamu atau obat
tradisional yang menggunakan BKO menyebabkan adanya pemberhentian
produksi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Penggunaan BKO
tanpa pengawasan tenaga ahli disinyalir bisa membahayakan kesehatan
konsumennya.
Adanya gap antara perajin jamu atau obat tradisional yang menggunakan
BKO dan yang tetap konsisten menggunakan ramuan tradisional sehingga
menciptakan adanya upaya dari Dinas dengan memberikan pembinaan agar
produksi jamu tradisional atau obat tradisional aman bagi kesehatan sehingga
tidak membahayakan para konsumennya dan bisa diterima kembali oleh
masyarakat luas.
Dalam usaha menyelesaikan permasalahan yang tengah terjadi yaitu agar
perajin bisa memproduksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman
bagi konsumennya maka pembinaan tersebut harus merupakan pilihan program
yang tepat dan mampu memenuhi kebutuhan perajin jamu atau obat tradisional
yaitu pembinaan yang responsif terhadap terhadap perajin jamu atau obat
tradisional. Diharapkan apabila program pengembangan ini telah sesuai dengan
permasalahan yang tengah terjadi maka program tersebut mampu menciptakan
keseluruhan produksi jamu tradisional atau obat tradisional yang aman bagi
kesehatan. Apabila pembinaan ini berhasil maka akan tercipta produksi jamu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang lebih baik lagi yaitu lebih berkualitas sehingga mampu meningkatkan
kualitas jualnya di pasaran tanpa harus membahayakan kesehatan bagi para
konsumennya sehingga mereka perajin yang menggunakan BKO menjadi
kembali memproduksi jamu atau obat tradisional yang aman bagi kesehatan
atau layak konsumsi dan tidak lagi harus berurusan dengan pihak BPOM.
Pemberian layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakatnya maka akan menunjukan kemampuan suatu organisasi
pemerintah yang baik yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik pula
yaitu pelaksanaan good governance dalam tugas dan fungsinya. Secara tidak
langsung apabila suatu organisasi publik mampu menjalankan fungsinya
dengan baik salah satunya yaitu pelayanan yang responsif terhadap masyarakat
maka organisasi tersebut telah menerapkan nilai-nilai good governance.
Fokus dalam penelitian ini adalah melihat kesesuaian atau responsivitas
Dinas Kesehatan dalam memberikan pembinaan dengan yang diharapkan
perajin jamu atau obat tradisional. Melihat kesesuaian pembinaan yang
dilakukan dengan permasalahan masyarakat perajin jamu atau obat tradisional.
Responsivitas tersebut diukur melalui beberapa indikator, diantaranya adalah:
1. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan jamu atau obat tradisional
2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan masyarakat peracik atau
perajin OT
3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Responsivitas1. kemampuan menanggapi
permasalahan2. kemampuan dalam mengenal dan
memahami kebutuhan3. kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan4. kecepatan dalam memenuhi
kebutuhan
IPTEK
Jamu atau OT
BKO Tanpa BKO
Pembinaan DinKes
CPOTB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai responsivitas Dinas
Kesehatan Kabupaten Cilacap dalam pembinaan pada industri jamu tradisional
di Cilacap khususnya Kecamatan Kroya.
1. Lokasi Penelitian & Jenis Penelitian
Lokasi penelitian diadakan di Kabupaten Cilacap. Pemilihan lokasi ini
didasarkan pada pertimbangan :
a. Kritisnya indutri jamu tradisional di Cilacap yang berkurangnya perajin
usaha jamu dari jumlah sebelumnya sekitar ± 1000 pada tahun 1997-2000
perajin kini hanya sekitar ± 254 perajin jamu tradisional karena adanya
indikasi produksi jamu yang menggunakan BKO (Bahan Kimia Obat)
sehingga menyebabkan adanya pemberhentian produksi oleh BPOM dan
Dinas Kesehatan selaku lembaga di daerah.
b. Harapan meningkatkan perekonomian masyarakat dalam sektor mikro
khususnya masyarakat Kroya dimana kebanyakan masyarakat Kroya
menggantungkan hidupnya pada sektor usaha jamu tradisional atau obat
tradisional.
c. Adanya izin dari pihak-pihak yang terkait untuk melakukan penelitian deii
Kabupaten Cilacap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang berusaha mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena yaitu
tentang masalah responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan
terhadap perajin jamu tradisional atau obat tradisional. Penelitian deskriptif
pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian ini
berusaha untuk mendeskripsikan mengenai responsivitas Dinas Kesehatan
dalam melakukan pembinaan jamu tradisional atau obat tradisional kepada para
perajin jamu atau obat tradisional yang berada di kecamatan Kroya pada
khususnya.
Tujuan dari jenis penelitian ini adalah agar mampu menghasilkan suatu
informasi kualitatif yang representatif dan mampu melakukan deskripsi yang
lebih akurat yaitu dengan menggunakan triangulasi data maupun sumber.
3. Desain Penelitian
Penelitian responsivitas berfungsi untuk melihat tingkat kemampuan
dalam menanggapi suatu persoalan/fenomena yang tengah terjadi. Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendeskripsikan mengenai responsivitas
Dinas Kesehatan yang dirasakan oleh perajin jamu atau obat tradisional dalam
melakukan pembinaan dalam usaha menciptakan jamu tradisional layak
konsumsi. Sesuai dengan jenis penelitian ini yaitu deskriptif maka
responsivitas tersebut akan menjelaskan kemampuan Dinas Kesehatan dalam
menanggapi persoalan/fenomena yang tengah terjadi sesuai dengan indikator
yang diuraikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Batasan Penelitian
Pada penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu untuk menganalisis
mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan jamu
tradisional dan untuk menganalisis kendala/hambatan dalam melakukan
pembinaan jamu tradisional yang responsif. Penelitian ini dibatasi hanya pada
unit analisis yang telah ditentukan yaitu perajin jamu tradisional khususnya di
kecamatan Kroya.
Dalam menjawab formulasi masalah pertama dan kedua dilakukan melalui
wawancara kepada sejumlah perajin mengenai sejumlah informasi yang
dibutuhkan dalam menunjang kebutuhan penelitian. Informasi akan terus
dikumpulkan pada tingkat informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sampai
pada tingkat jenuh dan mencukupi semua kebutuhan infomasi.
5. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah perajin jamu tradisional
khususnya di kecamatan Kroya. Analisis dilakukan untuk mengetahui
responsivitas Dinas Kesehatan dalam melakukan pembinaan yang diberikan
kepada perajin jamu dalam upaya menciptakan jamu trasisonal yang layak
konsumsi.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk mengetahui
responsivitas yang dirasakan oleh perajin terkait pembinaan yang diberikan
kepada mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perajin jamu tradisonal di
Cilacap khususnya masyarakat di Kroya. Sampel dalam penelitian diperoleh
melalui non-probability sampling yaitu tekhnik pengambilan sampel yang tidak
memberikan peluang/kesempatan yang tidak sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2008:218). Tekhnik
sampel yang digunakan yaitu dengan teknik Purposive Sampling yaitu teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,
2008:219).
Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah sejumlah perajin
jamu dimana sampel yang diambil ditentukan berdasarkan pengetahun mereka
atas sejumlah informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Diutamakan adalah
mereka yang masih melakukan produksi jamu tradisional dan pernah mengikuti
pembinaan yang yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Mereka yang masih
berproduksi dianggap mereka masih akurat mengenai pengetahuan
perkembangan jamu tradisional Cilacap.
7. Sumber data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder yang
diambil dari individu dan lembaga/instansi yang berkaitan dengan penelitian
ini.
1). Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan (informan). Fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ataupun dari media-media komunikasi, misalnya telepon dari pihak-pihak
yang berkaitan langsung dengan masalah yang menjadi objek penelitian.
Data primer dalam penelitian ini adalah berasal dari wawancara langsung
dengan perajin jamu tradisional di kecamatan Kroya yang dianggap
memiliki informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara dilakukan
kepada perajin jamu yang masih aktif berproduksi dan mengikuti pembinaan
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan baik formal maupun non-formal.
2). Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
dilapangan melainkan diperoleh dari studi dokumentasi yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang menjadi sumber
data sekunder ini meliputi :
a. Dokumen, dokumen yang ada pada Koperasi Aneka Sari berkait dengan
masalah jamu tradisional; data mengenai riwayat jamu tradisional yang
ada pada Koperasi Aneka Sari berkait dengan masalah yang diteliti.
b. Website seperti penggunaan Google dalam mendukung informasi
mengenai masalah yang diteliti sebagai tambahan pengetahuan bagi
peneliti.
c. Arsip, diantaranya arsip mengenai izin produksi yang dimiliki oleh
perajin dan arsip kegiatan binaan jamu tradisional yang ada pada
Koperasi Aneka Sari dan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap.
Yang dimaksud dalam data sekunder adalah data dan informasi
mengenai program/kegiatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Data tersebut baik primer maupun sekunder sangat bermanfaat dalam
mengetahui sejauh mana responsivitas Pemerintah Daerah Kabupaten
Cilacap (Dinas Kesehatan) dalam mengelola, merespon dan menangani
masalah yang sedang tengah dihadapi oleh sektor industri jamu tradisional
di Cilacap khususnya dalam pembinaan jamu tradisional sehingga menjadi
produksi yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat secara medis
sehingga perekonomian pelaku usaha ini kembali tumbuh dengan produksi
jamu tradisional yang layak konsumsi aman bagi kesehatan.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara
bertanya langsung kepada responden. Dalam penelitian ini teknik
wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth
interview). Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang
bersifat “open ended” dan mengarah pada kedalaman informasi. Dalam hal
ini subyek yang diteliti posisinya lebih sebagai informan utama dalam
penelitian ini dimana sumber data yang diperoleh merupakan sumber data
utama dalam menganalisa masalah penelitian.
Jenis wawancara yang akan dilakukan adalah semi-terstruktur
(semistructure interview). Tujuan dari wawancara ini adalah untuk
menemukan permasalahan yang lebih terbuka, dimana fihak yang diajak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2008:233). Peneliti
memilih jenis wawancara ini agar informasi atau data yang diperoleh oleh
peneliti lebih lengkap dan menggambarkan permasalahan yang tengah
terjadi dengan lebih luas sehingga hasil yang didapat lebih representatif
terhadap masalah yang terjadi di lapangan.
Dengan demikian selain peneliti mendapatkan informasi yag
menunjang penelitian juga mendapatkan ide–ide atau masukan dari
informan mengenai masalah yang tengah diteliti.
Peneliti berusaha menggali informasi selengkap-lengkapnya mengenai
informasi yang diharapkan oleh peneliti terhadap informan. Wawancara
dilakukan dengan mengembangkan indikator dalam sejumlah pertanyaan
berkait dengan indikator yang telah ditentukan oleh peneliti bisa tergali
dengan lengkap.
2 . Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang bersumber
pada laporan dan dokumen yang tersedia. Arsip-arsip termasuk juga buku
tentang pendapat, teori, dalil/hukum. Data dikumpulkan dari dokumen-
dokumen Dinas Kesehatan, Koperasi Aneka Sari, dan perajin jamu yang
berkaitan dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan berupa program-
program yang pernah dilakukan oleh Dinas Kesehatan bekerjasama dengan
Koperasi Aneka Sari berkait dengan pembinaan jamu layak konsumsi,
kegiatan-kegiatan yang dikembangkan berkait dengan program tersebut,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam renstra serta kebijakan-kebijakan
lain berkait dengan pembinaan tersebut.
3.Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati
kejadian-kejadian yang terjadi di lapangan. Selain melakukan wawancara
peneliti juga mengamati apa yang sedianya terjadi di lapangan mengenai
permasalahan tersebut. Dengan demikian hasil yang ditemukan di lapangan
akan menjadi lebih obyektif dan peneliti ikut merasakan setiap fenomena
yang terjadi.
Jenis obsesrvasi yang akan dilakukan oleh peneliti adalah observasi
partisipatif moderat. Moderat participation means that the reseacher
maintains a balance between insider and outsider (Stainback,1988 dalam
Sugiyono 2008:227). Peneliti selain berperan sebagai orang dalam (perajin)
peneliti juga berperan sebagai masyarakat luar yang biasa.
4. Triangulasi Data
Triangulasi data bertujuan untuk mempertajam informasi yang
diperoleh oleh peneliti sehingga infornasi atau data yang ditemukan di
lapangan akan lebih konsisten, tuntas dan pasti. Selain itu dengan triangulasi
akan lebih menguatkan data yang diperoleh di lapangan (Sugiyono,
2008:241).
Dalam penelitian ini traingulasi data dilakukan dua cara, yaitu
triangulasi tekhnik dan sumber. Triangulasi tekhnik dilakukan dengan
observasi partisipatif moderat, wawancara, dan dokumentasi kepada unit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
analisis yaitu perajin jamu tradisional di kecamatan Kroya. Tujuan dari
triangulasi tekhnik ini adalah agar informasi yang diperoleh peneliti lebih
akurat antara apa yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi mengenai pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan.
Dengan demikian selain peneliti melakukan wawancara kepada
sejumlah perajin/pengusaha jamu tradisional juga melakukan observasi
partisipatif moderat terhadap lingkungan dan kondisi pembinaan yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan serta melihat dari hasil dokumentasi yang
ada pada Dinas Kesehatan atau pada KOPJA Aneka Sari. Triangulasi
dilakukan dengan membandingkan data atau informasi yang diperoleh dari
beberapa tekhnik pengumpulan data.
Triangulasi berikutnya yaitu triangulasi sumber. Triangulasi sumber
dilakukan dengan menguji validitas atau crosscheck data atau informasi
yang diperoleh dari sample yaitu perajin jamu tradisional dengan Dinas
Kesehatan mengenai pembinaan yang dilakukan. Selain itu crosscheck juga
akan dilakukan kepada Koperasi Aneka Sari selaku koperasi perkumpulan
para perajin jamu tradisional di kabupaten Cilacap. Dengan demikian selain
informasi dari hasil wawancara dengan perajin, peneliti juga
membandingkan dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara
dengan Dinas Kesehatan dan KOPJA Aneka Sari. Sehingga data yang
diperoleh oleh peneliti akan menjadi lebih jelas. Triangulasi data secara
tidak langsung merupakan proses pengumpulan data yang sekaligus
melakukan kredibilitas data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Teknik Analisa Data
Analisis data menurut Susanto mencakup tiga proses yaitu
pengumpulan data untuk kemudian dilakukan reduksi data, display data ke
dalam suatu matriks, kesimpulan melalui menuturan hasil dari penelitian.
(Susanto,2006:143)
Miles Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008:246) mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisa kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh.
Dengan demikian analisis data dalam penelitian ini adalah analisis interaktif.
Peneliti berusaha mengumpulkan data terus menerus sampai data yang
diperoleh dianggap telah lengkap dan tuntas. Aktivitas dalam analisa data
yaitu reduksi data, display data dan kesimpulan/verifikasi data (Sugiyono,
2008:246. Analisis data dapat diungkapkan dalan tiga proses yaitu :
1. Reduksi data
Tahap awal dari analisa data dalam penelitian ini adalah reduksi
data. Reduksi data dimulai dari pengumpulan data yang dilakukan oleh
peneliti setiap harinya baik dari kegiatan wawancara, obsesrvasi maupun
dokumentasi. Data yang terkumpul tersebut dirangkum, diseleksi,
dikategorikan dan kemudian difokuskan sesuai dengan masalah yang sedang
diteliti. Yaitu data hasil wawancara diklasifikasikan sesuai dengan indikator
penelitian. Dalam melakukan reduksi data peneliti memfokuskan pada
perajin jamu tradisional, kegiatan pembinaan yang dilakukan, interaksi
antara perajin dengan Dinas Kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Sajian/Display Data Dan Validitas Data
Setelah data terkumpul dan ditelaah selanjutnya data disajikan dalam
bentuk suatu informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan adanya pengambilan tindakan. Informasi
kemudian dikelompokan sesuai formulasi peneleitian yang diambil.
Berbagai informasi yang diperoleh selama dilapangan diklasifikasikan
sesuai dengan fokus masing-masing formulasi penelitian. Penyajian tersebut
berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Masing-masing indikator akan
membahas masalah yang berkaitan dengan indikator tersebut berdasarkan
data yang diperoleh dari lapangan. Peneliti akan memilah informasi yang
berkaitan dengan penilaian perajin atas responsivitas Dinas Kesehatan
dalam pembinaan jamu tradisional dengan informasi yang berkaitan dengan
hambatan/kendala yang ditemui dalam pembinaan tersebut.
3. Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Reduksi data dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti
sudah mendapatkan data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam
penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai
melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan
semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan display data. Dalam
penelitian ini usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya
berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi atau display datanya.
Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat
dipertanggungjawabkan. Cara penarikan kesimpulannya dilakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menghubungkan tiap-tiap indikator dengan hasil data yang diperoleh untuk
kemudian diambil kesimpulan secara keseluruhan atas penilaian dari
beberapa indikator tersebut. Selain itu juga menyimpulkan indikator mana
yang menonjol dalam responsivitas tersebut baik yang positiv maupun
negatif sehingga di dapatkan kesimpulan yang lebih spesifik.
Selain itu juga adanya penggabungan data hasil penilaian
responsivitas dengan sejumlah hambatan yang ada di dalamnya. Sehingga
dapat dilakukan intervensi yang tepat baik dari hasil data mengenai
hambatan yang teridentifikasi menonjol maupun sejumlah hasil penilaian
indikator tertentu yang menonjol.
Verifikasi dilakukan dengan melihat kembali hubungan dari
masing-masing indikator dalam rangkaian kesimpulan yang menyeluruh
yaitu mengenai kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban dari
penelitian yang sedang diteliti atau keluar dari area penelitian yang
direncanakan serta melihat kembali mengenai kesimpulan tersebut sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan dengan melihat kembali hasil
dari reduksi data.
Dalam penelitian ini tampak bahwa tujuan bentuk penelitiannya
adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan analisis interaktif, menurut
Sugiyono (2008:246) maka prosesnya berlangsung dalam bentuk proses
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
collection display data
data reduction conclusions drawing /
data
Gambar 3.1 Komponen Dalam Analisis Data
Model Miles dan Hubermen dalam Sugiyono (2008:247)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Matriks Penelitian
Tabel 3.1
Matriks Penelitian
Aspek yang diteliti Sumber Data Unit Analisis
Tekhnik Pengumpulan
Tekhnik Analisis
DataResponsivitas
1. Kemampuan menanggapi BKO
2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan
3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan
Sumber data utama berasal dari perajin / pengusaha jamu yang mengikuti pembinaan. Traingulasi dilakukan dengan pegawai Dinas Kesehatan bagian Farmani dan Koperasi Aneka Sari
Perajin jamu tradisional
Tekhnik pengumpulan data yang utama dilakukan dengan wawancara purposive sampling kepada perajin terutama yang mengikuti pembinaan formal kemudian observasi dan dokumentasi
Analisis dilakukan secara interaktif
Hambatan dalam pelaksanaan responsivitas
1. Uang2. Komunikasi
Sumber data utama berasal dari perajin jamu kemudian dilakukan triangulasi data dengan pegawai farmami Dinas Kesehatan dan Koperasi
Perajin jamu
tradisional
Tekhnik pengumpulan data yang utama dilakukan dengan wawancara purposive sampling kepada perajin terutama yang mengikuti pembinaan formal kemudian dengan obeservasi dan dokumentasi.
Analisis dilakukan secara interaktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Kabupaten Cilacap
1. Letak Geografis Kabupaten Cilacap
a. Keadaan Umum Kabupaten Cilacap
Letak geografis Kabupaten Cilacap pada 108º 4’ 30 “ – 109º 22’ 30 “
Garis Bujur Timur dan 7º 30’ 20 “ – 7º 45’ Garis Lintang Selatan, dengan
luas wilayah 225.361 Km2 dengan batas wilayah meliputi :
sebelah utara :Kabupaten Banyumas
sebelah selatan :Samodera Hindia
sebelah timur :Kabupaten Kebumen
sebelah barat :Kabupaten Ciamis
Secara geografis berada di bagian wilayah selatan Provinsi Jawa
Tengah berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia, dengan
panjang garis pantai ± 105 km, yang dimulai dari bagian timur pantai
Desa Jetis Kecamatan Nusawungu ke arah barat hingga Ujung Kulon
Pulau Nusakambangan berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat.
Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai
dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut.
Wilayah topografi terendah pada umumnya dibagian selatan yang
merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 m dpl, yang
meliputi wilayah Cilacap Timur yaitu Kecamatan Nusawungu,
Binangun, Adipala, sebagian Kesugihan, Cilacap Utara, Cilacap Tengah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Cilacap Selatan, Kampung Laut, dan sebagian Kawunganten. Topografi
yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit antara lain Kecamatan
Jeruklegi, Maos, Sampang, Kroya, Kedungreja, dan Patimuan dengan
ketinggian antara 8-75 m dpl. Sedangkan topografi yang termasuk
dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat
yaitu Kecamatan Daeyeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu,
Karangpucung, dengan ketinggian antara 75-198 m dpl, dan Kecamatan
Cipari, Sidareja, sebagian Gandrungmangu, dan sebagian Kawunganten
dengan ketinggian antara 23-75 m dpl.
Kabupaten Cilacap dalam tatanan administrasi pemerintahan terdiri
dari 24 Kecamatan dan 284 desa/kelurahan, dengan spesifikasi 11
Kecamatan (72 desa/kelurahan) yang memiliki wilayah pesisir di wilayah
selatan Jawa Tengah. Jumlah penduduk keseluruhannya berdasarkan
sensus penduduk pada tahun 2009 mencapai 1,744,128 jiwa (laki-laki:
873,251 jiwa; perempuan: 870,877 jiwa), pertumbuhan penduduk sekitar
0.32%. Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin terbanyak pada
kelompok umur 15-19 dengan jumlah 180,653 yaitu laki- laki 92,686 dan
perempuan 87,967.
b. Visi
Visi pemerintah Kabupaten Cilacap sesuai RPJMD (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Cilacap Tahun
2008-2012 adalah “Terciptanya Pemerintahan Yang Tangguh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Terpercaya Dan Mandiri Guna Mewujudkan Kesejahteraan
Masyarakat”.
c. Misi
Untuk mewujudkan Visi Kabupaten Cilacap ditetapkan Misi sebagai
berikut:
Menyelenggarakan pemerintahan daerah secara efisien dan efektif
dengan mensinergikan upaya-upaya bersama antara pemerintah, swasta
dan masyarakat (Good Governance).
1) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik sumberdaya
aparatur maupun sumberdaya masyarakat secara luas sebagai modal
dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah.
2) Memberikan pelayanan prima dalam rangka menumbuhkan iklim
investasi yang sehat.
3) Penguatan struktur perekonomian daerah melalui penguatan potensi
ekonomi lokal.
4) Meningkatkan pembangunan atau penyediaan sarana dan prasarana
infrastruktur ekonomi, perdagangan, pendidikan dan kesehatan untuk
mencapai derajat manusia yang bermartabat.
5) Meningkatkan kemampuan keuangan daerah dengan
mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah melalui
kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
Mengacu kepada Misi yang dijalankan oleh Kabupaten Cilacap
bahwa Pemerintah Daerah tersebut mengupayakan adanya kerjasama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang sinergi antar lembaga yang saling terkait secara bersama-sama
memberdayakan potensi ekonomi lokal melalui pemberian bantuan
yang mampu menunjang jalannya pemberdayaan tersebut.
Apabila Misi tersebut berhasil dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
secara keseluruhan maka secara tidak langsung Visi dari Pemerintah
Daerah Cilacap akan terwujud. Yaitu masyarakat yang mandiri dan
sejahtera secara ekonomi dan sosial karena pembangunan ekonomi
yang baik adalah pembangunan ekonomi yang mampu menciptakan
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah dengan
pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah agar mampu berkembang
dengan baik serta mampu menciptakan kemandirian ekonomi sehingga
akan tercipta pembangunan nasional yang seutuhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Penyebaran Penduduk Kabupaten Cilacap
a. Gambaran Umum Demografis
Tabel 4.1Daftar P4B menurut jenis kelamin periode tahun 2008
NO KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 DAYEUHLUHUR 24,116 24,519 48,635
2 WANREJA 47,316 47,449 94,765
3 MAJENANG 61,723 61,724 123,447
4 CIMANGGU 49,199 48,926 98,125
5 KARANG PUCUNG 35,951 36,786 72,737
6 CIPARI 30,532 30,619 61,151
7 SIDAREJA 28,205 28,866 57,071
8 KEDUNGREJA 40,252 39,922 80,174
9 PATIMUAN 22,263 22,553 44,816
10 GANDRUNGMANGU 50,489 51.237 101,726
11 BANTARSARI 34,408 34,086 68,494
12 KAWUNGANTEN 38,764 40,064 78,828
13 KAMPUNG LAUT 8,634 8,116 16,750
14 JERUK LEGI 31,423 30,268 61,691
15 KESUGIHAN 48,219 47,954 96,173
16 ADIPALA 40,124 39,994 80,118
17 MAOS 23,493 23,485 46,978
18 SAMPANG 18,611 18,346 36,957
19 KROYA 51,027 51,337 102,364
20 BINANGUN 33,185 32,448 65,633
21 NUSAWUNGU 38,576 38,278 76,854
22 CILACAP SELATAN 39,658 38,639 78,297
23 CILACAP TENGAH 42,217 41,835 84,052
24 CILACAP UTARA 34,866 33,426 68,292
TOTAL 873,251 870,877 1,744,128
Sumber Data : BPS Kabupaten Cilacap 2009/2010
Penduduk Kabupaten Cilacap tersebar ke dalam 24 Kecamatan.
Berdasarkan tabel 2.1 tersebut dapat terlihat bahwa Majenang
merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar
dibandingkan dengan kecamatan–kecamatan lainnya di Kabupaten
Cilacap. Kroya berada pada urutan kedua Kecamatan dengan jumlah
penduduk terbanyak. Sedangkan Kecamatan dengan jumlah penduduk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terkecil berada pada Kecamatan kampung laut yang merupakan
wilayah yang terisolasi karena pemukimannya berada diatas pantai.
Kabupaten Cilacap bisa dikatakan sebagai Kabupaten dengan
berbagai sektor industri yang cukup menonjol. Terbukti dengan
banyaknya industri besar yang berada di Kabupaten ini seperti induk
Pertamina terbesar di Jawa Tengah berada di Kabupaten Cilacap yang
menyediakan kebutuhan minyak, gas dan bahan bakar lainnya. Cilacap
juga merupakan salah satu penghasil ikan hiu terbaik karena hiu-hiu
tanggkapan dari daerah Cilacap memiliki kualitas kesegaran yang tidak
diragukan lagi. Cilacap merupakan pengekspor kapulaga dan
temulawak terbesar ke Cina khususnya dari daerah Dayeuhluhur.
Selain itu juga terdapat industri pengolahan kayu lapis, PLTU, Holcim,
dlsb.
Tingginya angka industri di Cilacap menunjukan iklim bisnis yang
potensial di kawasan ini. Dengan demikian para investor telah banyak
yang mempercayakan modalnya untuk menjalankan usahanya di
Kabupaten Cilacap. Secara tidak langsung hal ini akan memberikan
keuntungan yang berlipat karena selain perolehan dari PAD hal ini
juga akan sejalan dengan lapangan pekerjaan yang akan tersedia.
Apabila kesempatan kerja tersebut mampu diimbangi dengan kualitas
SDM yang sesuai dengan kebutuhan maka akan dapat mengurangi
angka pengangguran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mengacu kepada keuntungan yang akan di dapat maka akan
menjadi lebih baik apabila Pemerintah Kabupaten Cilacap terus
mengupayakan dan membantu perkembangan sektor industri dalam
segala jenis usahanya agar terus maju dan berkembang karena sejalan
dengan perkembangan tersebut akan memberikan keuntungan kepada
Pemerintah Daerah dan masyarakat pada umumnya. Berikut
merupakan tabel mengenai jumlah perusahaan industri di Kabupaten
Cilacap beserta tenaga kerja yang ada di dalamnya.
Tabel 4.2Jumlah Perusahan Industri Dan Tenaga Kerja
Menurut Kode Industri Kabupaten Cilacap Tahun 2009
Kode Industri
Besar Sedang
Jml Perus
Tenaga Kerja Produksi Tng Kerja LainnyaLaki2 PR Jml Laki2 PR Jml
15 BesarSedang
633
594582
841380
1,435962
280149
6432
344181
17 BesarSedang
1-
480-
--
4800
190-
20-
2100
20 BesarSedang
31
1,86321
373-
2,23621
5710
29-
8610
23 BesarSedang
-1
-30
-30
600
7-
--
70
24 BesarSedang
-3
-96
-42
0138
-96
-12
0108
25 BesarSedang
51
1,83750
72520
2,56270
1,1115
2212
1,3327
26 BesarSedang
1-
598-
5-
6030
132-
29-
1610
36 BesarSedang
-1
-15
-45
060
-3
--
03
Sumber : BPS Kabupaten Cilacap 2009/2010Keterangan :15 Perusahaan Industri Makanan dan Minuman17 Perusahaan Industri Tekstil20 Perusahaan Industri Pengolahan Kayu, barang dari kayu (tidak
termasuk furniture) dan barang anyaman23 Industri Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi dan Pengolahan Gas
Bumi, Barang-barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi, Dan Bahan Bakar Nuklir
24 Perusahaan Industri Kimi dan Barang-barang dari Kimia25 Perusahaan Industri Pengolahan Karet dan barang-barang dari karet26 Perusahaan Industri Pengolahan barang galian bukan logam36 Industri Furniture dan Industri Pengolahan Lainnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari tabel tersebut terlihat bahwa sektor industri yang paling
banyak adalah berada pada perusahaan makanan dan minuman
kategori industri sedang yang mencapai jumlah 33 industri yang
mampu menyerap tenaga kerja ± 1143 tenang kerja.
Menurut BPS Kabupaten Cilacap bahwa industri besar adalah
perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja minimal 100 orang,
industri sedang adalah perusahaan industri dengan tenaga kerja 20-99
orang serta industri kecil adalah industri dengan tenaga kerja 5-19
orang sedangkan industri rumah tangga adalah industri dengan tenaga
kerja 1-4 orang. Sesuai dengan tabel 4.2 diatas sektor perusahaan
makanan dan minuman memiliki jumlah tenaga kerja laki–laki lebih
banyak dibanding dengan perempuan. Selain itu sektor industri
makanan dan minuman merupakan salah satu jenis mata pencaharian
sektor industri yang menonjol dibandingkan dengan lainnya. Dengan
demikian banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor perusahaan menengah tersebut.
3. Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Cilacap
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
sangat esensial karena kondisi kesehatan seseorang akan sangat
mempengaruhi kelancaran aktivitasnya. Kepedulian Pemerintah terhadap
masalah kesehatan diwujudkan antara lain melalui penyediaan beberapa
sarana kesehatan seperti Pukesmas, Puskesmas Pembantu dan Polindes
yang keberadaannya telah menyebar di tiap Kecamatan. Adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Puskesmas tersebut merupakan wujud fasilitas kesehatan dari Pemerintah
yang mudah, dekat dan terjangkau bagi masyarakat. Puskesmas tersebut
berfungsi untuk melayani kebutuhan kesehatan bagi masyarakat setempat,
membina dan mengawasi kesehatan masyarakat sekitarnya.
Di Kabupaten Cilacap setiap Kecamatan telah memiliki minimal satu
Puskesmas. Bahkan beberapa Kecamatan yang penduduknya relatif
banyak telah berdiri dua Puskesmas, sehingga ratio Puskesmas terhadap
penduduk pada tahun 2009 adalah satu Puskesmas rata-rata melayani
48,488 penduduk (BPS Kabupaten Cilacap Tahun 2009-2010).
Di samping itu, untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, di Kabupaten Cilacap telah ada 81 Puskesmas pembantu dan
2,062 Posyandu. Salah satu peran serta masyarakat dalam upaya
pembangunan kesehatan adalah dengan mengikuti program KB dan
proram imunisasi. Pada tahun 2009 pencapaian akseptor KB baru tercatat
sebanyak 62,711 dari target sebanyak 99,942.
4. Struktur Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Kroya
Jenis mata pencaharian di Kecamatan Kroya dibagi menjadi
beberapa jenis mata pencaharian yaitu 8 sektor. Diantaranya adalah
pertanian, pertambangan, industri, bangunan, perdagangan, angkutan
komunikasi, jasa dan lain-lainnya yang tidak termasuk dalam kelompok-
kelompok tersebut. Di Kecamatan Kroya mayoritas penduduknya bekerja
pada sektor pertanian dengan jumlah 21,619 penduduk kemudian disusul
dengan perdagangan mencapai jumlah 8,945 penduduk, jumlah tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari jumlah keseluruhan tenaga kerja 48,820 penduduk. Sektor industri
hanya mencapai 2,775 penduduk dan menempati urutan ke-enam.
Kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor industri jamu merupakan
kelompok masyarakat yang masuk dalam kelompok perdagangan dan
perindustrian. Salah satu sisi mereka sebagai produksen di sisi lainnya ada
juga yang sebagai distributor atau pedagang. Atau bahkan ada juga yang
berperan dua-duanya. Data lebih lanjut dapat terlihat pada tabel 4.3.
Banyaknya jumlah penduduk yang bekerja pada suatu sektor akan
mempengaruhi jumlah buruh yang ada di dalamnya. Seringkali semakin
banyak penduduk yang bekerja pada suatu sektor maka akan menciptakan
hubungan yang positif dengan jumlah buruh yang ada di dalamnya. Hal ini
karena semakin tinggi produksi suatu barang maka akan semakin tinggi
pula tuntutan terhadap SDM. Salah satunya adalah sebagai tenaga produksi
atau buruh. Semakin berkembangnya suatu sektor maka kesempatan
pekerjaan bagi buruh akan semakin meningkat. Apalagi dalam sektor
industri pada khususnya seringkali berhubungan dengan produksi dalam
jumlah yang besar yang membutuhkan tenaga manusia lebih banyak
walaupun mesin-mesin produksi modern telah berkembang di masyarakat.
Banyaknya jumlah buruh di Kecamatan Kroya dapat dilihat pada tabel 4.4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.3
Mata Pencaharian Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Lapangan Usaha Akhir Tahun 2009
Desa / Kel Pertanian Pertambangan Industri Bangunan Perdagangan Angkutan / Komunikasi
Jasa Lainnya Jumlah
Sikampuh 2,402 - 140 140 360 39 318 126 3,525Karangturi 1,627 - 88 185 253 28 154 100 2,435Ayamalas `1,206 - 129 130 301 47 616 232 2,661Karangmangu 1,242 - 72 159 522 73 952 228 3,248Pucung Kidul 1,124 - 440 155 519 70 421 135 2,864Mergawati 842 - 296 184 157 32 270 `179 1,960Pucung Lor 1,100 - 392 140 466 53 317 128 2,596Bajing 476 - 61 207 842 89 1,010 301 2,986Kroya 616 - 135 182 1,029 187 307 381 2,837Pesanggrahan 754 - 90 195 401 88 360 132 2,020Pekuncen 1,468 - 55 245 343 92 943 242 3,388Bajing Kulon 872 - 72 190 651 59 943 196 2,983Kedawung 1,733 - 145 265 812 80 419 200 3,654Mujur 1,282 - 194 136 531 99 381 278 2,901Gentasari 2,441 - 301 240 1,149 68 702 329 5,230Mujur Lor 792 - 90 139 352 43 161 206 1,783Buntu 821 - 75 138 257 46 210 202 1,749Jumlah 21,619 - 2,775 3,030 8,945 1,193 8,484 3,595 48,820
Sumber : BPS Kabupaten Cilacap 2009/2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.4
Banyaknya Buruh Tani, Nelayan, Buruh Industri, Buruh Bangunan, PNS, TNI / POLRI Dan Pensiunan Menurut Desa
Tahun 2009
Desa / Kelurahan Buruh Tani Nelayan Buruh Industri Buruh Bangunan
PNS / POLRI Pensiunan Pengusaha
Sikampuh 1,200 3 175 132 76 47 90Karangturi 930 3 60 169 13 3 89Ayamalas 560 - 92 116 47 25 86
Karangmangu 740 - 68 145 109 42 126Pucung Kidul 580 4 300 140 86 30 154
Mergawati 521 3 176 167 32 9 73Pucung Lor 649 - 342 136 40 6 160Bajing 290 2 46 188 175 89 187
Kroya 290 1 120 170 382 100 222Pesanggrahan 468 14 86 181 13 10 132Pekuncen 1,052 3 47 230 71 23 90
Bajing Kulon 330 2 99 172 70 84 110Kedawung 860 6 190 251 82 30 168Mujur 650 4 257 120 92 40 128
Gentasari 1,852 4 334 229 186 65 291Mujur Lor 418 4 108 121 17 20 88
Buntu 500 1 96 119 46 8 82Jumlah 11,890 54 2,596 2,787 1,537 631 2,276
Sumber : BPS Kabupaten Cilacap 2009/2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan tabel 4.4 tersebut terlihat bahwa jumlah buruh terbesar
berada pada sektor pertanian mencapai 11,890 kemudian disusul dengan
jumlah buruh bangunan dengan jumlah 2,787. Terdapat angka yang menarik
yaitu pada jumlah buruh industri pada tabel 4.4 tersebut yaitu mencapai angka
2,596. Hal ini karena sesuai tabel 4.3 jumlah penduduk dengan mata
pencaharian industri tidak begitu menonjol dibandingkan dengan sektor
lainnya, namun jumlah buruh yang bekerja pada sektor industri mampu
memberikan angka yang signifikan dibandingkan dengan jumlah buruh pada
sektor mata pencaharian lainnya.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa sektor industri lebih berperan
dalam penyerapan tenaga kerja di dalamnya. Sektor industri mampu
menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan sektor usaha
lainnya. Dengan demikian sektor industri seharusnya harus terus
mendapatkan perhatian dari Pemerintah agar dapat terus berkembang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap
Setiap organisasi memiliki Visi sebagai identitas keberadaan
organisasi tersebut ada. Melalui Visi maka dapat terlihat untuk apa organisasi
itu hadir dan ada di tengah kehidupan masyarakat. Selain itu Visi merupakan
arah tujuan utama organisasi berjalan. Begitupula dengan Dinas Kesehatan
yang merupakan lembaga pemerintah di tingkat daerah yang berwenang dan
berfungsi untuk memelihara, membina dan meningktkan tingkat kesehatan
masyarakat di tingkat wilayahnya. Dalam mewujudkan fungsi tersebut Dinas
Kesehatan juga memilikin Visi dan Misi yang menjadi arah tujuannya.
Berikut merupakan Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap :
a. Visi
Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap yaitu terwujudnya
masyarakat Cilacap yang sejahtera, maju, mandiri, bersaing, memiliki
solidaritas yang tinggi dalam suatu pemerintahan yang adil, demokratis,
bersih, bertanggungjawab serta Cilacap sebagai pusat pembangunan Jawa
Tengah bagian selatan melalui pemanfaatan secara optimal segenap
sumber daya yang ada dengan mempertimbangkan keserasian dan
kelestarian.
b. Misi
Dalam upaya mewujudkan Visi tersebut beberapa Misi yang akan
dilakukan yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan
ekonomi kerakyatan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan
keadilan.
2) Meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan formal maupun
pendidikan ketrampilan untuk mewujudkan masyarakat yang maju
dan memiliki daya saing tinggi.
3) Meningkatkan kemandirian melalui pengembangan program-program
pemberdayaan serta merangsang tumbuhnya kewaspadaan
masyarakat.
4) Meningkatkan derajat ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam rangka meningkatkan kualitas moral dan kerukunan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6. Gambaran Umum Jamu Cilacap
Kabupaten Cilacap pada umumnya, dan wilayah Cilacap Timur
khususnya terkenal sebagai daerah perajin jamu jawa. Usaha ini merupakan
usaha turun-temurun dari nenek moyangnya. Seperti kita ketahui bersama
bangsa kita terkenal beraneka ragam tanaman obat yang tersebar di seluruh
kepulauan Indonesia. Bahkan tanaman yang berkhasiat obat banyak tumbuh
secara liar disekeliling kita. Pemanfaatan tanaman obat yang bisa
dimanfaatkan menjadi jamu awalnya digunakan sebagai pertolongan
pertama untuk obat keluarga khususnya di wilayah Cilacap timur yaitu di
Desa Gentasari, namun karena ternyata mendatangkan nilai ekonomis,
dibuatlah usaha peracik jamu tradisional.
Usaha perajin jamu jawa yang ada di desa Gentasari pada awalnya
adalah usaha pengisi waktu luang sehabis para petani mengerjakan usaha
tani tanaman pangan (sawah). Sebagai usaha sampingan pengisi waktu
luang tentunya dalam pemasarannya tidak terlalu luas atau besar.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi di negara kita, ternyata hal ini
berdampak baik terhadap perkembangan pemasaran jamu jawa dari Desa
Gentasari pada khusunya dan Kecamatan Kroya pada umumnya, selain itu
jamu jawa semakin mendapat tempat di hati para konsumen, sehingga
kedudukan usaha jamu semakin berkembang, dan menjadi usaha pokok atau
setidaknya mempunyai kedudukan yang sama dengan usaha pertanian.
Atas pertimbangan tersebut pada tahun 1978 dibentuk Himpunan
Perajin Jamu Jawa yang ada di Gentasari dan sekitarnya dan sekaligus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merupakan embrio dari Koperasi. Perkembangan Perajin Jamu Jawa
semakin meningkat maka para pembina terutama dari Departemen Koperasi,
Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan memandang perlu
untuk menjadikan HPJA sebagai Koperasi dan pada tanggal 10 Juli 1985.
Himpunan Perajin Jamu Jawa Asli dilikuidasi menjadi Himpunan Perajin
Indonesia (HIPMI) sektor jamu jawa sebagai wadah kelembagaannya dan
Koperasi Perajin Jamu Asli Gentasari sebagai bidang usahanya dan Badan
Hukum disyahkan pada tanggal 10 Februari 1986 oleh Bupati Cilacap
Pujono Pranyoto dengan nomor Badan Hukum : 10485BHVI.
Untuk memperluas jangkauan pembinaan anggota Koperasi maka pada
tanggal 16 Agustus 1994 diadakan rapat anggota khusus untuk membahas
perubahan ADART, dan dari hasil musyawarah tersebut disetujui untuk
merubah nama Koperrasi Perajin Jamu Asli Gentasari menjadi Koperasi
Aneka Sari.
Berdasarkan PerMenKes Nomor: 246/MenKes/Per/V/1990 Bab I
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) bahwa Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
atau galenik atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun menurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Dengan
demikian bahwa pelaku atau pengusaha obat tradisional merupakan orang
atau pihak yang membuat atau mengusahakan bahan atau ramuan tersebut
diatas dengan berdasarkan pengalaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kualifikasi industri obat tradisional menurut PerMenKes tersebut diatas
adalah sebagai berikut yang tertuang dalam Bab 1 ketentuan Umum Pasal 1
ayat (2) dan (3) yaitu : (2) Industri Obat Tradisional adalah industri yang
memproduksi obat tradisional dengan total aset diatas Rp 600.000.000, tidak
termasuk tanah dan bangunan, (3) Industri Kecil Obat Tradisional adalah
industri obat tradisional dengan total aset tidak lebih dari Rp 600.000.000,
tidak termasuk harga tanah dan bangunan.
Berdasarkan hasil pengamatan atau observasi di lapangan bahwa rata-
rata modal pengusaha jamu (PJ) adalah jauh dibawah Rp 600.000.000.
Dengan demikian berdasarkan kualifikasi tersebut maka rata-rata pengusaha
jamu di kecamatan Kroya adalah merupakan pengusaha industri kecil obat
tradisional. Dalam usaha mendirikan industri obat tradisional diperlukan
izin dari Mentri hal ini sesuai dengan PerMenKes Bab I Pasal 2 ayat (1).
Selain itu industri kecil obat tradisional wajib memenuhi persyaratan
untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sesuai dalam
PerMenKes 246 Bab III Pasal 6 ayat (2). Selain memiliki NPWP industri
kecil obat tradisional harus memperkerjakan sekurang-kurangnya seorang
Apoteker warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab tekhnis hal ini
tertuang pada PerMenKes 246 Bab III Pasal 8 ayat (2). Industri kecil obat
tradisional kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti pedoman CPOTB
(Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) tertuang pada PerMenKes
246 Bab III Pasal 9 ayat (1). Berdasarkan lampiran Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor: HK.00.05.4.1380 CPOTB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaringan
mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu sistem mutu hendaklah
dibangun, dimantapkan dan diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan
dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai.
Dalam PerMenKes 246 Bab IV Pasal 13 ayat (2) dan (3) terdapat suatu
kelonggaran berkaitan dengan pembangunan proyek perajin obat tradisional
dapat mengajukan perpanjangan persetujuan prinsip industri kecil obat
tadisional selama-lamanya satu tahun (lihat lampiran PerMenKes 246).
Dalam industri kecil obat tradisional bahan baku ditentukan oleh
pejabat Dinas Kesehatan setempat. Dalam PerMenKes 246 Bab V Pasal 23
ayat (2) bahwa salah satunya dilarang menggunakan bahan kimia sintetik
atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat (lihat lampiran PerMenKes
246).
Klasifikasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan ataupun Koperasi
mengenai tingkatan industri obat tradisional atau jamu tidak ada standar
bakunya. Berdasarkan kondisi di lapangan atau masyarakat jamu saat ini
dari jumlah 257 perajin 222 diantaranya adalah skala home industry atau
industri kecil obat tradisional dengan modal di bawah Rp 600.000.000.
Dengan demikian ± 35 perajin lainnya merupakan skala menengah diatas Rp
600.000.000. Namun berdasarkan observasi dilapangan diantara 35 perajin
yang digolongkan sebagai industri obat tradisional (modal diatas Rp
600.000.000) belum ada yang telah memiliki gedung atau bangunan standar
CPOTB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Diungkapkan oleh Bidang Pelayanan Kesehatan bagian Farmami
bahwa pernyataan Jamu Tradisional sebenarnya kurang tepat karena
ungkapan yang benar menurut pihak Dinas Kesehatan adalah Obat
Tradisional. Namun mengacu pada lampiran Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI Nomor: HK.00.05.4.1380 istilah obat tradisional
merupakan jamu. Keberadaan obat tradisional atau jamu tradisional di
Kecamatan Kroya dan sekitarnya memiliki potensi yang positif. Namun,
karena seiring dengan perkembangan para pengusaha jamu tersebut
sehingga menciptakan kecenderungan kuat dengan mencampuri hasil
produksi mereka dengan bahan kimia obat (BKO). Hal ini merupakan satu
hal yang dilarang pada pembuatan obat tradisional. Walaupun menggunakan
pengawasan Apoteker produksi obat tradisional dilarang menggunakan
Bahan Kimia Obat.
Perbedaan konsep peristilahan antara perajin jamu tradisional dan
Dinas Kesehatan yaitu “Jamu Tradisional” dan konsep “Obat Tradisional”
didasarkan pada skala produksi dan efek produk tersebut. Berdasarkan
informasi dari Dinas Kesehatan istilah yang seharusnya digunakan adalah
obat tradisional bukan jamu tradisional. Menurut pihak Dinas Kesehatan
bagian staff Farmami yaitu Ibu Titi bahwa dari segi produksinya terdapat
beberapa perajin atau pengusaha dengan skala produksi menengah ke atas
sehingga tidak layak apabila didefinisikan sebagai perajin yang konotasinya
adalah skala kecil. Selain itu istilah kata perajin secara tidak langsung
bermakna legalitas produksi dengan cara yang tradisional seperti peralatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang tradisional dan tanpa adanya Apoteker. Hal ini karena Dinas
Kesehatan mengharapkan bahwa produksi obat jamu tradisional harus
diproduksi sesuai dengan standar kesehatan salah satunya adalah adanya
Apoteker dan sesuai dengan alur produksi CPOTB. Namun klasifikasi yang
diberikan oleh Dinas Kesehatan mengenai skala usaha industri baik skala
menengah atau kecil tidak ada indikator baku yang digunakan maka
penetapan ini menjadi tidak jelas dan tepat. Hal ini karena klasifikasi yang
ada pada PerMenKes 246 tidak dijadikan pedoman yang baku dalam
menentukan skala usaha industri obat tradisional.
Awal mula penggunaan BKO pada sejumlah produksi jamu
diungkapkan oleh salah satu perajin/pengusaha jamu bahwa telah terjadi
sekitar tahun 1999 sebagai konsekuensi adanya salah satu pengusaha jamu
yang menggunakan BKO sehingga memancing perajin/pengusaha jamu
lainnya untuk ikut menggunakan BKO sebagai bentuk persaingan usaha.
Apalagi ditambah dengan khasiat yang lebih cepat terasa dan harga produksi
yang menjadi lebih murah.
Jamu tradisional Cilacap memproduksi berbagai jenis jamu dengan
khasiat yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konsumen. Diantaranya
adalah:
1) Jamu Gemuk Sehat
2) Jamu Pegal Linu
3) Jamu Pengobatan Asam Urat
4) Jamu Pengobatan Asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5) Jamu Pelangsing
6) Jamu Mengobati Hipertensi, dlsb
Berdasarkan ungkapan Apoteker bahwa jamu tradisional ini mencapai
zaman kesuksesannya sekitar tahun 1997-2000. Mereka peracik jamu home
indutry ini mampu menyerap karyawan sampai 150-200 orang, sedangkan
skala menengah mampu menyerap sekitar 3000 karyawan dengan omset
rata-rata per-PJ 200 juta untuk per-bulan. Skala yang digunakan tersebut
juga tidak ada indikator yang jelas. Hal ini hanya didasarkan pada sejumlah
pengusaha jamu yang dianggap jauh menonjol dibandingkan dengan
lainnya. Dalam waktu tersebut yaitu tahun 1997-2000 pengusaha dengan
skala yang dianggap menengah tersebut hanya 2-3 pengusaha.
Sekarang ini hal tersebut hanya sebatas cerita pengrajin jamu dengan ±
3000 karyawan. Sejak adanya oknum yang mempelopori penggunaan BKO
usaha ini kini hampir punah dan belum juga mendapat titik terangnya. Hal
ini karena produksi jamu yang disinyalir mnenggunkan BKO akan terus
diawasi dan dilakukan penertiban lokasi produksi dan pasar sehingga bisa
mengakibatkan hilang dan berkurangnya modal para perajin/pengusaha
jamu.
Terdapat salah satu peracik jamu tradisional yaitu Bapak Parmin (07
Februari 2011) yang kini menjadi percontohan produksi jamu tanpa BKO
bahwa dia memproduksi jamu tradisional murni dari khasiat tumbuh-
tumbuhan yang diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan jamu sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan khasiat yang diinginkan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain
adalah :
a. cabe jawa
b. temu lawak
c. lengkuas
d. pala
e. kunir
f. jahe
g. kencur
h. kapulaga
i. sambiroto, dlsb.
Berbagai bahan tersebut kemudian dikeringkan dengan mesin oven
yang merupakan pemberian cuma-cuma dari pihak LIPI untuk kemudian
digiling lagi menggunakan mesin penghalus yang juga merupakan hadiah
dari LIPI dan Lembaga Riset dan Tekhnologi Jawa Tengah atas partipasinya
dalam rintisan jamu tradisional yang murni. Hasil dari proses tersebut akan
menjadi berbentuk serbuk.
Usaha jamu Bapak Parmin kini dilanjutkan oleh anaknya dengan
merintis dari awal produksi murni tanpa menggunakan BKO merupakan
suatu tantangan tersendiri bagi pengusaha muda yang merupakan penerus
ke-3 dari leluhurnya. Salah satunya adalah kendala pasaran dalam menerima
hasil produksinya yang dengan harga lebih mahal dibanding dengan
produksi jamu lainnya. Selain itu masih terdapat persepsi sebagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat yang merasakan khasiat kurang manjur dengan produksi jamu
yang murni tradisional. Harga pokok hasil produksi jamu tradisional murni
tersebut diperkirakan sekitar 12000-13000 rupiah sedangkan yang
menggunakan BKO sekitar 7000 rupiah.
Dengan demikian dibutuhkan suatu usaha yang keras dalam
mengembangkan produksi jamu tradisonal murni ini. Namun terdapat suatu
peluang tersendiri karena sifat pemasaran jamu tradisional ini adalah selling
direct yaitu door to door sehingga perajin bisa langsung menjual hasil
produksinya langsung kepada konsumen sehingga tidak memperpanjang
harga dengan berbagai alur distributor seperti hasil produksi barang lainnya.
Diharapkan usaha rintisan anak Pak Parmin ini bisa menjadi
percontohan bagi pegusaha yang lain. Selama bertahun-tahun usaha jamu
yang diindikasi menggunakan BKO ini menjadi seperti usaha terselubung
dikalangan Dinas Kesehatan, Kepolisian dan lembaga lainnya. Selama itu
pula masalah jamu tradisional belum terpecahkan dengan baik. Jutaan
produk jamu tradisional Cilacap telah tersebar diberbagai Nusantara bahkan
ke negara tetangga dan sejumlah produk itu pula telah berkhasiat bagi
sejumlah konsumennya. Namun adanya penggunaan BKO pada sejumlah
produk tersebut belum juga mendapat titik temu. Data per-Juni 2010
pengusaha jamu tradisional yang memiliki izin TR hanya berjumlah 31 jenis
usaha jamu (lihat di lampiran). Sedangkan pengusaha jamu yang masih
terdaftar di Koperasi Aneka Sari berjumlah 254. Berikut merupakan tabel
pembagiannya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.5Data Pembagian Perajin Jamu Tradisional Koperasi Aneka Sari
Sumber : Dokumen Koperasi Aneka Sari
Nama Unit JumlahI 15II 23III 23IV 9V 26VI 28VII 13VIII 36IX 14X 16XI 18XII 33
Jumlah 254
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Responsifitas Pembinaan Jamu Tradisional oleh Dinas Kesehatan
Penilaian responsifitas dinilai berdasarkan indikator yang telah
dirumuskan sebelumnya dalam Bab II. Diantaranya di paparkan sebagai
berikut :
a. Kemampuan dalam menanggapi permasalahan BKO
Adanya masalah penggunaan BKO pada sejumlah perajin obat
tradisional di Kabupaten Cilacap menuntut beberapa lembaga terkait untuk
menyikapinya. Diantaranya adalah Dinas Kesehatan. Semakin dini suatu
masalah mendapat tanggapan dan tindakan sebagai upaya pemecahannya
maka akan semakin cepat masalah tersebut terselesaikan. Kecepatan
tersebut juga harus diimbangi dengan ketepatan dari tindakan yang
diambil. Masalah yang terjadi dalam industri obat tradisional selama ± 10
tahun belum juga terselesaikan.
Sejumlah peracik obat tradisional kini banyak yang telah berhenti
berproduksi. Adanya indikasi pengggunaan BKO pada sejumlah produksi
obat tradisional di Cilacap mendapatkan perhatian dan tanggapan dari
Dinas Kesehatan melalui sosialisasi sampai pada pembinaan. Pembinaan
tersebut telah dilakukan mulai dari tahun 1998-1999 sejak mulai terjadinya
pencampuran unsur BKO.
Pembinaan tersebut dilakukan secara formal maupun informal.
Pembinaan formal dilakukan dengan melakukan sosialisasi sampai pada
pembinaan dengan pelibatan lembaga BPOM. Pembinaan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merupakan pembinaan mengenai CPOTB (Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik).
CPOTB merupakan panduan standarisasi pembuatan obat tradisional
yang sesuai dengan perundang-undangan. Dalam CPOTB terangkum
sistem produksi obat tradisional yang sesuai dengan UU kesehatan. Dalam
CPOTB memuat hal-hal mengenai bahan-bahan yang boleh digunakan
dalam produksi obat tradisional, alur proses produksi dan penggunaan
Apoteker yang memantau dan menjamin standarisasi produk. Pembinaan
tekhnis CPOTB merupakan bentuk tanggapan dari Dinas Kesehatan
dengan adanya sejumlah produk obat tradisional yang menggunakan BKO.
Dinas Kesehatan merupakan lembaga yang bertugas sebagai pembina
dalam tekhnis pelaksanaan CPOTB. Dalam standarisasi produk obat
tradisional yang sesuai dengan CPOTB produksi tersebut dilarang keras
menggunakan bahan baku BKO.
Pembinaan CPOTB pada sejumlah peracik obat tradisional
diharapkan akan mampu menciptakan produksi obat tradisional tanpa
BKO. Dinas Kesehatan berfokus pada masalah tekhnis pelaksanaan
CPOTB, yaitu meliputi penjabaran materi yang terdapat dalam CPOTB
seperti alur denah gedung, bahan yang harus digunakan, pengolahan
limbah, serta UU tentang CPOTB.
“Ya belum punya modalnya mba kalau harus membuat gedung, uang darimana saya. Saya cuma produksi kecil-kecilan buat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, produksi saya juga belum banyak apalagi sekarang ini sering dilakukan penertiban di pasaran saya sendiri juga kadang takut untuk berproduksi”. (Wawancara dengan Bapak Warsono, 23 April 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Beberapa peracik OT mengeluhkan karena mereka belum mampu
memenuhi semua prinsip CPOTB karena keterbatasan modal khususnya
dalam pembuatan gedung standar CPOTB. Hal ini dituturkan oleh Bapak
Warsono dan Parmin (07 Februari 2011) bahwa mereka belum mampu
membuat gedung standar CPOTB karena skala produksi mereka masih
kecil mereka belum mempunyai modal apabila untuk membuat gedung
standar CPOTB. Namun menurut Bapak Warsono beliau menanggapi
positif pembinaan tersebut dan beliau merasa memahami materi yang
disampaikan dalam pembinaan tersebut. Berikut merupakan ungkapan dari
Bapak Parmin,
“Sekarang ini modal darimana mba, saya mengharapkan Dinas Kesehatan memberikan waktu untuk mendapatkan modal membuat gedung dengan memberikan kelonggaran produksi jamu. Biaya untuk membuat gedung tersebut kan tidak sedikit”. (Wawancara 07 Februari 2011)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak Sumanto dengan
skala usaha yang masih relatif kecil. Berikut merupakan ungkapan dari
Bapak Sumanto, “ Kalau usaha saya sudah besar dan memiliki modal ya
saya setuju apabila harus membuat gedung tapi sekarang ini modalnya
belum ada”. (Wawancara 23 April 2011)
Bagi mereka yang skala produksinya menengah ke atas mereka
mengungkapkan akan mencoba untuk mempertimbangkan pembuatan
gedung standar CPOTB. Hal ini diungkapkan oleh mantan salah satu
manajer peracik OT bahwa manajemennya telah mempertimbangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam upaya membuat gedung berstandar CPOTB. Berikut merupakan
ungkapan dari Bapak Wan,
“Ya dari kami sudah pernah membahas akan rencana pembuatan gedung tersebut, dana kayakna ya ada tapi masih kami pertimbangkan karena prosedur yang mengikutinya juga banyak”. (Wawancara 18 Maret 2011)
Berdasarkan ungkapan dari beberapa perajin/pengusaha jamu bahwa
mereka sebenarnya menanggapi positif himbauan untuk pembuatan
gedung yang merupakan prasyarat CPOTB hanya saja mereka belum
mampu memenuhinya karena mereka belum memiliki modal yang cukup
untuk memenuhi syarat CPOTB tersebut. Hal ini sesuai dengan yang
dituturkan oleh Kepala Koperasi Aneka Sari Bapak Amir bahwa
pembinaan tersebut mendapat apresiasi yang baik dari para anggota hanya
saja pelaksanaannya masih lemah. Berikut merupakan ungkapan dari
Bapak Amir,
“Selama ini para perajin si memberikan apresiasi yang cukup baik terhadap pembinaan formal yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan hanya saja dalam pelaksanaannya memang masih cukup lemah”. (Wawancara 27 April 2011)
Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil observasi lapangan yaitu
dari daftar hadir peserta pembinaan yang dilakukan pada tanggal 12 April
2010 jumlah peserta yang hadir hanya berjumlah 52 dari 300 jumlah
undangan. Menurut Sekretaris Koperasi Ibu Kasinem bahwa hal ini karena
kelesuan dari para anggota terhadap pembinaan yang dianggap belum
mampu memberikan solusi yang baik. Berikut merupakan ungkapan dari
Ibu Kasinem,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Mereka pada malas mba, soalnya ya pembinaannya itu-itu saja mereka si paham tapi ya bagaimana mereka belum bisa kalau harus sesuai dengan harapan Dinas Kesehatan dan BPOM.” (Wawancara 18 Februari 2011).
Dari keseluruhan unit kelompok terdapat beberapa unit yang
anggotanya sama sekali tidak ada yang hadir. Yaitu unit 5, 9, dan 11.
Anggota kelompok unit yang banyak hadir mengikuti pembinaan adalah
unit 2 dan 12. Namun berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan
observasi hanya 1 perajin/pengusaha jamu yang menerapkan produksi
murni hanya saja belum memiliki gedung. Secara tidak langsung hasil dari
pembinaan formal yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan BPOM
selama adanya BKO hanya ada 1 perajin/perngusaha yang menerapkan
produksi tanpa BKO. Jumlah peserta 52 tersebut itupun merupakan
termasuk anggota Polsek Kroya sebagai tamu undangan dan beberapa
perajin yang belum tercatat sebagai anggota unit Koperasi. Berikut
merupakan daftar tabel mengenai jumlah peserta yang hadir dalam
pembinaan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan dalam
rangka penyuluhan mengenai tekhnis CPOTB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.6
Daftar Hadir Peserta BinTek CPOTB Bekerjasama Dengan BPOM Semarang
Unit Kelompok(1)
Jumlah(2)
1 42 83 54 35 -6 57 28 49 -10 211 -12 12
Jumlah 45
Sumber: Dokumen Koperasi Aneka Sari
Berdasarkan hasil wawancara dengan mantan Apoteker Koperasi
sekaligus merupakan utusan dari Dinas Kesehatan dalam pembenahan
jamu Cilacap, yaitu Bapak Ferdi pada 30 April 2011 bahwa Dinas
Kesehatan memandang semua peracik OT merupakan orang kaya yang
siap dan mampu dalam memenuhi semua persyaratan CPOTB. Sedangkan
berdasarkan hasil temuan lapangan tidak semua peracik OT merupakan
orang kaya, banyak diantara mereka masih dalam skala ekonomi
menengah. Diungkapkan pula oleh Bapak Ferdi bahwa dari 257 perajin
jamu 222 diantaranya adalah home industry sedangkan sisanya dalam
skala pabrik. Berikut merupakan uangkapan Bapak Ferdi,
”Kadang yang menjadi masalah adalah Dinas Kesehatan memandang semua perajin jamu itu rata-rata orang kaya yang mampu untuk membuat gedung sesuai dengan CPOTB padahal kenyataannya kan tidak seperti itu, itu yang membuat susah. Padahal dari sekitar 257 perajin jamu 222 diantaranya adalah skala home industry”. (Wawancara 30 April 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dinas Kesehatan terbatas dan memfokuskan diri pada permasalahan
tekhnis CPOTB yaitu pembinaan tekhnis pelaksanaan CPOTB. Hal ini di
dukung oleh pernyataan Kepala bagian Farmami beserta staf di dalamnya,
Ibu Listyorini dan Titi (25 April 2011) bahwa Dinas Kesehatan hanya
berfokus pada masalah tekhnis CPOTB. Berikut merupakan uangkapan
dari Ibu Titi,
“Dinas Kesehatan itu cuma sebatas sebagai pelaksana tekhnis saja mba, hal ini sesuai dengan fungsi Dinas Kesehatan. Kalau masalah lainnya itu ya bukan urusan kami. Itu urusan Disperindagkop dengan Koperasisana (Aneka Sari)”. (Wawancara 25 April 2011)
Hal-hal yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti
sistem pelaksanaan temasuk sistem pengolahan limbah dan proses
melegalisasikannya diserahkan kepada Dinas Perdagangan, Industri dan
Koperasi (Disperindagkop) dan Koperasi Aneka Sari. Hal ini terlihat
dalam permasalahan gedung standar CPOTB milik Koperasi yaitu gedung
Central yang belum juga mendapat legalitasnya dari pihak–pihak yang
terkait seperti Dinas Kesehatan dan BPOM karena masih ada kekurangan
yang kemudian diserahkan kepada Disperindagkop dan Koperasi. Yaitu
mengenai belum sesuainya denah gedung, pengolahan limbah serta belum
adanya kesepahaman antara Dinas Kesehatan dengan pengelola Koperasi
mengenai sistem pelaksanaan produksi dan distribusi jamu.
Selain itu Dinas Kesehatan melalui Ibu Listyorini menanggapi
bahwa bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar
CPOTB diharapkan untuk tidak memproduksi obat tradisional dan atau
beralih pada profesi lain. OT hanya boleh beredar asal sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
aturan. Bentuk tanggapan lainnya adalah memberikan motivasi. Berikut
merupakan ungkapan dari Ibu Listyorini, “Ya kalau sekiranya ga bisa ya
alih profesi saja, kan banyak lapangan kerja lainnya tidak hanya jamu bisa
jualan makanan atau lainnya”. (Wawancara 25 Februari 2011)
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Amir Kepala
Koperasi Aneka Sari pada 27 April 2011 bahwa Dinas Kesehatan kurang
memberikan pembinaan yang persuasif. Selain itu Ibu Listyorini (18
Januari 2011) juga mengungkapkan bahwa hasil dari pembinaan tersebut
secara kualitatif belum dapat dinilai efektif karena selalu masih ada saja
yang harus diproses di meja hijau. Pembinaan tersebut juga dilakukan
dengan prosedur penarikan obat tradisional dari peredaran melalui Public
Warning dari BPOM atas produk obat tradisional yang tidak memenuhi
syarat. Efektivitas dari upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
terhadap sejumlah PJ adalah dilihat melalui hasil produksi jamu murni
tanpa menggunakan BKO.
Dengan demikian bahwa tanggapan yang ditujukan dan yang
diberikan oleh Dinas Kesehatan menyikapi adanya BKO pada sejumlah
produksi jamu adalah melalui sosialisasi dan pembinaan CPOTB.
Tanggapan tersebut telah sesuai karena mengacu pada UU Kesehatan yang
berlaku, para perajin juga menanggapinya cukup apresiasif namun dalam
pelaksanaannya Dinas Kesehatan kurang memahami kemampuan para PJ
dalam melaksanakan dan menerapkan CPOTB tersebut sehingga hasil dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tanggapan tersebut belum efektif dalam memecahkan permasalahan yang
ada.
b. Pengenalan Kebutuhan Dalam Pembinaan Jamu Tradisional
Dalam upaya mewujudkan produksi obat tradisional yang sesuai
dengan CPOTB dibutuhkan banyak hal. CPOTB merupakan suatu standar
produksi pada obat tradisional yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Dalam standar CPOTB produsen obat tradisional
harus memiliki gedung standar CPOTB, Apoteker, perijinan yang sah
diantaranya izin IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional), termasuk di
dalamnya alat-alat mesin produksi, pengetahuan tentang khasiat tanaman
obat tradisional, bahan baku, dll.
Masih terkait dengan penjabaran diatas bahwa hal yang
memberatkan para perajin adalah terkait dengan kesediaan fasilitas sesuai
dengan CPOTB khususnya gedung dan alat-alat yang dibutuhkan di
dalamnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Warsono (23 April 2011)
salah seorang peracik OT bahwa agar produksi OT-nya sesuai dengan
CPOTB beliau membutuhkan adanya fasilitas gedung CPOTB karena
skala produksinya masih kecil maka ia belum mampu untuk membuat
gedung yang sesuai dengan CPOTB. Selain itu beliau juga merasa
susahnya mendapatkan bahan-bahan OT di lapangan dalam jumlah yang
besar. Beliau juga mengeluhkan agar perijinan dipermudah. Berikut
merupakan ungkapan dari Bapak Warsono, “Selain gedung, bahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
produksi tanaman obat berkhasiat juga susah didapatkan di pasaran dalam
jumlah yang besar”. (Wawancara 23 April 2011)
Menurut Bapak Parmin (Wawancara 07 Februari 2011) bahwa
dalam CPOTB disyaratkan adanya standar gedung yang juga
merepresentasikan alur produksi yang benar. Gedung tersebut berukuran ±
4 x 12 meter persegi. Pembangunan gedung tersebut harus sesuai dengan
denah yang distandarkan oleh BPOM pusat. Peracik OT dengan skala
usaha yang relatif masih kecil tidak mampu jika harus membuat gedung
yang sesuai dengan CPOTB. Berikut merupakan ungkapan Bapak Parmin,
“Dalam CPOTB itu para perajin harus memiliki gedung sesuai standar BPOM kurang lebih berukuran 4 x 12 meter disitu alur, dan denah diatur. Para perajin yang masih skala kecil mana mampu mba kalau harus membuat gedung yang seperti itu. Saya juga menyayangkan sikap Dinas Kesehatan yang belum juga mendapatkan perpanjangan izin, padahal saya mendapat banyak bantuan dan dukungan dari pihak lain. Menurut saya Dinas Kesehatan kurang maksimal. Mereka hanya akan memberikan izin apabila saya sudah memiliki gedung”. (Wawancara 07 Februari 2011)
Bapak Parmin (07 Februari 2011) juga mengeluhkan sikap Dinas
Kesehatan dalam hal perizinan. Walaupun banyak dinas lain yang ikut
mendukung usaha rintisan OT murni-nya tanpa menggunakan BKO ia tak
kunjung juga mendapatkan perpanjangan izin dari Dinas Kesehatan karena
belum adanya gedung standar CPOTB. Dukungan dari dinas lainnya
terbukti dengan adanya beberapa mesin produksi yang hibahkan
kepadanya. Diantaranya adalah mesin pencampur atau mixer, mesin
pengering atau oven, timbangan, dan mesin penggiling yang semuanya
berasa daril LIPI Jawa Tengah dan Kementrian Riset dan Tekhnologi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tahun 2011 diagendakan bantuan akan kembali turun dari Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Cilacap yaitu mesin pengemas
foil.
Menurut Bapak Parmin (07 Februari 2011) dengan alasan tidak
memilikinya gedung standar CPOTB sampai sekarang proses
perpanjangan izin belum juga diberikan. Beliau menuturkan bahwa ia
keterbatasan modal jika harus memiliki gedung dengan standar CPOTB. Ia
tetap semangat memasarkan hasil produksinya kepada konsumen
walaupun banyak konsumen yang menyangsikan khasiat OT-nya yang
murni tanpa adanya BKO, selain itu produksi OT-nya juga memiliki harga
yang lebih mahal dibandingkan OT dengan BKO.
Diungkapkan oleh Pak Parmin (07 Februari 2011) bahwa izin
produksi dan edar hanya akan diberikan jika telah memiliki standar
CPOTB salah satunya adalah kepemilikan gedung standar CPOTB.
Dengan demikian pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam
pelaksanaannya masih terdapat banyak kekurangan dalam mengenal
kebutuhan produksi OT yang sesuai dengan CPOTB. Bahwa tidak semua
peracik atau pengusaha jamu mampu memiliki gedung standar CPOTB
beserta kebutuhan di dalamnya termasuk membayar Apoteker karena
modal yang belum memadai.
Kebutuhan yang dirasakan oleh Bapak Parmin (07 Februari 2011)
selain gedung dan perijinan ia juga mengungkapkan bahwa ia juga
membutuhkan materi mengenai resep-resep khasiat tanaman tumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang bisa dijadikan sebagai OT. Beliau mengeluhkan materi pembinaan
yang hanya berkutat mengenai CPOTB khususnya denah-denahnya. Ia
mengharapkan adanya materi lain seperti pengetahuan tentang khasiat
tanaman obat serta materi tentang penggunaan bahan pemanis dan
pewarna yang diperbolehkan untuk produksi OT. Pak Parmin (07 Februari
2011) bahwa ia sampai sekarang mengeluhkan susahnya mencari bahan
baku tanaman obat dalam jumlah yang besar, belum lagi jika ada maka
harganya sangat mahal. Berikut merupakan ungkapan Bapak Parmin,
“Saya mengharapkan Dinas Kesehatan juga memberi pengetahuan tentang khasiat tanaman obat, tanaman-tanaman apa saja yang bisa digunakan sebagai obat, bahan pewarna dan pemanis apa saja yang boleh digunakan jangan hanya denah-denah mengenai gedung, selain itu bahan baku di pasaran juga susah dalam jumlah yang besar, jika ada harganya juga mahal”. (Wawancara 07 Februari 2011)
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Wan beliau
merupakan salah seorang mantan manajer peracik obat tradisional skala
menegah keatas mengungkapkan bahwa untuk sekarang ini harga jahe di
pasaran mencapai 8.000 kg.
Diungkapkan oleh Pak Wan 07 April 2011 bahwa untuk
mengajukan izin produksi dan edar harus dilakukan uji laboratorium
terhadap produksi OT agar dipastikan bebas BKO. Uji tersebut dilakukan
secara swadana oleh peracik atau pengusaha OT. Uji laboratorium tersebut
berkisar antara 10 juta sampai 12 juta. Biaya tersebut belum termasuk izin
TR, dan izin BPOM. Hal ini dikeluhkan karena biaya tersebut sangat
mahal tidak sesuai dengan skala usaha yang rata–rata masih kecil. Berikut
merupakan uangkapan Bapak Wan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Prosesnya itu juga banyak mba, jamu harus dilakukan uji laboratorium dulu sebelum mendapatkan izin. Uji laboratorium itu dilakukakan secara swadana dan harganya sekitar 10-12 juta rupiah. Mereka yang usahanya masih kecil saya rasa belum mampu apabila harus melakukan uji laboratorium. Belum lagi proses pengajuan TR dan IKOT”. (Wawancara 07 April 2011)
Selain gedung dan perizinan terdapat kebutuhan lainnya yang sama
pentingnya dalam CPOTB. Yaitu kebutuhan akan Apoteker. Hal ini
diungkapkan oleh Bapak Sumanto (23 April 2011) bahwa ia
mengharapkan terdapat kelonggaran dari Dinas Kesehatan agar seorang
Apoteker bisa membawahi satu unit untuk sementara sampai mereka
merasa mampu untuk membayar Apoteker secara individual.
Diungkapkan oleh Bapak Amir 27 April 2011 bahwa dalam
menyikapi masalah ini gabungan para peracik obat tradisional melalui
wadah Koperasi Aneka Sari merintis pembangunan gedung central dengan
pengajuan dana dalam APBD Kabupaten Cilacap. Gedung tersebut
dibangun pada 20 Februari 2008 dan selesai pada tahun 2009. Namun
belum juga mendapat izin karena masih terbelenggu dalam masalah
pengolahan limbah dan lay-out yang menggambarkan sistem alur
produksi. Sampai saat ini gedung tersebut tidak bisa digunakan dan
mengaggur kurang lebih selama dua tahun. Kelambanan masalah tersebut
sampai sekarang ini terjadi karena keterbatasan dana dan ketatnya
peraturan yang berlaku. Untuk menanggapinya beliau sejak awal tahun
2010 melalui tim di dalamnya telah mengajukan kepada DPRD sekaligus
dalam upaya sinkronisasi mengenai persamaan persepsi dan permasalahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perizinan yang belum juga dikeluarkan. Melalui gedung tersebut
diharapkan semua proses produksi OT dilakukan dalam gedung tersebut
sehingga peracik atau pengusaha OT hanya akan melakukan pemasaran
atau pelabelan produksi sesuai dengan nama merk dagangnya. Hal ini
dilakukan sebagai salah satu strategi untuk menghindari adanya
pencampuran BKO. Gedung ini merupakan tempat untuk mewadahi
mereka para peracik OT skala kecil dengan modal yang terbatas yang
belum mampu untuk membuat gedung CPOTB. Berikut merupakan
ungkapan dari Bapak Amir,
“Untuk mengatasinya kami melalui Koperasi secara bersama-sama merintis pembuatan gedung yang sekarang ini disebut gedung Central. Itu merupakan murni rintisan dari pihak kami untuk mewadahi perajin jamu skala kecil yang tidak mampu untuk memenuhi berbagai persyaratan yang ada termasuk gedung dan segala keperluan di dalamnya. Namun itu belumbisa digunakan karena masih ada beberapa yang harus dibenahi. Diantaranya adalah lay-out, izin ANDAL, serta sistem produksi yang nantinya akan dijalankan belum sinkron dengan harapan Dinas Kesehatan”. (Wawancara 27 April 2011)
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Bapak Ferdi (30 April 2011)
bahwa strategi yang diambil dalam permasalahan ini adalah dengan
merintis gedung central yang merupakan wadah bagi para peracik obat
tradisional yang tidak memiliki gedung standar CPOTB.
Produksi OT hanya diizinkan beredar apabila memiliki perizinan
yang sah dan lengkap. Perizinan tersebut meliputi IKOT/IOT, Izin Prinsip.
Izin tersebut hanya bisa dikeluarkan apabila semua persyaratan CPOTB
telah terpenuhi dengan baik oleh peracik obat tradisional. Dengan
demikian sekarang ini para peracik OT tidak bisa memproduksi atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengedarkan OT secara sah hukum. Menurut Bapak Ferdi (30 April 2011)
bahwa seharusnya pada tahun 2010 semua IOT atau IKOT harus sudah
ditutup semua, namun Dinas Kesehatan masih memberikan kelonggaran
kepada PJ untuk berbenah diri sampai dengan saat ini. Dikemukakan oleh
Bapak Amir 27 April 2011 bahwa susahnya proses perizinan terjadi sekitar
awal bulan Januari 2010 sampai sekarang ini. Sedangkan sebelumnya
masih dirasa mudah dalam mengajukan perizinan baik pembuatan
perizinan maupun perpanjangan izin. Berikut merupakan ungkapan dari
Bapak Ferdi,
”Izin yang harus dipenuhi itu macam-macam, ada izin IKOT/IOT, Izin Prinsip, dan TR. Kalau semua izin tersebut sudah terpenuhi maka produk tersebut baru boleh edar sah secara hukum. Sebenarnya awal tahun 2010 jamu Cilacap harus ditutup semua, namun Dinas Kesehatan masih memberikan kelonggaran kepada perajin untuk berbenah diri”. (Wawancara 30 April 2011)
Dengan demikian apabila mengacu pada permasalahan yang ada,
upaya baik dari Dinas Kesehatan apabila tidak diimbangi dengan
pengenalan permasalahan, sikap humble dan sikap fleksibilitas terhadap
kondisi yang ada maka sikap baik tersebut akan susah dirasakan oleh para
perajin. Akan menjadi lebih baik apabila upaya Dinas Kesehatan untuk
memberikan kesempatan kepada perajin untuk berbenah diri juga
mendapat pengawalan, bimbingan, arahan dan bantuan yang
memungkinkan untuk dilakukan sehingga permasalahan yang dihadapi
oleh para perajin bisa teratasi dengan baik sesuai dengan pengamalan
prinsip NPS bagi Dinas Kesehatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menanggapi hal ini Dinas Kesehatan hanya akan memberikan
pengarahan hal-hal yang harus dipenuhi dalam tercapainya legalitas
gedung central. Berkaitan dengan pemecahan masalah yang ada di
dalamnya, Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kepada Koperasi dan
Disperindagkop. Hal ini seperti upaya mendapatkan izin ANDAL dan
upaya yang dilakukan Koperasi dalam pembenahan lay-out. Berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan mesin dan bahan baku hal ini memang
merupakan fungsi Disperindagkop.
Sehubungan dengan sosialisasi penggunaan gedung central Dinas
Kesehatan lebih menyerahkan kepada Koperasi. Persyaratan adanya
Apoteker juga diserahkan kepada perajin itu sendiri atau Koperasi.
Berkaitan dengan beragai kebutuhan tersebut Dinas Kesehatan kurang
maksimal dalam berperan berkaitan dengan sifat kegiatan usaha ini yang
merupakan jenis usaha masyarakat skala kecil dalam kelompok yang besar
yang menyangkut kehidupan orang banyak.
Akan menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan ikut membantu
upaya positif dari Koperasi dengan cara mendukung lancarnya
pelaksanaan gedung tersebut melalui upaya ikut mensosialisasikan kepada
perajin untuk secara maksimal memanfaatkan adanya gedung tersebut,
membantu dalam pemecahan masalah gedung, ikut membantu yang
mungkin bisa dilakukan agar gedung tersebut cepat bisa dirasakan
manfaatnya oleh para perajin melalui sikap fleksibilitasnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Secara tidak langsung Dinas Kesehatan menjabarkan berbagai
masalah yang ada, menjelaskan yang seharusnya dilakukan namun dalam
pelaksanaan prasyarat tersebut Dinas Kesehatan kurang maksimal. Akan
menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan juga secara bersama-sama
merespon hal-hal yang dibutuhkan oleh PJ berkaitan dengan CPOTB.
Dikemukakan oleh Kepala bagian Farmami sesuai dengan
kewenangan dan peran Dinas Kesehatan hanya bewenang dalam
memberikan pembinaan dalam hal tekhnis CPOTB. Dinas Kesehatan
hanya sebagai pengarah, motivator dan pemberi izin legalitas bersama
dengan BPOM. Berikut merupakan ungkapan Ibu Titi bagian Farmami,
”Mba kita itu hanya berwenang sebagai pelaksana tekhnis saja, urusan yang lain-lain itu bukan urusan kami. Kita itu hanya sebagai motivator agar para pengusaha jamu itu tidak menggunakan BKO”.(Wawancara, 25 April 2011)
Berdasarkan berbagai kebutuhan-kebutuhan tersebut
pengenalannya masih belum efektif. Terdapat banyak kebutuhan yang
dibutuhkan oleh para perajin dalam upaya CPOTB. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut diantaranya adalah Gedung standar CPOTB, serta prasyarat yang
ada di dalamnya termasuk Apoteker, perizinan, bahan baku serta tata
laksana produksi. Selain gedung, kebutuhan lainnya yaitu terkait
pengetahuan mengenai tanaman khasiat obat. Dinas Kesehatan cenderung
menganggap bahwa para perajin mampu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut padahal faktanya tidak demikian. Kebutuhan prasyarat
seperti gedung yang telah dirintis oleh Koperasi Aneka Sari bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merupakan upaya pemberdayaan dan motivasi dari Dinas Kesehatan dalam
memenuhi prasyarat dalam CPOTB. Motivasi yang diberikan merupakan
motivasi produksi jamu tanpa menggunakan BKO, namun upaya dalam
realiasasinya masih kurang efektif.
c. Pemenuhan Kebutuhan
Responsivitas Dinas Kesehatan bukan hanya dilihat dari
kemampuan menanggapi masalah dan pengenalan kebutuhan. Hal lainnya
yaitu kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Pengenalan
kebutuhan tanpa pemenuhan kebutuhan maka permasalahan tidak akan
terpecahkan. Berbagai kebutuhan PJ tersebut membutuhkan peranan
lembaga-lembaga pemerintah terkait, khususnya Dinas Kesehatan sesuai
dengan tupoksinya. Berkaiatan dengan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai
dengan tupoksinya yaitu berkaitan dengan perizinan dan hal-hal yang
terkait di dalamnya. Hal ini tidak lain adalah gedung CPOTB dan berbagai
persyaratan di dalamnya termasuk Apoteker dan sistem pelaksanaan
produksi jamu.
Berkaitan tidak semua PJ mampu membuat gedung standar
CPOTB, maka dalam penunjang kelancaran produksi diharapkan Dinas
Kesehatan ikut membantu dalam perwujudan dan lancarnya kegiatan
gedung Central. Diungkapkan oleh Ibu Listyorini dan Titi pada hari Senin
25 April 2011 bahwa berkaitan dengan gedung central merupakan
wewenang Disperindagkop, Dinas Kesehatan hanya sekedar pemaparan
mengenai tekhnis CPOTB dan pemberi izin. Dengan demikian upaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemenuhan kebutuhan para PJ oleh Dinas Kesehatan masih kurang
maksimal hal ini karena terdapat banyak unsur-unsur yang terkait dalam
perwujudan CPOTB yang harus dipenuhi oleh PJ.
Akan menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan bekerjasama
dengan Disperindagkop dan PJ melalui Koperasi dalam pemenuhan
kebutuhan terkait dengan berjalannya gedung central agar mampu
memberikan manfaat yang maksimal bagi pengrajin sehingga kegiatan
produksi dan distribusi jamu tidak lagi bermasalah. Diharapkan apabila
gedung tersebut berjalan sesuai dengan tujuannya yaitu produksi jamu
tanpa BKO serta mampu diberdayakan sebagai penghasil PAD. Bapak
Amir pada Rabu 27 April mengungkapkan,
“Pembinaan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan bahwa pembinaan tersebut kurang persuasif kepada PJ, perijinan belum terpenuhi dengan baik, pengawasan yang tidak hanya penyalahan kepada PJ tapi juga mengandung bimbingan, serta pemasaran termasuk di dalamnya pencitraan kembali Jamu Cilacap yang belum maksimal. Pada awal tahun 2010 pengetatan perijinan mulai diberlakukan. Pengetatan ini harusnya diimbangi dengan persiapan yang mendukung sehingga akan menjadiimplementable kepada para PJ. Penerapan kebijakan apabila tidak diimbangi dengan fasilitas pendukung maka penerapan tersebut akan menjadi terkendala”. (Wawancara, 27 April 2011)
Apabila Dinas Kesehatan ingin menciptakan jamu atau obat
tradisional yang sesuai dengan CPOTB, Dinas Kesehatan juga harus
menyiapkan hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip CPOTB
khususnya bagi mereka yang modal usahanya masih relatif kecil. Yaitu
Dinas Kesehatan ikut membantu dalam memberikan solusi pemenuhan
prinsip-prinsip tersebut sehingga tidak hanya menyerahkan sepenuhnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kepada PJ. Sesuai dalam penerapan good governace bahwa pemerintah
berkewajiban dalam memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap
kepentingan masyarakat. Bapak Amir juga mengungkapkan,
“Jamu Cilacap tumbuh sejak puluhan tahun yang lalu jangan sampai nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya karena BKO yang muncul 10 tahun terakhir akhirnya berdampak pada kematian usaha ini dan menciptakan pengagguran dalam jumlah yang besar”. (Wawancara, 27 April 2011)
Dalam pembinaan informal di lapangan sering kali membuat
ketakutan para PJ yang merasa menggunakan BKO karena apabila terbukti
kasusnya akan dilimpahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan. Seringkali
dilakukan perampasan alat-alat produksi. Sehingga pembinaan informal
termasuk di dalamnya penyuluhan akan menjadi terkendala karena
seringkali diliputi rasa emosi antara kedua belah pihak.
Berdasarkan pengamatan di lapangan belum ada PJ yang telah
membuat gedung standar CPOTB sehingga selama itu sejak awal tahun
2010 Dinas Kesehatan belum mengeluarkan surat izin kepada PJ.
Diungkapkan oleh Bapak Ferdi 30 April 2011 bahwa untuk gedung central
telah mendapat persetujuan izin namun masih terkendala dalam
pengolahan limbah. Hal ini dapat dikatakan bahwa izin tersebut masih
bersifat semu.
Begitupula dengan persyaratan adanya Apoteker dalam suatu PJ.
Dalam prinsip CPOTB mensyaratkan adanya minimal satu Apoteker
dalam suatu PJ. Hal ini juga tidak mampu dipenuhi oleh PJ yang memiliki
modal sedikit. Diungkapkan oleh Ibu Listyorini dan Ibu Titi pada senin 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
April 2011 bahwa setiap PJ harus memiliki minimal satu Apoteker.
Apoteker tersebut tidak boleh membawahi lebih dari satu PJ. Dengan
demikian untuk masalah ini para PJ yang tidak mampu mambayar
Apoteker mau tidak mau harus menginduk di gedung central yang
memiliki Apoteker di dalamnya. Biaya Apoteker tersebut dibebankan pada
biaya produksi tambahan yang akan dikenakan pada hasil produksi jamu.
Sedangkan selama ini gedung tersebut belum juga beroperasi.
Menurut Bapak Ferdi 30 April 2011 nantinya apabila gedung
Central dalam produksi jamu, harga jamu atau obat tradisional yang akan
diberikan kepada PJ seharga 25,000. Setiap 25 box maka akan dikenakan
biaya 25,000 dan kelipatannya untuk PPh, dan biaya produksi tambahan
lainnya. Dengan demikian jenis usaha ini potensial sebagai penghasil PAD
apabila dikelola dengan baik. Para PJ diharapkan nantinya hanya
melakukan penjualan kepada konsumen atau distributor sesuai dengan
kemasan dan nama merk dagang masing-masing perajin. Hal ini dilakukan
untuk menghindari adanya pencampuran BKO kembali. Berikut
merupakan uangkapan Bapak Ferdi,
“Itu nanti rencananya gedung Central akan melakukan penyerbukan dan pengemasan sesuai dengan kemasan yang diberikan oleh masing-masing perajin. Harga yang akan diberikan rencanya satu box harganya 25,000 rupiah, dari 25 box dan kelipatannya akan dikenakan biaya 25,000 sebagai biaya PPh dan biaya produksi lainnya yang nantinya akan meningkatkan PAD Kabupaten Cilacap”. (Wawancara 30 April 2011)
Sistem ini ternyata tidak lepas dari konflik, beberapa PJ melalui
Koperasi merasa keberatan dengan keputusan yang direkomendasikan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dinas Kesehatan beserta Apotekernya. Beberapa PJ melalui Koperasi
mengharapkan agar gedung central mengeluarkan serbuk khasiat dalam
bentuk tepung serbuk serta pengemasan dilakukan oleh masing-masing PJ.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Koperasi Bapak Amir 27 April 2011
bahwa Koperasi mengharapkan agar sistem produksi pada gedung central
hanya sebatas pada peracikan tepung khasiat sedangkan pengemasan
dilakukan oleh masing-masing PJ. Berikut merupakan ungkapan Bapak
Amir, “Kami mengharapkan sistem produksi nantinya gedung central
hanya melakukan penyerbukan bahan-bahan, pengemasan dilakukan oleh
para perajin”. (Wawancara, 27 April 2011)
Begitupula dengan pernyataan dari Bapak Ferdi 30 April 2011
bahwa Koperasi menghendaki pengemasan serbuk diserahkan kepada
masing-masing PJ sehingga gedung central hanya melakukan produksi
tepung khasiat.
Menurut Bapak Ferdi bahwa masalah ini memberikan
pertimbangan tersendiri bagi Dinas Kesehatan dalam memberikan legalitas
gedung central. Dinas Kesehatan mengkhawatirkan akan terjadi
pencampuran BKO kembali. Dengan demikian belum terjadi kesatuan
konsensus untuk tujuan bersama antara Dinas Kesehatan dan PJ dalam
penyelesaian BKO pada jamu Cilacap.
Dapat terlihat bahwa penghilangan BKO pada sejumlah PJ di
Cilacap cukup susah. Selain karena permasalahan modal, hal ini karena
tingkat finansial atau keuntungan yang menjanjikan pada penggunaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BKO dalam produksi jamu atau obat tradisional. Biaya produksi yang
hanya 7000 per-box dapat dijual seharga 15.000 per-box. Berbeda dengan
produksi tanpa BKO yang diperkirakan 25.000 per-box. Diungkapkan oleh
Bapak Ferdi 30 April 2011 bahwa murahnya biaya produksi dengan BKO
karena tepung yang digunakan merupakan tepung non-khasiat atau ampas
sisa produksi PT besar seperti Sidomuncul. Sedangkan apabila tanpa BKO
maka khasiat yang diandalkan adalah dari tepung khasiat yang masih
belum diambil ekstrak-nya. Berikut merupakan ungkapan dari Bapak
Ferdi,
”Memang susah mba menghilangkan BKO karena keuntungan yang dijanjikan dengan menggunakan BKO sehingga perajin kadang masih sering tergoda untuk menggunakan BKO. Hal ini karena dalam menggunakan BKO tepung yang digunakan adalah tepung dasar yang sudah diambil ekstraknya oleh PT-PT besar seperti Sidomuncul dan lainnya dan ampasnya dibuang ke sini (Cilacap) sehingga harga tepung tersebut murah. Namun dari sisi konsumen mereka kadang justru lebih menyukasi yang BKO karena selain harganya yang murah khasiat yang dirasakan juga cepat hanya 1-2 hari khasiat sudah dapat dirasakan sedangkan apabila menggunakan tepung khasiat kami sudah menelitinya sekitar 2-3 hari khasiat bisa dirasakan. Hanya saja karena pada BKO tepung yang digunakan adalah ampas yang teksturnya kasar bisa membahayakan organ hati”. (Wawancara, 30 April 2011)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut diatas bahwa dari sisi
konsumen mereka lebih menyukai jamu dengan BKO karena harganya
yang murah dan khasiat yang cepat hanya sekitar 1-2 hari khasiat sudah
dapat dirasakan berbeda dengan tanpa BKO sekitar 2-3 hari. Hal ini juga
dikuatkan oleh pernyataan Bapak Ferdi 30 April 2011 bahwa dari sisi
konsumen sendiri mereka lebih menyukai penggunaan BKO karena
khasiatnya cepat, hanya saja ini bisa membahayakan organ hati dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penggunaan jangka panjang karena tepung tersebut sifatnya kasar karena
merupakan ampas.
Untuk menghilangkan BKO pada produksi jamu atau obat
tradisional maka dibutuhkan niat bersama untuk membenahi dan
menunjang beberapa faktor pendukungnya. Niat bersama dapat terbentuk
melalui kesamaan konsensus antara PJ dan Dinas Kesehatan dengan
komunikasi yang baik. Untuk menciptakan kesamaan konsensus Dinas
Kesehatan harus menyiapkan strategi yang tepat kepada PJ agar mereka
beralih meninggalkan BKO. Apabila dengan jalan kekerasan melalui
hukum belum juga efektif dan memberi dampak yang berkepanjangan
maka Dinas Kesehatan harus lebih berfokus pada upaya pendekatan
sebagai pengayom yang didambakan oleh masyarakat. Yaitu melalui
pendekatan yang sinergis menempatkan diri dalam permasalahan para PJ
tersebut dan membimbing mereka agar meninggalkan BKO.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan
dalam upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan PJ masih kurang maksimal.
Komunikasi yang dibangun oleh Dinas Kesehatan sekiranya juga masih
kurang maksimal terlihat masih adanya perbedaan konsensus yang belum
terpecahkan. Selain itu fleksibilitas dalam menjalankan tugasnya juga
dirasa kurang maksimal karena pengetatan peraturan yang dilakukannya.
Hal ini terlihat dalam kurang maksimalnya Dinas Kesehatan melibatkan
diri dalam kebutuhan-kebutuhan tersebut tentunya dalam hal-hal yang
masih berhubungan dengan tupoksinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
d. Kecepatan dalam pemenuhan kebutuhan
Kecepatan pemenuhan kebutuhan akan mempengaruhi kecepatan
dalam pencapaian tujuan atau pemecahan suatu masalah. Semakin cepat
suatu lembaga atau instansi memberikan pelayanan atau pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya maka akan semakin responsif
lembaga atau instansi tersebut kepada kebutuhan masyarakat.
Kecepatan Dinas Kesehatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ
dalam pelaksanaan dan penerapan CPOTB dapat dilihat ketika Dinas
Kesehatan memenuhi kebutuhan para PJ. Yaitu melihat upaya pemenuhan
kebutuhan yang diharapkan oleh PJ kepada Dinas Kesehatan telah sesuai
dengan waktu yang diharapkan oleh para PJ atau belum. Semakin cepat
Dinas Kesehatan memenuhi kebutuhan PJ maka Dinas Kesehatan dapat
dikatakan responsif terhadap kebutuhan PJ. Kecepatan Dinas Kesehatan
dalam pemenuhan kebutuhan kepada PJ dapat dilihat ketika Dinas
Kesehatan memberikan izin kepada PJ baik izin IOT atau IKOT ataupun
Izin Prinsip serta kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti gedung CPOTB
dan berbagai unsur di dalamnya. Semua prasyarat CPOTB sebenarnya
mengarah pada pencapaian izin yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan.
Izin hanya diberikan apabila semua prasyarat telah terpenuhi.
Diungkapkan oleh Bapak Amir bahwa sebelum tahun 2010 proses
perizinan dikatakan cukup mudah dan lancar hanya sekitar 1-2 minggu.
Berikut merupakan ungkapan Bapak Amir,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
“Kalau dulu sebelum tahun 2010 si lumayan mudah dan cepat mendapatkan izin, mulai awal tahun 2010 sampai sekarang menjadi lumayan susah. Sekarang ini karena ada pengetatan. Ya sejak maraknya isu tentang jamu Cilacap”. (Wawancara, 27 April 2011)
Bapak Warsono dan Parman juga mengungkapkan hal yang sama.
Sampai sekarang Bapak Parman meminta perpanjangan izin belum juga
dikeluarkan walaupun beliau mendapat dukungan dari LIPI,
Disperindagkop, dan Kementrian Riset dan Tekhnologi.
Diungkapkan oleh Kepala Bagian Farmami Ibu Listyorini (25
April 2011) bahwa Dinas Kesehatan berjanji apabila semua prasyarat
sudah terpenuhi maka pihaknya pasti akan memberikan izin. Kesulitan izin
sejak awal tahun 2010 merupakan wujud tanggapan Dinas Kesehatan atas
pemberitaan media massa yang pada waktu itu yang terus melakukan
pembunuhan terhadap jamu tradisional Cilacap yaitu dengan kebijakan
untuk menutup Jamu Cilacap pada tahun 2010. Namun Dinas Kesehatan
memberikan kesempatan untuk berbenah diri kepada para PJ. Dalam hal
ini Dinas Kesehatan lebih menempatkan diri pada posisi di luar arena
lapangan, pihaknya hanya akan memberikan penilaian melalui izin yang
dikeluarkan. Pelaksanaan dalam lapangan (permasalahan) pihaknya lebih
berperan sebagai motivator yang menonton.
Mengenai kebutuhan pembinaan yang persuasif, Dinas Kesehatan
telah memenuhinya dengan cepat yaitu tiga bulan sekali hanya saja
pembinaan ini masih kurang efektif. Hal ini karena pembinaan tersebut
hanya bersifat eksplanasi mengenai tekhnis-tekhnis CPOTB dan syarat-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
syarat yang harus dipenuhi oleh para PJ agar mendapatkan izin produksi.
Selain itu apabila ditemukan produk yang tidak sesuai maka akan
dilakukan penyitaan barang dan alat produksi. Namun usaha Dinas
Kesehatan agar para PJ mampu sesuai dengan harapan Dinas Kesehatan
berperan kurang menonjol. Berikut merupakan ungkapan Bapak Amir,
”Ya kalau pembinaan si cukup cepat biasanya tiga bulan sekali dilakukan
pembinaan oleh Dinas Kesehatan bekerjasama dengan BPOM”.
(Wawancara, 27 April 2011)
Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan tekhnis lainnya meliputi
gedung, Apoteker dan lainnya yang akan diwadahi dalam gedung central
oleh para PJ melalui Koperasi masih terdapat kekurangan pada lay-out dan
pengolahan limbahnya. Sesuai dengan tupoksinya harusnya Dinas
Kesehatan lebih melibatkan diri membantu dalam memberikan solusi
mengenai pembenahan lay-out.
Akan menjadi lebih baik apabila Dinas Kesehatan lebih bersikap
untuk fleksibel terhadap persoalan yang ada dan yang memungkinkan
untuk dilakukan dengan pertimbangan tingkat pentingnya suatu
persyaratan apabila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat banyak
yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Misalnya saja adalah
pada persoalan lay-out. Lay-out tersebut merupakan suatu denah gedung
agar sesuai dengan perundang-undangan. Sekiranya tingkat bahaya yang
akan dihasilkan dengan ukuran gedung yang kurang sesuai dengan tingkat
bahaya yang ditimbulkan pada hasil produksi kurang memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kontribusi yang penting. Apalagi jika hal ini dipertimbangkan pada
sejumlah masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini serta
keuntungan yang segera akan didapat apabila gedung tersebut dapat
digunakan secepatnya. Sekiranya hal ini bisa dijadikan pertimbangan bagi
Dinas Kesehatan.
Hanya sebagai perbandingan Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas memberikan kelonggaran untuk permasalahan gedung yang
masih dalam proses pembuatan asalkan PJ tersebut bebas tanpa
menggunakan BKO. Secara tidak langsung Dinas Kesehatan tersebut
cukup fleksibel dan hasil yang didapat cukup efektif dengan memberikan
kesempatan kepada PJ untuk berbenah melalui suatu kebijakan yang nyata.
Kecepatan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dapat dinilai
dengan seberapa besar upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan PJ secara cepat, efektif dan efisien.
Apabila Dinas Kesehatan berupaya maksimal dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan PJ maka kebutuhan-kebutuhan tersebut akan cepat
dirasakan manfaatnya oleh PJ. Sejauh ini upaya pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan PJ oleh Dinas Kesehatan kurang maksimal sehingga sampai
sekarang PJ belum merasakan manfaat dari kebutuhan-kebutuhan yang
mereka harapkan dari Dinas Kesehatan. Dengan dekimian kecepatan Dinas
Kesehatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ masih lemah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Hambatan Responsivitas Dinas Kesehatan
1) Sumber Daya Uang
a. Uang Sebagai Faktor Modal
Dalam pelaksanaan suatu tujuan atau program tidak terlepas dari
kebutuhan akan uang. Tanpa adanya sumber daya uang kelancaran
pelaksanaan suatu program ataupun usaha pemberian pelayanan yang
prima akan terganggu. Begitupula dalam pelayanan yang diberikan
oleh Dinas Kesehatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ. Dalam
upaya memberikan pelayanan sesuai yang diharapkan oleh para PJ
Dinas Kesehatan tidak terlepas dari kebutuhan akan biaya dalam
jumlah yang besar. Kebutuhan biaya tersebut baik untuk kegiatan
operasional maupun alokasi dana untuk membantu memenuhi
kebutuhan tekhnis produksi jamu atau obat tradisional untuk realisasi
CPOTB.
Berdasarkan pernyataan Ibu Titi bahwa Dinas Kesehatan
mendapatkan alokasi dana 50 juta untuk anggaran kegitan tahun 2010-
2011 untuk kegitan pembinaan sehingga kegiatan yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan hanya sebatas pembinaan tekhnis. Alokasi yang
diharapkan oleh Dinas Kesehatan adalah 100 juta hanya saja alokasi
dana yang diberikan hanya 50 juta termasuk didalamnya pembinaan
tidak hanya kepada PJ namun juga pengusaha makanan dan
minumannya lainnya di Kabupaten Cilacap. Dinas Kesehatan melalui
bagian Farmami mengharapkan agar pada tahun 2012 pihaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mendapatkan alokasi dana sebesar 100 juta sehingga pihaknya lebih
fokus dan berbuat lebih responsif terhadap kebutuhan para PJ.
Dana 50 juta tersebut digunakan oleh bagian Farmami salah satunya
untuk melakukan pembinaan formal setiap 3 bulan sekali dan
pembinaan informal secara interaktif hampir setiap 3-4 minggu ke
lapangan kepada lebih dari satu PJ. Dalam menyikapi hal ini Dinas
Kesehatan bekerjasama dengan BPOM dalam melakukan pembinaan.
Hal ini dilakukan dengan mengadakan pembinaan secara bersama-
sama ke lapangan yaitu kepada para PJ. Selain memangkas biaya hal
ini juga untuk merekatkan tupoksi mereka sehingga diharapkan tujuan
mereka akan lebih mudah tercapai.
Permasalahan modal selain dari pihak Dinas Kesehatan, juga
modal dari pihak PJ. Hal ini karena PJ belum mampu secara modal
untuk memenuhi kebutuhan gedung standar CPOTB, Apoteker, mesin
serta bahan baku.
b. Uang Sebagai Nilai Keuntungan Yang Diperoleh
Faktor uang selain memberikan kendala sebagai modal penciptaan
responsivitas Dinas Kesehata kepada para PJ, uang juga menjadi
kendala lain. Uang yang merupakan wujud dari sebuah keuntungan
dalam dunia usaha khususnya usaha jamu dalam jumlah yang cukup
besar membuat para PJ enggan untuk beralih meninggalkan BKO.
Tingginya nilai ekonomi atau jaminan keuntungan yang diberikan
oleh produksi jamu BKO membuat pembinaan jamu atau obat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tradisional tanpa BKO menjadi begitu susah dan membutuhkan usaha
yang ulet dan konsisten secara terus–menerus. Harga pokok yang
begitu rendah pada penggunaan BKO yaitu sekitar 7000 rupiah
menjanjikan keuntungan yang besar bagi para PJ dan distributornya.
Hasil produksi jamu BKO ini dijual dipasaran dengan harga kisaran
12,000-17,000 merupakan suatu keuntungan yang fantastis.
Tingginya nilai rupiah jamu tradisional BKO memberikan
pertimbangan tersendiri bagi sejumlah PJ untuk meninggalkan BKO.
Harga biaya produksi yang rendah dengan pencampuran BKO mampu
memberikan keuntungan yang tinggi. Berbeda dengan biaya produksi
apabila menggunakan ekstrak tumbuhan berkhasiat ditambah lagi
beberapa hal yang mendukung untuk pengalihan ke ekstrak tanaman
khasiat belum menunjang.
Tingginya harga tepung ekstrak tumbuhan berkhasiat disebabkan
karena tingginya harga bahan-bahan pokok yaitu tumbuhan–tumbuhan
berkhasiat. Selain harganya mahal dipasaran, bahan–bahan pokok
tersebut juga susah dicari di lapangan. Dengan berbagai hal yang
dianggap lebih menyulitkan proses produksi yang sesuai dengan
CPOTB, sejumlah PJ lebih memilih menggunakan BKO dengan
proses produksi yang lebih cepat. Proses produksi tersebut lebih
murah dibandingkan standar CPOTB selain karena mereka memang
belum mampu secara modal untuk sesuai dengan standar CPOTB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berbagai pertimbangan tersebut mereka lebih memilih
menggunakan BKO dan pembinaan CPOTB menjadi kurang efektif.
Keuntungan dua kali lipat yang diberikan oleh produksi BKO begitu
dijadikan sandaran hidup bagi para PJ. Dahulu tingkat pendidikan
keluarga menjadi lebih terjamin, biaya kesehatan menjadi lebih
terjamin serta kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Upaya untuk
merubah pandangan mengenai nilai keuntungan dari produksi dengan
BKO menjdi murni ekstrak tanaman khasiat dibutuhkan suatu strategi
yang matang, tepat dan kontinu dari berbagai pihak yang berada di
dalamnya khususnya Dinas Kesehatan yang berwenang dalam
mengatasi masalah BKO pada sejumlah produk jamu dalam wilayah
administrasi Kabupaten Cilacap.
Salah satu PJ yaitu Serbuk Manjur melalui Apotekernya mengatakan
pada tahun kejayaan PJ Cilacap pihak Serbuk Manjur mampu
mencapai 500 juta per-bulan. Kejayaan jamu Cilacap terjadi antara
tahun 1997-2000. Diungkapkan oleh Bapak Ferdi yang juga
merupakan Apoteker Serbuk Manjur pada 30 April 2011 bahwa
kejayaan Serbuk Manjur sampai meng-iklankan produksinya pada
salah satu TV swasta nasional dan mengekspor produksinya sampai di
Singapure, Taiwan dan negara-negara lainnya. Begitupula pada PJ-PJ
lain mencapai omzet 200 juta per-bulan. Kejayaan ini terjadi sebelum
adanya pencampuran BKO pada sejumlah produksi jamu. Serbuk
Manjur kini telah benar-benar berhenti berproduksi karena pihaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terbukti ikut mencampuri produksinya dengan BKO pada waktu
belakangan ini. Sekitar 3000 karyawannya telah berhenti bekerja dan
mereka kini hanya mengandalkan pekerjaan serabutan disekitar
mereka. Akibatnya banyak anak-anak mereka yang kini harus terpaksa
memperoleh pendidikan seadanya. Menamatkan sampai tingkat SMA
dan sederajatnya pun terasa sangat susah apalagi biaya pendidikan
yang semakin mahal. Jauh berbeda ketika mereka masih merasakan
manfaat atas aliran distribusi pendapatan dari jamu khususnya
sebelum ada BKO. Begitupula dengan karyawan dari PJ lainnya.
Keuntungan yang mereka dapat ketika merasakan kejayaan jamu
lama-lama habis beserta modal produksi karena tidak sedikit yang
terus disita oleh pihak Dinas Kesehata, BPOM dan Kepolisian.
Berikut merupakan ungkapan dari Bapak Ferdi,
“Dulu mba waktu jaman suksesnya jamu Cilacap para PJ mendapatkan uang 50 juta ia saking gampangnya. Itu sekitar tahun 1997-2000. Tiap PJ minimal punya karyawan 10-15 orang. Belum lagi seperti Serbuk Manjur yang merupakan PJ yang cukup besar pada waktu itu sampai memiliki karyawan sekitar 3000 orang meliputi masyarakat tetangga desa. Serbuk Manjur dulu juga sampai mengekspor produksi ke beberapa negara seperti Singapure, Taiwan dan negara-negara tetanggana lainya. Peresmian gedung dan kantor Serbuk Manjur diresmikan oleh Kepala BPOM Pusat pada waktu itu. Namun karena seiring perkembangan sehingga Serbuk Manjur ikut menggunakan BKO dan diketahui oleh BPOM dan Dinas Kesehatan usaha kami kini menjadi hancur dan kini kami sedang berusaha untuk berbenah diri”. (Wawancara, 30 April 2011)
Rendahnya harga produksi jamu ini juga didukung oleh para
konsumennya yang tersebar diseluruh Indonesai bahkan sampai diluar
negeri. Mereka justru merasa tertolong dengan adanya obat tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari Cilacap. Dengan harga yang cukup terjangkau bagi mereka,
mereka bisa merasakan khasiatnya secara manjur dan cepat. Berkaitan
dengan adanya isu BKO yang disiarkan oleh berbagai media massa
opini terbagi menjadi dua. Dari sejumlah konsumen ada yang merasa
takut dan ada pula yang merasa percaya pada jamu atau obat
tradisional ini karena selama bertahun-tahun berlangganan jamu
tersebut mereka merasa tidak merasakan efek negatif yang diisukan
oleh media publik. Hal ini juga dituturkan oleh sejumlah konsumen
jamu atau obat tradisional buatan Ibu Sum bahwa para konsumennya
masih mempercayai produknya hanya saja para distributornya merasa
ketakutan karena sering mendapat inspeksi dari Kepolisian. Berikut
merupakan ungkapan Ibu Sum:
”Kalau dari pelanggan saya si mereka biasa-biasa aja masih banyak yang pesen. Orang mereka jadi langganan saya sudah cukup lama dan mereka merasa biasa-biasa saja malah merasa terbantu. Hanya saja sekarang saya takut karena belakangan ini sering terjadi penertiban dan penyitaan barang oleh pihak Dinas Kesehatan dan Kepolisian”. (Ibu Sum 25 April 2011)
Dengan demikian nilai keuntungan yang dijanjikan dengan BKO
merupakan faktor tersendiri yang menjadikan PJ susah untuk beralih
menggunakan tanaman khasiat obat selain karena faktor-faktor
pendukungnya memang belum terpenuhi dengan baik.
2). Komunikasi
a. Lemahnya Konsensus
Kesamaan konsensus merupakan hal yang penting dalam
melaksanakan suatu kebijakan atau program. Khususnya antara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemberi dan penerima program. Tanpa adanya kesamaan konsensus
maka tujuan program tersebut akan sulit dimengerti oleh penerima
program atau sasaran. Begitupula dengan harapan para PJ sebagai
kelompok sasaran tidak akan dimengerti dengan baik oleh Dinas
Kesehatan apabila konsensus diantara keduanya lemah. Ataupun
tujuan dari Dinas Kesehatan akan susah dimengerti oleh PJ. Dengan
adanya kesamaan konsensus maka tujuan bersama antara Dinas
Kesehatan dan PJ akan lebih mudah untuk mendapatkan titik tengah
sebagai wujud solusi bersama.
Lemahnya konsensus diantara Dinas Kesehatan dan PJ terlihat
pada perbedaan pemikiran diantara keduanya. Di salah satu pihak
Dinas Kesehatan mengharuskan semua PJ yang ingin berproduksi
harus telah sesuai dengan CPOTB. Di sisi lain PJ belum mampu untuk
memenuhi semua prasyarat CPOTB. Menurut Dinas Kesehatan semua
PJ merupakan kelas ekonomi keatas yang dianggap mampu memenuhi
semua prasyarat CPOTB. Dinas Kesehatan juga menganggap bahwa
semua PJ menggunakan BKO dan paradigma bahwa PJ susah untuk
meninggalkan BKO. Berikut merupakan ungkapan Ibu Titi bagian
Farmami,
”La mba rumah mereka aja bagus-bagus, besar-besar. Mereka semua itu rata-rata sudah menggunakan BKO. Mereka sudah susah dibilangin”. (Wawancara, 15 Februari 2011)
Berdasarkan pernyataan Ibu Titi (18 Februari 2011) bahwa mereka
(PJ) beruntung sekali dengan pendidikan seadanya mereka dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mudah mendapatkan kekayaan. Bahwa PJ memiliki uang yang banyak
dan rumah yang bagus. Berbagai pembinaan telah mereka lakukan
sampai pada pembinaan religius namun PJ kembali lagi menggunakan
BKO. Para PJ sudah susah dibina untuk meninggalkan BKO karena
paradigma mereka yang sudah susah untuk dirubah. Berikut
merupakan ungkapan Ibu Titi,
“Enak banget mba masa mau ngalahin yang sekolah, yang sekolah saja belum tentu bisa seperti mereka, rumah mereka aja bagus-bagus, pembinaan sudah kami lakukan mba sampai pada pembinaan religius tapi ya bagaimana lagi paradigma mereka yang susah”. (Wawancara, 18 Februari 2011)
Sebenarnya para PJ mulai ada kesadaran untuk meninggalkan BKO
karena dahulu mereka memang tidak menggunakan BKO, hanya saja
hal itu tidak semudah yang dipikirkan oleh Dinas Kesehatan karena
mereka terhalang keterbatasan modal untuk memenuhi prasyarat
CPOTB sesuai harapan Dinas Kesehatan. Adanya fasilitas gedung
Central yang dirintis oleh Koperasi Aneka Sari yang masih tertunda
mengharapkan ulur tangan Dinas Kesehatan untuk ikut membantu
demi kelancaran gedung Central tersebut. Namun sekiranya Dinas
Kesehatan lebih menyerahkan masalah tersebut kepada Koperasi dan
Disperindagkop hal ini sesuai pernyataan Ibu Listyorini pada 27 April
2011. Berikut merupakan ungkapan Ibu Listyorini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
”Ya kalau masalah kaya gimana pembenahan gedung, sistem pelaksanaan, pemenuhan persyaratan pengajuan izin itu bukan kewenangan kami mba, mungkin bisa ditanyakan ke Disperindagkop karena dia yang lebih berwenang, kami hanya sebatas pelaksana tekhnis mba mengenai apa saja yang harus dipenuhi oleh PJ”. (Wawancara, 27 April 2011)
b. Lemahnya Dalam Penyampaian Keluhan Para PJ Terhadap Dinas
Kesehatan (Krisis Percaya Diri)
Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya
responsivitas Dinas Kesehatan dalam mengatasi permasalahan
BKO pada sejumlah produksi jamu Cilacap adalah karena
lemahnya komunikasi diantara keduanya salah satunya adalah
karena PJ enggan memberikan suara sebagai bentuk penyampaian
pendapat, keluhan maupun sebagai bentuk penyampaian harapan.
Lemahnya dalam memberikan suara mereka kepada pihak Dinas
Kesehatan menyebabkan konsensus diantara mereka tidak sinkron
sehingga Dinas Kesehatan kurang memahami hal-hal sebenarnya
terjadi dan harapan para PJ. Begitupula sebaliknya.
Ketidaksepahaman ini sangat mempengaruhi efektivitas pembinaan
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan serta pelaksanaan CPOTB
kepada para PJ.
Akan menjadi lebih baik apabila PJ mampu dan mau
menyampaikan suara mereka kepada Dinas Kesehatan bahwa
mereka memang memiliki itikad baik untuk meninggalkan BKO
hanya saja mereka keterbatasan modal apabila harus memenuhi
begitu banyak persyaratan CPOTB. Mengajak Dinas Kesehatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
untuk sama-sama menciptakan solusi yang baik karena bagi
mereka usaha ini sangat penting bagi kehidupan mereka dan bisa
dijadikan keuntungan tersendiri bagi Pemerintah Daerah. Hal ini
juga didukung oleh sikap terbukanya Dinas Kesehatan terhadap
aspirasi masyarakatnya. Ini membutuhkan kemampuan mendengar
Dinas Kesehatan terhadap kebutuhan dan permasalahan
masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mereka
cenderung lebih diam dan mencari solusi sendiri melalui media
Koperasi. Mereka menyuarakan suara-suara mereka dalam temu
rutin Koperasi. Mereka merasa takut apabila menyampaikan
berbagai keluhan tersebut kepada Dinas Kesehatan dan BPOM.
Dalam berbagai media pertemuan antara PJ dengan Dinas
Kesehatan maupun BPOM mereka lebih sering memilih diam
daripada menyuarakan keluhan dan masalah mereka.
Hal ini didukung oleh pernyataan Bapak Warsono, Sumito,
Ibu Sum bahwa mereka lebih memilih diam dalam menyuarakan
berbagai masalah mereka khususnya keterbatasan modal mereka
apabila harus memenuhi semua prasyarat CPOTB. Berdasarkan
hasil pengamatan lapangan mereka mengalami krisis percaya diri
dalam menyampaikan berbagai keluhan tersebut karena di sisi lain
mereka merasa bersalah dan merasa takut kepada petugas Dinas
Kesehatan dan BPOM. Khususnya hal ini dapat terlihat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pembinaan informal sudah dapat dipastikan mereka selain Bapak
Parman pasti merasa ketakutan dan banyak diantaranya memilih
untuk kabur apabila mereka mendapat pemeriksaan dari Dinas
Kesehatan pada lokasi produksinya.
Apabila para PJ menyampaikan keluhan dan aspirasi
dengan terbuka dan kontinue terhadap Dinas Kesehatan berkaitan
dengan masalah CPOTB maka kebutuhkan, keluhkan dan harapan
para PJ dapat diketahui dengan baik oleh Dinas Kesehatan. Dengan
demikian strategi yang akan seharusnya diambil oleh Dinas
Kesehatan akan lebih tepat dan efektif terhadap penyelesaian
CPOTB. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan sikap
keterbukaan Dinas Kesehatan terhadap keluhan masyarakat
termasuk di dalamnya para PJ.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Wan 07 April 2011
bahwa biasanya dalam suatu pertemuan formal para PJ cenderung
tidak berani mmeberikan aspirasi dan keluhan kepada Dinas
Kesehatan. Berikut merupakan ungkapan Bapak Wan,
”Ya begitu mba, kami kebanyakan diam termasuk juga saya. Ya,,,,hanya sebatas mendengarkan apa yang mereka (Dinas Kesehatan) sampaikan dalam acara pembinaan formal”. (Wawancara, 07 April 2011)
Para PJ lebih banyak diam dalam pertemuan tersebut.
Dengan demikian bahwa bukan hanya dalam pertemuan non-
formal namun dalam pertemuan formal pun para PJ cenderung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak berani menyampaikan keluhan dan harapannya. Hal ini
menyebabkan penyelesaian masalah CPOTB dalam jamu Cilacap
menjadi terhambat sampai hari ini karena masing-masing pihak
tidak mengkomunikasikan keinginannya dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. Matriks Responsivitas
Tabel 4.7Matriks Responsivitas Dinas Kesehatan Terhadap Permasalahan BKO Pada Jamu Tradisional
Di Kecamatan KroyaKomponen
(1)Kasus
(2)Hasil(3)
Responsivitas1. Kemampuan
menanggapi
Pembinaan CPOTB baik formal maupun informal. Bahwa semua PJ harus memenuhi CPOTB.
Tanggapan yang diberikan telah tepat yaitu sesuai dengan Perundang-undangan. Dengan demikian bisa dikatakan cukup responsif.
2. Kemampuan dalam mengenal dan memahami kebutuhan PJ
Kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB sangat beragam namun Dinas Kesehatan hanya berperan sebagai pelaksana tekhnis yang menjelaskan prasyarat yang harus dipenuhi dalam CPOTB. Memandang bahwa semua PJ mampu memenuhi prasyarat tersebut padahal kenyataannya tidak demikian. PJ membutuhkan gedung standar CPOTB dan unsur di dalamnya diantaranya adalah: Apoteker, perizinan, bahan baku, pengetahuan tanaman khasiat obat. Tidak ada fleksibilitaas dari Dinas Kesehatan
Dinas Kesehatan kurang memahami bahwa tidak semua PJ mampu untuk memenuhi kebutuhan terkait CPOTB. Dinas Kesehatan kurang berperan terhadap kebutuhan tersebut. Dengan demikian pada komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif.
3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut kepada PJ, Koperasi serta Disperindagkop. Koperasi merintis gedung Central namun masih terkendala izin ANDAL dan sistem produksi yang akan dilaksanakan belum menemukan titik temu. Dinas Kesehatan menyerahkan urusan ini kepada Koperasi dan Disperindagkop.
Dengan demikian dalam komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif.
4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan
Karena Dinas Kesehatan lebih menyerahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut kepada Koperasi dan Disperindagkop dan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan oleh PJ kepada Dinas Kesehatan belum terpenuhi maka Dinas Kesehatan bisa dikatakan lambat dalam memenuhi kebutuhan para PJ
Dalam komponen ini Dinas Kesehatan tidak responsif
Hambatan Responsivitas1. Uang
1). Uang sebagai modal
2). Uang sebagai faktor keuntungan
Susahnya pelaksanaan CPOTB karena PJ tidak memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB. Dinas Kesehatan juga kurang berperan dalam usaha pengajuan anggaran untuk memenuhi kebutuhan CPOTB khususnya untuk gedung CentralKeuntungan menggunakan BKO memberikan pertimbangan dan faktor tersendiri bagi PJ untuk meninggalkan BKO
Kebutuhan CPOTB belum terealisasi dengan baik
Selain karena belum mampu memenuhi CPOTB mereka masih tergiur untuk menggunakan BKO
2. Komunikasi1). Persamaan
Konsensus2). Minimnya
penyeluran aspirasi oleh PJ
Terjadi perbedaan konsensus antara pikiran dan harapan PJ dan Dinas Kesehatan tentang jamuPJ cenderung tidak berani mengeluarkan aspirasi mereka karena merasa takut
Sulitnya dalam penyelesaian konflik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kesimpulan yang dapat
diambil mengenai responsivitas Dinas Kesehatan dalam pembinaan jamu
tradisional di kecamatan Kroya adalah sebagai berikut:
1. Pada komponen kemampuan dalam menanggapi persoalan BKO, Dinas
Kesehatan bisa dikatakan cukup responsif karena tanggapan yang
diberikan melalui sosialisasi dan pembinaan CPOTB merupakan
langkah yang tepat karena sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Kemampuan mengenal dan memahami kebutuhan PJ khususnya dalam
pelaksanaan CPOTB masih kurang responsif terlihat bahwa Dinas
Kesehatan menganggap bahwa semua PJ mampu memenuhi berbagai
kebutuhan dalam pelaksanaan CPOTB. Namun kenyataannya adalah
sebaliknya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah :
gedung standar CPOTB temasuk unsur di dalamnya adalah Apoteker,
perijinan, bahan baku, serta pengetahuan mengenai tanaman khasiat
obat.
3. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan PJ terkait pelaksanaan
CPOTB masih kurang responsif terlihat pada sikap Dinas Kesehatan
yang lebih menyerahkan urusan kebutuhan PJ kepada PJ itu sendiri,
Koperasi dan Disperindagkop. Usaha gedung rintisan yang dipelopori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
oleh Koperasi yang masih terkendala masalah izin ANDAL, lay-out,
dan sistem pelaksanaan produksi yang direncanakan, Dinas Kesehatan
kurang melibatkan diri dalam hal ini dan tidak ada fleksibilitas dari
Dinas Kesehatan.
4. Kecepatan dalam memenuhi kebutuhan para PJ masih dirasa kurang
responsif karena dilihat dari pemenuhan kebutuhan para PJ yang
sampai saat ini belum juga terpenuhi dengan baik sesuai dengan
harapan PJ maka secara tidak langsung upaya pemenuhan kebutuhan
oleh Dinas Kesehatan masih cukup lambat. Hal ini juga karena kurang
adanya fleksibilitas dari Dinas Kesehatan dalam mempertimbangkan
hal-hal yang mungkin sekiranya akan menjadi lebih baik apabila
Dinas Kesehatan memberikan fleksibilitasnya yaitu hal-hal yang tidak
akan memeberikan kerugian atau bahaya yang lebih besar
dibandingkan dengan keuntungan yang akan di dapat. Misalnya saja
pada permasalahan lay-out.
Berdasarkan hasil penelitian keempat komponen tersebut maka
dapat dikatakan secara keseluruhan bahwa Dinas Kesehatan masih kurang
responsif terhadap pembinaan jamu tradisional terkait permasalahan BKO
yang terjadi pada jamu atau obat tradisional di Kecamatan Kroya.
Lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan dalam penyelesaian
BKO pada sejumlah PJ dipengaruhi oleh beberapa faktor di dalamya.
Diantaranya adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Uang, uang mempengaruhi lemahnya responsivitas Dinas
Kesehatan. Uang memeiliki dua kontribusi sebagai penghambat
dalam lemahnya responsivitas Dinas Kesehatan. Diantaranya
adalah :
a. Uang sebagai modal, keterbatasan modal Dinas Kesehatan dan
PJ menyebabkan sulitnya merealisasikan CPOTB dalam
produksi jamu atau obat tradisional
b. Uang sebagai nilai keuntungan, tingginya nilai keuntungan yang
diberikan dalam produksi jamu menggunakan BKO
menyebabkan PJ masih sering tergiur untuk memproduksi
dengan BKO selain juga karena mereka merasa frustasi dengan
persyaratan CPOTB yang dirasa sangat memberatkan mereka
karena mereka tidak memiliki modal yang cukup.
2). Komunikasi, komunikasi ikut mempengaruhi dalam lemahnya
responsivitas Dinas Kesehatan dalam permasalahan CPOTB.
Komunikasi juga memiliki dua kontribusi dalam lemahnya
responsivitas. Yaitu :
a. Lemahnya konsensus, lemahnya konsensus diantara Dinas
Kesehatan dan PJ menyebabkan pemikiran, serta harapan
diantara keduanya susah untuk sinkron. Dengan demikian
tujuan yang diharapkan oleh Dinas Kesehatan kurang dipahami
oleh Dinas Kesehatan. Begitupula sebaliknya hal-hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
selama ini menyebabkan mereka masih menggunakan BKO
kurang dipahami oleh Dinas Kesehatan.
b. Lemahnya para PJ dalam menyampaikan keluhan dan
harapannya
Hal ini masih terkait dengan permasalahan diatas bahwa
lemahnya konsensus diantara PJ dan Dinas Kesehatan
disebabkan oleh lemahnya PJ dalam menyampaikan
aspirasinya kepada Dinas Kesehatan dan masih kurang
maksimalnya motivasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan
dalam menciptakan kondisi untuk penyampaian keluhan secara
optimal. Lemahnya penyampaian aspirasi para PJ disebabkan
karena krisis percaya diri pada para PJ karena rasa takut dan
bersalah mereka atas tindakan yang mereka lakukan yaitu
pencampuran produksi dengan BKO.
B. Saran
Saran yang diajukan oleh peneliti diantaranya adalah :
1. Belum berhasilnya pembinaan tersebut seharusnya Dinas Kesehatan lebih
intensif mencari jalan keluar agar pembinaan tersebut berjalan efektif
dengan tetap berada dalam koridor keadilan, transparansi, dan semangat
citizenship. Dinas Kesehatan seharusnya lebih mendekatkan diri kepada
para pengusaha jamu secara personal dengan harapan Dinas Kesehatan
lebih memahami permasalahan sebenarnya dari sudut pandang mereka
sehingga jalan keluar bersama dapat dicapai dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Belum terealisasinya CPOTB dalam proses produksi jamu disebabkan
karena lemahnya modal yang dimiliki oleh para PJ. Adanya inisiatif para
PJ melalui Koperasi merupakan wujud kemandirian masyarakat dalam
berwiraswasta. Hal ini seharusnya mendapat apresiasi dari lembaga
pemerintah khususnya Dinas Kesehatan serta diharapkan mampu
melibatkan diri secara maksimal dalam membantu realisasi CPOTB.
Diantaranya adalah fleksibilitas mengenai lay-out, manajemen sistem tata
produksi, sosialisasi gedung Center, peng-upayaan percepatan penggunaan
gedung Center.
3. Mengingat tingginya manfaat yang bisa didapat dengan manajemen yang
tepat yaitu sebagai kantong lapangan kerja serta salah satu sektor penghasil
PAD Kabupaten Cilacap seharusnya berbagai lembaga pemerintah
khususnya Dinas Kesehatan lebih peka dalam permasalahan tersebut dan
konsisten menciptakan jalan keluarnya sehingga sektor jamu benar-benar
mampu dijadikan sandaran hidup para pelaku di dalamnya. Selain itu hal
ini karena mampu memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah
(melalui PAD). Dalam hal ini tentunya sesuai dalam koridor UU dan
peraturan yang berlaku.
4. Sesuai dengan PerMenKes 246 Nomor: 246/MenKes/Per/V/1990 tentang
Izin Usaha Industri Obat Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional
Mentri Kesehatan RI mengenai klasifikasi usaha industri obat tradisional
yang tertuang pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (2) dan (3) maka
penerapan prasyarat CPOTB termasuk di dalamnya gedung standar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
CPOTB dan Apoteker menjadi tidak logis apabila diterapkan pada seluruh
industri skala kecil khususnya home industry jamu tradisional yang di
kecamatan Kroya dengan modal jauh di bawah Rp 600.000.000 mengingat
pemenuhan prasyarat tersebut membutuhkan dana yang besar dan skala
usaha yang besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.