Responsi Nasofaring Fix

43
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. 1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yangg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk. Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam 1

description

tugas THT

Transcript of Responsi Nasofaring Fix

Page 1: Responsi Nasofaring Fix

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring

termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi (bersama

tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),

sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat

persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas

hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,

tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa

Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel

kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu

problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak

khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh

mereka yangg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan

ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin

terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin

buruk. Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam

pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.

Untuk dapat berperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu

segala aspek dari kanker nasofaring ini, meliputi definisi, epidemiologi, etiologi,

faktor risiko, gejala dan tanda, patogenesis, diagnosis, komplikasi, terapi maupun

pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua aspek tersebut dalam

tinjauan pustaka ini dan diharapkan dapat bermanfaat.3

1

Page 2: Responsi Nasofaring Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi

Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang

terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga

dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga

nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas,

yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah

jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus

faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.4,5

Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping 1

2

Page 3: Responsi Nasofaring Fix

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang 5

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 5

1. Adenoid atau Tonsila Lushka

Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun.

Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.

2 Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring

Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi

fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.

3 Torus Tubarius

Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii

(ostium tuba)

4 Fosa Rosenmulleri

Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus

tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil

yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan

tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid

menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan

predileksi terjadinya keganasan nasofaring.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-

macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis,

epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia.

3

Page 4: Responsi Nasofaring Fix

Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu

berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih

berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan

tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa

asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-

celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.5

Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi

keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di

tempat-tempat lain di nasofaring.5 Moch. Zaman mengemukakan bahwa

keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring atau

basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring

yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana dan dinding lateral nasofaring

mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum molle.

2.2 Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

yang melapisi nasofaring. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan

limfoid, dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Tumor

primer dapat kecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar

limfe regional, biasanya pada leher. Tumor ini tidak termasuk tumor kelenjar

atau limfoma.2

2.3 Epidemiologi

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid,

namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat

tertinggi, yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per

100.000 penduduk untuk Propinsi Guangdong 7, 9,12

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring,

sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,

Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula

cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair

dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga

4

Page 5: Responsi Nasofaring Fix

penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin

pada musim dingin 3,9,12

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang

terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah

keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan

dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu

menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di

setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per

tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar

25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per

tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh

berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di

Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di

seluruh Indonesia. 12

2.4 Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor predisposisi seseorang mengalami karsinoma

nasofaring. Faktor yang kemungkinan mempengaruhi timbulnya tumor ini

seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan,

kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan infeksi kuman atau parasit.

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring,

sehingga kanker ini cukup tinggi terjadi pada penduduk Cina Selatan,

Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki, dengan sebab yang belum

diketahui pasti, kemungkinan dipengaruhi oleh genetik, kebiasaan hidup,

pekerjaan, dan lain-lain. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan

penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun ada penelitian yang

menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan hanya 2 : 1. Pada

penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan

penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang dominan

pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan

5

Page 6: Responsi Nasofaring Fix

surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan

kanker.1,7,10

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap

sejenis kayu tetentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak

tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan

antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas

karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain

tidak jelas. Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan

(daging atau ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya

kejadian karsinoma ini. Faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter

atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ

tubuh lain. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan

hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.1

2.5 Etiologi

Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah

Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan karsinoma

nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang pada

penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan

titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai

perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya

faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya

tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,

lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau

parasit. 2,5,12

2.6 Patogenesis

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat

berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,

mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor

ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah

cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak

6

Page 7: Responsi Nasofaring Fix

faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu infeksi EBV, faktor

lingkungan, dan genetik 

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam

limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel

epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B

dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d

(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan

dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B. Aktivitas ini merupakan

rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit

B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,

sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring

belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang

diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu

CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh

virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: sel

menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan

replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan

kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi

transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan

terjadinya  perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas

sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita

KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.

Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.

Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine

kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen

tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1.

Struktur  protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20

asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino)

dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1

menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan

meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan

menghambat respon imun lokal.4,6,8

7

Page 8: Responsi Nasofaring Fix

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu

relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi

menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim

sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi

metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.11,13

Dari segi lingkungan, sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada

populasi yang berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah

dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan

mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin

merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan

perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung

formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma

nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.14

2.7 Gejala Klinis

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala

nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan saraf, serta metastasis atau

gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan

hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu

dengan nasofaringoskop, karena sering kali gejala belum ada sedangkan tumor

sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah

mukosa (creeping tumor).1

Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal

tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat

berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga

(otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru

kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui

beberapa lubang, maka gangguan beberapa lubang, dari beberapa saraf otak

8

Page 9: Responsi Nasofaring Fix

dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen

laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga

tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter

mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli

saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.1

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII

jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh

dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila

sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula

disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian

biasanya prognosisnya buruk.

Metastase ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong

pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.

Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN

telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk yang mencurigakan pada nasofaring

seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan

mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-

tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.1,2,15

2.8 Diagnosis

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma

nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan

diagnosis pasti serta stadium tumor :

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik 

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala

KNF) serta pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan kaca nasofaring

atau dengan nashopharyngoskop

2. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang

dengan diagnosis histologi atau sitologi. Pengambilan sampel untuk

pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari

9

Page 10: Responsi Nasofaring Fix

hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan

dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind

biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri

konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter

nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada

dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di

hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung di sebelahnya, sehingga

palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca nasofaring dilihat

daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca

tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut,

massa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum

didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan

kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.1,7,9,12

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3

tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous

Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi

baik, sedang dan buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada

tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi

sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel

cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).

Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang

vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas.

Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa

diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,

yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi

tidak begitu radiosensitif.

10

Page 11: Responsi Nasofaring Fix

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh

WHO pada tahun 1991,hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous

Cell Carcinoma).

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe

ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak

berdiferensiasi.

3. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan

penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik

tersebut meliputi memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan

adanya tumor pada daerah nasofaring, menentukan lokasi yang lebih tepat

dari tumor tersebut, dan mencari dan menetukan luasnya penyebaran

tumor ke jaringan sekitarnya.

Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam

mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

(1) posisi lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft

tissue technique), (2) posisi basis kranii atau submentoverteks, (3)

Tomogram Lateral daerah nasofaring, dan (4) Tomogram Antero-

posterior daerah nasofaring

CT-.Scan

Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan

radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan

eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi.

Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal

ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.

Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum

terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi

hal tersebut. Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos

ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam

densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan

11

Page 12: Responsi Nasofaring Fix

lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan criteria

tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil.

Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada

perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya

destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.3,5,7

4. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui

beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai

gejala lanjut KNF ini.

5. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA

(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan

dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta

mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium

III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%

dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.

IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,

sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis

pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan

terbanyak 160.7

2.9 Klasifikasi

Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan

gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring

digunakan sistem TNM menurut UICC (1992).3,10

T (Tumor Primer)

T0 = Tidak tampak tumor

T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap,

dll)

T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam

rongga nasofaring

T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau

orofaring

12

Page 13: Responsi Nasofaring Fix

T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang

tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak

Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)

N0 = Tidak ada pembesaran KGB

N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan

N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias

digerakkan

N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang

sudah melekat pada jaringan sekitar

M (Metastasis jauh)

M0 = Tidak ada metastasis jauh

M1 = Terdapat metastasis jauh

Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4

stadium, yaitu:

a. Stadium I : T1 N0 M0

b. Stadium II : T2 N0 M0

c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0

d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1

Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan

menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3,7,10 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan

dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu

variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih

dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.

a. Tipe WHO 1

Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1

mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa

nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan

menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.

b. Tipe WHO 2

Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2

ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan

13

Page 14: Responsi Nasofaring Fix

sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan

menyerupai karsinoma sel transisional.

c. Tipe WHO 3

Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel

kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang

dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell

carcinoma, dan variasi spindel.1,5

2.10 Diagnosis Banding

Karena nasofaring merupakan bagian faring yang sulit dilihat, untungnya

banyak manifestasi tak langsung dari karsinoma nasofaringyang bisa

digunakan untuk mencurigai adanya lesi pada nasofaring. Bila terjadi

obstruksi koana, huruf ”m” akan terdengar seperti huruf ”b” dan ”n” seperti

huruf ”d”. Bila pasien mengeluh sengau dan hasil pemeriksaan hidung

anterior normal dapat dicurigai sebagi kelainan nasofaring. Sehingga

beberapa lesi di nasofaring dengan gejala yang hampir mirip bisa dianggap

sebagai diagnosis banding, misalnya :7

1. angiofibroma nasofaring

2. Hipertrofi adenoid/ adenoid persisten

3. Polip nasi /polip antrokoanal

4. Tumor dekat dasar tengkorak

2.11 Komplikasi

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering

adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis

yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring

dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing

20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.

Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar

getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.

2.12 Penatalaksanaan

14

Page 15: Responsi Nasofaring Fix

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu

pencegahan dan pengobatan.

1. Pencegahan

Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang

dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan

timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah

penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari

bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya

karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.5,12

2. Pengobatan

Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau

operasi, penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan

imunoterapi.

a. Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal

(Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure

Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya

menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor

metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk

membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang

kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring. 3,7,11,12

b. Radioterapi

Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.

Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi.

Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh

penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor

dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan

teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah

hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe

leher. 3,5,7,10

c. Obat-obatan Sitostatika

15

Page 16: Responsi Nasofaring Fix

Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal

umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat

dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat,

metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin.

Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan

diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga

diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.

Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi,

serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak

kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF

(Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD

(Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA

(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 3,5,7,10

d. Imunoterapi

Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di

klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan

penelitian dan percobaan. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan

penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. 3

e. Obat Antivirus

Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat

menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr.

Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang

merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .4

2.13 Prognosis

Angka bertahan hidup 5 tahun yaitu 76,9% untuk stadium I, 56% untuk

stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : stadium yang lebih

lanjut, usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan, ras Cina dari

pada ras kulit putih, adanya pembesaran kelenjar leher, adanya kelumpuhan

saraf otak, adanya kerusakan tulang tengkorak, dan adanya metastasis jauh.

16

Page 17: Responsi Nasofaring Fix

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : KPS

Tempat/tanggal lahir : Denpasar, 20 April 1977

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta (sopir travel)

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat SLTA

Alamat : Jalan Gatot Subroto IV Gang Merpati

Status perkawinan : Sudah menikah

Pemeriksaan : 20 April 2012

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Benjolan di leher kanan yang terus membesar disertai

badan lemas

Perjalanan Penyakit: Pasien mengeluh dari satu tahun yang lalu mengalami

benjolan kecil seukuran kacang tanah di leher kanan di bawah telinga, tanpa

disertai gejala lain. Dalam 4 bulan berikutnya benjolan terus membesar dan

mulai muncul gejala batuk berdahak disertai darah, telinga mendengung, dan

pandangan terasa kabur. Pasien kemudian berobat ke poli bedah rumah sakit

Wangaya, namun tidak ada perbaikan. Setelah itu tidak lagi melakukan

pengobatan, tetapi mecoba pengobatan alternatif berupa pijatan pada telapak

kaki. Saat itu, pasien dapat bekerja dan beraktivitas secara normal, tetapi

benjolan terus membesar. Lima bulan yang lalu pasien berhenti bekerja karena

badan terasa sangat lemas, kemudian mencoba lagi pengobatan alternatif,

namun tidak ada perbaikan. Dua bulan yang lalu pasien susah makan dan tidak

ada nafsu makan, berat badan juga menurun. Kemudian pada tanggal 20 April

2012 pasien berobat ke RSUP Sanglah dengan keluhan benjolan membesar di

area leher disertai badan lemas dan tidak bisa makan dan minum. Pasien juga

mengeluh tidak bisa menoleh ke kanan karena nyeri. Sekarang, pasien

17

Page 18: Responsi Nasofaring Fix

mengeluh masih lemas hingga tidak dapat berjalan. Ada batuk, sesak nafas,

hidung tersumbat dan keluar ingus. Telinga kiri dirasakan sakit dan

mendenging. Makan dan minum sedikit, buang air besar jarang.

Riwayat penyakit terdahulu : Pasien tidak pernah mengalami penyakit

kronik dan keluhan serupa sebelumnya.

Riwayat pengobatan : Pasien pernah mendapat pengobatan medis di rumah

sakit Wangaya. Selain itu, pasien juga melaporkan pernah mendapat

pengobatan alternatif berupa pijatan kaki.

Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang

sama seperti yang dialami pasien. Tidak ada riwayat penyakit tumor di

keluarga.

Riwayat Sosial dan Lingkungan : Pasien bekerja sebagai sopir travel di

sebuah hotel di Bali, sehari-hari antar jemput tamu, istrinya bekerja sebagai

pemilik warung.

Telinga Ka Ki Hidung Ka Ki Tenggorokan

Sekret - - Sekret + + Riak -

Tuli - - Tersumbat + + Gangguan +

Tumor - - Tumor - - Suara Tidak

jelas

Tinnitus - + Pilek + + Tumor -

Sakit - + Sakit - - Batuk +

Kospus

alienum

- - Kospus

alienum

- - Korpus alienum -

Vertigo - - Bersin - - Sesak nafas +

3.3 Pemeriksaan Fisik

Vital Sign

Keadaan umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 140/100 mmHg

Nadi : 88x/menit

Respirasi : 24x/menit

Temperatur : 36°C

18

Page 19: Responsi Nasofaring Fix

Status General :

Kepala : Normocephali

Muka : Simetris, parese nervus fasialis -/

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor

THT : Sesuai status lokalis

Leher : Kaku kuduk (-)

Pembesaran kelenjar limfe -/-

Pembesaran kelenjar parotis -/-

Kelenjar tiroid (-)

Thorak : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur –

Po : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wh -/-

Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba

Ekstremitas : dalam batas normal

Status lokalis THT :

Telinga Kanan Kiri

Daun telinga N N

Liang telinga lapang lapang

Discharge - -

Membran timpani intak intak

Tumor - -

Mastoid N N

Tes pendengaran :

Weber tidak dievaluasi

Rinne tidak dievaluasi

Schwabach tidak dievaluasi

Tes alat keseimbangan tidak dievaluasi

Hidung : Kanan Kiri

Hidung luar N N

Cavum nasi lapang lapang

Septum nasi deviasi tidak ada

Discharge mukoid mukoid

19

Page 20: Responsi Nasofaring Fix

Mukosa hiperemi hiperemi

Tumor - -

Concha kongesti kongesti

Sinus nyeri tekan tidak ada

Choana N N

Tenggorokan :

Dispneu : -

Sianosis : -

Mukosa : hiperemi

Dinding belakang faring : granulasi

Suara : tidak ada kelainan

Tonsil : T1/T1

3.4 Hasil Laboratorium

a. Darah Lengkap

Parameter Nilai Keterangan

WBC 17,13 Tinggi

RBC 3,73 Rendah

HGB 8,70 Rendah

HCT 29,80 Rendah

MCV 79,70 Rendah

MCH 23,30 Rendah

MCHC 29,20 Rendah

PLT 814 Tinggi

MPV 6,30 Rendah

b. Kimia Klinik

Parameter Nilai Keterangan

Albumin 2,50 Rendah

Natrium 133,30 Rendah

Kalium 3,62 Normal

INR 1,109 Tinggi

20

Page 21: Responsi Nasofaring Fix

SGOT 18,77 Normal

SGPT 13,03 Normal

BUN 6,908 Rendah

Creatinin 0,47 Rendah

Glukosa darah sewaktu 81,13 Rendah

c. Patologi Anatomi

Sampel : biopsi nasofaring

Makroskopis : diterima dalam kontainer plastik, 1 potongan jaringan

ukuran 0,5 x 0,4 x 0,2 cm, putih abu, kenyal

Mikroskopis : tampak potongan jaringan yang terdiri dari jaringan

kolagen. Pada satu fokus tampak jaringan tumor yang

infiltrasi diantara jaringan kolagen membentuk struktur

sarang-sarang. Jaringan tumor tersebut tersusun oleh sel

epithelial yang tersusun sintisial dengan anak inti

prominen, membrane inti ireguler. Diantaranya tampak

pula sebaran sel radang hipoplasmasitik.

Kesimpulan : undifferentiated carcinoma

3.5 Resume

Penderita mengeluh ada benjolan di leher di bawah telinga kanan sejak 1

tahun yang lalu, terus membesar dalam 4 bulan disertai rasa lemas,

penurunan nafsu makan, batuk berdahak disertai darah, telinga kiri

mendengung dan nyeri, hidung tersumbat dan mengeluarkan sekret. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan adanya benjolan di leher kanan di bawah

telinga. Ditemukan pula tanda radang hidung dan hiperemi tenggorokan.

Pada pemeriksaan patologi anatomi sampel biopsi nasofaring, pasien

disimpulkan mengalami undifferentiated carcinoma

3.6 Diagnosis

KNF pro staging

21

Page 22: Responsi Nasofaring Fix

3.7 Usulan Pemeriksaan Lanjutan

Pemeriksaan CT scan kepala fokus nasofaring potongan axial korona tebal 2

mm dengan dan tanpa kontras

3.8 Rencana Terapi

- IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% =1:1, 20 tetes/menit

- Paracetamol 6 x 500 mg

- Codein 6 x 10 mg

- Vitamin B1, B6, B12 2x1 tablet

- Vitamin C 1x1 tablet

3.9 Prognosis

Dubius

22

Page 23: Responsi Nasofaring Fix

BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 35 tahun asal Bali, yang bekerja sebagai sopir travel hotel

mengeluh dari satu tahun yang lalu mengalami benjolan kecil seukuran kacang

tanah di leher kanan di bawah telinga, tanpa disertai gejala lain. Dalam 4 bulan

berikutnya benjolan terus membesar dan mulai muncul gejala batuk berdahak

disertai darah, telinga mendengung dan pandangan terasa kabur. Dari data ini

ditemukan pasien memiliki beberapa faktor risiko yakni jenis kelamin laki-laki,

dimana karsinoma nasofaring memang lebih sering ditemukan pada laki-laki

walaupun alasan pastinya belum diketahui, diduga ada hubungannya dengan

faktor genetik, kebiasaan hidup, dan pekerjaan. Pekerjaan pasien yang sebagai

sopir travel menempatkan pasien lebih sering terpapar asap kendaraan bermotor,

karena pekerjaan ini membuat pasien sering berada di jalan. Secara letak

geografis, di Indonesia, termasuk di Bali, angka kejadian karsinoma nasofaring

juga tinggi.

Benjolan di leher yang dialami pasien akibat dari pembengkakan kelenjar getah

bening leher yang dapat saja merupakan bagian dari metastasis tumor ke kelenjar

getah bening regional di area leher, apalagi pembesarannya terjadi secara

progresif. Pasien saat itu tidak mengalami keluhan lain, dan masih dapat

beraktifitas normal. Pada karsinoma nasofaring, sering gejala belum ada

sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di

bawah mukosa (creeping tumor). Gejala awal yang dialami pasien berupa telinga

mendengung. Ini sesuai teori dimana gangguan pada telinga merupakan gejala

dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa

Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai

rasa nyeri di telinga (otalgia). Gejala pandangan kabur dapat terjadi akibat

terganggunya nevus optikus (N II), ataupun nervus penggerak otot bola mata (N

III, IV, VI). Hal ini terjadi karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga

tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa lubang, dari

beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran

melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula

23

Page 24: Responsi Nasofaring Fix

ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke

dokter mata. Gejala pilek dan batuk berdahak yang dialami pasien dapat

merupakan suatu manifestasi kelainan di nasofaring sendiri. Pasien mengalami

kelemahan yang progresif disertai penurunan berat badan juga mengarahkan

kecurigaan kita pada penyakit keganasan.

Pada pemeriksaan fisik THT ditemukan beberapa kelainan, yaitu: mukosa hidung

hiperemi dan terdapat sekret berupa mukoid, dan pada tenggorokan ditemukan

mukosa hiperemi, dinding posterior faring terdapat granulasi, dan menurunnya

kualitas suara. Keadaan mukosa hidung dan faring yang hiperemi disebabkan

adanya hipervaskulariasasi dan vasodilatasi lokal pada jaringan KNF yang meluas

ke mukosa faring dan hidung. Ditemukannya jaringan granulasi pada dinding

posterior faring merupakan tanda terdapat bekas pendarahan pada mukosa faring.

Pendarahan tersebut berasal dari gesekan antara jaringan tumor dengan bagian

dorsal palatum molle saat penderita menghisap secret dengan kuat dari ronggga

hidung.

Membedakan karsinoma nasofaring dengan beberapa diagnosis banding lainnya,

seperti angiofibroma nasofaring, polip nasi, dan hipertropi adenoid diperlukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga diperlukan pemeriksaan penunjang yang

tepat. Angiofibroma nasofaring memiliki gejala yang mirip dengan karsinoma

nasofaring, dapat berupa hidung tersumbat, epistaksis, otalgia, tinnitus, dan

sefalgia. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk

membedakan KNF dengan angiofibroma nasofaring. Pada angiofibroma

nasofaring akan ditemukan jaringan tumor jinak terdiri dari unsur pembuluh darah

dan jaringan ikat. Sedangkan, pasien dengan hipertrofi adenoid mengeluh

rhinnore, kualitas suara berkurang, obstruksi nasal, mendengkur, gangguan tidur,

dan tuli konduktif. Dari pemeriksaan fisik ditemukan gerakan ke atas palatum

molle saat mengucapkan ‘i” yang terhambat oleh pembesaran adenoid, dengan

memasukkan jari telunjuk ke dalam nasofaring dapat meraba adenoid yang

membesar. Pada pengambilan foto polos leher lateral dapat menunjukkan ukuran

adenoid dan endoskopi fleksibel dapat ditemukan pembesaran adenoid.

Sedangkan, untuk membedakan KNF dengan polip nasi tidak rumit. Dari

anamnesis, penderita polip nasi biasanya mengeluh sumbatan di hidung yang

24

Page 25: Responsi Nasofaring Fix

hilang timbul dan makin lama semakin memberat. Sumbatan ini tidak jarang

sampai menimbulkan hiposmia, bahkan anosmia. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior, ditemukan polip yang memiliki ciri khas: bertangkai, mudah digerakkan,

konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah, dan pada

pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien dapat disimpulkan mengalami anemia

karena terjadi penurunan kadar hemoglobin hingga 8,70 gr/dL dan ada tanda

radang karena terjadi peningkatan kadar sel darah putih (WBC) hingga 17,13 x

103µL. Anemia disini dapat terjadi akibat peningkatan konsumsi darah dan nutrisi

pada sel-sel ganas. Sedangkan peningkatan kadar sel darah putih dapat terjadi

karena adanya peradangan yang menyertai keberadaan sel tumor. Penurunan

makan dan minum menyebabkan kondisi pasien lemah, penurunan kadar gula

darah sewaktu, hipoalbuminemia dan terjadi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit seperti penurunan kadar natrium darah.

Mengingat belum dilakukannya staging KNF pada pasien tersebut, maka terapi

definitif seperti pembedahan, radioterapi, atau kemoterapi belum dapat ditentukan.

Saat ini, pasien diberikan terapi suportif dan simtomatis berupa IVFD NaCl

0,9% : Dextrose 5% =1:1, 20 tetes/menit, Paracetamol 6 x 500 mg, Codein 6 x 10

mg, Vitamin B1, B6, B12 2x1 tablet, Vitamin C 1x1 tablet. Pemberian NaCl dan

dextrose bertujuan memberikan resusitasi cairan pada pasien dan memberikan

nutrisi yang adekuat, mengingat pasien mengeluh disfagia. Sedangkan, pemberian

paracetamol dan codein bertujuan menghilangkan gejala nyeri ringan/sedang yang

dialami pasien. Selain itu, kodein juga memiliki efek antitusif yang dapat

meringankan batuk pasien. Vitamin B1, B6, B12 berfungsi sebagai koenzim yang

memungkinkan tranformasi kimia makronutrien dalam metabolism tubuh

sehingga dapat menghasilkan energi. Dalam satu tablet, mengandung vitamin B1

100 mg, vitamin B6 200 mg, dan vitamin B12 200 µg. Pemberian kombinasi

vitamin tersebut diharapkan dapat mengurangi rasa lemas yang dirasakan pasien.

Pemberian vitamin C pada pasien bertujuan meningkatkan sistem imunitas pasien

sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi.

25

Page 26: Responsi Nasofaring Fix

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

epitel yang melapisi nasofaring, diduga disebabkan oleh infensi Virus

Epstein-Bar.

2. Pada kasus ini, terdapat kesesuaian gejala klinis yang dikeluhkan pasien,

hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan, dan beberapa hasil pemeriksaan

penunjang berdasarkan teori yang ada. Hanya saja, KNF pada kasus ini

belum dapat diklasifikasikan berdasarkan staging karena belum dilakukan

pemeriksaan penunjang berupa CT-scan.

5.2 Saran

1. Sebaiknya pasien diberikan pengertian mengenai mengenai penyakit

tersebut dan terapinya agar pasien kooperatif dalam melakukan

pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian terapi.

2. Sebaiknya segera dilakukan CT-scan agar dapat menentukan staging KNF

dan menentukan terapi definitif yang tepat.

26

Page 27: Responsi Nasofaring Fix

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A., dan Adham Marlinda, 2007. Karsinoma Nasofaring dalam

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher, ed

6, FKUI, Jakara. pp ; 182-187

2. Ansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1,

FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396

3. American Cancer Society. 2011. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga:

American Cancer Society; 2011.

4. Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma

Nasofaring. USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga

Universitas Sumatera Utara.

5. Bambang S.S. 1992. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga,

Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher. Semarang : Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro.

6. Brennan, Bernadette. 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. United

Kingdom: Orphanet Encyclopedia.

http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-NPC.pdf.

7. Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006.

Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of

chemotherapy. Annals of Oncology 17 (Supplement 10): x304–x307,

2006. doi:10.1093/annonc/mdl278.

8. Hao, Sheng-Po dan Tsang, Ngan-Ming. 2010. Surgical Management of

Recurrent Nasopharyngeal Carcinoma. Chang Gung Med J Vol. 33 No. 4.

9. Jeyakumar, Anita et al. 2006. Review of Nasopharyngeal Carcinoma.

ENT-Ear, Nose & Throat Journal March 2006.

10. Leu, Yi-Shing dan Lee, Jehn-Chuan. 2009. “Carcinoma in the Pharynx:

Nasopharynx, Oropharynx and Hypopharynx”. J. Chinese Oncol. Soc.

25(2), 102-113.

11. Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. 2007. “Paru dan Saluran Napas Atas”.

Disunting oleh Vinay Kumar Ramzi S Cotran, dan Stanley L. Robbins.

Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.

27

Page 28: Responsi Nasofaring Fix

12. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2006. “Karsinoma Nasofaring”.

Disunting oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher, Edisi

Keenam. Jakarta : FKUI.

13. Widjoseno-Gardjito. 2005. “Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ,

Kepala dan Leher”. Disunting oleh R Sjamsuhidajat dan Wim de Jong.

Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta: EGC

14. Wei, William I. 2001. Nasopharyngeal Cancer: Current Status of

Management. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001;127:766-769.

15. Marur, S dan Forastiere A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing

Epidemiology, Diagnosis, and Treatment. Mayo Clin Proc. April

2008;83(4):489-501

16. Administrator. 2011. Pengobatan Kanker Nasofaring. [serial online].

http://www.indononi.com/wp-content/uploads/2011/06/Kanker-

Nasofaring.jpeg. Diakses 27 Juli 2011.

17. Cabenda. 2007. Head and Neck Cancer. [serial online]. http://www.kno-

clinic.com/images/cancer/?Page=ent_cancer. Diakses 29 Juli 2011.

28