Responsi Mh

41
RESPONSI MORBUS HANSEN Oleh : Wiji Hastuti G99121049 Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

description

responsi mh

Transcript of Responsi Mh

Page 1: Responsi Mh

RESPONSI

MORBUS HANSEN

Oleh :

Wiji Hastuti

G99121049

Pembimbing :

dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

Page 2: Responsi Mh

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Wiji Hastuti

NIM : G99121049

MORBUS HANSEN

I. SINONIM

Lepra, kusta. 3

II. DEFINISI

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi granulomatous kronik progresif yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit dan sistem saraf

perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah

bening, testis dan sendi-sendi. 1,3, 4,5,6,8,10

III. EPIDEMIOLOGI

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan

perbandingan 2:1,6 dengan kelompok umur terbanyak usia 25-35 tahun.8 Anak-anak

lebih rentan daripada orang dewasa.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya

penyakit ini antara lain:8

1. Bangsa/ras (pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi.

Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa),

2. Sosioekonomi (banyak pada negara-negara berkembang dan golongan

sosioekonomi rendah),

3. Kebersihan (lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan).

Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu

ibu, jarang didapat di dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang

berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat

lesi pertama.3

2

Page 3: Responsi Mh

Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap tahun dan

sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta. Tiga negara endemik utama (India, Brasil,

dan Indonesia) terhitung untuk 77% dari semua kasus baru.9 Jumlah kasus kusta di

seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar negara

atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 tercatat kurang

lebih 890.000 penderita. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir Maret

1997 adalah 31.699 orang, distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa

Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi SelatanPrevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk

adalah 1,57.3

IV. ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.

HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan

pada media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm,

tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.3 Masa tunasnya sangat bervariasi, antara

beberapa minggu hingga 30 tahun, rata-rata 3-10 tahun. 2

V. PATOGENESIS

Sel Schwann (SC) adalah target utama pada infeksi oleh M. leprae yang dapat

menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan berisiko cacat. Pengikatan M. leprae

dengan SC menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah

terbukti bahwa M. leprae dapat menyerang SC dengan protein laminin-mengikat

spesifik 21 kDa selain PGL-1. PGL-1 (sebuah glycoconjugate unik, dominan pada

permukaan M. leprae) mengikat laminin-2. Hal ini menjelaskan mengapa

kecenderungan predileksi bakteri di saraf perifer. Identifikasi dari reseptor bertarget SC

M. leprae, dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi saraf

awal. M. leprae yang menyebabkan demielinasi adalah hasil dari ligasi bakteri langsung

ke neuregulin reseptor, erbB2 dan Erk1/2 aktivasi, dan selanjutnya MAP kinase

memberikan sinyal dan proliferasi.2

Makrofag adalah salah satu sel inang yang paling banyak bersentuhan dengan

mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag monosit yang diturunkan dapat

dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4

(CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase. Tidak beresponnya terhadap M. leprae

tampaknya berkorelasi dengan profil sitokin Th2.2

3

Page 4: Responsi Mh

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala

yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi

dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh

sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit

imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada

intensitas infeksinya. 3

VI. KLASIFIKASI

Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada

sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke

arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Agar

proses ini selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.3

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit

kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:3

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti: Tuberkuloid indefinite

BT: Borderline tuberculoid

BB: Mid borderline bentuk yang labil

BL: Borderline lepromatous

Li: Lepromatosa indefinite

LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid

polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin

berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,

juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe

antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara

tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%

tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL

dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil,

berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Zona spektrum kusta menurut

berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel 1.3

4

Page 5: Responsi Mh

Tabel. 1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi3

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, BB.

Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman yakni tipe TT, BT, dan I.

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk multibasilar dan

pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan

pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.3

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan

kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling .

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta

MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau

apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA postif, harus diobati dengan regimen MDT-

MB.3

Tabel. 2 Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)3

PB MB

Lesi Kulit

(makula datar,

papul yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- hipopigmentasi / eritema

- distribusi tidak asimetris

- hilangnya sensasi yang jelas

- >5 lesi

- distribusi lebih simetris

- hilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan Saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

- hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf

5

Page 6: Responsi Mh

Diagnosis banding berbagai tipe kusta tercantum pada tabel 3 dan 4.3

Tabel .3 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasiler (MB)

SIFAT LEPROMATOSA

(LL)

BORDERLINE

LEPROMATOSA (BL)

MID BORDERLINE

(BB )

Lesi

-Bentuk Makula, Infiltrat

difus, papul, nodus

Makula, Plakat, papul Plakat, Dome-shaped

(kubah), Punched-out

-Jumlah Tak terhitung, praktis

tidak ada kulit yang

sehat

Sukar dihitung, masih

ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

-Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

-Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

berkilat

-Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas

-Anestesia Tak ada sampai tak

jelas

Tak jelas Lebih jelas

BTA

-Lesi kulit

-Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

6

Gambar .1

Kusta tipe Lepromatosa (LL)

Perbedaan bentuk reaksi host pada kusta tipe lepromatosa .6

Gambar .2

Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL)

Lesi multiple pada pasien BL. Lesi

anuler berbagai ukuran dan terdistribusi

asimetris. Sebaliknya, lesi papula dan

Page 7: Responsi Mh

Tabel .4 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)3

SIFAT TUBERKULOID

(TT )

BORDERLINE

TUBERCULOID (BT)

INDETERMINATE

(I)

Lesi

-Bentuk Makula saja; makula

dibatasi infiltrat

Makula dibatasi

infiltrat; infiltrat saja

Hanya makula

-Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu atau beberapa

-Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

-Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat

-Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

-Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai tak

jelas

BTA

-Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat ( 3+) Positif lemah Dapat positif lemah

atau negatif

7

Gambar .2

Kusta tipe Borderline Lepromatosa (BL)

Lesi multiple pada pasien BL. Lesi

anuler berbagai ukuran dan terdistribusi

asimetris. Sebaliknya, lesi papula dan

Page 8: Responsi Mh

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit lepra berdasarkan penemuan tanda cardinal atau tanda

utama yaitu bercak hipopigmentasi atau eritematosa, macula atau plak mati rasa pada

bercak yang bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba,suhu,

nyeri;bakteriologis dari hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang

aktif, kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau syaraf. Untuk menentukan

diagnosis penyakit lepra, paling sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. 4

Ada lima tipe abnormalitas syaraf tepi yang biasa dijumpai pada penderita

kusta:6

1. Penebalan syaraf (biasanya asimetri), terutama pada syaraf yang dekat dengan

kulit, seperti pada syaraf auricularis magnus, ulnaris, radialis, medianus,

poplitea lateralis dan tibialis posterior

2. Penurunan sensorik pada lesi di kulit

3. Kelemahan syaraf tubuh, salah satunya ditandai dengan tanda dan gejala

peradangan atau tanpa manifestasi, seperti neuropati, kelemahan dan atau

kelumpuhan sensorik dan motorik, jika lama dengan kontraktur.

8

Gambar . 3

Kusta tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi tuberkuloid: soliter, anestesi dan lesi

anuler, yang muncul sejak 3 bulan. Tepinya

tajam, eritema, dan skuama lebih jelas

daripada elevasinya.6

Gambar. 4

Kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Satu dari beberapa lesi BT yang memiliki

konfigurasi anuler tidak komplit dengan

papul satelit. Dibandingkan dengan Gambar

3, terdapat eritema yang lebih sedikit, tidak

ada skuama yang jelas, tetapi terlihat juga

tepinya yang tajam.6

Page 9: Responsi Mh

4. Gejala penurunan sensorik stocking-glove (S-GPSI), dari serat tipe C (yang

melibatkan diskriminasi panas dan dingin sebelum hilangnya rasa sakit atau

sentuhan ringan) dimulai di daerah akral dan dari waktu ke waktu, meluas

terpusat terbatas pada telapak tangan, setidaknya untuk sementara waktu.

5. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan keterlibatan safar

simpatis.

Penyakit lepra dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit

lain (the great imitator). Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan

gejala yang mirip dengan lepra. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan untuk

mendiagnosis penyakit lepra secara tepat dan membedakannya dengan berbagai

penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. 4

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat

banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini

dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas

terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut

barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan

menggunakan 2 tabung reaksi.3

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada

tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang

dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai

dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit

normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula

diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat

membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat

sukar menentukannya.3

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,

konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Hanya beberapa

saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis

magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis

posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,

sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti

tempat lesinya.

Gejala-gejala kerusakan saraf:3

9

Page 10: Responsi Mh

a. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis;

clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot interoseus

serta kedua otot lumbrikalis medial.

b. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari; clawing ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan kedua otot

lumbrikalis lateral.

c. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk;

tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangan.

d. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum

pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.

e. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki; claw toes; paralisis otot

intristik kaki dan kolaps arkus pedis.

f. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan

ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,

mandibular dan servikal).

g. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

1. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)

Pemeriksaan bakteriologi pasien kusta dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosis, klasifikasi penyakit sebelum pengobatan, menilai

respon pengobatan pada pasien MB, prognosis, memperkirakan

kepentingan epidemiologis, menentukan prioritas pengobatan dan

pemeriksaan narakontak.

Tidak semua pusat pelayanan kesehatan memiliki fasilitas pemeriksaan

histopatologi, tetapi melakukan skin smear sebaiknya tetap dilakukan

karena merupakan tindakan mudah, yang dapat membedakan penderita

dengan lesi tunggal atau kurang 5 masuk ke dalam kusta pausibasiler dan

multibasiler. Pentingnya skin smear dan histopatologis ditekankan dalam

menegakkan diagnosis penderita dengan lesi yang tidak biasa. Tanpa

adanya informasi tersebut, penderita akan dianggap kusta tipe tuberkuloid

10

Page 11: Responsi Mh

yang mendapatkan MDT tipe pausibasiler yang sebenarnya tidak

mencukupi untuk penatalaksanaan penderita multibasiler 7

Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. 4 Sediaan dibuat

dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai

dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan Ziehl Nielsen. Pertama-tama

harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman,

setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset

dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat

yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling

aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan

kedua cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat

tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan

mengandung kuman paling banyak.3

M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.

Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan

fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa

membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan

indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.3

Tabel. 5 Indeks Bakteri3

Indeks Bakteri Keterangan

0 Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1+ 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan

dengan jumlah solid dan non solid.

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100

BTA; IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100

11

Rumus: IM= Jumlah solid/ (Jumlah solid + Non solid) x 100%

Page 12: Responsi Mh

BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan; mulai IB 3+

maksimum harus dicari 100 lapangan.3

b. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan

non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

(subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak

kuman. Pada tipe borderline tercampur unsur-unsur tersebut.3

c. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi

pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang

terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti-

phenolic glycolipid-1 dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diganosis

kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak

jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis.

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme

Linked Imnnuno-sorbent Assay), ML dipstick test, ML flow test.3

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi kulit:

1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis alba,

morfea, dan parut.5

2. Lesi papular sampai nodular: pada dermis: dermatofibroma, eruptif histiositoma,

limfoma, sarkoidosis, dan granuloma lainnya; eruptif dan inflamasi subkutan

nodul berulang: ENL, erythema nodusum, erythema induratum, vaskulitis; Nodul

subkutan terpalpasi tapi tidak telihat pada Latapi lepromatosis mirip lipoma.6

3. Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma

anulare, sifilis sekunder, sarkoides, leukemia kutis, dan mikosis fungoides.5

4. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynauld dan

Buerger.5

12

Page 13: Responsi Mh

Gangguan saraf:5

1. Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma.

IX. KOMPLIKASI

1. Reaksi Kusta

Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu

reaksi. Reaksi kusta adalah suatu reaksi imunologik yang dapat terjadi pada

penderita sebelum mendapatkan pengobatan, pada saat pengobatan, maupun

setelah pengobatan.1 Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada

perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.2,5,6 Reaksi kusta ini terbagi

atas 2 bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) yang disebabkan oleh

peningkatan respon imun seluler terhadap M. leprae, dan reaksi tipe 2 (eritema

nodusum leprosum) yang disebabkan oleh respon imun humoral berupa fenomena

kompleks imun yang meliputi antigen antibody dan komplemen. 1

Tabel . 6 Reaksi Kusta5

Keterangan Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan

(sub febris) atau tanpa demam

Ringan sampai berat disertai

kelemahan umum dan

demam tinggi

Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi

cenderung lebih meradang

(merah), dapat timbul bercak

baru

Timbul nodul kemerahan,

lunak dan nyeri tekan.

Biasanya pada lengan dan

tungkai. Nodul dapat pecah

(ulserasi)

Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri

tekan saraf dan atau gangguan

fungsi saraf

Dapat terjadi

Peradangan pada organ

lain

Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar

getah bening, sendi, ginjal,

testis

Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan pertama Biasanya setelah mendapat-

13

Page 14: Responsi Mh

pengobatan kan pengobatan yang lama,

umumnya > 6 bulan

Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta PB

maupun MB

Hanya pada kusta tipe MB

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:5

a. Adanya lagopthalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir

b. Adanya nyeri raba saraf tepi

c. Adanya kekakuan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir

d. Adanya makula pecah atau nodul pecah

e. Adanya makula aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi.

2. Fenomena Lucio

Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe

lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan

Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevalensi

rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah

muda, bentuk tak teratur, dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian

meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai

purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang

nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.3

Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan

nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh

darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler.

Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperto pada ENL, namun

dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di

dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan

krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.3

3. Relaps

Penderita dinyatakan relaps bila telah pernah mendapatkan MDT dinyatakan

sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi.5 Pengertian relaps atau kambuh pada kusta

ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada

relaps sensitive secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan

14

Page 15: Responsi Mh

penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik

positif kembali. Pada relaps resisten dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan

histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan

inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.3

Resistensi hanya terjadi pada kusta tipe MB, tetapi tidak pada PB oleh karena

SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.3 Untuk kasus tipe MB,

diperlukan pemeriksaan ulang BTA. Bila terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi

≥ 2 dibandingkan saat mendiagnosis, maka penderita dinyatakan relaps.5

4. Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

deformitas yang terlihat

b. Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas

yang terlihat

c. Tingkat 2: Terdapat kerusakan atau

deformitas

Cacat pada mata

a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada

gannguan penglihatan

b. Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan

penglihatan

c. Tingkat 2: Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter.3

X. PENATALAKSANAAN KUSTA

Tujuan utama program pemberantasan lepra adalah penyembuhan pasien lepra

dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan rantai penularan dari pasien lepra

terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. 4

1. Medikamentosa

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS

(Diamino difenil sulfon), kemudian klofazimin, dan rifampisin. Untuk mencegah

resistensi, pengobatan menggunakan MDT (Multi Drug Treatment) untuk kusta

baru dimulai pada tahun 1971. Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk

15

Page 16: Responsi Mh

mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan

mempercepat pemutusan mata rantai penularan.3

a. Dapson (4,4’-diamino difenil sulfon, DDS)

Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan

sebagai monoterapi. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan

inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES,

disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di

berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut

berubahlah pola piker dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi

menjadi MDT. 3

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi

primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten dan

manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL),

bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih

dapat diobati dengan dosis DSS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat

resistensi yang tinggi DSS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder

terjadi oleh karena monoterapi DDS, dosis terlalu rendah, minum obat

tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama

pemberian, pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun.3

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia

hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS,

nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan

methemoglobinemia.3

b. Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi

DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap

bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena

memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan

kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau

setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-

like syndrome, dan erupsi kulit.3

c. Klofazimin (Lamprene)

16

Page 17: Responsi Mh

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962. Dosis

sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari,

atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi

sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih

yaitu 200 mg-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3

minggu. Resistensi pertama pada suatu kasus dibuktikan pada tahun

1982.3

Efek sampingnya adalah warna merah kecoklatan pada kulit, dan

warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis

tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita.

Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan di

deposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit.

Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak

obet dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi,

yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu

dapat terjadi penurunan berat badan.3

d. Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk

Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam

jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar

ditentukan.3

e. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif

terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis

tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae

sebesar 99,99%. 3

f. Monisiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih

tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.

Dosis standar harian 100 mg. 3

Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):

17

Page 18: Responsi Mh

a. Tipe PB (I, TT, BT): 2,5,8

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan

2) DDS 100 mg/hari.

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,

berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis

setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.

Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan

bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.3,8

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,

penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB dengan lesi tunggal, PB

dengan lesi 2-5 buah, dan penderita MB dengan lesi >5 buah. Sebagai standar

pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek

masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,

sedangkan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9

bulan. 3Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600

mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM)

dosis tunggal.3,5

Pada penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan

resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam

hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg, dan

minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg

ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18

bulan.3

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan

ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Alternatif lain adalah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan

ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama

24 bulan.3

b. Tipe MB (BB, BL, LL): 5,8

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

2) DDS 100 mg/hari

18

Page 19: Responsi Mh

3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50

mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap

minggu.

Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai

36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila

bakterioskopis masih positif, harus dilanjutkan sampai bakterioskopis

negatif. 3 Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap

bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. 3,8

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment

(RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara

klinis dan bakteriologis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau

bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan dan disebut Release From Control

(RFC).3

2. Rawat inap5

a. Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat

b. Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)

c. Pasien dengan rencana tindakan operatif.

3. Non medikamentosa5

a. Rehabilitasi medik, karya, sosial

b. Penyuluhan kepada pasien, keluarga, dan masyarakat.

XI. PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA 5

1. Penanganan reaksi

Prinsip penanganan reaksi ringan:

a. Berobat jalan

b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu

c. MDT diberikan terus dengan dosis tetap

d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Prinsip penanganan reaksi berat:

a. Imobilisasi organ tubuh yang terkena neuritis

b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang

c. MDT diberikan terus dengan dosis tidak diubah

19

Page 20: Responsi Mh

d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

e. Memberikan obat antireaksi: prednisone, lamprene, thalidomide (kalau

tersedia)

f. Bila ada indikasi rawat inap penderita dikirim ke rumah sakit

2. Obat antireaksi terdiri dari:

a. Prednison, cara pemberiannya

1) 2 minggu pertama: 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan

2) 2 minggu kedua: 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan

3) 2 minggu ketiga: 30 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan

4) 2 minggu keempat: 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan

5) 2 minggu kelima: 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

6) 2 minggu keenam: 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

Bila diperlukan dapat digunakan steroid jenis lain dengan dosis yang

setara dan penurunan dosis secara bertahap juga.

b. Lamprene

Obat yang digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang

berulang-ulang. Cara pemberian:

1) 3x100 mg/hari selama 2 bulan

2) 2x100 mg/hari selama 2 bulan

3) 1x100 mg/hari selama 2 bulan

c. Thalidomide

Bila obat ini tersedia. Hanya untuk reaksi tipe 2.

XII. PROGNOSIS

Pada lepra yang tidak diterapi, hanya pasien TT atau pasien BT yang telah

berubah menjadi TT yang dapat sembuh sendiri. 6Dengan adanya obat-obat kombinasi,

pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih

baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.8

20

Page 21: Responsi Mh

DAFTAR PUSTAKA

1. Andayani S, Adam AM, Amin S, Amiruddin MD, Muchtar SV, Djamaluddin W.

Eritema Nodusum Leprosum pada Kusta Tipe Mid Borderline sebelum Pengobatan

Multidrug Therapy. Dalam: Julianto I, Mawardi P, dkk., editor. Kumpulan Makalah

Lengkap PIT XII PERDOSKI (Buku II). Surakarta: PT. ITA Surakarta; 2012 h. 441

2. Bhat RM dan Prakash C. Leprosy: An Overview of Pathophysiology. Interdisciplinary

Perspectives on Infectious Disease. 2012; 181089

3. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoedalli ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda A,

Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 73-88.

4. Marlini L, Nopriyanti, Yahya YF, Rusmawardiana, Thaha MA. Lepra Tipe Borderline

Lepromatosa yang Menyerupai Lupus Eritematosus Kutaneus Subakut. Dalam: Julianto

I, Mawardi P, dkk., editor. Kumpulan Makalah Lengkap PIT XII PERDOSKI (Buku II).

Surakarta: PT. ITA Surakarta; 2012. h. 521-522

5. PERDOSKI. Kusta. Dalam: Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja ASD,

Toruan TL, Alam TN. Panduan pelayanan penyakit medis dokter spesialis dan kulit

kelamin perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin indonesia (PERDOSKI).

Jakarta: PP PERDOSKI; 2011. h. 88-90.

6. Rea TH dan Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine 7th ed.

New York: Mc Graw Hill; 2008. h. 1786-1794

7. Risadini MW, Yuniar K, Mulianto N, Dharmawan N, Julianto I. Kusta Multibasiler Lesi

Tunggal dengan Reaksi Reversal: Laporan Satu Kasus. Dalam: Julianto I, Mawardi P,

dkk., editor. Kumpulan Makalah Lengkap PIT XII PERDOSKI (Buku II). Surakarta: PT.

ITA Surakarta; 2012. h. 582

21

Page 22: Responsi Mh

8. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. h. 154-

154-155

9. Smith WCS dan Saunderson P. Leprosy. Clinical Evidence. 2010;0915

10. Zulkifli. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. 2003.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3679/3/fkm-zulkifli2.pdf.txt (diakses

tanggal 17 Desember 2013)

22

Page 23: Responsi Mh

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Wiji Hastuti

NIM : G99122096

I. ANAMNESIS

A. Identitas

Nama : Sdr.R.S

Umur : 22 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat : Sukoharjo, Jawa Tengah

Tanggal periksa : 11 Desember 2013

No rekam medik : 01233017

B. Keluhan utama

Mati rasa di siku sebelah kiri.

C. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli Kulit dan Kelamin di RSDM dengan keluhan mati rasa

di siku sebelah kiri. Keluhan tersebut dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu. Keluhan

tersebut disertai rasa panas. Keluhan tersebut tidak disertai rasa nyeri, gatal, rasa lemah

di tangan, rambut rontok, susah berkeringat, hidung tersumbat, perdarahan hidung,

pandangan kabur, maupun demam. Pasien belum pernah berobat untuk penyakitnya ini.

Sebelumnya, kurang lebih 1 tahun yang lalu di siku kiri pasien muncul bercak

putih sebesar koin, yang lama-kelamaan bertambah besar. Pasien belum merasakan

mati rasa. Selain itu, pasien juga tidak merasakan gatal maupun nyeri.

Pasien merupakan seorang penggiling pada pabrik roti. Di lingkungan kerja,

rumah, dan tetangga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa. Pasien tidak ada

23

Page 24: Responsi Mh

riwayat pergi-pergi ke luar kota sebelumnya. Pasien pernah memeriksakan diri ke

Puskesmas dan diberitahu kemungkinan sakitnya lepra dan disarankan pergi ke RS.

Pasien tidak pernah mengoles-oles salep maupun minyak sebelumnya.

D. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat kontak dengan penyakit sejenis : disangkal

E. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan

Pasien bekerja sebagai penggiling pada pabrik roti.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

Keadaan umum : baik, compos mentis

Vital sign : TD= 130/90 mmHg,

HR= 80x/menit,

RR= 18x/menit,

t= 36.5oC

Kepala : mesocephal, hidung pelana (-)

Mata : lagoftalmus (-), madarosis (-/-)

Mulut : dalam batas normal

Leher : dalam batas normal

Thorax Anterior : dalam batas normal

Thorax Posterior : lihat status dermatologi

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas atas : lihat status dermatologi

Ekstremitas bawah : dalam batas normal

24

Page 25: Responsi Mh

B. Status dermatologi

Regio thorax posterior : makula, tampak patch hipopigmentasi, berbatas tidak tegas,

multiple, diskret.

Extremitas atas: region cubitalis sin: makula, patch hipopigmentasi, sebagian

hiperpigmentasi.

25

Page 26: Responsi Mh

26

Page 27: Responsi Mh

III. PEMERIKSAAN SARAF

A. Sensibilitas Lesi

Raba : anestesi

Tajam/tumpul : hipoestesi

Panas/dingin : hipoestesi

B. Pembesaran Saraf

N. Aurikularis magnus : -/-

N. Ulnaris : -/-

N. Peroneus comunis : -/-

27

Page 28: Responsi Mh

N. Tibialis posterior : -/-

C. Pemeriksaan Sensorik

N. Ulnaris : normal/normal

N. Medianus : normal/normal

N. Tibialis Posterior : normal/normal

D. Pemeriksaan Motorik

N. Ulnaris : +5/+5

N. Medianus : +5/+5

N. Radialis : +5/+5

N. Tibialis Posterior : +5/+5

IV. DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen

Pitiriasis versicolor

Hipopigmentasi pasca inflamasi

28

Page 29: Responsi Mh

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan BTA: -

Pemeriksaan biopsi : sesuai tipe BB

VI. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe BB

VII. TERAPI

Non medikamentosa

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya

2. Bekerjasama ke Puskesmas untuk pemantauan terapi

3. Memakai sandal atau pelindung kaki untuk mencegah terjadinya luka

4. Kontrol 1 bulan kemudian.

Medikamentosa

1. MDT MB :

- Rifampicin 600mg/bulan

- DDS tablet 100 mg/hari

- Klofazimin 300 mg/bulan, diteruskan 50 mg/hari

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad kosmetikam : dubia ad bonam

29