Responsi Gizi Buruk Dengan Sida Fix
-
Upload
andika-metrisiawan -
Category
Documents
-
view
96 -
download
8
description
Transcript of Responsi Gizi Buruk Dengan Sida Fix
BAB IPENDAHULUAN
Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired Immune Deficiency
Syndrome) mengalami peningkatan jumlah penderita tiap tahunnya baik pada orang dewasa
maupun anak di dunia maupun di Indonesia. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai
fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang
sebenarnya. Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia.
Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni
1981.1
Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap
tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak
(penularan vertikal). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita HIV/AIDS
mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun dilaporkan mencapai 514
anak. Dilaporkan juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif
mengidap infeksi HIV.1
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah tangga
yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah pekerja
seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh penularan HIV
dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini dapat
meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV harus
segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke dalam
keluarga dan masyarakat umum1.
Gizi buruk atau malnutrisi merupakan komplikasi pada pasien dengan infeksi HIV. Gizi buruk
ini sendiri dibagi menjadi dua gambaran klinis utama, yaitu malnutrisi tanpa oedema (marasmus)
dan malnutrisi dengan oedema (kwarshiorkor atau marasmus-kwarshiorkor). Terdapat prevalensi
HIV yang tinggi di antara anak-anak dengan gizi buruk. Wasting syndrome sebagai salah satu
1
manifestasi klinis gizi buruk dilaporkan pernah terjadi pada 17% kasus anak dengan infeksi HIV
di Amerika Serikat pada tahun 1994.3
Kebanyakan anak dengan infeksi HIV akan mengalami defisit nutrisi selama perjalanan
penyakitnya. Suatu trial study Multicenter di Amerika Serikat yang mempelajari efek zidovudine
(AZT) pada anak dengan infeksi HIV menemukan 80% anak dengan infeksi HIV memiliki berat
kurang dari persentil ke-25.3 Adanya abnormalitas pertumbuhan yang signifikan ini juga
dilaporkan memiliki korelasi langsung terhadap morbiditas dan survival anak dengan infeksi
HIV. Angka mortalitas pada anak-anak dengan infeksi HIV disertai gizi buruk 3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang mengidap gizi buruk saja. Pada suatu studi dengan sumber
terbatas menyatakan anak dengan infeksi HIV yang mengalami imunosupresi berat dan status
gizi yang buruk sebanyak 5-10% mengalami kematian yang lebih dini walaupun sudah
mendapatkan terapi antiretroviral.4
Pada suatu penelitian yang melibatkan 100 anak dengan infeksi HIV dengan gizi buruk
(marasmus, kwarshiorkor, dan marasmus kwarshiorkor) dibandingkan dengan anak yang
memiliki status gizi yang lebih baik didapatkan beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya
malnutrisi pada pasien anak dengan infeksi HIV yaitu adanya keluarga yang dicurigai mengidap
HIV (orang tua, saudara), penghentian pemberian ASI yang salah, kematian orang tua, jenis
kelamin laki-laki, dan urutan lahir yang lebih tinggi (misal, anak ketiga atau lebih). Selain itu
faktor-faktor tradisional seperti pemberian nutrisi yang kurang, orang tua yang tidak sanggup
mengurus anaknya atau sakit, kemiskinan, dan ketidaksetaraan dalam masyarakat tetap menjadi
kontributor penting dalam prevalensi gizi buruk pada anak dengan infeksi HIV.5
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Penyakit HIV/AIDS
2.1.1 Definisi dan Etiologi AIDS2
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (human Immunodeficiency Virus). Jalur
penularan rebanyak adalah vertikal yakni penularan dari ibu ke anak. Infeksi dapat diperoleh
pada saat kehamilan, persalinan atau melalui air susu ibu.
Infeksi HIV lebih agresif pada bayi dan anak-anak daripada pada orang dewasa, dengan 30%
kematian saat berusia 1 tahun dan 50% pada usia 2 tahun tanpa akses ke obat-obatan essensial,
termasuk ART dan pencegahan intervensi seperti kotrimoksasol (trimetoprim-sulfametoksazol).
Pada tahun 2007, WHO / UNAIDS memperkirakan 690.000 [580.000-860.000] anak diperlukan
terapi antiretroviral dann terdapat 250 000 -290.000 anak berusia di bawah 15 tahun meninggal
terkait dengan HIV pada 2007, sebagian besar di sub-Sahara Afrika, dimana kematian yang
paling sering terjadi pada bayi terinfeksi HIV pada awal kehamilan. Pencegahan dengan
kotrimoksazol dan ART dapat sangat mengurangi jumlah anak yang meninggal secara dini.
Sebagian besar anak dengan HIV-positif sebenarnya meninggal karena penyakit yang biasa
menyerang anak. Sebagian dari kematian ini dapat dicegah, melalui diagnosis dini dan
tatalaksana yang benar, atau dengan memberi imunisasi rutin dan perbaikan gizi. Secara khusus,
anak ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat infeksi pneumokokus dan tuberkulosis
paru. Pada pasien anak dengan AIDS beberapa faktor yang menyebabkan penularan virus HIV
yaitu dari ibu ke anaknya yang dapat diperoleh saat kehamilan, persalinan atau melalui air susu
ibu. Penularan HIV dari ibu ke anak (tanpa pencegahan Antiretroviral) diperkirakan berkisar
antara 15–45%. Bukti dari negara industri maju menunjukkan bahwa transmisi dapat sangat
dikurangi (menjadi kurang dari 2% pada beberapa penelitian terbaru) dengan pemberian
antiretroviral selama kehamilan dan saat persalinan dan dengan pemberian makanan pengganti
dan bedah kaisar elektif.
3
2.1.2 Patogenesis AIDS2
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinsikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imum yang
progresif. Virus HIV1 terutama menuju sel limfosit (CD4+) dan sel monosit atau makrofag.
Setelah sel terinfeksi virus, maka RNA sampul dari virus terlepas dan membentuk DNA
transkrip rangkap dua, yang kemudian ditransfer ke sel DNA host, dan terjadilah perusakan
sistem imunologi baik selular maupun humoral. Kemudian bersama sitokin yang dipengaruhi
akan mempengaruhi fungsi makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Perusakan sel B mengakibatkan
antibody sekunder menjadi lemah dan respon vaksinasi memburuk. Sel mediated juga
mengalami kerusakan sehingga infeksi oportunis mudah terjadi seperti jamur, pneumonia
pneumokistik carinii, diarekronik, dan sebagainya. Virus juga dapat menginvasi sel syaraf otak
sehingga terjadi atrofi otak
Pada saat limfosit yang terinfeksi menjadi aktif misal saat infeksi berulang, maka terjadilah
apoptosis dan lisis sel host. Karena CD4+ limfosit merupakan respon imun yang penting
terhadap keadaan zat-zat pathogen, apabila jumlah CD4+ dibawah 200 /mm3 maka tubuh
menjadi rentan terhadap infeksi oportunis atau keganasan. Pada awal infeksi, virus menyerang
sel dan terjadilah perbanyakan virus sehingga terjadi viremia (adanya virus dalam darah). Saat
respon imun host terangsang, viremia menghilang, dan 80% penderita asimptomatik (tanpa
gejala), dan hanya 20% sisanya yang mengalami penyalit progresif. Pada penderita
asimptomatik, proses penyakit berkisar selama 10 tahun, dan dengan adanya infeksi oportunis
(AIDS) proses berlangsung sekitar 5 tahun.
Saluran pencernaan adalah elemen sentral dalam akuisisi penyakit HIV, perkembangan gagal
tumbuh, dan kerusakan kekebalan yang berkembang dengan perkembangan penyakit. Meskipun
beberapa anak mungkin menjadi terinfeksi HIV di dalam rahim, mayoritas tampaknya
memperoleh infeksi perinatal. Rute infeksi tidak diketahui, tetapi kulit, selaput lendir, dan
saluran pencernaan adalah kandidat yang baik untuk jaringan di mana HIV
dapat bermigrasi. Meskipun saluran pencernaan adalah jaringan immunologie terbesar, sedikit
yang diketahui tentang infeksi elemen limfoid mukosa oleh HIV pada neonatus. Namun,
seseorang dapat berspekulasi bahwa virus melintasi epitel dan memasuki lamina propria dimana
4
HIV menginfeksi limfosit atau diambil oleh makrofag. Ini HFV terkait sel kemudian bermigrasi
ke kelenjar getah bening mesenterika yang menjadi reservoir bagi virus dengan cara analog
dengan yang dijelaskan dalam kelenjar getah bening perifer
2.1.3 Manifestasi Klinis AIDS pada Anak2
Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi bergantung dengan Derajat atau
stadium dari manifestasi klinis yang tampak pada dan hasil CD4. Beberapa anak dengan HIV-
positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama
kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala
ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun.
Adapun beberapa Anak disebut sebagai "Suspek HIV" apabila ditemukan gejala berikut, yang
tidak lazim ditemukan pada anak denagn HIV negative.Gejala yang menunjukkan kemungkinan
infeksi HIV:
Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.
Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung
lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian
lidah – kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di
bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esofagus.
Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama = 14 hari, dengan
atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.
Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.
Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti sitomegalovirus.
Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38° C) berlangsung = 7 hari, atau
terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.
5
Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan
terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).
Herpes zoster.
Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum
contagiosum yang ekstensif.
Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). Gejala yang
umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak
sakit yang bukan infeksi HIV.
Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung = 14 hari.
Diare Persisten: berlangsung = 14 hari.
Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya pertambahan
berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang
seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV terutama pada bayi
berumur < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.
Namun, perlu diingat kita tidak boleh mengesampingkan diagnosis lainnya dalam penanganan
pasien. Ada beberapa morbiditas yang mungkin ditemukan pada penderita HIV tetapi juga
ditemukan pada anak yang tidak terinfeksi HIV seperti halnya infeksi berulang atau menetap
lebih dari 14 hari, diare persisten atau berulang, malnutrisi sedang atau berat dan malnutrisi
sedang atau berat.
2.1.4 Diagnosis Klinis dan Laboratorium pada Pasien AIDS 2,6
Diagnosis ditegakkan anamnesa, pemeriksaan fisik berdasarkan klasifikasi klinis, pemeriksaan
laboratorium (tes serologi bagi bayi usia lebih dari 18 bulan atau persangkaan virus dalam darah
bagi bayi usia kurang dari 18 bulan, dan kadar CD4+.
Sistem Klasifikasi Infeksi HIV pada anak: kategori klinis (berdasarkan WHO) untuk anak usia
kurang dari 13 tahun dan sudah terinfeksi HIV
6
STADIUM 1
Asimptomatik
Persistent generalized asimtomatik.
STADIUM 2
Hepatosplenomegali
Erupsi papular pruritik
Dermatitis seberoik
Infeksi jamur pada kuku
Angular Cheilitis
Lineal gingival erythema (LGE)
Infeksi human pappiloma Virus atau moluskum yang luas (lebih dari 5%luas tubuh)
Ulserasi oral berulang (lebih atau sama dengan 2 episode dalam 6 bulan)
Pembesaran Parotis
Herpes zoster
Infeksi saluran nafas atas kronik atau berulang (otitis media, sinusitis>2 selama 6 bulan)
STADIUM 3
Malnutrisi sedang tanpa kausa yang jelas dan tidak berespon terhadap terapi standar
Diare persisten tanpa kausa yang jelas
Demam persisten tanpa kausa yang jelas (intermitten atau konstan >1 bulan)
Kandidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB paru
Pneumonia bakteri berat berulang (lebih atau sama dengan 2 episode dalam 6 bulan)
Acute necrotizing ulcerative gingivitis/ periodontitis
LIP (lymphoid Intersitial Pneumonia)
Anemia tanpa kausa yang jelas (<8gm/dl), neutropenia(<500/mm3) atau trombositopenia
(<30.000/mm3) selama >1 bulan
STADIUM 4
Wasting atau malnutrisi berat yang tidak berespon terhadap terapi standar
Pneumonia pneumocytisis
7
Infeksi bakteri berat berulang ( lebih dari sama dengan 2 episode dalam 1 tahun, misal:
empyema, pyomyositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis, tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kulit atau orolabial kronik (>1bulan)
TB disseminataatau ekstrapulmoner
Sarcoma Kaposi
Kandidiasis esophagus
Bayi , 18 bulan HIV seropositif dengan lebih atau sama dengan 2 gejala berikut;
Oral thrush, +/- pneumonia berat, +/- gagal tumbuh atau malnutrisi berat, +/-sepsis berat retinitis
CMV
Toksoplasmosis SSP
Mikosis endemic diseminata, termasuk: meningitis kriptokokkus
(e.g. kriptokokkis ektra pulmone, histoplasmosis, koksidiomikosis, penisilliniosis)
Kriptosporidosis atau isosporiasis (dengan diare >1 bulan)
Infeksi CMV(usia>1bulan pada organ selain, hepar, lien atau kelenjar)
Penyakit mikrobakterium diseminata selainTB
Kandida pada trakea, bronkus atau paru0paru
Fistel rekto-vesika didapat terikat HIV
Limfoma serebri atau non Hoodgkin sel B
Leukoensefalopati mulyifokal progresif
Encefalopati HIV
Kardiomiopati HIV
Nefropati HIV
Tabel 1. Stadium penyakit HIV/AIDS
Pemeriksaan standar HIV yaitu Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) dan analisa
Western untuk mengetahui adanya antibodi immunoglobulin. Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat
dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini karena karena masih
ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, yang terkadang hingga
usia 24 bulan. Namun IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat
dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada darah bayi. Namun sensitifitas kedua
pemeriksaan tersebut masih sangat rendah sehingga jarang diapakai sebagai alat diagnosis.
8
Pemeriksaan bagi anak di bawah usia 18 bulan menggunakan uji virologik yaitu pemeriksaan
kultur HIV dan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA
HIV (viral load). Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari
dua kali pemeriksaaan kultur yang berbeda, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil
positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil
negatif.Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2
bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus
adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV
dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak
menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4
bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada
bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV.
2.1.5.Dampak yang Dapat Diberikan pada Anak2
Anak-anak yang masih hidup tahun pertama kehidupan lebih mungkin untuk meninggal akibat
penyakit anak-anak umum. Penyakit tersering penyebab kematian pada bayi dan anak yang
terinfeksi HIV adalah infeksi saluran pernapasan, diare dan TBC yang biasanya berasal dari
beberapa faktor risiko, termasuk infeksi oportunistik dan gizi, dengan semua-menyebabkan
kematian yang terbesar di antara mereka dengan berat badan rendah. Status gizi yang buruk
membuat anak-anak yang terinfeksi HIV lebih rentan terhadap morbiditas dan mortalitas, bahkan
ketika mereka menerima terapi antiretroviral. Kelangsungan hidup anak dan program HIV
karena itu akan menguntungkan semua anak, termasuk mereka yang terinfeksi HIV
Keterkaitan antara malabsorpsi, malnutrisi, defisiensi kekebalan tubuh, dan menyebabkan infeksi
enterik siklus yang potentiates masalah pertumbuhan dari anak yang terinfeksi HIV. Sel epitel
usus dys fungsi dan mungkin bakteri akibat pertumbuhan berlebih di malabsorpsi hara dan, jika
kalori tambahan tidak tersedia, kekurangan gizi akhirnya. Protein energi malnutrisi tanpa infeksi
HIV dapat mengakibatkan kelainan immunologis termasuk penurunan jumlah T-sel,
berkurangnya jumlah CD4, hipersensitivitas tertunda terganggu, peningkatan kadar
imunoglobulin serum, dan respon antibodi gangguan tertentu. Bila kelainan yang sama
ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV, orang tidak dapat menentukan apakah mereka terkait
dengan infeksi HIV atau kekurangan gizi. Kesamaan dalam disfungsi kekebalan tubuh antara
9
malnutrisi dan infeksi HIV menunjukkan kekurangan gizi yang dapat mempotensiasi disfungsi
immunologie penyakit HIV.
Penyebab defisit gizi yang menyebabkan gizi buruk dapat dibagi menjadi tiga bidang luas:
nutriaent asupan berkurang, kerugian gizi meningkat, dan kebutuhan gizi meningkat. Penurunan
asupan gizi dapat Kediri disebabkan oleh esofagitis, masalah dengan karet, mulut, mual muntah
ulserasi,, dysgeusia berhubungan dengan defisiensi seng atau terapi obat, demam, nyeri,
demensia, depresi, dan / atau putus asa. Kerugian gizi Peningkatan yang paling sering
disebabkan oleh infeksi oportunistik, tapi laktosa intoleransi, insufisiensi pankreas, atau luka
usus kecil dapat berkontribusi untuk malabsorpsi. Peningkatan kebutuhan zat gizi yang paling
sering dikaitkan dengan penyakit demam, tetapi kelainan metabolik seperti bersepeda sia-sia dan
hormon abnormal atau produksi sitokin dapat mengubah metabolisme intermediate dan
memodifikasi persyaratan gizi. Data pendukung fenomena di pasien terinfeksi HIV datang
terutama dari studi pada orang dewasa; beberapa studi telah sistematis dibahas masalah ini pada
infeksi HIV pediatrik.
2.2 Gizi Buruk7,8
2.2.1 Definisi Gizi Buruk
Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya severe
wasting (BB/TB<70% atau <3SD) atau ada gejala klinis gizi buruk (kwarshiorkor, marasmus,
atau marasmic-kwarshiorkor).(Buku IPKA) Pada tahun 1987, Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) memasukkan wasting pada pasien dengan HIV sebagai salah satu AIDS-
Defining Condition (ADC). Wasting pada AIDS didefinisikan sebagai kehilangan berat badan
sebesar 10% atau lebih atau penurunan peningkatan berat badan yang mengakibatkan
menurunnya penyebrangan grafik sebanyak 2 atau lebih garis persentil menurut umur (misal
persentil ke-95, 75, 50, 25, 5) pada anak dengan umur lebih dari 1 tahun atau terletak pada
persentil ke-25 berdasrkan tinggi badan/berat badan pada pengukuran konsekutif yang terpisah
lebih dari 30 hari dengan tambahan adanya diare atau panas yang kronis.
10
2.2.2 Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang
berbeda-beda.
a. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit
(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit,
gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak
sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar.
Berikut adalah gejala pada marasmus adalah:
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh
lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema
pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan oedem (pitting oedema ekstermitas bilateral, periorbital oedema)
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
11
Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan
< 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
2.2.3 Faktor Penyebab Gizi Buruk
Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :
1. Penyebab langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita
penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan
cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan.
Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi
buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh
karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan
adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya
dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya.
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak
sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan
bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya
lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan
memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi.
12
2.2.4 Patofisiologi Gizi Buruk
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi
karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan
dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C
dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien
juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada
retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan
gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang
mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada
cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun
senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif
terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat
dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali
terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan
pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL
dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya
penumpukan lemak di hepar.
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang
jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein,
sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi
plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita
kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium
berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi
protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah
sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu
yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena
pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik
Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena diet yang tidak
cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu,
karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari
13
interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada
beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap
terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit,
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang
tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya
infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,
deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus,
cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang
akibat reflek mengisap yang kurang kuat
e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose
intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirkan
h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan
menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian
diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu
membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak
jatuh dalam marasmus
2.2.5 Dampak Gizi Buruk
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan
dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi
yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem,
karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan
14
mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak
porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik
sehingga mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa
mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain
hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam
darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut
tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan
mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap
pertumbuhan maupun perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi
”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun
terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat
beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak
ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan
anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang
lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn
kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa
percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak. Secara ringkas, gizi buruk berhubungan
dengan gangguan-gangguan fungsi berikut ini:
a. Ginjal (tdak dapat mengekskresi beban Natrium)
b. Pencernaan (terjadi atropi vili dan kerusakan usus menyebabkan translokasi bakteri;
defisiensi enzim pencernaan menyebabkan malabsorpsi)
c. Sirkulasi (dengan mudah terjadi kelebihan cairan/Congestif Cardiac Failure)
d. Thymus (atropi->imunitas terganggu)
e. Otak (gangguan intelektual)
f. Liver (hipoglikemia, metabolism obat abnormal)
g. Gangguan elektrolit (defisiensi K+, Zn, dan Mg)
h. Ekskoriasi kulit (sumber sepsis)
i. Hypothermia (tana prognosis buruk)
15
j. Spesifik defisiensi nutrisi terjadi pada bebefrapa kasus. Diantaranya xeropthalmia
(defisiensi Vit A), goiter (iodine), pellagra (niacin), scurvy (def. vit C), dan rickets (def.
vit D)
2.2.6 Pemeriksaan untuk Menegakkan Malnutrisi
Dalam menegakkan malnutrisi sebenarnya hanya diperlukan pemeriksaan antropometri, tetapi
untuk mengetahui defisiensi makronutrien dan mikronutrien diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan Antopometri
Antropometri (pengukuran badan) digunakan untuk mengukur kekurangan gizi dengan
mengacu pada standar internasional (lihat kotak). Berikut ini yang umum digunakan:
Berat terhadap usia (W / A): berat relatif terhadap berat standar untuk anak pada usia
yang sama.
Tinggi terhadap usia (H / A): tinggi relatif terhadap ketinggian standar untuk anak
pada usia yang sama.
Berat untuk tinggi (W / H): berat relatif terhadap berat badan diharapkan untuk anak
dari ketinggian yang sama.
Pertengahan lingkar lengan atas (MUAC).
Indeks massa tubuh (BMI): berat badan / (tinggi) 2 digunakan hanya untuk dewasa.
W/A, H/A, dan W/H dinyatakan sebagai persentase dari standar referensi, atau sebagai
kelipatan dari standar deviasi (SD) dari rata-rata populasi referensi 'Z skor' (misalnya jika
berat badan adalah 2 SD di bawah berat badan rata-rata anak normal pada usia yang
sama, skor Z adalah -2.
Jika usia tidak pasti, tinggi (65-110 cm) dapat digunakan sebagai tanda terhadap usia
untuk mengidentifikasi anak usia 6 bulan-6 yrs.
Lingkar lengan atas dapat dijadikan salah satu indicator malnutrisi pada anak karena pada
umur 1 sampai 5 tahun peningkatan lla terjadi dengan lambat sehingga LLA dapat
dengan mudah menjadi nilai batas ambang untuk pengukuran nutrisi. LLA < 110 cm stara
dengan nilai BB/TB z-score – 3 SD dan LLA < 125 cm setara dengan nilai BB/TB z-
score -2 SD
16
Malnutrisi dapat diklasifikasikan menggunakan ukuran antropometri sebagai berikut:
Status Gizi Klinis Antropometri (BB/TB-PB)
Gizi Buruk Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung
kaki sampai seluruh tubuh
< - 3 SD/ <70%
Gizi Kurang Tampak Kurus ≥ - 3SD - < 2 SD/ 70-80%
Gizi Baik Tampak Sehat - 2 SD - + 2 SD/ 80-90%
Gizi Lebih Tampak Gemuk > +2SD/>90%
Tabel 2. Status Gizi berdasarkan penampakan Klinis dan Antropometri (WHO)10
2.3 Manajemen Pasien Pediatri dengan Infeksi HIV/AIDS9,10
Di antara anak-anak yang mengalami gizi buruk di Afrika, 15% anak dengan infeksi HIV-AIDS
yang berada dalam penanganan komunitas dan sekitar 60% dirawat dengan sakit berat dengan
komplikasi akibat infeksi HIV-AIDS. Kebanyakan anak gizi buruk dengan positif HIV memiliki
kadar CD4 yang rendah dan memerlukan pengobatan ARV. Kadar CD4 tidaklah terlalu rendah
pada anak yang memiliki gizi buruk saja. Perlu dipertimbangkan untuk pemeriksaan test HIV
bagi anak yang mengalami malnutrisi yang sangat berat, tetapi pemeriksaan dapat menimbukan
ketakutan dan stigma karena bila anak mengidap HIV, ada kecurigaan sang ibu juga
mengidapnya. Tetapi bila diagnosis dapat ditegakkan dengan segera terdapat beberapa
keuntungan, seperti mendapat perawatan yang tepat, antibiotik profilaksis dan ARV.
Patogenesis malnutrisi pada anak dengan SIDA merupakan suatu proses yang multifaktorial.
Tiga mekanisme potensial adalah asupan yang tidak adekuat, malabsorpsi gastrointestinal, dan
penggunaan energy yang abnormal.
Beberapa permasalahan nutrisi yang dapat ditemukan pada pasien SIDA adalah:
a. Asupan nutrisi kurang akibat kelemahan, lesi oral yang menyakitkan (misalnya candida),
anoreksia akibat demam/infeksi, dan orang tua yang juga sakit akibat infeksi HIV
b. Malabsorpsi dan diare kronis akibat parasit intestinal (misalnya Cyptosporidium)
menyebabkan kehilangan nutrisi dalam usus.
c. Peningkatan keluaran energy akibat infeksi yang sedang terjadi
d. Penurunan berat badan yang berat dan pertumbuhan terganggu seperti stunting
17
e. Defisiensi mikronutrien (termasuk Vit A, Zinc)
f. Anemia terjadi biasanya akibat inflamasi kronis dibandingkan defisiensi mikronutrien.
Adapun manajemen gizi buruk pada anak dengan SIDA adalah sebagai berikut:
1. Penanganan malnutrisi
Tangani terapi nutrisi sama seperti pada pasien dengan gizi buruk tanpa SIDA dengan lebih
mengantisipasi adanya penolakan diet akibat infeksi. Penilaian awal dengan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, khususnya anthropometri, dan pemeriksaan penunjang spesifik
yang telah dibahas sebelumnya. Nilai apakah anak tampak sehat secara klinis, letargi atau
tidak sehat. Jika sehat, apakah anak tersebut memakan dengan baik makanan yang diberikan?
Berikut ini algoritma untuk menentukan tipe malnutrisi dan menentukan penanganan yang
akan digunakan.
18
Gambar. Algoritma kategorisasi dan manajemen anak dengan malnutrisi9
1. Program nutrisi rawat jalan
Tujuan program nutrisi ini adalah untuk mengidentifikasi keparahan malnutrisi;
merencanakan manajemen regimen untuk pasien dengan gizi buruk atau gizi kurang;
menentukan dimana seharusnya regimen diberikan (di rumah sakit, di rumah atau feeding
centre), dan memberikan nasihat dan manajemen kepada perawat anak dengan gizi buruk
atau gizi kurang.
a. Berikan panduan nutrisi untuk meningkatkan asupan sehari-hari
19
Anak yang tampak malnutrisi (kurus) dalam survey masyarakat atau klinik
Gizi KurangJika terdapat salah satu:70-80& BB/TB tanpa oedemaLLA 110-125 mm
Gizi BurukJika terdapat salah satu atau lebih:
≤ 70% BB/TBBilateral oedemaLLA <110 mm
Tampak sehat secara klinis
Tampak sakit atau anoreksia
Tampak sehat secara klinis
Tampak sakit atau anoreksia
1. Program nutrisi rawat jalan
2. Program nutrisi rawat inap
3. Program RUTF rawat jalan
4. Program rawat inap
Penilaian Nutrisi:a. Median weight/height menggunakan
table WHO/NCHSb. MUACc. Udem
Penilaian klinis (menggunakan panduan WHO/IMCI)a. Infeksi (khususnya diare, pneumonia, demam,
meningitis)b. Dehidrasic. Anemia beratd. Tidak sadare. Anoreksia (nilai respon saat pemberian
makanan)
berikan saran terhadap pemberian makanan yang benar dan meningkatkan konten
protein dan mikronutrien pada makanan sehari-hari bila mampu
sarankan untuk mengikuti program local/pemerintah (posyandu) untuk
meningkatkan food security
Menyediakan suatu porsi “take home” yang menyediakan kebutuhan protein,
energy, dan mikronutrien yang enak (disenangi anak-anak) dan dapat disimpan
tanpa memerlukan bantuan mesin pendingin
b. Rawat infeksi yang terjadi
Rawat semua anak dengan gizi kurang untuk infeksi apakah terdapat tanda klinis
atau tidak (amoksisilin untuk 5 hari)
Beri albendasole single dose 400 mg PO untuk semua anak di atas 24 bulan untuk
mengatasi infeksi cacing
Berika semua anak vit A (50.000, 100.000 dan 200.000 iu untuk anak <6 bulan, 7-
12 bulan, dan >12 bulan pada hari 1, 2, dan 14 pada program nutrisi).
Diagnosis dan rawat bila terdapat malaria
Pertimbangkan adanya tuberculosis sebagai salah satu penyebab respon nutrisi
yang buruk
Pastikan anak mendapat imunisasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan
Follow up anak setiap 2 minggu sampai terjadi kenaikan berat badan
2. Program RUTF (Ready to Use Therapeutic Food) Rawat Jalan
Tujuan program ini adalah untuk merawat anak dengan gizi kurang di rumah sehingga
mereka bias mengkonsumsi jumlah yang adekuat dari RUTF ini sendiri. Program ini
dapat memperbaiki masalah metabolic dan memacu perbaikan massa tubuh dan fungsi.
Ready-to-use therapeutic food (RUTF) ini adalah suatu makanan kaya akan protein,
energy, dan mikronutrien untuk anak dengan gizi buruk. RUTF memiliki rasa enak untuk
dimakan, kaya akan lipid, dengan komposisi nutrisi sama dengan F-100. RUTF tidak
memerlukan proses pemasakan dan kandungan air yang rendah membuat RUTF resisten
terhadap kontaminasi mikroba, sehingga dapat disimpa pada kondisi tropis untuk
beberapa bulan. Kebanyakan anak dengan gizi buruk dapat menerima beberapa sendok
20
the RUTF sebanyak 5-7 kali sehari, hal ini cukup untuk mencapai perbaikan nutrisi. Saat
dikonsumsi RUTF harus dicampur dengan air. Dorong ibu untuk tetap member ASI.
Makanan yang lain tidak boleh diberikan sampai BB anak kembali normal. Beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
Observasi apakah anak mau mengkonsumsi RUTF yang diberikan.
Berikan kadar RUTF yang cukup sampai pertemuan berikutnya (di posyandu)
Follow up pasien setiap 2 minggu sampai terjadi peningkatan BB yang
memuaskan (>5g/kg/day). RUTF sendiri mengandung ~ 5,5 kcal/g di mana
dengan pemberian 200 kcal/kg BB/hari dapat meningkatan berat badan sampai
20g/kg BB). Beri nasihat kepada perawat anak (orang tua) untuk memberi dengan
porsi 100 kcal/kg BB/hari sampai oedema menghilang dan bila sudah menghilang
dapat diberikan 150-220 kcal/kgBB/hari.Suruh perawat anak untuk member
makan sesering mungkin, dan menjaga kehangatan tubuh anak (terutama malam
hari) dan untuk kembali periksa ke dokter bila terjadi infeksi dan secara konsisten
pasien menolak RUTF.
Pastikan perawat/orang tua pasien mengetahui porsi RUTF untuk anaknya
3. Program Nutrisi Rawat Inap
Anak dengan gizi buruk yang terlihat sakit dan anoreksia sebaiknya segera dibawa ke
rumah sakit. Penanganan rawat inap bertujuan untuk merawat infeksi serius, komplikasi
metabolic dan infeksi yang dapat mengancam nyawa dan untuk menyediakan asupan
adekuat untuk pemulihan status gizi. Berdasarkan WHO pengelolaan malnutrisi berat di
rumah sakit dibagi dalam 3 fase, yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi.
a. Fase stabilisasi
Pada fase ini pasien diberikan asupan diet rumatan menggunakan jenis makanan
khusus untuk memperbaiki gangguan metabolic dan kemudian ditingkatkan menuju
dosis nutrisi yang lebih tinggi. Anak dengan gizi buruk tidak dapat menerima diet
protein, lemak, dan Na+. Mulai asupan dengan rendah energy, rendah protein, untuk
menstabilisasi proses metabolic dan fisiologik; hal ini dapat memperbaiki udem.
Yang perlu diperhatikan pada fase ini adalah:
- Gunakan regimen “starter” mengandung formula WHO F-75 atau modifikasinya
21
- Atasi dan cegah komplikasi dari malnutrisi berat seperti hipoglikemia, dehidrasi,
hipotermia, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi.
- Porsi makan kecil sering, idealnya setiap 2 jam atau paling lama setiap 4 jam.
Pemberian makan di malam hari diperlukan untuk mencegah hipoglikemia.
- Kebutuhan nutrisi yang diberikan adalah energi sebanyak 100kkal/kgBB, protein
1-1,5 g/kgBB/hari, dan cairan 130 ml/kgBB/hari (bila oedema berat:100
ml/kgBB/hari)
- ASI sebaiknya terus diberikan pada anak dengan gizi buruk saja.
- Jika pasien tidak mampu menerima makanan atatu tidak habis (<80kcal/kg
BB/hari) berikan via sonde atau selang nasogastrik.
- Timbang berat badan, pantau dan catat jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa;
jumlah cairan yang keluar seperti muntah, dan frekuensi buang air.
b. Fase transisi
Ketika nafsu makan membaik, udem sudah mulai membaik dan komplikasi mulai
teratasi (biasanya selama 73-77 bulan), pasien boleh masuk ke fase transisi dengan
peningkatan asupan nutrisi dengan pengawasan ketat. Masalah dapat terjadi bila
memberikan diet dengan Na+ dan osmolalitas berlebih dimana akan terjadi gagal
jantung akibat fluid overload sehingga harus dilakukan pengawasan tanda vital.
Komponen penting pada fase ini adalah:
Mengganti susu formula menjadi F-100
Lanjutkan pemberian makanan secara regular ( misalnya, setiap 3 jam)
Pemberian energi masih sekitar100 kkal/kgBB/hari
Pantau frekuensi nafas dan denyut nadi
Bila nafsu makan masih baik, berikan terus diet sampai pasien menolak untuk
minum
Timbang berat badan setiap hari dan nilai kenaikan berat badan rata setelah 3 hari,
a. Jika <5g/kg BB/hari, pastikan makanan diberikan dengan tepat, periksa tanda-
tanda infeksi
b. Jika terjadi peningkatan 5-10g/kgBB/hari: periksa apakah pasien dapat
menerima asupan lebih banyak
22
c. Jika peningkatan >10 g/kg BB/hari: antisipasi awal pasien untuk dirujuk
menuju fase berikutnya
d. Selalu monitor tanda-tanda syok (nadi dan respiratory rate), jika ada kurangi
volume makanan
c. Fase rehabilitasi
Ketika pasien mampu menerima makanan dengan kuantitas lebih besar, pasien dapat
masuk ke dalam fase rehabilitasi yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan.
Kemudian sebaiknya pasien dirujuk untuk mengikuti program rehabilitasi nutrisi
rawat jalan, seperti TURF. Komponen penting pada fase ini adalah
Beri makanan/formula WHO (F135), jumlah tidak terbatas dan sering dengan
kandungan energi 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 gram
Tambahkan makanan formula, secara perlahan diperkenalkan dengan makanan
keluarga
Pemantauan: kecepatan pertambahan BB setiap minggu (timbang BB setiap
hari sebelum makan). Jika kenaikan BB kurang (<5g/kgBB/hari), evaluasi
kembali secara menyeluruh; bila kenaikan BB sedang (5-10 g/kgBB/hari),
evaluasi asupan makanan/infeksi sudah teratasi.
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat telah menyediakan suatu pedoman praktis penanganan
gizi buruk dengan muntah dengan/tanpa diare atau dehidrasi (Rencana III) sebagai berikut:
Pemberian Cairan dan Makanan untuk Stabilisasi
(Muntah dan/atau Diare atau Dehidrasi)
Segera berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2 jam pertama:
a. Berikan ReSoMal 5 ml/kgBB tiap 30 menit
b. Catat nadi dan frekuensi nafas
Jika membaik, 10 jam berikutnya:
a. Teruskan pemberian ReSoMal berselang-seling dengan F75 setiap 1 jam
ReSoMal: 5-10 mL/kgBB/setiap pemberian
F75 setiap jam dengan dosis menurut BB
23
Catat denyut nadi, frekuensi nafas
Bila sudah rehidrasi:
a. Diare (-) : hentikan ReSoMal teruskan F75 setiap 2 jam
b. Diare (+): setiap diare berikan ReSoMal *anak <2 tahun: 50-100 ml/setiap diare
*anak ≥2 tahun: 100-200 ml/setiap diare
Bila diare/muntah berkurang, dapat menghabiskan F75, ubah pemberian dalam tiap 3
jam. Bila tidak ada diare dan anak adapat menghabiskan F75, ubah pemberian
menjadi 4 jam. Lanjutkan pemberian ASI.
Untuk fase transisi dan rehabilitasi panduannya adalah sebagai berikut:
Pemberian Cairan dan Makanan untuk Tumbuh Kejar
Pada tahap akhir fase stabilisasi
Bila setiap dosis F75 yang diberikan dengan interval 4 jam dapat dihabiskan serta edema
hilang atau minimal maka:
F75 diganti dengan F100, diberikan setiap 4 jam, dengan dosis sesuai BB pada F75,
dipertahankan selama 2 hari. Ukur dan catat nadi, pernafasan dan asupan F100 setiap 4
jam.
Pada hari ke 3, mulai diberikan F100 dengan dosis sesuai BB pada F100. Pada jam
berikutnya, dosisnya dinaikkan 10 ml, hingga anak tidak mampu menghabiskan
jumlah yang diberikan, dengan catatan tidak melebihi dosis maksimal yang telah
ditentukan
Pada hari ke 4 diberikan F100 setiap 4 jam, dengan dosis sesuai BB berkisar antara
dosis minimal dan maksimal. Pemberian dipertahankan sampai hari ke 7-14 (hari
terakhir fase transisi) sesuai kondisi anak. Selanjutnya memasuki fase rehabilitasi
dengan F135 dan makanan padat sesuai dengan BB anak.
24
Lihat kriteria pemulangan
a. Bila BB <7kg beri F135 ditambah dengan makanan lumat/lembek dari sari buah
b. Bila BB ≥7kg ditambah dengan makanan lunak/lembek dan makanan biasa serta
buah
c. Terus berikan makanan tahap rehabilitasi ini sampai tercapai BB/TB ≥ 2SD WHO
NCHS (criteria sembuh)
Adapun kriteria pulang dari rumah sakit pada pasien gizi buruk adalah
a. Selera makan sudah bagus, makanan dapat dihabiskan
b. Ada perbaikan kondisi mental
c. Anak sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri, atau berjalan, sesuai
dengan umurnya
d. Suhu tubuh berkisar antara 36,5-37,5o C
e. Tidak ada muntah atau diare
f. Tidak edema
g. Terdapat kenaikan BB >5g/kgBB/hr selama 3 hari berturut-turut atau sekitar 50
g/kgBB/minggu selama 2 minggu
h. Sudah berada pada kondisi gizi kurang
Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai,
jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan
berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal
dapat memperburuk keadaan infeksinya.
Berikan setiap hari:
- Suplementasi multivitamin
- Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
- Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
- Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
- Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari
25
- Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI,
< 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat
suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi vit.A,
berikan vitamin dosis terapi.
2. Tangani infeksi HIV pada pasien
a. Memberikan obat anti retrovirus (ART: Anti Retroviral Therapy).
Pada bayi baru lahir:Pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV dilakukan pada usia 1,2,4,6,18
bulan. Bila hasilnya positif dua kali berturut-turut selang satu bulan, maka segera berikan
ART.
Pada Anak, bila usia lebih dari 18 bulan lakukan tes antibody HIV. Bila hasil positif,
pemberian ART berdasarkan ada tidak gejala klinis dan status imun.
b. Tidak memberikan ASI karena resiko penularan.
Namun bila pemberian susu formulaatau keterbatasan kesediaan susu formula oleh
keluarga, dapat disarankan: ASI eksklusif dengan ASI perah (memeras ASI kemudian
dihangatkan) atau menggunakan ibu susuan yang HIV negatif (wet nursing), dan
dilanjutkan makanan padat setelah usia 6 bulan.
c. Pemberian Imunisasi rutin tetap dilakukan, kecuali bayi mengalami infeksi berat
hendaknya tidak diberikan vaksin hidup Polio dan BCG, kemudian bayi dirujuk ke Tim
BIHA (Bayi dengan HIV/AIDS) meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi akibat
keterbatasan fasilitas air bersih
3. Tangani komplikasi yang terjadi seperti hipoglikemia, hipotermi, dehidrasi, dan
ketidakseimbangan cairan. Tangani juga infeksi yang terjadi, seperti diare, serta beri
antibiotic profilaksis (cotrimoxazole).
26
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas penderita
Nama : P Y A
Tempat/ tanggal lahir : Jimbaran,19 Februari 2008
Umur : 4 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjar Cengiling Jimbaran Badung
Agama : Hindu
Suku : Bali
Pendidikan : Belum sekolah
Pekerjaan Orang Tua : -
Tanggal Pemeriksaan : 9 April 2012
3.2 Heteroanamnesis (Ibu)
Keluhan utama
Mencret
Riwayat penyakit sekarang
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 10 Maret 2012 pukul 22.45 wita dengan keluhan mencret
sejak 7 hari yang lalu (3 Maret 2011). Mencret dikatakan encer, disertai ampas , dengan
frekuensi (kurang lebih ) 4 kali dalam sehari, volume (kurang lebih) setengah gelas aqua setiap
buang air besar, tanpa disertai darah, lendir, dan keluhan muntah disangkal oleh pasien.
Demam juga dikeluhkan pasien sejak 7 hari bersamaan dengan gejala diare yang dialaminya dan
masih dirasakan hingga pasien masuk rumah sakit. Demam naik turun, tanpa disertai mengigil.
Pasien tidak diberi obat penurun panas. Pasien menyangkal ada riwayat kejang, gusi berdarah,
mimisan, dan berak hitam. Buang air kecil normal terakhir pukul 19.00 wita ( 10/3/2012 ).
Pasien cukup lahap minum.
27
Pasien dikeluhkan sariawan sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, nyeri dikatakan
pada sariawan sehingga pasien sulit makan dan nafsu makan menurun.
Mulai umur 9 bulan dari Kartu Menuju Sehat pasien, berat badan pasien mulai menurun hingga
pada usia 25 bulan berat badan penderita selalu ada di bawah garis merah dari kartu tersebut.
Saat ini (9 April 2012) pasien tidak lagi mengeluhkan adanya demam ataupun mencret. Hanya
saja sariawan masih dikeluhkan pasien dan masih membuat pasien kesulitan untuk makan.
Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat diare berulang ada sejak anak berusia (kurang lebih) 1,5 tahun. Pasien di katakan tidak
pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya tetapi pasien dikatakan berat badan terus
menurun sejak bayi. Pasien masuk rumah sakit (10 Maret 2012) dengan diagnosa gizi buruk tipe
marasmus.
Riwayat pengobatan
7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien telah berobat ke bidan untuk diare, diberikan vitamin
dan obat diare dan tidak membaik. Setelah masuk rumah sakit diberikan :
- 50 ml glukosa dengan NGT
- 50 cc ReSoMal tiap 30 menit dalam 2 jam
- 10 jam berikutnya:
a. Pemberian ReSoMal berselang dengan F75 setap 1 jam
ReSoMal: 100 cc dan F75 100 cc setiap 2 jam
- vitamin C, vitamin B kompleks dan asam folat
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti penderita.
Riwayat persalinan
Penderita lahir spontan di ditolong dokter, usia kehamilan 7 bulan dengan berat lahir 2000 gram,
panjang badan lupa, langsung menangis, adanya kelainan berupa kandung kemih yang keluar
28
Riwayat imunisasi:
Riwayat imunisasi dikatakan lengkap, yaitu BCG 1 kali, Hepatitis B 3 kali, Polio 4 kali, DPT 3
kali dan campak 1 kali. BCG skar (+) di deltoid kanan.
Riwayat nutrisi:
ASI : 0 bulan – 2 tahun
Susu Formula : -
Bubur nasi + kacang hijau : 4 bulan -1 tahun
Makanan dewasa : mulai umur 1 tahun
Riwayat tumbuh kembang
Tertawa : 2,5 bulan
Mengangkat kepala : 3 bulan
Balik badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara : 15 bulan
3.3 Pemeriksaan fisik
Status Present
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : kompos mentis
N : 100 kali/ menit, reguler, isi cukup
RR : 28 kali/ menit, reguler.
T ax. : 36,5° C
BB : 11 kg
BBI : 14 kg
TB : 93 cm
LLA : 11,5 cm
29
Status gizi : Waterlow = 78 % (Gizi Kurang)
Z-score= - 3 SD - -2 SD (Gizi Kurang)
Status generalis
Kepala : normocephali, UUB menutup
Mata : konjungtiva pucat -/- , ikterus -/- , RP +/+ isokor
THT :
Telinga : sekret -/-
Hidung : napas cuping hidung (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), pada mukosa rongga mulut tampak oral thrush
tonsil: T1/ T1, hiperemis (-).
Mulut : mukosa bibir basah (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening di leher dan inguinal
Thoraks
Inspeksi : bentuk torak simetris, gerakan dada simetris
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, Precordial Bulging (-)
Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
Auskultasi : S1S2 normal reguler murmur (-)
Paru-paru
Auskultasi : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), tampak fiksasi eksterna melintang pada perut
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar :1/2-1/2, tepi tumpul
Lien : S1
Perkusi : timpani
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-), CRT < 3 detik
30
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
WBC : 3,82 K/μL (R= 6 – 14)
Neu : 41,6 %
Lym : 43,1 %
Mo : 6,50%
Eos : 2,2 %
Baso : 0,182 %
RBC : 4,18 x103/mikroliter (N= 4,1 – 5,3)
HGB : 8,5 gr/dl (R= 9,0 – 14,0)
MCV : 68,6 fl (R= 78 - 102)
MCH : 20,4 pg (R=25 - 35)
MCHC:29,8g/dl (R= 31 - 36)
HCT : 28,7 % (N= 45,0 – 67,0)
PLT : 184 K/μL (N= 150,0 – 450)
SERUM
Bilirubin direct : 0.03 mg/dl (N= 0,0 – 0.3)
Bilirubin indirect : 0.06 mg/dl (N= < 0.8)
SGOT : 461 U/L (T= 11-33)
SGPT : 429 U/L (T= 11-50)
Total Protein : 6.5 g/dl (N= 4 – 6)
Albumin : 3,10 g/dl (R=3.5 – 5.2)
Globulin : 3,4 g/dl (N= 3.2 – 3.7)
Hbs Ag : 0.568 coi non reaktif
Anti HCV : 0.191 coi non reaktif
Pemeriksaan elektrolit
Cholesterol : 77.00 mg/dL
HDL Direk : 19.00 mg/dL
LDL : 41.4 mg/dL
31
Tryglecerida : 83 mg/dL
Natrium : 128 mmol/L
Kalium : 3.35 mmol/L
Chlorida : 93 mmol/L
Calsium : 8.15 mg/dL
Pemeriksaan imunologi
CD4 : 10 sel/ mikroliter
Assesment:
SIDA Stadium III + Gizi Kurang
3.4 Follow Up Pasien
32
Terapi: a. F100: 4x300cc b. Vit. B complex 1x1 tabc. Vit C 1x1 tabd. Asam folat 1x1 tabe. Resomal 100cc bila ada mencretf. Estazor 3x120ccg. Cotrimoxazole 1x cth 1 (PO)
33
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
9/4/12 Demam -
Diare -
Status Present
KU : Cukup Baik
Kes : CM
R R : 30 x / menit
N : 100 x / menit
Tax : 36 oC
Status General :
Kepala : N Cephali
Mata : an-/- , ikt-/-,
THT : NCH +,
terpasang CPAP
Thorax : Cor : S1 S2
N reg m –
Po: Ret +
subcostal,
bves +/+
Rh -/- ,Wh -/-
Abd : dist - , BU +
N, H/L ttb
Ext : akral hangat +
CRT < 2’’ edema -
SIDA stadium III + Gizi Kurang
P/Target Mx f100: 4x300cc Vit, B complex 1x1 tabVit C 1x1 tabAsam folat 1x1 tabResomal 100cc setiap mencretEstazor 3x120ccCotrimoxazole 1x cth 1 (PO)
10/4/12 Demam -
Diare -
Status Present
KU : Cukup Baik
Kesadaran : CM
R R : 24 x / menit
N : 110 x / menit
Tax : 36,9 oC
Status General :
Kepala :
NormoCephali
Mata : Konjungtiva
pucat, ikt-/-, RP+/+
isokor
THT [ CPAP +
Thorax : Cor : S1 S2
SIDA stadium III + Gizi Kurang
Px :F100: 4x300cc + bubur 2x1 porsiCotrimoxazole 1x cth 1 (PO)Vit, B complex 1x1 tabVit C 1x1 tabAsam folat 1x1 tabResomal 100cc setiap mencretEstazor 3x120cc (PO)
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Pediatri dan terinfeksi virus HIV memiliki permasalahan yang kompleks dimana dalam
hal diagnosis dan penatalaksanaan yang harus diberikan haruslah bersinergi dengan keadaan
umum pasien anak tersebut. Pada pasien dengan gizi buruk kita harus memperbaiki gizi buruk
yang dialami pasien tersebut yang nantinya akan berefek sinergis dengan penatalaksanaan pada
pasien AIDS.
Pasien ini datang ke rumah sakit dengan keluhan mencret dan telah diberikan pengobatan diare.
Pasien ini juga memiliki riwayat sebelumnya dari umur 1,5 tahun pernah mengalami mencret dan
sering berulang. Dimana sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada bahwa terjadinya diare yang
terus berulang, ada baiknya kita mencurigai pasien tersebut terinfeksi virus HIV, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan fisik, DL dan juga pemeriksaan CD4.
Diagnosis
Pada pasien ini ada dua diagnosis yang harus kita tegakkan yaitu penilaian mengenai
diagnosis AIDS serta penilaian mengenai nilai gizi dari pasien tersebut. Hal tersebut dapat
kita lakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta beberapa hasil pemeriksaan
penunjang yang dilakukan.
Pasien Tinjauan Pustaka
Anamnesis
- Pasien dikeluhkan mencret
sejak 7 hari yang lalu sebelum
masuk rumah sakit dengan
frekuensi (kurang lebih ) 4 kali
dalam sehari, tanpa disertai
darah, lendir , dan pasien tidak
mengalami muntah.
- Demam naik turun sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit.
- Sariawan sejak 7 hari yang lalu
Anamnesis
- Pada pasien HIV/AIDS dapat terjadi diare
persisten dan infeksi yang berulang yang
ditandai demam yang naik turun. Hal ini
diakibatkan karena menurunnya sel
limfosit CD4 dan monosit/makrofag
sehingga terjadi depresi sistem imun
sehingga akan sangat mudah terjadi infeksi
oportunistik pada pasien HIV.
- Pasien dapat mengalami sariawan karena
mengalami defisiensi salah satu zat
34
sebelum masuk rumah sakit,
terasa nyeri pasien sulit
makan dan nafsu makan
menurun.
- Mulai umur 9 bulan dari kartu
menuju sehat pasien, berat
badan mulai menurun hingga
pada usia 25 bulan berat badan
penderita selalu ada di bawah
garis merah dari kartu tersebut.
Pemeriksaan Fisik
- Pasien tampak kurus
- Status gizi : 78 %
(menurut waterlow); z score -
3SD - - 2SD
- Terdapat hepatomegali
- Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening di aksila dan
inguinal
- Terdapat oral thrush pada
rongga mulut
mikronutrien yaitu Vitamin C akibat
malabsorpsi yang terjadi pada pasien dan
adanya lesi oral akibat infeksi candida.
- Penilaian gizi yaitu terjadi keluhan
penurunan badan yang cukup signifikan.
Status gizi buruk dapat terjadi pada pasien
HIV/AIDS akibat asupan nutrisi yang
berkurang, malabsorpsi dan diare kronis
yang terjadi pada pasien.
-
Pemeriksaan Fisik
- Dapat terjadi demam yang berulang akibat
dari infeksi oppurtinistik
- Terjadi limfadenopati generalisata:
pembesaran kelenjar pada 2 atau lebih
ekstra inguinal tanpa kausa yang jelas
- Pembesaran hepar tanpa kausa yang jelas
- Anak tampak kurus, seperti tulang
dibungkus kulit, wajah seperti orang tua,
kulit keriput, perubahan mental cengeng
dan rewel.
- Pemeriksaan status gizi berdasarkan
waterlow sebesar 78% menunjukkan gizi
kurang serta kurva WHO diantara -3SD - -
2SD menunjukkan gizi kurang
-
35
Pemeriksaan penunjang
- Leukopenia
- Kadar CD 4 yang rendah (10
sel/mm3)
- Anemia hipokromik mikrositer
- Peningkatan SGOT & SGPT
- Penurunan Albumin Serum
Pemeriksaan penunjang
- Pasien dengan HIV terjadi leucopenia
akibat sel tersebut, khususnya limfosit T
CD4 menjadi sel inang tempat replikasi
virus HIV
- Pemeriksaan CD4 utk mengetahui status
immunosupresi. Kadar CD4 pasien masuk
dalam kategori supresi berat (<500 mm3)
- Anemia hipokromik mikrositer dapat
terjadi akibat asupan nutrisi FE yang
kurang atau akibat malabsorpsi akibat diare
- Penurunan albumin serum terjadi pada
pasien dengan gizi buruk akibat asupan
protein yang kurang
Diagnosis
SIDA Stadium III + Gizi Kurang
Diagnosis
Pasien ini didiagnosis SIDA stadium III sesuai
dengan keadaan klinis yang sesuai dengan SIDA
Stadium III yang dialami pasien yaitu adanya
malnutrisi sedang, terdapat oral thrush, anemia
tanpa kausa yang jelas. Sedangkan diagnosis gizi
kurang ditegakkan melalui pemeriksaan ditemukan
status gizi pasien menurut WHO yaitu gizi kurang
dengan Z-Score (-3 SD - -2 SD) atau menurut
Waterlow dengan persentase 78%.
36
Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan HIV
Pada pentalaksanaan pasien gizi buruk dengan AIDS banyak hal yang perlu
dipertimbangkan pada pemberian infeksi virus HIV dengan ARV memiliki resiko
diantaranya resiko resistensi obat, kemungkinan resiko interaksi obat-obat akibat infeksi
oppurtinitik lainnya, kemungkinan resiko obat dan akibat pada keluhan penurunan nafsu
makan. Hal tersebut mengakibatkan perlunya monitor klinis dan imunologis yang baik,
selain itu diperlukan pula perhatian terhadap tumbuh, ketaatan minum obat dan efek
samping obat. Maka dilakukan penatalaksanaan komperhensif yang dilakukan untuk pasien
ini dimana kita perbaiki status gizinya terlebih dahulu sehingga nantinya resiko buruk
pemberian ARV yang kita takutkan dapat merusak hati dan beberapa resiko lainnya tidak
terjadi.
Oleh karena itu kita lakukan tatalaksana sesuai dengan algoritma pada tinjauan pustaka dan
kita lakukan fase stabilisasi, fase transisi serta fase rehabilitasi dan kita nilai kondisi pasien
dengan nilai darah lengkap serta Serum pasien untuk nantinya kita dapat melakukan
penatalaksanaan infeksi virus HIV tersebut.
Pasien dengan perbaikan status gizi dengan monitoring yang tepat kita dapat memberikan
terapi ARV. Dimana ada beberapa Indikasi Pengobatan Anti Retrovirus pada Anak:
1. Diagnosis infeksi HIV (+)
2. Gejala Klinis Stadium I-IV
3. Status Imunosupresi 2 atau 3
4. Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) kurang dari 12 bulan
5. Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis dan status imun normal
· Opsi 1 berikan terapi antiretrovirus
· Opsi 2 berikan terapi antiretrovirus bila resiko progresivitas tinggi, namun bila resiko
rendah pemberian ARV ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas dan virology
untuk melihat perubahan resiko progresivitas.
Dalam laporan kasus pasien didiagnosis dengan SIDA stadium III, berdasarkan kriteria di
atas pasien seharusnya sudah mendapatkan terapi ARV, tetapi dalam kasus pasien belum
mendapatkan pengobatan ARV. Pada pemeriksaan LFT, didapatkan SGOT dan SGPT yang
37
sangat tinggi. Pengobatan dengan menggunakan ARV khususnya golongan NRTI dapat
menyebabkan hepatomegali berat dan membuat kerusakan hati.
Oleh karena itu diperlukan suatu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hati pasien untuk
menjadi normal kembali. Salah satu cara adalah dengan memberi pengobatan Estazor (asam
ursodeoxycholic) yang secara klinis dapat memperbaiki LFT dan menurunkan
progresivisitas penyakit liver. Selain itu diperlukan pengobatan profilaksis terhadap infeksi
pada pasien dengan HIV/AIDS. Untuk pengobatan profilaksis infeksi dianjurkan pemberian
kotrimoksasol.
b. Penatalaksanaan malnutrisi
Oleh karena pasien masih belum dapat menerima ARV maka terapi difokuskan untuk
mengatasi masalah malnutrisi pada pasien terlebih dahulu. Ketika pasien masuk rumah sakit
pasien didiagnosa dengan gizi buruk dengan status gizi menurut waterlow sebesar 69% dan
z score < -3SD. Oleh karena pasien datang dengan keluhan diare tanpa tanda syok dan
letargi maka sesuai tatalaksana gizi buruk Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, pengobatan
pasien masuk dalam rencana III:
a. 50 ml glukosa dengan NGT
b. 50 cc ReSoMal tiap 30 menit dalam 2 jam
c. 10 jam berikutnya:
Pemberian ReSoMal berselang dengan F75 setap 1 jam
ReSoMal: 100 cc dan F75 100 cc setiap 2 jam
d. Tablet besi, vitamin C, vitamin B, asam folat
Pada follow up tanggal 9 April 2011, diagnosis pasien adalah gizi kurang dan pada saat ini
pasien sudah memasuki masa transisi di mana pasien sudah mendapat F100 4x300cc. Sesuai
dengan dosis pemberian F100 menurut berat badan (BB pasien adalah 11 kg), pemberian
dan frekuensi F100 yang diberikan sudah tepat. Bila pasien mengalami mencret kembali,
ReSoMal kembali diberikan sebanyak 100 cc. Pada follow up hari selanjutnya pasien mulai
diberikan makanan lumat (bubur nasi) sebagai tambahan selain F100. Hal ini menandakan
pasien sudah mulai memasuki masa rehabilitasi dan perlu dipikirkan untuk memulangkan
pasien dengan menyesuaikan dengan kriteria. Selain makronutrien pasien juga harus
38
mendapat asupan gizi mikronutrien, oleh karena itu pasien juga diberikan vitamin B
kompleks, vitamin C, dan asam folat.
39
BAB V
PENUTUP
Menangani gizi buruk pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS bukanlah suatu hal yang mudah.
Infeksi oportunistik dan gejala lainnya kerap sekali menghalangi pasien untuk memulihkan status
gizinya. Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi
HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke
anak (penularan vertikal). Malnutrisi dapat terjadi akibat asupan nutrisi yang kurang
(ketersediaan pangan yang kurang, malabsorpsi, dan diare kronis mengakibatkan banyak nutrisi
yang hilang) dan banyaknya kalori yang diperlukan akibat reaksi inflamasi yang terjadi dalam
tubuh.
Penanganan gizi buruk pada pasien pediatri dengan HIV positif tidaklah berbeda bila
dibandingkan dengan pasien pediatri dengan HIV negative. WHO telah membuat panduan yang
dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah gizi buruk ini dengan melalui 3 fase, yaitu fase
stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Selain makronutrien yang diperoleh melalui pemberian
formula WHO, pasien gizi buruk juga harus diberi pengobatan terhadap defisiensi mikronutrien
seperti besi, asam folat, zync, Vit B kompleks, Vit C, Vit A, dll. Penanganan terhadap HIV yaitu
dengan memberikan ARV dan menangani infeksi yang telah terjadi dan mencegah terjadinya
infeksi dengan pemberian antibiotik profilaksis.
40