Respiratory.usu.Ac.id

13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). 2.1.1. Dermatitis Kontak iritan 2.1.1.1. Definisi Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004). 2.1.1.2. Epidemiologi Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003). Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi Universitas Sumatera Utara

Transcript of Respiratory.usu.Ac.id

Page 1: Respiratory.usu.Ac.id

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan

oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit

(National Occupational Health and Safety Commision, 2006).

Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan

dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis

(Djuanda, 2003).

2.1.1. Dermatitis Kontak iritan

2.1.1.1. Definisi

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan

iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel

epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi

yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).

2.1.1.2. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari

berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI

diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI

akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini

disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak

datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003).

Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan

mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan

atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah

tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi

dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care

unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Respiratory.usu.Ac.id

mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi

mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan

dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).

Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana

insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja

setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).

Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada

perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita

dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009).

2.1.1.3. Etiologi

Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya

bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,

enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan

kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor,

meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu

penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap

orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang

sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki

predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari

iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk

menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan

peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan

air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah).

Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai

tempat primer kontak (Safeguards, 2000).

Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang

bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali,

dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran

molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Respiratory.usu.Ac.id

dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan

(terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih

permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban

lingkungan juga berperan (Fregert, 1998).

Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,

misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan

permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit

hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak

alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami

(ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik

(Beltrani et al., 2006).

Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada

orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit

yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan

lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).

2.1.1.4. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan

iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,

denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat

air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit

tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria

atau komplemen inti (Streit, 2001).

Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam

arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida

(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT

menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga

mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak

sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast

melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan

vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Respiratory.usu.Ac.id

DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis

protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony

stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2

dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan

proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA-

DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga

melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,

makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan

sitokin (Beltrani et al., 2006).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di

tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis

bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan

kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan

gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya

pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai

dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan

desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel

dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,

gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut

(Djuanda, 2003).

2.1.1.5. Gejala Klinis

Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut

dan dermatitis iritan kronik.

2.1.1.5.1. Dermatitis kontak iritan akut

Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan

yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan

reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri

kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret,

1998).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Respiratory.usu.Ac.id

Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang

sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan

oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap dan debu alkali dapat

menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah maka reaksinya akan

menghilang secara spontan dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan

reaksi iritan yang terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang

bersifat iritan dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Fregret, 1998).

Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan

menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan

kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan

dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang

lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang mengalami

fissura. Meskipun efek kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan,

namun hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret,

1998).

2.1.1.5.2. Dermatitis kontak iritan kronis

DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-

ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor.

Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis

iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata

setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun

kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting

(Djuanda, 2003).

Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal

dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung

maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan

hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh

penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian

(Djuanda, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Respiratory.usu.Ac.id

2.1.1.6. Histopatologis

Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI

akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel

mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di

epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis

epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel

atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI

kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan

perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009).

2.1.1.7. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan

gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat

sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.

Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis

yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji

tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003).

2.1.1.8. Pengobatan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan

bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan

faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa

komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab

untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003).

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan

kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi

mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda,

2003; Kampf, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Respiratory.usu.Ac.id

2.1.1.9. Komplikasi

Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:

a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal

b. lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh

Stafilokokus aureus

c. neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi

terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau

dengan stres psikologik

d. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area

terkena DKI

e. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi.

2.1.1.10. Prognosis

Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan

diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI

(Hogan, 2009). Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya

kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya

multifaktor (Djuanda, 2003).

2.1.2. Dermatitis Kontak Alergi

2.1.2.1. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi

hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan

kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and

Safety Commision, 2006).

2.1.2.2. Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita

dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang

kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai

prevalensi dermatitis ini di masyarakat (Djuanda, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Respiratory.usu.Ac.id

Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak

dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis

kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya

20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National Institute of

Occupational Safety Hazards, 2006).

2.1.2.3. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa

bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut

bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi

sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda,

2003).

Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap

tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison

sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly

antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan

logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),

formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),

tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)

(Trihapsoro, 2003).

Tabel 2.1. Alergen yang mengakibatkan dermatitis kontak pada pekerja

Positive Patch Test

Clinically relevant

n (%)

Occupationally relevant

n (%) I. Construction ⁄ cement workers 1. Potassium dichromate 2. Cobalt chloride 3. epoxy raisin 4. p-phenylenediamine 5. Nickel sulphate 6. Thiuram mix

116 46 22 18 16 10

112 (96) 27 (59) 21 (96) 9 (50) 8 (50) 6 (60)

113 (97) 22 (48) 21 (96) 5 (28) 4 (25) 6 (60)

II. Tile setters ⁄ terrazzo workers

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Respiratory.usu.Ac.id

1. Potassium dichromate 2. Nickel sulphate 3. Cobalt chloride 4. Epoxy resin 5. Thiuram mix

31 12 11 9 6

28 (90) 5 (42) 9 (82) 8 (89) 4 (67)

28 (90) 5 (42) 8 (73) 8 (89) 4 (67)

III. Wood processors 1. Potassium dichromate 2. Nickel sulphate 3. Epoxy resin

8 7 5

8 (89) 2 (29)

5 (100)

8 (89) 2 (29)

5 (100) IV. Painters 1. Nickel sulphate 2. Epoxy resin 3. Cobalt chloride 4. p-phenylenediamine 5. Potassium dichromate 6. Thiuram mix

8 7 7 7 6 5

2 (25) 6 (86) 6 (43) 3 (43) 3 (50) 3 (60)

0

6 (86) 1 (14) 3 (43) 3 (50) 3 (60)

Sumber: Bock et al., 2003

2.1.2.4. Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah

mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune

respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit

timbul secara lambat (delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam

setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri

dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro,

2003).

Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,

terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya

(Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia

sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul kecil yang

dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk

membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis

dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag,

dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009). Selanjutnya antigen

ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Respiratory.usu.Ac.id

diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi

dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan

sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga

sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh

kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut

fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3

minggu (Djuanda, 2003).

Gambar 2.1. Patogenesis dermatitis kontak alergi

Sumber: Health and Safety Executive, 2000

Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari

antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam

kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan

merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF

(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit

memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi

dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan

mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Respiratory.usu.Ac.id

vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai

macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak

sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui

beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,

kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan

2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi

menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit.

Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak

degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang

molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain,

seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau

meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).

2.1.2.5. Gejala Klinis

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung

pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema

berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel

atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis

terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,

batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan

kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).

Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet

tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis

purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis

pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).

2.1.2.6. Diagnosis

Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik

diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan

fisik dan uji tempel (Trihapsoro, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Respiratory.usu.Ac.id

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit

yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar

umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka

perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat

pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga

meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat

sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit

kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya

dermatitis atopik) (Djuanda, 2003).

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.

Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di

kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh

permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen (Djuanda, 2003).

Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula

disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis

yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas

tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh

sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi

regional akan sangat membantu penegakan diagnosis (Trihapsoro, 2003).

Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang),

bila mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di

punggung, dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada

sepotong kain atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan

bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka.

Reaksi dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk

bahan tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif

dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel atau bula. Penting

dibedakan, apakah reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan

dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Respiratory.usu.Ac.id

menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak

makin meningkat (reaksi tipe crescendo) (Djuanda, 2003).

2.1.2.7. Diagnosis Banding

Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan

gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis

numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama

ialah dengan dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel

perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena

kontak alergi (Djuanda, 2003).

2.1.2.8. Pengobatan

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan

menekan kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003;

Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009).

Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi

peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,

edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda

setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam

faal.Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah

mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan

kortikosteroid topikal (Djuanda, 2003).

2.1.2.9. Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan

kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila

bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis

numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin

dihindari (Djuanda, 2003).

Universitas Sumatera Utara