rererat PPOK

44
BAB I PENDAHULUAN Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi ke-enam menjadi ke- tiga, sebagai penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok menjadi penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-kadang susah buat bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka kemungkinan dia mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia internasional dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable. Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim (emfisema). 1

description

fgfg

Transcript of rererat PPOK

BAB I

PENDAHULUAN

Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari

posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi ke-enam

menjadi ke-tiga, sebagai penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama

asap rokok menjadi penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru

obstruktif kronis (PPOK).

Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-kadang

susah buat bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka kemungkinan

dia mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia internasional

dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).

PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable.

Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap

partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak

sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga

memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga memperberat

derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat obstruksi jalan nafas

kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim (emfisema). Proses

inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap jalan nafas

kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap

membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.

PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang

cukup lama dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas disertai

gangguan pada saluran nafas yang signifikan.

PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar

pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup

pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari.

Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan

secara total. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan

dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P

1

dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari penyakit ini dan

hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai penyebab PPOK”.

Di Indonesia kebiasaan merokok masih merupakan perilaku yang sulit

dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum dapat

dikendalikan. Kebiasaan merokok makin banyak terlihat pada usia muda bahkan

sudah dimulai pada anak sekolah dasar. Karena efek asap rokok yang demikian

signifikan pada angka kejadian PPOK, maka sebagai seorang dokter punya

tanggung jawab untuk ikut memberikan edukasi kepada pasien agar bisa berhenti

merokok. Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah

membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau perlu bisa

dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan bisa masuk

kategori candu karena begitu seseorang mencoba merokok maka nikotin yang

terserap dalam darah akan diteruskan ke otak dan ditangkap oleh reseptor alfa 4

beta 2 sehingga merangsang pelepasan dopamin yang memberikan rasa nyaman.

Sehingga saat seseorang berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan

menimbulkan hilangnya rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali

untuk merokok, terjadilah lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.

Untuk itu butuh dukungan dari semua pihak untuk membantu seseorang

berhenti merokok. Saat ini sudah ada terapi farmakologi untuk membantu

seseorang yang ingin berhenti merokok. Dengan berhenti merokok diharapkan

status kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan prevalensi PPOK terutama di

Indonesia bisa menurun.

Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid

yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali

terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat

badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak

PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya

infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,

diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.

2

BAB II

PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronik

1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak

sepenuhnya reversibel.

Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh

diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara

lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi

sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam

saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya

kombinasi penyakit saluran napas kecil ([small airway disease]) dan destruksi

parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru, yang juga

disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar pada

saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.

Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis,

yang sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau

kerusakan permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang

sering digunakan dan menjelaskan, hanya satu dari beberapa abnormalitas

struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan kata lain emfisema

merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan produksi

sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep

definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis

dianggap sebagai diagnosis klinis.

3

2. Gejala Klinis

Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,

dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa

kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena

itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa

banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.

Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang

umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi

sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,

memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat

terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,

debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat masak,

misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun),

disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita

di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan

aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,

asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.

3. Faktor Resiko

3.1. Genetik.

PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan

merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko

genetik yang telah diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu

penghambat yang bersikulasi dari protease serine.

3.2. Merokok.

Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala

dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka

mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,

bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali

4

mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status

merokok saat ini.

3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.

Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor

resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik.

3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.

Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan

baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.

3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.

Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak

jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara

dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.

3.6. Stress Oksidatif.

Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang

dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara

eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan

antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru mengalami stress

oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase

mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.

3.7. Infeksi.

Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran

nafas, dapat juga berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan

menyebabkan penurunan fungsi paru dan menimbulkan gejala gangguaan

pernafasan.

3.8. Asma.

Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih

besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma

5

BAB III

Patogenesis dan Patofisologi PPOK

Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru-

paru yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada

penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan

parenkim (menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan

mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan

patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan saluran nafas yang

progresif.

PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK

Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)

Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.

Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya

menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.

Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)

Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel

limfoid, fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.

Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,

eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon

inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.

Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)

Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T

Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel

dan endotel.

Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling

banyak pada perokok)

Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi

(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)

Vaskular Pulmonal

6

Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.

Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel

SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK

Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan

penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.

Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan

cairan lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi

dalam jaringan paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease

pada pasien PPOK, sebagai respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan

fagositosis defektif.

Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan

parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel

CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.

Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,

kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.

Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada

dinding saluran nafas saat eksaserbasi.

Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan

mediator inflamasi

1. Patogenesis

Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi

normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung

lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,

diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara

bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.

PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,

makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan

berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai

mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik),

7

memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan

struktural (faktor pertumbuhan).

Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses

terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.

Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel

inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki

konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi

antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.

PATOGENESIS

Patofisiologis

Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan

FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara

penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru.

Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran nafas kecil, berhubungan

8

Asap rokok, Partikel dan gas beracun

Inflamasi paru

Faktor penjamu

Antioksidan

Stress oksidatif

Antiprotease

Protease

Mekanisme perbaikan

Patologi PPOK

dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya penurunan FEV1,

merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas periferal secara

progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan

hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga

kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan hiperinflasi berkembang

sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.

Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia

dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan

ketidakseimbangan ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot

pernafasan, terjadilah retensi CO2.

Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan

PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel

goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi

saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya lainnya.

Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan

vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan

trejadinya hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh

darah serupa dengan yang terlihat pada saluran nafas dan pada disfungsi sel

endotel.

9

BAB IV

DIAGNOSIS PPOK

Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau

spirometri.

I. Anamnesis

PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara

bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai

dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,

terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk

prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,

kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu untuk

melakukan aktifitas sehari hari.

Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap

penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum

dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan

rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).

Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok,

dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin

berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan

bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum

pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi

purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak bertambah berat bila

terdapat infeksi.

II. Pemeriksaan Fisik

10

Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang – kadang

terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,

akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.

Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda – tanda overinflasi

paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),

kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang

dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah.

Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas

paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler

berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang disertai

kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan dengan

hernia inguinalis.

III. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada

kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal,

corakan bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan

mendatar, paru paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai

posisi jantung yang menggantung.

IV. Pemeriksaan Fungsi Paru

Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan

keluar paru-paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume

tidal dan kapasitas paru, seperti kapasitas total.

Bila pada hasil pemeriksaan spirometri didapatkan hasil 30%<VEP1<70%

dan VEP1 / KVP < 80% maka dipastikan menderita PPOK.

11

DIAGNOSIS PPOK

KETERANGAN

* Pemeriksaan fisik :

a. Kelainan

Bentuk dada : Barrel chest

Penggunaan otot bantu

pernapasan

Pelebarab sela iga

Hipertrofi otot bantu nafas

Fremitus melemah, sela iga

melebar

Hipersonor

Suara nafas vesikuler

melemah atau normal

Ekspirasi memanjang

12

Faktor resikoUsia Riwayat pajanan : asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja

Sesak nafasBatuk kronik disertai dahakKeterbatasan aktifiti

Pemeriksaan fisik *

Pemeriksaan foto torak

Curiga PPOK ** Infiltrat, massa, dll

Fasiliti spirometri (-) Fasiliti spirometri (+)

Normal 30% < VEP1 < 70 % prediksiVEP1 / KVP < 80 %

PPOK secara klinis

Beresiko PPOK derajat 0

PPOK Derajat I/II/III/IV

Bukan PPOK

Mengi

Pink Puffer & Blue Bloater

**Foto toraks curiga PPOK

a. Kelainan

Hiperinflasi

Hiperlusen

Diafragma mendatar

Corakan bronkovaskuler

meningkat

Bullae

Jantung pendulum

KLASIFIKASI PPOK

13

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2008

Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan

aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,

orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50%

< VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam

tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas

yang dialaminya.

Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin

memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak

nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang

berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%;

VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal

nafas kronik dan gagal jantung kanan.

14

Gambar. Kuesioner CAT

Gambar. Asesmen PPOK

15

BAB V

Diagnosis Banding

Diagnosis Banding PPOK Adalah

• Asma

• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada

penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

• Pneumotoraks

• Gagal jantung kronik

• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :

bronkiektasis, destroyed lung.

Gambar. Perbedaan Asma, PPOK & SOPT

16

BAB VI

Penyakit Komorbid Dalam PPOK

Komorbiditas penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, osteoporosis,

dan gangguan psikologis biasanya dilaporkan pada pasien dengan penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK). Merokok merupakan faktor risiko untuk banyak

penyakit penyerta tersebut serta untuk COPD, sehingga sulit untuk menarik

kesimpulan tentang hubungan antara PPOK dan komorbiditas ini.

Komorbiditas, didefinisikan sebagai penyakit kronis lainnya, termasuk

penyakit arteri koroner, diabetes mellitus, osteoporosis dan kelemahan otot, yang

umum pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), tetapi prevalensi mereka

sangat bervariasi antara studi. van Manen dan rekan melaporkan bahwa lebih dari

50% dari 1.145 pasien dengan PPOK memiliki 1 sampai 2 komorbiditas, 15,8%

memiliki 3 sampai 4 komorbiditas, dan 6,8% memiliki 5 atau lebih kondisi

komorbiditas.

COPD merupakan penyebab utama rawat inap pada orang dewasa, orang

dewasa terutama yang lebih tua. Komorbiditas adalah penyebab umum rawat inap

tersebut. Dalam review oleh Holguin dan rekan, komorbiditas sering dilaporkan

pada pasien rawat inap dengan diagnosis primer atau sekunder COPD: hipertensi

17%, penyakit jantung 25%, diabetes 11%, pneumonia 12% . Dalam studi lain

dari 270 pasien dirawat di rumah sakit dengan COPD, Antonelli Incalzi dan rekan

kerja mencatat hipertensi pada 28%, diabetes pada 14%, dan penyakit jantung

iskemik pada 10%.

Merokok, penuaan, dan faktor-faktor lain seperti pengobatan, interaksi

obat, kurangnya perawatan penyakit penyerta, dan kurangnya definisi kasus

khusus untuk komorbiditas menambah kompleksitas mempelajari komorbiditas

pada pasien dengan COPD. β-Blockers dapat memperburuk fungsi paru-paru

dalam subset pasien dengan COPD, tapi menghindari obat ini pada pasien dengan

17

COPD dapat berkontribusi untuk peningkatan kejadian kardiovaskular, terutama

pada mereka yang berisiko. Antikolinergik inhalasi dapat mempengaruhi tekanan

intraokular atau fungsi kandung kemih. Kortikosteroid inhalasi dapat

mempengaruhi katarak, kulit memar. Kortikosteroid sistemik yang berlebihan

dalam populasi pasien dengan COPD dapat berkontribusi pada osteoporosis,

diabetes, hipertensi, disfungsi otot, dan insufisiensi adrenal.

Penelitian telah menunjukkan bahwa hiperglikemia terkait dengan

gangguan fungsi paru-paru. Satu studi menunjukkan bahwa diabetes dikaitkan

dengan FEV1 rendah dan FVC, sebuah asosiasi yang diperparah oleh merokok.

Penelitian yang sama menemukan bahwa peningkatan gula darah puasa dikaitkan

dengan FEV1 lebih rendah.

Efek Diabetes terhadap PPOK :

peningkatan indeks massa tubuh (BMI)

penurunan fungsi pernapasan (kemampuan paru-paru untuk

mengembang) yang berhubungan dengan kadar gula darah tinggi

kerusakan pada sistem saraf (neuropati diabetik)

melemahnya otot pernafasan

Gula darah tinggi juga telah dikaitkan dengan hasil yang buruk selama

perawatan pasien dengan PPOK eksaserbasi, yang mengarah ke perawatan rumah

sakit lebih lama dan kematian dini. Asosiasi dan interaksi antara PPOK dan DM

tidak sepenuhnya dipahami saat ini dan dapat menjadi perhatian utuk penelitian-

penelitian selanjutnya;.

18

BAB VII

PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK

Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada

derajat keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging

berdasarkan spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada

implementasi praktis dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi

umum untuk dilakukan pengobatan.

Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan

gejala, mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi

kesehatan dan meningkatkan toleransi olah raga.

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :

1. Mencegah progresivitas penyakit

2. Mengurangi gejala

3. Meningkatkan toleransi latihan

4. Mencegah dan mengobati komplikasi

5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat

7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

8. Meningkatkan kualitas hidup penderita

9. Menurunkan angka kematian

Berdasarkan dari tujuan penatalaksanaan PPOK maka program berhenti

merokok juga menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab

terpenting bagi timbulnya PPOK.

Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen

program tatalaksana :

1. Evaluasi dan monitor penyakit

19

Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien

yang telah di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring

penyakit :

a. Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan.

b. Riwayat timbulnya gejala atau penyakit

c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya Asma

dan TB paru.

d. Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat

penyakit paru kronik lainnya.

e. Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik

atau penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktifitas.

f. Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.

g. Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti

keterbatasan aktifitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh

ekonomi, dan perasaan cemas.

h. Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti

merokok.

i. Dukungan dari keluarga.

Karakteristik gejala PPOK adalah dispnea kronik dan progresif,

artinya fungsi paru akan menurun seiring bertambahnya usia, batuk dan

produksi sputum, dapat mendahului terjadinya keterbatasan aliran nafas.

Meski PPOK didefinisikan atas dasar keterbatasan aliran nafas, pada

prakteknya keputusan untuk mendapatkan pertolongan medis umumnya

ditentukan dari dampak suatu gejala terhadap kualitas hidup pasien. Untuk

itu monitor penting yang harus dilakukan adalah memperhatikan gejala

klinis dan fungsi paru penderita.

2. Menurunkan faktor resiko

Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling

efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan

memperlambat progesifitas penyakit.

20

Proses berhenti dari kebiasaan merokok ini memang tidak semudah

membalik telapak tangan, butuh niat yang kuat dari penderita dan kalau

perlu bisa dibantu dengan farmakoterapi. Kebiasaan merokok ini bahkan

bisa masuk kategori candu karena begitu seseorang mencoba merokok

maka nikotin yang terserap dalam darah akan diteruskan ke otak dan

ditangkap oleh reseptor alfa 4 beta 2 sehingga merangsang pelepasan

dopamin yang memberikan rasa nyaman. Sehingga saat seseorang

berhenti merokok, dopamin akan berkurang dan menimbulkan hilangnya

rasa nyaman selanjutnya akan timbul keinginan kembali untuk merokok,

terjadilah lingkaran setan yang akan sangat sulit diputuskan.

Untuk itu bagi kita para dokter telah dibuatkan strategi untuk

membantu pasen berhenti merokok. Dikenal dengan istilah 5 A:

a. Ask ( Tanyakan )

Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.

b. Advise ( Nasihati )

Beri dorongan yang kuat untukberhenti merokok.

c. Assessment ( menilai )

Keinginan untuk usaha berhenti merokok.

d. Assist ( membantu )

Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan

konseling dan merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.

e. Arrange (Atur)

Buat jadwal kontak lebih lanjut.

21

3. Tatalaksana PPOK stabil

Keterangan :

Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid

positif. Uji steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral

selama 10-14 hari atau inhalasi selama 6 minggu – 3 bulan

menujukkan perbaikan gejala klinis atau fungsi paru.

SABA : short acting 2 Agonis

LABA : long actng 2 Agonis

* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :

Pasien usia diatas 60 tahun

Pasien PPOK sedang dan berat

22

Tatalaksana PPOK stabil

EDUKASI FARMAKOLOGI NON FARMAKOLOGI

REGULER BronkodilatorAnti kolinergik2 AgonisXantin Kombinasi SABA + AntikolinergikKombinasi LABA + KortikosteroidAntioksidan

Dipertimbangkan mukolitik

RehabilitasiTerapi oksigenVaksinasi *NutrisiVentilasi non mekanikIntervensi bedah

Berhenti merokokPengetahuan dasar PPOKPada Pasien dengan DM Kontrol Gula darahPencegahan perburukan penyakitMenghindari pencetusPenyesuaian

Aktifitas

4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi

Akut eksaserbasi adalah suatu kejadian yang terjadi secara alamiah,

dalam perjalanan penyakit PPOK hal itu ditandai dengan perubahan

dispnea, batuk, dan atau produksi sputum yang jauh dari normal.

Gejala eksaserbasi akut :

Batuk bertambah

Produksi sputum bertambah

Sputum berubah warna

Sesak napas bertambah

Keterbatasan aktifitas bertambah

Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK

1. Optimalisasi penggunaan obat-obatan

a. Bronkodilator

Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik

perinhalasi (nebuliser)

Xantin intravena (bolus dan drip)

b. Kortikosteroid sistemik

c. Antibiotik

Gol. Makrolid baru

Gol. Kuinolon

Sefalosporin generasi III / IV

d. Mukolitik

2. Terapi oksigen

3. Terapi nutrisi

4. Rehabilitasi fisik dan respirasi

5. Evaluasi progesifitas penyakit

6. Edukasi

23

BAB VIII

REHABILITASI PENDERITA PPOK

Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas

pada sistim pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-

hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas akan

meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin

lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan

stamina fisiknya.

Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah

meningkatnya kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di

samping pemberian obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi

tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut yakni rehabilitasi

medis, khususnya fisioterapi pernapasan.

Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis

yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan

diharapkan penderita merasa terbantu untuk mengatasi ketidak mampuannya

sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang

lain. Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter bahkan sering

kali dilupakan orang.

TUJUAN REHABILITASI PARU

Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi

fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya

menurut kemampuannya. Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan

program rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan

tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktor-faktor yang berpengaruh

pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan untuk membawa

penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang

optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya sehari-

hari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan,

24

dan harus ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi

ketergantungan pada keluarga dan masyarakat.

REHABILITASI PARU PADA PPOK

Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru

(rehabilitasi pulmonal) yakni:

1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:

1.1. Latihan relaksasi

1.2. Terapi fisik dada

1.3. Latihan pernapasan

1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik

I. Latihan relaksasi

Tujuan latihan relaksasi adalah:

1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu

pernapasan.

2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.

3) Memberikan sense of well being.

Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu

merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan

ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama

bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke

depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil

setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan

pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.

Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi

yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling

di bawah lutut atau sambil duduk.

II. Terapi fisik dada

Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan

menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi

25

pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah

obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu

mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret

merupakan penyulit yang cukup serius.

Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan

membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea; dapat

dilakukan dengan cara drainase postural, perkusi dinding dada, vibrasi

menggunakan tangan (manual) atau dengan bantuan alat (mekanik).

Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan (clapping),

atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan memperbaiki

mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru pada penderita

PPOK dengan produksi sputum yang meningkat (>30 ml/ hari). Pada

penderita dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas,

penderita yang memakai ventilator, dan penderita PPOK dengan produksi

sputum yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada tidak berefek dan

bahkan membahayakan.

Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi

penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.

Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum dilakukan

drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan

mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengaliran

sekret.

III. Latihan pernapasan

Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai

penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:

1. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air

trapping

2. Memperbaiki fungsi diafragma

26

3. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks

4. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas

tanpa meningkatkan kerja pernapasan

5. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga

bernapas lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

Latihan pernapasan meliputi:

a) Latihan pernapasan diafragma

Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah : menggunakan

diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu

pernapasan mengalami relaksasi.

Manfaat pernapasan diafragma:

1) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan waktu

melakukan pekerjaan/latihan.

2) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.

3) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.

IV. Latihan meningkatkan kemampuan fisik

Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan

meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan

lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan

yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara

individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat

toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang

dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan latihan

dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu dengan

pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara

drastis yang dapat membahayakan jantung.

27

BAB IX

Kesimpulan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan

penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran

napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi.

Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat)  ini disebabkan karena

terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi

dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan

produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.

Penyebab dari penyakit ini yaitu dari kebiasaan sehari-hari seperti merokok,

lingkungn yang tidak bersih, mempunyai penyakit saluran pernfasan, dan lain-

lain. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan secara total karena penyakit ini

merupakan penyakit komplikasi seperti asma, emphiema, bronkitis. Hanya saja

akan berkurang secara bertahap apabila rutin berkonsultasi dengan dokter,

mengubah pola hidup sehari-hari dan sering berolahraga

28

Tinjauan Pustaka

1. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.

2. NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.

3. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.

4. Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.

5. Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.

6. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.

7. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest 2002;121suppl:127-30.

8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax 2004;59:574-80.

9. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.

10. Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR. Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with COPD. Chest 2005;128:1995-2004.

11. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of COPD. Thorax 2002;57:1067-70.

12. Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.

13. Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:26-33.

14. Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:341-57.

15. Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.

16. Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible factor in the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1791-7.

29

30