REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik...

144
REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK DI KABUPATEN WAJO SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Oleh: ANDI MUHAMMAD YUSUF E511 05 027 JURUSAN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Transcript of REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik...

Page 1: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

REPRODUKSI STATUS TRADISIONALDALAM PRAKTIK POLITIK DI KABUPATEN WAJO

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SarjanaPada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin

Oleh:

ANDI MUHAMMAD YUSUFE511 05 027JURUSAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2012

Page 2: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus
Page 3: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus
Page 4: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

iv

ABSTRAK

Andi Muhammad Yusuf K. (E 511 05 027), skripsi Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo. Dibawah Bimbingan Bapak Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA selaku Pembimbing I (pertama) dan Bapak Dr. Tasrifin Tahara, M.Si selaku Pembimbing II (kedua).

Skripsi ini merupakan penelitian yang berisi penggambaran dan telaah mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus dalam skripsi ini adalah bangunan struktur masyarakat Wajo yang dipelajari dari rangkaian sejarah untuk menemukan aspek yakni status tradisional yang menjadi salah satu komponen dalam budaya politik dan setidaknya cukup mempengaruhi bagaimana praktik politik yang dilakukan orang Bugis Wajo. Telah cukup lama diketahui bahwa masyarakat Wajo pada masa kerajaan memiliki tatanan politik yang tidak sedikit, berbeda dengan tatanan politik di belahan negeri Bugis lain disekitarnya yang menekankan pembagian kekuasaan diantara kalangan bangsawan yang menduduki setiap wanua untuk menjabat sebagai Arung Matoa. Hingga hari ini, kedudukan Wajo dalam otonomi daerah menghadirkan kembali tatanan dalam kultur Orang Bugis Wajo yang mendorong legitimasi simbol-simbol budaya seperti status sosial yang direproduksi yang bersinggungan dengan praktik politik dan pergulatan kekuasaan.

Penelitian lapangan yang dilakukan antara Januari 2011 sampai Juni 2011 ini mengambil setting di Kabupaten Wajo dan di 3 kecamatan dan beberapa desa yang ada di wilayah administratif kabupaten Wajo. Penelitian ini menekankan pada berbagai peristiwa dalam keseharian orang Bugis Wajo yang diantaranya juga melalui penuturan ataupun penceritaan kembali peristiwa yang telah berlalu. Di samping itu, penelitian ini melingkupi penelitian arsip, dokumen, dan naskah sejarah untuk mendapatkan berbagai informasi terkait dengan kerangka penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Para informan adalah tokoh masyarakat; tokoh agama dan tokoh politik masyarakat Wajo; pejabat dan mantan pejabat di kecamatan/desa; serta orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan berkenaan dengan berbagai peristiwa yang memiliki korelasi dengan masalah politik di Kabupaten Wajo.

Hasil penelitian melukiskan tentang perilaku arung dalam melegitimisasi identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dan diproduksi dalam tradisi yang dimunculkan dalam garis keturunan klen para penguasa wanua sebelumnya yakni Bettempola, Talo’tenreng, dan Tuwa. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya, tetapi kemudian justru membentuk keterkaitan dengan relasi struktur patronase (Ajjjoareng-joa). Pada proses konstruksi dan mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya, dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa oleh kelompok masyarakat keturunan arung. Pada kadar tertentu, reproduksi status cukup mempengaruhi kultur masyarakat Wajo dalam menduduki kekuasaan dan dihadirkan pada praktik-praktik politik sebagai bagian dari upaya strategi politik mendominasi kekuasaan. Praktik politik yang termanifestasi dalam momen politik seperti pemilihan legislatif dan kepala daerah memperlihatkan pola dan karakteristik dari praktik Ajjoareng-joa cukup berpengaruh guna mendapatkan dukungan politik dan kedudukan kekuasaan.

Page 5: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur dalam segenap rasa dan fikiran penulis sujudkan kepada

pemberi segala rahmat Allah SWT. Serta salawat serta salam tak lupa penulis

haturkan kepada pembawa teladan dari segala tauladan di dunia ini Rasulullah

Muhammad SAW beserta Keluarganya yang telah memperkenalkan risalah

keadilan pada umat manusia.

Alhamdulillah, penulis akhirnya mendapat suatu momentum untuk

merampungkan penulisan dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Reproduksi

Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo”. Dan dari segala

apa yang ada dalam karya tulisan ini adalah dimensinya yang tak lepas dari

adanya kekurangan dan kelemahan, yang penulis sadari tak mampu menuangkan

semuanya dengan adanya batasan ruang dan waktu. Disamping itu, keterbatasan

wawasan dan pengetahuan yang penulis miliki masih belum mumpuni untuk

berpetualang dalam wahana ilmu yang begitu luas, dan hanya cukup menjadikan

karya kecil ini sebagai bagian terkecil dari kisah yang menyajikan pengetahuan.

Sealur garis panjang, terlalu panjang malah, sudah terlewati. Dan seperti

laiknya, ketika perjalanan menyusur sebuah garis telah tiba di satu titik, dan

harus digores lagi garis baru untuk dijelajah, selalu terbetik bermacam rasa yang

terpadu: bangga, bahagia, dan haru, tapi juga galau, gelisah, dan sendu. Dalam

perjalanan menuju titik ini, skripsi ini, ada banyak tangan yang menuntun, ada

banyak kaki yang mengantar, ada banyak telinga yang mendengar, ada banyak

mulut yang menghibur, dan ada banyak hati yang mengerti. Ucapan terima kasih,

betapapun ditata dengan aksara emas, atau kata-kata berhias, takkan pernah

membayar semuanya dengan lunas dan tuntas. Tapi hanya kata sederhana inilah

yang bisa diberikan, beserta seuntai doa tulus nan bersahaja: Dia Yang Tak Buta

dan Tak Pelupa yang akan mengganjar dengan selaksa kali, saat ini dan nanti.

Ucapan terima kasih penulis untuk:

1. Pihak Dekanat, Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA dan seluruh sivitas

akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Page 6: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

vi

2. Untuk Pembimbing I penulis, Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA disela-sela

canda versi bapak „Haji memberikan dorongan dan motivasi yang luar biasa

untuk penyelesaian penulisan ini serta Pembimbing II, Dr. Tasrifin Tahara,

M.Si yang selalu baik mengingatkan draft akhir tulisan.

3. Dr. Munsi Lampe, MA dan Drs. Yahya, MA beserta Dosen-dosen pengajar

dan staf jurusan yang telah menghadirkan suasana hangat dan bersahaja

selama perjalanan studi penulis di Jurusan Antropologi.

4. Dr. Muhammad Basir, MA yang masih mengingat semua bukunya dan rela

meminjamkannya kepada penulis selama penulisan skripsi.

5. Untuk cerita dan petunjuk Andi Rahmat Munawar, kerabat penulis, bapak-

bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara masyarakat Sabbangparu, Belawa, dan

Majauleng.

6. Sahabat-sahabat E 511 05‟ pemicu tawa dan pemacu motivasi (Ulla‟, Abon,

Mail, Waes, Jaya, Bom2, Adhe, Iting, Rancid, Bolla‟,… Anthrop ‟05).

7. Kerabat Antropologi penghuni HUMAN, senior dan yunior yang telah

banyak berbagi canda sepaket ilmu pengetahuan dan rekan-rekan para

penggiat KEMA FISIP UNHAS untuk wahana lembaganya.

8. Adik-adik, kerabat: Ilham, Fadli, Dani, Aliyah, Dwi, Ricta, Ciko‟, Eka, dan

Ayi‟ yang menyempatkan diri membantu penulis dalam penelitian lapangan.

9. Sahabatku, kekasihku, genggaman tanganku, peretas pikiranku Munauwarah

dari kesabaran hingga ketulusan.

10. Dan akhirnya untuk Bapa‟ dan Emma‟, dua kaki yang menopang paling

kokoh, dua tangan yang menuntun paling lembut, dan dua hati yang

mengerti paling dalam.

Untuk memungkasi pengantar ini, dari segala kekurangan dan kekhilafan

penulis menghaturkan maaf dan berharap semoga lembar-lembar ini dapat

bermanfaat bagi kita semua, Wassalam.

Makassar, Januari 2012

Andi Muhammad Yusuf

Page 7: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

vi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii

HALAMAN PENERIMAAN ....................................................................... iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Fokus Penelitian ......................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 9

D. Tinjauan Konseptual ................................................................... 10

E. Metode Penelitian ........................................................................ 18

F. Sistematika Penulisan ................................................................. 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendekatan dalam Kajian Politik dan Kekuasaan ...................... 31

B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian ....................................... 41

C. Wujud Budaya Praktik Politik Lokal ........................................... 47 D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik ....... 55

E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien ........... 60

BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo ............................................... 66

B. Keadaan Geografis ...................................................................... 69

C. Profil Organisasi Pemerintah Daerah ........................................ 70

D. Tatanan Nilai Dalam Sistem Pemerintahan .............................. 74

E. Karakteristik Informan ............................................................... 76

BAB IV REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK

A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan

Kekuasaan .................................................................................... 83

B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik ............. 112

C. Karakteristik Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo .................. 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 133 DAFTAR PUSTAKA

Page 8: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

1

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“ … Jika kita menyadari bahwa diantara semuaNegara di Timur … hanya orang Bugis yang telahsampai pada tingkatan pengakuan hak-hakwarga Negara, dan satu-satunya yang telahmembebaskan diri dari belenggu kelaliman.”

(James Brooke, 1848)1

Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan dalam

catatan perjalanannya ketika mengunjungi kerajaan-kerajaan di semenanjung

Sulawesi, Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu dilukiskan sebagai

kerajaan “Demokratis” yang oleh Mattulada menyebutnya “Republik

Ariktokrasi”, serta Pelras yang juga memberikan ulasannya.2 Meski agak

berlebihan menyebutnya, namun catatan historis menyebutkan dari berbagai

tulisan memberikan gambaran mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang

bentuk Negara dan Pemerintahan di Kerajaan tersebut yang mirip dengan sistem

demokrasi apalagi dengan bentuk penghargaan terhadap warga Wajo’ sebagai

orang merdeka.

Tak ada jabatan dalam kerajaan yang dianggap sebagai warisan mutlak,

bisa saja hanya menjabat dalam waktu periode tertentu, meskipun tidak sedikit

dari kalangan bangsawan atau keturunan penguasa yang mewarisinya. Orang-

orang yang akan menduduki jabatan dan mengisi struktur pemerintahan dipilih

oleh dewan pemilihan khusus yang berdasarkan berbagai kriteria seperti garis

keturunan, hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi, dan

1 Kutipan Christian Pelras mengenai catatan perjalanan James Brooke yang melukiskan tentang bentukkekuasaan di Kerajaan Wajo dalam bukunya Manusia Bugis (2006: 202)

2 Ulasan Pelras mengenai sistem kerajaan (Arung Pattapulo) di Wajo yang terbagi kedalam beberapa bagiankekuasaan di daerah-daerah yang terbentuk menjadi lembaga pemerintahan yang kemudian disebutnyamenyerupai parlemen.

Page 9: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

2

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

pengaruh yang dinilai dari jumlah dan kualitas pengikutnya, tanpa

memperhitungkan di daerah mana ia tinggal.3

Pada masa Kerajaan Wajo, dimana dalam catatan sejarah ditemukan

model pranata politik dalam lingkungan sosial budaya para bangsawan yang

membentuk struktur kerajaan yang kekuasaannya terbagi. Seorang penguasa

dinamai atau disebut Arung Matoa (raja/pemimpin para matoa) yang umumnya

selalu diduduki oleh seorang laki-laki, ia dibantu oleh suatu dewan yang disebut

Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Arung

Ennenngé atau Petta Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga

orang Padanréng (sekutu, pendamping) dan tiga orang Baté Lompo (pemegang

panji). Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung

Mabbicara sebagai lembaga pembuat undang-undang. Disamping itu juga

terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang

yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil

permufakatan dan perintah dari Padanreng kepada rakyat, menyampaikan

perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan menyampaikan hasil

permufakatan dan perintah dari Petta Wajo. Jadi terdapat 40 orang dalam

lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6

orang Arung Ennengnge, 3 orang Suro ri Bateng, 12 orang Arung Mabbicara, 18

penasehat). Ke 40 orang atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe’ (pertuanan

yang empat puluh) yang bentuknya menyerupai sistem parlemen. Bentuk atau

struktur pemerintahan tersebut diperkuat oleh tese Mattulada yang menyebutkan

bahwa4:

3 Lihat Pelras (2006) ‘Manusia Bugis” Op.cit Hal. 2004 Dalam Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (1995). Op.cit, Hal. 408

Page 10: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

3

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

“ … Pola kepemimpinan Wajo dapat disebut lebih dekat kepadasistem patrimonial yang bersifat tradisional, pada kelompokpersekutuan tetapi pada pucuk pimpinan yakni Arung Matoa Wajoberlaku pola-pola kepemimpinan rasional yang didasarkan kepadakemampuan pribadi dan penerimaan dari Perwakilan Rakyat(secara terbatas)”

Dari masa ke masa, perubahan kompleks secara menyeluruh mulai dari

aspek sosial-budaya sampai ekonomi-politik mengantarkan wajah manusia Bugis

Wajo dalam ranah modern kedalam struktur dan sistem baru yang telah cukup

jauh meninggalkan bentuk negara kerajaan seperti dahulu. Perubahan sistem

pemerintahan kerajaan Wajo pada masa penjajahan Hindia Belanda, dimana

Arung Patappuloe’ tidak lagi memegang peranan penting dalam kekuasaan tetapi

hanya menjadi simbol bagi rakyat Wajo dan para pejabat (Arung) pada saat itu

dilarang mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain pada

masa itu, hal ini disebabkan karena kekakalahan perang pada tahun 1905 - 1906

yang menyebabkan Wajo’ harus tunduk dan menaati sistem administratif wilayah

Zelfbestur5 yang diberlakukan Hindia Belanda. Hingga pada era kemerdekaan,

berita kemerdekaan yang di proklamirkan di Jakarta sampai di Tana’ Wajo yang

kemudian mendapatkan sambutan dari Arung Matoa pada saat itu Andi

Mangkona dan Andi Ninnong yang disebut-sebut sebagai Arung Matoa terakhir

mengakui kedaulatan Indonesia yang menjadikan Wajo pada saat itu sebagai

bagian.

Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997

menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah

berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan

kondisi perubahan di Indonesia yang sering disebut masa reformasi oleh

5 Dalam tulisan Mattulada (1995) disebutkan sebagai wilayah di bawah pemerintahan seorang AssistantResident Belanda yang berkedudukan di Bone.

Page 11: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

4

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

kelompok-kelompok pembaharu yang terdiri atas kelompok cendekiawan

kampus dan kelompok mahasiswa, dampak reformasi ini juga membawa agenda

perubahan dalam sistem politik dan pembagian kekuasaan di Indonesia.

Beberapa daerah yang awalnya berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik)

kini menuntut adanya pemerataan pembangunan yang secara radikal didukung

oleh gerakan-gerakan kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin

memisahkan diri dari Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental

dari eforia reformasi pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat

sensitif dan mendesak untuk segera diselesaikan. Maka pada tahun 1999

ditetapkanlah Undang-Undang No. 22 mengenai pemerintahan daerah yang

berisi tentang peraturan pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada

tingkat kabupaten atau kota.

Hal menarik di Indonesia saat ini yang terdiri dari berbagai etnis dan

suku bangsa telah mengadopsi sistem politik pemerintahan demokrasi yang

berasal dari kebanyakan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Model

demokrasi seperti ini merupakan wujud dari ide “Trias Politica” yang

dikemukakan oleh Motesqueui dan Jhon Locke dimana pembagian kekuasaan

negara sampai pemerintahan tingkat daerah terbagi kedalam 3 lembaga negara.

Miriam Budiardjo (2004)6 memberikan suatu penjelasan mengenai tiga lembaga

tersebut yakni, Eksekutif (lembaga pemerintahan yang melaksanakan undang-

undang), Legislatif (lembaga pembuat Undang-undang/ peraturan), dan

Yudikatif (Lembaga pengawasan, penafsir undang-undang dan pemberi sanksi

terhadap pelanggaran undang-undang). Pada masa Orde Baru, bentuk

pembagian kekuasaan seperti diatas di nilai oleh banyak kalangan hanya menjadi

sekedar jargon belaka tetapi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya,

6 “Dasar-dasar Ilmu Politik” (2004). Op.cit, hal. 315

Page 12: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

5

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

sebaliknya pasca reformasi bentuk demokrasi dan pranata politik yang ada mulai

ramai di kaji kembali dan upaya para ilmuwan sosial maupun praktisi politik

untuk menempatkan dan menerapkan secara benar sistem demokrasi dalam

tatanan negara sehingga wujud dan perannya dapat berfungsi dengan baik.

Besarnya kewenangan di tingkat daerah didukung oleh perubahan sistem

politik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan penerapan konsep chek and

balances kekuatan politik lokal antara legislatif dan eksekutif. Peran dan fungsi

pemerintah daerah dan lembaga-lembaga politik di daerah menjadi lebih besar

dibandingkan pada masa Orde Baru. Partisipasi politik lokal semakin meningkat

secara signifikan dengan munculnya kepentingan perorangan maupun kelompok

yang bisa dikatakan “politisi dadakan” di setiap daerah dalam ranah politik, yang

ditengarai dimulai dengan munculnya kelompok bangsawan yang terpelajar serta

kelompok masyarakat ekonomi kuat yang memanfaatkan kondisi dalam sistem

politik yang secara otonom memberikan ruang politik untuk mencapai kekuasaan

baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna mendapatkan kursi di

parlemen atau legislatif dan jabatan birokratis di daerah.

Bercermin dari pranata politik dan pembagian kekuasaan yang ada di

daerah saat ini mengingatkan kita tentang sistem politik kerajaan di Wajo dimasa

lalu seperti yang penulis utarakan diawal, dimana kekuasaan tidak berada di

tangan raja secara individu tetapi peran setiap wanua7 yang ada di wilayah

kerajaan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan politik, baik masalah

konflik, perang maupun hal yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi.

Kecenderungan pemahaman ini kemudian mengantarkan penulisan ini pada

konsepsi budaya politik sebagai bagian dari mainset setiap individu dalam

7 Daerah/wilayah yang di diami oleh kelompok masyarakat yang dipimpin oleh kepala kampong yang memilikiotonomi tersendiri tetap menjadi bagian dari pemerintahan Wajo

Page 13: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

6

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

kelompok masyarakat yang menunjukkan wujudnya dari beberapa rangkain-

rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan

masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku

maupun pola tindakan. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak

mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung

akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial.

Asumsi awal penulis untuk mencoba menggambarkan dan berupaya

untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan pola

tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari

nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang bugis Wajo dalam ruang

lingkup kebudayaannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian

tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap

berbagai aspek dan nilai budaya lokal dalam wujud implementasi kearifan lokal

masyarakat pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan yang cermat,

apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih dipegang

teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya mengatasi

dampak perkembangan zaman8.

Berkaitan dengan itu, fenomena sosial yang sangat aktual dalam kegiatan

politik dewasa ini yang dialami oleh masyarakat pada umumnya dan masyarakat

Bugis pada khususnya adalah berkaitan dengan pranata politik dan pembagian

kekuasaan pemerintahan daerah adalah perilaku politik sebagai aktor dalam

lembaga politik di daerah misalnya yang bertanggung jawab penuh dalam

melaksanakan tugas pembuatan peraturan daerah yang sudah terencana melalui

mekanisme yang ada dan pelaksanaan kebijakan-kebikakan politik. Implikasi

8Muhammad Ramli (2008: 7) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yaknipappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakanpublik.

Page 14: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

7

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

dari kebijakan politik yang tercermin dalam pelaksanaan pemerintahan yang

bersentuhan dengan masyarakat sedikit banyak mempengaruhi tatanan

masyarakat dengan berbagai dinamikanya.

Hasil diskusi dengan beberapa rekan-rekan mahasiswa dan kajian

terhadap beberapa tulisan terkait masalah politik dan kekuasaan, serta masukan

dari dosen penasehat akademik memberikan gambaran awal seperti yang penulis

utarakan dalam latar belakang. Dengan tidak hanya melihat sisi politik dalam

aspek formalitasnya sebagai bagian tatanan negara saat ini, tetapi penting bagi

penulis untuk mengungkapkan sisi-sisi lainnya seperti tatanan nilai-nilai, status

sosial (dalam sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial) perilaku dan budaya

yang sejalan dan bertautan dengan aspek politik orang Bugis Wajo. Seperti

Mattulada (1995) yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya, adat istiadat

dalam penyelenggaraan negara pada orang Bugis, Mattulada mencoba

memahami kedudukan jalan pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam

bernegara. Untuk itu, penulis dengan arah kajian antropologi politik mencoba

menggambarkan fenomena tersebut melalui penelitian lapangan dengan judul

“Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten

Wajo” sebagai tema dasar/lokus bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir

dan syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini menyandarkan pada suatu kerangka berpikir yang masih

bersifat asumsi-asumsi awal dimana penulis secara sederhana memberikan

pendapat tentang fenomena politik dalam sebuah daerah sebagai suatu bentuk

arena dalam pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan

Page 15: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

8

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat yang pada awal

proses pembentukannya secara sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari

suatu sistem budaya yang ada yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan

pemahaman individu dalam interaksi dalam ranah institusi politik. Meski terjadi

pergeseran di tingkat institusi tersebut dalam wujudnya, penulis beranggapan

bahwa ada struktur berpikir yang tidak berubah9.

Jika dalam suatu sistem sosial budaya bertumpu pada penghayatan,

pengamalan dan pengalaman terhadap nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem

sosial pada interaksi politik, maka penulis berupaya menemukan dan

memberikan gambaran mengenai pengahayatan dalam budaya yang terwujud

dalam perilaku politik orang Bugis Wajo yang dipraktekkan oleh orang Bugis

Wajo dalam suatu institusi politik.

Dari hal tersebut penulis memfokuskan penelitian ini pada kaitannya

dengan bentuk perilaku yang dimunculkan dalam praktek-praktek politik dalam

instistusi politik dengan merumuskan beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana sejarah politik orang Bugis Wajo dalam memproduksi status

dan kekuasaan dalam tatanan kultural?

2. Bagaimana bentuk reproduksi status orang Bugis Wajo sebagai strategi

dalam praktik politik?

3. Karakteristik bagaimana yang mencirikan praktik politik oleh orang Wajo?

9 Seperti kaum strukralisme yang percaya bahwa dalam tatanan yang telah bertransformasi pun, struktur dalam(logika-logika, kerangka pikir) suatu keadaan tersebut tidak berubah. (Levi’-Strauss dalam Ahimsa, 2006:61 )

Page 16: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

9

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Usaha dalam studi ini mengenai antropologi politik dalam penelitian in

diharapkan mampu menghasilkan:

1. Suatu gambaran sejarah politik mengenai orang Bugis Wajo dalam

memproduksi status dan kekuasaan dalam tatanan kultural.

2. Suatu penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku politik

orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo.

3. Suatu penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis

Wajo yang membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik

mereka serta implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakan-

kebijakan politik di Kabupaten Wajo.

Kegunaan Penelitian adalah :

1. Secara Praksis, Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi peneliti lain

yang berminat pada topik yang sama mengenai budaya politik, sehingga

dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai Antropologi

Politik.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah

ataupun lembaga-lembaga yang berkecimpung pada bidang kajian Politik,

sehingga dapat memberikan masukan yang berarti terhadap langkah-

langkah kebijakan yang akan ditetapkan oleh para penentu kebijakan. Dan

diharapkan pula bagi masyarakat agar menjadi warga negara yang

menghargai kehadiran yang lain.

Page 17: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

10

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

3. Untuk keperluan akademik dan praktis kemasyarakatan. Dan adapun

manfaat penelitian ini secara teoritis untuk memehami suatu budaya yang

dinamis, memerlukan pendekatan holistik terhadap suatu problem tertentu.

4. Bagi peneliti sendiri/penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah wawasan dan cakrawala berfikir yang luas dan mendalam

mengenai kajian tentang pendekatan antropologi dalam perilaku politik.

D. TINJAUAN KONSEPTUAL

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan

berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek

kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya

persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia

menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk

lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota

masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan

sampai bentuk-bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain

dalam bentuk pujian.

Salah satu fenomena manusia dan kebudayaan adalah masalah polarisasi

sosial yang terbentuk dalam stratifikasi sosial suatu masyarakat. Pada dasarnya

stratifikasi sosial relatif beragam, misalnya dimensi usia, agama, pendidikan

formal, pekerjaan, penguasaan ekonomi dan lain sebagainya. Berbagai dimensi

stratifikasi umumnya memiliki signifikansi dan kadar pengaruhnya juga berbeda-

beda serta tidak sama kuat yang bergantung pada akomodasi dan bentuknya

pada masing-masing kebudayaan dan konteks perkembangan masyarakatnya.

Hal yang menarik adalah kecenderungan konsepsi status sosial yang menonjol

sebagai signifikansi stratifikasi sosial, utamanya didaerah yang masih menganut

Page 18: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

11

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

akar-akar budayanya, yang dalam tatanan kebudayaannya masih melegitimasi

status sosial sebagai salah satu yang mendeterminasi tatanan relasi antar

individu dalam masyarakatnya. Meski kemajuan dan perubahan masyarakat

berjalan dalam dinamikanya, tetapi kecenderungannya hanya berubah tataran

kekuatan dan kadarnya yang memungkinkan status sosial dalam suatu

masyarakat masih tereproduksi sehingga orientasi dan implikasinya terlihat

dalam struktur masyarakat, salah satunya dalam ranah politik cukup

mempengaruhi hirarki kekuasaan.

Dalam bentuk sederhana, stratifikasi atas dasar aspek status membagi

masyarakat ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disegani

atau terhormat dan kelompok masyarakat biasa. Kelompok masyarakat yang

terhormat, umumnya menekankan arti penting akar sejarah yang dijadikan dasar

untuk membenarkan kedudukan istimewa mereka di masyarakat. Seorang

keturunan bangsawan, misalnya akan selalu tampil terhormat di masyarakat, dan

dalam beberapa hal tidak memperlihatkan ketertarikan untuk memasuki atau

dimasuki kelompok biasa karena ada keinginan untuk mempertahankan

kemurnian darah kebangsawanan-nya. Kelompok masyarakat yang dihormati

tidak selalu mutlak dari mereka kaum bangsawan atau keluarga raja melainkan

juga bisa dari kalangan tokoh atau pemuka agama, orang yang memiliki kekayaan

dan penguasaan ekonomi maupun orang yang telah mendapatkan prestasi

pendidikan. Salah satu faktor yang dapat dipergunakan untuk menelaah masalah

polarisasi sosial dalam masyarakat adalah melalui distribusi kekuasaan10 dimana

dimensi kekuasaan tersebut terasosiasi dalam konsepsi stratifikasi sosial yang

menghasilkan suatu telaah tentang pengaruhnya dalam praktik-praktik politik.

10 Lihat Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) “ Sosiologi: Teks Pengantar danTerapan. Op.cit. Hal. 154

Page 19: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

12

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

Pada ranah politik, suatu fenomena menarik adalah persoalan manakala

status dikaitkan dengan praktik-praktik yang dilakukan suatu kelompok

masyarakat dalam berpolitik. Suatu akar budaya seperti yang penulis asumsikan

sebelumnya tentang rentetan perilaku kelompok tertentu dalam melegitimisasi

identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dalam budaya

tertentu. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan

masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik

dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya11. Pada proses konstruksi

mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya,

dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa dalam masyarakat.

Meski bukan merupakan faktor tunggal, namun pada kadar tertentu reproduksi

status cukup mempengaruhi dalam kebudayaan tertentu dalam mengakomodasi

kekuasaan dan dihadirkan dalam praktik-praktik politik sebagai bagian dari

upaya dominasi. Hal yang sama diungkapkan Bourdieu12 dalam konteks

pendidikan dimana kekuasaan simbolik diperlukan dalam rangka dominasi atas

kelompok yang tidak beruntung, dimana kekuasaan tersebut bekerja dalam

memaksakan prinsip-prinsip konstruksi realitas.

Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era

modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan

bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan

berorganisasi dan penguasaan sumber-sumber daya melalui pranata-pranata

yang ada di dalam kehidupan masyarakat salah satunya adalah melalui pranata

politik. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam

11 Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) Ibid. Hal. 15512 Dalam Richard Harker, etc. (ed.) ‘(Habitus x Modal)+Ranah=Praktik: Pengantar paling Komprehensif

Pemikiran Pierre Bourdieu (2009) Yogyakarta: Jalasutra

Page 20: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

13

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol

maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau

tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosial-

budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran bahwa

individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita-berita

tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu

atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Terkait masalah praktik politik dan penguasaan dalam ranah-ranah

politik termasuk dalam ruang institusi politik suatu masyarakat sebagai implikasi

dari faktor budaya tertentu, Gabriel Almond13 mengajukan tese bahwa sebelum

kebijaksanaan politik dan tujuan ditetapkan, individu-individu atau kelompok-

kelompok masyarakat, harus menentukan apa yang menjadi kepentingan

mereka, yaitu apa yang ingin mereka dapatkan dari politik. Kepentingan dan

tuntutan-tuntutan ini kemudian digabungkan dengan menjadikan alternatif-

alternatif kebijaksanaan selanjutnya dipertimbangkan untuk ditentukan sebagai

pilihan. Dengan tese ini ini penulis mengindikasikan implementasi dan proses

perwujudan dari kepentingan individu maupun kelompok melalui ruang-ruang

politik adalah bagian dari strategi dalam membentuk suatu konstalasi kekuasaan

yang direproduksi dari berbagai generasi dalam tatanan kulturalnya.

Strategi-strategi politik dapat saja terpengaruh melalui suatu bentuk

budaya tertentu, sehingga strategi tersebut dapat diamati melalui cara suatu

masyarakat dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Institusi-institusi

politik yang digunakan individu atau kelompok semisal di lembaga legislatif,

partai politik yang menampung individu-individu secara langsung terlibat dalam

13 Dalam “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” (1986), Op.cit hal. 86

Page 21: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

14

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

arena politik (pemilihan legislatif, pilkada). Dalam kondisi normatif sudah

diakomodasi dalam sebuah sistem politik baku melalui undang-undang, namun

secara umum dalam kondisi masyarakat plural di Indonesia, praktek-praktek

tertentu yang sedikit banyak terpengaruh melalui budaya yang ada dalam satu

daerah tertentu misalnya penguasaan modal simbolik ataupun status sosial.

Konsekuensinya dapat kita temui dengan munculnya berbagai persoalan otonomi

daerah hari ini yang terlihat menyuburkan praktek-praktek reproduksi

kekuasaan. Salah satu contohnya adalah ketika adanya kesenjangan antara

aturan normatif (perundang-undangan) untuk wajah demokrasi yang ideal

menjunjung kebebasan individu dengan realitas kultur yang justru memicu

pertarungan para keturunan bangsawan yang secara implisit membagun identitas

diri mereka sebagai ‘raja-raja lokal’ baru dengan menggunakan legitimasi akar

sejarah untuk keabsahan kekuasaan mereka di daerah.

Dibeberapa literatur, masalah-masalah budaya lokal selalu

diperbicangkan sebagai bentuk yang dikonstruksikan dan merupakan arena

relasi antara sebuah struktur dan kesadaran subyektif individu, sehingga dengan

asumsi ini berimplikasi pada pemikiran tentang tema perubahan budaya yang

menjadi agenda utama untuk mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya

mengenai antropologi politik, Edmund Leach14 memberikan gambaran bahwa

setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya

dalam melihat kekuasaan yang beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu wilayah

melainkan salah satu bentuk dan kondisi dalam keterkaitan relasi diantara

manusia. Oleh karenanya, cara mamahami sepenuhnya dan menganalisis

kompleksitas kekuasaan adalah dengan menemukan di mana dimensi-dimensi

material, psikologis, dan sosial kekuasaan politik beroperasi, dan secara sosial

14 Lihat McGlyyn & Arthur Tuden “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik”, Op.cit, Hal. 3

Page 22: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

15

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

berada, dan apakah serta dengan cara bagaimana dimensi-dimensi ini

memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat lain. Kajian politik dengan

menggunakan pendekatan antropologi berupaya menelisik kekuasaan dalam

konteks sosial-kultural. Karenanya kekuasaan bersifat inklusif yang harus

mengkaji bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan dalam setiap masyarakat

(Milal dalam Hafid, 2009: 10).

Dari kesemua aspek dalam praktik politik dapat berbeda dari satu

kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, yang memunculkan berbagai

pemahaman dalam pelaksanaan pemerintahan yang berbeda pula. Hal inilah

yang kemudian memunculkan kecenderungan adanya karakteristik praktik

politik, meskipun di di Indonesia, dari peraturan/perundangan-undangan

sampai sistem pemerintahan yang berlaku secara keseluruhan tetapi ada saja

aspek tertentu yang memilki ciri khas dalam pelaksanaanya dalam setiap daerah.

Almond dan Verba (1984)15 menyatakan pendapatnya mengenai budaya dalam

kaitannya dengan karakteristik politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas

dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Karakteristik dalam praktik-

praktik sebagai bagian dari budaya politik adalah salah satu aspek dari nilai-nilai

yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu

populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat

yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau

norma lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia

agama, kegiatan ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan

memberikan corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan caranya

dalam menghadapi suatu masalah-masalah politik, semisal masalah legitimasi,

15 Tulisan Gabriel Almond yang mengaitkan beberapa tingkah laku politik di 5 negara dengan aspek budayalokal di negara-negara tersebut, Op.cit, Hal. 146

Page 23: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

16

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dinamika

partai politik, perilaku aparat negara serta gejolak masyarakat terhadap

kekuasaan yang memerintah.

Dalam penelitian yang penulis lakukan dalam ruang lingkup daerah

Kabupaten Wajo yang merupakan bekas kerajaan, penulis berupaya

menggunakan kombinasi catatan sejarah dalam artian penelitian historitas

dengan penelitian lapangan. Dengan cara ini, kemudian sekurang-kurangnya

penulis mampu untuk menggambarkan atribut-atribut, ciri fisik maupun bentuk-

bentuk cara berbicara dan lain sebagainya yang mengarah pada pamahaman

terhadap konsepsi identitas diri yang diasosiasikan dengan status sosial. Dalam

beberapa tulisan yang bertemakan politik dan kekuasaan secara implikatif

memberikan pemahaman bahwa konsepsi identitas diri kemudian yang dapat

digunakan untuk mengetahui sejauh mana terjadinya suatu konfigurasi, dengan

asumsi bahwa dalam suatu masyarakat pada umumnya memiliki suatu bentuk

atau model dan kekuatan internal yang berasal dari kebudayaan masyarakat itu

sendiri yang kemudian menjadi padu terhadap berbagai elemen budaya

masyarakat lainnya, baik yang berbentuk institusi maupun gagasan atau konsep

yang ada didalamnya.16

Manakala terjadi semacam keterkaitan masyarakat antara satu sama

lainnya dalam satuan yang meluas semisal dalam tingkatan nasional maupun

regional, dapat kita indikasikan bahwa telah terjadi interaksi dalam jaringan

relasi sosial dalam ranah lokal dan relasi lainnya yang lebih luas. Adanya

konstalasi sosial tidak terjadi begitu saja secara internal, namun pada kajian

politik dan kekuasaan justru menekankan tentang isi dan bentuk dari kekuasaan

16 Rudiansyah (2009), Op.cit Hal. 291

Page 24: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

17

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

yang tercipta dan terwujud dalam ranah sosial budaya yang berpadu dengan

ranah sosial yang lebih luas dan berasal dari luar. Dipertegas oleh Rudiansyah

dalam tulisannya bahwa konfigurasi17 tersebut menjadi sangat menentukan.

Secara keseluruhan, penelitian ini menggambarkan sebuah perjalanan

atau rentetan munculnya praktik politik yang di mulai dengan melacak aspek

kesejarahan untuk menemukan suatu sumber kekuasaan yang termanifestasi

dalam status sosial secara internal dalam kebudayaan masyarkat Wajo pada masa

lalu, beberapa perubahan akibat terbukanya akses global melalui perdagangan

dan kolonialisasi bangsa Eropa yang sedikit banyak mempengaruhi berbagai

aspek dalam sistem masyarakat Wajo khususnya sistem politik pada saat itu.

Gambaran tentang bagaimana sistem budaya tersebut khususnya masalah

reproduksi status dikorelasikan dengan masalah praktik politik masyarakat Wajo

dalam sistem yang lebih luas (Negara) sehingga didapatkan cara-cara individu

dan karakteristik yang ditemukan meski telah mengalami berbagai dinamika.

Upaya telaah tersebut mengantarkan penelitian ini dalam memahami masyarakat

Wajo dalam menginterpretasikan dan melakukan praktiknya di arena politik

serta konstalasi politik lokal pada era demokrasi hari ini. Seperti halnya

Mattulada (1995), yang mengemukakan bahwa pada prinsipnya politik yang

dipraktekkan oleh orang Bugis-Makassar, merupakan suatu sistem sosial budaya

yang bertumpu pada penghayatan, pengamalan dan pengalaman terhadap nilai-

nilai siri dalam suatu sistem sosial panngaderreng18 pada interaksi politik. Nilai-

17 Istilah yang digunakan Rudiansyah dalam upayanya menggambarkan bentuk-bentuk dan model yang terciptadalam kekuasaan.

18 Dijelaskan bahwa konsep panngaderreng ialah tak lain adalah sama dengan aturan-aturan adatdan sistem norma. Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma danaturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputihal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatansosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh daripada itu, ialah adanyasemacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah bagian integral dari panngaderreng.

Page 25: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

18

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

nilai siri’ mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku; jujur, cerdas, berani yang

merupakan satu kesatuan yang utuh.

KERANGKA PEMIKIRAN

E. METODE PENELITIAN

1. Tipe/Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan ditelaah

dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.19 Hasil kajiannya

merupakan sebuah deskripsi dan pemahaman tentang arti peristiwa dan

kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu.

Dimana aspek subyektif dari perilaku obyek akan menjadi penekanan dalam

penggalian informasi yang dibutuhkan. Pemahaman akan dunia konseptual

dari obyek berupaya dipahami sedemikan rupa sehingga dalam penelitian ini

didapatkan berbagai pemahaman atau pengertian yang dikembangkan oleh

individu, pada berbagai peristiwa yang mereka hadapi dan pada perilaku yang

mereka lakukan. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan

Panngaderreng adalah bagian dari dirinya sendiri dan keterlibatannya dengan keseluruhanpranata-pranata masyarakatnya. (Mattulada, 1995: hal. 2)

19 Dalam Lexy Moleong dalam “Metode Penelitian Kualitatif” (2007) Op.cit. Hal. 17

Praktik dalamKontestasi

Politik

Bentuk Strategi

Karakteristik

INTERNAL

Aspek Kesejarahan

(Reproduksi Status)

EXTERNAL

Page 26: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

19

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan Burhan Bungin20, cukup

membantu peneliti mengarahkan penelitian ini dalam menggambarkan,

meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas

sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang

berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,

model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena

tertentu.

Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi

senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan

demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat

dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitiannya, oleh karena

itu dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk selalu cermat, tanggap dan

mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan. Dengan

karakteristik tersebut. Selain itu ada 2 hal penelitian kualitatif yang

mendorong penelitian ini, yakni:

1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat

terungkap secara mendalam dan mendetail.

2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang

terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan deskriptif.

Disamping penelitian lapangan, dalam penelitian ini juga dilakukan

telaah terhadap naskah-naskah sejarah yang penulis dapatkan. Dengan

mencermati naskah-naskah sejarah, cukup membantu dalam penelitian ini

dalam memberikan gambaran tentang bagaimana ideologi kekuasaan

dibangun dan diproduksi dalam sejarah dan kebudayaan di Kabupaten Wajo

20 Lihat Burhan Bungin dalam “Penelitian Kualitatif” (2008). Op.cit. Hal. 68

Page 27: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

20

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

pada masa lampau. Bahkan teknik kombinasi antara penelitian sejarah dan

penelitian lapangan, menjadi salah satu teknik yang dilakukan para peneliti

sebelumnya dalam menelaah masalah transformasi dalam suatu kontiunitas.21

2. Teknik Pemilihan Informan

Salah satu teknik yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan ini

adalah teknik yang memiliki karakteristik layaknya studi kasus sehingga

berbagai sumber yang ada dapat dimanfaatkan dengan tetap berpedoman

pada fokus dan jangkauan ruang lingkup penelitian. Dengan demikian teknik

cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive).

Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang

dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan

kondisi sosial, sejarah, dan beberapa peristiwa-peristiwa politik dalam

kaitannya dengan konteks kebudayaan informan bersangkutan tapi tidak

terlepas dari kerangka pertanyaan penelitian ini. Informan yang oleh penulis

menjadi subjek yang diwawancarai selama melakukan penelitian di lapangan

mengacu pada apa yang diutarakan Spradley tentang pembicara asli (native

speaker), bahwa informan merupakan sumber informasi atau secara harfiah

informan menjadi guru bagi penulis22. Dengan teknik ini, sekurang-kurangnya

penulis berusaha mendapatkan narasi dan penggambaran yang didapatkan

dari wawancara terhadap informan berupa penceritaan yang mengarahkan

penulis untuk mengambil kesimpulan tentang bentuk-bentuk organisasi sosial

dan praktik individu yang ada dalam peristiwa yang dialami kelompok-

kelompok masyarakat (sampling) di Kabupaten Wajo yang memiliki

pemaknaan dan orientasi ke arah tindakan politik (melalui intrepretasi

21 Dalam Rudiansyah, Op.cit Hal. 522 Dalam Metode Etnografi. Edisi kedua (2007) Op.cit. Hal. 35

Page 28: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

21

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

peneliti maupun informan itu sendiri). Oleh karenanya, terdapat beberapa

subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber

data.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai permasalahan

yang diajukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data

dilakukan dengan dengan menggunakan beberapa macam cara. Teknik

pengumpulan data selama penelitian lapangan disesuaikan dengan sifat

penelitian dan fokus penelitian dalam usaha menggambarkan bentuk

struktur yang terbangun dalam kelompok sosial, rentetan peristiwa dalam

sejarah maupun peristiwa aktual yang dialami individu-individu dan

kelompok-kelompok masyarakat serta gejala-gejala sosial lainnya yang

memiliki korelasi dengan budaya dan praktik politik di Kabupaten Wajo.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis merujuk pada teknik yang

diajukan Bungin tentang teknik pengumpulan data yang tepat untuk

penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (in-

depth interview) dan pengamatan (observasi).23 Khususnya pada wawancara

mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang

khas bagi peneliti kualitatif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Paton

bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk

memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah

wawancara mendalam dan intensif.24 Sekurang-kurangnya dengan teknik ini

mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid.

23 Bungin (2008) Op.cit. Hal. 13924 Dalam Ruslam Ahmadi “ Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif” (2005). Op.cit. Hal 57

Page 29: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

22

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat

kualitatif. Untuk itu, dalam penelitian ini, penulis mengkombinasikan

beberapa teknik yang lazimnya digunakan dalam kualitatif agar data yang

didapatkan tetap padu sesuai sesuai dengan tujuan penelitian, seperti teknik

yang penulis utarakan sebagai berikut:

a) Observasi

Jenis pengamatan yang dilakukan dalam pengumpulan data

penelitian ini adalah pengamatan biasa (tidak berperanserta), dimana

peneliti memposiskan diri dengan jarak subjek yang akan diteliti dan

hanya melakukan pengamatan dari luar dan mengamati kedalam

lingkungan dan terhadap aktifitas beberapa subjek yang penulis

identifikasi memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan

kegiatan-kegiatan politik. Hal ini dikarenakan kondisi di lapangan dan

momentum tertentu (kegiatan-kegiatan politik semsal pilkada dan

sebagainya) tidak memungkinkan bagi penulis untuk melakukan peran

serta dimana institusi dan kegiatan politik selain ada bersifat formal juga

memiliki momentum tersendiri sehingga tidak semua kondisi aktual

dapat diamati langsung. Penulis dalam penelitian lapangan tetap

berupaya untuk melakukan pengamatan terhadap 2 situasi, yakni (1)

dimana subjek dalam penelitian berada dalam situasi formal seperti

misalnya penggambaran terhadap perilaku (cara berbicara, ekspresi,

emosi/perasaan, tata kelakuan, cara berkomunikasi dan sebagainya)

dari subjek pada saat terlibat dalam perbincangan ataupun pertemuan-

pertemuan dalam lingkungan sosial yang dikategorikan sebagai arena

subjek melakukan praktik yang sifatnya mengarah pada situasi yang

Page 30: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

23

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

politis; (2) Penulis dalam kurun waktu tertentu mengamati aktifitas

keseharian subjek sendiri (yang secara sengaja dipilih) dan bagaimana

subjek ketika bersama dengan keluarga, kerabat, teman dan rekan-rekan

kerja. Pada pengamatan ini akan tertuju tentang bagaimana subjek

dengan lingkungan sekitarnya meski tak berada dalam situasi atau tidak

sedang beraktifitas tentang masalah-masalah politik . Dengan teknik ini

penulis mendapatkan adanya data tentang bentuk dan pola interaksi dan

aktifitas subjek dalam penelitian secara umum yang menjadi acuan

untuk menyimpulkan model interaksi dan praktik masyarakat Wajo

(dari beberapa subjek/sampling yang diamati) dengan lingkungan sosial

maupun arena politik lainnya, serta institusi-institusi sosial yang

memiliki kaitan dengan aktifitas sosial politik.

b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Proses wawancara yang dilakukan selama melakukan penelitian

lapangan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth

Interview). Dengan kegiatan wawancara yang dilakukan secara

mendalam, penulis dapat menggali beberapa topik yang memberikan

pemahaman dan memperdalam pengetahuan peneliti mengenai topik

praktik-praktik politik dan organisasi sosial yang sedikit banyak

berorientasi politik. Beberapa rangkaian wawancara dilakukan untuk

memperoleh barbagai macam penjelasan yang relevan dengan masalah

penelitian misalnya yang peneliti dapatkan dalam penuturan beberapa

informan yang menceritakan dirinya dalam aktifitasnya sehari-hari, dari

rangkaian penjelasan tersebut peneliti mendapatkan potongan-potongan

peristiwa konkrit tentang praktik politiknya meskipun secara samar-

Page 31: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

24

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

samar dan dalam penjelasan informan agak sulit untuk didalami karena

faktor “adat berbicara” dan status informan dalam lingkungan sosialnya

yang menyebabkan adanya kesenjangan hubungan pembicaraan dengan

peneliti sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak hanya

terfokus pada satu topik saja, namun juga diantarai topik lainnya,

tergantung kesediaan informan dan petanyaan yang diajukan oleh

peneliti. Model ini ditempuh guna mendalami situasi dan kondisi, serta

lebih memperhatikan aspek informan agar dapat mengetahui informasi

yang diperlukan, peneliti tidak terpaku pada pedoman pertanyaan

penelitian, melainkan memperhatikan sifat dan ciri unik dari informan

pada saat wawancara. Dengan begitu, wawancara lebih memunculkan

kesan obrolan, sambil bercanda, sambil melakukan hal-hal yang sifatnya

tidak kaku. Wawancara mendalam dilakukan untuk menjawab segenap

fokus penelitian yang telah dirumuskan.

c) Studi Pustaka

Dengan melakukan studi pustaka, peneliti melakukan pembacaan

terhadap beberapa buku-buku terkait dengan kajian-kajian antropologi

dan politik dan literatur lainnya yang berkenaan dengan fokus

penelitian guna dijadikan bahan dan acuan penelitian lapangan. Selain

itu, dengan teknik ini penulis berupaya mengelaborasi dan membangun

pemahaman tentang pendekatan antropologi politik dan ilmu politik

untuk mendapatkan perbandingan dan acuan untuk penulisan nantinya.

Buku-buku yang mendeskripsikan dan yang mengkaji tentang orang

Bugis Wajo, serta buku-buku dan dokumen yang menceritakan sejarah

Orang Bugis terkait masalah perilaku dan peristiwa-peristiwa yang

Page 32: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

25

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

dialami pada masa lalu. Dengan pembacaan terhadap buku dan tulisan

tersebut penulis bisa mendapatkan gambaran tentang berbagai

fenomena berupa peristiwa, bagaimana orang-orang Bugis Wajo pada

masa lampau membangun serta membentuk pranata-pranatanya dalam

kondisi sosial-budayanya yang banyak terdapat dalam dokumen-

dokumen dalam bentuk naskah-naskah Lontara’ (apalagi pada saat ini

telah ada beberapa buku yang merupakan hasil terjemahan dan

transliterasi Lontara’ kedalam bahasa Indonesia). Artikel, Makalah,

tulisan dalam Internet serta ulasan dalam Surat Kabar yang

memberitakan informasi tentang peristiwa-peristiwa aktual yang terkait

masalah politik di Kabupaten Wajo, yang umumnya banyak mengulas,

mengkaji serta kritik terhadap kebijakan-kebijakan politik menjadi

perhatian penulis dalam penyusunan tulisan ini.

4. Deskripsi Penelitian Lapangan

Pada awal penelitian ini, penulis/peneliti melakukan observasi awal

sambil sesekali mewawancarai beberapa orang yang dapat penulis temui di

lapangan. Sambil tetap mengkaji beberapa bahan-bahan yang terkait dan

mendiskusikannya dengan beberapa pihak yang berkompeten dengan lokasi

dan tema yang peneliti minati. Hal ini terasa penting, untuk menentukan

tema dan arah penelitian ini dirancang. Selepas diskusi dan kajian-kajian

terkait, peneliti malakukan langkah-langkah sesuai dengan yang dirancang

sebelumnya dimana aktivitas penelitian di lapangan tergambar sebagai

berikut:

Pertama, yang peneliti lakukan adalah berupaya untuk mencari akses untuk

memasuki lapangan, harapan peneliti adalah untuk memudahkan proses

Page 33: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

26

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

penelitian selanjutnya. Di lapangan penelitian (baca: wilayah administratif

Kabupaten Wajo), dari beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon

dengan beberapa orang baik itu teman maupun kerabat yang penulis anggap

dapat memberikan referensi menghasilkan nama beberapa informan

(subjek) yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama orang-

orang (subjek) tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain tentang

reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja subjek

tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek

dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa

saja yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling

penting alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut,

penulis mulai melakukan persiapan dengan mengidentifikasi subjek tersebut

yang dijadikan informan dalam penelitian lapangan. Akan tetapi langkah ini

kemudian justru lebih berkembang dengan bertambahnya informasi yang

didapatkan pada saat penulis mulai melakukan penelitian lapangan pada

tahap berikutnya.

Kedua, yaitu tahap masuknya peneliti secara resmi ke lapangan. Di tahap ini

peneliti menyelesaikan berbagai prosedur penelitian secara resmi, dimulai

dengan mendapatkan surat pengantar penelitian dari kampus yang ditujukan

ke Balitbangda Prov. Sulsel untuk diterbitkan ijin penelitian selama 2 bulan

(antara Januari dan Februari) yang selajutnya dibawa ke pemerintah daerah

Kabupaten Wajo sebagai lokasi yang dimaksud dalam penelitian. Jangka

waktu penelitian yang diberikan menjadi kendala sebab tidak cukup bagi

penulis dalam melakukan pengumpulan data di lapangan; alasan

pengembangan teknik penelitian lapangan (masalah keinginan membuat

rapport agar mendapatkan informasi yang mendalam); dan dengan alasan

Page 34: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

27

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

situasi dan kondisi lapangan yang membutuhkan waktu yang relatif lama

dalam rangka pengumpulan data. Hal ini juga menyebabkan beberapa

aktifitas penelitian di lapangan tetap dilanjutkan meski jangka waktu yang

diberikan telah habis.

Ketiga, untuk tahap ini peneliti melakukannya dalam prosesi yang

membutuhkan waktu banyak yaitu pengamatan sehari-hari di lingkungan

dimana informan yang dipilih melakukan aktifitasnya. Di sini penulis

menghabiskan waktu relatif cukup banyak untuk melakukan pengamatan

(sebagai salah satu teknik pengambilan data) terhadap semua aktivitas yang

dilakukan oleh obyek penelitian di lapangan (observasi). Teknik yang penulis

lakukan adalah proses pembauran dengan beberapa aktivitas dimana penulis

secara kebetulan tepat berada pada saat itu yang kemudian dibarengi dengan

beberapa obrolan-obrolan ringan dan pertanyaan-pertanyaan oleh penulis

tentang hal ihwal yang dilakukan subjek tetapi tetap memperhatikan kaidah-

kaidah kesantunan untuk menghindari ketersinggungan subjek. Kemudian

penulis berusaha mendokumentasikan dalam catatan harian lapangan

sambil terus untuk membangun suatu ringkasan-ringkasan yang dibarengi

dengan asumsi-asumsi tentang apa-apa yang telah dilakukan subjek dalam

peristiwa tersebut.

Keempat, adalah tahapan utama yaitu pengambilan data lewat wawancara

dengan beberapa informan. Tahap ini sekiranya akan berjalan maksimal

apabila peneliti melalui tahap-tahap sebelumnya. Dimana peneliti punya

berbagai kerangka pemikiran dari hasil pengamatan di lapangan yang telah

peneliti lakukan sebelumnya, untuk kemudian dikonfirmasikan dengan data

yang peneliti peroleh dari wawancara pada tahap ini. Hasilnya adalah

Page 35: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

28

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

kutipan-kutipan wawancara yang sesuai dengan bangunan-bangunan

kesimpulan tentang kejadian ataupun peristiwa yang peneliti hadapi yang

merujuk pada fokus penelitian ini. Meski beberapa hasil wawancara

dikumpulkan tetap saja selalu berubah-ubah sesuai simpulan penulis dalam

menginterpretasi dengan semakin banyaknya situasi yang peneliti amati di

lapangan.

Kelima, adalah tahap akhir dari fase penelitian ini yaitu penulisan laporan.

Setelah semua proses yang telah peneliti lalui maka penulisan laporan

menjadi tahap akhir dari agenda penelitian ini, semua catatan lapangan

dikumpulkan dan hasil rekaman dijabarkan kembali dalam tulisan untuk

dimasukkan dalam tulisan tetapi catatan lapangan tetap disimpan untuk

keperluan sewaktu-waktu nantinya. Dalam agenda terakhir tahap ini

tentunya tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang telah

membantu penulis melalukan penelitian di lapangan. Dan untuk tahap ini

penulis tetap akan merasa banyak kekurangan sehingga tetap membuka diri

untuk kembali ke lapangan sebagai komitmen dari kekurangan tersebut,

untuk kemudian benar-benar keluar dari lapangan dan menyelesaikan

penelitian secara total.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Secara umum sistematika penulisan dalam tulisan ini bertujuan untuk

memberikan penggambaran tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung

dalam skripsi, mengenai tata-urut dan hubungan antara pokok-pokok pikiran

satu dengan yang lainnya dalam satu kesatuan terpadu. Adapun sistematika

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Page 36: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

29

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

Pada Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian pada Bab kedua, memuat

tinjauan pustaka yang berisi tentang pengertian konsep-konsep dan pendekatan

antropologi dalam perilaku politik dan kekuasaan; aspek-aspek historis yang

menggambarkan tentang tatanan sosial, tradisi dan nilai-nilai yang terbangun

dalam dinamika sejarah; wujud budaya lokal dan konfigurasi tatanan sosial

dalam bentuk praktik politik suatu kelompok masyarakat; status dan

kekerabatan dalam pelapisan sosial yang menjadi modal simbolik dalam

kekuasaan masyarakat bugis; dan terakhir muatan dalam tinjauan pustaka

adalah fokus dalam pendekatan yang mengkaji masalah reproduksi dikaitkan

dengan tatanan dalam dinamika kesejarahan sampai munculnya ajjoareng-joa’

sebagai model pertarungan dalam arena politik.

Pada Bab tiga, berisi tentang gambaran umum, yang memuat tentang

sejarah singkat berdirinya Wajo yang dilukiskan dari berbagai cerita dan

dokumen-dokumen dalam naskah lontara’ orang Bugis Wajo serta catatan-

catatan KTLV (pemerintah Belanda pada masa itu) yang banyak diulas dalam

beberapa buku-buku dan memberikan penggambaran tentang bagaimana asal-

muasal terbentuknya struktur sosial masyarakat Wajo (masalah kekuasaan,

pembagian wilayah atau wanua dan hubungan antara penguasa dengan rakyat

serta kelompok-kelompok penguasa lainnya) sampai Wajo pada masa

pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian bab tiga tersebut memuat tentang

keadaan geografis di kabupaten Wajo; pemerintahan di Wajo ketika mulai

diberlakukannya sistem pembagian wilayah kabupaten; struktur pemerintahan;

tatanan nilai dalam sistem pemerintah dan masyarakat Wajo; dan terakhir

tentang karakteristik informan yang diwawancara.

Page 37: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

30

Pendahuluan

Universitas Hasanuddin

Pendahuluan

Bab empat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan

muatan-muatannya yakni, penggambaran dan penjelasan tentang sejarah politik

mengenai orang Bugis Wajo dalam memproduksi status dan kekuasaan dalam

tatanan kultural; Penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku

politik orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo; dan

penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis Wajo yang

membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik mereka serta

implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakan-kebijakan politik di

Kabupaten Wajo.

Bab lima, atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang

diharapkan nantinya dapat memberikan implikasi teoritis dan refleksi dari

keseluruhan penggambaran mengenai praktik dan budaya politik di Kabupaten

Wajo.

Page 38: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

31Universitas Hasanuddin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendekatan dalam Kajian Perilaku Politik dan Kekuasaan

Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik pada

salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-

unsur tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan

lainnya secara terpisah, atau hanya sebagian saja dalam pranata masyarakat yang

berimplikasi pada pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik.

Masalah politik bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah

sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam pranata

politik yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam masyarakat

bernegara yang justru kemudian membiaskan suatu konsep dimana masyarakat

dan individu dikonsepsikan sebagai subjek yang memiliki orientasi pemahaman

terhadap negara sesuai dengan subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak

bernegara sama sekali seperti dalam masyarakat tradisional. Dampak lainnya

dari pemahaman ini adalah justru melahirkan suatu kondisi dimana

kelihatannya suatu kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi

justru dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”25.

Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan adalah

bahwa aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah satu sudut

pendekatan bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya dengan aspek-

aspek yang nampaknya tak memiliki relevansi dalam kacamata ilmu politik,

seperti masalah simbolisasi dan ritual keterkaitan unsur seperti pranta-pranata

dalam korelasinya dengan konteks politik. Dalam banyak hal, suatu kebudayaan

25 Dalam Balandier, “Antropologi Politik” .1986.CV . Rajawali. Jakarta. Hal vi

Page 39: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

32Universitas Hasanuddin

merupakan suatu keseluruhan yang utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan

aspek budaya yang saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan

yang terjadi pada satu unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau

aspek lainnya. Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek

tidak mungkin dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya.

Terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional A.R. Radcliffe-Brown

yang juga kala itu menjadi bagian dasar setiap penelitian setelahnya, Evans-

Pritchard dan Fortes kemudian memberikan jalan baru dalam kajian sub-

antropologi terkait masalah-masalah politik26. Secara terpisah membahas hasil

penelitiannya di Afrika yang mengkaji perilaku politik dan secara spesifik

mengajukan tese tentang pemahaman antropologi dalam konteks politik, seperti

yang ia katakan bahwa konsep politik dalam antropologi sebagai “… struktur atau

hubungan yang memelihara atau menegakkan ketertiban sosial di dalam

kerangka teritorial, dengan menyelenggarakan latihan atau kekuasaan kekerasan

melalui penggunaan, atau kemungkinan penggunaan kekuatan fisik”27. Pendapat

ini kemudian memberikan beberapa pemahaman tentang bagaimana politik

sebenarnya (dalam pendekatan antropologi) dalam suatu kelompok masyarakat

yang kemudian dijadikan model perintisan kajian antropologi politik pada

penelitian-penelitian selanjutnya28.

Dalam pendekatan struktural-fungsional, struktur sosial (dalam kaitannya

dengan hubungan-hubungan yang bersifat pertarungan kekuasaan dan politik)

dilihat sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata antar individu

26 Sub-disiplin antropologi lahir sebagai spesialisme baru didalam disiplin antropologi pada tahun 1940,pada saat terbitnya buku yang diedit bersama oleh E.E. Evans-Pritchard dan Meyer Fortes yangberjudul “African Political System”. The Nuer yang juga berbicara mengenai aspek politik orang Nuerdi Uganda dan Kenya, Afrika. (Balandier 1986:14)

27 Kutipan McGlynn dan Arhtur Tuden dalam buku yang di suntingnya “Pendekatan Antropologi PadaPerilaku Politik” terjemahan yang diterbitkan UI Press 2000. Op.cit Hal 14

28 Pada bagian awal bukunya George Balandier (1986) menegaskan tentang penelitian-penelitianselanjutnya yang mengkaji masalah politik di Afrika. Hal 14.

Page 40: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

33Universitas Hasanuddin

atau antar kelompok dalam masyarakat29. Hal itu berarti bahwa termasuk juga

dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan

yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Dalam

hubungannya dengan praktik politik, pendapat demikian memberikan

kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik

yang merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh

hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian tingkah laku politik

tidak lain adalah bagian dari struktur dalam masyarakat. Pendapat seperti ini,

juga berorientasi pada pemahaman tentang fenomena politik tidak lain dari

upaya pemahaman terhadap mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah

diajukan sebelumnya tentang mekanisme tertib sosial atau kondisi dimana

memungkinkan terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial,

pranata-pranata sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga

membentuk satu kesatuan yang utuh.

Dalam kaitannya dengan politik, juga menjadi pertanyaan tentang fungsi

organisasi politik, Malinowski seperti yang diulas oleh Claessen30 memberikan

pendapat tentang adanya tiga fungsi utama dari organisasi politik: (1) Upaya

mempertahankan keadaan ekuilibrium antara golongan-golongan atau

kelompok-kelompok, lembaga-lembaga dan kepentingan-kepentingan yang

berbeda-beda dalam masyarakat dengan menggunakan kekuasaan; (2) Menjamin

dan melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (3) melakukan

pertahanan dan atau agresi. Dengan menggunakan pemikiran struktural-

fungsional seperti ini, dapat dikatakan memiliki tujuan dalam upayanya

memperlihatkan bagaimana struktur-struktur dalam hal ini hubungan-hubungan

29 Koentjaraningrat juga memberikan kesimpulan mengenai konsep struktur sosial yang dikemukakanA. Radcliffe- Brown dalam Sejarah Teori Antropologi. UI Press. 1987, op cit, hal. 181

30 Dalam Balandier (1986: 42)

Page 41: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

34Universitas Hasanuddin

sosial politik saling menjalin satu sama lain dan bagaimana berfungsi dalam

rangka penegakan tertib sosial.

Dari tese yang digagas Evans-Pritchard dan Fortes mengandung beberapa

pemahaman mengenai aspek politik meski pada dasarnya sangat bersifat

strukutural yang pada masa itu memang telah banyak terinspirasi oleh gaya

pendekatan yang digagas Radcliffe-Brown. Namun secara nyata kita dapat

mendapati beberapa pokok gagasan tentang pendekatan antropologi yang

cenderung mengarahkan aspek politik pada wilayah tingkah laku sosial secara

umum, melihat seluruh bagian yang terkait dalam ranah struktur yang terkesan

terikat pada wilayah-wilayah sosial itu berlaku dan dalam kurun periode tertentu

kelompok masyarakat tersebut hidup. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu

apalagi dalam masyarakat tradisional, membutuhkan perhatian pada hubungan

antara berbagai pranata. Pranata politik misalnya tak dapat dipisahkan dengan

pranata kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga dan

sebagainya. Implikasi pada sisi tertentu dari tese yang diajukan Evans-Pritchard

dan Fortes bisa dianggap lebih luas dibandingkan pengertian pada ilmu politik

sendiri yang terkesan kaku pada satu pandangan saja dalam melihat bagaimana

tingkah laku suatu kelompok masyarakat dioperasionalisasikan dalam konteks

tatanan politik. Konsep yang pada umumnya lebih banyak diartikan dan

dihubungkan dengan institusi-institusi formal dan mengakar pada konteks

politik negara.

Pemahaman lain tentang pendapat yang diajukan antropolog seperti yang

dibahas diatas, dalam kajian masalah politik adalah bentuk dari suatu tatanan

yang menciptakan tertib sosial di dalam wilayah teritorial tertentu.

Konsekuensinya kemudian menjadikan pendekatan ini terlihat statis melihat

fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat seperti sifat dari pendekatan

Page 42: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

35Universitas Hasanuddin

struktural pada umumnya yang mengarahkan perhatiannya pada unit-unit sosial,

fungsi politik dilihat pada saling pengaruh kepentingan dan proses timbal balik

dalam antara pranata dalam masyarakat tak bernegara seperti di Afrika. Arahnya

kemudian tak jauh dari orientasi konsep yang melahirkan klasifikasi tipe-tipe

masyarakat dalam kaitannya perilaku politik atas dasar hubungan-hubungan

sosial, seperti pada apa yang di uraikan Evans-Pritchard sendiri dalam

karangannya31. Kecenderungannya sangat mengabaikan ke-dalaman historitas

dan terlebih lagi topik mengenai perubahan sosial kemudian dibiaskan pada

konteks dimana situasi politik itu berlaku.

Pada hasil penelitian selanjutnya, banyak kritik yang dilontarkan terhadap

tujuan asli para ahli antropologi berjalan lebih jauh daripada perselisihan

mengenai varian-varian yang mungkin dari ketiga tipe dasar sistem politik.

Tujuan para ahli antropologi sosial menyoal klasifikasi sistem-sistem politik

atas`dasar satuan-satuan sosial semata, telah banyak diserang. Bahkan Lloyd

(1954) juga dalam buku yang disunting McGlynn dan Arthur Tuden32

menyarankan bahwa, untuk memahami perilaku politik, suatu studi tentang

komponen-komponen struktural tidaklah cukup, dan dia berpendapat bahwa

klasifikasi tipe-tipe tidaklah dipandang sebagai tujuan utama penelitian

mengingat faktor-faktor lain dan konsep-konsep yang lebih bersifat umum

seperti kewenangan, pembentukan badan-badan pembuat keputusan dan dasar

kewenangan serta kepemimpinan juga muncul secara mencolok. Sebenarnya,

setelah banyak memeperhatikan satuan-satuan sosial tersebut di mana struktur

serupa terjadi, sehingga pembentukan perilaku politik dapat benar-benar

berbeda pada akhirnya.

31 McGlynn dan Arthur Tuden (2000) yang juga memberikan ulasan mengenai kecenderungan kelemahananalisis struktural-fungsional, Hal. 16

32 Ibid, Hal. 17

Page 43: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

36Universitas Hasanuddin

Selain kurangnya perhatian struktural-fungsional terhadap bentuk

pengoperasian suatu unit sosial atau dalam hal ini kita bahasakan sebagai

pranata politik yang hanya mengarahkan pada hubungan-hubungan atau relasi

disetiap unsur yang tetapi tidak terlalu memperhatikan tentang bagaimana suatu

capaian dalam proses dimana gejala politik itu muncul. Hal ini kemudian

memunculkan berbagai kajian yang mengarahkan pada dimana proses-proses

persaingan yang terwujud di antara individu-individu atau di antara kelompok-

kelompok yang saling merebut kepentingan umum serta strategi-strategi yang

digunakan untuk mencapai maksud tersebut33.

Konsep proses yang kemudian pada fase lanjutan dalam memahami

fenomena perilaku politik dijadikan salah satu kunci dalam pendekatan

antropologi politik. Analisis tentang fenomena politik terarah pada rentetan

aktifitas yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar orang-orang atau

antar kelompok-kelompok dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya atau

hasil dari proses tersebut seperti penyusunan kembali hubungan-hubungan

kekuasaan, munculnya kelompok-kelompok elit baru, terdapatnya sumber-

sumber baru dalam ranah politik. Leach (1954)34 bahkan secara lebih luas

menyatakan semua perubahan sosial dan kebudayaan bersumber dari orang-

orang-orang yang berusaha mencari kekuasaan. Jadi studi tentang aspek politik

harus dilakukan dalam konteks diakronis. Itu berarti bahwa dalam pendekatan

proses perhatian beralih dari perspektif ekuilibrium kepada perspektif

perubahan. Selain itu, gejala politik berhubungan dengan proses-proses umum,

jadi perhatian harus diberikan kepada perkembangan dan perubahan yang

terjadi dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang terkait dengan kepentingan

33 Ibid, Hal. 23

34 Dalam McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.

Page 44: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

37Universitas Hasanuddin

umum. Dalam pengaturan kepentingan umum dalam pemahaman prosesual,

bahwa diperlukan support atau dukungan. Alat dukungan yang paling penting,

menurut para penganut pendekatan proses, adalah legitimacy35 atau keabsahan

yang diperoleh melalui persetujuan. Pola pendekatan yang seperti ini kemudian

cenderung untuk menelisik masalah dasar-dasar yang muncul dalam aspek

kekuasaan36.

Konsep mengenai kekuasaan juga diajukan oleh M. G. Smith37 yang di-

klasifikasikannya kedalam dua bentuk kekuasaan, yaitu: kekuasaan konsensus,

adalah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan bersama

antara pemimpin dan pengikut. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran

bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna

untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh

tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya.

Bentuk kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai

kemauan para pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang

bermanifestasi dalam mitologi, agama atau pernyataan-pernyataan yang

dikeramatkan dijadikan ideologi, menjadi sumber peng-absahan kekuasaan.

Berbeda dengan kekuasaan paksaan yang berdasarkan kekuatan fisik adalah

bentuk kekuasaan yang menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan

tertentu. Kekerasan fisik itu dapat berupa hukuman badaniah atau hukuman

material. Perlu di tegaskan disini bahwa dua bentuk kekuasaan tersebut tidak

perlu dipertentangkan perbedaannya melainkan harus dilihat sebagai dua pola

35 Legitimasi dalam penngertian tulisan ini adalah pengakuan bersama oleh pemimpin dan pengikutterhadap kekuasaan yang ada. Akibat dari pengakuan bersama itu ialah semua perintah dalam bentukaturan-aturan (tertulis maupun bersifat lisan) yang berasal dari pemimpim dianggap benar dan olehkarena itu diterima dan dilaksanakan oleh para pengikut (Claessen (1970:310)

36 McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.

37 Dalam Balandier (1986) Op.cit, hal 44

Page 45: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

38Universitas Hasanuddin

ekstrem pada satu kontinum38. Claessen merinci kontinum kekuasaan dalam

bentuk model seperti berikut: ”… konsep kekuasaan merupakan suatu payung

yang dibawahnya bernaung berbagai bentuk kekuasaan yang secara berangsur-

angsur dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Pada satu ujung garis kontinum

terdapat bentuk kekuasaan paksaan yang didasarkan atas kekerasan, beralih

pada bentuk ancaman dan kemudian beralih pada bentuk manipulasi.

Selanjutnya dari bentuk manipulasi beralih kepada bentuk kemampuan

meyakinkan orang lain dan berakhir pada bentuk legitimasi di ujung lain dari

garis kontinum tersebut.”

Pandangan lain mengenai kekuasaan ketika diasumsikan sebagai ajang

kompetisi dimana fungsi kekuasaan39 dilihat dalam rangka mempertahankan

kelemahan-kelemahan sebuah masyarakat, menjaga “tata aturan” yang baik dan

jika perlu, demikian perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap

perubahan yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip

dasarnya. Akhirnya, begitu terbangun hubungan-hubungan kekerabatan maka

kompetisi dapat dilihat terbangun di antara kelompok-kelompok dan individu-

individu, masing-masing mencoba mempengaruhi keputusan-keputusan yang

lahir dari kesepakatan konsensus sesuai dengan kepentingan-kepentingan

khusus mereka sendiri atau masyarakat itu. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan

politik pun muncul sebagai hasil dari kompetisi dan sebagai wadah kompetisi itu.

Satu kesimpulan bisa ditarik dari catatan awal ini, bahwa kekuasaan politik

adalah inheren dalam setiap masyarakat. Ia menumbuhkan penghormatan bagi

aturan-aturan yang menjadi landasannya, suatu bentuk kekuasaan juga mampu

38 Menurut Claessen, sifat kontinum dari dua bentuk kekuasaan itu dapat dilihat pada gejala makinmeningkatnya penggunaan kekerasan fisik pada saat makin melemahnya pengakuan terhadapkepemimpinan yang ada (Claessen dalam Claessen 1974: 40).

39 Lihat Balandier (1986), op.cit, Hal. 45.

Page 46: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

39Universitas Hasanuddin

mempertahankan masyarakat dari hal yang tidak melengkapi dari tatanannya

dan akibat-akibat dari kompetisi individu-individu dan kelompok-kelompok.

Selain konsep-konsep analisis yang sudah dibicarakan di atas, dalam

pendekatan proses juga memiliki alat analisis lain dalam mengkaji fenomena

politik, yakni konsep field dan arena40. Konsep field dapat kita terjemahkan

dengan kata medan sebagai suatu kumpulan dari semua orang yang terlibat

dalam kejadian-kejadian politik sepanjang waktu. Sedangkan konsep arena

diartikan sebagai ruang lingkup sosial dan budaya dari medan politik. Kedua

konsep akan menjadi pendekatan yang akan banyak penulis gunakan untuk

melihat realitas lapangan tidak hanya pada posisi dimana relasi dari kekuasaan

berlaku tetapi juga penggambaran digunakan untuk menjelaskan tentang bentuk

pertarungan dalam setiap proses tersebut membentuk polanya. Strategi dalam

pola tersebut dimaknai tidak semata-mata statis tetapi juga pergerakan, dimensi

pengaruh-pengaruh yang menyebabkan adanya bentuk yang tidak berada pada

polanya.

Kedua pendekatan yang telah dikemukakan diatas memang berbeda dilihat

dari konsep-konsep analisis yang digunakan serta tujuan yang ingin dicapai

dalam pengkajian masing-masing. Jika pada pendekatan struktural-fungsional

konsep-konsep struktur, fungsi, ekuilibrium merupakan konsep-konsep kunci,

maka pada pendekatan proses, konsep-konsep proses, dukungan, legitimasi,

kekuasaan medan dan arena adalah konsep-konsep kuncinya. Lebih lanjut,

tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan struktural fungsional adalah

pengkajian terhadap organisasi politik dan bentuk-bentuk dari sistem politik,

40 Metode yang serupa digunakan Swartz, Turner dan Tuden (1966) yang diulas dalam McGlynn &ArthurTuden (2000) op.cit. hal 33.

Page 47: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

40Universitas Hasanuddin

sedangkan perhatian utama dari pendekatan proses adalah cara bekerjanya suatu

sistem politik tertentu.

Pada saat muncul pertanyaan pendekatan mana yang lebih baik untuk

pengkajian politik, Claessen41 berpendapat: “…Sungguhpun pendekatan

struktural fungsional dan pendekatan proses dipertentangkan sebagai

pendekatan-pendekatan yang berbeda, namun jelas bahwa dua pendekatan

tersebut tidak bertentangan. Kehadiran struktur-struktur tidak

mengesampingkan proses-proses politik, sebab proses-proses politik semata-

mata berlangsung dalam struktur-struktur politik atau menjembatani struktur-

struktur yang berbeda”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap

pendekatan mempunyai segi kelemahan pada satu dimensi dan kekuatan pada

dimensi lainnya. Masing-masing memberikan sumbangan penting bagi

pemahaman fenomena atau dengan kata lain saling melengkapi.

Dari pengertian yang telah diutarakan diatas, penulis mengupayakan

kombinasi pemahaman dalam menggambarkan struktur masyarakat di

kabupaten Wajo yang diarahakan pada langkah penelitian pemetaan bentuk

stratifikasi sosial kelompok-kelompok ataupun individu-individu (status sosial),

tatanan yang terbangun dari kekerabatan dan bentuk jaringan yang terdapat

didalamnya. Tetapi tidak hanya pada batasan dimana struktur itu terbentuk,

penulis juga menggambarkan bagaimana struktur itu bekerja melalui individu

atau kelompok begitupun sebaliknya. Dengan mengasumsikan upaya

menjembatani dikotomi individu dengan objek dengan tidak memisahan perilaku

beserta sifat-sifat subjektifitas individu yang menyertai didalamnya dengan

jaringan struktur yang membangun pola objektifitasnya dalam tatanan sosial.

Dengan pengertian ini, memudahkan penulis untuk menggambarkan bentuk

41 Claessen (1987), op.cit, Hal. 28

Page 48: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

41Universitas Hasanuddin

proses yang tidak terputus dari sumbernya atau berkesinambungan dengan

melakukan penafsiran terhadap beberapa catatan tentang bentuk-bentuk dan

cara masyarakat dalam kondisi sosial yang ada sebelumnya untuk menemukan

bagiamana perubahan berlaku tetapi tetap memperhatikan bentuk yang

sebenarnya tidak hanya menyesuaikan tetapi juga nampak seperti “selalu lahir”

di setiap kondisi sosial budaya dalam periode sejarah tertentu.

B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian.

Pendekatan yang mengkaji masalah sejarah/histori dan beberapa

pendekatan dalam antropologi mengenai praktik politik dan kekuasaan memiliki

kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pendekatan antropologi yang pada

awalnya sangat terpengaruh pada metodologi yang berorientasi sinkronik

mempunyai kelebihan pada wilayah aspek local or social depth42 yang dengan

menggunakan metode dapat dengan jelas dikemukakan penggambaran mengenai

kedalaman lokal/sosial dalam realitas masyarakat yang dikaji. Namun pada

aspek penelitian lapangan, pendekatan penelitian yang bersifat sinkronik

memiliki kelemahan dalam memberikan penggambaran mengenai masyarakat

yang hidup pada masa-masa sebelumnya atau seperti yang dikutip Rudiansyah

dalam Vansina yakni ‘timeless present’ atau ‘the zero-time fiction’43 tentang

kelemahan pendekatan penelitian antropologi yang mengabaikan aspek

kesejarahan berpengaruh pada putusnya beberapa elemen yang membentuk

unsur dalam perkembangan struktur sebuah masyarakat dimana ia berasal.

42 Istilah yang digunakan Burke (1990) dalam uraiannya tentang masalah yang dihadapi pengkajiansejarah, sehingga memunculkan suatu upaya kombinasi pendekatan untuk memecahkan masalahpemahaman antara kondisi masyarakat pada suatu masa dan masa dimana masyarakat itudianalisis. Konsep ini juga lebih menyerupai oleh yang diungkapkan Geertz ‘michroscopic study’.Dalam Rudiansyah (2009), Op.cit, Hal. 8

43 Lihat Rudiansyah, Op.cit, Hal. 17

Page 49: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

42Universitas Hasanuddin

Dalam penelitian bersifat etnografis untuk mendapatkan penggambaran

menyeluruh yang menjadi ciri khas dari metodologi dalam pendekatan

antropologi diperlukan kombinasi dengan penelitian yang bersifat sejarah,

bahkan hal ini diperlukan guna mensyaratkan suatu bentuk penelitan lapangan

yang menyeluruh44. Kecenderungan kesenjangan antara kedua pendekatan pada

posisi tertentu selayaknya diakomodasi, apalagi pada penjelasan sebelumnya

bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-

masing. Pendekatan etnografis akan memberikan kedalaman lokal/sosial (local

or social depth), sedangkan pendekatan historis akan memberikan suatu

kedalaman historis (historical depth). Dengan kombinasi kedua pendekatan

tersebut dapat memberikan penggambaran secara terkait antara struktur dalam

sebuah proses dan bagaimana proses dalam mengkonstruksi tatanan struktur

seperti yang dibahas dalam sub-bab sebelumnya dan pemikiran ini merupakan

upaya yang dimaksud Rudiansyah dalam penelitiannya di Buton yang juga

berupaya memberikan argumentasi kerangka deskriptif mengenai sebuah proses

dalam historicization of anthropology dan anthropologization of history45.

Perkembangan yang menarik dewasa ini adalah semakin munculnya

berbagai penelitian yang mengkombinasikan kedua disiplin ilmu ini46, bahwa

kebudayaan terbentuk melalui rentetan atau proses dalam dinamika yang terjadi

dalam sejarah, sebaliknya sejarah juga terwujud melalui mediasi dalam

44 Ibid, Hal. 1745 Ibid, Hal. 1846 Seperti penelitian yang di lakukan Tony Rudiansyah di Buton yang kemudian diterbitkan pada

tahun 2009 (Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya) danTasrifin Tahara yang juga melakukan penelitian di Buton dalam mengkaji keterkaitan sejarahdengan pelapisan sosial yang memunculkan reproduksi stereotipe yang berpotensi konflik antarlapisan sosial dalam disertasi tahun 2010 (Reproduksi Stereotipe dan Resistensi OrangKatobangke Dalam Struktur Masyarakat Buton) Universitas Indonesia, serta penelitian yangjauh sebelumnya yang dilakukan oleh Mattulada yang juga menngkaji tentang dasar-dasarpemikiran dari kebudayaan orang Bugis dalam berpolitik (Latoa: Suatu Lukisan AnalitisTerhadap Antropologi Politik Orang Bugis) yang diterbitkan bukunya pada tahun 1995,Universitas Hasanuddin Press.

Page 50: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

43Universitas Hasanuddin

kebudayaan. Dari kesimpulan tersebut dapat kita asumsikan bahwa diantara

keduanya telah terjadi dialektika antara pelaku-pelaku sejarah (aktor) dan

struktur dalam suatu tatanan kebudayaan, tetapi dalam asumsi ini tidak ada

maksud untuk melakukan benturan antara aktor dengan struktur seperti yang

sering diwacanakan sebagai dikotomi yang terlalu dilebih-lebihkan bahkan

nampak seperti sulit menemukan perbedaan kedua dikotomi aktor dan struktur

dalam realitas masyarakat. Setiap maksud dan tujuan individu pada dasarnya

selalu ditafsirkan secara budaya, sebaliknya kebudayaan seperti struktur

pemaknaan, nilai-nilai dan ideologi pada dasarnya selalu di ekspresikan ke dalam

pikiran dan perilaku individu yang menafsirkannya.

Pada kerangka pemikiran yang serupa, Mattulada juga mengajukan tesenya

tentang konsepsi ‘transformasi’ yang dipergunakan untuk menerangkan tentang

adanya kesinambungan unsur-unsur lama dari suatu kebudayaan yang tetap

mempertahankan diri dalam proses dimana terjadi proses pembauran unsur-

unsur baru dalam ranah kebudayaan47. Suatu pendekatan yang banyak

menggunakan catatan sejarah seperti yang ia gunakan dalam menelaah naskah-

naskah Lontara’, catatan perjalanan, catatan sejarah yang dibukukan oleh

seorang pencatat atau penulis yang berada di suatu periode peristiwa pada masa

lampau seperti yang di lakukan pemerintah kolonial Belanda pada masa

pendudukannya di kepulauan Indonesia yang sedikit banyak menceritakan

berbagai peristiwa sebagai suatu bentuk kebudayaan orang Bugis guna digunakan

sebagai bahan dalam menyusun sistem administrasi kolonial di daerah jajahan.

Dari naskah tersebut didapatkan gambaran bagaimana suatu peristiwa dalam

tempo waktu tersebut dalam sistem pemaknaannya, didapatkan pula mengenai

47 Dijelaskan Mattulada pada pendahuluan tulisannya dalam Latoa: Suatu Lukisan Analitis TerhadapAntropologi Politik Orang Bugis, Op.cit Hal. 1

Page 51: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

44Universitas Hasanuddin

gambaran-gambaran struktur, stratifikasi sosial, nilai-nilai dan tata tradisi yang

terkonstruksi dan telah melewati beberapa proses perubahan dalam dinamika

perkembangannya. Namun, seperti yang dilakukan Mattulada bahwa inti dari

penelusuran naskah-naskah tersebut adalah bagaimana upaya dalam penelitian,

ditarik suatu kesimpulan yang memiliki relasi dari aspek kesejarahan yang tidak

terlepas dari dinamikanya terhadap kondisi masyarakat yang ada pada masa

penelitian dan dilakukan. Dalam pengkajian masalah politik dan kekuasaan,

penelitian Mattulada terarah pada bagaimana konstruksi tatanan berpikir orang

Bugis yang didasari dari hasil penafsiran terhadap konsepsi Latoa48 yang

didalamnya terkandung beberapa cara orang Bugis dalam sistem politik dan

kekuasaanya dimasa lampau, memahami penerimaan suatu kelompok individu

atas suatu kekuasaan, ketaatan, dan respon yang diberikannya kepada suatu

bentuk kepemimipinan, serta sifat-sifat kepemimpinan yang ditaatinya

berdasarkan suatu sistem nilai yang hidup dalam kebudayaanya. Dengan

mengungkap dan menelaah naskah-naskah dalam Lontara’ yang dilakukan

Mattulada yang secara fundamental memberikan relasi yang ketat antara sejarah

dengan kondisi sosial-budaya dalam perpolitikan dimana terlihat adanya upaya

pemahaman orientasi penelitiannya tentang kedudukan, peranan, jalan pikiran

dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara.

Dengan demikian praktik politik dengan penggunaan status sosial seorang

individu dalam struktur yang dijadikan sebagai model praktik politik dan

kekuasaan yang menjadi perihal pokok pemikiran dalam tulisan ini, dilihat

sebagai tak terpisahkan dari dialektika kebudayaan dan sejarah serupa itu. Lebih

48 Latoa merupakan Lontara’ atau naskah berbahasa Bugis yang berasal dari kerajaan Bone.Penulisannya diperkirakan pada masa pemerintahan raja Bone ke 7 sekitar awal abad ke-15.Menurut beberapa keterangan Latoa merupakan penncatatan dari pembicaraan Raja Bone danPenasehatnya pada masa itu. (Lihat Mattulada dalam Latoa, Hal. 79)

Page 52: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

45Universitas Hasanuddin

tepatnya apa yang di kemukakan Rudiansyah tentang pergeseran kerangka

pemikiran dalam kajian antropologi yang tadinya bersifat deskriptif dan

kondisional menuju kepada suatu model yang lebih bersifat reflektif (dalam arti

lebih melihat kebudayaan sebagai konstruksi yang lahir dari perenungan si

peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya).

Di awal tulisan ini, telah dikemukakan sebelumnya tentang upaya

penggambaran konstruksi dan tatanan dalam historitas orang Bugis Wajo, serta

berupaya untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan

pola tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari

nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang Bugis Wajo dalam ruang

lingkup kebudaayannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian

tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap

berbagai aspek dan nilai budaya lokal49 masyarakat pada era reformasi dewasa

ini memerlukan pengamatan yang cermat untuk mendapatkan bagian dari

penggambaran kebudayaan yang terkait dengan praktik-praktik politik dan

kekuasaan, apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih

dipegang teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya

mengatasi dampak perkembangan zaman.

Penelusuran naskah dalam Lontara atau naskah sejarah-sejarah lainnya

ditekankan pada perihal struktur pemaknaan dalam tradisi, adat istiadat dalam

nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa yang diceritakan dalam naskah,

semisal pada kronik raja-raja pada masa lampau50. Nilai-nilai budaya sebagai

pedoman yang memberikan arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat sangat

49 Muhammad Ramli (2008:1) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yaknipappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakanpublik.

50 Lihat Eliza Maiyani (Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis Bone” Disertasi) Tahun 2008.Op.cit, Hal. 92

Page 53: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

46Universitas Hasanuddin

umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bersifat khusus,

sedangkan perumusannya biasa sangat terperinci, jelas, tegas, dan tak

meragukan51. Dari perspektif antropologi, adat istiadat merupakan yang

merupakan endapan dari nilai-nilai kultural yang menjadi acuan setiap individu

dalam bertindak masyarakat setempat. Karena sifatnya sebagai pedoman, adat

mengikat setiap kelompok dalam melaksanakan aktifitasnya.

Bagi masyarakat yang terikat dengan adat-istiadat, status sosial seseorang

ditentukan oleh apa yang sudah menjadi adat dan dilaksanakan sesuai dengan

adat. Karena pentingnya adat-istiadat dalam masyarakat, maka adat yang

merupakan produk budaya yang dijadikan oleh setiap orang untuk bertindak.

Pada masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Bugis pada umumnya mengenal

adat yang sering di istilahkan Panggadereng. Konsepsi Panggadereng dalam

masyarakat Bugis pada umumnya merupakan pola dasar dalam tatanan

kehidupan yang berisi norma kehidupan yang dapat menuntun manusia

mencapai kesempurnaan hidup52. Oleh karena itu, adat istiadat dalam

masyarakat tertentu merupakan standar kelakuan yang ada dalam bahasa

antropologi merupakan salah satu institusi sosial (social institution) atau biasa

dikonsepsikan “social capital” dalam studi sosiologi.

Dalam masyarakat yang sederhana, dimana sejumlah pranata dalam

kehidupan masyarakat masih sedikit, dan dimana jumlah norma dalam suatu

pranata juga kecil, maka satu orang ahli adat dapat mencakup pengetahuan

mengenai suatu norma dalam banyak pranata, bahkan seringkali semua pranata

yang ada dalam masyrakatnya sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat yang

kompleks dimana jumlah pranatanya yang diikuti dengan norma-normanya yang

51 Koentjaraningrat (1981: 195) dalam Meiyani, Ibid, Hal.90

52 Meiyani (2008), Ibid, Hal. 93

Page 54: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

47Universitas Hasanuddin

begitu banyak pula, seorang ahli seperti “ahli adat” dalam masyarakat yang

sederhana, tak dapat lagi menguasai seluruh pengetahuan mengenai semua

sistem norma yang ada dalam kehidupan masyarakat. Demikian ada ahli-ahli

khusus mengenai beberepa norma yang inheren dalam pranta-pranata.

C. Wujud Budaya dan Bentuk Praktik Politik Lokal

Ranah politik secara umum tidak dapat dipisahkan dengan unsur

kebudayaan manusia yang merupakan bagian tata perilaku berorganisasi dari

keseharian suatu masyarakat. Budaya politik muncul dalam bentuk interaksi

antar masyarakat sebagai warga negara dengan pemerintah, dan institusi-

institusi di luar pemerintah (non-formal), dan inilah yang kemudian

menghasilkan dan membentuk keberagaman dalam pendapat, pandangan dan

pengetahuan tentang praktik-praktik politik dalam semua ranah politik. Oleh

karena itu seringkali kita bisa melihat dan mendapatkan fenomena-fenomena

yang menarik ketika bersentuhan dengan pengetahuan-pengetahuan, perasaan

dan sikap masyarakat terhadap negaranya, pemerintah, pemimpin dan lain

sebagainya.

Munculnya konsepsi budaya politik dalam kelompok masyarakat tertentu

merupakan implikasi dari pemahaman kebudayaan setempat yang lebih

kompleks dalam warna pada pandangan dan cara masyarakat tersebut

memainkan perannya dalam pranata politik. Pada era modern ini, kekhasan

tersebut muncul dalam cara masyarakat lokal semisal dalam cara suatu kelompok

masyarakat mengelola pengetahuan mereka dan cara mereka menghadapi

masalah dalam praktik politik seperti masalah dalam legitimasi, pengaturan

kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, kegiatan kelompok politik (partai,

NGO, dsb), perilaku aparat negara.

Page 55: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

48Universitas Hasanuddin

Meski dalam sistem kenegaraan yang ada di Indonesia berlaku sistem

politik yang lebih banyak dipinjam dan berasal dari luar negeri, tetapi

karakteristik budaya lokal dalam orientasinya dengan praktik politik justru

menyesuaikan dan malah menyuburkan praktik-praktik budaya lokal di

Indonesia dengan kebaragaman kebudayaan di setiap sudut wilayahnya. Budaya

politik53 sebagai suatu sikap orientasi yang khas masyarakat terhadap sistem

politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan suatu individu

yang ada dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola

orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat suatu bangsa. Lebih

jauh dikatakan, bahwa negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan

simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka

miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat

dan peranan mereka didalam sistem politik54.

Bentuk budaya lokal yang mendorong praktik politik suatu masyarakat

menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi

seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan

(konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap pergerakan/mobilitas,

prioritas dalam melahirkan kebijakan55. Dengan pemahaman ini, memberikan

suatu konsepsi yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan

individu. Dengan pemahaman yang bersifat individual ini, bukan berarti bahwa

dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan

cenderung dan bercorak individualisme. Tetapi dalam pandangan ini melihat

53 Almond dan Verba yang banyak terinspirasi dari teori Struktural-fungsional Malinowski danRadcliffe Brown, tentang bagaimana masyarakat kemudian bersikap dengan nilai-nilai yang merekamiliki kemudian dioperasionalkan dalam pranata-pranata yang ada dalam kebudayaanya, termasukpranata politik. (Almond & Verba 1984 “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5Negara)

54 Almond dan Verba (1984), Ibid hal 8355 Almond dan Verba (1984), Ibid hal 153

Page 56: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

49Universitas Hasanuddin

aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya

fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari

sikap individual.

Pada pengkajian kebudayaan yang umumnya dilakukan melalui disipilin

ilmu sosiologi, antropologi, dan psikologi, banyak membicarakan tentang

fenomena masyarakat, tetapi selain daripada itu, dalam membicarakan politik

ini, kebudayaan merupakan faktor yang sangat penting karena mengkaji berbagai

pola perilaku seseorang atau pun sekelompok orang (seperti kelompok etnis)

yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelengaraan

administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat-istiadat, dan norma

kebiasaan yang berjalan, berpikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota

masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang

peradaban.

Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, tentu sulit sekali, tetapi inilah

yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang diwarisi nilai-nilai luhur

nenek moyang. Untuk itu, perlu utarakan dalam bagian ini mengenai sub-sub

kultur yang terdapat di Indonesia. Budaya kedaerahan yang mempengaruhi

masing-masing suku dalam khasanah budaya Indonesia yang kaya ini dapat

dirumuskan. Inilah yang disebut oleh Mpu Prapanca beberapa abad yang lalu

sebagai “Bhinneka Tunggal Tan Hanna Mangrwa”56.

Budaya kedaerahan akan diuraikan berikut, baik yang bersifat kawula gusti

dalam kebudayaan orang-orang Jawa maupun yang bersifat partisipan, di satu

segi masih akan ketinggalan dalam menggunakan hak dalam memikul tanggung

jawab di bidang politik, yang disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar,

56 Pembahasan Didin Saepuddin dengan memberikan beberapa kategorisasi terhadap budaya didaerah dan kaitannya dengan sistem politik yang dianut Indonesia saat ini (Budaya PolitikIndonesia, artikel), Op.cit, Hal 2.

Page 57: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

50Universitas Hasanuddin

pengaruh penjajahan, nepotisme, primordialisme, dan feodalisme. Namun bukan

berarti kita menggugurkan ciri asli kedaerahan. Berikut berbagai budaya politik

yang ada dalam masyarakat Indonesia berdasarkan daerahnya

Budaya Politik Jawa: Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji

dari etika Jawa, yang terkenal tabah juga ulet. Mereka memang sudah sejak dulu

terpatri dengan kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup.

Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut

“nrimo” (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam meniadakan

kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah “ojo

dumeh” (jangan mentang-mentang). Bila menghormati orang yang dituakan, lalu

mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan dibenamkan dalam-dalam

apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut

“mikul dhuwur mendem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam).

Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah “mangan

ora mangan pokok-e kumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul).

Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian

memerlukan waktu, mereka beristilah “ alon-alon waon kelakon” (pelan-pelan

asal tercapai). Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan

bertindak, walaupun terhadap bawahan sekali pun, mereka memberi istilah

“ngono yo ngono, ning ojo ngono”. Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama

walaupun terhadap pihak yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah

“ngluruk tanpa bolo, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake”.

Dalam politik orang Jawa relatif lebih merendah dibandingkan suku-suku

lain di Indonesia, yang terwujud dari bagaimana cara mereka memasang keris.

Bila orang Bugis-Makassar, Minangkabau, Banjarmasin, dan Aceh, masing-

masing menyelipkan badik, keris, mandau, dan rencong mereka pada dada dan

Page 58: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

51Universitas Hasanuddin

perut (di depan) maka orang Jawa menyimpan kerisnya di punggung (di

belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang menilai

kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang Jawa lebih senang berkelahi

dari belakang dari pada berhadap- hadapan.57

Budaya Politik Minangkabau: Budaya politik partisipan sebenarnya dapat

dikaji dari Ranah Minangkabau, mengapa orang Padang terkenal ulet besilat

lidah dan tidak mau mengalah karena di dalam berpetatah-petitih, mereka sudah

sejak dulu mempunyai pandangan tentang filsafat hidup, termasuk dalam hal

kepemimpinan. Dalam mempertahankan gengsi, kewajiban, dan persamaan

derajat, mereka mengatakan “tagak samo tinggi, duduak samo rendah”

(berdiri/tegak sama tinggi, duduk sama rendah). Begitu pula dalam mengelola

kehidupan mereka berpedoman : “nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di

nan manang, nak cadiak sungguah baguru, nak kayo kuak mancari” (agar

menjadi orang yang mulia berlakulah yang baik, ingin maju teladanilah orang

yang telah berhasil, ingin pintar belajar sungguh-sungguh, ingin kaya harus

kuat/ulet berusaha).

Untuk pemanfaatan tenaga kerja, mereka mengatakan bahwa, “nan buto

paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan

binguang disuruah-suruah, nan kuek pambao beban, nan cadak lawan

berundiang” (yang buta menembus lesung, yang tuli pelepas badil/menembak,

yang lumpuh penunggu rumah, yang menganggur untuk disuruh-suruh, yang

kuat pembawa beban/barang, yang pintar untuk lawan berunding). Hal ini

sejalan dengan peredaman emosi antusiasme, yaitu “ mamanjang sarantang

tangan, mamikua sakuek bahu, malampek saayun langkah, bakato sapanjang

aka” (memanjang serentang tangan, memikul sekuat bahu, melompat seayun

57 Ibid, Hal. 21

Page 59: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

52Universitas Hasanuddin

langkah, berkata sepanjang akal). Bagi penyesuaian diri mereka berpedoman

pada “bakato di bawah-bawah,mandi di ilia-ilia” (berkata di bawah-bawah,

mandi di hilir-hilir) sehingga tepat dengan usaha mempertahankan prinsip, yaitu

“baa di wang baitu pulo di awak, talanjuakluruih kalingkiang bakaik”

(bagaimana halnya pada orang begitu pula pada kita, telunjuk lurus kelingking

berkait).

Penggambaran posisi pemimpin pemerintahan diibaratkan pohon beringin,

yaitu “daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahannyo

tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo” (daunnya tempat berlindung,

batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat

bersila). Namun demikian tetap diperlukan introspeksi diri sebagai berikut : “

kok kuek urang indak ka balinduang, kok bagak urang indak kabaparang” (jika

kaya orang tidak akan meminta, jika pintar /cerdik orang tidak akan bertanya,

jika kuat orang tidak akan berlindung, jika berani orang tidak akan

berkelahi/berperang). Dalam hubungan dan komunikasi kepemimpinan dengan

bawahan mereka berpedoman “duduak surang basampik-sampik, duduak

basamo balapang-lapang” (duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama

berlapang-lapang). Itulah sebabnya setelah kekalahan dalam peristiwa PRRI

orang awak ini sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan antara pemerintah

daerah dan pemerintah pusat.58

Budaya Politik Aceh: Orang Aceh lebih suka dikatakan sebagai penjahat

ketimbang dinilai telah meninggalkan agama Islam karena sudah begitu terpatri

dalam darah daging budaya Aceh. Masyarakat Aceh cukup eksis dalam hidupnya

serta memiliki ketersinggungan jiwa yang sensitif. Berkenaan dengan hasrat hati

masyarakat Aceh dalam menantang perjuangan dengan gigih mereka bersendi

58 Ibid, Hal 25

Page 60: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

53Universitas Hasanuddin

pada istilah “de teuron dari rumoh neugisa ngon darah” (maksudnya: kalau

turun dari rumah jangan harapkan pulang nama, tetapi harus tetap pulang

darah). Hal ini dekat dengan ayat Al Quran yang mengatakan “Faa-izza azamta

fa tawaqal allallah” (artinya, apabila engkau telah membulatkan tekad maka

serahkanlah kepada Allah SWT.).

Sejarah memang telah membuktikan perjuangan rakyat Aceh melawan

penjajahan Belanda. Kaum kolonialisme begitu sukar menembus daerah ini,

kecuali mengelabuhi para syuhada Serambi Makkah ini. Namun demikian,

sebagai akses dari keuletan daerah ini, mereka tampak eksistensialis ketimbang

fatalisme; jihad diperlukan lebih mutlak ketimbang sufisme, bahkan tariannya

saja alat gendering hampir tidak diperlukan karena cukup memukul dada. Di

kampung-kampung tidak ditemui rumah ibadah agama lain selain masjid, tetapi

untuk memusnahkan ladang ganja pemerintah harus campur tangan. Untuk itu

dalam penyelenggaraan politik diperlukan pendekatan religi. Namun sayang rasa

kecewa masyarakat Aceh sudah tertimbun sehingga mereka tidak lagi berharap

untuk menerima Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam.59

Budaya Politik Bali: Unsur kehidupan masyarakaat dan kebudayaan di

Bali, berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur yang berasal dari

budaya agama Hindu Jawa, terutama berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan

Singosari dan Majapahit. Hal ini tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh

pedanda, nama-nama yang menunjukkan kasta, upacara pembakaran mayat,

berbagai tarian dan arsitektur bermotif Hindu. Ini berpengaruh pula dalam

budaya politik. Namun kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi

tradisi modern, sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh

banyaknya wisatawan asing dan domestik yang masuk ke Bali. Dengan demikian,

59 Ibid, Hal 28

Page 61: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

54Universitas Hasanuddin

pendidikan dan budaya serta pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak

membawa perubahan, terutama dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang paling

penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah adanya asas gotong

royong, baik sebagai nilai budaya maupun dalam sistem perilaku. Gotong royong

telah menjadi landasan dari berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali sehingga

tampak sangat mengerakan kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat

Bali. Bentuk gotong royong tersebut diberi berbagai istilah dalam kehidupan

sehari-hari, sebagai contoh yaitu : (1) Ngoupin (gotong royong antarindividu atau

keluarga); (2) Ngedeng (gotong royong antar perkumpulan); (3) Ngoyah (gotong

royong untuk keperluan agama).

Itulah sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk

memisahkan diri dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, rasa

kegotongroyongan mereka terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati

kesempatan untuk hal tersebut memungkinkan melihat potensi pariwisata yang

mereka miliki. Bayangkan betapa banyak para turis dari manca negara yang

mengatakan “see Bali before your die” artinya bila meninggal orang perlu

mendambakan surga maka sebelum mati orang perlu mendambakan Bali. Sayang

keberadaan kasta yang sebenarnya adalah untuk menentukan tingkat

pemahaman seorang umat Hindu, dimodifikasi oleh penjajah asing menjadi kelas

dalam masyarakat.60

60 Ibid Hal 29

Page 62: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

55Universitas Hasanuddin

D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik.

Beberapa pemahaman mengenai stratifikasi sosial oleh beberapa teoritis

(Talcott Parson, Weber, K. Marks & Petirim Sorokin)61 mengungkapkan tentang

adanya pola pelapisan sosial dalam masyarakat yang terbentuk sebagai implikasi

dari hubungan-hubungan ekonomi seperti kepemilikan atau harta kekayaan dan

ada pula yang terbentuk karena seseorang memiliki sesuatu yang dihargai atau

dibanggakan dalam jumlah lebih daripada yang lainnya. Beberapa pendapat

tentang penyebab stratifikasi sosial tersebut menunjukkan bahwa hal yang

dimaksud sangat penting dibahas dalam kaitannya dengan masalah pengaruhnya

dalam praktik politik dalam setiap pelapisan sosial yang ada dalam struktur suatu

masyarakat. Pengetahuan mengenai pelapisan sosial berati mengetahui dan

mencari latar belakang pandangan, perspektif atau sifat-sifat yang mendasari

kebudayaan dari suatu masyarakat. Selain itu, mengetahui pelapisan masyarakat

dapat ditemukan penggambaran tentang bentuk hubungan-hubungan, kejadian-

kejadian dalam peristiwa yang ada dalam masyarakat yang kemudian pada

orientasinya ditujukan tentang pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk tingkah

laku segenap individu atau kelompok dalam masyarakat.

Terkait masalah pelapisan sosial, dalam kebudayaan Bugis yang sarat

dengan pengaruh tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan

adanya pelapisan sosial berdasarkan kekerabatan. Pada periode tertentu dalam

sejarahnya dimana kemunculan stratifikasi sosial ini diuraikan dalam cerita epos

La Galigo62 yang menceritakan tentang mitos tentang nenek moyang orang Bugis

yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang

“berdarah putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang

61 Lihat Soerjono Soekanto (Beberapa teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, CV. RajawaliJakarta, 1983) Hal. 254-255

62 Lihat Pelras (Manusia Bugis),Op.cit Hal. 196;2006

Page 63: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

56Universitas Hasanuddin

”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Ditekankan

kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur.

Meskipun konsepsi aturan strata dalam kebudayaan Bugis ini sudah semakin

longgar bahkan sudah tidak ditemukan lagi seiring waktu bergulir.

Pada sistem kekerabatan yang cikal bakal pelapisan sosial dikenal

beberapa prinsip dalam karya pertama yang fundamental tentang sistem

kekerabatan masyarakat manusia bersumber dari beberapa ahli antropologi

(J.Lubbock; J.J. Bachhofen; J.F. McLennan; dan G.A. Wilken)63. Inti dari semua

tulisan tentang semua sistem kekerabatan tersebut jika dilihat dari perspektif

antropologi sosial memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan

untuk bertindak baik dalam kelompok maupun diluar kelompok. Beberapa

prinsip pokok yang dapat ditarik dari berbagai sistem-sistem kekerabatan yang

dianut dari beberapa kelompok masyarakat yaitu: Pertama, sistem kekerabatan

masyarakat manusia bersifat dinamis dari satu pola ke pola selanjutnya sesuai

dengan perkembangan kebudayaannya; Kedua, dalam sistem kekerabatan

berlaku stratifikasi sosial dalam pembentukan dan pengembangan keluarga;

Ketiga, adanya pengaruh adat istiadat terhadap pembentukan dan

pengembangan sistem kekerabatan; Keempat, sistem kekerabatan dipengaruhi

oleh unsur mitos baik dalam pembentukan dan pengembangan kekerabatan;

Kelima, dalam sistem kekerabatan dikenal konsep keluarga inti dan bukan

keluarga inti64.

Dalam konsepsi kelompok sosial juga, seseorang dikatakan berkerabat

apabila orang tersebut mempunyai hubungan “darah” dengan seorang individu

63 Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi,Pokok-pokok Etnografi II, op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142

64 Kesimpulan dari tese Koentjaraningrat tentang sistem dan pola-pola dalam kekerabatan yangdiajukan Meiyani dalam Disertasinya “Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan” , Op.cit, Hal. 91.

Page 64: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

57Universitas Hasanuddin

tadi baik melalui ibunya maupun melalui ayahnya. Terbentuk hubungan darah

antara satu orang dengan orang lain yang jumlahnya banyak, namun seseorang

dapat mengenali silsilah kekerabatannya berdasarkan “kekerabatan biologis” dan

dapat membedakannya dengan “kekerabatan sosiologis”65. Selain itu, hubungan

kekerabatan biologis dapat diketahui dari ciri-ciri tertentu seperti dapat menjadi

ahli waris, berhak atas suatu gelar, berhak atas kedudukan tertentu dalam

masyarakat dan lain sebagainya66. Oleh sebab itu dalam menetunkan posisi

seseorang dalam suatu sistem kekerabatan berlaku beberapa prinsip keturunan

yang dapat menjadi acuan menentukan posisi seseorang agar dapat digolongkan

sebagai kerabat.

Munculnya pelapisan sosial juga dapat disebabkan karena kedudukan

seseorang dalam masyarakat yang ditentukan berdasarkan besar kecilnya

kekuasaan, kekayaan, kepandaian, keterampilan, pengetahuan, atau kombinasi

dari hal-hal tersebut sehingga menentukan posisi atau statusnya dalam pelapisan

sosial. Perihal ini juga dipertegas oleh Koentjaraningrat67 dengan mengemukakan

tentang sebab-sebab terjadinya pelapisan sosial seperti adanya: (1) kualitas serta

keahlian, (2) senioritas, (3) keaslian, (4) hubungan kekerabatan dengan kepala

masyarakat, (5) pengaruh dan kekuasaan, (6) pangkat, dan (7) kekayaan. Dari

keseluruhan faktor penyebab terjadinya pelapisan sosial dapat dilihat dari

sejumlah masyarakat didunia, seperti pelapisan sosial masyarakat Bugis yang ada

di Sulawesi Selatan yang menjadi cikal bakal munculnya kecenderungan tatanan

sosial yang bersifat patronase yang didasarkan pada faktor kekerabatan dalam

pelapisan kaum bangsawan Bugis serta bagaiamana lapisan sosial ekonomi

menengah dalam memunculkan diri yang membentuk suatu kelompok lapisan

65 Meiyani (2008) Ibid, Hal. 9666 Koenjraningrat (1988: 197) dalam Meiyani (2008:104)67 Koentjaraningrat (1988: 158) dalam Meiyani (2010: 109)

Page 65: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

58Universitas Hasanuddin

tersendiri dalam bentuk-bentuk patronase dan kesemuanya berimplikasi pada

bagaimana pola-pola tatanan masyarakat Bugis dalam pemahaman dan praktik-

praktik dalam kebudayaanya yang dalam penulisan ini akan banyak dikaitkan

tentang bagaimana impilikasinya dalam fenomena politik dan kekuasaan yang di

masyarakat Bugis Wajo.

Untuk menelaah dan memetakan hirarki dalam masyarakat tradisional

Bugis maka umumnya ditemukan beberapa simbol-simbol tertentu yang

menunjukkan status sosial mereka68. Dengan simbol ini maka masyarakat

kemudian mengetahui bagaimana mereka berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan

tata cara berperilaku yang seharusnya menurut nilai-nilai sosial yang telah

ditetapkan. Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis yaitu

kedudukan status seseorang berdasarkan “warna darah” atau keturunan

berdasarkan kekerabatan dan kedua adalah tatanan sistem pemerintahan yang

terdiri atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing.

Mengenai masalah teritorial dan wilayah hukum, pendapat ini diperkuat oleh

penggambaran Korn & Ossenburggen69 tentang wilayah di Sulawesi Selatan yang

ditemukannya daerah yang benar-benar merupakan kota hingga abad ke-17.

Makassar sebelum diambil alih oleh pemerintah Belanda bukanlah kota yang

menyatu, melainkan kompleks yang terdiri dari desa-desa yang tersebar di antara

sawah dan perkebunan kelapa dan tergabung dalam wilayah atau domain

(seperti dalam istilah yang dikemukakan Pelras) yang berbeda dan dibawah

penguasa-peguasa yang berbeda. Diwilayah pedalaman kerajaan, tempat

pemukiman kepalanya hanyalah sebidang tanah yang dilindungi lereng bukit

68 Lihat Pelras (2006: 196) tentang tanda-tanda status dalam masyarakat Bugis Tradisional

69 Lihat Pelras dalam kumpulan tulisan yang disunting Kathryn Robinson & Mukhlis Paeni, Tapak-tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Inninawa. 2006.Op cit, Hal 48.

Page 66: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

59Universitas Hasanuddin

tanah, melingkupi ladang, kebun, taman dan beberapa rumah panggung yang

mudah dipindahkan.

Pelras70 juga mengemukakan ciri dari desa dalam masyarakat Bugis yang

tidak mengenal komunitas desa sebagaimana digambarkan desa di Bali, sehingga

bentuk kekuasaan pemimpin dalam desa pun bebeda. Namun dewan penasehat

ditemukan ditingkat yang lebih tinggi yakni wanua (wilayah) yang berada

dibawah pemerintahan seorang arung (penguasa), sehingga hal inilah yang

mengantarkan penggambaran penulis tentang adanya karakteristik pembagian

kekuasaan yang berasal dari bentuk kerajaan federasi dalam sejarah orang Bugis

yang berbicara tentang demokrasi aristokrat seperti yang penulis kutip dari

Pelras diawal tulisan. Adalah pada masa kerajaan Wajo pada yang memiliki

prinsip kerajaan federasi yang secara turun menurun menjadi prinsip dan adanya

keberadaan jaringan penguasaan dalam setiap teritorial, hubungan kekuasaan

pemimpin dan pengikut serta hubungan politik yang ada dalam setiap wanua

yang dianalogikan tidak lain menyerupai sebuah negara bagian.

Implikasi dari pola-pola seperti yang digambarkan diatas adalah

kecenderungan terjadinya persaingan atau perselisihan antar mereka yang

sederajat dan kadangkala terbangun asosiasi atau bentuk-bentuk relasi

kerjasama antar strata sosial, baik yang sederajat ataupun yang tidak sederajat.

Hingga pada titik tertentu akan terjadi afiliasi-afiliasi atau bisa dikatakan

hubungan persekutuan antar kelompok atau antar individu untuk merealisasikan

atau mempertahankan suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pada

fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut

patron-klien.

70 Pelras (2005) Op.cit Hal. 48

Page 67: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

60Universitas Hasanuddin

E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien

Sistem kekerabatan orang Bugis karena menganut sistem kekerabatan

bilateral, tidak mengarah pada pembentukan kelompok kekerabatan yang ketat,

juga tidak mengenal kelompok bilateral yang mengakui nenek moyang bersama

seperti yang dianut dalam sistem kekerabatan orang-orang di Toraja. Sebaliknya

dalam sejarahnya, orang Bugis terstruktur oleh sistem jaringan patron-klien yang

dibarengi dengan pola kekerabatan yang begitu meresap dan saling berpautan.

Pada dasarnya, sifat dari hubungan antara seorang pemimpin dan pengikutnya

adalah hubungan antara individu71.

Implikasi dari tatanan masyarakat dengan pola pemimpin-pengikut,

adalah relasi antar individu yang menempatkan masyarakat situasi dimana

kelompok lapis atas mereproduksi status ataupun sifat hak istimewa dari seorang

keturunan bangsawan. Penempatan status sosial oleh kalangan lapis atas sebagai

suatu previlese atau hak memimpin yang dalam bentuk bagiamana kekuasaan

dipertahankan umumnya dilakukan dengan mereproduksi streotip-streotip

tertentu yang dikenakan pada kelompok lapis bawah atau pengikut72. Upaya

membedakan diri dari kelas-kelas sosial lain merupakan bagian dari strategi

kekuasaan. maka kecenderungan kelas yang didominasi adalah mengikuti budaya

kelas dominan dan pola-pola pikiran mereka. Kelompok masyarakat, atau lapisan

sosial atas yang pernah berkuasa dan menduduki stratifikasi sosial yang tinggi

menjadikan ruang-ruang yang ada dalam masyarakat untuk mereproduksi status

sosialnya, misalnya dengan konstkrusi cerita kepahlawanan dalam sejarah atau

melalui garis keturunan dan sistem kekerabatan seperti disinggung diatas

71 Lihat ulasan Pelras tentang tradisi modernitas orang Bugis (dalam Robinson & Mukhlis Paeni, 2005:46)

72 Dalam Tahara “Reproduksi Streotip dan Resistensi Orang Katobengke Dalam Struktur Masyarakat Buton

(Disertasi) Op.cit, Hal. 27

Page 68: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

61Universitas Hasanuddin

tentang kecenderungan masyrakat Bugis di Wajo dengan membangun struktur

patron-klien yang dioperasionalisasikan dalam kekuasaan melalui reproduksi

status.

Konsep tatanan patron-klien sebenarnya bisa dilacak dalam struktur

sosial masyarakat dahulu sejak zaman Romawi kuno73 dimana terjadi persaingan

melalui diplomasi dan perang antara kaum bangsawan beserta pengikut-

pengikutnya dalam memperbutkan tahta kekuasaan Senat. Konsepsi ini

menggambarkan tatanan dalam bagian-bagian disetiap bangsawan (patronus)

mempunyai sejumlah pengikut-pengikut dari tingkat strata yang lebih rendah

(clientes) yang berharap perlindungan dan jaminan keamanan dari kekuasaan

patron-patron lainnya para clientes pada umumnya adalah orang-orang yang

berstatus bebas namun ikatan-ikatan dengan patron tidak menjadikan

sepenuhnya mereka bebas. Hubungan antara pemimpin dan pengikut sangat

dekat, hal ini dapat dilihat penamaan nama belakang dari klien yang cenderung

mengikuti nama patronnya. Begitu pula apabila diadakan upacara, para klien

selalu melibatkan diri misalnya dalam upacara pemujaan keluarga bangsawan

yang mereka anggap sebagai pelindung. Pola politik serupa juga terjadi di

Jepang74 sebelum dan sesudah berdirinya dinasti Ieyasu Tokugawa sekitar abad

ke-16 yang juga dalam sejarahnya ditemukan kecenderungan struktur yang

serupa dengan pola patron-klien. Hubungan patron dan klien di Jepang

dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal-balik, dengan pengikut yang

setia dan bersifat turun temurun bahkan siap mati demi melindingi patron yang

yang membuat Jepang sangat terkenal dengan ksatria Samurai-nya. Kaum

73 Dalam A. Yani “Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal”. 2006. Op cit hal 4

74 Dalam Film Dokumenter “Warrior: Shogun Ieyasu Tokugawa” (2008) yang merupakan hasil penelusuransejarah yang dirilis BBC London Inggris .

Page 69: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

62Universitas Hasanuddin

bangsawan sebagai patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuh-

musuh dan melindunginya dari tuntutan hukum. Disamping itu patron juga

membantu keluarga kliennya dalam hal ekonomi, dengan memberikan lahan

kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya. Di sisi

lain, klien juga berkewajiban untuk membantu patronnya dalam kondisi tertentu,

seperti menebus sang patron jika ditangkap sebagai tawanan perang, atau

membayar biaya perkara yang harus dibayar patron75. Bentuk dari struktur

seperti patron-klien ini juga diterapkan pada berbagai kelompok masyarakat dan

suku bangsa dalam berbagai periode sejarah. Hubungan patron-klein menjadi

bagian dalam sistem sosial politik masyarakat di beberapa belahan bumi seperti

di Eropa, misalnya di Italia76. Begitu pula bentuk patron-klien di Asia Tenggara

juga terjadi di Burma, Filipina, Thailand, dan Malaysia77.

J.C. Scott78 memberikan pemahaman terkait kondisi sosial-budaya yang

memunculkan dan mendorong terbangunnya pola patron-klien dalam suatu

masyarakat terutama di kawasan Asia Tenggara yang sejak masa lalu bahkan

sampai sekarang tetap memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk-bentuk

patron-klien dalam praktik-praktik masyarakat dalam beberapa aspek. Suatu

kondisi dalam suatu kebudayaan dikatakan turut mempengaruhi dalam

membentuk pola patron-klien. Ada beberapa kondisi sosial-budaya yang

kemudian menjadi pendukung bentuk struktur patron-klien, diantaranya adalah

kondisi dimana terdapat perbedaan (inequality) yang terjadi dalam masyarakat

menyangkut pemenuhan kekayaan dan kekuasaan. Umumnya, seorang patron

mengorientasikan dirinya pada tujuan yang menyangkut pengaturan kekuatan

75 Dalam A. Ahmad Yani (2006) tentang pola hubungan patron klien dalam praktik politik.

76 Lihat Sydel F. Silverman (dalam McGlyyn & Arthur Tuden 2000: 237)

77 Pelras (1981:13) dalam Yani (2006)

78 Dikutip Heddy S. Ahimsa Putra (33-34;1988) dalam tulisan Ahmad Yani (2006), Op.cit, hal 5

Page 70: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

63Universitas Hasanuddin

serta pertarungan dalam mendapatkan kedudukan jabatan, namun pada periode

awal sebenarnya sifatnya tidak mendasarkan pada hubungan-hubungan dalam

pewarisan kedudukan atau kepemilikan tanah. Namun pada masa pemerintahan

kolonial yang menerapkan komersialisasi ekonomi, sehingga kondisi tersebut

mengalami pergeseran yang memunculkan kembali nilai-nilai dalam orientasi

kepemilikan tanah yang kemudian justru menjadi pemicu adanya gejala patron-

klien.

Dengan menggunakan pemahaman tentang patron-klien yang diutarakan

J.S. Scott memberikan kerangka bagi penulis untuk mendeskripsikan situasi yang

melatarbelakangi hubungan patron-klien yang tumbuh dalam praktik politik

orang Bugis Wajo, dimana adanya hubungan antara pemimpin dan pengikut

dalam masyarakat Bugis disebut Ajjoareng-Joa’79. Dalam masyarakat Bugis,

individu yang dikatakan patron biasanya diduduki oleh kalangan bangsawan

yang disebut Ajjoareng atau Pappuangeng. Sedang klien berasal dari kalangan

masyarakat biasa yang disebut joa’ atau ana’ guru (pengikut). Hubungan patron

dan klien merupakan hubungan kewajiban timbal-balik. Seorang patron

berkewajiban untuk melindungi joaqnya dari kesewenang-wenangan dari

bangsawan lain, pencurian, atau berbagai ancaman lain, serta memperhatikan

kesejahteraan dan melindungi mereka dari kemiskinan. Sebaliknya, klien

berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada patronnya, misalnya, dengan

bekerja di lahan atau rumah tuannya, atau menjadi prajurit, dan mengerjakan

berbagai kegiatan-kegiatan lainnya.

Dalam sistem politik orang Bugis Wajo tradisional, garis keturunan

bukanlah jaminan untuk mendapatkan posisi jabatan dalam kerajaan maupun

79 Mattulada juga memberikan khusus mengenai gejala demikian sebagai bentuk stratifikasi sosial orangBugis. (1995:491)

Page 71: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

64Universitas Hasanuddin

dalam konteks jabatan politik sekarang. Hal ini disebabkan masyarakat Wajo

tradisional tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung. Justru dalam

hal kepemimpinan kerajaan yang meliputi beberapa daerah (wanua) mereka

bersama-sama memilih pemimpinnya (matoa) yang memenuhi syarat-syarat

kepemimpinan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya di Wajo calon

matoa bisa berasal dari tiga kelompok masyarakat yang juga merupakan suatu

kelompok kekerabatan besar yang berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng

Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan

pedoman dalam proses suksesi suatu kerajaan diantara ketiga kelompok besar

tersebut, namun terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk

jabatan tertentu, calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari

sekian banyak keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal

dari status tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak

yang kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan pertarungan

adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak serta didukung oleh

pengikut yang paling berpengaruh. Jadi secara mendasar pengikut (joa’) dapat

dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut dari kalangan orang biasa, yang

mengabdi langsung kepadanya dengan, misalnya, menjadi prajurit dalam

pasukannya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi

pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri.

Berangkat dari fenomena dalam sejarah Bugis Wajo tersebut di atas,

maka seorang patron harus berupaya untuk memperluas jaringan kliennya dalam

rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan. Dan menariknya ini

menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti

memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya. Perubahan regulasi

Page 72: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Tinjauan Pustaka

65Universitas Hasanuddin

di tatanan negara diikuti oleh perubahan sistem politik lokal. Perubahan

mendasar yang berkaitan dengan sistem politik lokal adalah pemilihan kepala

daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat propinsi secara langsung

yang disebut Pilkada (pemilihan kepala daerah). Upaya untuk membangun

demokrasi di tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan

alasan penyelenggaraan pilkada. Para bangsawan dan kelompok menengah

dalam masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan. Diantara

kelompok-kelompok tersebut mulai melibatkan diri dalam arena politik dengan

mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang pada daerah tertentu

masih tetap terbangun dengan baik.

Model ajjoareng’-joa’ ini ditengarai seperti bertahan dalam regulasi

otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke

daerah pada tingkat kabupaten atau kota. Diawali dengan sistem pemilihan

konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk menjadi anggota DPRD

apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio penduduk didaerah

tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis

yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan momentum ini

dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan kekuasaan

ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan diri dalam

arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang

pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik.

Page 73: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

66Universitas Hasanuddin

BAB III

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai daerah penelitian, penulis

kemudian memberikan gambaran umum daerah penelitian, dimana sangat

memberikan andil dalam pelaksanaan penelitian terutama pada saat

pengambilan data, dalam hal ini untuk menentukan teknik pengambilan data

yang digunakan terhadap suatu masalah yang diteliti. Di sisi lain dengan

mengetahui daerah penelitian ini, mempengaruhi penulis dalam pengambilan

data dan memudahkan pelaksanaan penelitian dengan mengetahui situasi yang

tercatat dalam sejarah; kondisi politik dan pemerintahan; dan tatanan nilai-nilai

dalam pemerintahan di kabupaten Wajo. Dalam bagian gambaran lokasi yang

penulis ingin utarakan diawal adalah sejarah-sejarah yang menggambarkan

bagaimana stuktur kekuasaan di awal berdirinya Wajo sampai pada integrasi

Wajo dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nilai-nilai yang

terkandung dalam proses pelaksanan pemerintahan Wajo yang kemudian dengan

metode penulisan ini akan mengantarkan pada penjabaran pada proses tumbuh

berkembangnya Wajo dalam dinamika tradisi kesejarahan politik dan kekuasaan.

A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo

Pada beberapa wilayah Bugis di Sulawesi Selatan yang merupakan bekas-

bekas kerajaan proses pendiriannya diawali dengan kemunculan sosok misterius

yaitu To Manurung seperti yang diceritakan dalam epos La Galigo, ini berbeda

dengan Wajo yang terbentuk dari bekas kerajaan lama. Namun senantiasa

kontrak sosial terbangun antara pemerintah dan rakyat. Hal ini menandakan ciri

hubungan kekuasaan yang bercorak demokratis antara pemimpin dan yang

dipimpin meski bentuk pemerintahan yang dianut bukan republik hingga selama

Page 74: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

67Universitas Hasanuddin

600 tahun lebih mengalami proses perubahan pasang surut dalam pemerintahan

di Wajo. Mulai dengan digunakannya gelar Kebataraan dimana raja adalah

penguasa yang mutlak berdasar genetik dengan menggunakan sistem monarki

absolut. Kemudian lahirnya perjanjian di Lapaddeppa di mana muncul

konstitusi kemerdekaan orang Wajo dan masuknya pada fase Arung Matowa,

dimana terjadi pembatasan kekuasaan raja terhadap rakyat.

Wajo mencapai zaman keemasan pada pemerintahan Arung Matowa

Latadampare Puangrimaggalatung, dimana pada masa kepemimpinanya

berhasil memperluas wilayah kerajaan Wajo, jauh dibanding batas yang kita

kenal hari ini. Disamping itu, dalam masa kekuasaannya sebagai Arung Matoa

yang dalam catatan sejarahnya sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan

mengajarkan kearifan dalam kepemimpinan. Pada fase Arung Matowa, Wajo

mengalami pasang surut. Titik nadir pemerintahan kerajaan Wajo ketika perang

tahun 1669 yang menyebabkan perlakuan sewenang-wenang dan kemiskinan

terhadap rakyat Wajo. Pemerintahan Arung Matowa menyikapi dengan

mengeluarkan kebijakan pembentukan lembaga ekonomi yang menyerupai

koperasi yang berfungsi memberikan pendanaan terhadap pedagang sehingga

memicu munculnya lapis to sugi pada struktur masyarakat dan menguatnya

ekonomi masyarakat sehingga menaikkan posisi Wajo dari segi pembangunan

ekonomi dibandingkan pada kerajaan tetangganya dalam hubungan luar

negerinya.

Setelah Belanda melancarkan ekspedisi militer dan menaklukkan

kerajaan-kerajaan pada tahun 1905-1906 maka terjadi banyak perubahan dalam

konstalasi politik dan sistem pemerintahan Wajo. Misalnya penyederhanaan

sistem wanua bukan pada kepengikutan pada Limpo tapi berdasarkan kedekatan

geografis. Selain itu, pengebirian peran pejabat kerajaan Arung Ennengge oleh

Page 75: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

68Universitas Hasanuddin

pemerintah kolonial Belanda yang merupakan intervensi politik untuk

memudahkan kontrol terhadap jajahan.

Pada zaman penjajahan Jepang, tidak banyak perubahan pada sistem

pemerintahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan karena Jepang tidak cukup

banyak waktu untuk mengkaji kebudayaan lokal. Namun yang pasti,

bagaimanapun bentuk pemerintahan lokal dalam hal ini pemerintahan kerajaan

Wajo, tentulah Jepang tetap memiliki kepentingan politis dalam mendukung

konsep perang Asia Raya Jepang.

Setelah terusirnya Jepang dan kembalinya Belanda, membuat sistem

pemerintahan kerajaan kembali terusik. Semangat nasionalisme berhasil

memadamkan kolonialisme dan juga menghapuskan kerajaan-kerajaan di

Nusantara termasuk kerajaan Wajo. Wajo berubah menjadi Onder-Afdeling

bersama Bone dan Soppeng dalam Ofdeling Bone. Selanjutnya menjadi

kewedanan dan akhirnya menjadi Kabupaten pada tahun 1957.

Wajo pada mulanya membawahi 4 kecamatan berdasar aspek historisnya,

antara lain Kecamatan Majauleng (Bettempola), Kecamatan Sabbamparu (Talo

Tenreng), Kecamatan Takkalalla (Tua) dan Kecamatan Pitumpanua. Dalam

perkembangannya berubah menjadi 10 kecamatan. Antara lain kecamatan

Tempe, Pammana, Sabbamparu, Majauleng, Takkalalla, Belawa, Maniangpajo,

Tanasitolo, Pitumpanua dan Sajoanging. Selanjutnya dimekarkan 4 kecamatan

baru yaitu kecamatan Bola yang merupakan pemekaran kecamatan Takkalalla.

Kecamatan Gilirang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Maniangpajo.

Kecamatan Keera yang merupakan pemekaran dari kecamatan Pitumpanua dan

kecamatan Penrang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Sajoanging.

Wajo yang dulunya adalah kerajaan yang sangat sempit dengan jumlah

penduduk sedikit dan memiliki mekanisme yang khas dalam mengelola

Page 76: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

69Universitas Hasanuddin

rakyatnya, kini telah menjadi Kabupaten, daerah tingkat II dalam Negara

Kesatuan Indonesia. Namun yang pasti bahwa orang Wajo senantiasa memegang

slogan mereka dari sejak berdirinya kerajaan hingga di zaman Republik modern

ini. Yaitu Maradeka to WajoE Ade’na Na Popuang. Dimana antara pemerintah

dan rakyat senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum dalam pemerintahan

dan pengelolaan hajat hidup orang banyak. Wajo dulu dan sekarang telah banyak

berubah.

Dalam tinjauan tatanan politik dan kekuasaan, Wajo mengalami

perubahan dari kerajaan elektif menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Selatan.

Perubahan kedaulatan dari kerajaan menjadi kabupaten inilah yang menjadi hal

penting untuk dibahas. Sebab perubahan tersebut meniscayakan berubahnya

struktur dalam pranata politik yang otomatis berpengaruh terhadap bagaimana

sistem pemerintahan di Wajo.

B. Keadaan Geografis Wajo

Wajo terletak di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan tepatnya pada

3.39’-4.16 LS dan 119.53’-120.27’ BT. Di sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap. Sebelah timur berbatasan dengan Teluk

Bone, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sidrap. Bagian selatan

berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng. Luas wilayah

kabupaten Wajo sekitar 2.506,19 km² (250.619 ha) atau 4,01% dari luas wilayah

provinsi Sulawesi selatan, dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan

sawah 86.142 ha (34,37%) dan lahan kering 164.77 ha (65,63%). (Data BPS Kab.

Wajo 2009).

Page 77: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

70Universitas Hasanuddin

Karakteristik dan potensi lahan di Kabupaten Wajo dalam khasanah

Lontara Sukkuna Wajo’80 diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan

posisi “mangkangulu ribulue, Massulappe ripotanangange, mattoddang

ritasie/tappareng” yang artinya Wajo memiliki lahan dengan tiga dimensi, yakni:

tanah berbukit yang berjejer dari selatan Kecamatan Tempe ke utara semakin

tinggi, utamanya di Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Gilireng dan

Kecamatan Pitumpanua yang merupakan hutan dan tanaman industri,

perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembalaan ternak. Tanah

dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan perkebunan/tegalan pada

wilayah bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe dan sekitarnya,

serta hamparan laut terbentang di pesisir Teluk Bone disebelah timur merupakan

potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Potensi sumber

daya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat

di danau dan sungai-sungai besar yang ada, seperti Sungai Bila, Sungai

Walennae, Sungai Cenrana, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo.

C. Profil Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Wajo

Wilayah administratif Wajo kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan

terakhir pada tahun 2003 terjadi pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri

dari 14 kecamatan 48 kelurahan dan 128 desa. Sebagai penerus dan pelanjut cita-

cita perjuangan para pendahulu Wajo dan seiring dengan perubahan bentuk

pemerintahan, Wajo telah dipimpin oleh 12 orang bupati, yaitu81:

80 Lihat tulisan Indar Arifin (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik di Kabupaten Wajo”.Pustaka Refleksi. Makassar

81 Dalam Munawar (2008). Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan Di Wajo Sejak Terbentuknya HinggaIntegrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIA Puangrimaggalatung. Sengkang

Page 78: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

71Universitas Hasanuddin

1. H. Andi Tanjong

2. Andi Magga Amirullah

3. Andi Bahtiar, SH

4. Andi Hasanuddin Oddang

5. H. Andi Unru

6. H. Rustam Efendi

7. Dr. Ir. Rady A. Gany

8. Drs. H. Dachlan Maulana, MS

9. Drs. H. Naharuddin Tinulu

10.H. Andi Asmidin

11. Ir. Andi Idris Syukur, M. Si

12.Drs. H. Andi Burhanuddin Unru, MM

Wakil Bupati, yaitu:

1. Drs. H. M. Saleh Radjab, MM

2. Drs. H. Abdul Salam Yahya

3. H. Amran Mahmud, S. Sos. M.Si

Ketua DPRD, yaitu:

1. Syaikh Abdul Kadir Tahir

2. H. Andi Muri

3. H. Parenrengi

4. H. Andi Mungkace

5. H. Andi Modding

6. H. Andi Asmidin

7. H. Dai Basri, BA

8. H. Andi Asriadi Mayang, SH. MH

9. Drs. H. Imran Hameru

10.H. M. Yunus Panaungi, SH.

Sekretariat Daerah Kabupaten Wajo sesuai Perda No. 5 Tahun 2008 untuk

pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi Sekretariat

Daerah Kabupaten Wajo terdiri dari:

Page 79: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

72Universitas Hasanuddin

1. Sekretaris Daerah

2. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat:

a. Bagian Administrasi Pemerintahan Umum

b. Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat

c. Bagian Administrasi Kemasyarakatan

d. Bagian Administrasi Kerjasama Antar Daerah

3. Asisten Perekonomian dan Pembangunan:

a. Bagian Administrasi Pengembangan Potensi Daerah

b. Bagian Administrasi Pembangunan

c. Bagian Administrasi Sumber Daya Alam

d. Bagian Administrasi Perekonomian

4. Asisten Administrasi Umum:

a. Bagian Hukum dan Perundang-undangan

b. Bagian Organisasi dan Tata Laksana

c. Bagian Umum

d. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol

Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo,Sesuai Perda No. 5 Tahun 200882

untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi

Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo terdiri dari:

1. Sekretaris DPRD

2. Bagian Umum

3. Bagian Keuangan

4. Bagian Perundang-udangan

5. Bagian Risalah dan Persidangan

82 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009

Page 80: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

73Universitas Hasanuddin

Nama-nama dinas dalam lingkup pemerintah Kabupaten Wajo

Sesuai Perda No. 6 Tahun 2008:

1. Dinas Pendidikan

2. Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata

3. Dinas Kesehatan

4. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi

5. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika

6. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

7. Dinas Pekerjaan Umum

8. Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, Perindustrian dan

Perdagangan

9. Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan

10.Dinas Kelautan dan Perikanan

11. Dinas Tata Ruang, Kebersihan, dan Pasar

12.Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah

13.Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi dan Sumber Daya Mineral

Nama-nama lembaga teknis dalam lingkup pemerintah Kabupaten Wajo

sesuai Perda No. 7 Tahun 200883:

1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

2. Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah

3. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa

4. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian

5. Badan Lingkungan Hidup Daerah

6. Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat

7. Badan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera JL. Beringin

83 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009

Page 81: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

74Universitas Hasanuddin

8. Inspektorat Daerah

9. Rumah Sakit Umum Daerah

10.Kantor Perpustakaan dan Arsip

11. Satuan Polisi Pamong Praja

12.Kantor Pelayanan Terpadu Kantor Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak.

D. Tatanan Nilai Dalam Sistem Pemerintahan dan Politik

Masyarakat Wajo

Visi dan Misi Kabupaten Wajo84

Visi Kabupaten Wajo

“Menjadikan kabupaten wajo sebagai kabupaten terbaik dalam pelayanan hak

dasar dan pemerintah yang profesional.”

Misi Kabupaten Wajo

Untuk mewujudkan visi tersebut, ada empat misi yang akan dilakukan:

Penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber daya aparatur.

1. Meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan dalam proses

pemenuhan hak dasar masyarakat.

2. Menciptakan iklim yang kondusif bagi kehidupan yang aman, damai,

religius dan inovatif serta implementasi pemberdayaan masyarakat.

3. Mengakselerasi laju mesin-mesin pertumbuhan dalam proses produksi

berbasis ekonomi kerakyatan.

84 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009

Page 82: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

75Universitas Hasanuddin

Filosofi, Etika dan Etos Kerja Pemerintahan dan Masyarakat Wajo85

Filosofi pemerintah dan kemasyarakatn Wajo yang tercermin pada

kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo yang sejak 600 tahun

yang lalu yaitu sejak Wajo lahir sekitar 1399, kemudian mengkristal pada 3 kata

yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S, yaitu: (1) Sipakatua; (2) Sipakalebbi;

(3) Sipakainge yang menjadi tatanan yang tak terpisahkan satu sama lain.

1. Sipakatau (saling memanusiakan)

a. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk

ciptaan Tuhan YME.

b. Semua mahluk disisi Tuhan YME adalah sama, yang membedakan adalah

keimanan dan ketaqwaan.

2. Sipakalebbi (saling memuliakan/menghargai)

a. Menghormati posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur

kemasyarakatan dan pemerintahan.

b. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda,

yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.

c. Berperilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang dijunjung tinggi oleh

masyarakat dan pemerintah.

3. Sipakainge (saling mengingatkan/demokrasi)

a. Menghargai nasehat, saran, kritikan positif dari siapapun.

b. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan.

c. Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak luput dari kekurangan,

kekhilafan dan diperlukan kearifan untuk saling mengingatkan dan

85 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009

Page 83: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

76Universitas Hasanuddin

menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan Sipakatau

dan Sipakalebbi.

Pada transisi pelaksanaan otonomi daerah yang penuh tantangan dan

efouria kebebasan perlu dibangun suatu persepsi, pandangan yang sama antara

pemerintah dan masyarakat Wajo dalam wujud adanya etika pemerintah dan

kemasyarakatan yang dapat dijadikan tolak ukur kinerja pemerintah dan

masyarakat. Etika pemerintahan dan kemasyarakatan tersebut tercermin pada

prinsip kerja yaitu, (1) Taat Asaz; (2) Keterbukaan; (3) Kemitraan; (4)

Pelayanan; (5) Rasa Malu (Siri’); dan (6) Iman dan Taqwa

Etos Kerja

1. Kewajiban (Nasseriki’):

- Tidak seorang manusiapun yang luput dari suatu kewajiban menurut

status dan fungsinya.

- Kewajiban tersebut akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun

di akhirat sesuai norma hukum (adat) yang berlaku.

2. Bekerja (Resopa):

- Tidak seorang yang luput dari bekerja untuk kepentingan sendiri,

masyarakat dan negara. Tidak bekerja berarti malas (makuttu)

3. Optimal (Temmangingi):

- Puncak dedikasi kerja yang diharapkan adalah optimal, artinya sungguh

tidak setengah-setengah hati dan penuh rasa tanggungjawab (resopa

temmangingngi nalateti pammase dewatae)

E. Karakteristik Informan

Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data-data atau keterangan-

keterangan mengenai suatu peristiwa yang ingin dicapai dalam penulisan

Page 84: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

77Universitas Hasanuddin

penelitian ini, dengan rentang waktu penelitian maka, didapatkan sejumlah

keterangan dan informasi dari beberapa informan yang dipilih secara selektif

dengan mempertimbangkan bahwa informan tersebut adalah orang-orang atau

subjek yang mampu memberikan gambaran dan menceritakan suatu peristiwa di

masa lalu melalui penceritaan-penceritaan yang yang subjek tersebut dapatkan,

serta pada situasi dimana informan turut berperan dalam peristiwa tersebut

dalam konteks terjadinya suatu konstalasi politik. Dan bahkan adapun informan

yang dipilih salah satunya adalah Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum)

Kabupaten Wajo yang selama ini aktif dalam ranah perpolitikan di Kabupaten

Wajo.

Pemilihan informan-informan ini dilakukan secara sengaja oleh penulis

yang tentunya berdasarkan pada kenyataan bahwa. Pertama, informan yang

dipilih memiliki kedekatan secara emosional dengan penulis, kedua, informan

tersebut merupakan individu yang memahami tentang situasi konteks dimana

Wajo sebagai arena dan bangunan konstalasi politik, informan-informan di

kategorikan sebagai pengamat yang sering melakukan perbincangan terkait

masalah sosial-budaya dan politik yang terjadi di kabupaten Wajo; Kedua,

informan yang dipilih tersebut merupakan individu yang terlibat dalam suatu

peristiwa di masa lalu, meski tak terlibat secara langsung tetapi dengan tipe

informan seperti ini dapat memberikan gambaran sejarah yang informan

dapatkan dari para pedahulunya; Ketiga, informan yang dipilih juga merupakan

beberapa pejabat birokrasi, pengamat politik, tokoh masyarakat, serta pemuka

agama yang memiliki kaitan dengan historitas yang ada di kabupaten Wajo, baik

itu merupakan keturunan bangsawan maupun diantaranya berasal dari kelompok

ekonomi menengah. Dengan ketiga alasan tersebut diharapkan oleh penulis akan

Page 85: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

78Universitas Hasanuddin

memudahkan dalam proses wawancara dan penulisan ke Bab Pembahasan dan

Hasil Penelitian.

Berdasarkan pengamatan dan penggalian informasi yang ditelusuri

penulis di lapangan di dapatkan keterangan bahwa informan-informan yang yang

mampu menggambarkan sosial-budaya seperti informan yang memiliki

pengetahuan-pengetahuan dalam sejarah, pengamat masalah sosial-budaya

(tokoh masyarakat), pejabat pemerintahan dijadikan objek penelitian berasal

dari beragam identitas (dalam hal umur, pendidikan, dan status pernikahan).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut :

Tabel I

Daftar nama informan berdasarkan umur, pendidikan, dan status

pernikahan

No Nama Informan Umur Pekerjaan Ket

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

A. Mariattang, S.Sos

A. Rahmat Munawar, S.Sos

A. Ayatullah Ahmaad, S,Sos

H. Anwar Sadat

Abdul Rahim Mendo

Drs. A. Kandacong

Ir. A. Mungkace

Haris Panaungi, S.Sos

A. Sadapotto

Muhammad Idris

A. Isnandar

Anggota DPRD Sul-sel

Anggota KPU Wajo

PNS

Anggta DPRD Wajo

Pensiunan Kades

Guru/Pengajar SLTP

Konsultan Proyek

PNS

Mahasiswa

Pensiunan PNS

Pengusaha

Page 86: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Gambaran Lokasi Penelitian

79Universitas Hasanuddin

12

13

14

Rahim Ambong

H. A. Kile’

H. Sulaiman

Tim Sukses Kampanye

Mantan Kades

Tokoh Agama

Sumber : Data Lapangan yang diolah tahun 2011

Berdasarkan data wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat tujuh

karakter dari keterangan yang diberikan oleh informan yang mewarnai

kehidupan atau aktifitas kesehariannya, sebagai berikut :

- Kategori keturunan bangsawan

- Kategori terpelajar, mahasiswa, cendikiawan dan lain sebagainya.

- Kategori kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan politik

(pemilih, tim sukses, dsb).

- Kategori pelaku dalam peristiwa dan penutur sejarah.

Demikian pengambaran informan yang sempat diwawancara di lapangan

yang telah memberikan informasi dan data-data sekaitan dengan hasil yang ingin

dicapai oleh penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 87: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

80Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

BAB IV

REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK

Diawali dengan sebuah perbincangan dengan rekan-rekan mahasiswa

antropologi di kampus mengenai studi lapang penulis yang akan dilakukan di

daerah yang konon merupakan tanah kelahiran leluhur penulis. Seorang rekan

bertanya “Kalo’ mengenai daerah yang paling kau (penulis, red) kuasai

jalanannya, di Wajo atau di Makassar?, dengan spontan penulis menjawab “lebih

saya kuasai Makassar…”. Jawaban yang kemudian memcerminkan suatu kondisi

dimana penulis merasa bahwa sudah mulai muncul hambatan mental dalam

proses pengumpulan data di lapangan.

Selama kurun waktu hampir 10 tahun, penulis lebih banyak

menghabiskan waktu di kota Makassar dengan mengikuti beberapa jenjang

pendidikan, aktifitas pergaulan dan interaksi dengan masyarakat dengan

karakateristik urban di kota Makassar yang heterogen dengan berbagai latar etnis

dan, pemikiran-pemikiran kontemporer dan gaya kampus terbaru selalu diikuti

demi label ‘ikut trend’ membuat ketertarikan dan perhatian penulis tidak lagi

tertuju dengan berita-berita terbaru, perkembangan daerah, perubahan-

perubahan di kampung halaman, masalah-masalah yang ada dalam masyarakat

serta peristiwa-peristiwa yang menceritakan kondisi sosial-budaya saat ini di

Kabupaten Wajo. Suatu kondisi yang kurang lebih mengalami kesenjangan

dengan tuntutan studi pada akhirnya setelah penulis membaca secara seksama

metode penelitian lapangan beserta kerangka penelitian yang ada dalam proposal

yang mengharuskan penelusuran masalah sejarah dan kondisi masyarakat di

Kabupaten Wajo saat ini. Serupa atau tidak masalah yang penulis hadapi dalam

pengumpulan data di lapangan, pada umumnya semua peneliti yang berlatar dari

disiplin antropologi dari berbagai cerita dan kisah tetap juga mereka mengalami

Page 88: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

81Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

kendala-kendala maupun hambatan dalam penelitian lapangan dan kesemuanya

seperti teratasi dengan cara yang mereka dalam membangun hubungan sosial

dengan masyarakat yang mereka teliti, dibeberapa diskusi dengan teman-teman

cara tersebut sering diistilahkan “metode antropologi”.

Sekitar pertengahan bulan Januari 2011, untuk kesekian kalinya

menginjakkan kaki di daerah yang penulis sebut dengan kampung halaman.

Langkah pertama untuk memulai studi lapangan adalah menghubungi kerabat

dan keluarga yang penulis anggap dapat memberikan gambaran sesuai dengan

maksud penelitian. Beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon dengan

beberapa orang baik itu teman maupun kerabat menghasilkan nama beberapa

orang yang dapat dijadikan informan yang untuk selanjutnya penulis lakukan

identifikasi nama orang-orang tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang

lain tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja

subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek

dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja

yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting

alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai

melakukan persiapan dengan mengidentifikasi orang tersebut untuk dijadikan

informan dalam penelitian lapangan.

Diantara nama-nama orang disebut dan penulis identifikasi memiliki

relevansi dengan masalah penelitian adalah A.Rahmat Munawar, salah seorang

tokoh masyarakat Wajo yang menurut informasi cukup intensif melakukan

kajian-kajian sejarah dan memiliki koleksi dokumen sejarah. Setelah menyatakan

kesediaannya untuk bertemu pada 26 Januari 2011, penulis mulai melakukan

diskusi terkait masalah penelitian dengan melontarkan beberapa pertanyaan-

pertanyaan singkat tentang kondisi Wajo saat ini, sampai kesediannya untuk

Page 89: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

82Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

menunjukkan beberapa koleksi dokumen sejarah yang ia punyai diantaranya

adalah karya J. Nourdyn (1955) Buginese Histografie, Peta Kuno Wilayah Bugis

buatan VOC yang tercatat tahun 1775, Lontarak Attoriolongne Wajo yang telah

ditransliterasi, sebuah skripsi tua yang dibuat pada tahun 1960 dan file-file

beberapa peneliti yang telah melakukan studi di Wajo serta Lontaraq

Akkarungeng ri Wajo yang juga telah ditransliterasi. Naskah yang terakhir

penulis sebut, berhasil dipinjam dan dari dokumen tersebut penulis mempelajari

beberapa catatan sejarah untuk dipadukan dengan beberapa referensi yang

penulis temukan melalui tulisan di buku-buku.

Mempelajari beberapa tulisan maupun naskah sejarah masyarakat Bugis

Wajo menjadi teknik yang ditempuh guna mendapatkan gambaran mengenai

dinamika masyarakat dalam rentetan sejarah dan bentuk kekuasaan serta

ideologi di bangun dalam masyarakat tersebut.86 Sebagaimana umumnya,

bentuk-bentuknya terwujud dalam petuah-petuah, mitos maupun kronik raja

yang menceritakan langsung dan diterjemahkan sebagai bangunan pranata

politik dan kekuasaan dalam masyarakat di masa lalu. Pranata politik yang

diciptakan sebagai sarana organisasi untuk mempertahankan diri dari serangan

luar, akan tetapi, dengan demikian struktur kekuasaan juga memberi sarana

kepada kelas yang berkuasa untuk mengabadikan kekuasaannya, demi untuk

mempertahankan secara secara politik kekuasaan antara pihak pemerintah dan

pihak yang diperintah.

86 Lihat Rudiansyah, Op.cit Hal. 5

Page 90: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

83Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan Kekuasaan

A.1. Periode Kepemimpinan Tradisional

Kabupaten Wajo yang dinamikanya diceritakan dalam sejarah, berawal

kurang lebih 600 tahun yang lalu, melalui rentetan sejarah yang panjang dengan

berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan panjang kondisi sosial budaya

masyarakat Wajo hingga seperti hari ini. Beberapa penceritaan dan kisah awal

berdirinya Tana Wajo dalam catatan sejarah memiliki versi berbeda diantaranya

adalah Pau-pau ri kadong87. Kisahnya diceritakan secara singkat sebagai berikut:

Seorang putri dari kerajaan Luwu yang dihanyutkan ke sungai akibat mengidap

penyakit kulit dan ditakutkan menjadi wabah di daerahnya. Dalam

pembuangannya, putri tersebut beserta pengikutnya terdampar di Tosora88.

Secara dramatis diceritakan sang putri tiba-tiba sembuh dari penyakit kulitnya

setelah dijilat kerbau putih. Selanjutnya terjadi pertemuan dengan pangeran yang

berasal dari kerajaan Bone, keduanya lalu menikah sampai beranak pinak sampai

pada keyakinan beberapa kelompok masyarakat bahwa keturunan merekalah

yang kemudian pada awal mulanya membentuk masyarakat Wajo. Untuk cerita

versi Pau-pau ri kadong, penulis asumsikan sebagai sebuah bentuk cerita rakyat

dan sebagai wujud tradisi lisan yang ceritanya sejak kecil penulis telah dengarkan

melalui orang-orang tua dahulu, meski perlu dikaji lagi tentang lahir dan

bertahannya cerita ini dipahami sebagai cerminan struktur berpikir ditengah

perkembangan masyarakat Wajo. Namun di pihak lain beberapa kelompok

87 Kalau artinya secara harfiah “tuturan yang di benarkan”, lebih banyak diceritakan oleh orang-orangtua dahulu sesuai sejarah tradisi lisan masyarakat Bugis. Yang unik adalah ketika orang-orang tuamenceritakannya biasa dimulai dengan tarikan nafas panjang kemudian berucap “Belle ipau lebbimabbelle pi tau marengkalingae nasaba nissengni belle natepperi mupi” yang berarti “Bohong yangdikatakan lebih berbohong lagi orang yang mendengar sebab telah diketahui bohong akan tetapimasih mempercayainya”

88 Salah satu desa di Kabupaten Wajo yang berjarak 10 km dari kota Sengkang (Ibukota kabupatenWajo) Desa ini merupakan daerah yang penting dimasa kerajaan dan selalu disebutkan dalam dalamcerita epik raja maupun lontara di Wajo.

Page 91: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

84Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

masyarakat Wajo justru menganggap cerita ini sebagai sebuah produk konstalasi

tatanan politik pada masa-masa sebelumnya, masalah ini penulis simpulkan

ketika teringat dari wawancara singkat dengan seorang kerabat yang setelah

menceritakan sejarah Wajo tersebut, justru kemudian menanggapi kembali apa

yang telah dia ceritakan dengan mengatakan seperti dikutip dibawah ini:

“ ini cerita tentang putri dari Luwu dan pangeran dari Bonesebenarnya, masih perlu dipertanyakan…, kenapa kita orangWajo seolah-olah seperti keturunan dari Bone dan Luwu,bagaimana kalo ternyata bukan. Padahal dulu katanya sama-sama ji semua kerajaan, masih perlu di cek yang sebenarnyakerajaannya duluan terbentuk, kalau kerajaan Luwu mungkindari dulu ji ada”89

Pernyataan informan tersebut dapat dengan mudah dan mendasar

penulis asumsikan sebuah bentuk pernyataan yang menggambarkan dimensi-

dimensi psikologis dan sosial dalam kaitannya dengan identitas diri sebagai

orang Wajo selain itu merupakan masalah kekuasaan dan kepentingan politik

yang cenderung stereotipik dalam persepsi masyarakat sekarang mengenai

kerajaan masa lampau yang seperti penulis ketahui, Luwu dan Bone merupakan

kerajaan besar yang berdampingan dengan Wajo, dalam hubungannya dengan

kedua kerajaan itu juga mengalami pasang surut dalam hal saling menguasai.

Pernyataan informan tersebut juga memperlihatkan bagiamana cerita tersebut

mempengaruhi persepsi beberapa kelompok masyarakat di Wajo yang

memposisikan suatu kondisi psikologis dan sosial yang berada/beroperasi

ditengah-tengah masyarakat serta gambaran tentang bagaimana dimensi-

dimensi yang terbangun dalam cerita sejarah tersebut memproduksi diri di

rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk cerita rakyat.

89 Wawancara dengan Andi Kace pada tanggal 29 Januari 2011, alumnus teknik UMI yang kini bekerja disebuah developer dalam beberapa pembangunan infrastruktur di Kabupaten Wajo.

Page 92: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

85Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Berbeda dengan penceritaan sejarah Pau-pau ri kadong, dalam Lontara

Sukkuna Wajo yang disusun Andi Makkaraka Arung Bettempola dan juga

dipertegas dalam tulisan Zainal Abidin, Wajo dikisahkan dalam naskah tersebut

berawal dari sebuah pemukiman yang dibangun oleh beberapa pendatang dari

berbagai daerah yang melakukan aktivitasnya di pinggir danau. Pada

perkembangannya komunitas ini kemudian berkembang menjadi kelompok

masyarakat yang disebut Boli’, selanjutnya mulai terbentuk tatanan masyarakat

dengan struktur bercorak kerajaan yang disebut kerajaan Cinnongtabiq dan pada

akhirnya seperti dalam catatan sejarah membentuk kerajaan Wajo.

Seperti diriwayatkan dalam Lontara Sukkuna Wajo, tentang kelompok

masyarakat pendatang yang menurut keterangan sejarahnya90 adalah

sekelompok masyarakat yang berbahasa Bugis dan kemudian membuat

perkampungan disekitar pesisir danau Lampulung91. Mereka dipimpin oleh

seseorang yang memiliki kemampuan supranatural yang dikenal sebagai Puang ri

Lampulung. Seperti pada umumnya masyarakat pada masa lampau yang

didasarkan atas hubungan merata (egalitarian) kemudian muncul dalam corak

masyarakat yang penulis asumsikan sebagai bentuk organisasi masyarakat

bertingkat92 yang dasar organisasinya masih merupakan hubungan kekerabatan.

Komunitas ini membuka lahan di tanah yang subur di pinggiran danau kemudian

mereka bercocok tanam, beternak, menyadap tuak dan menangkap ikan.

Sepeninggal Puang ri Lampulung, masyarakat Lampulung kehilangan pegangan

sehingga mereka terpecah, sampai kemudian dikisahkan komunitas ini mendapat

kabar tentang seorang yang memiliki kemampuan serupa Puang ri Lampulung

dalam memimpin komunitas yang mereka sebut sebagai Puang ri Timpengeng

90 Juga dituturkan oleh informan Muhammad Idris91 Danau ini masih merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang dimanfaat oleh

masyarakat di Wajo saat ini.92 Lihat Fried (1968) dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199

Page 93: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

86Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

yang berasal dari Boli’. Masyarakat yang tanpa pemimpin ini kemudian

mengangkat Puang ri Timpengeng sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya,

komunitas ini disebut sebagai masyarakat Boli’. Sampai Puang ri Timpengeng

meninggal, komunitas tersebut kemudian tercerai berai.

Datangnya putra Datu Cina (Pammana) yaitu La Paukke. Masyarakat

Boli’ yang tadinya tercerai berai kemudian berkumpul dibawah pimpinan La

Paukke dan kemudian mereka mengangkat La Paukke sebagai Arung

Cinnongtabiq sehingga sisa-sisa masyarakat Lampulung dan Boli telah melebur

menjadi kesatuan masyarakat Cinnongtabiq. Dalam sejarah tercatat ada 5

generasi yang memimpin kerajaan Cinnongtabiq sampai kerajaan Cinnongtabiq

memiliki dua raja bersaudara yang sekaligus memerintah. Mereka memerintah

bersamaan yang dalam Lontara disebut sebagai raja yang diperseberang-

sungaikan. Yang pertama adalah La Tenri Bali dan adiknya La Tenri Tippe.

Kelompok masyarakat Lampulung dan Boli’ menurut riwayat Lontara

Sukkuna Wajo pada dasarnya masih merupakan tipologi masyarakat sedang93

dengan pola kepemimpinan dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan

yang ada pada masyarakat tersebut. Untuk menciptakan keteraturan, mereka

mengangkat tokoh mistis sebagai pemimpin mereka. Para pemimpin pada

masyarakat sedang memerlukan power atau kekuasaan sebagai landasan

kepempimpinan mereka yang diperoleh karena memiliki beberapa sifat yang

seolah-olah merupakan syarat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Wajo

pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang banyak.

93 Koentjraningrat membagi kelompok masyarakat berdasarkan kerangka kepemimpinan yaknimasyarakat sedang, masyarakat negara kuno, dan masyarakat kontemporer. Masyarakat sedang,adalah kesatuan-kesatuan sosial yang lebih besar dan kompleks bila dibandingkan dengankesatuan-kesatuan sosial yang terdiri dari 10 – 15 individu saja dengan seorang pemimpinkadangkala. Biasanya tidak bisa hidup tanpa pemimpin kadang-kadang, yang hanya muncul padawaktu tertentu saja, pada waktu mendesak atau pemimpin khusus yang mampu menyelesaikanmasalah. Tipologi masyarakat seperti ditemukan hidup di pegunungan Papua, Papua New Guinea,dan Melanesia. (Koentjaraningrat. 1990. Op.cit Hal 220-221)

Page 94: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

87Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun, bertani,

keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi dan sifat-sifat yang sesuai

dengan cita-cita dan keyakinan warga masyarakat pra-wajo pada masa itu

semisal bermurah hati. Dalam sejarah yang diceritakan Lontara Sukkuna Wajo

dikisahkan ketika komunitas ini didatangi oleh Opu Balirante dari Luwu yang

datang untuk memungut Widattali94. Puang ri Lampulung yang saat itu selaku

pemimpin kelompok tersebut dengan kemampuan diplomasinya mampu

menolak permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan besar seperti Luwu.

Kepemimpinan masyarakat Pra-wajo (masyarakat Lampulung dan Boli’)

pada masa lalu itu juga mencirikan seseorang dapat menjadi pemimpin jika

kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh warganya atas dasar

kemampuan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan upacara ritual yang

bersifat keagamaan95 hal ini ditandai dengan karakter dalam kepemimpinan

masyarakat Pra-wajo yang memiliki kekuatan supranatural maupun mistis, sifat

yang mewujudkan komponen kharisma bagi pemimpin dalam kekuasaan.

Bentuk kekuasaan konsesus berdasarkan kesepakatan bersama antara

beberapa pihak kepentingan dalam kelompok masyarakat Wajo masa lalu

nampak dalam sejarah Bugis Wajo tergambarkan dalam penggalan sejarah

kerajaan Cinnongtabiq yang menceritakan saat Arung Cinnongtabiq ketiga yang

merupakan cucu La Paukke, yang menikah dengan La Rajallangi, kemudian

diangkat menjadi Matoa yang tugas-tugasnya menyerupai fungsi perwakilan

rakyat yang dalam aktualisasinya mengadakan musyawarah untuk memutus

suatu perkara.

94 Sejenis Upeti atau sesembahan bagi kelompok yang lebih berkuasa.95 Lihat Koentjraningrat (1990) Op.cit Hal. 221

Page 95: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

88Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

….Ianaro Puetta La Rajallangi Arungnge ri Babauae mula taro Matoari Cinnongtabik na onroi maddeppungeng anana’ to malolo to matoanaewatoi sipetangngareng….

(…. Ialah tuan kita La Rajallangi yang mengangkat matoa [seorang yangdituakan] di Cinnongtabiq, tempat berhimpun anak-anak, orang muda,orang tua kemudian dilawannya bermusyawarah)96

Model kepemimpinan ini kemudian mengindikasikan hubungan-

hubungan kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan

pengikut. Manakala pejabat yang disebutkan bahwa Matowa Pabbicara ini diberi

tugas yang antara lain membantu Arung Cinnongtabik memutuskan suatu

kebijakan. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang

dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna untuk

kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh tindakan

para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk

kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para

pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang

bermanifestasi dalam pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan

ideologi, seperti misalnya dalam kerajaan Bugis ditemukan konsepsi Ade’

Assituruseng97 yang merupakan suatu mekanisme untuk melahirkan suatu

kebijakan atau keputusan yang penulis mencoba mengilustrasikannya sebagai

bentuk pertemuan yang terlembagakan dalam hukum adat di Wajo.

Mengenai Ade’ Assituruseng ini ditempuh untuk mengatasi suatu

persoalan yang belum diatur dalam Ade’ (Undang-undang), Rapang

(Yurisprudensi), Wari’ (aturan khusus dan keprotokoleran), dan Bicara

(Permufakatan). Tatanan nilai dan norma masyarakat di Wajo ini bisa dikatakan

menjadi sumber pengabsahan kekuasaan seperti kutipan dibawah ini, penulis

96 Zainal Abidin dalam Munawar (2008) Op.cit Hal. 2797 Tata nilai dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa adat dan rakyat.

Page 96: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

89Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

dapat simpulkan merupakan perwujudan keseimbangan kekuasaan beberapa

kelompok dalam sejarah Bugis Wajo.

“ Pejabat kerajaan yang tidak atau kurang menguasai peraturan adatharus melepaskan jabatannya karena adat itu keramat dan berbahayajikalau tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Jabatan itu harusdiserahkan kepada yang ahli karena puraonro (adat yang sudahditetapkan bersama) adalah milik orang banyak dan raja”.98

Perilaku politik yang ditunjukkan dalam sejarah Wajo ini, pada dasarnya

memiliki struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik99. Tindakan-tindakan

yang ada didalamnya kemudian dikatakan berdasar pada kewenangan yang

sebelumnya telah dirumuskan dalam budaya masyarakat Wajo. Untuk

melaksanakannya dalam tindakan politik, setiap individu tergambarkan sebagai

orang yang mampu memerintah dan menggunakan kekuasaan secara efektif.

Perkembangan selanjutnya dalam catatan sejarah, dikatakan bahwa

kekecawaan rakyat terhadap La Tenri Tippe (pemimpin pada ujung periode

Cinnongtabiq) yang dianggap kurang mampu dalam memerintah, akibatnya

beberapa rakyatnya berpindah ke wilayah yang dipimpin oleh La Tenri Bali.

Melihat kondisi ini, sepupu La Tenri Bali yaitu La Tenri Tau, La Tenri Pekka dan

La Matareng kemudian melantik La Tenri Bali sebagai raja mereka sekaligus

membubarkan kerajaan Cinnongtabiq sehingga memunculkan sebuah tatanan

baru dengan identitas Wajo sebagai sebuah periode baru, namun tatanan

organisasinya tidak banyak berubah dari sebelumnya. Perjanjian diadakan

dibawah bayang-bayang pohon Bajo (Wajo-wajona pong BajoE), sehingga

kerajaan yang baru dibentuk disebut Kerajaan Wajo. Sebagai Raja, La Tenri Bali

digelar dengan Batara Wajo, sedang ketiga sepupunya diangkat menjadi

98 Zainal Abidin dalam Sadapotto (2010) Op.cit Hal. 7799 Dalam McGlynn dan Arhtur Tuden (2000). Op.cit Hal 43

Page 97: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

90Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Pa’danreng100 masing-masing sebagai Pa’danreng Bettempola, Pa’danreng

Talotenreng dan Pa’danreng Tuwa.

Tiap Pa’danreng mengepalai sebuah Limpo101 dan masing-masing Limpo

terdiri dari 4 anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni

Bettempola, Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Talo Tenreng

membawahi anak limpo yakni Talo Tenreng, Ciung, Palekkoreng dan Ta’. Limpo

Tuwa membawahi anak limpo yakni Aka’, Menge, Limpo dan Kampiri. Mereka

menamakan wilayahnya sebagai Lipu Tellu Kajurue. Tiap anak Limpo dibawahi

oleh Arung Mabbicara yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undang-

undang dalam kerajaan Wajo. Tiap Limpo memiliki seorang Pa’bate Lompo yaitu

panglima perang utama yang pemegang panji perang dan tiap anak limpo

memiliki seorang Pa’Bate Caddi.

Perubahan yang terjadi seperti diutarakan diatas dalam pendekatan

evolusi diistilahkan oleh Fried (1968)102 sebagai perubahan ke arah masyarakat

berlapis (stratified societies) yang disebabkan oleh meluasnya daerah teritorial,

jumlah penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam

yang tidak dapat lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk

organisasi lainnya sebagai tambahan yang dimantapkan dalam berbagai aturan,

adat istiadat, struktur oraganisasi dan lain sebagainya.

100 Pa’danreng merupakan unit dari kesatuan sosial dan juga merupakan kelompok kekerabatan yangmenguasai beberapa wilayah-wilayah tertentu. Pada awal terbentuknya ketiga Pa’danreng merupakankomunitas yang memiliki karakter masyarakatnya masing-masing tergantung pada kemampuanmereka dalam mengelola lingkungan alamnya. Misalnya Tuwa dalam bidang perikanan (karena padamasa itu mata pencaharian komunitas masyarakatnya berada di sekitar danau); Bettempola dalambidang pertanian dan perkebunan; sedangkan Talo’tenreng dibidang penyadapan sari tumbuhan-tumbuhan (sarinyameng) yang dijadikan minuman. Seiring dengan bergulirnya periode kesejarahanWajo, bentuk Pa’danreng juga semakin kompleks dengan berbagai simbolitas alat kelengkapankekuasaan yang menyertainya. Inilah kemudian yang menjadi cikal-bakal kelompok kekerabatan yangberkuasa di Wajo yang masih tersisa sampai sekarang.

101 Merupakan wilayah kekuasaan yang didalamnya adalah sekumpulan wilayah kelompok masyarakat,Limpo bias juga diilustrasikan menyerupai distrik atau kecamatan yang membawahi desa/kelurahan.

102 Dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199

Page 98: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

91Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

A.2. Kekuasaan Terbagi (Organisasi Klen Besar Dalam TubuhKerajaan Wajo)

Dalam sebuah sesi wawancara penulis dengan A. Rahmat Munawar yang

begitu mengalir dalam caranya menceritakan tentang sejarah kerajaan Wajo pada

masa lalu, mulai tentang struktur kerajaan yang unik dikatakan menyerupai

negara-negara bagian dari sekian banyak wanua (daerah sekelompok masyarakat

yang didalamnya terdapat pemimpinnya sendiri), tersebutlah istilah Pa’danreng

sebagai suatu entitas kekuasaan tersendiri dan Ranreng sebagai pemimpinnya

yang membawahi beberapa wanua dan selalu dihubung-hubungkan dengan

kebijakan yang akan diambil kerajaan. Dituturkannya bahwa keputusan Arung

Matowa (pemimpin/raja) sangat dipengaruhi oleh ketiga Pa’danreng yang

manakala kadang-kadang keputusan diambil berdasarkan pemungutan suara

untuk mendapat dukungan dari ketiganya. Secara sederhana penulis mencoba

untuk mengambil suatu asumsi tentang adanya kekuasaan yang tidak mutlak

ditangan pemimpin atau Arung Matowa tetapi justru terjadi penghargaan

terhadap hak-hak pada ketiga Pa’danreng yang membentuk suatu struktur

pembagian kekuasaan. Mengenai masalah ini juga diceritakan dalam beberapa

catatan sejarah Wajo, seperti dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo.

Masih pada periode Batara Wajo seperti diriwayatkan bahwa ketika

La Tenri Bali diangkat sebagai raja dengan gelar Batara Wajo oleh ketiga kerabat

dekatnya. Tidak mengherankan bagi penulis ketika menelaah masalah ini dengan

melihat tatanan sosial dalam kebudayaan Bugis yang sarat dengan pengaruh

tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan adanya kelompok

sosial berdasarkan kekerabatan, beberapa tulisan103 juga memuat beberapa

telaah tentang semua sistem kekerabatan jika dilihat dari perspektif antropologi

103 Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi,Pokok-pokok Etnografi II, Op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142

Page 99: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

92Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan untuk bertindak baik

dalam kelompok maupun diluar kelompok.

Pengorganisasian kerajaan diatur sedemikian rupa dalam tatanan yang

seimbang, dengan membagi peran-peran kekuasaan dalam sistem kerajaan. Hal

ini kemudian diwujudkan dalam tata aturan yang terdiri: Ade’ MarajaE, Ade’

AbiasangngE, Tuppu, Wari’, Rapang, Bicara. Mengenai pembagian peran

kekuasaan ini kemudian dikisahkan dalam pesan La Tenri Bali Batara Wajo

kepada sepupunya yang dikutip dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo104 sebagai

berikut:

“ Makkedani Batara Wajo ripaddanrengnge iyatellu narekko engkabicara tenrita unganna deqi ri arungnge, deqtoi ri ade marajae, deqtoiri adeq abiasangnge, deqtoi wari e, deqtoi ri tuppue, inappamiriyassamaturusi arumpanua macowa malolo napada mutanaiwi nalaenawa-nawana baraq engkamuwa deceng nabbereyang dewata seuwaenaiyana ri pappalalowang temakkulleni tenri ola iyana riyasengtemmaunnyi, temmapute, temmacella, temmalotong. Iyaniriyassiturusi, iyani riyabbinruseng, iyani riyaseng adeq assituruseng,narekko ja napucappaq ripinrai, narekko madecemmuwi cappaqnaripannennungengi, naripakkoling-koling pigauq. Iyana riyaseng adeqmaggiling jawara. Narekko engka assituruseng tempedding ripinrasangadinna majaq majaqi ancajangenna rimunri maddupanamasituruni pinrai gangka rilolongengna pabbunganna. Nasiduppabuwa buwana. Naye adeq assituruseng, narekko siewa mopi tangngaeri sese bicara yena riduwai seddie, rebbani seddie. Apagi narekkoritelluiwi paliwuni, oncommi riyammaneng-manengi, narekko lebbiniritellue tunruqni nasilaowang pada pinrai naccappaki deceng, yapanakulle riduppai narekko engkai tosiattangngarengnge pada tudangmapaccing atinna, malempu nawa-nawanna, mataui ri DewataSeuwae, masiiri ripadanna ripancaji mawewei ri padanna tau nayetau raga sellae atinnai sarawae nawa-nawanna tau temmatauwe riDewata Seuwae. Temmasiri ri padanna tau temawewe ripadannaripancaji iyanaritu tau tempedding riyewa siyattangngareng.Makkadetopi Batara Wajo La Tenribali naye adeq assiturusengngeweddimuwa ripinra-pinra gangka naddupana naccapaki deceng,sangadinna adeq pura onroe tempeddingsa, ripinra temakkulletorirebba, apagisa riyasenggeripalenneq. Nasabaq ye adeq pura onroetemmakullei ri tangnga temmakkulletoi ribicara rekko engkana puranapowada. Apaq naposolangi wanuae rekko teripakkuwai sabaq yeriyasengnge pura onro nappunnai tanae arung mangkauqeappunnanai to maegae taro-tarona toi to matowa mariyoloe.”

104 Dalam Munawar

Page 100: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

93Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih seperti berikut :

“ Berkata Batara Wajo kepada ketiga paddanreng, jika ada “bicara”tidak diketahui awalnya, tidak ada pada arung, tidak ada juga pada“adeq marajae”, tidak ada pada adeq abiyasangnge”, tidak ada jugapada “Wari”, tidak ada juga pada “Tuppu”, barulah dimusyawarahkanoleh arumpanuwa, tua-muda, kemudian ditanya pada orang yangditemani musyawarah agar tetap diberikan kebaikan oleh DewataSeuwae, dan itulah yang dilakukan, tidak bisa jika tidak dilakukan,inilah yang disebut tidak kuning, tidak putih, tidak hitam, apa yangdisepakati itulah yang diikuti, inilah yang disebut “adeq assituruseng”,jika berakhir pada keburukan maka diubahlah, jika berakhir padakebaikan maka tetaplah dilanjutkan, dilakukan secara berulang-ulang,inilah yang disebut “adeq maggiling jawara”, jika ada kesepakatantidak bisa diubah kecuali bila terbukti berakhir dengan keburukan, dansepakatlah mengubahnya sehingga berakhir kebaikan, demikianlahhingga disebut “adeq maggiling jancarak”, bisa dibalik atau, bisadipindahkan kekiri sampai ditemukan ujungnya, agar bisa dinikmatihasilnya. Sedang adeq assituruseng jika masih dipertentangkan disisi“Bicara” maka yang diduai yang satu, yang satunya dibatalkan,apalagi jika sudah bertiga maka sudah dijatuhkan, apalagi kalausudah semua mendukung, jika sudah lebih dari tiga, maka menurutlahpada perubahan yang berakhir kebaikan, barulah bisa dibuktikan jikasemua yang hadir bermusyawarah hadir duduk dengan hati bersihdan pikiran yang jujur, takut pada Dewata Seuwae, malu kepadasesama ciptaan, segan pada sesama manusia, sedangkan orang yangraganya berbeda dengan hatinya maka hatinya akan menderita,orang yang tidak takut pada Dewata Seuwae, tidak malu pada sesamamanusia, tidak segan kepada sesama ciptaan, orang seperti itu tidakbisa diajak bermusyawarah

Berkata pula La Tenribali Batara Wajo, adapun “adeq assituruseng”masih bisa diubah sepanjang berakhir pada kebaikan, kecuali “adeqpura onro” tidak bisa lagi diperhatikan juga tidak bisa lagidibicarakan, jika sudah yang diucapkan, sebab akan merusak wanuajika tidak demikian, sebab yang disebut “pura onro” adalah miliknegeri, juga milik wanua, warisan milik Arung Mangkauq, juga milikorang banyak juga merupakan simpanan orang dahulu

La Tenri Bali dan para Pa’danreng berserta rakyatnya merumuskan suatu

perjanjian mengenai hubungan-hubungan kekuasaan, tata pelaksanaan

kebijakan kerajaan maupun dalam pemutusan suatu perkara yang antara lain:

Page 101: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

94Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

a. Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan

dan ketiga Pa’danreng yang menguasai ketiga Limpo105.

b. Segala ketentuan hukum adat yang telah ada didaerah-daerah Limpo tetap

berlaku dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur

boleh dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang

menyangkut kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut

harus ditetapkan melalui musyawarah (assipetangngareng)

c. Tiap Limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat,

pemutusan perkara, dan mengawasi jalannya pemerintahan Batara Wajo.

Dalam transkripsi dan transliterasi Lontara Sukkuna Wajo yang bukukan

Andi Makkaraka Arung Bettempola No. 128106 juga menceritakan tentang

kedudukan Pa’danreng dan hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin

di Wajo yang terkesan adanya pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih

memegang beberapa tata aturan yang diatur sebelumnya oleh pemimpin

sebelumnya yang mewariskan tahtanya, termasuk kecenderungan penegasan

mengenai pemantapan antara kelompok kerabatnya sendiri maupun dengan

lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat pengokohan

struktur kekuasaan kelompok kerabat ditingkat internal yang diorganisasi dalam

sebuah pranata kekerabatan. Pengaturan kekuasaan diantara ketiganya tetap

berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam

pengokohan struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang

diberikan oleh masyarakat yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui

proses pengambilan keputusan, yang menarik adalah berdasarkan musyawarah

diantara ketiganya dan rakyat Wajo pada masa itu.

105 Istilah yang diartikan menyerupai daerah bagian kekuasaan yang memiliki hak yang sama, seperti halnyanegara bagian.

106 Dalam Zainal Abidin, A (tahun….)

Page 102: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

95Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Naia Tellu-Kajuru’e, tellu limpo, makkedani taue Tellue tunrungeng-Lakka ri Wajo. Naia Batara Wajo La Mataessomalempuinamagetteng taro bicaranna, maserotoi naelorisipetangngareng Pa’danreng, ina taue ri adecengenna tana’e ri Wajo:naerekki mui tennalerei tarona ambo’na. Napatattaung tettongBatara Wajo La Matesso, natepuna Wajo, sekutoni tamana tauetemmassau ri Wajo.

Adapun Tellu-Kajuru’e, ketiga daerah, hanya orang menyebutnyaTellue-turungeng-Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso,jujur dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pulabermusyawarah dengan (para) Pa’danreng dan pemuka masyarakatdemi kebaikan negeri Wajo, diteguhkannya jua dan tidakdilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat tahundiangkatnya Batara Wajo La Mataesso, sempurnalah Wajo, sekianpula lamanya masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo.

Konsepsi Pa’danreng dalam khasanah politik kekuasaan di Wajo

termasuk juga dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan

dan kedudukan yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut.

Hal ini ditunjukkan dalam catatan sejarah tentang kepengikutan Limpo dalam

tiga kelompok besar tersebut. Limpo sendiri merupakan kelompok-kelompok

masyarakat yang juga memiliki pemimpin didalamnya. Dalam hubungannya

dengan praktik politik, pola perilaku demikian memberikan kecenderungan

untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan

suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan

kekuasaan sehingga dengan demikian pola kepengikutan Limpo sebagai entitas

kelompok masyarakat tersendiri terhadap Pa’danreng tidak lain adalah bagian

dari struktur dalam masyarakat Wajo pada masa itu.

Dalam catatan sejarah selanjutnya diceritakan tentang kekecewaan

beberapa kelompok kekerabatan yang berasal dari Pa’danreng sendiri dan rakyat

Wajo pada masa itu terhadap kepemimpinan Batara Wajo yang ketiga yakni La

Pateddungi To Samallangi. Kekecewaan ini didasarkan atas perilaku Batara

Page 103: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

96Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Wajo yang dianggap tidak sejalan dengan hukum adat yang berlaku pada masa

itu yang menyebabkan ia dipaksa turun dari jabatannya oleh salah satu tokoh

yang berasal dari kelompok Pa’danreng, La Tiringeng To Taba107 yang menjabat

sebagai Arung Saotanre yang sebelumnya telah mengumpulkan beberapa

kelompok kerabat dan rakyat yang menentang kepemimpinan La Pateddungi To

Samallangi yang pada akhirnya kemudian dipaksa turun dari jabatannya sebagai

Batara Wajo dan keluar dari negeri Wajo108. Sebagai langkah selanjutnya,

diantara para pemimpin klen ini berkumpul dan merumuskan kembali tata

organisasi kerajaan, tata hukum yang termaktub dalam adat kerajaan melalui

perjanjian La Paddeppa yang salah satu isinya menyepakati La Palewo To

Palippu sebagai Arung Matowa Wajo. Peristiwa ini kemudian menandai

berakhirnya masa kepemeritahan Batara Wajo dan digantikan dengan sistem

kerajaan Arung Matowa yang pembagian kekuasaannya lebih terbuka melalui

perjanjian La Paddeppa. Namun pada dasarnya struktur kekuasaan kerajaan

Wajo masih mengacu pada struktur kerajaan sebelumnya namun terjadi

penambahan dengan memposisikan Arung Mabbicara109 berjumlah 10 orang

pada tiap limpo.

Pada periode Arung Matowa selanjutanya, pembagian kekuasaan yang

diorganisir lebih kompleks lagi dengan penambahan beberapa posisi para

kelompok kekerabatan dibawah kerajaan yang disertai simbol-simbol yang

menggambarkan kedudukan dan tugasnya dalam organisasi kerajaan.

107 Salah seorang yang kemudian menjadi tokoh kunci pada fase awal pemerintahan Arung Matowa.Meski tidak menjabat sebagai Arung Matowa namun perannya menurut sejarah turut mempengaruhistruktur kekuasaan yang ada di Wajo karena posisinya sebagai Inanna Tau Maegae melalui suatuperjanjian.

108 Dikisahkan juga bahwa La Pateddungi To Samallangi kemudian di bunuh oleh La Tenritumpu ToLangi.

109 Arung Mabbicara seperti yang diutarakan Mattulada dapat dianggap sebagai parlemen Tana-Wajoyang bertugas Maddette’ bicara (menetapkan hukum/undang-undang); Mattetta’, mappano’ pateebicara (mengesahkan/mengusulkan dan menyampaikan hal ikhwal tentang penyelenggaraanperaturan/undang-undang) untuk ditangani oleh Petta I Wajo.

Page 104: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

97Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Hubungan-hubungan kekuasaan dilegitimasi melalui kesepakatan bersama

seperti dalam perjanjian La Paddeppa sebelumnya, struktur kekuasaan ditingkat

pemimpin terkesan seperti terbagi dengan adanya tiga Ranreng110 atau tiga

pembesar yang bertugas mendampingi kepemimpinan Arung Matowa, selain

Pa’bate Lompo yang memegang peranan sebagai panji-panji kaum yang tidak

lain merupakan tiga kelompok kekerabatan sebagai tiga bagian yang membentuk

Wajo, Bate Lompo Bettempola, Bate Lompo Talotenreng dan Bate Lompo Tua

dengan gelar masing-masing Pilla (merah), Patola (aneka warna) dan Cakkuridi

(Kuning) yang juga memiliki daerah kekuasaannya masing-masing111.

Hingga pada masa pemerintahan La Obbi Settiariware sebagai Arung

Matowa yang juga merupakan mantan Ranreng Bettempola selama lima tahun

(±1481-1486) mendapatkan usulan dari Datu Luwu Dewaraja untuk melengkapi

struktur kerajaannya dengan memberikan panji112 AnynyarangparaniE kepada

Bettempola, TutturumpulawengngE kepada Talotenreng, dan CakkuridiE

kepada Tuwa sebagai Pa’bate Lompo. Dibentuk pula jabatan Suro Palele Toana

atau Suro Ri Bateng. Tambahan kedudukan ini kemudian menetapkan struktur

dalam pelembagaan kelompok-kelompok dalam kerajaan menjadi 40 orang yang

berkedudukan dengan perannya masing-masing. Struktur inilah yang lebih

dikenal dengan istilah Arung Patappulo atau Puang ri Wajo yang di pertegas

oleh Mattulada (1995) tentang pemerintahan kerajaan Wajo memiliki corak

struktur yang menyerupai “Republik Aristokrasi”. Hal ini, penulis dapat

simpulkan bahwa struktur kekuasaan dalam mekanisme jalannya kerajaan

110 Hasil wawancara penulis dengan A. Kandacong, mengatakan bahwa Ranreng diartikan sebagaipengapit Arung Matowa, sebagai suatu jabatan dalam kerajaan yang diilustrasikannya bahwa ArungMatowa tidak bisa memutuskan kebijakan begitu saja apabila tidak dibicarakan dengan ketigaRanreng tersebut. Bahkan beberapa Arung Matowa yang dipilih berasal dari mantan pejabatRanreng.

111 Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 405112 Bendera berupa: Anynyaramparanie (kuda berani), tuturumpulawengnge’ (tanduk emas)

Cakkuridie (kuning).

Page 105: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

98Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

terbagi berdasarkan daerah ketiga kelompok (Limpo), hubungan ini diatur dalam

melembagakan beberapa kedudukan yang terdiri dari satu orang Arung Matowa

berdampingan dengan tiga orang Ranreng ditambah tiga orang Pa’bate Lompo113

disebut Petta i Wajo (pertuanan di Wajo). Disini, penulis juga mencoba

mengasumsikan secara implisit bahwa kekuasaan Arung Matowa dalam

wewenangnya mesti sejalan dengan tiga Ranreng yang peran kekuasaannya

terlembagakan dalam Arung EnnenngE, dan menurut keterangan yang penulis

dapatkan bahwa keputusan diambil oleh lembaga ini apabila tidak bisa

dimusyawarahkan, maka jalan yang ditempuh adalah melalui pemungutan suara

seperti yang penulis kutip dari salah satu informan yang menggambarkan

tentang bagaimana para Ranreng dalam menyepakati keputusan Arung Matoa

yang tidak dapat memutuskan suatu perkara melalui assipatangngareng

(musyawarah) seperti kutipan yang penulis dapatkan dibawah yang bunyinya

kurang lebih sama dengan apa yang dituliskan dalam Lontara Akkarungeng ri

Wajo.

“ Narekko riduai, rebbai seddie, oncoppesi narekko ritelluiwi…”

“ Apabila dua diantaranya telah memutuskan, maka salah satunyadigugurkan, terlebih apabila diputuskan dari ketiganya…” 114

Hal senada mengenai kekuasaan Arung Matowa dalam wewenangnya

dalam hubungannya dengan tiga Ranreng yang peran kekuasaannya

terlembagakan dalam Arung EnnenngE, diceritakan bahwa pada masa Arung

Matowa di jabat oleh Petta La Palewo To Palippu menyatakan hubungan

kekuasaan mereka dengan rakyat Wajo pada masa itu.

113 3 orang Ranreng dan 3 orang Pa’bate Lompo lebih sering disebut Arung Ennengnge (PertuananEnam) yang kemudian melembaga dalam struktur kerajaan yang mewakili daerah kekuasaan masing-masing dan peran dalam kerajaan.

114 Wawancara dengan Andi Isnadar

Page 106: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

99Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

“ Makkedai arung Matoae ri Ranreng ri limpoe ri Wajo: Tasialapainge, maingeppi napaja, nadeceng napocappa, tasitajeng batacellanasa’bi dewata seuawe’. Nabbicara lemputa mua pawekke’i Wajo,makkedatoi : narekko ade’na Wajo ritanga’ temmakullei riakkedaceua-uang. Makkumutoi abiasangengnge, temmakkullei sia’boko-bokoreng, sisoe-soeang ri ase ri awa arumpanua. Apa’ ia Wajotemmakullei rigau ceua-uang.”

“ Berkata Arung Matoa kepada para Ranreng dan para pejabat limpo diWajo: kita saling menerima peringatan sampai kita sadar dan berakhirpada kebaikan, mengikat pada keturunan, disaksikan oleh DewataYang Esa. Peradilan yang jujur jua yang menumbuhkan Wajo. Berkatapula ia: Bila adat Wajo dipertimbangkan, tidak boleh diputuskan olehseorang saja. demikian juga menurut kebiasaan, tidak boleh orang-orang lapisan atas dan lapisan bawah, pemerintah dan rakyat, salingmembelakangi dan saling mengayungkan tangan (= tidak boleh orang-orang lapisan atas dan bawah saling bertentangan dan salingmenghalangi), karena Wajo tidak boleh diperintah oleh seorang saja”115

Adapun Arung Mabbicara sebanyak 10 (sepuluh) orang tiap limpo, jadi

total sebanyak 30 (tiga puluh orang). Terakhir adalah 3 (tiga) orang Suro ri

Bateng atau Suro Palele Toana yang bertugas sebagai duta kerajaan Wajo dalam

menyampaikan kepada rakyat, semua hasil permufakatan dan perintah dari

Pa’danreng serta menyampaikan pada rakyat, hasil permufakatan dan perintah-

perintah dari Petta I Wajo116. Ketika kerajaan Wajo dalam perkembangannya

melakukan perluasan wilayah dan berperang melawan Sekkanasu dan

Belogalung yang berhasil ditaklukkan, untuk pertama kalinya Wajo memiliki lili

yang dimasukkan dalam koordinasi salah satu dari limpo. Dalam pengelolaannya,

lili ini dikoordinir oleh punggawa yang merupakan salah seorang Matoa (Arung

Mabbicara) yang menghubungkan dengan Ranreng.

Gambaran seperti ini, juga berorientasi pada pemahaman tentang

fenomena politik dan kekuasaan antar kelompok kekerabatan di dalam maupun

115 Dalam Lontara Sukkuna Wajo. Sadapotto, Op.cit Hal. 96116 Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 407

Page 107: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

100Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

diluar kelompoknya tidak lain merupakan bentuk mekanisme tertib sosial seperti

definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang kondisi dimana memungkinkan

terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial

dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu

kesatuan yang utuh. Tiga kelompok Pa’danreng (kekerabatan) yang awalnya dari

tiga kerabat/sepupu sebagai tokoh kunci dalam sejarah yang menginisiasi

didirikannya pemerintahan di Tana Wajo. Diibaratkan ketiganya seperti tiga

negara (tiga kekuasaan) kembar, kalau seperti yang diilustrasikan seperti 3 Baki’

(wadah makanan/lauk pauk) yang memiliki isi yang sama117 yakni Bettempola

yang kemudian disebut-sebut sebagai yang saudara dituakan, kemudian Talo’

Tenreng, kemudian Tuwa’ disesuaikan dengan jenjang usia La Tenri Tau, La

Tenri Pekka dan La Matareng. Meskipun pada awalnya merupakan bentuk

pembagian kerja berdasarkan keahlian dalam mengelola lingkungan alam

sebagai mata pencaharian (pengolah lahan sawah, pencari ikan, dan peracik

tuak), namun dalam perkembangan selanjutnya bertambah fungsi menjadi

bentuk struktur organisasi kelompok kekerabatan dalam tatanan pengusaan

wilayah (Limpo) dan organisasi pemerintahan di Wajo. Tiap Pa’danreng

kemudian memposisikan diri dalam penguasaan Limpo, yakni Bettempola yang

mengawal di bagian tengah, Talo’tenreng di bagian barat, dan Tuwa’ di bagian

timur Wajo yang kemudian setiap pemimpinnya (Arung) yang dijabat oleh

Ranreng.

Mengenai sistem politik dan tata pemerintahan pada masa lalu ditanggapi

beberapa kalangan masyarakat Wajo saat ini yang masih memiliki pengetahuan

dan kurang lebih memahami tentang sejarah, berpendapat bahwa tatanan

117 Wawancara dengan Muhammad Idris

Page 108: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

101Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

demikian merupakan wujud kebebasan atau yang paling sering disebut

amaredakangeng-nya orang Wajo, masing-masing kelompok dan rakyat Wajo

memiliki hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Hingga kesimpulan penulis ini

ambil ketika teringat dalam suatu kunjungan disalah satu warung kopi di kota

Sengkang, tempat dimana beberapa masyarakat Wajo biasa memperbincangkan

kondisi sosial politik di Kabupaten Wajo. Bersama dengan rekan penulis saat itu,

karena kebetulan berada dalam satu meja, penulis sempat berbincang dengan

salah seorang pengunjung yang memperkenalkan dirinya bekerja sebagai PNS di

salah satu Instansi Pemerintah Kabupaten (Pak Haris, yang namanya kemudian

penulis ketahui melalui pelayan warung). Dalam kesempatan itu, setelah

mengutarakan beberapa hal terkait penelitian penulis, dengan spontan ia

memberi komentar bahwa kerajaan Wajo dulu itu seperti Malaysia yang memiliki

banyak kerajaan bagian yang menyatu. Dibeberapa daerah yang masuk wilayah

Wajo memiliki pendekar-pendekar-nya118 sendiri yang konon dapat

dikumpulkan untuk melakukan pertemuan jikalau ada masalah-masalah di

kerajaan Wajo. Dan seperti tidak ingin dilewatkan pernyataannya, ia beberapa

kali mengungkapkan bahwa Wajo agak berbeda dengan banyak kerajaan Bugis

lainnya yang merupakan tetangganya sendiri semisal Bone, Luwu, maupun

Soppeng apabila berbicara tentang ‘tata negara’, disini ia menyimpulkan

perbedaan itu tentang sifat demokratis pemerintahan masa lalu. Menurutnya,

ketika banyak orang mengatakan bahwa kerajaan Bugis dulu bersifat feodalisme

dan otoriter, sepertinya Wajo merupakan ‘pengecualian’ di Sulawesi Selatan, tapi

sekarang sudah banyak perubahan apalagi setelah reformasi semakin banyak lagi

118 Untuk istilah ini, penulis menyimpulkan bahwa yang Pak Haris maksud adalah pemimpin dalamsebuah wanua (wilayah). Dan setelah perihal didalami melalui pertanyaan, ia sempat menyebutkanistilah Arung semisal Datu Pammana, Petta Tempe, dan Puang ri Tosora dan ketiganya tidak lainadalah gelar bangsawan yang mengusai bagian-bagian tersebut dalam wilayah Wajo.

Page 109: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

102Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

figur-figur yang muncul sebagai tokoh politik. Dan ditutupnya perbincangan itu

dengan menghisap rokoknya begitu dalam lantas dimatikannya diatas asbak, dan

ketika ia beranjak dari tempat duduknya ia masih sempat mengatakan “tambah

banyak lagi pendekar”.

‘Perubahan adalah keniscayaan’, begitu kata orang-orang yang selalu

memposisikan dirinya dalam dinamika sosial-budaya suatu masyarakat. Begitu

pula dalam rentetan sejarah Wajo pada masa lampau.

Page 110: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Iliustrasi Struktur Pemerintahan Wajo oleh Christian Pelras dalam Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo' (suite et fin)Archipel, Année 1971, Volume 2, Numéro 1 p. 197 - 223

Page 111: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Pembahasan dan Hasil PenelitianSTRUKTUR KERAJAAN WAJO

PERIODE PEMERINTAHAN ARUNG MATOWA I - XII

LIMPO TALOTENRENG

ARUNGMATOWA

LIMPO BETTEMPOLA LIMPO TUWA

ARUNG SIMETTEMPOLAKemudian bergelar Inangna LimpoE

Arung Penrang(Arung Lili)

Arung ParujungAju Parujung TanahPaddippung Ade

1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)

b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)

3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah

4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)

5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis

gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang

bergelar macam-macam

1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)

b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)

3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah

4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)

5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis

gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang

bergelar macam-macam

1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)

b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)

3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah

4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)

5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis

gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang

bergelar macam-macam

Ilustrasi Munawar yang dikutip dari Museum Sengkang

Page 112: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

105Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

A.3. Melemahnya Tatanan Struktur Ditengah Pergeseran Kekuasaan

Belanda baru dapat benar-benar menaklukkan Sulawesi pada tahun 1905

dengan berakhirnya perlawanan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dan

Sultan Husain Karaeng Lembang Parang Somba Gowa. Pada saat itu, Wajo

dibawah Ishak Manggabarani Arung Matowa adalah sekutu dari Bone. Kekalahan

dari Bone menyebabkan Wajo juga menanggungnya berupa pembayaran upeti

kepada pemerintah kolonial. Dengan demikian Sulawesi, dalam hal ini Wajo

telah jatuh pada kekuasaan pemerintahan kolonial. Kedaulatan Wajo sebagai

sebuah kerajaan/negara berubah menjadi taklukan. Berdasarkan Korte

Veklaring yaitu perjanjian singkat antara pemerintah kolonial dengan kerajaan

Wajo yang ditandatangani oleh Ishak ManggabaraniArung Matowa Wajo pada

tanggal 31 Agustus 1905 dan disahkan pada tanggal 19 Juli 1906, maka Wajo

menjadi Onder-Afdeling.

Dominasi kolonial terhadap kerajaan-kerajaan Nusantara termasuk Wajo,

melakukan perubahan struktural pemerintahan. Raja (Arung Matowa) Kerajaan

Wajo menjadi Onder-Afdeling dibawah Afdeling Bone yang merupakan bagian

dari Keresidenan Celebes yang berpusat di Makassar. Sedangkan Keresiden

Celebes adalah bagian dari Grote Ost yang merupakan gubernemen yang

dibawahi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sehubungan dengan awal-awal

pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, Edward Poelinggomang119

menjelaskan dalam Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-

1942 (83-84 :2004)

Wilayah Sulawesi selatan dan tenggara dijadikan satu wilayahpemerintahan yang dikenal dengan Pemerintahan Sulawesi dan DaerahBawahan (Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden). Wilayah itu dibagikedalam tujuh bagian pemerintahan (afdeeling) yaitu : Makassar, Bonthain,

119Dalam Munawar, Op.cit. Hal 53

Page 113: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

106Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Bone, Pare-pare, Luwu, Mandar dan Buton dan Pesisir Timur Sulawesi (Boetonen Oostkust Celebes) secara secara resmi pada tahun 1911. Kepalapemerintahan diembankan kepada seorang pejabat pemerintahan yang disebutgubernur (gouvernour). Di bagian pemerintahan (Afdeeling) ditempatkanseorang asisten residen yang berkedudukan sebagai pimpinan di wilayahitu……..masa itu juga ditandai dengan perubahan-perubahan strukturpemerintahan. Kerajaan-kerajaan sekutu dilenyapkan dan wilayahnya beralihdibawah pemerintahan dan kekuasaan langsung Pemerintah HindiaBelanda…..bagian pemerintahan dibagi kedalam beberapa cabangpemerintahan (Onderafdeeling). Pada setiap cabang pemerintahanditempatkan seorang kontroleur (controleur) untuk melaksanakanpemerintahan dan kekuasaan.

Pada masa itu, Pemerintahan Kolonial belum sepenuhnya diterima oleh

pribumi. Akibatnya Pemerintah Kolonial lebih memperhatikan persoalan

stabilitas kekuasaan daripada pengelolaan administrasi pemerintahan. Arung

Enneng sebagai raja-raja utama yang mengontrol kebijakan Arung Matowa,

diturunkan posisinya menjadi setingkat pembantu raja. Pejabat kerajaan,

ditetapkan sebagai Zelf-Bestuur yang bertanggung jawab kepada Controleur,

yaitu Pejabat Pemerintah Kolonial yang membawahi Onder Afdeling. Pemerintah

Hindia Belanda melakukan reorganisasi pemerintahan Wajo yang semulanya

wanua, kampung, lili yang mengikut pada limpo menjadi kepengikutan secara

kedekatan geografis. Sehingga tidak jarang ditemukan ada wanua, kampung,

atau lili yang mengikut pada salah satu limpo, kemudian mengikut pada limpo

lain.

Hubungan antara kerajaan-kerajaan Bugis otonom antara satu wanua(wilayah) atau a’karungeng dengan wanua atau a’karungeng lain, yangsebelumnya diatur dalam perjanjian (kontrak) yang bersifat lebihfleksibel, diganti oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan prinsiphirarki kaku yang membagi-bagi menjadi kabupaten dan kecamatan,seperti telah lama mereka terapkan diJawa. Di Wajo, wanua yangsebelumnya tergabung dalam tiga limpo (berdasarkan jenis hubunganmereka masing-masing dengan salah satu dari tiga ranreng) diubahmenjadi tiga wilayah terpisah, sehingga banyak wanua yang tergabungpada limpo tertentu harus pindah ke limpo lain. Sementara itu, wanuayang dianggap terlalu kecil digabung begitu saja atau dimasukkan kedalam wanua yang lebih besar dan selanjutnya dijadikan kampung(dusun) - suatu entitas kelompok kecil yang belum pernah adasebelumnya dalam sistem komunitas orang Bugis. (Pelras 327-8:2005)

Page 114: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

107Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Onder Afderling Wajo dibagi menjadi 4 distrik berdasar pembagian

limpo, antara lain Distrik Bettempola, Distrik Talotenreng, Distrik Tuwa dan

ditambahkan dengan Distrik Pitumpanua. Masing-masing Distrik dikepalai oleh

Ranreng yang berhak, kecuali Distrik Pitumpanua dijabat oleh Dulung.

Selanjutnya, Distrik membawahi lili atau wanua (Adat Gemenschaap).

Adapun pengelompokan wanua pada distrik sebagai berikut :

1. Distrik Bettempola antara lain : Wanua Tempe, Wanua Tancung, Wanua

Lowa, Wanua Anabanua, Wanua Gilirang, Wanua Belawa Orai, Wanua

Belawa Alau, Wanua Paria, Wanua Rumpia, Wanua Tosora (meliputi ketiga

pokok perkampungan Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla)

2. Distrik Talotenreng antara lain : Wanua Singkang, Wanua Wage, Wanua Ugi,

Wanua Liu, Wanua Pammana.

3. Distrik Tuwa antara lain : Wanua Akkotengeng, Wanua Bola, Wanua Peneki,

Wanua Penrang. (Salahudin 112:1965)

4. Distrik Pitumpanua meliputi wilayah pitumpanua

Adapun susunan Zelf-Bestuur pada zaman Arung Matowa La Oddang

Pero sebagai berikut :

1. Arung Matowa sebagai pimpinan Zelf-Bestuur

2. Ranreng Bettempola sebagai Kepala bagian pemerintahan yang

mengurus sosial kepolisian dan kepegawaian.

3. Ranreng Talotenreng sebagai kepala bagian perekonomian dan

penyaluran distribusi.

4. Ranreng Tuwa sebagai kepala bagian peradilan dan kepenjaraan

5. Pilla mengkoordinir bagian LandSchapwerken (Pekerjaan Umum,

Pendidikan dan kesehatan rakyat).

Page 115: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

108Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

6. Patola mengkoordinir keuangan dari Landschap dan Landschap Kas

houder.

7. Cakkuridi mengurus kantor Arung Matowa dan mengekerjaan

pekerjaan mulai dari pencatatan buku harian sampai dengan

pelaksanaan pembagian tugas.

Sebelum tentara Jepang datang ke Indonesia, pemerintah Hindia Belanda

membagi nusantara dalam 3 gewest. Pemerintah Balatentara Jepang

melanjutkan dengan istilah syuu. Di Jawa dan Madura dijabat oleh Angkatan

Darat Jepang. Sedangkan Sumatra dan Sulawesi (grote ost) dijabat oleh

Angkatan Laut Jepang.

Pemerintah Balatentara Jepang tidak banyak merubah sistem

pemerintahan Belanda, terutama dalam hal pembagian administrasi

pemerintahan. Selain Gewest, Afdeling diganti dengan Ken. Onder Afdeling

diganti Bunken. Distrik diganti Gun, Onder Distrik diganti Son. Dan desa atau

wanua diganti Ku. Controleur Belanda diganti pejabat Jepang yang disebut

Bunken Kanrikan. Karena masa pemerintahan kolonial Jepang tidak lama, maka

tidak banyak hal yang Jepang dapat pengaruhi terhadap pola hidup masyarakat.

Yang menjadi tujuan utama Jepang adalah memenangkan perang Asia Timur

Raya. Oleh karena itu, rakyat semulanya dianjurkan untuk menanam komuditas

tertentu, berubah menjadi paksaan.

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II segera disusul dengan

kemerdekaan Republik Indonesia serta kedatangan tentara sekutu (NICA). Pada

tanggal 23 Desember 1946 terbentuk Negara Indonesia Timur (N.I.T) yang yang

merupakan bagian dari R.I.S atau Republik Indonesia Serikat. RIS membawahi

13 daerah otonom yang salah satunya adalah Daerah Sulawesi Selatan.

Daerah Sulawesi Selatan memiliki 4 badan pemerintahan yaitu :

Page 116: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

109Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

1. Hadat Tinggi

2. Majelis Harian Hadat Tinggi

3. Ketua dan Ketua Muda Hadat Tinggi

4. Dewan Perwakilan Sulawesi Selatan

Setelah Arung Matowa A. Mangkona mengundurkan diri pada tahun

1949, beliau diganti oleh Sumange Rukka selama beberapa bulan. Kemudian

Sumange Rukka digantikan lagi oleh A. Ninnong bekas Ranreng Tuwa selama 40

hari. Pada masa ini adalah masa kekacauan disebabkan adanya pemberontakan

APRIS pimpinan A.Azis dan dimulainya DI/TII. Akibatnya adalah roda

pemerintahan tidak dapat berjalan dengan normal.

Setelah A. Ninnong melepaskan jabatan dan berdiam di Makassar, maka

jabatan Arung Matowa berganti menjadi KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). A.

Pallawarukka diangkat menjadi KPN. Sementara hampir semua pejabat inti

kerajaan Wajo telah kosong, kecuali Arung Lili. Sebagaimana yang disebutkan

dalam Lontara Attiriolongna Wajo (I) sebagai berikut :

Massulle tudangeng ri onronna akkarungeng matowangengngeriyaseng KPN=Kepala Pemerintahang Negeri. Apaq ripapekkeq nionronna Petta I Wajo. Sabaq deqtona tau monroi tudangengna. Padalaoni sappa jamang laing. Ye situjue ri alena. Iyakiya arung lilie deqtonamarusaq ri onrongna. Makkumaniro ri Sulawesi maniyangnge.Tungkeq-tungkeq purae mancaji arung bocco marusaq manengakkarungengna. Sangadinna onrong tudangengna meni purauppetorokengnge iyanaro ipinra mancaji kapala pemerintahang negeri.Ri bahasa jawana riyaseng wedana. Ye talloe mupa riyawana parentariyasengnge kabupateng. Jaji ye kawedanang Wajo tallo mopi ri yawaparenta na kabupateng Bone. Yenae Pallawarukka makketenniangngiapparentangnge ri Wajo (135:2007)TerjemahanBerganti kedudukan “akkarungmatowae” dengan “KPN” (KepalaPemerintahan Negeri. Sebab sudah ditetapkan tempatnya Petta I Wajo,sebab sudah tidak juga orang menduduki kedudukannya, semuamencari pekerjaan lain yang cocok bagi mereka, akan tetapi Arung Lilietidak berubah kedudukannya. Demikianlah yang terjadi di SulawesiSelatan. Setiap yang pernah menjadi Arung Bocco berubahlah“Akkarungengnya” kecuali tempat kedudukan “Appetorokengnge”(Petor=Kontroleur) itulah yang menjadi Kepala Pemerintahan Negeri.

Page 117: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

110Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Dalam bahasa Jawa disebut Wedana. Menjadi pula Wajo disebutkewedanan yang masih dibawah pemerintahan kabupaten, sehinggakawedanan Wajo berada dibawah kabupaten Bone. Pallawarukkalahyang menjalankan pemerintahan (310:2007)

Masih di tahun 1950, La Magga Sullewatang Mpugi menggantikan

Pallawarukka menjadi KPN berdasar surat dari gubernur Sudiro. Tak lama, La

Magga dipindahkan ke Makassar. Kembali A. Pallawarukka Pilla Wajo menjadi

KPN. Pada tahun 1954, Wajo dipersiapkan menjadi kabupaten.

Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 4 tahun 1957 maka

dibubarkanlah Daerah Bone dengan Swapraja Bone, Wajo dan Soppeng.

Pembubaran ini terjadi di ke-38 (tiga puluh delapan) daerah swapraja di Sulawesi

Selatan. Sehingga dengan demikian resmilah Wajo menjadi Kabupaten dalam

wilayah Administrasi Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah administratif Wajo

kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan terakhir pada tahun 2003 terjadi

pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri dari 14 kecamatan 48 kelurahan

dan 128 desa.

Masa transisi, periode pendudukan bangsa asing di Wajo turut

memberikan dampak perubahan yang besar pada tatanan kekuasaan pada masa

itu. Kepentingan Belanda maupun Jepang di tanah air dalam mendapatkan

berbagai sumber daya untuk di pasok ke nagara mereka dan kepentingan perang.

Dari sisi politik, bangsa asing ini menerapkan sistem yang membatasi dan

cenderung mengontrol kondisi masyarakat, sehingga mempermudah

pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah asing dalam mendapatkan berbagai

akses sumber daya, terutama sumberdaya manusia yang dijadikan bagian untuk

memerangi kerajaan lain maupun sumber daya alam yang ada di Wajo. Kebijakan

sistem administrasi misalnya, sangat mempengaruhi para penguasa lokal yang

Page 118: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

111Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

beralih fungsi petugas administrasi. Pada suatu sesi wawancara120 dengan Haji

Sulaiman seorang tokoh agama di Belawa, mengatakan bahwa iapun sering

diceritakan oleh orang tuanya tentang orang kulit putih di Sengkang yang hanya

sesekali terlihat keluar dari bola’ batu (gedung kantor), namun para Arung saat

itu silih berganti masuk kedalam bola’ batu itu. Tak lama berselang kadang

Arung datang kepada masyarakat menceritakan hasil pertemuannya dengan

orang yang di temuinya di rumah batu, ia teringat tentang bagaimana saat ia

diceritakan tentang pelarangan penangakapan beberapa jenis ikan di danau

Tempe. Menurut Haji Sulaeman, saat itu sebetulnya orang-orang Belanda secara

tidak langsung telah memerintah masyarakat Wajo, bahkan sampai menjaring

ikan di danau pun harus dibatasi ikan tertentu. Ia juga meyakinakan penulis

pada saat wawancara, Arung yang ia maksud namun telah lupa namanya,

memang selalu mengurusi masalah danau dan ia mengatakan bahwa pada masa

itu Arung tersebut mungkin di tugasi oleh Belanda untuk mengurusi masyarakat

yang menjaring ikan di danau Tempe seperti yang Haji Sulaiman simpulkan dari

cerita yang ia dapatkan dari orang tuanya. Periode ini dapat kita asumsikan

bahwa penguasaan bangsa asing dengan menempatkan para penguasa Wajo

(Arung) sebagai pejabat-pejabat administrasi bisa dikatakan sebagai bentuk

politik yang memaksakan pengakuan masyarakat Wajo terhadap keberadaan dan

kekuasaan bangsa asing di Tana Wajo.

Hal yang menarik pada perkembangan selanjutnya adalah kebijakan

politis Belanda yang menempatkan para penguasa lokal atau golongan

bangsawan pada jabatan administrasi pemerintahan kolonial maupun pada saat

pendudukan Jepang juga memberikan andil dan penagruh pada sistem birokrasi

120 Wawancara pada tanggal 23 januari 2011 di dusun Timoreng sebuah daerah pesisir danau Tempe bagianselatan kecamatan Belawa.

Page 119: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

112Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

pemerintahan kita hari ini. Pada masa transisi ke NKRI, dan sejak masyarakat

Wajo melalui Arung Matoa terakhir mengakui kedaulatan dan menjadi bagian

dari NKRI, jabatan-jabatan admnistrasi yang sebelumnya tidak lepas begitu saja

namun tetap dipercayakan pada para penguasa lokal, para keturunan bangsawan

di bekas-bekas wanua dengan jabatan birokrasi seperti Camat. Kondisi ini

didukung oleh sikap para bangsawan dalam menghadapi perubahan-perubahan

yang terjadi, namun adapula golongan bangsawan yang tetap pada sikap-sikap

‘tradisional’. A. Kandacong mengutarakan bahwa121, banyak diantara keturunan

bangsawan yang mudah mendapatkan akses pendidikan maupun militer pada

masa kemerdekaan, dibandingkan dengan masyarakat biasa. Sehingga tidak

mengherankan mereka-mereka yang menjabat kepala desa misalnya tidak lain

merupakan keturunan bangsawan, terlebih lagi faktor pengaruh nama besar

orang tua mereka dimasa lalu, yang menyebabkan masih banyak masyarakat

yang mempercayakan kepemimpinan desa kepada keturunan bangsawan.

B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik

B.1. Reproduksi Status Melalui Perkawinan

Dalam masyarakat Bugis Wajo, perkawinan masih cukup dipengaruhi oleh

stratifikasi sosialnya. Dalam lapisan anakarung (keturunan bangsawan)

misalnya, persoalan lapisan sosial masih diperhitungkan. Masih sering

melakukan penelusuran keturunan yang disebut maccuccung bati. Implikasi dari

realitas ini menyebabkan efek yakni, mencuri darah (mennau dara) dengan jalan

membuat (dibuatkan) silsilah yang dihubungkan dengan seorang anakarung

sebagi nenek atau buyutnya. Silsilah buatan yang dilegalisasi oleh oknum

masyarakat tertentu.

121 Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011, di Belawa.

Page 120: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

113Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Tapi pada sisi lain, proses reproduksi yang paling sering dilakukan adalah

melalui perkawinan antar lapisan sosial. Perkawinan dengan sepupu sederajat

pertama yang umumnya lebih banyak berlangsung pada lapisan-lapisan tertinggi

dalam stratifikasi sosial, akan tetapi tidak lumrah di kalangan tosama’.

Perkawinan yang paling ideal dalam rang mereproduksi status sosialnya pada

kalangan tosama adalah perkawinan dengan sepupu derajat kedua. Dalam

kaitannya kemudian, dalam mempertahankan status sosialnya memunculkan

sistem kekerabatan masyarakat Wajo yang memprioritaskan perkawinan

dikalangan kerabat sendiri yang disebut siampaiko masseajing, tenri batu

malepang. Beberapa istilah kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Wajo,

seperti Ambo’, Indo, Emma, Etta’, Lakkai, Puang, Petta dan pada umumnya

didepan namanya selalu ditambahkan istilah Andi yang merujuk pada status

sosial keturunan bangsawan. Dalam praktiknya, penggunaan sebutan

kekerabatan dan status sosial tersebut memiliki makna original dan virtual serta

dapat dimaknai sebagai simbol dan sapaan kekerabatan, bahkan sampai pada

interaksi dengan masyarakat lainnya.

Dewasa ini banyak upaya-upaya masyarakat yang masih menempatkan

status sosial seperti Andi yang sematkan pada nama yang dilakukan melalui

perkawinan antar lapisan yang santer disebut mangalli dara. Analoginya dalam

penelitian ini ditemukan pada kasus perkawinan Abdullah dan Andi

Sanawiyah122. Abdullah adalah adalah laki-laki Bugis yang bukan merupakan

keturunan bangsawan, akan tetapi selama dalam perantaunnya di Samarinda

mendudukkan ia dalam posisi ekonomi yang cukup berada yang selalu

diistilahkan todeceng. Faktor keberadaan Abdullah kemudian menjadi

122 Hasil wawancara dengan Andi Isnadar yang memberikan contoh mengelli dara

Page 121: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

114Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

pertimbangan keputusan keluarga Andi Sanawiyah yang awalnya tidak mau

menikahkannya dengan keluarga lain selain dari kalangan kerabatnya sendiri.

Meskipun telah diketahui bahwa sebelumnya Abdullah dan Andi Sanawiyah telah

memilki hubungan-hubungan personal dan emosional, tapi kondisi tersebut

tidak serta merta menjadi alasan bagi keluarga perempuan yang berasal dai

lapisan anakarung untuk menikahkan keduanya. Apalagi Andi Sanawiyah adalah

seorang Pegawa Negeri Sipil pula, suatu pekerjaan yang cukup diperhitungkan

dan memilki derajat tersendiri dalam masyarakat Wajo.

Konsekuensinya kemudian, keluarga Abdullah disodori uang belanja yang

begitu tinggi, meski agak berlebihan kalau disebutkan hampir 80 juta rupiah,

selain beberapa syarat-syarat lain yang harus dipenuhi pihak keluarga Abdullah.

Perkawinan ini dilakukan tetap melalui proses yang umumnya dikenal dalam

masyarakat Wajo, mulai dari tahap penjajakan, mammamnuk; tahap pelamaran,

madduta; tahap akad nikah, dan tahap sesudah hari pernikahan. Tapi ada yang

menarik dari proses yang pada umumnya dikenal adalah, adanya prosesi

menaikkan uang belanja (mappaenre balanca) seperti yang dilakukan keluarga

Abdullah, dengan menggunakan jasa bank, mentransfer uang belanja ke rekening

pihak perempuan.

Upaya-yang yang dilakukan oleh Abdullah merupakan bagian dari strategi-

strategi dalam konfigurasi budaya yang menempatkan Abdullah dalam kerangka

struktur tradisional yang masih menginginkan kedudukan sosial dalam

stratifikasi masyarakat Wajo. Apa yang terjadi 3 tahun setelah perkawinannya

dengan Andi Sanawiyah, Abdullah setelah menunaikan ibadah Haji tampil

menjadi salah satu calon legislatif dari Partai Amanat Nasional yang kader-

kadernya umumnya berasal dari kerabat Andi Sanawiyah. Selain kekuatan

Page 122: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

115Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

ekonomi yang dimiliki Abdullah untuk maju sebagai calon legislatif,

kedudukannya sebagai kerabat keluarga Andi Sanawiyah cukup efektif untuk

menjaring suara konstituen dikalangan kerabat-kerabatnya, meski pada akhirnya

tidak berhasil duduk sebagai anggota legislatif.

B.2. Keturunan Bangsawan Dalam Kepemimpinan dan PraktikKekuasaan.

Setiap sistem politik mempunyai individu-individu yang menjalankan

kepemimpinan. Satu pertanyaan komparatif yang kritis adalah mengapa para

pemimpin ini dipilih. Setiap kelompok mempunyai peraturan dan pola tentang

seleksi pemimpin, dan tidak ada masyarakat yang menyerahkan rekruitmen

kepemimpinan mereka pada keberuntungan atau nasib. Di dalam beberapa

masyarakat, pemimpin dipilih dari kelompok keluarga tertentu, jadi rekruitmen

kepemimpinan itu diambil dari bagian sangat kecil dari seluruh masyarakat.

Didalam beberapa kasus, seorang pemimpin diseleksi dari jajaran kemungkinan

yang bahkan lebih kecil – mereka berasal dari keturunan para saudara laki-laki

dan perempuan. Didalam sebuah masyarakat kelas, para pemimpinannya

biasanya direkrut hanya dari kelas-kelas tertentu, jarang terjadi pemimpin dari

kelas bawah terpilih. Disamping adanya orientasi kelompok dalam penyeleksian

kepemimpinan, semua masyarakat mempunyai kriteria lain yang mereka tuntut

dari para pemimpin mereka. Usia dan gender masuk dalam campuran tersebut,

tetapi beberapa masyarakat, dalam beberapa kasus tidak memperhatikan faktor

gender. Namun sebagian besar masyarakat cenderung memperhatikan faktor

gender dan karena itu kaum lelakilah yang direkrut untuk berbagai jabatan

kepemimpinan.

Kepemimpinan dalam suatu masyarakat cukup memberikan pengaruh

dalam menentukan apakah masyarakat memiliki kecenderungan kualitas atau

Page 123: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

116Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

tidak. Sebab, kepemimpinan dalam suatu masyarakat merupakan salah faktor

dalam terbentuknya komunitas yang terdiri dari beberapa faktor utamanya.

Dimasukkannya kepemimpinan sebagai salah satu komponen masyarakat karena

setiap masyarakat pasti mempunyai pemimpin yang ditokohkan dalam

komunitasnya. Penokohan seseorang dalam komunitas ditentukan kualitas dan

jatidiri seseorang itu sendiriyang secara teoritis memiliki syarat-syarat diangkat

sebagai tokoh atau pemimpin123. Dalam tradisi masyarakat Bugis umumnya pada

periode kerajaan atau pada periode sekarang ini pun, penempatan seseorang

menjadi tokoh di landaskan pada beberapa hal dengan kualitas tertentu seperti,

memilki kualitas sebagai to warani, sebagai to acca, atau mempunyai silsilah

dengan pemimpin sebelumnya ana arung. Beberapa catatan dalam sejarah Wajo

menyebutkan seperti yang diutarakan di awal, kepemimpinan pada padanreng

pada umunya selalu diikuti oleh keturunannya, berbeda dengan kepempinan

arung matoa yang umumnya dipilih dari kalangan arung berdasarkan kualitas

kecerdasan, kebajikan serta jumlah pengikutnya dalam wanua maupun limpo.

Otonomi daerah yang menyerahkan pemerintahan pada masyarakat

Kabupaten Wajo memunculkan kepemimpinan di tingkat lokal. Kepemimpinan

lokal ini umunya berangkat asumsi yang berorientasi politik yang mendudukkan

pimpinan suatu daerah berasal dari elit lokal. Kepemimpinan lokal mencari elit

lokal sebagai ujung tombak untuk melakukan pembaharuan pembangunan,

karena sistem pemerintahan yang dianut bukanlah asas desentralisasi. Elit lokal

ini merupakan putra daerah yang dirasa mengerti potensi daerahnya dan perlu

untuk dikembangkan, tentunya pola pengembangan daerah ini berbasis tradisi

dan lokalitas yang ada. Lokalitas yang bersumber pada identitas kesukuan ini

tentunya berbeda di setiap daerah, dan pembangunan di tingkat lokal bukan lagi

123 Meiyani, (2008) Op.Cit Hal. 150

Page 124: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

117Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

pembangunan yang berbasis penyeragaman. Seorang kepala daerah akan

berwenang dalam menentukan kebijakan untuk pengembangan daerahnya dan

pengelolaannya di daerah. Seperti Wajo yang sampai hari berkutat pada

penyelesaian masalah danau Tempe dan pemberdayaan desa-desa tertinggal.

Kepemimpinan berdasarkan keturunan kebangsawanan ini identik

dengan kepemimpinan para arung yang ada sebelumnya di daerah, namun

kepemimpinan lokal pasca Orde Baru berbeda dengan kepemimpinan di zaman

kerajaan. Jika institusi arung menjadi control atas segala urusan pemerintahan

(eksekutif, legislative dan yudikatif) maka kepemimpinan lokal ini akan mengisi

berbagai aspek dalam dimensi kekuasaan di Wajo. Di beberapa wilayah Wajo

masih mempertahankan konsepsi Ponggawa atau Addatuang yang ada, meski

ini bukan lagi sebagi pengatur pemerintahan, namun sebagai institusi yang

mempengaruhi prosesi pemerintaha daerah. Dan beberapa keturunan arung

yang masih tetap menganut tradisi lokal menjadi daya tawar tersendiri dalam

pemilihan kepala daerah. Karena lokalitas itu dominan dalam otonomi daerah,

selanjutnya keturunan arung berkesempatan menjadi actor lokal dalam politik.

Dalam konteks sosial-politik di kabupaten Wajo saat ini, dengan berbagai

sistem politik yang berlaku, tata negara, peraturan perundang-undangan hingga

budaya masyarakat Wajo seturut saling mempengaruhi. Otonomi daerah

kemudian memperkenalkan pemilihan kepala daerah atau bupati secara

langsung dimana setiap anggota masyarakat memiliki hak suara dalam pemilihan

tersebut disisi lain sistem kepartaian sebagai bagian dari pilar politik di tingkat

kabupaten dinilai cukup memberi andil dalam mempengaruhi jalannya

pemilihan kepala daerah. Dari segi mekanisme politik, partai politik menempati

posisi dalam mendorong calon atau kandidat kepala daerah untuk maju dalam

pemilihan. Umumnya partai politik berisikan orang-orang yang mendukung

Page 125: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

118Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

pasangan calon, dan pada kondisi inilah yang menarik bahwa anggota-anggota

partai tersebut banyak diantaranya yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap

pimpinan partai maupun orang yang akan didukung dalam pemilihan kepala

daerah banyak diantaranya yang mendukung dan menyokong partai mereka

dengan potensi mereka masing-masing. Hal ini didukung oleh Rahman

Ambong124 yang merupakan salah tim sukses dan salah satu kader partai,

mengatakan bahwa mereka dalam partai atau tim sukses pasangan calon kepala

daerah, secara sadar sendiri maupun instruksi dari ketua partai memilki tugas

masing-masing dalam capaian mereka dalam berpolitik.

Menurut Rahman Ambong, ia tidak memiliki hubungan kekerabatan

dengan pasangan calon kepala daerah atau pimpinan partai, ia juga tidak

memiliki banyak harta dalam menyokong partai atau kandidat. Ia menjelaskan

bahwa loyalitasnya ia tunjukkan dengan bekerja keras di lapangan, misalnya

dalam mempersiapkan orang-orang yang akan mengikuti kampanye, membuka

wacana tentang pasangan yang ia dukung dengan mencitrakan berbagai hal yang

baik dan mampu mempengaruhi seseorang untuk ikut mendukung bahkan ia pun

sempat mengitarakan bahwa ia pun turut dalam praktek-praktek yang berbau

kriminal dalam meneror pendukung pasangan lain dalam bentuk intimidasi

dengan merusak posko-posko berlabel pasangan lain. Namun ketika penulis

bertanya, kenapa ia mau saja melakukan hal-hal seperti itu?, Rahman Ambong,

kembali mengungkapkan bahwa kembali lagi bahwa itu “kesadaran kita dalam

mendukung calon kita”. Rahman Ambong juga menceritakan dirinya pertama

kali bertemu dengan pasangan calon ia dukung, ia begitu bangga berjabat tangan

dengan kandidat tersebut, orang yang bapaknya merupakan ‘idola’ bapak

Rahman Ambong pula. Dalam pandangan Rahman Ambong, kandidat tersebut

124 Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011 di salah satu warung kopi di kota Sengkang.

Page 126: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

119Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

adalah pemimpin yang ideal, sama seperti bapak si kandidat yang juga

merupakan mantan Bupati Wajo, Andi Unru. Dikalangan keluarga Rahman

Ambong mengenal betul sosok Andi Unru saat menjabat sebagai Bupati Wajo,

dimana salah satu kakek Rahman Ambong merupakan pengikut setianya pada

masa itu. Kemudian satu pernyataan dari Rahman Ambong yang kemudian

penulis untuk catat adalah dalam persoalan mendukung meskipun menurutnya

tidak ada hubungan keluarga tapi ada perasaan “…assitane-tanekeng taue”

dalam mendukung pemimpin kita. Dan disela-sela perbincangan ia sempat

menunujukkan salah satu kendaraan motor yang parkir di depan warung kopi

pada saat itu dan ia mengungkapkan bahwa motor itu adalah hadiah dari

pasangan calon yang ia dukung.

Pada aspek ini, penulis mengambil kesimpulan bagaimana tatanan sosial

budaya masyarakat Wajo pada dasarnya mendorong bagaimana kepemimpinan

bedasarkan konsepsi ajjoareng atau kepengikutan masih mengakar di beberapa

kalangan masyarakat. Sehingga calon-calon penguasa atau raja-raja lokal di

kabupaten mesti memiliki beberapa kriteria tertentu dalam memposisikan

dirinya dalam memimpin nantinya. Dari aspek kultural misalnya, nampak kita

masih menemui bagaimana simbol-simbol kebangsawanan atau arung melalui

garis keturunan masih mempengaruhi mainset anggota masyarakat dalam

memilih atau mendukung seorang pemimpin. Seperti penulis ketahui, salah satu

mantan bupati yang disebutkan oleh Rahman Ambong adalah adalah keturunan

dari salah satu Ranreng (Ranreng Bettempola) yang pernah memimpin salah

satu padanreng pada masa kerajaan. Sadar atau tidak beberapa keturunan

bangsawan yang memiliki akses politik di kabupaten Wajo memanfaatkan

potensi kultural ini dalam melahirkan kembali identitas mereka sebagai

keturunan pemimpin dan bahkan cenderung melegitimasi keturunan bangsawan

Page 127: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

120Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

sebagai sosok yang layak menjadi pemimpin. Seperti yang diutarakan Andi

Ayatullah125, bahwa modal utama untuk menjadi kepala daerah di Wajo adalah

memiliki tanda ‘Andi’ di depan namanya dan sudah menjadi rahasia umum

menurutnya kalau bukan ‘Andi’ maka akan sulit menduduki posisi nomor satu di

kabupaten Wajo. Karena menurutnya kondisi politik di kabupaten Wajo hanya

dikelilingi oleh keturunan para Ranreng atau Arung yang pernah berkuasa di

Wajo.

Seperti yang penulis utarakan sebelumnya bahwa pada satu periode

pendudukan bangsa asing di Tana Wajo, di mana pemerintahan admnistratif

masih dipegang oleh ketiga kelompok padanreng, pilla, limpo dan lili yang

masing-masing memegang peranan di berbagai tingkatan pemerintahan. Meski

kekuasaannya pada saat itu terbatas tetapi hubungan para arung dengan

masyarakat masih terjalin. Pejabat-pejabat ini kemudian lebih banyak mengurus

hal-hal yang sifatnya admnistratif maupun teknis dalam menjalankan kebijakan

pemerintah kolonial seperti masalah pertanian, perikanan, sampai mengurusi

sebuah desa, dan disisi lain pada kenteks masa itu, kepemimpinan mereka atas

beberapa komunitas masyarakat cukup mengakar sehingga ajjoareng mereka

tetap terjaga, seperti pada gambaran Rahman Ambong. Implikasinya pun dapat

ditemukan hari ini, era otonomi daerah dimana pengaturan daerah lebih banyak

diserahkan ke daerah masing-masing sehingga memunculkan banyaknya “raja-

raja lokal” yang memakai identitas ke”arung”an mereka sebagai sebuah strategi

politik guna mendapatkan kekuasaan di daerah. Dan dapat kita bayangkan

besarnya kewenangan yang didapatkan apabila dapat memimpin sebuah daerah

dengan seluas 2.506,19 km2 dengan berbagai sumber daya alam (gas) dan sumber

125 Wawancara pada tanggal 25 januari 2011

Page 128: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

121Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

daya manusia (pengusaha-pengusaha) yang ada didalamnya serta pengelolaan

anggaran daerah yang dikelola sendiri.

Seturut dengan gambaran diatas Andi Rahmat Munawar126 membenarkan

bahwa ada kondisi sosio-kultural di kabupaten Wajo yang cukup mempengaruhi

iklim demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sebagai anggota KPU ia cukup

hati-hati dalam menggawangi peraturan yang terkait dengan pemilihan. Ia

memahami sistem pemilihan dengan aturannya sendiri dalam hal kebebasan

individu untuk memilih dan dipilih, tapi tidak dapat dinafikan begitu saja faktor

kulutur seperti masalah ajjoareng di kalangan masyarakat dengan tingkat

stratifikasi yang ada di Kabupaten Wajo sebagai bekas kerajaan masih

mempengaruhi pandangan masyarakat yang masih menyisakan paham-paham

masa lampau meski di era demokrasi. Ia juga menuturkan bahwa, kultur

masyarakat tersebut sebenarnya bagian dari dinamika, dan bisa jadi menjadi

potensi yang dimanfaatkan sebagai sebuah strategi politik.

Di tingkat wanua atau kecamatan untuk istilah sekarang juga terjadi hal

serupa dalam konsepsi kepemimpinan, cerita Datu Passamula seorang

punggawa wanua misalnya seperti yang dituturkan Abdul Rahim Mendo,

seorang mantan kepala desa yang juga dikenal dekat dengan Datu Passamula.

Datu Passamula merupakan arung keturunan yang berasal dari Luwu, lahir pada

tahun 1923. Juga keturunan bangsawan di Belawa, pernah menjadi TNI dan

sempat memberontak dengan ikurt bergabung diorganisasi DI-TII dan kemudian

kembali ke NKRI. Sebelum dan saat menjadi Kepala Desa Belawa, beliau

memimpin sebuah klub sepakbola yang berasal dari Belawa dan membawa nama

Belawa cukup besar dalam pertandingan sepak bola di Sengkang. Selama masa

pemerintahannya, ia dikenal memiliki sikap keras. Sampai-sampai ia pernah

126 Wawancara pada tanggal 24 Februari 2011 di kediaman rumah Andi Rahmat Munawar

Page 129: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

122Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

dijuluki si “tangan besi”. Pada tahun 1950-an, rumah-rumah di Belawa masih

dalam keadaan terpisah-pisah. Datu Passamula kemudian membuat rumah-

rumah warga tersebut teratur dan berdekatan. Ia menyuruh warga mengangkat

rumah-rumah mereka untuk ditata sedemikian rupa dan mengatur jalanan.

Perintah Datu Passamula dituruti oleh warga dengan berat hati dan terpaksa.

Mereka tidak mengetahui apa tujuan Datu Passamula pada saat itu. Setelah lama

hidup dalam keadaan seperti itu, masyarakat baru menyadari perubahan yang

ada. Ternyata akses jalan untuk warga menjadi semakin mudah. Baru kemudian

masyarakat menjadi senang dengan hasil dari apa yang dilakukan oleh “tangan

besi” Datu Passamula.

Datu Passamula memiliki kelompok pengikut yang dikenal dengan nama

“To Sagena”. To Sagena merupakan massa dari Datu Passamula berlambang

ayam jantan yang juga ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

terhadap masalah-masalah yang ada pada masa pemerintahannya. Jika terdapat

masalah yang harus dibahas bersama Bupati, Datu Passamula mengundang

bapak Bupati untuk duduk bersamanya beserta kolompok To Sagena.

Datu Passamula adalah seseorang yang sangat tertarik pada permainan

sepak bola. Pada sebuah pertandingan sepak bola, ia mengundang Bupati

Sengkang A. Unru untuk menghadiri pertandingan tersebut. Terjadi suatu

masalah yang melibatkan wasit dan pemain pada saat itu. Datu Passamula

mengambil keputusan untuk membubarkan pertandingan. Bapak bupati yang

saat itu ikut menonton pertandingan tersebut merasa tidak dihormati oleh Datu

Passamula, sehingga ia mencabut jabatan Datu Passamula sebagai kepala desa

Belawa pada saat itu setelah menjabat ± 8 tahun. Datu Passamula

menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2007, ketika berusia 84 tahun.

Page 130: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

123Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Kini salah satu anaknya duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Wajo, dan

salah satu anak dan menantunya pernah menjabat sebagai Camat Belawa.

Pada bagian ini penulis memahami bahwa berbagai komponen dalam

praktik kekuasaan diantaranya adalah modal simbolik yang cukup memberikan

andil dalam kontestasi kekuasaan. Untuk kasus di Kabupaten Wajo, status sosial

sebagai modal simbolik tidak hadir begitu saja tetapi status-status sosial seperti

ini memiliki sejarah panjang dalam dinamikanya. Tatanan yang ada kemudian

menjadi sebuah arena yang diikuti berbagai praktik-praktik politik seperti yang

tergambarkan di Wajo, dimana stratifikasi sosial yang ditunjukkan dalam status

sosial tidak begitu saja bersifat kaku untuk menjelaskan posisi seorang keturunan

‘arung, tetapi lebih dari itu status tersebut merupakan alat strategis dalam

praktik yang berorientasi kekuasaan. Mengikuti apa yang dikatakan Bourdieu

bahwa gambaran mengenai reproduksi sederhana dapat terlihat dalam korelasi

struktur-struktur, praktik, dan habitus127.

Kasus lain bagaimana reproduksi kultural kelompok keturunan arung

sebagai elit politik adalah pada hari jadi Kabupaten Wajo yang ke-612 adalah

bagian dari sebuah pertunjukan pengukuhan identitas kultural, yakni bagaimana

beberapa kelompok keturunan bangsawan yang saat ini berkuasa di Kabupaten

Wajo mengeluarkan kebijakan peringatan hari jadi Wajo di laksanakan di Paria,

Atapanngnge. Tidak seperti biasanya peringatan hari jadi Wajo dilaksanakan di

kota Sengkang sebagai ibukota kabupaten. Hal ini memicu berbagai pertanyaan

di kalangan masyarakat termasuk penulis tentang peristiwa ini. Berbagai

pandangan telah dikemukakan termasuk diantaranya adalah masalah persaingan

tiga padanreng (Bettempola, Tuwa, Talo’tenreng) dalam mengukuhkan

kekuasaan salah satu kekuatan berkuasa di antara ketiganya di kabupaten Wajo.

127 Bourdieu (2009) Op.cit Hal. 129

Page 131: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

124Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Dari penuturan Andi Rahmat Munawar, mengatakan bahwa Paria

merupakan tempat dimana La Madukkelleng dilantik menjadi Arung Matoa,

yang merupakan salah satu tokoh pahlawan Wajo yang melawan Belanda pada

masa itu. Pada aspek ini Bupati Wajo melalui peringatan hari jadi Wajo ingin

memperlihatkan bahwa nasionalisme masyarakat Wajo juga terlihat dari upaya

La Maddukelleng dalam melawan Kolonial Belanda. Tapi disisi lain ditemukan

bahwa Paria merupakan daerah yang pernah menjadi bagian dari Bettempola,

sementara Andi Burhanuddin sendiri memiliki garis keturunan yang lebih kuat

dari Bettempola. Diantara respon masyarakat yang mengemuka, Andi Rahmat

Munawar mengataka dari sisi kultur historis, Andi Burhanuddin Unru selaku

Bupati Wajo ingin mengukuhkan identitas kulturnya melalui garis keturunan

Bettempola. Dan dari sisi inilah proses reproduksi status dan hak istimewa

(privelese) dalam kepimpinan elit-elit politik keturunan arung ditunjukkan

dalam drama hari jadi Wajo.

C. Karakteristik Dari Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo

Runtuhnya rezim orde baru yang sentralistis menjadi ‘akses’ kebijakan

desentralisasi dan dan otonomi daerah. Sentralisasi yang memusatkan kekuasaan

dan kewenangan di tangan presiden diganti dengan mereformasi seluruh politisi.

Rezim orba digantikan karena kegagalannya menangani krisis ekonomi dan krisis

kepercayaan rakyat yang telah memuncak. Penggantian sentralisasi menjadi

desentralisasi ini ‘diamini’ oleh momentum besar yakni reformasi 1998. Adanya

desentralisasi dilegalkan dengan UU no 22 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-

Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah ini berarti

Page 132: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

125Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

suatu daerah dapat menentukan masa depan daerahnya karena mengatur

pemerintahan dan pendapatan daerahnya sendiri. Seorang kepala daerah dapat

membuat kebijakan apa saja yang dapat menambah PAD (Pendapatan Asli

Daerah) namun merujuk pada peraturan yang diatasnya. Kebijakan yang dibuat

ini tentunya bukan kebijakan yang harus dilegalkan pusat, namun disetujui

mahkamah konstitusi berdasarkan pertimbangan tertentu per wilayah.

Di dalam otonomi daerah yang sedang berjalan, ada beberapa aspek yang

memang istimewa di suatu daerah dan membedakannya dengan daerah lain.

Otonomi daerah menawarkan identitas suatu daerah yang memang dimunculkan

untuk pengembangan wilayah tanpa peyeragaman seperti orde baru. Lokalitas

(budaya lokal) dan tradisi lokal bermunculan sebagai akibat desentralisasi serta

otonomi yang mengembalikan kebijakan dan kewenangan pada daerah.

Salah satu karakteristik praktik politik di kabupaten Wajo adalah

Ajjoareng-joa, meski pada umunya di wilayah sekitarnya. Namun yang menjadi

ciri khas Ajjoareng di Wajo adalah kepengikutannya di antara tiga kelompok

besar keturunan Padanreng, termasuk kepengikutan wanua terhadap ketiganya.

Namun pada umumnya pemilihan calon matoa bisa berasal dari tiga kelompok

masyarakat yang juga merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang

berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’.

Begitu pula dalam konteks sekarang, pengaruh garis keturunan kelompok ini

masih besar dan berimplikasi pada keluarga-keluarga yang ada didalamnya

beserta pengikutnya. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman

dalam proses suksesi suatu diantara ketiga kelompok besar tersebut, namun

terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk jabatan tertentu,

calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari sekian banyak

keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal dari status

Page 133: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

126Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak yang

kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut. Pada

pemilihan kepala daerah misalnya yang santer di kabarkan bahwa persaingan

antara Bettempola yang diwakili oleh Andi Burhanuddin Unru dengan

Talo’Tenreng yang diwakili oleh Andi Asmidin. Meski telah terjadi perkawinan,

dan garis keturunan telah bercampur diantaranya tetapi saja ada kecenderungan

dimana salah satu kandidat lebih merapatkan garis kekerabatannya guna

mendapatkan dukungan dari semua kerturunan yang berasal dari salah satu

padanreng.

Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan

pertarungan adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak diantara

keturunan arung dari ketiga padanreng serta didukung oleh pengikut yang

paling berpengaruh, seperti yang di ungkapkan Andi Mariattang128. Jadi secara

mendasar pengikutnya pun (joa’) dapat dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut

dari kalangan orang biasa, yang mengabdi langsung kepadanya misalnya, yang

pernah menjadi pengikut dari kalangan biasa dan menurunkannya kepada

anaknya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi

pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri.

Bentuk dari ajjoareng’-joa’ pada dasarnya disuburkan oleh sistem

otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke

daerah pada tingkat kabupaten atau kota yang melahirkan ‘raja-raja lokal’.

Penulis berusaha menelaah dalam mekanisme pemilihan misalnya, diawali

dengan sistem pemilihan konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk

menjadi anggota DPRD apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio

penduduk didaerah tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam

128 Wawancara tanggal 17 Januari 2011

Page 134: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

127Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan

momentum ini dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan

kekuasaan ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan

diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-

nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik. Dana ketika

penulis telaah melalui beberapa literatur juga memperlihatkan adanya praktik

yang berbeda dalam setiap periode kesejarahan.

Pelras129 membagi praktek patron klien di Sulawesi Selatan dalam

beberapa fase. Fase pertama adalah pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Terdapat banyak perubahan dalam rangka mengefisienkan sistem

pemerintahanan. Meskipun penunjukan pemimpin dan pejabat tinggi dilakukan

dalam prosedur tradisional tetap dipertahankan, namun campur tangan

Gubernur Jenderal Belanda sangat besar dalam pengambilan keputusan terakhir.

Kondisi ini berimplikasi pada nilai pengikut menjadi berkurang, demikian halnya

dengan peran patron sebagai pelindung menjadi tidak begitu penting lagi.

Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kalangan bangsawan

mengalami perpecahan. Salah satu pihak mendukung kebijakan-kebijakan

Pemerintahan Sipil Hindia Belanda untuk tetap berupaya berada di Indonesia.

Hal ini disebabkan karena harapan bahwa basis-basis kekuasaan mereka dapat

tetap dipertahankan. Namun, sikap mereka menjadi boomerang karena

mengakibatkan mereka ditinggalkan banyak pengikut yang menginginkan

kemerdekaan, sehingga para bangsawan semakin kehilangan pengaruhnya. Di

sisi lain terdapat sebagian kalangan bangsawan Bugis, Makassar, dan Mandar

yang lebih menyukai perubahan sosial sehingga berpihak kepada Republik

Indonesia. Kelompok bangsawan ini dengan suka rela mengorbankan kedudukan

129 Dalam A. Yani (2005) Op.Cit. Hal 3

Page 135: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

128Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

politik dan ekonomi demi cita-cita republik mereka. Karena, sebagai pemimpin

(patron), mereka menghabiskan sebagian besar harta benda untuk membantu

pengikut yang membutuhkan, yang mengalami penderitaan karena peran serta

mereka dalam perang kemerdekaan.

Pada masa pemerintahan modern yang dibedakan dalam dua periode.

Periode pertama adalah masa transisi, dimana banyak posisi kekuasaan baik dipi

lih maupun ditunjuk diduduki oleh keturunan raja sebelumnya. Seperti yang

terjadi di Wajo, dimana ketiga puluh bekas wanua warisan Pemerintahan

Kolonial Belanda disatukan menjadi 10 kecamatan, semua camat adalah mantan

arung dari sejumlah wanua terdahulu. Para arung yang tidak ditunjuk menjadi

camat diberi jabatan lain. Periode kedua atau pasca masa transisi penunjukan

semua pejabat baru dari atas tidak lagi berlaku, sistem klien pun kembali berlaku

tapi dengan nilai yang berubah. Sistem kroni atau hubungan patronase menjadi

suatu kelebihan dalam menduduki jabatan dibandingkan memiliki jumlah

pengikut yang banyak. Begitu pula dengan peranan kelompok militer pada masa

pemerintahan orde baru sangat signfikan dalam sistem sosial masyarakat. Hal ini

kemudian berdampak dalam sistem Ajjoareng-Joa’ di masyarakat Bugis.

Bangsawan yang memiliki latar belakang militer atau memiliki keluarga dari

kelompok militer akan semakin mengangkat wibawanya di masyarakat.

Meskipun keamanan masyarakat stabil pada masa ini, namun sistem Ajjoareng-

Joa’ tetaplah penting dalam hal penguasaan sumberdaya-sumberdaya tertentu

yang akan melanggengkan status sosial atau kekayaan.

Pada masa orde baru hubungan Ajjoareng-Joa’ memilki bentuk yang

cenderung merupakan sekedar reorganisasi daerah, kalau pada sebelumnya para

pemimpin sebuah wanua atau addatuang sering disebut arung, pada masa orde

baru pemimpinnya disematkan jabatan ‘camat’. Dari penelitian yang dilakukan di

Page 136: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

129Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

tiga kecamatan, menunjukkan pola kekuasaan yang sama meski berbeda

penamaan jabatan karena adanya sistem administrtasti. Namun pada dasarnya

arung memiliki relasi kekusaaan terhadap joa yang ada dibawah kepemimpinan

arung tersebut tidak memilki perbedaan dengan jabatan camat pada masa

tersebut. Signifikansi pertama adalah umumnya yang ditunjuk menjadi camat

adalah tidak lain merupakan bekas arung di wanua tersebut yang berubah

menjadi daerah admnistrarif kecamatan. Kedua adalah umumnya yang menjadi

camat di suatu kecamatan adalah keturunan atau kerabat bangsawan seperti di

kecamatan Belawa, dari beberapa periode kepimpinan camat, selalu dijabat oleh

kerabat atau keturunan yang pernah menjadi arung di Belawa, salah satunya

adalah Andi Bau Budi, menantu dari Datu Passamula, penguasa arung yang

paling disegani di Belawa.

Satu kasus ditunjukkan salah mantan kepala desa di Wele, Belawa (Andi

Kile’) ketika ia terpilih menjadi kepala desa, ia adalah keturunan arung di desa

tersebut yang juga seorang pengusaha. Ia merasa terpilih sebagai kepala desa

karena merasa di dukung oleh keluarga keturunan lainnya disamping sebagai

pengusaha penggilingan gabah, ia memilki banyak pengikut dari kalangan petani

maupun pekerja di pabrik penggilingannya. Dengan dukungan dari keluarga

keturunan ia secara tidak langsung mendapat dukungan pengikutnya masing-

masing. Dari hasil observasi, penulis membuktikan bahwa setiap pengikut untuk

memberikan dukungan ke salah satu patron yang mendukung pasangan kandidat

misalnya pada saat penulis sedang bersenda gurau dengan beberapa rekan-rekan

sejawat penulis dikampung mengenai Bupati Wajo yang menjabat saat ini.

mereka bekerja sebagai penggarap sawah si patron, salah satu diantaranya

bernama Andi Baru’. Ketika penulis bertanya pada saat pemilihan siapa yang ia

pilih, salah satu diantaranya menjawab dengan ekspresi datar dan senyum

Page 137: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

130Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

mengatakan “anggotae mi u waccerri wettu na mappitte taue….” (saya hanya

mengikut sama teman pada saat pemilihan itu) sembari ia memalingkan wajah

dan menunjuk ke arah Andi Baru’ yang saat itu baru saja mau masuk kedalam

rumah.

Fenomena praktik politik masyarakat Wajo tersebut di atas,

memunculkan seorang patron yang harus berupaya untuk memperluas jaringan

kliennya dalam rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan sehingga

menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti

memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya, dimana salah satu

arung berhak menjadi penguasa lokal. Ditengah upaya membangun demokrasi di

tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan alasan

penyelenggaraan berbagai pemilihan kepala desa. Para keturunan bangsawan

dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis mulai melibatkan diri dalam

arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang

pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik.

Hal menarik lainnya adalah kecenderungan adanya perubahan komposisi

kepemimpinan yang mengakibatkan sistem Ajjoareng tidak lagi berdasarkan

semata-mata karena faktor “anakarung” atau keturunan bangsawan. Karena

cukup banyak diantara mesyarakat yang telah melek ‘sistem’ yang didapatkan

dan tersosiaslisasi melalui wacana-wacan politik yang ada di media. Seringkali

masyarakat Wajo sendiri menggaggap tatanan lama sering dianggap sebagai

hambatan kemajuan seperti yang diungkapkan Andi Kace’, bahwa masyarakat

sekarang di Wajo adlah masyarakat terdidik sudah banyak diantara yang telah

melalui jenjang pendidikan mulai dari menengah maupun tinggi dan hal tersebut

tidak hanya dilakukan oleh kaum keturunan bangsawan seperti pada masa lalu

tetapi juga pendidikan telah menyentuh masyarakat yang selama ini dianggap

Page 138: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

131Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

golongan ata’ atau yang selama ini hanya mengikut pada pemimpin bangsawan.

Sehingga, seperti yang diungkapan Andi Kace, masyarakat saat ini tidak lagi-lagi

bersusun-susun mulai dari ata ke bawah tetapi merata. Apalagi kalau berbicara

masalah politik menurutnya sudah banyak kelompok yang mau memperlihatkan

dominasinya.

Seperti yang tercatat pada masa kerajaan, ada masa pada pemerintahan

Arung Matowa menyikapi dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan

lembaga ekonomi yang menyerupai koperasi yang berfungsi memberikan

pendanaan terhadap pedagang sehingga memicu munculnya lapis to sugi pada

struktur masyarakat dan menguatnya ekonomi masyarakat sehingga menaikkan

posisi Wajo dari segi pembangunan ekonomi dibandingkan pada kerajaan

tetangganya dalam hubungan luar negerinya.

Implikasi ini, seperti yang diungkapkan informan bagaimana suatu proses

reproduksi status tradisional yang berkembang menjadi status yang bersifat

achievment, dimana dimensi prestasi melalui pendidikan dan potensi ekonomi

mendapatkan aksesnya dalam ranah-ranah politik dan kekuasaan. hal ini

ditunjukkan dengan bergesernya komposisi elit baru di terdiri atas mulai dari

kelompok keturunan bangsawan, pegawai negeri serta intelektual, dan

pengusaha. Pada dasarnya ketiga kelompok elit ini saling berpenetrasi, karena

seorang bangsawan juga bisa jadi pegawai, intelektual, atau pengusaha. Dalam

ketiga kategori tersebut, secara mendasar dapat dibagi lagi menjadi militer dan

non-militer.

Proses reproduksi status dan pola-pola ajjoareng-joa yang dipraktekkan

di Wajo sebenarnya merupakan suatu upaya dalam memperluas pasrtisipasi agar

orang lain ikut terlibat dalam relasi-relasi politik sejauh hal itu bisa memperkuat

atau mempertahankan kekuasaan mereka dan bisa mencapai tujuan-tujuan lain.

Page 139: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

132Universitas Hasanuddin

Pembahasan dan Hasil Penelitian

Sementara bagi kelompok-kelompok dan individu yang berada di Kabupaten

Wajo sebagai begaian dari NKRI terlibat dalam politik bukanlah merupakan

tujuan umum karena mereka lebih cenderung untuk berusaha memperbaiki

status sosial dan posisi kekuasaan bahkan sampai pada kesejahteraan materil.

Bila kepentingan ini terpenuhi, bisa jadi mendorong seseorang mau berperilaku,

berpartisipasi menjadi seorang pengikut demi mendapatkan perlindungan

melalu relasi dalam unsur-unsur masyarakat atau alasan instrumental lain,

sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain dan besar sekali kemungkinan

keterlibatan sesorang dalam ranah politk dan kekuasaan dengan merproduksi

status sebagai pola praktik muncul sebagai akibat sampingan dari tujuan lain

yang ia kejar.

Page 140: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

133Universitas Hasanuddin

Kesimpulan dan Saran

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam penelitian ini, pada dasarnya mengarah pada sebuah argumentasi

mengenai fenomena politik dalam sebuah daerah yang tidak lain merupakan

pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan mempertahankan

kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat pada umumnya memiliki aspek

historisnya masing-masing yang pada awal proses pembentukannya secara

sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang ada

yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan pemahaman individu dalam interaksi

dalam ranah institusi politik. Meski terjadi pergeseran di tingkat institusi

tersebut dalam wujudnya, melalui penelitian ini berusaha menunjukkan adanya

struktur berpikir individu dalam sejarah masyarakatnya yang tidak berubah,

korelasi antara struktur masyarakat dan praktik individu dalam rentang berbagai

dinamika perubahan menyebabkan adanya proses reproduksi.

Dalam penelitian ini ditemukan suatu fenomena politik dimana simbol-

simbol kebangsawanan sisa dari bekas kerajaan masih efektif sebagai modal

dalam pertarungan politik. Bahkan berbagai strategi ditunjukkan para elit

penguasa lokal dalam mengukuhkan identitas mereka melalui tatanan kultural

yang masih berlaku selain legitimasi tersebut yang justru didukung oleh adanya

mainset masyarakat di kabupaten Wajo yang masih memiliki budaya

menghormati para patron mereka di masa lalu. Implikasinya kemudian, sistem

tata pemerintahan kita hari ini yang mengenal otonomi daerah turut

menyuburkan pertarungan elit-elit lokal yang tidak lain merupakan keturunan

dari penguasa sebelumnya. Dengan cara yang tak jauh berbeda pada masa

lampau, elit lokal sekarang ini melakukan berbagai pendekatan-pendekatan

kepada masyarakat guna mengokohkan kekuasaan ‘raja-raja lokal’ ini.

Page 141: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

134Universitas Hasanuddin

Kesimpulan dan Saran

Kecenderungan ini sudah cukup terlihat pada bagaimana tatanan budaya yang

masih mengenal konsepsi patron-klien yang berorientasi politis. Dan pada

momentum tertentu, seperti Pilkada misalnya, karakteristik praktik seperti ini

selalu saja muncul, meski dari berbagai kalangan hal ini dinilai mengurangi nilai-

nilai kebebesan individu dalam berdemokrasi, tetapi pada posisi penghargaan

terhadap suatu golongan etnis, penelitian ini tidak menafikan pengaruh budaya

lokal dalam sistem perpolitikan di Indonesia.

Satu hal yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah bagaimana

pemangku kepentingan melalui penelitian ini, sekiranya dapat menyadari realitas

masyarakat yang masih memiliki akar budaya agar dalam menerapkan berbagai

kebijakan politis selalu memperhatikan berbagai aspek dalam implementasinya.

Kecenderungan benturan budaya dengan sistem politik yang ada hari ini, bisa

saja berpotensi konflik. Sehingga seyogyanya dalam perumusan kebijakan

nantinya tidak melulu melandaskan pada peraturan-peraturan yang sifatnya

formal, tetapi juga nilai-nilai, tradisi, maupun adat isitiadat perlu diterjemahkan

secara baik sehingga mampu bersinergi dengan arah kebijakan nasional.

Dari sisi akademis, catatan sejarah di bumi kita sendiri telah banyak

menggambarkan tentang bagaimana konstruksi budaya yang terbangun pada

masa lampau dan masih perlu dipelajari lebih dalam. Terlebih lagi pada bidang

politik misalnya, sejauh mana kalangan akademis belajar tentang demokrasi,

kalau ternyata kampung halaman kita menyimpan harta karun yang tak ternilai

harganya, yakni budaya kita di masa lampau yang dicatat sebagai negara yang

cukup demokratis dalam suatu sistem republik meski selalu dikatakan

menyerupai oleh para ahli yang pernah meneliti sebelumnya.

Page 142: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Daftar Pustaka

135Universitas Hasanuddin

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo Abad XV – XVI. Penerbit Alumni: Bandung

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan KaryaSastra. Kepel Press: Jogjakarta

Ahmad Yani, A. 2006. Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika PolitikLokal. Makalah. Disampaikan dalam acara peluncuran buku ChristianPelras “Manusia Bugis”: Makassar

Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif.Universitas Negeri Malang. Malang.

Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politikdan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. BinaAksara: Jakarta.

Arifin, Indar (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik diKabupaten Wajo”. Pustaka Refleksi: Makassar

Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta.

Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia:Jakarta

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group:Jakarta.

Burke, Peter. 2007. Sejarah dan Teori-teori Sosial. Pustaka Belajar: Jakarta

Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga:Jakarta.

Eriksen, Thomas Hylandd. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya: SebuahPengantar (terj: Yosef Maria Florisan). cetakan ke-1. Ledalero: Yogyakarta.

Hafid, Abdul. 2008. Warung Kopi : Arena Segmen Masyarakat Kota dalamMembangun Wacana Tentang Pilkada di Makassar (dalam TinjauanAntropologi Politik). Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar.

Harker, Richard. Etc (ed.). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.Jalasutra: Yogyakarta.

Page 143: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Daftar Pustaka

136Universitas Hasanuddin

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi . Aksara Baru: Jakarta.

___________ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta.

___________ . 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta.

Lontaraq Akkarungeng ri Wajo. 2007. Transliterasi dan terjemahan. BadanArsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan: Makassar.

Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi PolitikOrang Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang.

McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi padaPerilaku Politik. UI Press: Jakarta

Meiyani, Eliza. 2008. Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis-Bone (Suatu Analisis Antropologi Sosial). Disertasi. UniversitasHasanuddin: Makassar

Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. RemajaRusda Karya: Bandung.

Munawar, Andi Rahmat. 2008. Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan di WajoSejak Terbentuknya Hingga Integrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIAPuangrimaggalatung: Sengkang

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (terj). Nalar bekerjasama dengan ForumJakarta- Paris, EFEO: Jakarta.

Ramli, Muhammad. 2008. Local Wisdom Dalam Implementasi KebijakanPublik. Yayasan Yapma Makassar: Makassar.

Rudiansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.

Rudy, T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran danKegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta.

Sadapotto, Andi. 2010. Hubungan Good Govenance Dengan Nilai-nilai BudayaDalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Wajo. Skripsi.Universitas Hasanuddin: Makassar

Page 144: REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus

Daftar Pustaka

137Universitas Hasanuddin

Saepuddin, Didin. 2009. Budaya Politik (artikel). dalam http. www.Didinsaepuddin.blogspot.com.

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atasNegara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang StrukturMasyarakat. CV. Rajawali: Jakarta.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Edisi kedua. Cetakan I: Januari.Tiara Wacana: Yogyakarta.

Suseno, Frans Magnis. 1995. Filsafat Kebudayaan Politik Butir-Butir PemikiranKritis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Tahara, Tasrifin. 2010. Reproduksi Stereotipe dan Resistensi Orang KatobangkeDalam Struktur Masyarakat Buton (Disertasi) Departemen AntropologiProgram Pascasarjana Universitas Indonesia: Depok.

Therik, Wilson M.A. 2008. Modern Versus Patrimonial (artikel) dalamhttp://wilson-therik.blogspot.com.

Tol, Roger. Kees van Dijk. Greg Acciaioli. 2009. Kuasa dan Usaha di MasyarakatSulawesi Selatan. Inninawa: Makassar.

Wijaya, Albert. 1982. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. LP3ES:Jakarta.