REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

24
1 REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA Oleh Maria Matildis Banda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana E-mail: [email protected] dan [email protected] PEMILIHAN DOSEN BERPRESTASI UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR BALI 2019

Transcript of REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

Page 1: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

1

REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL

WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA

Oleh Maria Matildis Banda

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

E-mail: [email protected] dan [email protected]

PEMILIHAN DOSEN BERPRESTASI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR BALI 2019

Page 2: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

2

Kata Pengantar

Menjadi Dosen Berprestasi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana

2019 adalah sebuah keniscayaan yang sulit untuk saya. Karena itulah makalah yang

dipersiapkan untuk dipresentasi dalam tahapan seleksi Dosen Berprestasi Tingkat

Universitas Udayana, adalah materi yang saya kenal secara mendalam baik sebagai

pengasuh mata kuliah Penulisan Prosa di Prodi Sastra Indonesia, maupun sebagai praktisi

atau orang yang menulis karya sastra prosa (novel). Novel yang juga masih menjadi

keniscayaan yang sulit untuk diakui eksistensinya sebagai sebuah kekayaan intelektual.

Saya yakin bahwa karya sastra adalah representasi sosial budaya, sebagaimana

novel-novel Indonesia modern sejak 1920 (Angkatan Balai Pustaka) sampai sekarang.

Hal ini juga dibuktikan dalam 12 (dua belas) buah novel yang sudah saya tulis:

Seharusnya Aku Mengerti (1988, Harian Nusa Tenggara belum diterbitkan), Tabita

(1997, Bali Post belum diterbitkan), Pada Taman Bahagia (Grasindo, 2001), Liontin

Sakura Patah (Grasindo, 2001), Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo, 2001), Rabies

(Care Internasional, 2002), Surat-Surat dari Dili (Nusa Indah, 2005), Wijaya Kusuma dari

Kamar Nomor Tiga (Kanisius, 2015), Doben (Lamalera, 2016, 2017), Suara Samudra

(Kanisius, 2017), Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Edisi Revisi, 2017), Bulan

Patah dalam Kelopak Wijaya Kusuma (dalam proses terbit, 2019), serta Jegeg Bulan

(proses penyelesaian, 2019).

Makalah ini menjelaskan bagaimana bagaimana representasi sosial budaya dalam

novel atau sebaliknya novel sebagai representasi sosial budaya. Novel yang dipilih dan

dikaji adalah Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (2017), yang akan menjelaskan

juga bagaimana hubungan interdisiplin antara karya sastra dan kesehatan khususnya

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Terima kasih saya haturkan untuk yang saya hormati Rektor Universitas Udayana

serta jajarannya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana serta jajarannya,

Panitia Pemilihan Dosen Berprestasi, atas dukungan dan kesempatan yang telah

diberikan.

Tiada gading yang tak retak. Segala kritik dan saran demi perbaikan makalah ini

saya terima dengan hati gembira.

Denpasar, 23 Mei 2019

Maria Matildis Banda

Page 3: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

3

Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................. 3

I. Pendahuluan ....................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 4

1.2 Masalah ...................................................................................................... ......... 7

II. Teori dan Metode .............................................................................................. 7

III. Representasi Sosial Budaya dalam Novel Wijaya Kusuma

dari Kamar Nomor Tiga ................................................................................... 10

3.1 Apek Ekstrinsik Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga ...................... 10

3.2 Aspek Intrinsik: Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga ........ 13

3.2.1 Ringkasan Cerita ........................................................................................... .... 13

3.2.2 Modal Simbolik dan Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga 15

IV. Karya Sastra sebagai Representasi Sosial Budaya ............................................... 18

V. Simpulan ................................................................................................................ 20

Daftar Pustaka............................................................................................................. 22

-------------------------------------------

Page 4: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

4

REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL

WIJAYA KUSUMA DARI KAMAR NOMOR TIGA1

Oleh Maria Matildis Banda2

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

E-mail: [email protected] dan [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang representasi sosial budaya dalam novel Wijaya Kusuma

dari Kamar Nomor Tiga (Maria Matildis Banda, 2017). Menjelaskan hubungan interdisiplin

dan multidisiplin dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan karya sastra dalam sudut

pandang postmodern. Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah segala sesuatu dapat

dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi.

Tujuannya untuk menjawab masalah bagaimana mendalami visi pelayanan, motivasi kerja, dan

berbagai upaya pelayanan KIA yang sifatnya cenderung teknis klinis dan kaku (aspek

ekstrinsik) dapat dilakukan dengan cara yang lebih estetis humanis, melalui karya sastra (aspek

intrinsik).

Teori yang digunakan adalah teori modal (Piere Bourdieu) dan karya sastra sebagai

representasi sosial budaya secara struktural (Wellek dan Warren, dkk). Hasilnya menunjukkan

bahwa modal budaya adalah sumber data dan referensi yang mengoptimalkan kreativitas menulis

karya sastra. Dengan modal budaya dapat dijelaskan bahwa kerja sama masyarakat (Deman side)

dan pemerintah (Supply side) dalam bidang kesehatan yang memiliki modal sosial dan modal

ekonomi dapat dilakukan melalui karya sastra sebagai modal simbolik.

Kata kunci: Karya Sastra, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Modal, Representasi Sosial Budaya.

I. Pendahuluan

I.I Latar Belakang

Banyak penjelasan tentang proses kreatif penulisan karya sastra. Setiap penulis melalui

sebuah proses yang berbeda dalam menjawab pertanyaan mengapa dan untuk apa menulis karya

sastra baik prosa (cerpen, novel, roman, drama) maupun puisi. Karya sastra ditulis untuk

1 Sebagian isi makalah ini pernah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bahasa dan Budaya, FIB Unud Oktober 2018, dalam judul "Aspek Modal dalam Penulisan Karya Sastra Pragmatis."

2 Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S adalah Doktor Bidang Kajian Budaya Unud Denpasar, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud, penulis novel, dan kolumnis H.U. Pos Kupang khusus kolom Parodi Situasi Minggu.

Page 5: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

5

menyikapi berbagai fenomena yang sedang berlangsung. Karenanya karya sastra dapat

dipandang sebagai representasi sosial budaya. Orientasi ini menjelaskan bahwa lahirnya karya

sastra tidak terlepas dari tanggung jawab penulis dan karya sastra tidak lahir dari kekosongan

budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan sosial

budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah seorang anggota

masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra dan latar sosial budaya

masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108). Dengan kata lain karya sastra adalah representasi

sosial budaya yang dikonstruksi atau diciptakan secara kreatif dan inovatif untuk menanggapi

fenomena zaman tentang manusia serta menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi

masyarakat pembaca.

Fenomena dan konflik sosial budaya merupakan fakta dan data (sebagai realitas pertama

atau realitas obyektif) yang menginspirasi penulisan karya sastra dan sebaliknya karya sastra

dapat menjelaskan bagaimana fenomena tersebut dilukiskan dalam karya sastra (sebagai realitas

kedua atau realitas karya sastra). Dalam sejarah perkembangan sasra Indonesia modern sejak

Angkatan Balai Pustaka (1920-an) dengan novel terkenal Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922),

sampai Angkatan Reformasi telah diterbitkan sejumlah novel sebagai representasi sosial budaya

yang menjelaskan aspek ekstrinsik dan aspek intrinsik karya sastra.

Sri Sumarah (Umar Kayam, 1975), misalnya adalah novel dengan latar Gerakan 30

September PKI (G30S PKI) melukiskan bagaimana Sri yang berjuang mengatasi beban

mentalnya ditinggalkan suami serta mengikhlaskan Bawuk anaknya yang terlibat aktif dalam

organisasi terlarang itu. Tetralogi novel Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), dan

Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988) (Pramoedia Ananta Toer) melukiskan sebuah

konflik sosial kemanusiaan yang diakibatkan oleh pilihan politik, relasi antara rakyat jelata dan

struktur kekuasaan, serta marginalisasi dan perbedaan kelas.

Contoh lain tentang karya sastra sebagai representasi sosial budaya adalah Rabies

(Banda, 2002). Novel ini dtulis berdasarkan resistensi masyarakat terhadap kebijakan eliminasi

total terhadap hewan (anjing) pembawa virus rabies. Resistensi terjadi karena anjing adalah salah

satu '"sahabat petani" dan bagian dari tradisi budaya parawitu (berburu) serta budaya agraris

masyarakat Flores pada umumnya. Novel ini diterbitkan Care Internasional dan digunakan oleh

lembaga tersebut sebagai salah satu alat sosialisasi penanganan wabah rabies di Flores tahun

(2002 - 2005).

Page 6: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

6

Selain novel-novel tersebut di atas, hadir pula novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor

Tiga (Banda, 2015, 2017) yang melukiskan tentang stigma budaya hamil dan melahirkan

kaitannya dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Novel ini dipakai sebagai salah satu media

promosi kesehatan yang melibatkan partisipasi masyarakat; dan novel Suara Samudra (Banda,

2017) tentang pencarian identitas Lamafa (penikam ikan paus), peledang (perahu), matros

(pendayung perahu) dalam tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera Pulau Lembata Nusa

Tenggara Timur.

Makalah ini akan menjelaskan secara terperinci bagaimana fenomena sosial budaya

dapat dinarasikan melalui karya sastra atau bagaimana karya sastra sebagai representasi sosial

budaya. Untuk itu dipilih satu novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (selanjutnya

disingkat Wijaya Kusuma) sebagai representasi sosial budaya khususnya yang berkaitan dengan

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Sebagaimana halnya novel Sri Sumarah, tragedi G30S PKI

merupakan aspek ekstrinsik, sedangkan estetika novel (alur, tokoh dan penokohan, serta latar)

merupakan aspek instrinsiknya; dalam Wijaya Kusuma, stigma budaya hamil dan melahirkan

kaitannya dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah aspek ekstrinsik, sementara itu

pelayanan KIA yang dilakukan Bidan Rosa Dalima (tokoh protagonis 1), Dokter Yordan (tokoh

protagonis 2) serta semua tokoh yang berkaitan dengan ibu hamil dan melahirkan merupakan

aspek intrinsiknya.

Alasan memilih Wijaya Kusuma: 1) berkaitan dengan tugas-tugas sebagai pengasuh mata

kuliah Pengantar Pengkajian Sastra (Semester I), Penulisan Prosa (semester IV), Telaah Naskah

Drama (Semester IV), Sosiologi Sastra (Semeser VI), dan Kapita Selekta Sastra (Semester VI) di

Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya; 2) salah satu novel yang dijadikan contoh dalam

menjelaskan karya sastra sebagai representasi sosial budaya dalam perkuliahan tersebut; 3) novel

ini salah satu karya unggulan penulis sebagai Dosen Berprestasi Fakultas Ilmu Budaya 2019; 4)

memudahkan penjelasan tentang karya sastra sebagai representasi sosial budaya berdasarkan

pengalaman personal; dan 5) novel ini mengalami ulang cetak lima kali, sudah terbit dalam edisi

revisi, serta sudah digunakan sebagai salah satu media promosi KIA.

Makalah ini akan menjelaskan bagaimana novel sebagai paradigma baru dalam

meningkatkan visi dan motivasi pelayanan paramedis dan dokter dalam penanganan KIA. Relasi

antara Sastra dan Kesehatan Ibu dan Anak, antara estetika karya sastra dan estetika pelayanan

kesehatan. Menjelaskan bagaimana relasi interdisiplin dan multidisiplin secara terencana dengan

Page 7: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

7

memperhatikan lokalitas dalam sastra dan prpmosi kesehatan. Bagaimana estetika novel dari

sudut pandang ekstrinsik maupun intrinsik bertemu dengan estetika promosi kesehatan KIA.

Makalah ini akan menggunakan teori modal (Piere Bourdieu), struktur ekstrinsik dan intrinsik

novel (Wellek dan Warren, dkk) dan metode kualitatif deskriptif, dengan rumusan masalah

sebagai berikut.

1.2 Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1) aspek ekstrinsik sebagai data dan fakta sosial budaya yang direpresentasikan ke dalam

novel Wiyaja Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (selanjutnya disingkat Wijaya Kusuma);

2) aspek intrinsik estetika novel Wijaya Kusuma; dan

3) karya sastra sebagai representasi sosial budaya.

II. Teori dan Metode

Penulisan novel Wijaya Kusuma dapat dilaksanakan secara terencana dengan

memperhatikan lokalitas. Konsep lokalitas dalam pandangan posmodern yaitu kecenderungan

yang memungkinkan kita untuk memahami dinamika global dengan mempelajari manifestasi

lokal. Dalam pemikiran postmodern, dimensi lokal dan global merupakan dua hal yang berjalan

beriringan (Yusuf Lubis, 2014:4). Salah satu ciri masyarakat modern adalah segala sesuatu dapat

dikemukakan dengan cara yang berbeda namun saling melengkapi dan sambung relasi. Dimensi

ini menjadi salah satu unsur dalam pemahaman ekstrinsik karya sastra yang berkaitan dengan

hal-hal berikut ini.

1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) berkaitan dengan tujuan pembangunan milenium

(Millennium Development Goals/MDGs, hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari

189 negara PBB yang ditandatangani pada saat KTT Milenium di New York september tahun

2000. MDGs memiliki 8 butir tujuan yang mesti dicapai tahun 2015: 1) menanggulangi

kemiskinan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) mendorong kesetaraan gender; 4)

menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS,

malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelesarian lingkungan hidup; dan 8)

mengembangkan kemitraan global.

Page 8: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

8

2. KIA memenuhi tujuan nomor 3, 4, dan 5 dari tujuan MDGs dalam dinamika global.

Implementasinya dilaksanakan di tingkat lokal dengan memperhatikan konsep lokalitas dalam

paradigma postmodern dengan mempelajari situasi KIA di Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah

satu jalan yang dilakukan untuk meningkatkan pelayanan KIA di NTT adalah jalan pendalaman

visi misi pelayanan melalui karya sastra (novel). Paradigma ini dilakukan dengan

mengoptimalkan modal budaya yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi NTT

berupa buku referensi, data-data kasus, serta pemahaman tentang stigma budaya hamil dan

melahirkan. Modal budaya ini dikemas ke dalam novel yang diyakini mampu menyentuh sisi-sisi

kemanusiaan pelayan kesehatan dalam melayani KIA.

Dalam konsep polivokalitas: segala hal atau obyek dapat dikemukakan dengan perspektif

atau paradigma yang berbeda (Yusuf Lubis, 2014:5). Karya sastra (novel) adalah sesuatu yang

berbeda dan baru bagi Dinkes NTT untuk dijadikan sebagai media untuk mengoptimalkan upaya

promosi dan pelayanan KIA.

Pierre Bourdieu mengemukakan konsep pasar dan modal yang memberikan sumbangan

bagi konstruksi dunia sosial. Sebuah pasar dapat dilihat sebagai sebuah ruang (medan) posisi-

posisi terstruktur, misalnya ruang pendidikan, ruang medis, fashion, bisnis, dll (Yusuf Lubis,

2015:109). Sedangkan modal terdiri dari modal budaya (berkaitan dengan kemampuan dan

vasilitas verbal, pengetahuan akademis, dan keterampilan), modal sosial (hierarki sosial karena

modal budaya dan modal ekonomi yang dimiliki), modal ekonomi (berkaitan dengan kekayaan,

uang), dan modal simbolik (akumulasi prestise dari modal sosial, modal budaya, dan modal

ekonomi).

Yang dimaksudkan dengan pasar dalam makalah ini adalah Dinas Kesehatan (Dinkes)

Propinsi NTT sebagai sebuah ruang terstuktur dengan pola relasi kuasa sesuai jabatan dan posisi

sebagai supply side. Dinkes NTT sebagai pasar memiliki modal budaya untuk menerbitkan

karya sastra -novel Wijaya Kusuma sebagai salah satu media promosi Kesehatan Ibu dan Anak

(KIA) di NTT. Wijaya Kusuma berbicara tentang tanggung jawab dokter dan paramedis

khususnya bidan dan para kader lapangan dalam penanganan persalinan, mengatasi stigma

budaya hamil dan melahirkan, partisipasi masyarakat, serta manajemen pelayanan Kesehatan

Ibu dan Anak (KIA).

Penulisan dan penerbitan Wijaya Kusuma dapat berjalan lancar karena Dinkes NTT

memiliki otoritas sebagai pasar yang menentukan kebijakan. Dinkes memahami dan menentukan

Page 9: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

9

bahwa karya sastra dapat berperan untuk menyentuh hati para bidan, dokter dan paramedis

lainnya, kader desa siaga (Desi), dan stakeholders terkait dalam menjalankan tugas. Wijaya

Kusuma dipandang dapat mengalirkan kata menjadi sebuah karya sastra humanisme, untuk

melunakkan wacana medis yang terkesan beku dan serba klinis menjadi hangat dengan bahasa

kehidupan yang puitik dan romantik. (Gayatri, 2017). Dengan modal (budaya, sosial, ekonomi,

dan simbolik) Wijaya Kusuma ditulis dan diterbitkan. Hal ini menjelaskan juga bahwa karya

sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11-12). Artinya, karya sastra lahir dalam

konteks sejarah dan sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya

merupakan salah seorang anggota masyarakatnya. Sastrawan tidak terhindar dari konvensi sastra

dan latar sosial budaya masyarakatnya (Pradopo, 2011:107-108). Dengan kata lain karya sastra

adalah sebuah konstruksi yang diciptakan secara kreatif dan inovatif untuk menjawab pertanyaan

zaman tentang manusia dan menyampaikan pesan-pesan yang bermakna bagi pembaca.

Wijaya Kusuma adalah novel yang dikonstruksi secara kreatif dan inovatif untuk

mengungkapkan bagaimana masalah kemanusiaan bidang KIA dengan latar belakang sosial

budaya daerah-daerah di Flores dan NTT pada umumnya ditampilkan dalam struktur novel. Hal

ini menjelaskan sebuah studi interdipliner antara karya sastra dan kesehatan. Studi sastra

interdisipliner menempatkan studi tentang karya sastra dalam hubungannya dengan disiplin ilmu

lain. Di beberapa prodi FIB Unud studi ini dilakukan melalui analisis struktural pada langkah

pertama dan dilanjutkan dengan analisis sastra dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial terutama

sosiologi (sastra), psikologi (sastra), dan semiotik. Studi sastra interdisipliner memiliki

keuntungan utama yaitu studi sastra tidak mengasingkan diri dari disiplin ilmu lain, penelitian

sastra sejajar dengan penelitian sosiologi, psikologi, dan semiotik serta aspek ekstrinsik karya

sastra lainnya seperti filsafat, sejarah, pendidikan, dan kebudayaan (Banda, 2018:1) termasuk di

dalamnya kesehatan khususnya KIA. Teori Struktural dalam memahami karya sastra (ekstrinsik

maupun intrinsik) adalah sebuah displin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur

yang terdiri atas beberapa unsur yang saling terkait; serta berusaha melihat karya sastra sebagai

sebuah sistem dan nilai yang dinarasikan secara naratif ke dalam alur atau plot (Wellek dan

Waren, 1989:157; Nurgiantoro, 2000:37; Endraswara, 2003:25; Semi, 1993: 68).

Pemahaman tentang studi interdispliner antara sastra dan KIA dapat dijelaskan dengan

menggunakan metode kualitatif deskripstif. Novel Wijaya Kusuma diperoleh melalui studi

pustaka sebagai data primer untuk kajian intrinsik novel. KIA, stigma budaya hamil dan

Page 10: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

10

melahirkan diperoleh melalui studi pustaka untuk kajian intrinsik maupun ekstrinsik. Selanjutnya

kajian dilakukan secara kualitatif dengan mendeskripsikan secara berurutan hal-hal yang

berkaitan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas.

III. Representasi Sosial Budaya dalam Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga

3.1 Apek Ekstrinsik Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga

Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) ditulis dengan tujuan

promosi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Ketika itu (2012-2015) di NTT sedang dilaksanakan

program Revolusi KIA dengan tujuan utama menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan

menurunkan Angka Kematian Balita (AKB) yang dinilai masih cukup tinggi di NTT

dibandingkan dengan angka rata-rata nasional. Proses kreatif penulisan novel Wijaya Kusuma

didasari pada modal budaya dan modal sosial berupa referensi, data dan kasus, serta

pengembangan gagasan tentang stigma budaya dan partisipasi masyarakat dalam upaya

peningkatan KIA di NTT dalam bentuk menurunnya AKI dan AKB.

Penanggung Jawab seksi KIA Dinas Kesehatan Propinsi menyerahkan beberapa

referensi sebagai modal budaya untuk mendukung penulisan novel Wijaya Kusuma dari Kamar

Nomor Tiga (Wijaya Kusuma). Semua dukungan referensi digunakan sebagai sumber-sumber

informasi dan gagasan dalam penulisan novel yang selanjutnya dinarasikan sebagai aspek

ekstrintik karya sastra. Aspek ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang membangun karya

sastra dari luar. Artinya sumber gagasan yang mendukung pembentukan karya sastra yang

menjadikan karya sastra sebagai representasi sosial budaya dimana karya sastra itu hadir.

1. Buku dan Pedoman Nilai-Nilai

Buku berjudul Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak, dan Juknis)

Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua Persalinan Dilaksanakan di

Fasilitas Kesehatan yang Memadai) (2012).

Buku ini memiliki cover dengan warna menyolok mata. Merah pada bagian atas lengkap

dengan lambang NTT sebelah kiri dan lambang bakti husada sebelah kanan. Biru dengan latar

pulau-pulau NTT dilengkapi dengan tujuh bulatan. Bulatan besar di tengah dengan latar

Page 11: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

11

belakang hijau ada tulisan berwarna merah ‘fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam’.

Enam bulatan mengelilingi bulatan besar di tengah.

Satu berlatar warna hijau muda dengan tulisan SDM berwarna merah dan ‘jumlah, jenis,

distribusi, dan kualitas’ berwarna kuning. Dua, berlatar warna biru putih dengan tulisan

‘peralatan’ berwarna merah. Tiga, berlatar warna hitam dengan tulisan ‘obat/bahan perbelkes.

Empat, berlatar warna kuning putih dengan tulisan ‘bangunan’ berwarna hitam. Lima, berlatar

warna merah putih dengan tulisan ‘sistem’ berwarna hitam. Enam, berlatar warna merah dengan

tulisan ‘penganggaran dan pembiayaan’ berwarna putih. (Banda, 2017:40-41).

Nilai-nilai pelayanan yang diungkapkan dalam novel Wijaya Kusuma pada prinsipnya

diambil dari nilai-nilai yang tertuang dalam buku tersebut. Selain itu nilai-nilai yang telah

diidentifikasi “The American Association Colleges Of Nursing” pada tahun 1985 juga dijadikan

dasar untuk menulis novel. Asosiasi tersebut mengidentifikasikan tujuh nilai personal

profesional: (1) aesthetics (keindahan); 2) alturisme (mengutamakan orang lain); 3) equality

(kesetaraan); 4) Freedom (kebebasan); 5) human digrity (martabat manusia); 6) justice (

keadilan); dan 7) truth (kebenaran).

2. Data dan Kasus

Selain buku diberikan juga data kasus dan informasi kematian ibu seperti data Antenatal

Care (ANC) atau perawatan ibu sebelum melahirkan (Banda, 2017: 319-320). Sebagaimana

disebutkan dalam Sekapur Sirih Wijaya Kusuma (Cetakan 2, 2015), dukungan data dan informasi

juga datang dari beberapa pihak: 1) Keluarga Berencana (KB) dari Ibu Bidan Elisabeth da

Gomez dan Dokter Heni Ratnawati (Kabupaten Ende); 2) penjelasan tentang Konsep 2H2 (dua

hari sebelum dan dua hari sesudah hari H melahirkan) yang intinya pada harkat dan martabat ibu

dan bayi dari Dokter Yosep Usen Aman (Kabupaten Flores Timur); 3 kasus kematian ibu dan

penjelasan latar belakang kematiannya yang disampaikan Bidan Veronika Dhuke (Kabupaten

Ngada), Bidan Yustina Go’o (Kota Kupang), dan Bidan Linda (Kabupaten Ende); 4) berita

tentang kematian ibu di Sulamu yang disampaikan Hironimus Modo (H.U. Pos Kupang). Ibu

mengalami pendarahan dan tidak dapat ditolong karena tidak ada tenaga medis, tidak dapat

dirujuk karena jarak jauh -antar pulau- dari Sulamu (pulau Rote) ke Kupang (Pulau Timor); 5)

kasus ibu bersalin (bulin) wafat di RSU Ende setelah melahirkan meninggalkan sepasang anak

Page 12: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

12

kembar. Ibu ini dirujuk dari Puskesmas Mbay Kabupaten Nagekeo di Flores. Jarak yang jauh,

topografi, geografi, dan kondisi jalan, serta kesulitan memperoleh akses informasi lainnya

berkontribusi terhadap kematian ini.

Data dan kasus-kasus dilengkapi dengan diskusi bersama Kepala Seksi KIA Dinas

Kesehatan Propinsi tentang empat terlambat dan tiga terlalu, dapat berkontribusi terhadap

kematian ibu maupun bayinya. Empat terlalu berkaitan dengan: terlalu sering melahirkan; terlalu

dekat jarak kelahiran antara anak yang satu dan anak yang berikutnya; 3) terlalu muda usia ibu

(kehamilan usia dini); dan 4) terlalu tua (umur ibu terlalu tua, di atas 35 tahun). Tiga terlambat

berkaitan dengan: 1) terlambat mengambil keputusan rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang

memadai; 2) terlambat tiba di fasilitas kesehatan; dan 3) dan terlambat ditolong.

3. Stigma Budaya, Mitos, dan Keyakinan Tradisional dalam Perpektif Jender

Yang dimaksudkan dengan stigma budaya adalah kepercayaan yang dikonstruksi

sehingga terjadi labeling, stereotyoe, dan diskriminasi dalam budaya yang mempengaruhi

kehidupan individu serta membawa dampak pada kehidupan bersama. Beberapa hal stigma

budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam perpektif gender dipelajari melalui wawancara

dengan Bapak S.P. Djadja (Ngadha, Flores) dan Pater Ansel Dore Dae (Maumere Flores). Hasil

wawancara dicatat dalam pokok-pokok pikiran berikut.

a. Hamil dan melahirkan urusan perempuan

b. Budaya Patriakhi

Pengambilan keputusan adalah laki-laki

Peran laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang domestik

Keberadaan anak laki-laki dalam keluarga lebih penting dari perempuan

4. Filosofi Bunga Wijaya Kusuma

Referensi, data kasus, stigma budaya, mitos, dan keyakinan tradisional dalam perpektif

jender, dilengkapi dengan pengetahuan dan pemahaman tentang filosofi bunga wijaya kusuma

sebagai simbol Bakti Kusada yang dijelaskan oleh Prof. Dr. I Wayan Windia, SH. M.Hum.,

(Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar)

Page 13: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

13

Bunga Wijaya Kusuma adalah bunga yang dipakai sebagai lambang Bakti Husada. Bunga

ini memiliki karakter mekar di tengah malam, harum semerbak wanginya, memiliki nilai magis

tentang kepekaan mendengar dan merasakan, sanggup mengobati, serta indah dan harum. Suara

mekarnya dapat didengar oleh orang yang benar-benar peka dan beruntung memperoleh

kesempatan langka tersebut. Aroma bunganya harum dan wangi. Warna bunganya putih tulang,

putih cenderung kekuningan, putih kemerahan. Bunga ini memiliki makna keluhuran dan

pengabdian dalam diam. Bunga Wijaya Kusuma (lambang Bakti Kusada): simbol keluhuran dan

kesetiaan dalam mengabdi serta simbol cinta dan ketentraman.

5. Mengelolah Tema

Tema novel ini ditentukan untuk promosi KIA dan menyentuh perhatian: 1) bidan dan

paramedis, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya terhadap Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); 2)

masyarakat terutama para kader di tingkat masyarakat, suami dan keluarga; 3) pemerintah

sebagai penentu kebijakan untuk menjadikan KIA sebagai salah satu fokus pembangunan

manusia. Sebagaimana dijelaskan Sumiyadi, dkk: pengelolahan tema sangat terkait pada

penguasaan kita secara tematis (wawasan sebagai individu dan kemampuan melihat masalah

secara proporsional) dan secara teknis (membutuhkan latihan dan pengalaman) (Sumiyadi, dkk.

2014:65). Di samping itu pengelolahan tema berhubungan dengan mempelajari segenap

referensi, data, budaya sebagaimana telah disebutkan di atas.

Data dan kasus tersebut di atas merupakan realitas pertama atau realitas obyektif yang

tersedia yang melengkapi unsur ekstrinsik dalam novel. Demikian pula penjelasan tentang

filosofi wijaya kusuma sebagai simbol Bakti Husada, buku Pedoman Revolusi KIA adalah

referensi obyektif yang menjadi latar lahirnya realitas kedua atau realitas imajinatif yang

dikemas dalam bentuk novel Wijaya Kusuma. Munculnya unsur-unsur ekstrinsik menjadikan

kekayaan bagi karya sastra yang pada dasarnya tidak dapat tercipta tanpa melibatkan dinamika

masyarakat dan kebudayaan (Kosasih, 2014:2).

3.2 Aspek Intrinsik: Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga

3.2.1 Ringkasan Cerita

Page 14: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

14

Aspek instrinsik adalah hal-hal pembangun utama karya sastra terdiri dari tema, motif,

amanat, alur, tokoh-tokoh dan perwatakan, latar, sudut pandang (teknik cerita), dan gaya bahasa).

Aspek intrinsik ini adalah estetika utama karya sastra prosa (novel) yang dirumuskan dalam tiga

hal prinsip yaitu alur (tema, motif, amanat, sudut pandang, komposisi, dan gaya bahasa), tokoh

dan perwatakan, serta latar. Secara singkat estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor

Tiga dapat dibaca melalui ringkasan cerita sebagai berikut.

Tokoh Utama novel ini adalah Bidan Rosa Dalima (Bidan Ros) bertugas di Polindes

Bakung Puskesmas Flamboyan. Bidan Ros (26 tahun) sudah bertunangan dengan Adrian, S.H.

seorang kontraktor dan tenaga honorer di Pemda setempat. Bidan Ros menempati kamar nomor

tiga (di belakang rumah kapus) mes Puskesmas sebelum ditugaskan di Polindes. Ia pencinta

bunga yang dapat menjadikan Puskesmas Flamboyan yang kotor dan dipenuhi rumput liar

menjadi hijau, subur, dan indah. Di Puskesmas itulah Ros bertemu dengan Kepala Puskesmas

(Kapus) Dokter Arnoldus Yordanius atau Dokter Yordan.

***

Dokter Yordan lulusan sebuah PT di Surabaya. Jatuh cinta pada Matilda mahasiswi

Psikologi. Matilda hamil. Yordan siap bertanggung jawab untuk menikahinya. Akan tetapi atas

pengaruh Adrian, Matilda melakukan aborsi. Hubungan keduanya hancur. Matilda berpacaran

dengan Adrian dan hamil. Aborsi lagi karena Adrian tidak mau bertanggung jawab. Matilda

kemudian menikah dengan laki-laki lain, dan melahirkan seorang anak, namun bercerai. Situasi

ini mempengaruhi sikap dan pilihan Yordan untuk menjauh dan bekerja di Puskesmas

Flamboyan. Di Flamboyan inilah ia bertemu Bidan Ros yang ternyata sudah bertunangan dengan

Adrian yang bermasalah dengan Yordan pada masa kuliah S1.

Di Puskesmas Flamboyan Yordan juga bersahabat dengan teman baiknya saat di

Surabaya, yaitu Martin sarjana ekonomi yang bekerja sebagai petani di wilayah Polindes

Bakung. Martin sahabat Yordan ini adalah salah satu kader desa siaga yang mendukung

sepenuhnya tugas-tugas Bidan Ros serta siap membantu Bidan Ros kapan saja diperlukan.

Yordan dan Martin sama-sama menaruh hati pada Bidan Ros, serta sama-sama tahu siapa Adrian

dalam masa lalu Yordan dan Matilda.

***

Dalam menjalankan tugasnya Ros berhadapan dengan tiga laki-laki yaitu Yordan,

Martin, dan Adrian. Adrian sangat cemburu dan diliputi kecurigaan pada Yordan dan Martin. Dia

selalu mengunakan kata-kata kasar dan berbagai tekanan untuk mengganggu Ros agar segera

tinggalkan pekerjaannya. Adrian akhirnya berselingkuh dengan seorang dokter dan mengambil

jalan putus hubungan dengan Ros. Ia pun menggunakan Lukas pengangguran di Desa Bakung

untuk menjatuhkan Ros termasuk menghancurkan taman bunga Polindes untuk melukai hati Ros.

Ros dapat menjalankan tugas-tugasnya meskipun menghadapi berbagai tekanan Adrian,

permusuhan yang dibangun Lukas. Secara pribadi dia berusaha menjalankan tugasnya

menghadapi ibu hamil dengan kategori masalah. Ibu pendarahan, terjebak longsoran dalam

perjalanan rujukan, kematian ibu, dan kematian bayi. Ia juga menghadapi proses investigasi

kasus kematian dengan tabah, tekanan bidan kepala, kecaman bidan, dokter, dan petugas

kesehatan lainnya. Ia juga berada dalam kinerja dan manajemen kerja yang cenderung

mementingkan diri dan mengorbankan orang lain.

Page 15: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

15

Dalam situasi tertekan dalam tugas dan cintanya yang kandas, Yordan selalu berada

untuk mendukungnya. Tanpa disadari Ros, Yordan mulai terbuka hatinya untuk bercerita tentang

masa lalunya bersama Matilda. Sementara itu Martin pun menunjukkan sikap yang sangat

menenangkan batin Ros agar dapat menghadapi kemelut tugas-tugasnya dengan tenang. Ia tetap

membangun komunikasi dengan para kader untuk membangun pemahaman masyarakat di

wilayahnya tentang pemeriksaan semasa hamil, hamil dalam usia terlalu muda atau terlalu tua,

jarak kelahiran terlalu dekat, atau juga melahirkan dalam jumlah terlalu banyak karena

mengutamakan anak laki-laki. Ros juga menghadapi berbagai problem yang berkaitan dengan

stigma budaya tentang gender, peran laki-laki dan perempuan, mitos tentang suanggi, penolakan

keluarga, peran masyarakat, topografi wilayah yang sulit, tanah longsor, terjebak hujan, dan

berbagai masalah yang membawa dirinya menghadapi kematian bayi dan ibunya.

***

Meskipun sudah putus, Adrian mengancam akan membuka rahasia Yordan dan Matilda

pada masa lalu, namun tidak berhasil sebab melalui sebuah surat panjang, Yordan menjelaskan

posisinya sekarang, serta berterus terang soal rasa cintanya pada Ros. Sementara Ros berusaha

membebaskan dirinya dari tekanan Adrian dan perhatian khusus Yordan dengan bekerja lebih

giat. Pada masa itulah Ros dihadapkan dengan kematian ibu akibat sesak nafas, ibu yang

menemui ajalnya akibat tidak ada tabung oksigen, serta adanya perebutan tabung antara bagian

rawat nginap dan KIA.

Ros diizinkan untuk cuti selama satu bulan di kampung halamannya. Yordan menaruh

harapan tinggi agar Ros menerima cintanya. Sementara Martin masih menunggu keputusan Ros

setelah mengirim sepucuk surat yang belum pernah dibaca Ros. Yordan berterus terang pada

Martin, bahkan meminta Martin mendukung hubungan itu. Martin tidak bicara apapun pada Ros,

namun melalui sikap dan perhatiannya Ros menyadari rasa cinta Martin.

***

Setelah libur hampir sebulan di rumah ibunya, mendengar berbagai petuah ibunya, Ros

mengirimkan kabar kepada Yordan untuk datang menjemputnya di rumah ibunya. Tanpa

menunggu Yordan langsung datang. Di rumah itulah keduanya bersama-sama mendengar dan

menyaksikan wijaya kusuma mekar. Hubungan keduanya direstui orang tua. Ros terpilih sebagai

bidan teladan. Martin menghadiahinya lawo lambu (sarung dan baju) adat Lio Ende dan

memintanya pakai pada saat pulang dan merayakan syukur bidan teladan di Polindes Bakung.

Ros merasa sedih karena tidak dapat membalas cinta dan perhatian Martin padanya.

***

Cerita ini berakhir pada saat Ros datang ke Kupang sebagai bidan teladan. Ros dan

Yordan berdua di taman doa. Cinta keduanya yang amat kuat, dihadang oleh Matilda yang tiba-

tiba hadir kembali. Yordan dengan tegas meninggalkan Ros sendirian dan pergi bersama

Matilda. Ros terhenyak dan menangis. Ros menelpon Martin pada saat Martin pun sedang

berusaha menghubungi Yordan karena tahu bahwa Matilda akan datang mengganggu. Dalam

kondisi sulit Ros meyakinkan dirinya sebagai bidan bukan hanya bidan yang mesti bertanggung

jawab pada tugasnya sebagai bidan. Dirinya tetap tabah dan tegar meskipun dihadapkan dengan

stigma budaya dan masalah-masalah sosial budaya lainnya, serta manajemen Polindes,

Puskesmas, Rumah Sakit, dan Dinas Kesehatan yang sering kali tidak dapat menjadi tempat

berlindung yang semestinya (Banda, 2017).

3.2.2 Modal Simbolik dan Estetika Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga

Page 16: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

16

Novel dengan tokoh utama Bidan Rosa Dalima (Bidan Ros) ditulis sejak akhir Maret

2015 sampai 26 Juni 2015 (tiga bulan) setelah melewati proses pengumpulan data dan fakta sejak

2012. Pengetahuan yang diperoleh melalui buku-buku, data-data kasus, nilai personal dalam

pratik kebidanan, filosofi wijaya kusuma dalam simbol Bakti Husada, stigma budaya dan

partisipasi masyarakat adalah masukan yang mendukung dan memperkuat isi novel. Hal ini

menguatkan keyakinan bahwa faktor utama yang mendorong lahirnya karya sastra pada

umumnya adalah sikap pikiran dan sikap batin pengarang sebagai penulis.

Hal-hal yang meyakinkan untuk menulis adalah pemahaman kritis tentang: 1) stigma

budaya melahirkan di beberapa daerah di Flores dan NTT pada umumnya, budaya patriakhi,

pengetahuan masyarakat tentang KIA, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan gender

dan pemberdayaan perempuan: 2) topografi dan geografi wilayah, kondisi infrastruktur jalan

raya kecamatan dan desa-desa, menjadi salah satu kendala utama dalam penanganan KIA; 3)

situasi ekonomi yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan; 4) kondisi pendidikan pada

umumnya, berpengaruh besar terhadap pelayanan KIA baik pada tingkat pemerintah sebagai

pelayan kesehatan (supply side) maupun masyarakat sebagai yang dilayani (deman side); 4)

dukungan dan partisipasi masyarakat, peran kader-kader desa bidang kesehatan, dalam

menghadapi tantangan KIA; 5) saksi kematian salah satu bayi kembar di Kecamatan Moni atas

informasi dari Romo Trens Du'e, Pr (keputusan rujuk ke RSU terhambat karena ayah si bayi

lebih memilih pertemuan yang membahas masalah adat-istiadat); 6) mempelajari langsung

penanganan ibu melahirkan dan bagaimana salah satu penentu kebijakan setempat meminta

untuk mengutamakan bayi daripada ibunya; 7) mengetahui ibu yang tidak mau mengikuti KB

sementara sudah memiliki anak ketujuh dan hamil lagi anak ke delapan. Sementara itu, suami

lebih memilih menghindar dengan alasan menjaring ikan di laut daripada mendapat penjelasan

bidan tentang pembatasan jumlah kelahiran demi kesehatan ibu dan aspek-aspek lain; 8)

menjadi saksi bagaimana sejumlah bapak yang sudah siap fasektomi akhirnya menghilang satu-

persatu karena malu berhadapan dengan tenaga kesehatan (nakes) yang dikenalnya di

Puskesmas.

Pemahaman kritis tersebut dinarasikan melalui novel yang disajikan dengan pemahaman

estetis melalu aspek intrinsik: peristiwa dan rangkaian peristiwa yang membentuk alur; konflik

(tokoh dan antar tokoh) dan pengembangan karakter secara psikis maupun sosial; latar tempat,

Page 17: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

17

latar waktu, dan latar sosial budaya. Draf novel Wijaya Kusuma dibaca pertama kali oleh

Mezra Pelondou, S.Pd. M.Pd, dan Dr. Drs. Marsel Robot, M.S. Keduanya memberi masukan

tentang nilai dan estetika sastra yang disampaikan dalam acara bedah draf novel Wijaya Kusuma

dalam acara “Bedah draf Novel 26 Juni 2015” yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan

Propinsi NTT.

Pada kesempatan tersebut dokter dan paramedis (khususnya bidan) -perserta acara- ikut

ambil bagian untuk menanggapi draf novel. Pernyataan beberapa bidan tentang: tanggung jawab

menjalankan tugas; bagaimana menghadapi tekanan suami dan keluarga ibu yang menuntut

penanganan segera dan selamat; serta bagaimana bidan menghadapi keluarga yang tidak paham

tentang kondisi kesehatan ibu dan apa saja yang harus diperhatikan agar ibu dapat melahirkan

dengan selamat memberi masukan berarti bagi pendalaman nilai-nilai dalam Wijaya Kusuma.

Bidan Joriah (Flores Timur) secara khusus menyampaikan kesannya tentang bagaimana

mereka harus mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan pintu rahim dengan berbagai

warna dan aroma cairan yang harus dikenal dan ditangani dengan tenang dan selamat,

memperkuat pembentukan karakter Bidan Ros sebagai tokoh antagonis dalam Wijaya Kusuma.

Salah satu masukan dari Bidan Joriah yang sangat inspiratif untuk penulisan novel Wijaya

Kusuma adalah sebagai berikut.

Hujan turun membasahi bumi ini. Apakah kita tahu bahwa bumi ini tidak hanya

dibasahi oleh hujan. Ada tetes-tetes darah dan air mata ibu yang melahirkan, ada

placenta yang tertanam di sini, ada tangis dan senyum. Apakah kita tahu bahwa ada

ibu hamil, ibu nifas, dan ibu menyusui yang suara meminta tolongnya tidak terdengar.

Apakah kita juga tahu ada bidan yang gemetar dan tergetar hatinya saat menolong

persalinan? Perlukah kepekaan untuk mendengar keluhan mereka secara luhur

sebagaimana keluhuran yang ditunjukkan wijaya kusuma bunga bakti husaha yang

mekar pada waktu malam? Wanginya yang harum menghembuskan nama baik dan

keindahan yang terukir pada ketulusan atau ketidaktulusan dalam mengabdi?

Novel Wijaya Kusuma terdiri atas lima bagian. Pertama, Wijaya Kusuma dari Kamar

Nomor Tiga terdiri atas tujuh anak judul: 1) Langkah Pertama; 2) Dari Balik Jendela; 3) Langit

Biru di Atas Polindes; 4) Sesuatu yang Dapat Diubah; 5) Para Sahabat hati; 6) Antara Dua Laki-

Laki; dan 7) Yang Hilang Kutemukan Kembali. Kedua, Wijaya Kusuma Berguguran terdiri atas

lima anak judul yaitu: 8) Air Matamu, Ibu; 9) Yang Sanggup Berkata Benar; 10) Di Ujung

Penyesalan; 11) Getaran-Getaran; dan 12) Antara Senyum dan Tangis. Ketiga, Wijaya Kusuma

Page 18: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

18

Nama Bunga Itu terdiri atas enam anak judul yaitu: 13) Ibu yang Selalu Sendiri; 14) Bulan di

Langit Hitam; 15) Kesepakatan Untuk Kita; 16) Tidak Perlu Takut Untuk Jujur; 17) Ujian Untuk

Bertahan; dan 18) Tentang Pilihan dan Kesetiaan. Keempat, Terdengar Suara Wijaya Kusuma

Malam Ini terdiri atas delapan anak judul: 19) Waktu Untuk Setia; 20) Cerita Tentang Warna;

21) Bukan Surat Biasa; 22) Yang Tak Pernah Layu; 23) Belum Saatnya Pergi; 24) Panggil Dia

Aminah; 25) Pertanyaan Untuk Hatiku; dan 26) Suara yang Kukenal. Kelima, Kupetik Wijaya

Kusuma yang Sedang Mekar terdiri atas delapan anak judul: 27) Pulang; 28) Air Susu Ibu; 29)

Pertanyaan Ketiga; 30) Laki-Laki Pilihan; 31) Ulang Sekali Lagi Kalimatmu; 32) Jangan Takut

Ibu; 33) Mawar dari Polindes Bakung; dan 34) Pada Matamu Ada Doaku.

Novel ini diterbitkan pertama November 2015, kedua Desember 2015, ketiga dan

keempat pada tahun 2016. Berdasarkan berbagai publikasi dan pembahasan tentang Wijaya

Kusuma novel ini mengalami beberapa revisi tanpa mengubah substansinya. Edisi revisi

diterbitkan sekitar bulan November 2017. Wijaya Kusuma adalah sebuah modal simbolik

(akumulasi prestise dari modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi) yang dijelaskan

berdasarkan teori modal.

IV. Karya Sastra sebagai Representasi Sosial Budaya

Wijaya Kusuma adalah karya sastra bergenre novel. Fungsi utamanya sebagai media dan

bahan promosi kesehatan, khususnya Kesehatan Ibu Anak (KIA). Wijaya Kusuma didistribusi ke

semua Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, para bidan, institusi pendidikan kesehatan, dan

institusi terkait lainnya. Wijaya Kusuma adalah representasi sosial budaya tentang KIA dan

segenap permasalahan baik dari sisi pemerintah (supply side) dan masyarakat yang dilayani

(deman side). Sebagai karya yang representatif novel ini dapat bermakna pragmatis.

Sebagaimana karya seni pada umumnya, seni pragmatis berkaitan dengan terapan yaitu

karya sastra sebagai gambaran dari berbagai fenomena sosial budaya tentang ibu dan anak yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pragmatisme dalam sastra menurut Faruk (2005)

relatif kuat apabila dilihat dari sejarahnya.

Mulai dari karya sastra zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang pragmatis. Karya

sastra ditempatkan sebagai "alat" pendidikan masyarakat, pencerahan masyarakat akan

ide-ide modernitas yang dibawa oleh politik etis di satu pihak dan penyadaran masyarakat

Page 19: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

19

akan belenggu adat takhyul pada pihak lainnya. Pada awal kepemerdekaan Indonesia

Chairil pun terjaring ke dalam wacana yang pragmatis. Karyanya dikaitkan dengan

revolusi kemerdekaan, kisah heroik untuk melawan penjajahan. Demikian pula dominasi

Lekra pada awal 1960-an dengan upaya "politik sebagai panglima" berhadapan dengan

kelompok Manikebu. Selanjutnya ada kecenderungan lepasnya sastra dari pragmatisme

peda awal Orde Baru, akan tetapi tetap dalam bayang-bayang pragmatisme. Sejarah sastra

Indonesia modern telah menciptakan karya sastra dan sastrawan yang sensitif dan

sekaligus rentan terhadap rangsangan-rangsangan pragmatisme (Faruk, 2005:xiii-xv).

Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pragmatisme adalah bagian dari

kehadiran sastra untuk mencerahkan. Karya sastra merupakan produk budaya yang memiliki

kepekaan terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Kesusastraan memiliki relasi dengan

berekspresi terhadap unsur kebudayaan lain yang dilakukan oleh kaum intelektual seperti

berideologi, berpolitik, berekonomi, dan lainnya. Kesusastraan sebagai bagian penting dari

ekspresi kebudayaan (Wachid, 2005:89).

Wijaya Kusuma menjelaskan bahwa karya sastra merupakan representasi sosial budaya.

Isi karya sastra dilatari kehidupan sosial masyarakat. Konsentrasi dan pengembangan imajinasi

dalam novel menunjukkan relasi novel sebagai karya sastra dan aspek-aspek sosial budaya dalam

ranah sosiologi. Karya sastra sebagai dokumen sosial atau gambaran kenyataan sosial (Wellek

dan Warren, 1990:122). Karya sastra tidaklah lahir dari kekosongan sosial (social Vacuum) hal

ini bukanlah suatu asumsi yang berlebihan, meskipun kita juga harus ingat bahwa karya sastra

adalah hasil daya khayal atau imajinasi dengan amanat atau ajaran moral yang disampaikan

kepada pembaca (Harjana (1983 :71 ).

Dalam kerja sama novel dan promosi KIA nilai-nilai tentang pelayanan kesehatan

khususnya pelayanan KIA menjadi bagian integral dari novel. Karenanya secara intrinsik tema

alur, karakter tokoh-tokoh, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa difokuskan pada lokus

KIA yang ditunjang oleh aspek ekstrinsik - sebagaimana telah dijelaskan di atas - tentang

filsafat, pendidikan, ekonomi, kesehatan, topograf geografi, serta sosial budaya. Penulisan novel

dengan memperhatikan aspek intrinsik dan ekstrinsik tersebut memiliki tujuan utama pada

makna-makna yang disampaikan.

Novel Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga memasuki masa cetak dalam edisi revisi

(Penerbit Kanisius 2017) dengan dukungan dari Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara

Timur. Pada awalnya Dinas Kesehatan Propinsi NTT menerbitkan novel Wijaya Kusuma dari

Kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) ini pada September 2015, dilanjutkan dengan terbitan

Page 20: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

20

kedua dengan dukungan Australian - Indonesian Partnership for Maternal and Neonatal Health

(AIPMNH) atau Kerja Sama Australia Indonesia Untuk Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir

(Desember 2015), penerbitan ketiga dan keempat (2016).

Wijaya Kusuma sebaga representasi sosial budaya telah terpublikasi secara luas melalui

Bedah Novel (sebelum penerbitan), 26 Juni 2015 di Kupang yang diselenggarakan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi NTT. Peluncuran Novel 09 November 2015. Isinya yang “tidak biasa” dalam

sastra Indonesia, tentang dunia kebidanan, kehamilan, dan kelahiran telah menarik perhatian

pembaca, pemerhati sastra dan budaya. Tanggapan pembaca dapat dicermati antara lain: a)

Wijaya Kusuma dibahas Bentara Budaya Bali dalam program Sandyakala #47, 22 November

2015; b) salah satu makalah Seminar Nasional Sastra Universitas Sanata Darma 22 Oktober

2015; c) materi yang dibahas dalam pengukuhan Pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan

Indonesia (HISKI) Komda Bali April 2016; d) Bedah novel Wijaya Kusuma dalam rangka

Perayaan HUT Ikatan Bidan Indonesia (IBI) IBI Flores Timur, Sabtu, 16 Juli 2016, dengan tema

“Penguatan Peran Bidan dalam pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Untuk Mendukung

Pencapaian MDG’s”; e) kritisi terhadap novel ini juga dilakukan melalui Konferensi

Internasional Kesusastraan XXV HISKI di Yogyakarta Oktober 2016 oleh Retno Puji Astuti

(mahasiswa S3 Wacana Sastra Prodi Linguistik FIB Unud).

Selain pembahasan dan publikasi di atas perhatian terhadap Wijaya Kusuma ini dapat

dicermati dalam beberapa publikasi dalam bentuk ulasan, opini, resensi, dan pandangan pembaca

seputar Wijaya Kusuma: a) “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam Novel Wijaya

Kusuma” (Yohanes Berchemas Ebang); b) “Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang Novel

Wijaya Kusuma karya Maria Matildis Banda” (Yoseph Lagadoni Herin); c) “Sisi Humanisme

Seorang Paramedis dan Dokter dalam Novel Maria Banda” (Gek. NN); d) “Kami Butuh Bidan

Sekarang dan Selamanya” (Vincen Belawa Making, SKM, M.Kes); e) “Kamar Nomor Tiga

Sadarkan Bupati Herin tentang Ibu dan Anak” (Mans Balawala); dan f) “Saya Baru Menyadari

Betapa Mahal Kehidupan” (Mans Balawala).

V. Simpulan

Novel Wijaya Kusuma dari kamar Nomor Tiga (Wijaya Kusuma) mengetengahkan

berbagai aspek sosial budaya serta stigma budaya yang berhubungan dengan hamil, melahirkan,

serta KIA pada umumnya. Penanganan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) dalam Pedoman

Page 21: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

21

Revolusi KIA, Petunjuk Teknis Lompatan Penurunan Kematian Bayi di Provinsi NTT dan

partisipasi masyarakat diungkapkan dalam bahasa novel (alur, perwatakan, dan latar).

Wijaya Kusuma sebagai salah satu media promosi. Berbagai referensi diperoleh antara

lain buku, data dan kasus, hasil wawancara tentang stigma budaya melahirkan dan KIA, nilai-

nilai pelayanan, dan filosofi bunga wijaya kusuma sebagai simbol bakti husada.

Wijaya Kusuma menjelaskan bahwa karya sastra adalah representasi sosial budaya dan

memiliki makna pragmatis bagi masyarakat. Ragam sastra dapat dimanfaatkan dalam berbagai

ranah kehidupan. Salah satu di antaranya adalah institusi kesehatan yang menangani Kesehatan

Ibu dan Anak (KIA). Proses penulisan dalam kerja sama, distribusi, bedah novel dan berbagai

diskusi tentang Wijaya Kusuma yang diselenggarakan Dinas Kesehatan dan institusi lainnya

menunjukkan hubungan interdisiplin dan multidisiplin. Hubungan ini diharapkan dapat

membuka sekat pembatas antarinstitusi demi pemberdayaan masyarakat bidang KIA dan

penerusan nilai-nilai pelayanan melalui karya sastra.

Melalui kehadiran novel ini paramedis dan dokter -meskipun belum semuanya- mendapat

pemahaman 'estetis sastra' baru tentang penanganan medis yang pada umumnya 'cenderung

klinis dan kaku'. Wijaya Kusuma menjelaskan kerja sama untuk memahami aspek-aspek sosial

budaya serta partisipasi masyarakat (deman side) dengan pemerintah (supply side) dalam bidang

kesehatan dapat dilakukan secara bersama-sama secara terencana. Kerja sama ini perlu agar

penanganan masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dapat dilakukan dari semua aspek.

Denpasar, 23 Mei 2019

Maria Matildis Banda

Page 22: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

22

Daftar Pustaka

Banda, Maria Matildis. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga. Yogyakarta: Kanisius.

2017.

Banda, Maria Matildis. “Parrhesia dan Kekuasaan Sastrawan dalam Mengungkapkan

Kebenaran” dalam Isu-Isu Mutakhir dalam Kajian Bahasa dan Sastra.

(Sudibyo dan Ilma ed.) Yogyakarta: UGM - Interlude. 2016.

Banda, Maria Matildis. "Alih Wahana Cerpen ke Drama Modern: Refleksi Lomba Drama

Modern Bali" Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya.

Denpasar : Fakultas Sastra dan Budaya Unud.2016.

Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Pedoman Revolusi KIA di Provinsi NTT (Pergub, Juklak, dan

Juknis) Percepatan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Semua

Persalinan Dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan yang Memadai). Kupang: Dinas

Kesehatan Propinsi NTT (2012).

Herin, Lagadoni Yoseph. “Revolusi KIA, Bidan dan Kita, Menimbang Novel

WKdKNT karya Maria Matildis Banda”. Ende: Flores Pos 26 februari 2016.

Djoko Pradopo, Rachmat. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka

Pelajar: Yogyakarta. 2011.

Endraswara, Suwardi. 2003.Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan

Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklore Konsep, Teori, dan Aplikasi.

Yogyakarta: Media Presindo.

Harjana, Andre. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. 1983.

Making, Vincen Belawa, “Kami Butuh Bidan Sekarang dan Selamanya.” Opini. Pos

Kupang 27 Juni 2016. Kupang: H.U. Pos Kupang. 2016.

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Teeuw, A. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka jaya, 1989.

Yohanes Berchemas Ebang, “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam Novel

WKdKNT” Flores Sastra 10 Maret 2016.

Page 23: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

23

Yusuf Lubis, Akhyar. Posmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Dividi Buku Perguruan Tinggi

Pt. Raja Grafindo Persada. 2014.

Sumiyadi dan Memen Durachman. Sanggar Sastra Pengalaman Artistik dan Estetik Sastra.

Bandung: Penerbit Afabeta, 2014.

Wachid, Abdul. Sastra Pencerahan. Penerbit Saka. 2005.

Wellek, Rene dan Austin Waren. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan oleh Melani

Budianta) Jakarta: Pustaka Jaya. 1990.

Referensi Internet

1. Gek. NN. 2015 tentang “Sisi Humanisme Seorang Paramedis dan Dokter dalam Novel

Maria Banda”. www.kabarnusa.com/2005

2. Mans Balawala. 2015. “Kamar Nomor Tiga Sadarkan Bupati Herin tentang Ibu dan

Anak” www.aksiterkini.com

3. Mans Balawala, 2015. “Saya Baru Menyadari Betapa Mahal Kehidupan”

wwwsergapntt.com

4. Yohanes, Berchmans Ebang. 2016. “Wijaya Kusuma dan Pelampauan Simbol dalam

Novel WKdKNT” Floressastra.com/2016/03/10.

Maria Matildis Banda

Page 24: REPRESENTASI SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL WIJAYA …

24