REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari...

16
1 REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM SASTRA LISAN MINANGKABAU, KABA ANGGUN NAN TONGGA 1 Mina Elfira Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Makalah ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra Minangkabau, dikenal sebagai masyarakat matrilineal terbesar didunia. Sebagai bahan analisis adalah sastra lisan Kaba Anggun Nan Tongga (KAT) yang dikenal secara baik di daerah Minangkabau bagian pesisir. Argumen utama makalah ini yaitu keterkaitan yang kuat hubungan antara teks tersebut dengan kondisi sosial, budaya masyarakat penghasilnya. Dengan mengunakan pendekatan sosiologi sastra, makalah memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah ranah sharing codes yang implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana terlihat pada sastra lisan pesisir KAT. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan dalam mengimplementasikan konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat Minangkabau. KAT sangat kuat merepresentasikan nilai-nilai matrilineal-maritim yang dianut oleh masyarakat Minangkabau pesisir. Laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang berpetualang yang memerdekan dan sarana inisiasi untuk mendapatkan derajat hidup. Kata kunci: Minangkabau, matrilineal, maritim, sosiologi sastra, Kaba Anggun Nan Tongga, Pendahuluan Minangkabau ranah nan den cinto Pusako bundo nan dahulunyo (Minangkabau ranah yang kucintai Pusaka bunda yang dahulunya) Penelitian ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra lisan Minangkabau, grup etnik terbesar keenam di Indonesia. Sebagai sebuah teritori budaya Minangkabau 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ketua peneliti),2014

Transcript of REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari...

Page 1: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

1

REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM SASTRA

LISAN MINANGKABAU, KABA ANGGUN NAN TONGGA1

Mina Elfira

Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Makalah ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra Minangkabau, dikenal

sebagai masyarakat matrilineal terbesar didunia. Sebagai bahan analisis adalah sastra lisan Kaba

Anggun Nan Tongga (KAT) yang dikenal secara baik di daerah Minangkabau bagian pesisir.

Argumen utama makalah ini yaitu keterkaitan yang kuat hubungan antara teks tersebut dengan

kondisi sosial, budaya masyarakat penghasilnya. Dengan mengunakan pendekatan sosiologi

sastra, makalah memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah ranah sharing codes yang

implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana terlihat pada

sastra lisan pesisir KAT. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan dalam mengimplementasikan

konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat Minangkabau. KAT

sangat kuat merepresentasikan nilai-nilai matrilineal-maritim yang dianut oleh masyarakat

Minangkabau pesisir. Laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang berpetualang yang

memerdekan dan sarana inisiasi untuk mendapatkan derajat hidup.

Kata kunci: Minangkabau, matrilineal, maritim, sosiologi sastra, Kaba Anggun Nan Tongga,

Pendahuluan

Minangkabau ranah nan den cinto

Pusako bundo nan dahulunyo

(Minangkabau ranah yang kucintai

Pusaka bunda yang dahulunya)

Penelitian ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra lisan Minangkabau,

grup etnik terbesar keenam di Indonesia. Sebagai sebuah teritori budaya Minangkabau

1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ketua

peneliti),2014

Page 2: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

2

sesungguhnya luasnya melampaui wilayah provinsi Sumatera Barat. Menurut sumber yang

didasarkan pada Tambo Alam Minangkabau secara geografi Minangkabau membentang meliputi

sebagian besar Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Jambi (Hakimy, 1997:19).

Orang-orang Minangkabau mengunakan terminologi adat untuk merujuk baik ke sejarah lisan

yang memuat asal alam Minangkabau, dan peribahasa-peribahasa yang memberikan pedoman-

pedoman dan aturan-aturan perihal seremoni-seremoni, cara bersikap, dan relasi-relasi

kekerabatan matrilineal (Kato, 1982:33-34). Sejak adat mencakup seluruh masyarakat

Minangkabau, ia juga menjadi ideologi hegemoni, yang melegitimasi dan menstrukturisasi

kehidupan politik dan seremonial di kampung (Sanday:2002).

Dalam kajian akademik, khususnya kajian Minangkabau, maupun masyarakat awam

Minangkabau dikenal dengan identitas tiga karakter yang yang tampak seperti berkontradiksi.

Pada satu sisi Minangkabau dikenal sebagai masyarakat matrilineal yang terbesar didunia.

Implikasi dari nilai nilai matrilineal, sistim kekerabatan dan waris melalui garis ibu, kaum

perempuan Minangkabau mendapatkan kedudukan sebagai penerus keturunan, pemilik harta

waris, manajer rumah van Reenen: 1996, and Sanday:2002, Elfira: 2015. Petikan syair lagu di

atas secara implisit menjelaskan kuatnya posisi perempuan dalam masyarakat Minangkabau

Begitu pentingnya kedudukan perempuan dalam masyarakat Minangkabau, yang di Indonesia

dikenal dengan sebutan suku Minang, dapat terlihat dari sebutan perempuan Minangkabau

sebagai limpapeh rumah gadang (pilar utama rumah gadang2).

Namun disisi lain Minangkabau juga dikenal sebagai salah satu masyarakat yang dikenal fanatik

dalam melaksanakan syariah Islam di Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di

dunia. Nilai-nilai Islam adalah patriarki dan patrilineal. Kontradiksi karakter yang kedua yaitu

kuatnya kesadaran untuk mempertahankan adat istiadat, namun diikuti juga kuatnya keinginan

untuk memodernisasi Minangkabau. Kontradisksi yang ketiga adalah karakter orang-orang

Minangkabau Minangkabau juga dikenal sebagai orang-orang yang masih terikat kuat dengan

kampun halamannya, namun juga dikenal dengan budaya pai marantau (pergi merantau).

2 Rumah adat yang besar, biasanya dipergunakan pula sebagai tempat keluarga garis ibu tinggal.

Page 3: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

3

Awalnya marantau ini ini berarti pergi keluar kampung atau keluar nagari. Nagari, yang

berasal dari bahasa Sansekerta, dalam Alam Minangkabau dikenal sebagai teritori terkecil yang

memiliki otoritas penuh dan independen Diasumsikan bahwa kolonial Jawa-Hindu mengunakan

kata ini sekitar abad 12 yang merujuk pada kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan pada waktu

itu (Westernenk, 1981: 1-2). Nagari pertama adalah Pariangan Padang Panjang, yang berlokasi

di lereng bagian selatan Gunung Merapi (Westernenk, 1981: 2).

Secara geografis, politis dan kesejarahan Alam Minangkabau mengenal pembagian darek dan

pasisia, tanah asa tanah asal) dan tanah rantau. Darek (darat) adalah wilayah yang berlokasi di

dilereng Gunung Merapi (gunung berapi dekat Bukit Tinggi). Daerah darek dibagi menjadi tiga

luhak (daerah), dikenal sebagai Luhak nan Tigo (Luhak yang tiga): Tanah Data (Tanah Datar)

(Luhak nan Tuo- Luhak yang tua), Agam (Luhak nan Tangah-Luhak yang tengah) dan Lima

Puluh Koto (Luhak nan Bungsu-Luhak yang bungsu). Daerah darek ini juga diakui sebagai tanah

asa tanah asal) dari Minangkabau. Sedangkan Pasisia merujuk pada dataran rendah di bagian

barat dari Bukit Barisan. Area ini dibagi menjadi tiga teritori, beberapa darinya pada masa lalu

memainkan peran penting dalam bidang ekonomi dan politik: Tiku-Pariaman (area utara),

Padang (area pusat), Bandar Sepuluh dan Indrapura (area selatan).

Rantau ,yang arti literalnya garis sungai atau garis pantai, asalnya merujuk pada teritori di luar

Luhak nan Tigo, kemudian, ‘rantau’ merujuk ke area diluar Alam Minangkabau yang secara

sosio-kultural dipengaruhi oleh Minangkabau. Sekarang rantau merujuk ke daerah di luar alam

Minangkabau, baik yang secara sosio-kultural dipengaruhi oleh Minangkabau ataupun tidak.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa daerah darek terletak di pegunungan sedangkan

daerah pasisia berhadapan dengan laut. Perbedaan lokasi ini menjadikan perbedaan dalam

mengimplementasikan konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat

Minangkabau. Hal ini juga terlihat dalam karya-karya sastra mereka. Masyarakat pasisia yang

hidupnya berhubungan dengan laut banyak menghasilkan karya-karya sastra dengan latar laut.

Menarik untuk melihat bagaimana laut direpresentasikan dalam sastra Minangkabau. Sebagai

bahan analisis adalah salah satu folklor Minangkabau, Kaba Anggun nan Tongga (selanjutnya

Page 4: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

4

disingkat dengan KAT), walaupun dalam menganalisis KAT dikaitkan dengan kaba lain yang

dikenal oleh masyarakat Pasisia seperti Kaba Malin Kundang.

Kaba Anggun Nan Tongga: Sastra lisan Minangkabau Pasisia

Kaba Anggun Nan Tongga, sebagaimana Kaba Cindur Mato dan Kaba Malin Deman, juga

sangat popular di kalangan masyarakat Minangkabau hingga kini dan juga memiliki beberapa

versi. Menurut Muhardi, Museum Nasional Jakarta menyimpan tiga versi naskah KAT yaitu

Kaba si Tungga (nomor inventarisai VDW 210 danVDW 211) dan Cerita Sitong Magat Jabang

(nomor invetarisasi ML32). Selain itu, Nigel Phillips juga telah melakukan transkrip certa lisan

ini, berdasarkan dengan judul Anggun nan Tungga Magek Jobang (Phillips, 1981). Kaba

Anggun Nan Tongga yang asalnya sastra lisan juga telah dituliskan. Misalnya, Kaba Klasik

Minangkabau: Anggun Nan Tongga karya Ambas Mahkota dan diterbitkan oleh Penerbit Kristal

Multimedia, Bukittinggi. Cetakan pertama diterbitkan Maret 2003. Naskah ini disadur dari

bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia oleh Dra. Susi Susandra S.Pd. Namun naskah ini

diterbitkan pertama kalinya oleh C.V. Pustaka Indonesia, Bukittinggi tahun 1961 dalam bahasa

Minangkabau dengan judul Anggun nan Tungga.

Secara garis besar Kaba Anggun Nan Tongga berkisah tentang Anggun nan Tungga, anak dari

seorang ibu bernama Canto pomai dan seorang ayah yang bernama Datuk Bandaro Ijau. Nan

Tungga adalah seorang raja di daerah Tiku. Ia adalah seorang raja yang cakap secara fisik

maupun mental. Nan Tungga memiliki kemampuan bela diri yang tinggi sehingga ia disegani

oleh pihak kawan maupun lawannya. Nan Tungga juga dikisahkan melakukan perlayaran

bersama pembantu setianya Bujang Salamaik.

Dalam tradisi sastra Minangkabau, penceritaan Kaba Anggun nan Tungga dikenal dengan istilah

Basijobang. Sijobang adalah salah satu seni bercerita yang disampaikan oleh tukang kaba.

Sijobang ini berkembang di daerah Payahkumbuh dan sekitarnya (Phillips:1981). Berdasarkan

laporan penelitian yang dilakukan oleh Talha Bachmid dkk (2009) kesenian sijobang pernah

absen kurang lebih selama 20 tahun. Tukang sijobang yang tinggal kini hanya satu orang yaitu

Page 5: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

5

Mardius yang dikenal dengan nama panggilan Mak Diuk yang berdomisili di Jorong Lareh nan

Panjang. Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota. Namun, kini seiring

dengan keinginan masyarakat Minangkabau untuk merestorasi kembali budaya Minangkabau

yang diimplementasikan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah ada kesadaran untuk

menghidupkan juga seni-seni tradisional yang sempat ‘menghilang’ dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Minangkabau. Salah satunya adalah seni bercerita yang disampaikan oleh tukang

kaba (sijobang atau basimalin). Sijobang dan basimalin mulai dipertunjukan kembali baik. Hal

yang menarik dari perubahan ini adalah adanya keinginan kuat pemerintah daerah mengangkat

kembali kesenian yang mungkin dianggap sebagai “seni identitas’ mereka. Selain itu sijobang

juga hadir kembali atas inisiatif perantau Minangkabau yang menghidupkan kembali kesenian ini

dalam usaha mereka untuk ‘kembali ke akar mereka’.

Sebagaimana Basimalin yang hanya menceritakan Kaba Malin Deman, basijobang hanya

mengisahkan Kaba Anggun Nan Tungga. Sijobang memiliki tujuh episode pokok:

1. Malaco ka Tanah Tiku

/Bertualang ke Tanah Tiku

2. Ka Koto Bintawai (Maalah kapa nan tujuah)

/Ke Kota Bintawai (Menghela kapal yang tujuh)

3. Mambaleh Jaso Intan (Maanta Intan pulang)

/ membalas Jasa Intan (Mengantar Intan Pulang)

4. Ka Koto Tanau (Malapeh Buruang Nuri)

Ke Kota Tanau (melepas Burung Nuri)

5. Nan Gondo Ka Gunuang

/ Nan Gondo ke Gunung

6. Ka Koto Indo Jati

/ Ke Kota Indo Jati

7. Mandugo ka Tiku

/Menduga ke Tiku

Ketujuh episode pokok ini dapat dapat dipecah menjadi dua belas episode (Bachmid: 2009).

Analisis mengunakan cerita yang dipakai dalam sijobang yang dipertunjukan oleh Mak Diuh

dalam episode “Mambaleh Jaso Intan “. Pertunjukan lisan itu sudah ditrankripkan teksnya oleh

Hanefi. Teks Mambaleh Jaso Intan Korong merupakan hasil laporan penelitian Talha Bachmid

Page 6: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

6

dkk (2009). Teks tersebut berkisah tentang Anggun nan Tungga, seorang pemuda berasal dari

Tiku, daerah Pariaman. Anggun nan Tungga dikisahkan sedang berada di tepian Kuala Banda

Mua bersama pembantunya, Bujang Salamaik. Nan Tungga bermaksud untuk mengantar pulang

seorang gadis muda bernama Intan Korong, yang telah lama merantau meninggalkan kampung

halamannya, di barat Koto Pasisia. Nan Tungga melakukan itu sebagai balas jasa atas

pertolongan Intan yang telah menyelamatkan Nan Tungga dari sebuah peperangan di tengah laut

di daerah Sialang Batu Tapa, bagian benua Rum. Nan Tungga juga memberikan harta kekayaan

kepada Intan agar Intan dapat membantu keluarganya yang telah jatuh miskin. Walaupun

demikian, Nan Tungga yang telah jatuh cinta dengan Intan, berjanji akan menjemput kembali

Intan untuk tinggal bersamanya di kampong halaman nan Tungga, Tiku.

Penelitian terhadap sastra lisan Minangkabau sudah banyak dilakukan (Manan:1957, Jhons :

1958,Abdulah :1970, deJong: 1980, Junus, 1984,Phillips: 1981,Muhardi: 1986, Hasanuddin:

1993, Yususf: 1994, dan Elfira: 2007). Dalam kajian Minangkabau terdapat beberapa penelitian

yang dilakukan terhadap kaba-kaba Minangkabau sebagai sumber untuk mendapatkan gambaran

mengenai implementasi budaya matrilineal dalam kehidupan bermasyarakat Minangkabau.

Misalnya, Elfira (2007) mengunakan KCM untuk melihat peran perempuan dalam struktur

kepemimpinan pada Masyarakat Minangkabau. Namun sebagian besar peneliti bertumpu pada

KCM sebagai bahan analisis mereka dari pada KAT. Muhardi (1986) memang telah membuat

edisi dan kritik teks KAT. Penelitian KAT untuk melihat sejauh mana teks tersebut memuat

nilai-nilai budaya matrilineal-maritim. Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini,

yaitu bagaimanakah representasi laut pada sastra lisan tradisional Minangkabau dalam kaitannya

dengan implementasi budaya matrilineal-maritim pada masyarakat Minangkabau. Dalam

menganalisis sastra lisan tersebut digunakan pendekatan sosiologi sastra.

Dalam kajian sosiologi sastra dikenal pendapat bahwa karya-karya satra adalah respon langsung

terhadap sesuatu yang terjadi di dunia nyata, oleh karena itu di dalam suatu karya satra dapat

ditemukan suatu konsep ideologi pada masanya. Karya satra itu sendiri juga dapat merupakan

ekspresi dari sebuah ideologi. Pendapat lainnya menyatakan bahwa karya sastra merupakan

bagian dari hasil budaya suatu masyarakat. Dasar dari pendapat tersebut karena karya sastra

Page 7: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

7

tersebut mengandung ciri-ciri dari suatu budaya, sehingga ia merupakan refleksi dari dasar

pemikiran sejarah dari sesuatu hal (Belknap, 1990:185). Pendapat-pendpat tersebut di atas akan

menjadi landasan teori dari makalah ini.

Laut sebagai ruang inisisasi diri

Laut dalam KAT dipresentasikan sebagai ranah untuk memerdekakan diri. Memang laut juga

digambarkan sebagai ranah yang bisa membahayakan jiwa, sebagaimana terlihat dari nasib

kakak laki-laki Intan yang tengelam karena kapalnya karam. Namun bagi diri intan laut

memberikan kemungkinan untuk memerdekakan diri bagi Intan yang memilih untuk mengarungi

lautan dalam usaha untuk melarikan diri dari rumahnya. Hal ini ia lakukan untuk menghindari

diri dari kemarahan ibu kandungnya karena Intan secara tidak sengaja telah merusak alat tenun

ibunya. Karena ketakutan yang amat sangat kepada ibu kandungnya, seorang pedagang yang

kaya raya, Intan yang kala itu berumur tujuh tahun, kemudian menerima tawaran dari pemilik

sebuah kapal yang sedang merapat untuk pergi berlayar dengannya. Intan menjalani kehidupan

keras sebagai pekerja di kapal. Walaupun hidup diantara anak-anak kapal yang sebagian besar

laki-laki, Intan dapat menjaga kehormatan dirinya. Laut menjadi ranah Intan untuk menempa diri

dan juga untuk merubah nasib. Laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang berpetualang

yang memerdekakan. Laut bagi Intan juga berfungsi sebagai “kawah candradimuka” tempat ia

menimpa diri menjadi perempuan Minangkabau yang siap menjalankan berbagai peran yang

diberikan adat kepadanya. Hal ini dapat kita lihat dari perubahan karakter Intan dari seorang

anak perempuan berusia tujuh tahun yang masih rapuh, lugu, penakut, kurang bijak tumbuh

menjadi seorang perempuan muda, berusia sekita tujuh belas tahun, Minangkabau yang tegar,

berani, dan cerdas serta bijak dalam bersikap. Sebagai contoh, Intan yang telah tiga kali berganti

majikan kapal sebelum bertemu nan Tungga, mampu menjalankan tugas yang diemban

kepadanya dengan sebaik-baiknya, seperti dipujikan nan Tongga kepadanya: “ Dek tantang

malah palayiaran, dek Intan malah malah nan ka obeh…nan tontu…godang tangah lauik

(Mengenai pelayaran, Intanlah yang mengerti, yang tahu…besar di tengah laut).” Selama kurang

lebih sepuluh tahun menjalani kehidupan di laut yang keras juga menjadi ranah bagi Intan untuk

melatih jiwa kepemimpinannya dan juga kemampuan untuk mencari nafkah. Karena

Page 8: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

8

kepemimpinan dan kecerdasannyalah Intan pernah berhasil menyelamatkan nan

Tungga,sebagaimana terlihat dari kutipan di bawah ini:

O, gadih Intan Korong (O, gadis Intan Korong)

Dangakan malah dek Intan (Dengarkanlah wahai Intan)

Takalo masa daulu (Tak kala masa dahulu)

Kan takona bana dek Intan (Kan teringat benar oleh Intan)

Di Sialang Batu Tapa (Di Sialang Batu Tapa)

Di Sitambua Banua Ruum (Di Sitambua Benua Ruum)

Tigo bulan kito porang di situ (Tiga bulan kita berperang disitu)

Cokak to tumpuah jo dondang (Bertempur di perahu)

Tibo sampai minyak kariang (Hingga sampai minyak kering)

Ampia ka karam kito di situ (Hampir karam kita disitu)

Kan dek caro Intan (Hanya karena siasat Intan)

Disitu kusuik nan salosai (Disitu kusut terselesaikan)

Porang damai, sangketo putuih (Perang damai, sengketa putus)

Kutipan di atas memperlihatkan kepemimpinan dan kecerdasan Intan yang mampu

menyelesaikan persengketaan dan melerai peperangan. Karakter baru yang dimiliki Intan setelah

menempa diri di ranah laut adalah karakter yang diharapkan oleh adat Minangkabau.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa adat minangkabau memberikan peran penting kepada

kaum perempuan yaitu sebagai penerus keturunan, pewaris harta keluarga dan juga sebagai

limpapeh rumah gadang. Setelah menjalanai inisiasi diri di ruang laut Intan ‘baru” siap

mengambil dan menjalankan perannya pulang ke kampungnya agar dapat menghidupkan

kembali nagarinya, terutama keluarganya yang telah jatuh miskin.

Dalam KAT dapat juga dilihat bagaimana laut direpresentasikan sebagai ruang bertualang untuk

pembuktian diri, sebagaimana yang harus dijalani oleh Anggun nan Tungga. Bersama dengan

pembantu setianya, Bujang Salamaik, nan Tungga mengarungi lautan untuk merantau.

Sebagaimana telah disampaikan pada bagian latar belakang bahwa budaya merantau merupakan

salah satu karakter Minangkabau. Merantau dijadikan, terutama bagi kaum laki-laki, sebagai

‘kawah candradimuka’ dalam proses pendewasaan diri sebelum memangku tugas-tugas adat

sebagai laki-laki Minangkabau, seperti terlihat dari pantun di bawah ini:

Karatau madang dihulu (karatau madang dihulu)

Babuah babungo balun (berbuah berbunga belum)

Marantau bujang dahulu (merantau pemuda dahulu)

Di rumah paguno balun (dirumah berguna belum)

Page 9: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

9

Dari pantun di atas secara implisit terlihat bahwa merantau terutama dipintakan dan dilakukan

oleh laki-laki yang masih muda dan belum menikah Tujuan merantau adalah untuk

mempersiapkan laki-laki memangku perannya yang telah ditentukan oleh adat, antara lain

sebagai pemuka kaumnya, penjaga waris dan juga mengurus para kamanakannya. Dengan

merantau diharapkan para pemuda tersebut dapat menimba ilmu pengetahuan, meningkatkan

jiwa kepemimpinan, dan juga kekayaan yag diperlukan untuk dapat menjalankan peran-peran

adatnya dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa hal menarik dalam KAT berkaiatan dengan

merantau. KAT memperlihatkan bahwa merantau tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki tetapi

juga kaum perempuan. Sebagaimana kita ketahui tokoh utama nan Tongga bertemu Intan yang

juga sedang merantau dalam upaya melarikan diri dari kekuasaan ibunya. KAT juga menunjukan

pula bahwa merantau dilakukan dengan melintasi ranah laut. Hal ini berbeda dengan kaba

Cindua Mato (KCM), kaba yang lahir di daerah darek Minangkabau. Dalam KCM, Cindua Mato

merantau dengan menyusuri hutan dan pegunungan. Sedangkan dalam KAT nan Tongga,

pemeran utama KAT, bertemu Intan saat di tengah laut. Alur kisah juga berpusat di daerah laut,

yaitu kisah petualangan nan Tongga. Laut sebagai ranah bertualang juga hadir dalam kaba

Malin Kundang (KMK). KMK, sebagaimana KAT, juga salah satu sastra lisan pesisir. KMK

mengisahkan seorang pemuda miskin yang pergi merantau mengarungi lautan untuk

meningkatkan derajat hidupnya. KMK memperlihatkan Malin Kundang yang sudah sukses

dirantau pulang ke kampong halamannya dengan melalui laut dengan kapal miliknyayang

megah tanda kesusksesannya. Berbeda dengan KCM yang memperlihatkan kedekatan ibu dan

anak laki-lakinya, Malin Kundang mengingkari keberadaan ibunya sehingga ia dikutuk menjadi

batu. Legenda tentang malin Kundang ini masih dapat ditemui di pantai Air manis dimana

terdapat tumpukan batu-batu yang berserekan yang dipercaya sisa bangkai kapal malin kundang

yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya.

Dapat dikatakan laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang untuk unjuk eksistensi diri.

Sebagaimana telah diceritakan nan Tongga melakukam kegiatan pai marantau, pergi keluar

kampungnya untuk membesarkan kejayaan keluarga, mengembangkan kemampuan diri, dan

meningkatkan kehormatan diri, sebagaimana tersirat dari kutipan di bawah ini:

Page 10: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

10

Sajak bona corai dari Tiku (Sejak meninggalkan Tiku)

Mulo batumpu di Piaman (mula berumpu di Pariaman)

Poi mambangkik batang tarondam (pergi untuk membngkitkan batang terendam)

Pai mangombang nan talipek (pergi untuk mengembangkan yang terlipat)

Poi mambangkik malu diri (pergi untuk membangkitkan kehormatan diri)

Karena daerahnya berada di pesisir pantai maka, berbeda dengan penduduk minangkabau darek,

merantau bagi ia adalah kegiatan mengarungi lautan.

Selain itu merantau juga adalah salah satu cara Anggun nan Tongga menjalani ‘inisiasi’

pembuktian diri supaya dianggap layak sebagai pewaris kerajaan, dengan melakukan

pertualangan bersama kapal lautnya. Dalam petualangan tersebut nan Tongga berkesempatan

mempergunakan bekal ilmu yang ia pelajari sebelum merantau. Dalam budaya Minangkabau,

sebelum merantau seorang pemuda dibekali dengan kemampuan bela diri, dan juga ilmu agama

sebagai bekal menghadapi masalah selama melakukan perantauan. KAT memperlihatkan

kemampuan bela diri dan kecerdikan nan Tongga menghadapi kawanan pelaut yang mengancam

dirinya. Nan Tongga juga dihadirkan dalam KAT sebagai laki-laki tampan, perkasa dan berbudi

luhur, serta bertutur kata bijak. Misalnya sikapnya yang egaliter dalam memperlakukan

pembantunya bujang salamaik. Dalam petualangan menyusuri daerah kekuasaannya Anggun nan

Tungga melakukan pekerjaan-pekerjaaan yang layak dilakukan sebagai seorang pemimpin,

diantaranya mengantarkan pulang Intan Korong. Laut bagi nan Tongga dijadikan sebagai sarana

inisiasi untuk mendapatkan derajat hidup, sebuah pengakuan dari masyarakatnya bahwa ia layak

jadi pemimpin karena kemampuannya bukan hanya semata karena garis keturunan.

Laut sebagai ruang pertunjukan nilai matrilineal maritim

Dalam KAT ditemukan implementasi nilai-nilai matrilini, seperti konsep tentang rumah, serta

kuatnya ikatan perempuan dengan rumahnya, seperti terlihat dalam salah satu kutipan dari

episode “Mambaleh jaso Intan Korong”:

Lua dari pado itu (Selain dari pada itu)

Rumah gadang sambilan ruang (Rumah gadang yang Sembilan ruang)

Kok sapuluah jo pandapuran (Kok sepuluh dengan dapur)

Saboleh jo anjuang tinggi (Sebelas dengan anjungan tinggi)

Page 11: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

11

Duo boleh jo putrinyo (Dua belas dengan putrinya)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa perempuanlah yang sentral dalam rumah. Hal ini berseuaian

dengan adat matrilineal Minangkabau yang memperuntukan rumah untuk kaum perempuan.

Dalam kadat kebiasaan Minangkabau dahulunya yang tinggal di rumah gadang adalah ibu dan

anak-anak perempuannya. Sedangkan anak laki-laki yang sudah dewasa akan tinggal di surau

(mesjid). Tentu saja zaman telah berubah. Namun kini pun masih melekat kesadaran bahwa

perempuanlah yang memiliki rumah. Misalnya, berdasarkan penelitian Elfira (2013) di

Minangkabau rumah, baik dari warisan pusaka maupun orang tua, biasanya diwariskan kepada

pihak perempuan. Bahkan dalam suatu perkawinan, bila terjadi perceraian suamilah yang akan

meninggalkan rumah hasil perkawinan.

Nilai-nilai matrilineal juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa teks KAT mengambarkan

kuatnya peran kaum perempuan dalam keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari peran Andam Sari

Andam bergelar Sari Mulia, ibu Intan Korong, yang sangat mendominasi dibanding suaminya,

Ulak Sumano. KAT menunjukan bahwa Andam Sarilah yang berperan sebagai pemimpin dan

pencari nafkah utama keluarga. Ibu kandung Intan Korong ini yang dalam keadaan marah

bahkan mampu memukul Intan dengan tonggak besar hingga Intan terluka. Episode kaba ini

secara langsung menunjukan dampak implementasi nilai matrilineal yaitu power kaum

perempuan. Power yang kuat ini dipakai tidak saja untuk ‘memimpin’ dirinya maupun keluarga

dan kaumnya, tapi bisa juga untuk menindas. Teks juga menunjukan bahwa kaum perempuan

Minangkabau terlibat aktif tidak hanya dalam ranah domestik nmun juga dalam ranah publik.

Teks-teks sastra juga memperlihatkan bahwa kaum perempuan tidak hnya mampu memimpin,

tapi kepemimpinan mereka itu tampaknya diterima secara ‘natural’ bukan sebagai sesuatu

perkecualian.

Dapat dikatakan KAT lebih menonjolkan karakter perempuan androgini. A Feminist Dictionary

mendefinisikan androgini:” to refer to the state of a single individual, male or female, who

possesses both traditionally masculine and traditionally feminine virtues (Kramarae dan

Treichler,1985:49). Contoh dari hadirnya karakter androgini terlihat pada diri Intan Korong.

Page 12: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

12

Diceritakan bagaimana seorang anak gadis, Intan Korong, mampu mengarungi lautan dan hidup

dintara para pelaut yang keras dan kasar tanpa harus kehilangan harga dirinya. Kehidupan laut

yang biasanya diidentikan dengan keras sehingga identik pula dengan laki-laki karena dianggap

hanya laki-lakilah yang mampu bertahan karena memiliki kekuatan fisik dan mental yang kuat,

bahkan kalau tidak bisa dibilang kasar dan kejam. Namun Intan memiliki pula kekuatan untuk

bertahan di lingkungan yang keras tersebut. Walaupun ia bertahan dengan bertumpu pada

kecerdikannya, tidak bisa dipungkiri dia memiliki kekerasan hati seperti yang biasanya

distereotipkan milik laki-laki.

Adat Minangkabau tidak hanya memuat nilai-nilai matrilineal tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-

nilai Islam. Semenjak datang ke ranah Minangkabau Islam telah menjadi salah satu sentrifugal

adat Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari pepatah adat Minangkabau “ Adat basandi syarak,

syarak basandi Kitabulah yang berarti Adat minangkabau bersendikan syariat Islam yang

bertumpu pada Al Quran. Sedikit banyaknya nilai-nilai Islam yang cenderung patriarki juga telah

merasuk dalam kehidupan keseharian Minangkabau. Nilai-nilai tersebut terlihat pula dalam

KAT yang mengisahkan nan Tongga, seorang laki-laki, yang mewarisi kekuasaan untuk menjadi

raja. Nilai-niai Islam juga terlihat dari dalam keseharian hidup penduduknya yang menjalankan

salah satu syariat Islam, sholat, seperti terlihat dari kutipan di bawah ini:

Kotu mugorik lah datang (waktu maghrin telah tiba)

Badontang tabuih rang siak (berdentang bedug orang surau)

Manyauik tobuah di mudiak (menyaut bedug di mudik)

Tobuah diilia manyudahi (beduk di hilir menyudahi)

Urang barabuik lai ka surau (orang berbondong ke surau)

Nilai-nilai matrilineal dan Islam dalam KAT teramu dengan budaya maritim yang juga hadir

dalam kaba ini. Dalam artikelnya, The Maritime Cultural Landscape: On the concept of the

traditional zones of transport geography3, Christer Westerdahl berargumen:

The maritimity of people is conditional, i.e. a cultural factor. If you do not possess a

population attuned to maritime preoccupations, even if a current population is residing at

3 diunduh dari https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm, tanggal 11 Januari 2015

Page 13: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

13

the sea shore, there is no maritime culture. On the other hand maritime (the transport

aspect) culture follows the boat and its crew, even inland. Basically the dependence and

the exploitation of the waters could be as fundamental in lakes and waterways as on the

sea itself

Dapat dikatakan bahwa KAT menampilkan budaya maritim di beberapa daerah di Minangkabau.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul episode KAT seperti malaco ka tanah Tiku dan

mandugo ka Tiku. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Tiku adalah nama daerah bagian

Pasisia Minangkabau yang memiliki pelabuhan besar tempat kapal-kapal berlabuh. KAT juga

menampilkan karakter dari budaya maritime sebagaimana terlihat dari judl episode maala kapa

nan tujuah (menghela kapal yang tujuh). Judul episode tersebut memperlihatkan kode budaya

kapal sebagai bagian penting dari kehidupan masyarakat pesisir Minangkabau, berbeda dengan

masyarakat Minangkabau yang berdomisili di daerah pegunungan. KAT mendeskripsikan

dengan jelas kapal yang menjadi benda penting bagi daerah pesisir:

Kini baitulah dek Buyuang (kini lakukanlah buyung)

Buyuang sentaklah galah di tobiang (buyung sentaklah galah di tebing)

Kombanglah layia katujuahnyo (Kembangkanlah ke tujuh layarnya)

Bukalah rantai baletong (bukalah rantai baletong)

Kito balaia nannyo kini (kita berlayar sekarang)…

Layia takambang angin tibo (layar terkembang angin tiba)

Kapa tadongak ka tangah lauik (kapal terdorong ke tengah laut)…

Kok diratok lai pulau nan tingga (kog diratapi pulau yang tinggal)

Dibilang pulau nan datang (dihitung pulau yang kan didatangi)

Dapat dikatakan bahwa kapal ditampilkan tidak hanya sekedar benda mati yang tidak bermakna,

namun menjadi ‘benda hidup” dengan segala fungsinya: sarana transportasi utama, alat pencari

nafkah, tempat tinggal, bahkan tempat untuk bersosialisasi.

KAT tidak hanya mendeskripsikan suasana kehidupan awak kapal, yang sebagian besar laki-

laki, namun juga kehidupan bandar tempat kapal berlabuh. Diperlihatkan penduduk yang berada

disekitar pinggir pantai bergantung pada laut untuk hidup. Anggun nan Tungga dikisahkan

sedang berada di tepian Kuala Banda Mua bersama pembantunya, Bujang Salamaik. Karena itu

KAT juga memberikan deskripsinya tentang kehidupan di tepian Kuala Banda Mua.

Page 14: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

14

Situ tampak urang manjalo (disitu tampak orang menjala)

Bao jalo tu bajalin (bawa jala yang berjalin)

Sarato ikan nan banyak (serta ikan yang banyak)

Rang pulang dari lautan (orang pulang dari lautan)

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa KAT memperlihatkan budaya maritime

daerah pesisir Minangkabau. Hal ini didasarkan pendapat Westerdahl bahwa suatu masyarakat

bisa dikatakan berbudaya maritim bila ada ketergantungandan eksploitasi terhadap wilayah air

yang dalam KAT adalah laut.

Kesimpulan

Sebagaimana telah disebutkan, pendekatan yang dipakai dalam menganalisis KAT adalah

sosiologi sastra berpendapat bahwa karya-karya satra dapat merupakan respon langsung

terhadap sesuatu yang terjadi di dunia nyata, dan ekspresi dari sebuah ideologi. Sehingga karya

sastra dapat mengandung ciri-ciri dari suatu budaya. Berdasarkan analisis terhadap Kaba Anggun

nan Tungga di dapat pula kesimpulan bahwa teks tersebut sangat kuat mempresentasikan

budaya lokal Minangkabau tempat teks tersebut dilahirkan. Analisis memperlihatkan ada

keterkaitan yang kuat hubungan antara teks tersebut dengan kondisi masyarakat penghasilnya.

Budaya matrilini-maritim yang dianut masyarakat pesisir Minangkabau terefleksi ke dalam karya

sastra. Dengan kata lain, teks-teks tersebut merupakan hasil dari produk budaya matriline-

maritim Minangkabau. Analisis juga memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah ranah sharing

codes yang implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana

terlihat pada sastra lisan pesisir KAT. Berbeda dengan masyarakat darek yang hidup di

pegunungan, masyarkat pasisia hidup di pesisir pantai dan menjadikan laut sebagai pusat

kehidupan mereka. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan dalam mengimplementasikan

konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat Minangkabau. Selain

itu,

Page 15: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

15

Daftar Pustaka

Abdulah, Taufik1970,’Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau

Traditional Literature’, Indonesia 9, 1-22

Bakhmid, Talha dkk, 2009, Laporan Hasil Penelitian Sijobang, Jakarta.

Belknap, RobertI. (ed.), 1990, Russianness, Ann Arbor : Ardis Publishers.

Christomy, Tommy dkk., 2014, Laporan Penelitian: Jejak Maritim dalam Sastra.

De Jong, P.E. de Josselin (1980) Minangkabau and Negeri Sembilan Socio-political Structure,

Den Haag: Martinus Nijhoff.

Elfira, Mina, 2007, ‘Bundo Kanduang: A Powerful or Powerless Ruler? Literary Analysis of

Kaba Cindua Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung)’ dalam jurnal Makara Seri

Sosial Humaniora Vol.11,No.1, Juni 2007.

Elfira, Mina, 2013, “Life in a Minangkabau Rumah Gadang (West Sumatra, Indonesia):

Continuity and Change” in Erich Lehner, Irene Doubrawa and Ikaputra (eds.) Insular

Diversity: Architecture, Culture, Identity in Indonesia, , Vienna, Austria: IVA-ICRA,

Institute for Comparative Research in Architecture.

Elfira, Mina, 2015, The lived experiences of Minangkabau Mothers and Daughters: Gender

Relations, Adat and Family in Padang, West Sumatra, Indonesia, Germany: Scholar Press,

2015.

Hasanuddin, W. S., 1993, Mitos dan Mitos Pengukuhan (Myth of Concern) dalam Kaba Cindua

Mato, Padang: Penelitian untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta.

Johns, Anthony H., 1958, Rantjak dilabuah: A Minangkabau Kaba. Paper no.32, Ithaca, New

York: Southeast Asian program Cornell University.

Junus, Umar, 1984, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Sebuah problema Sosiologi Sastra,

Jakarta: Balai Pustaka.

Hakimy, Idrus Dt. Rajo Penghulu, 1997, Pokok-pokok pengetahuan Adat Alam Minangkabau,

P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Kato, T., 1982, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia, Ithaca,

New York: Cornell University Press.

Kramarae, Cheris, dan Paula A. Treichler, 1985, A Feminist Dictionary, London: Pandora Press.

Manan, M. Nur (1967), Tjerita-tjerita Rakjat Minangkabau: Suatu Analisa tentang Peranannya

dalam Pembinaan Kebudajaan Nasional Indonesia, Tesis Sardjana pendidikan Djurusan

Bahasa dan Sastera Indonesia, Fakultas Keguruan sastera IKIP Padang.

Page 16: REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM … · 1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ... dilereng Gunung Merapi (gunung

16

Muhardi, 1986, Kritik dan Edisi Teks Kaba Si Tungga, Master Thesis, Fakultas Sastra

Universitas Padjajaran.

Muhardi, 1989, Analisis Hubungan Penokohan Kaba Minangkabau dengan Karakteristik

Perwatakan Masyarakat Minangkabau, Padang: Penelitian IKIP Padang.

Phillips, N.G., 1981, Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra, Cambridge: Cambridge

University Press.

Reenen, Joke van. 1996. Central Pillars of the House. Leiden: Research School CNWS.

Sanday, Peggy Reeves. 2002. Women at the Center: Life in a Modern Matriarchy. Ithaca, NY,

London: Cornell University Press.

Westenenk, L.C. (translated into Indonesian by Mahyudin Saleh, S.H.), 1981 (original book De

Minangkabausche Nagari published in 1915), Padang: Penerbitan dan Bursa Buku Fakultas

Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas.

Westerdahl, Christer, The Maritime Cultural Landscape: On the concept of the traditional zones

of transport geography diunduh dari https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm, tanggal 11

Januari 2015.

Yusuf, M. 1994, Persoalan Tranliterasi dan edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyuang, M.A.

thesis, the University of Indonesia.

https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm