Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

52
Disusun Oleh : Bramantiyo Marjuki Laporan Akhir INTERPRETASI CITRA ALOS AVNIR-2 DAN SPOT 2/4 XS UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2009 Guna Mendukung : Proyek Kutai Barat Ecological Corridor World Wildlife Foundation Indonesia ( WWF—Indonesia )

Transcript of Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

Page 1: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

Disusun Oleh :

Bramantiyo Marjuki

Laporan Akhir

INTERPRETASI CITRA ALOS AVNIR-2 DAN SPOT 2/4 XS UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN

LAHAN KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2009

Guna Mendukung :

Proyek Kutai Barat Ecological Corridor

World Wildlife Foundation Indonesia ( WWF—Indonesia )

Page 2: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

1 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Kegiatan

Konversi hutan di Kalimantan yang semakin mengkhawa�rkan saat ini telah menjadi isu global dan menjadi perha�an

utama berbagai kalangan. Di Provinsi Kalimantan Timur, semenjak tahun 1985 sampai 1997 telah terjadi penurunan

luas lahan hutan akibat deforestasi sebesar 22,5% (BaplanHut, 2002). Data terakhir dari WWF bahkan menyebutkan

hampir 50% dari luasan hutan sebesar 109 heltar (tahun 2003) di Kalimantan telah terdegradasi (WWF, 2009).

Berkurangnya tutupan hutan dari waktu ke waktu di seluruh belahan bumi tak pelak menjadi salah satu penyebab

terjadinya fenomena pemanasan global yang semakin meningkat akhir—akhir ini. Indonesia sebagai salah satu negara

dengan wilayah hutan terluas nomor �ga di dunia (WWF, 2009) diharapkan oleh masyarakat internasional dapat

mempertahankan sisa hutan yang ada. Walaupun demikian, amanat ini bukan merupakan suatu hal yang mudah

dilaksanakan, mengingat dari waktu ke waktu data yang ada justru menunjukkan luasan hutan semakin berkurang.

Gambar 1.1 Perubahan Luasan Hutan di Kalimantan dan Proyeksi pada Tahun 2020 (WWF, 2007)

Pemantauan laju deforestasi dan konversi hutan menjadi non hutan dapat dilakukan dengan cara melakukan pemetaan

penggunaan lahan hutan dan non hutan secara berkala. Peta penggunaan lahan merupakan salah satu peta

fundamental yang harus ada agar perencanaan dan pengelolaan lahan dapat lebih op�mal. Peta penggunaan lahan

Page 3: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

2 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

juga merupakan peta mul� fungsi, yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepen�ngan. Dalam kaitannya dengan

aspek kehutanan, peta ini selain dapat menunjukkan sebaran lahan hutan eksis�ng, juga dapat digunakan untuk

menghitung neraca karbon. Dengan adanya peta penggunaan lahan tahunan, maka lokasi dan proporsi hutan yang

berubah menjadi penggunaan lahan non hutan dapat diketahui sehingga dapat direncanakan dan diupayakan cara

pencegahan, pengurangan maupun pengembalian status hutan.

Kabupaten Kutai Barat sebagai salah satu Kabupaten termuda di Kalimantan Timur (terbentuk pada tahun 1999

sebagai salah satu pemekaran dari Kabupaten Kutai) juga mengalami masalah kehutanan yang sama dengan sebagian

besar kabupaten lain di Kalimantan, yaitu konversi lahan hutan ke non hutan. Laju pengurangan luas lahan hutan di

Kutai Barat bahkan mencapai 5—6% per tahun (data WALHI).

WWF sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kerusakan Hutan Kalimantan pada

umumnya dan di Kutai Barat pada khususnya, telah sejak lama mengkampanyekan perlindungan, konservasi dan

rehabilitasi hutan di Kalimantan Timur. Sejak 2009 tercatat banyak program telah dilaksanakan WWF di Kalimantan

Timur, terutama di Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Untuk Kabupaten Kutai Barat telah dilaksanakan

Proyek Kutai Barat Ecological Corridor. Saat ini kegiatan WWF di Kutai Barat masih tetap berlangsung, diantaranya

adalah pendampingan dalam penyusunan RTRW Kabupaten.

Mengacu pada urgensi kebutuhan peta penggunaan lahan tahunan yang up to date guna memonitor dinamika

penggunaan lahan hutan/non hutan di seluruh Pulau Kalimantan pada umumnya, dan Kabupaten Kutai Barat pada

khususnya, maka WWF Indonesia melalui Proyek Kutai Barat Ecological Corridor berinisia�f melaksanakan pemetaan

Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat untuk Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit. Pemetaan ini

dilaksanakan untuk melanjutkan pemetaan serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2008 bekerjasama dengan

BIOTROP. Diharapkan ke depan kegiatan serupa dapat dilaksanakan dalam basis tahunan, sehingga monitoring hutan

di Kalimantan Timur dan Kutai Barat dapat dilakukan dengan lebih baik.

I.2 Tujuan Kegiatan

Berdasarkan latar belakang adanya kebutuhan Peta Penggunaan Lahan mul�temporal Kabupaten Kutai Barat

guna mendukung monitoring luasan hutan, maka tujuan dari kegiatan pemetaan ini adalah:

1. Memetakan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009 pada Skala

1:100.000 berdasarkan interpretasi citra satelit ALOS AVNIR dan SPOT 2/4, menggunakan skema klasifikasi

menurut WWF-BIOTROP dan SNI Neraca SDA spasial.

2. Memperbarui Peta Penggunaan Lahan yang telah dihasilkan sebelumnya.

Page 4: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

3 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

I.3 Keluaran Yang Diharapkan

Berdasarkan latar belakang kebutuhan data dan tujuan dari kegiatan, maka keluaran yang diharapkan dari

kegiatan pemetaan ini adalah :

1. Citra Satelit ALOS AVNIR-2 sebanyak 13 scene dan Citra Satelit SPOT-2 HRV & SPOT-4 HRVIR sebanyak 4 scene

yang sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik.

2. Mosaik seluruh citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai Barat

3. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi

penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP.

4. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi

penggunaan lahan menurut SNI Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Tahun 2002.

5. Laporan yang menjelaskan tentang deskripsi kronologis tentang metode yang digunakan beserta penjelasan

mengenai karakteris�k data spasial yang dihasilkan (metadata spasial).

Page 5: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

5 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB II

PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGGUNAAN LAHAN

II.1 Penginderaan Jauh

Menurut Canadian Center of Remote Sensing , penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu (dan juga seni sampai

pada luasan tertentu) yang mempelajari bagaimana cara memperoleh informasi tentang suatu obyek di permukaan

bumi tanpa ada kontak langsung dengan obyek tersebut. Perolehan informasi ini dilakukan dengan cara mengindra

dan merekam energi dari suatu sumber energi yang terpantulkan atau terpancarkan oleh obyek di permukaan bumi,

untuk kemudian diproses, dianalisis dan diaplikasikan untuk kepen$ngan tertentu

Proses penginderaan jauh dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Proses Penginderaan Jauh

Dari gambar dan definisi di atas, dapat diambil beberapa kata kunci tentang penginderaan jauh, yaitu:

A. Sumber energi, sumber energi yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat berasal dari matahari (sistem

penginderaan jauh pasif) atau sumber energi buatan yang dipasang pada suatu wahana (sistem penginderaan

jauh ak#f).

B. Energi, yang dimaksud energi disini adalah gelombang elektromagnet yang dipancarkan oleh matahari atau

sumber energi buatan. Gelombang elektromagne#k dari matahari mempunyai karakteris#k tertentu pada

se#ap se#ap julat tertentu dari keseluruhan gelombang yang dipancarkan. Beberapa Julat spektral (atau

disebut spektrum) dari gelombang elektromagne#k yang dipancarkan matahari dapat dimanfaatkan untuk

penginderaan jauh, sedangkan sisanya terhamburkan atau terserap di atmosfer.

Page 6: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

6 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 2.2

spektrum elektromagnet, spektrum yang digunakan dalam penginderaan jauh antara lain spektrum Ultraviolet (UV), visible (VIS), Inframerah (IR), dan gelombang Mikro

C. Obyek di Permukaan bumi, obyek permukaan bumi merupakan obyek yang akan diambil informasinya dalam

penginderaan jauh. Se#ap obyek akan mempunyai respon (dalam bentuk perbedaan intensitas pantulan-

serapan) yang berbeda terhadap energi gelombang elektromagne#k yang datang padanya. Selain itu, obyek

yang sama juga akan mempunyai respon berbeda terhadap spektrum yang berbeda. Oleh karena itu, variasi

respon obyek ini yang menjadi sasaran utama dilakukannya “penginderaan jauh” terhadap obyek tersebut,

yang kemudian informasi yang dihasilkan dari proses tersebut digunakan untuk berbagai aplikasi.

Gambar 2.3. Perbedaan respon spektral obyek vegetasi (v), tanah (s) dan air (w) pada spektrum yang berbeda di citra LANDSAT ETM+

Page 7: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

7 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

D. Sensor/perekam, Energi elektromagnet yang dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi kemudian dideteksi

dan direkam oleh sensor yang dipasang pada suatu wahana (satelit, pesawat, balon udara dan wahana

lainnya). Sensor – sensor penginderaan jauh mempunyai kapabilitas yang berbeda – beda sesuai dengan

tujuan pengembangan dan aplikasinya.Sensor dapat dibedakan berdasarkan atas berbagai kriteria. Secara

umum sensor penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua yaitu fotografis dan elektronis. Keluaran dari

sensor fotografis berupa foto (analog), sedangkan sensor elektronis berupa citra (digital). Se#ap sensor baik

fotografis maupun elektronis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam merekam energi elektromagne#k

yang datang padanya. Ada yang hanya mampu merekam pada julat spektral yang sangat lebar (bisa satu atau

lebih spektrum). Sistem ini disebut pankroma#k. Sedangkan sistem lain bisa merekam pada beberapa julat

spektral (#ga julat atau lebih) yang disebut dengan sistem mul#spektral. Perkembangan dewasa ini sistem

yang dikembangkan sudah ada yang dapat merekam sampai ratusan julat spektral (band). Sistem ini disebut

hiperspektral. Dilihat dari jenis spektrum yang direkam, sensor dapat dibedakan menjadi sensor op#s (bekerja

pada spektrum visible sampai Short Wave Infrared), sensor thermal (bekerja pada spektrum mid infrared

sampai far/thermal infrared), dan sensor gelombang mikro (passive) atau RADAR (ac#ve). Selain dari

karakteris#k spektral, sensor elektronis juga dapat dibedakan berdasarkan kemampuan kede#lan dalam

merekam permukaan bumi atau disebut dengan resolusi spasial, mulai dari resolusi rendah (> 500 meter),

resolusi menengah (50 meter – 500 meter) dan resolusi #nggi (< 50 meter) (CCRS, 1999).

Gambar 2.4. (a) Citra Landsat Pankromatik dan (b) Citra Landsat Multispektral

Gambar 2.5. (a) citra optis, (b) citra termal dan (c) citra radar

Page 8: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

8 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 2.6

Perbedaan resolusi spasial dan pengaruhnya pada kedetilan pada (a) Citra Landsat ETM+ dengan resolusi 30 meter, (b) Citra ASTER VNIR dengan resolusi 15 meter, dan (c) Citra

IKONOS dengan resolusi 1 meter

E. Pemrosesan, setelah energi dideteksi dan ditangkap sensor, energi ini kemudian direkam dalam detektor,

untuk kemudian diproses menjadi citra. Untuk sistem fotografi, detektor berupa film yang nan# kemudian

dicetak menjadi foto. Sedangkan untuk sistem elektronis/digital, data yang terekam dikirim ke stasiun

penerima di bumi untuk kemudian diproses menjadi citra digital. Level pemrosesan pada se#ap jenis produk

citra dapat saja berbeda antara satu pengelola layanan citra (vendor) satu dan lainnya. Untuk citra Landsat

misalnya, produk dijual dalam berbagai level pemrosesan mulai dari Level 0 (data mentah), level 1R (terkoreksi

radiometrik), level 1G (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sampai level 1T (terkoreksi medan).

F. Analisis citra, yang dimaksud dengan analisis citra disini adalah tahapan kerja (metode) yang diaplikasikan

pada suatu citra agar dapat diambil suatu informasi dari citra tersebut (ekstraksi informasi dari citra). Terdapat

dua jenis metode ekstraksi informasi dari citra satelit, yaitu manual (visual) dan analisis digital terotomasi

dengan bantuan komputer. Ekstraksi informasi secara manual atau dikenal dengan interpretasi visual dilakukan

melalui beberapa tahapan kerja yang dimulai dari deteksi obyek, inden#fikasi obyek, deduksi obyek, analisis,

klasifikasi dan idealisasi (Verstappen, 1977). Deteksi obyek adalah pengamatan suatu obyek (target) pada citra

yang nampak khas dan berbeda dengan latar belakangnya. Pada tahap iden#fikasi, obyek tersebut berusaha

diiden#fikasi karakteris#knya, Iden#fikasi ini mendasarkan pada enam kunci interpretasi citra yang melipu#

bentuk (shape), rona/warna (tone/color), ukuran (size), pola (pa�ern), tekstur (texture), bayangan (shadow)

dan asosiasi (associa�on). Setelah diketahui karakteris#k obyek tersebut dari hasil iden#fikasi menggunakan

enam kunci interpretasi, pada tahap deduksi disimpulkan obyek tersebut merupakan obyek apa. Setelah tahap

deduksi kemudian baru dilakukan analisis (iden#fikasi sebaran obyek),klasifikasi (deliniasi obyek yang sama)

dan idealisasi (penyajian dalam bentuk peta). Ekstraksi secara digital menggunakan pendekatan yang berbeda

dengan ekstraksi visual. Disini segala pekerjaan mulai dari iden#fikasi sampai klasifikasi dilakukan oleh

komputer secara otoma#s. Operator biasanya hanya perlu memasukkan nilai - nilai parameter sta#s#k yang

akan menjadi dasar komputer dalam menganalisis. Analisis digital juga memasukkan beberapa tahap pra

pemrosesan sebelum citra dianalisis seper# misalnya koreksi radiometrik, koreksi geometrik, image

enhancement, dan transformasi citra.

Page 9: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

9 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 2.7. Contoh Hasil Analisis citra digital berupa (a) Citra asli dan (b) Peta penutup lahan hasil analisis.

Gambar 2.8. Proses interpretasi visual pemetaan batuan menggunakan foto udara

G. Aplikasi, Informasi tema#k yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan di

berbagai bidang, misalnya pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah, geologi, pertambangan, geografi.

II.B Penggunaan Lahan

Terdapat dua konsep berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu penggunaan lahan itu sendiri (landuse) dan penutup

lahan (landcover). Keduanya sering dicampurkan satu sama lain tapi pada dasarnya keduanya mempunyai konsep yang

berbeda. Penutup lahan (landcover) mengacu pada “benda” yang menutup di atas lahan itu sendiri. Misalnya vegetasi,

tanah terbuka, lahan terbangun, ataupun tubuh air. Sedangkan penggunaan lahan (landuse) mengacu pada

penggunaan dari penutup lahan, seper# misalnya hutan lindung, lahan pertanian, lahan rekreasi, dan lahan konservasi.

Menurut Malingreau (1978), penggunaan lahan didefinisikan sebagai segala macam campur tangan manusia, baik

secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan sumber daya buatan,

yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual,

ataupun kebutuhan kedua-duanya.

Page 10: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

10 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

II.C Penginderaan Jauh Untuk Penggunaan Lahan

Sebagaimana telah diterangkan di muka, penginderaan jauh mampu menyajikan informasi permukaan bumi secara

sinop#k dalam bentuk citra (foto dan non foto). Kemampuan merekam secara sinop#k ini membuat penginderaan jauh

dapat diandalkan untuk mengetahui sebaran dan memetakan obyek – obyek di permukaan bumi baik yang langsung

berkaitan dengan respon spektral (penutup lahan) maupun #dak langsung (misalnya bentuklahan, penggunaan lahan

Penutup lahan merupakan obyek yang dapat langsung bisa diketahui dari citra penginderaan jauh. Bahkan bisa

dikatakan satu – satunya informasi yang terekam dari citra penginderaan jauh adalah informasi sebaran penutup lahan.

Sedangkan informasi lain seper# penggunaan lahan dan bentuklahan dapat diketahui dengan menganalisis pola dan

sebaran penutup lahan (tersirat).

Informasi sebaran penggunaan lahan dari citra penginderaan jauh dapat diketahui dengan melakukan interpretasi dan

analisis terhadap sebaran penutup lahan yang terekam dari citra. Interpretasi citra adalah pengenalan dan analisis citra

pada obyek untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1986). Interpretasi dapat dilakukan dengan

mendasarkan pada kunci interpretasi yang terdiri dari rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, #nggi dan bayangan,

lokasi dan asosiasi. Proses interpretasi penggunaan lahan biasanya dimulai dari proses interpretasi penutup lahan, lalu

dengan menganalisis lebih lanjut berdasarkan pola, lokasi, perkembangan temporal dan asosiasi, maka dapat diketahui

penggunaan lahannya. Walaupun demikian, penutup lahan terkadang #dak mencerminkan penggunaan lahannya, oleh

karena itu pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tetap memerlukan data referensi (anciliary data) dan juga

validasi di lapangan.

Gambar 2.9 Penggunaan Lahan Kawasan Industri dapat diketahui dari penutup lahan lahan terbangun dengan atap bangunan yang seragam, pola teratur, berukuran besar dan

berasosiasi dengan daerah pinggiran kota

Walaupun #dak semua aspek penggunaan lahan dapat diketahui dari citra penginderaan jauh (misalnya aspek sosial

ekonomi dari penggunaan lahan), namun pada saat ini citra penginderaan jauh merupakan sumber informasi utama

dalam pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan citra penginderaan jauh mempunyai beberapa kelebihan

Page 11: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

11 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

dibandingkan teknik yang lebih konvensional (pengukuran lapangan dan interview). Yang utama adalah penginderaan

jauh dapat memberikan data sebaran penutup lahan pada wilayah yang luas secara cepat (resolusi temporal yang

baik), sehingga inventarisasi penggunaan lahan dapat lebih mudah dilakukan (mengurangi beban kerja lapangan).

Selain itu monitoring perubahan penggunaan lahan juga dapat lebih cepat dilakukan karena beberapa satelit dapat

memberikan data dengan frekuensi perulangan perekaman sebanyak 12 jam.

Gambar 2.10 Perubahan penggunaan lahan akibat kerja manusia atau bencana alam dapat lebih cepat diketahui dan dipetakan menggunakan Citra Penginderaan Jauh

Page 12: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

13 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB III

SISTEM PENGINDERAAN JAUH ALOS DAN SPOT

III.1 ALOS

ALOS (Advanced Land Observa�on System) adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan oleh Pemerintah

Jepang sebagai bagian dari program Earth Observa�on mereka. ALOS merupakan penerus dari dua satelit observasi

bumi generasi sebelumnya (ADEOS dan JERS-1). ALOS diluncurkan ke orbit pada tanggal 24 Januari 2006 dengan

membawa �ga sensor, yaitu AVNIR-2, PRISM dan PALSAR. AVNIR-2 dan PRISM adalah sensor op�k yang masing –

masing bekerja pada mode mul�spektral dan pankroma�k, Sedangkan PALSAR merupakan sensor SAR (Synthe�c

Aperture Radar). ALOS didesain untuk menghasilkan data citra satelit untuk kepen�ngan aplikasi kebumian seper�

kartografi, penggunaan lahan, kebencanaan, sumberdaya alam, dan monitoring perkotaan.

Gambar 3.1 Overview ALOS (JAXA, 2008)

Berikut ini adalah karakteris�k umum ALOS:

Tabel 3.1 Karakteristik Umum ALOS (ALOS User Guide, 2009)

Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006

Lokasi Peluncuran Tenageshima Space Center

Target lama operasi 3 – 5 tahun

Orbit Sinkron Matahari

Resolusi temporal 46 hari

Inklinasi = 98,16 derajat

Ke�nggian dari permukaan bumi = 691 Km

Media penyimpan Perekam data Solid State (90 Gb)

Page 13: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

14 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

III.2 AVNIR-2

AVNIR -2 (Advanced Visible Near Infra Red type 2) merupakan salah satu sensor mul�spektral yang terpasang pada

satelit ALOS. AVNIR-2 adalah sebuah sensor mul�spektral dan merupakan generasi kedua dari keluarga sensor AVNIR.

Sensor AVNIR-1 dipasang pada satelit ADEOS. Dibanding pendahulunya, sensor AVNIR-2 memiliki banyak peningkatan,

diantaranya mampu menghasilkan citra mul�spektral dengan resolusi spasial 10 meter (sebelumnya 50 meter). AVNIR-

2 juga memiliki kemampuan untuk merekam dalam mode off-nadir sampai 44 derajat. Berikut ini adalah karakteris�k

umum sensor AVNIR-2.

Tabel 3.2 Karakteristik AVNIR-2

Gambar 3.2 (a) Overview AVNIR-2 dan (b) Kemampuan merekam off nadir dari AVNIR-2 (JAXA, 2009)

JAXA sebagai pengelola ALOS AVNIR-2 membagi level pemrosesan dari data AVNIR-2 sebagai berikut:

Jumlah saluran (bands) 4 saluran

Panjang gelombang (wavelength) Saluran 1 : 0,42 – 0,5 mikrometer

Saluran 2 : 0,52 – 0,6 mikrometer

Saluran 3 : 0,61 – 0, 69 mikrometer

Saluran 4 : 0,76 – 0, 89 mikrometer

Resolusi spasial 10 meter (pada perekaman nadir)

Swath width 70 km (pada perekaman nadir)

Jumlah detektor 7000 per saluran

Poin�ng Angle - 44 sampai +44 derajat

Resolusi spektral 8 Bit

Page 14: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

15 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Tabel 3.3 Level Pemrosesan Data PRISM dan AVNIR-2 (JAXA, 2009)

III.2 SPOT

SPOT merupakan Satelit Penginderaan Jauh sumber daya alam milik Prancis yang sudah beroperasi sejak tahun 1986

(tertua kedua setelah Landsat). Sampai saat ini, satelit SPOT yang telah diluncurkan adalah sebanyak 5 satelit. Mulai

dari SPOT-1 tahun 1986 sampai SPOT-5 tahun 2002. Dari kelima satelit, dua satelit sudah �dak mampu bekerja lagi,

sehingga sekarang yang masih beroperasi hanya 3 satelit (SPOT-2,4 dan 5). Berikut ini adalah tabel karakteris�k satelit

SPOT mulai dari generasi pertama sampai terakhir.

Tabel 3.4 Karakteristik Satelit SPOT 1 sampai 5 (SPOT IMAGE, 2006)

Level 1A Data mentah hasil rekonstruksi langsung dari satelit (level 0 data)

Level 1B1 Koreksi radiometrik telah diterapkan,

Level 1B2R

(Georeferenced)

Sebagian jenis koreksi geometrik telah diterapkan seper� koreksi pengaruh

rotasi bumi (skewness), georeferensi ke dalam proyeksi peta yang berlaku

umum (UTM dengan datum WGS-84)

Level 1B2G

(geocoded)

Data telah terkoreksi radiometrik dan geometrik, proyeksi peta sudah

diterapkan, arah utara piksel citra sudah mengiku� arah utara sebenarnya,

parameter rotasi sudah diterapkan.

Paramater Satelit

SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3

Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986

2. 22 Januari 1990

3. 20 September 1993

Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun

Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari

Waktu melintasi ekuator (waktu

lokal)

10.30 10.30 10.30

Ke)nggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km

Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit

Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat

Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari

Instrumen Resolusi )nggi

- Saluran spektral

- Julat Spektral

- Luas Liputan

- Resolusi Radiometrik

- Resolusi Temporal

2 Sensor HRG

- 2 pankroma�k (5m) yang bisa dikombinasikan menjadi 1

pankroma�k (2,5 m)

- 3 VNIR (10m)

- 1 SWIR (20m)

- P : 0,48-0,71 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm

- 60 x 60 km atau 60 x 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

2 Sensor HRVIR

- 1 Saluran Merah Resolusi 10m

- 3 VNIR (20m)

- 1 SWIR (20m)

- M : 0,61-0,68 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm

- 60 x 60 km atau 60 x 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

2 Sensor HRV

- 1 Pankroma� (10m)

- 3 VNIR (20m)

- P : 0,48-0,71 μm

- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm

- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm

- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm

- 60 x 60 km atau 60 x 80 km

- 8 bits

- 2 hingga 3 hari

Page 15: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

16 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Dari generasi ke generasi, kapabilitas sensor pada se�ap satelit selalu mengalami perbaikan. Pada saat SPOT 1 sampai 3

diluncurkan, teknologi perekaman masih menggunakan sensor HRV, dan sekarang sudah sampai ke sensor HRG (High

Resolu�on Ground) dan HRS (High Resolu�on Stereoscopic). Aspek resolusi spasial dan spektral juga meningkat dengan

tambahan kemampuan mereka band SWIR sejak SPOT-4, sehingga penggunaan citra SPOT dapat dikembangkan ke

aplikasi yang semakin luas.

Sensor pada se�ap generasi satelit SPOT terdiri dari dua sensor iden�k yang mampu diatur arahnya sehingga memiliki

kapabilitas perekaman off nadir. Kapabilitas perekaman off nadir ini memungkinkan dapat dihasilkannya citra stereo

jenis across track. Citra stereo ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk berbagai aplikasi seper� pembuatan DEM, dan

interpretasi citra stereoskopik.

SPOT IMAGE memproduksi dan mendiseminasi citra SPOT dalam berbagai jenis �ngkat pemrosesan sebagai berikut :

Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006)

Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi

1A

Normalisasi respon CCD untuk

memperbaiki variasi radiometrik yang

dikarenakan perbedaan sensi�vitas

detektor

Pengaruh eksternal (atmosfer) belum

dikoreksi.

- N/A < 50 meter

1B Sama dengan 1A Distorsi geometrik sistema�k sudah

terkoreksi (distorsi panoramik, efek

rotasi bumi, variasi ke�nggian orbit)

< 30 meter

2A Sama dengan 1A Pemrosesan level 1B

Transformasi koordinat ke UTM

Orthorek�fikasi tanpa menggunakan

GCP, hanya menggunakan informasi

ephemeris sensor plus DEM dengan

resolusi 1 km

< 30 meter

2B

(Precision)

Sama dengan 1A

Pemrosesan Level 2A

Penggunaan GCP untuk koreksi

geometrik guna memperoleh keteli�an

posisi yang lebih baik

Tergantung

akurasi GCP

3 (Ortho) Sama dengan 1A

Pemrosesan Level 2A

Orthorek�fikasi menggunakan DEM

berkualitas �nggi dan GCP untuk

mengkoreksi distorsi geometrik akibat

pengaruh medan

< 10 meter,

tergantung

akurasi GCP dan

DEM

Page 16: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

17 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006)

Page 17: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

19 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB III

DESKRIPSI WILAYAH PEMETAAN

IV.1 Karakteris�k Administra�f dan Geografis

Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalan wilayah administrasi Provinsi Kalimantan

Timur Indonesia. Kabupaten ini merupakan salah satu Kabupaten di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan

Malaysia. Secara geografis, Kabupaten Kutai Barat terletak pada 1130 45’ 05” – 1160 31’ 19” BT serta diantara 10 31’

35” LU dan 10 10’ 16” LS. Adapun batas wilayah secara administrasi adalah Kabupaten Malinau dan Negara Serawak

(Malaysia Timur) di sebalah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, Kabupaten Pasir di sebelah Selatan

dan Propinsi Kalimantan Tengah serta Propinsi Kalimantan Barat di sebelah Barat. Dengan luas wilayah sebesar

31.628,70 km2

(kurang lebih 15% dari Propinsi Kalimantan Timur), Kabupaten Kutai Barat memiliki 21 kecamatan dan

223 kampung. Berikut ini adalah tabel pembagian wilayah administra6f di Kabupaten Kutai Barat.

Gambar 4.1 Lokasi dan Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Kutai Barat

No Kecamatan Luas Wilayah (km2)1 Bongan 2.274,402 Jempang 654,403 Penyinggahan 271,904 Muara Pahu 496,685 Muara Lawa 444,506 Damai 1.750,437 Barong Tongkok 492,218 Melak 287,879 Long Iram 1.462,0110 Long Hubung 530,9011 Long Bagun 4.971,2012 Long Pahangai 3.420,4013 Long Apari 5.490,7014 Bentian Besar 886,4015 Linggang Bigung 699,3016 Siluq Ngurai 2.015,5817 Nyuatan 1.740,7018 Sekolaq Darat 165,4619 Manoor Bulatn 867,7020 Tering 1.804,1621 Laham 901,80

Page 18: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

20 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

IV.2 Karakteris�k Iklim dan Topografis

Dilihat dari aspek klimatologi, Kabupaten Kutai barat termasuk dalam kategori iklim tropika humida, dengan rata-rata

curah hujan ter6nggi pada bulan April dan terendah di bulan Agustus serta 6dak menunjukkan adanya bulan kering.

Dengan kata lain, sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurang-kurangnya tujuh hari hujan. Namun

demikian dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan iklim di Kabupaten Kutai Barat menjadi 6dak menentu. Pada bulan-

bulan yang seharusnya turun hujan dalam kenyataannya 6dak hujan, atau sebaliknya pada bulan bulan yang

seharusnya kemarau bahkan terjadi hujan dengan dengan musim yang lebih panjang. Temperatur minimum umumnya

terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai

dengan bulan Agustus. Daerah beriklim seper6 ini 6dak mempunyai perbedaan yang jelas antara musim hujan dan

musim kemarau. Pada musim angin barat hujan turun sekitar sekitar bulan Agustus sampai bulan Maret, sedangkan

pada musim 6mur hujan rela6f kurang, hal ini terjadi pada sekitar bulan April sampai bulan September.

Berdasarkan data topografi, Kabupaten Kutai Barat dengan luas wilayah mencapai 316.287.000,00 hektar, didominasi

oleh lahan dengan topografi sangat curam (50,16%) dan curam (6,11%) dan selebihnya dengan kondisi datar, dan

bergelombang. Wilayah dengan topografi pegunungan mencapai 1.586.552,08 hektar atau lebih dari 50% dari luas

seluruhnya tersebut, berada di bagian Barat Laut Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan luas wilayah dengan topografi

datar hanya sebesar 10,35% atau 327.400,84 hektar dan terletak di bagian Tenggara Kabupaten Kutai Barat.

Gambar 4.2 Kondisi topografi Kabupaten Kutai Barat

IV.3 Karakteris�k Kependudukan

Penduduk Kabupaten Kutai Barat saat ini adalah sekitar 150.000 warga dengan 31000 Kepala

keluarga. Kepadatan penduduk ter6nggi adalah di kalan barong tongkok. Rata—rata kepadatan

penduduk adalah sekitar 4 orang per kilometer persegi.

Page 19: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

21 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Adapun kecamatan—kecamatan dengan kepadatan penduduk ter6nggi adalah Barong Tongkok (26 jiwa/km), Melak (15

jiwa/km) dan Penyinggahan (13 jiwa/km). Dari aspek ekonomi dan pendapatan daerah, pendapatan perkapita

Kabupaten Kutai Barat sebesar Rp 6 juta dan PDRB pada tahun yang sama sebesar Rp 7.9 juta per kapita. Mata

pencaharian penduduk umumnya adalah sebagai petani ladang, petani karet, penambang emas, dan sarang burung

walet. Penduduk biasanya 6dak hanya memiliki satu mata pencaharian. Mata pencaharian alterna6f mencakup

berburu, pengumpul damar dan hasil hutan non kayu lainnya, beternak, kerajinan rotan, dan wisata.

IV.4 Karakteris�k Penggunaan Lahan Eksis�ng

Berdasarkan Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat yang dibuat oleh WWF dan BIOTROP Tahun 2008, penggunaan lahan

di Kutai Barat dapat dirinci menjadi 4 bentuk penggunaan lahan utama, yaitu kawasan budidaya non kehutanan,

kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Yang termasuk dalam kawasan

budidaya non kehutanan antara lain adalah penggunaan lahan permukiman, pertanian, pertambangan, dan ak6vitas

non kehutanan lainnya. Sedangkan kawasan hutan produksi antara lain perkebunan kelapa sawit, karet, produksi kayu,

dan lainnya. Secara keseluruhan, Kawasan budidaya non kehutanan mempunyai proporsi sebesar 29% dari seluruh luas

wilayah. Kawasan hutan produksi memiliki proporsi paling besar, yaitu sebesar 47%. Sedangkan kawasan lain seper6

kawasan hutan lindung proporsinya sebesar 23% dan sisanya adalah kawasan hutan konservasi.

Gambar 4.3 Kondisi Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat

Page 20: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

23 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB V

METODE PELAKSANAAN PEMETAAN

V.1 Alat dan Bahan Yang Digunakan

Pekerjaan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat berbasis interpretasi citra satelit menggunakan alat dan

bahan sebagai berikut:

IV.1.A Alat

Alat yang digunakan dalam penyelesaian pekerjaan melipu�:

1. Seperangkat Komputer dengan spesifikasi Processor Intel Dual core E2160 1,8 Ghz, 2GB RAM, VGA ATI Radeon

HD 4665, monitor LCD 18 inch dan perlengkapan pendukung.

2. So3ware ArcGIS versi 10 untuk pelaksanaan pemetaan dan interpretasi citra.

3. So3ware ENVI versi 4.8 dan ER Mapper versi 2011 untuk pelaksanaan pengolahan citra digital (restorasi citra,

mosaik, kompresi citra)

4. So3ware OpenOffice suite 3.2 untuk penulisan laporan.

IV.1.B Bahan

Bahan yang digunakan untuk melaksanakan pemetaan melipu�:

1. Peta Rupabumi digital Kabupaten Kutai Barat Skala 1: 50.000. Peta ini berfungsi sebagai peta dasar dan

sumber GCP (ground control point) dalam koreksi geometrik citra.

2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008 dari Biotrop – WWF. Peta ini berfungsi sebagai

informasi tambahan (auxiliary data) dan referensi dalam pemetaan.

3. Citra ALOS AVNIR-2 dan PRISM level pemrosesan L1B2R (terkoreksi radiometrik dan geometrik), sebanyak 13

scene yang meliput wilayah Kabupaten Kutai Barat. Waktu perekaman citra berkisar antara tahun 2009 sampai

2010. Satu scene citra terdiri dari 10 file yang melipu� file citra (ditandai dengan nama IMG), metadata citra

(ditandai dengan nama LED) dan file lainnya dalam format TXT (lisensi penggunaan citra, rangkuman

metadata).

Gambar 5.1 Rincian file dalam Satu Scene Citra ALOS level 1B2R

Page 21: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

24 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

4. Citra SPOT-2 dan SPOT-4 level pemrosesan L2A (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sebanyak 4 scene citra

mul�spektral. Waktu perekaman berkisar antara tahun 2008 – 2010. Format citra SPOT yang digunakan adalah

format DIMAP (digital image map). Format DIMAP merupakan format diseminasi citra yang dikembangkan

oleh perusahaan SPOT IMAGE sebagai standar diseminasi citra dari beberapa sensor seper� SPOT dan

FORMOSAT. Dalam format DIMAP, metadata citra disimpan sebagai file XML dengan ekstensi *.DIM

(metadata.DIM). Sedangkan file citranya sendiri disimpan dalam format *.TIF (Imagery.�f). Selain metadata,

informasi pendukung lain juga dilampirkan seper� quicklook citra dalam format JPG dan keterangan penjelas

(readme.html).

Gambar 5.2 Rincian file dalam Satu Scene Citra SPOT 2-HRV dan SPOT 4-HRVIR Format DIMAP

Gambar 5.3 Contoh Hasil Parsing file metadata citra (file DIM) dalam browser Internet Explorer

IV.2 Metode Pelaksanaan Pemetaan dan Interpretasi

IV.2.A Tinjauan Umum Citra Satelit ALOS dan SPOT yang digunakan dalam Pemetaan.

Kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit ini

menggunakan Citra SPOT-2 HRV, Citra SPOT-4 HRVIR, dan ALOS AVNIR-2 sebagai sumber datanya. Citra yang diperoleh

masing – masing telah terproses sampai Level 2A untuk SPOT, dan Level 1B2R untuk ALOS AVNIR-2. Dari segi kualitas

citra untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan, citra yang digunakan tampaknya mempunyai kelebihan dan

kekurangan, baik dari aspek radiometrik maupun geometrik. Berikut ini adalah �njauan umum mengenai karakteris�k

citra yang digunakan beserta analisis kelemahan dan kelebihannya.

Page 22: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

25 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

IV.2.A.1 Citra ALOS -AVNIR 2 L1B2R

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tabel .... pada bab 2, JAXA selaku vendor ALOS telah membagi produk ALOS AVNIR-

2 menjadi beberapa �ngkat pemrosesan. Adapun citra yang digunakan dalam pemetaan ini telah diproses sampai Level

1B2R. Level 1B2 mengar�kan bahwa citra telah terkoreksi radiometrik sistema�s dan ter-georeferensi ke dalam bidang

proyeksi peta. Terkoreksi radiometrik sistema�s berar� nilai spektral citra sudah terkalibrasi secara absolut sesuai

dengan acuan kalibrasi, ukuran piksel sudah rela�f seragam, se�ap saluran sudah ter-coregistrasi (�dak ada perbedaan

posisi/misalignment) dan bentuk citra sudah terekonstruksi. Sedangkan yang dimaksud tergeoreferensi disini adalah

citra sudah terproyeksi ke dalam koordinat peta (proyeksi UTM).

Selain itu, pengaruh rotasi bumi dan kesalahan geometrik sistema�s lain dari geometris bumi dan sensor juga sudah

terkoreksi. Walaupun demikian, untuk level 1B2R ini masih terdapat beberapa kesalahan yang masih belum dikoreksi,

diantaranya adalah piksel masih belum di-resampling (gambar....), dan distorsi geometrik yang disebabkan pengaruh

topografis (relief displacement). Untuk itu, evaluasi akurasi geometrik citra L1B2R perlu dilakukan untuk memas�kan

citra sudah terkoreksi secara akurat dan dapat digunakan untuk menurunkan data dengan �ngkat akurasi posisional

yang baik. Koreksi radiometrik terhadap pengaruh atmosfer, baik yang bersifat rela�f (misalnya dark pixel substrac�on)

maupun absolut (pembuatan citra reflektansi) dalam pemetaan ini �dak akan dilakukan. Hal ini mengingat metode

pemetaan yang akan digunakan adalah interpretasi visual, yang mana �dak memerlukan nilai spektral citra yang

seakurat mungkin. Yang dipen�ngkan adalah citra mempunyai kontras yang cukup sehingga dapat diinterpretasi

dengan jelas. Oleh karena itu, manipulasi radiometrik yang akan dilakukan nan�nya lebih terfokus pada operasi

penajaman dan perbaikan kualitas radiometrik citra (image enhancement)

Dari sebanyak 13 Scene ALOS AVNIR-2 yang diperoleh, semuanya �dak ada yang bersih dari awan. Keberadaan awan

pada se�ap scene bervariasi mulai dari 15% sampai 75% wilayah liputan. Sebarannya pun bervariasi, ada yang tersebar

dan ada yang mengumpul pada bagian tertentu dari citra. Dalam kaitannya dengan pemetaan penggunaan lahan,

keberadaan awan ini merupakan faktor yang diperkirakan akan cukup menganggu jalannya interpretasi (banyak area

yang �dak dapat diinterpretasi karena tertutup awan). Oleh karena itu kegiatan interpretasi nan�nya akan lebih

difokuskan pada upda�ng data yang sudah ada dan uji akurasi hasil interpretasi.

IV.2.A.2 CITRA SPOT-2 HRV DAN SPOT-4 HRVIR Level 2A

Citra SPOT dengan level pemrosesan 2A mempunyai karakteris�k antara lain sudah terkoreksi radiometrik dan

geometrik. Untuk aspek keteli�an geometrik, citra sudah terproses secara ortho, namun dalam prosesnya belum

digunakan ��k kontrol tanah (ground control points). Orthorek�fikasi hanya dilakukan berdasarkan informasi

ephemeris dari sensor dan parameter elevasinya berasal dari DEM global dengan resolusi 1 kilometer. Mengingat

pemetaan ini dilakukan pada daerah dengan topografi bergunung, maka akurasi dan konsistensi geometrik dari citra

SPOT level 2A masih perlu dievaluasi dan diuji akurasinya karena orthorek�fikasi tanpa GCP dengan kualitas baik

biasanya belum mampu menghasilkan citra dengan akurasi yang cukup.

Page 23: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

26 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Koreksi radiometrik tambahan selain yang telah dilakukan oleh vendor citra (misalnya koreksi atmosfer)

diper�mbangkan �dak perlu dilakukan, mengingat pemetaan �dak dilakukan secara digital.

Jumlah scene citra SPOT yang digunakan dalam pemetaan ini sebanyak 4 scene, yang terdiri dari 1 Scene SPOT-2

dengan resolusi 20 meter dan 3 Scene SPOT-4 dengan resolusi 20 meter. Ke empat scene yang digunakan �dak ada

yang bersih dari awan. Keberadaan awan bervariasi mulai dari 10% sampai 40% dari luas liputan citra.

IV.2.B Restorasi Citra (Koreksi Geometrik)

Karena penginderaan jauh bukan merupakan sebuah sistem yang ideal, maka hasil proses penginderaan jauh yang

berupa citra atau foto mengandung beberapa kesalahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor – faktor

penyebab adanya kesalahan pada citra ini dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek geometrik citra dan aspek

radiometrik citra. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, berbagai macam distorsi/kesalahan

ini harus dihilangkan dan dikoreksi.

Sesuai dengan hasil �njauan umum terhadap citra yang digunakan, maka dalam pekerjaan pemetaan ini analisis

kesalahan radiometrik dan koreksi radiometrik citra �dak dilakukan karena akurasi nilai spektral �dak terlalu

dibutuhkan. Yang lebih dipen�ngkan adalah kontras citra yang baik agar interpretasi dapat lebih mudah dilakukan.

Yang termasuk dalam sumber kesalahan geometrik pada citra antara lain : pengaruh rotasi bumi, topografi bergunung,

kelengkungan bumi, variasi gerakan sensor, medan pandang yang luas. Faktor – faktor tersebut menyebabkan citra

mengandung beberapa kesalahan seper� pergeseran posisi obyek (relief displacement) dan ukuran piksel yang �dak

seragam (Richards, 2006).

Untuk mengkoreksi kesalahan – kesalahan diatas, terdapat dua metode yang umum digunakan dalam penginderaan

jauh, yaitu metode fisis dengan cara memodelkan se�ap jenis kesalahan beserta parameter koreksinya dan kemudian

diaplikasikan pada citra, dan yang kedua adalah metode empiris berupa penggunaan model matema�s polynomial

untuk menghubungkan koordinat piksel pada citra (baris dan kolom) dengan koordinat piksel tersebut di lapangan

(koordinat peta) (Richards, 2006).

Karena citra yang digunakan sudah berada pada �ngkat terkoreksi radiometrik dan geometrik (SPOT level 2A dan ALOS

AVNIR-2 Level 1B2R) maka koreksi geometrik pada pemetaan ini lebih difokuskan pada evaluasi akurasi koreksi

geometrik yang dilakukan vendor citra, dengan menggunakan Peta RBI terbitan BAKOSURTANAL Skala 1:50.000 sebagai

referensi dan pembanding. Jika hasil koreksi geometrik dari vendor mempunyai akurasi yang sama dengan Peta RBI,

maka koreksi geometrik tambahan �dak perlu dilakukan. Namun sebaliknya jika ditemui masih terdapat kesalahan

geometrik, maka akan dilakukan koreksi geometrik tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial dua

dimensi. Berikut ini adalah skema strategi koreksi geometrik yang akan dilakukan :

Page 24: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

27 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 5.4 Skema Strategi Koreksi Geometrik

Kriteria yang digunakan pada tahap Uji Akurasi untuk mengetahui hasil koreksi geometrik dari vendor citra dapat

diterima atau �dak adalah dengan membandingkan kenampakan Jalan dan Sungai pada citra dengan pada peta. Jika

kenampakan pada citra tepat berimpit sempurna pada peta berar� citra dianggap sudah akurat dan �dak perlu

dikoreksi lagi. Sedangkan jika kenampakan �dak berimpit sempurna, maka koreksi geometrik dari vendor dianggap

kurang akurat dan dilakukan koreksi tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial orde 1 (affine). Adapun

rumus persamaan polynomial umum yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

u,v = koordinat citra

x,y = koordinat peta (Richards, 2006)

IV.2.C Penajaman Kontras (Contrast Stretching)

Hasil perekaman citra satelit dijital seringkali mempunyai rentang nilai dijital (DN) yang rela�f sempit. Jika dibandingkan

dengan ruang yang tersedia untuk penyimpanan data (0 – 255 untuk citra 8 BIT dan 0 – 4026 untuk 11BIT). Hal ini

menyebabkan citra tampak rela�f gelap dan kurang kontras. Untuk kepen�ngan interpretasi citra diperlukan citra

dengan kontras yang baik. Untuk itu perlu dilakukan penajaman kontras (contrast enhancement) dengan cara

manipulasi histogram citra (CCRS, 1999).

Gambar 5.5 Penajaman Kontras (CCRS, 1999)

Page 25: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

28 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Penajaman kontras dapat dapat dibagi dua, yaitu linier dan non linier. Penajaman kontras non linier selanjutnya dapat

dibagi lagi menjadi beberapa metode seper� penyamaan histogram (histogram equaliza�on), penajaman gaussian dan

penajaman berbasis standar deviasi (ERDAS Field Guide).

Dalam kegiatan pemetaan ini, penajaman kontras diperlukan agar citra yang digunakan dapat memiliki kontras yang

baik, sehingga representasi obyek akan lebih jelas dan lebih mudah diinterpretasi. Strategi yang digunakan adalah

dengan mencoba mengaplikasikan beberapa teknik penajaman kontras yang umum digunakan dalam pengolahan citra

dijital, yaitu :

1. Penajaman kontras linier (linear contrast stretching)

2. Penajaman berbasis standar deviasi (standard devia�on stretching)

3. Penyetaraan Histogram (Histogram Equaliza�on)

Metode terbaik dinilai secara subyek�f visual dengan cara membandingkan kontras citra hasil penajaman. Citra dengan

kontras yang paling baik yang akan dipakai untuk kegiatan interpretasi.

IV.2.D Penyesuaian Histogram (Histogram Matching)

Penyesuaian Histogram merupakan salah satu teknik manipulasi citra dengan tujuan menyamakan karakteris�k

radiometrik antara satu citra dan citra lain, sehingga kualitas radiometriknya menjadi rela�f seragam. Citra yang

direkam pada waktu berbeda seringkali mempunyai �ngkat kecerahan yang �dak sama yang diakibatkan antara lain

adalah perbedaan kondisi atmosfer (Richards, 2006) . Hal ini dapat menjadi masalah jika citra akan dimosaik dengan

citra lain. Tingkat kecerahan citra menjadi kurang selaras dan hasil mosaik menjadi kurang terpadu (seamless) (ERDAS

Field Guide). Walaupun demikian, penerapan histogram matching yang sukses se�daknya memerlukan �ga syarat

(ERDAS Field Guide), yaitu :

1. Bentuk umum histogram antara citra – citra yang akan diproses rela�f seragam

2. Kenampakan gelap dan cerah pada se�ap citra idealnya merupakan obyek yang sejenis.

3. Untuk aplikasi tertentu, resolusi spasial citra mungkin harus sama.

4. Jika terdapat awan pada satu citra dan yang lain bersih awan, maka keberadaan awan pada salah satu citra

harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum dilakukan histogram matching.

Teknik penyesuaian histogram dilakukan dengan cara membuat Lookup Table dari citra referensi. Lookup table ini

berisi informasi nilai kecerahan pada citra referensi dan asosiasi gradasi keabuannya. Kemudian citra masukan yang

akan disesuaikan histogramnya diplotkan ke dalam lookup table ini sesuai dengan gradasi nilai keabuan dari citra

referensi. Dan proses diakhiri dengan rekonstruksi histogram hasil plo�ng nilai spektral citra masukan (ERDAS Field

Guide). Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Page 26: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

29 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 5.6 (a) Histogram citra masukan, (b) lookup table citra referensi dan (c) hasil perkiraan histogram output

Dikarenakan salah satu keluaran dari pemetaan ini adalah mosaik citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai

Barat, maka sebelum citra dimosaik perlu dilakukan penyesuaian histogram agar citra mosaik dalam lebih terpadu

kualitas radiometriknya. Dan memper�mbangkan juga bahwa se�ap citra yang digunakan terdapat perawanan serta

meliput daerah dengan karakteris�k penutup lahan dominan yang seragam, maka koreksi penghilangan awan sebelum

proses matching dipandang �dak perlu dilakukan karena julat nilai spektral pada se�ap citra rela�f sama.

IV.2.E Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking)

Mosaicking atau pembuatan mosaik citra merupakan proses penggabungan banyak citra untuk membentuk satu citra

yang meliput wilayah lebih luas (ERDAS Field Guide). Mosaik citra diperlukan biasanya untuk melihat sebaran obyek

dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan konvensional citra.

Pembuatan mosaik citra dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu mosaik terkontrol dan mosaik �dak

terkontrol (Sutanto, 1986). Mosaik terkontrol menggunakan citra yang sudah tergeoreferensi sebagai masukannya,

sehingga proses mosaik dilakukan secara otoma�s sesuai dengan koordinat masing – masing citra penyusun. Akurasi

hasil mosaik terkontrol akan sangat tergantung pada akurasi geometrik citra penyusunnya. Kesalahan yang umum

terjadi dari penggunaan teknik mosaik terkontrol adalah munculnya ke�dak selarasan (displacement) dari obyek –

obyek yang sama pada bagian tepi citra atau pada bagian citra yang bertampalan (overlap). Hal ini diakibatkan citra

yang dimosaik mempunyai akurasi yang �dak seragam, sehingga �dak tepat bertampalan. Untuk menghindari

kesalahan tersebut, citra harus dipas�kan mempunyai akurasi yang seragam dan berada dalam batas toleransi

kesalahan yang dapat diterima satu sama lain.

Sedangkan mosaik �dak terkontrol menggunakan pendekatan yang berkebalikan dengan mosaik terkontrol. Teknik ini

menggunakan citra yang belum terkoreksi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara manual atau

otoma�s dengan menggunakan algoritma tertentu. Kelebihan dari teknik ini adalah adanya ke�dak selarasan obyek

dapat dihindari karena proses mosaik dilakukan secara manual. Namun demikian teknik ini bukan berar� tanpa

kelemahan. Kelemahan dari teknik ini muncul ke�ka citra direk�fikasi. Sebagai akibat dari mosaik citra yang kesalahan

geometriknya belum dikoreksi, maka hasil mosaik citra akan mengakumulasikan kesalahan – kesalahan geometrik dari

citra – citra penyusunnya, sehingga pada tahap koreksi geometrik biasanya �dak dapat diselesaikan dengan persamaan

polynomial orde rendah (affine), melainkan menggunakan orde �nggi (lebih dari 3). Semakin �nggi orde yang

digunakan, semakin banyak ��k kontrol tanah yang dibutuhkan, dan persamaan akan menjadi semakin sensi�f

terhadap sebaran ��k kontrol. Area yang �dak terdapat ��k kontrol akan mempunyai kesalahan posisi yang besar.

Page 27: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

30 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Dalam pemetaan ini, metode mosaicking yang digunakan adalah pendekatan mosaik terkontrol. Untuk mengan�sipasi

adanya perbedaan posisi obyek antara satu citra dengan citra lain, dalam tahap koreksi geometrik akan dipas�kan

bahwa citra mempunyai akurasi yang seragam dan �dak ada perbedaan posisi obyek pada bagian – bagian yang

bertampalan.

IV.2.F Interpretasi Penggunaan Lahan

IV.2.F.1 Proses Interpretasi Penggunaan Lahan dan Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan yang digunakan

Pembuatan Peta Penggunaan Lahan berbasis interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan menggunakan dua

metode, yaitu intepretasi visual dan klasifikasi dijital (Sutanto, 1986). Interpretasi visual biasanya dilakukan pada data

penginderaan jauh yang berformat analog/cetakan atau dijital melalui digitasi pada layar monitor. Pada proses

interpretasi visual, interpreter berusaha mengenali obyek di permukaan bumi dengan mendasarkan pada kunci

interpretasi yang terdiri dari rona/warna, bentuk, pola, tekstur, bayangan, ukuran, asosiasi dan situs (Sutanto, 1986).

Obyek yang teriden�fikasi kemudian di deliniasi batasnya dan akhirnya dihasilkan sebuah peta tema�k sebaran obyek

hasil iden�fikasi. Sedangkan pada klasifikasi dijital, proses pengenalan obyek dilakukan secara otoma�s oleh komputer.

Komputer mengenali obyek hanya berdasarkan pada dua aspek, yaitu atribut spektral/warna dan atribut spasial/

tekstur. Oleh karena itu penggunaan klasifikasi dijital hanya terbatas untuk pemetaan penutup lahan atau penggunaan

lahan yang mempunyai tekstur spesifik saja.

Dalam kegiatan pemetaan ini, metode yang digunakan adalah interpretasi visual. Interpretasi visual dipilih karena

informasi yang ingin diperoleh adalah informasi penggunaan lahan yang mana lebih tepat diperoleh menggunakan

pendekatan interpretasi visual. Selain itu, peta referensi yang digunakan berformat data vektor, sehingga untuk

menjaga konsistensi, dipilih interpretasi visual yang keluaran utamanya adalah data vektor juga.

Proses interpretasi dilakukan dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008

yang dibuat oleh WWF-BIOTROP di atas citra, kemudian diinterpretasi kesesuaian hasil deliniasi penggunaan lahan

dengan kenampakan pada citra. Jika ada perubahan penggunaan lahan, peta kemudian didijitasi ulang sesuai dengan

perubahan yang ada. Untuk meningkatkan kualitas interpretasi, digunakan juga beberapa data tambahan seper� hasil

groundcheck penggunaan lahan di lapangan oleh WWF dan peta Konsensi Perkebunan di Kutai Barat.

Pemetaan penggunaan lahan dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP

sebagai berikut:

Page 28: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

31 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan BIOTROP—WWF untuk Wilayah Kutai Barat (2008)

Kelompok

Penggunaan Lahan

Utama

Rincian semi de/l Rincian De/l

Permukiman - Permukiman - Permukiman

Pertanian - Sawah

- Pertanian campuran

- Sawah

- Pertanian campuran

Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan

- Ladang

Kebun - Kebun - Kebun Campuran

Perkebunan - Perkebunan Besar

- Perkebunan Kecil

- Perkebunan Hutan Industri Kayu

- Perkebunan Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)

- Perkebunan Kelapa Sawit

- Perkebunan Kelapa Sawit muda

- Perkebunan Akasia

- Perkebunan Karet

- Perkebunan Karet skala kecil

Pertambangan - Pertambangan - Pertambangan batubara

- Pertambangan Emas

Hutan - Hutan Dataran Rendah Kering

- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir

- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa

- Hutan pada daerah berawa air tawar

- Hutan pada daerah berawa gambut

- Belukar (forest regrowth)

- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi sangat terbuka

- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi setengah terbuka

- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi cenderung tertutup

- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi sangat terbuka

- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi setengah terbuka

- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi cenderung tertutup

- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi sangat terbuka

- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi setengah terbuka

- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi cenderung tertutup

- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi sangat terbuka

- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi setengah terbuka

- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi cenderung tertutup

- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi sangat terbuka

- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi setengah terbuka

- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi cenderung tertutup

- Belukar

- Belukar pada lahan berawa

Lahan terbuka - Lahan terbuka rusak (bare land)

- Lahan terbakar (burnt)

- Bukaan Lahan (cleared)

- Lahan terbuka rusak

- Lahan terbakar (burnt)

- Bukaan lahan

- Bukaan lahan untuk Industri Hutan Industri/produksi

- Bukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit

Padang - Padang rumput

- Semak

-Padang rumput

- Semak

- Semak pada Hutan berbatuan Batupasir

- Semak pada lahan berawa (fernland)

- Bukaan lahan bekas semak (overgrowing clear-cut shrubs)

Tubuh Air - Tubuh air - Tubuh air

Lain – lain - Lain – lain

- Sungai

- Jalan

- Rel KA

- Lain - lain

- Sungai

- Jalan

- Rel KA

Page 29: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

32 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Pada saat ini skema klasifikasi penggunaan lahan di Indonesia telah distandarisasi dengan terbitnya SNI nomor 19-

6728.3-2002 Tahun 2002 tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Lahan Spasial. Oleh karena itu, hasil pemetaan

penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 selain menggunakan skema klasifikasi menurut BIOTROP-WWF,

juga akan dibuat dengan mengacu pada Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut SNI. Jadi keluaran dari pekerjaan

pemetaan ini terdiri dari dua Peta Penggunaan Lahan. Adapun rincian skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI

adalah sebagai berikut:

Tabel Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut SNI 19-6728.3-2002

Peta Tingkat Nasional Peta Tingkat Provinsi Peta Tingkat Kabupaten/kota

Permukiman - Permukiman - Permukiman perkotaan

- Permukiman perdesaan

Sawah - Sawah Irigasi

- Sawah tadah hujan

- Sawah pasang surut

- Sawah irigasi teknis

- Sawah irigasi setengah teknis

- Sawah irigasi sederhana

- Sawah tadah hujan

- Sawah pasang surut

Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan

- Ladang

Kebun - Kebun - Kebun Campuran

- Kebun Sejenis ( sayuran )

- Kebun Sejenis ( Bunga-bungaan)

- Kebun Sejenis ( Buah-buahan)

Perkebunan - Perkebunan Besar

- Perkebunan Rakyat

- Perkebunan Besar (jenis komodi�)

- Perkebunan Rakyat (jenis komodi�)

Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka (dirinci menurut bahan galian)

Industri dan Pariwisata - Industri/Pariwisata

- Tempat/lokasi pariwisata

- Industri (dirinci menurut jenis industri, atau pertanian/non pertanian)

- Tempat/lokasi pariwisata

Perhubungan - Pelabuhan/Bandara

- Pelabuhan laut

- Pelabuhan sungai

- Terminal

- Stasiun Kereta Api

- Pelabuhan/Bandara

- Pelabuhan laut

- Pelabuhan sungai

- Terminal

- Stasiun Kereta Api

Lahan berhutan - Lahan berhutan - Lahan berhutan lebat

- Lahan berhutan belukar

- Lahan berhutan sejenis

Lahan terbuka - Lahan terbuka - Lahan terbuka tandus

- Lahan terbuka kri�s

- Lahan bukaan sementara

Padang - Padang rumput

- Alang – alang

- Semak

-Padang rumput (dirinci menurut penggunaan)

- Alang – alang

- Semak

Perairan Darat - Danau/Situ/Telaga

- Waduk/Bendungan

- Rawa

- Kolam ikan air tawar

- Tambak

- Penggaraman

- Danau/Situ/Telaga

- Waduk/Bendungan

- Rawa

- Kolam ikan air tawar

- Tambak

- Penggaraman

Lain – lain - Lain – lain

- Sungai

- Jalan

- Rel KA

- Lain - lain

- Sungai

- Jalan

- Rel KA

Page 30: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

33 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

IV.2.F.2 Strategi Interpretasi Penggunaan Lahan

Pembuatan peta penggunaan lahan dalam kegiatan ini menggunakan dua skema klasifikasi penggunaan lahan yang

sedikit banyak cukup berbeda. Agar hasil interpretasi dapat lebih op�mal dan konsisten antara kedua skema, maka

interpretasi akan dilakukan dengan menggunakan satu skema terlebih dahulu, kemudian hasil pemetaan dikonversikan

kepada skema yang lainnya. Skema yang digunakan dalam interpretasi adalah skema klasifikasi penggunaan lahan

menurut BIOTROP—WWF. Adapun dasar per�mbangannya adalah skema klasifikasi penggunaan lahan menurut

WWF—BIOTROP dipandang lebih rinci dan lebih mencerminkan berbagai macam aspek penggunaan lahan (terutama

aspek sosial ekonomi). Sementara klasifikasi menurut SNI lebih bersifat umum dan luas, sehingga dalam konversi skema

dirasa akan lebih mudah.

Berikut ini adalah diagram alir strategi interpretasi dan pemetaan:

Gambar 5.7 Strategi Pelaksanaan Interpretasi Penggunaan Lahan

Page 31: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

34 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

IV.2.G Diagram Alir Pemetaan

Sebagai penutup dari pembahasan mengenai metode pemetaan, berikut ini adalah diagram alir dari kegiatan

pemetaan yang dilakukan :

Gambar 5.8 Diagram Alir Pemetaan

Page 32: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

35 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan metode yang telah dijabarkan di bab sebelumnya, bagian ini akan membahas hasil—hasil yang diperoleh

dari kegiatan pemetaan, beserta evaluasi dan analisis di se�ap tahapan guna memberikan hasil peta penggunaan lahan

terbaik dengan kesalahan yang seminimal mungkin., baik kesalahan tema/informasi maupun kesalahan yang bersifat

posisional.

VI.1 Hasil Koreksi Geometrik

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, citra satelit yang digunakan untuk kegiatan pemetaan telah diproses sampai

level 2A (untuk SPOT) dan L1B2R (untuk ALOS AVNIR-2 kelas B). Citra yang telah diproses sampai pada level tersebut

biasanya sudah terkoreksi, baik radiometrik maupun geometrik. Walaupun demikian, kualitas dan akurasi posisinya

akan sangat tergantung pada kondisi topografis dan kualitas data tambahan yang digunakan. Untuk memas�kan bahwa

citra yang digunakan sudah konsisten dan terkoreksi geometrik, maka citra dicek terlebih dahulu kualitas dan akurasi

geometriknya. Skenario dan metode evaluasi hasil koreksi geometrik vendor citra mengiku� skema pada Subbab IV.2.B

Berdasarkan hasil evaluasi koreksi geometrik dengan menggunakan Peta RBI skala 1: 50.000 sebagai data referensi,

dapat diketahui bahwa hasil koreksi geometrik yang dilakukan oleh vendor masih mengandung kesalahan posisional

(gambar 6.1 dan gambar 6,2) . Adapapun jenis kesalahan yang dominan terjadi adalah pergeseran posisi (shi�ing) dari

data referensi, dengan besarnya pergeseran bervariasi (4 sampai 15 piksel). Kesalahan jenis ini dapat dikoreksi dengan

menggunakan rek�fikasi polynomial dua dimensi orde satu yang lebih dikenal dengan nama transformasi affine

(Richards, 2006). Dari 17 scene citra yang digunakan, 16 citra masih mengandung kesalahan posisi geometrik, sehingga

diterapkan rek�fikasi ulang. Sedangkan satu citra �dak mengandung kesalahan posisi yang besar (masih dalam batas

toleransi kesalahan posisi dari standar kesalahan posisi peta skala 1:100.000), sehingga �dak dilakukan rek�fikasi ulang.

Rincian citra yang direk�fikasi ulang dan yang �dak direk�fikasi ulang dapat dilihat pada tabel 6.1.

Koreksi dilakukan dengan mentranslasikan citra yang belum terkoreksi menggunakan minimal 2 ��k kontrol tanah

(Ground control point) ke posisi yang lebih akurat sesuai dengan data referensi (Peta RBI). Pemilihan ��k kontrol

diupayakan berada pada posisi yang memungkinkan agar residual dari transformasi dapat seminimal mungkin, yaitu di

sudut—sudut citra. Jika transformasi menggunakan dua ��k ikat, maka diusahakan ��k ikat yang diambil adalah pada

sudut kanan atas dan kiri bawah, atau kiri atas dan kanan bawah, demikian seterusnya.

Page 33: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

36 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.1 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang dengan data sungai dari Peta dasar

Gambar 6.2 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang pada bagian tepi citra

Gambar 6.3 menunjukkan sebaran ��k ikat yang digunakan untuk mentranslasikan citra yang masih memiliki distorsi

geometrik. Ti�k ikat yang digunakan untuk merek�fikasi ulang citra berjumlah antara 2 sampai 4 ��k ikat per citra,

sesuai dengan kebutuhan transformasi affine.

Page 34: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

37 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.3 Sebaran titik ikat yang digunakan untuk merektifikasi citra

Tabel 6.1 Daftar Citra yang direktifikasi ulang dan tidak direktifikasi ulang

ID citra Sensor direktifikasi ulang tidak direktifikasi ulang

20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V 20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV V 20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V 20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V

Page 35: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

38 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

VI.2 Penajaman Kontras (Contrast Enhancement)

Penajaman kontras diperlukan agar citra yang akan diinterpretasi mempunyai kontras yang baik, sehingga se�ap

obyek yang nampak pada citra dapat diinden�fikasi dengan baik. Teknik penajaman kontras melipu� teknik

penajaman linier maupun non linier. Masing—masing memberikan hasil penajaman yang berbeda, dan se�ap metode

belum tentu dapat memberikan penajaman yang baik untuk se�ap citra. Hal ini dikarenakan se�ap citra mempunyai

karakteris�k radiometrik yang berbeda—beda, sehingga satu algoritma yang menghasilkan penajaman yang baik

untuk satu citra, belum tentu hasilnya baik juga untuk citra lain. Selain itu, cara pengambilan contoh histogram untuk

penyusunan lookup table juga dapat memberikan hasil penajaman yang berbeda—beda. Oleh karena itu dikenal juga

kategorisasi penajaman kontras global dan penajaman kontras lokal/piecewise.

Dalam kegiatan pemetaan ini, terdapat �ga algoritma penajaman kontras yang diuji, yaitu: penajaman kontras linier,

penajaman kontras berbasis standar deviasi, penajaman kontras gaussian, dan penajaman kontras penyesuaian

histogram. Strategi pengambilan contoh histogram untuk penyusunan lookup table �dak hanya menggunakan

histogram global seluruh citra, namun juga histogram lokal melalui pengambilan sampel histogram pada area

tertentu. Pelibatan penajaman kontras berbasis histogram lokal dimaksudkan untuk mengeksplorasi sampai sejauh

mana teknik penajaman kontras mampu membedakan berbagai obyek yang nampak pada citra, terutama pada citra

yang tutupan awannya sangat besar. Hasil pemilihan metode penajaman kontras terbaik untuk se�ap citra dapat

dilihat pada tabel 6.2. Sedangkan contoh—contoh hasil penajaman kontras dapat dilihat pada gambar 6.3, 6.4 dan 6.5.

Tabel 6.2 Jenis Penajaman Kontras yang Diaplikasikan Untuk Setiap Citra

ID citra Sensor Algoritma Penajaman Kontras yang diterapkan

20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza�on

20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV Global Histogram Equaliza�on

20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza�on

20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza�on

alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut

alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut

alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza�on

alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza�on

alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza�on

alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut

ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza�on

ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut

ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut

ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching

ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 Local standar devia�on stretching

ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Local Gaussian Stretching

ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza�on

Page 36: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

39 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.3 Penerapan Teknik Penajaman Kontras dapat memperbaiki kontras citra.

Page 37: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

40 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.4 Hasil Penajaman Kontras Citra ALOS AVNIR-2 Komposit warna semu pada daerah dengan tutupan awan besar.

Metode terbaik adalah Histogram Equalization Stretching

Page 38: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

41 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.5 Hasil Contrast Enhancement pada Citra ALOS AVNIR-2 Komposit Warna Alami pada daerah dengan tutupan awan sedikit.

Hasil terbaik adalah Piecewise Linear Stretching 2% cut

Page 39: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

42 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Berdasarkan hasil pemrosesan, tampak bahwa metode terbaik untuk menajamkan sebuah citra �dak selalu sama.

Suatu metode yang dapat memberikan hasil penajaman yang baik untuk sebuah citra belum tentu baik juga pada citra

yang lain. Hal ini dikarenakan kualitas radiometrik citra (yang sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer pada saat citra

direkam) �dak sama. Secara umum dari hasil pemrosesan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk citra

dengan perawanan yang sedikit dengan kondisi atmosfer yang bersih, metode penajaman kontras linear dapat

memberikan hasil penajaman yang baik (gambar 6.5). Sedangkan metode penyesuaian histogram memberikan hasil

yang terlalu tajam sehingga banyak piksel yang tersaturasi dan menyebabkan kontras citra jadi kurang baik.

Metode penyesuaian histogram bekerja dengan baik pada citra dengan kondisi tutupan awan yang besar. Hal ini

dikarenakan pada citra dengan perawanan besar, histogram citra cenderung mengumpul pada satu region, sehingga

penajaman linier �dak dapat bekerja maksimal. Sedangkan pada citra dengan kondisi atmosfer yang kotor dan

berkabut, histogram citra akan cenderung terdistribusi normal, sehingga penajaman gaussian akan bekerja maksimal

pada citra dengan histogram seper� ini.

Citra yang telah ditajamkan kemudian digunakan untuk intepretasi penggunaan lahan. Sedangkan untuk pembuatan

mosaik citra �dak digunakan citra yang kontrasnya ditajamkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan citra untuk mosaik

adalah citra yang mempunyai keterpaduan secara radiometrik (seamless) sehingga penajaman untuk citra mosaik nan�

akan dilakukan dengan menggunakan operasi penyamaan histogram (histogram matching).

VI.3 Penyesuaian Histogram (Histogram Matching)

Operasi penyesuaian histogram dilakukan untuk mendekatkan nilai kecerahan antara citra—citra yang akan dimosaik,

sehingga iluminasinya lebih seragam. Iluminasi yang rela�f seragam akan menghasilkan citra yang lebih terpadu

(seamless) ke�ka citra dimosaik. Walaupun demikian, histogram matching pada dasarnya adalah operasi yang cukup

kompleks, dimana terdapat beberapa syarat agar algoritma dapat bekerja maksimal. Syarat tersebut dijelaskan pada

subbab IV.2.D.

Dalam kenyataanya, citra yang mencakup daerah pemetaan sebagian besar mempunyai tutupan awan yang tebal dan

merata. Dengan keberadaan tutupan awan yang besar dan keterbatasan waktu pemetaan, eliminasi tutupan awan

�dak dapat dilakukan. Hal ini membawa permasalahan tersendiri dalam proses histogram matching. Dalam

kenyataannya, hampir 80% citra menjadi kurang baik tampilan warnanya setelah disesuaikan histogramnya dengan

citra lain. Citra menjadi terlalu terang (banyak piksel tersaturasi) atau malah terlalu gelap (kontras rendah). Penyebab

utama dari kegagalan proses histogram matching adalah histogram antar satu citra dengan citra lain mempunyai pola

dan sebaran yang berbeda, sehingga ke�ka dilakukan proses matching, keluaran histogramnya �dak sama persis

dengan histogram referensi. Contoh histogram dan tampilan citra yang berhasil dan gagal dalam proses matching dapat

dilihat pada gambar 6.6 dan 6.7. Perbedaan bentuk dan pola histogram pada se�ap citra disebabkan oleh perbedaan

kondisi atmosfer dan proporsi tutupan awan.

Page 40: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

43 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.6 Contoh citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik

Page 41: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

44 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.7 Perbandingan kenampakan citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik dan contoh histogram yang telah disesuaikan

VI.4 Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking)

Mosaik citra merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan dari kegiatan pemetaan. Guna dari mosaik citra adalah

untuk memberikan gambaran mengenai penutup lahan/penggunaan lahan dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan

standar citra. Mosaik citra disusun menggunakan pendekatan mosaik terkontrol. Yang ar�nya, proses mosaik dilakukan

dengan mendasarkan pada informasi georeferensi pada se�ap citra dan proses dilakukan secara otoma�s. Sebagai

masukan dari proses mosaicking adalah citra yang sudah melalui proses histogram matching (untuk beberapa scene).

Keluaran citra mosaik terdiri dari dua dataset, yaitu mosaik citra komposit warna alami (natural color composite) dan

mosaik citra komposit warna semu (false color composite). Adapun per�mbangan kenapa dihasilkan dua mosaik karena

citra SPOT dan ALOS mempunyai komposisi dan urutan band yang berbeda. ALOS AVNIR-2 terdiri dari empat saluran

mul�spektral mulai dari spektrum biru sampai inframerah dekat, SPOT-2 terdiri dari �ga saluran mul�spektral mulai

dari spektrum hijau sampai inframerah dekat, dan SPOT-4 terdiri dari empat saluran mul�spektral mulai dari spektrum

hijau sampai infra merah gelombang pendek (SWIR). Perbedaan komposisi saluran menyebabkan citra dari ke�ga

sensor �dak dapat langsung dimosaik secara bersamaan.

Page 42: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

45 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.8 Contoh citra yang tidak berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik

Page 43: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

46 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Untuk pembuatan citra komposit warna alami, dari citra ALOS AVNIR digunakan saluran 1 sampai 3. Sementara, karena

citra SPOT �dak mempunyai saluran biru yang diperlukan dalam pembuatan citra komposit warna alami, maka saluran

biru disimulasikan dengan meggunakan saluran hijau dan merah menggunakan algoritma simulasi saluran biru yang

terdapat dalam perangkat lunak ERDAS IMAGINE. Untuk pembuatan citra komposit warna semu, dari Citra ALOS AVNIR

-2 digunakan saluran 2 sampai 4, dan dari citra SPOT 2/4 digunakan saluran 1 sampai 3. Untuk pembuatan mosaik citra

komposit warna semu, proses histogram matching �dak dilakukan. Hal ini dikarenakan pada beberapa scene proses

histogram matching menyebabkan citra menjadi terdistorsi dan hasil mosaik secara keseluruhan menjadi �dak baik.

Tidak dilakukannya proses histogram matching pada citra komposit warna semu menyebabkan mosaik citra nampak

kurang terpadu nilai kecerahannya (patchy images). Hasil proses mosaik dapat dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11.

VI.5 Hasil Interpretasi Penggunaan Lahan

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab V.2.F, teknik yang digunakan dalam interpretasi penggunaan lahan adalah

interpretasi visual. Teknis pelaksanaannya adalah dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai

Barat yang dibuat oleh WWF-BIOTROP tahun 2008 diatas citra satelit ALOS dan SPOT, kemudian kenampakan—

kenampakan yang berbeda/berubah dideliniasi ulang secara on-screen digi�zing. Setelah penggunaan lahan terkini

selesai dipetakan, kemudian dibuat peta kedua dengan menggunakan klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI.

Proses pembuatannya adalah dengan menyusun terlebih dahulu tabel konversi penggunaan lahan antara klasifikasi

BIOTROP dan SNI (dapat dilihat pada tabel ...), kemudian hasil pemetaan penggunaan lahan menggunakan klasifikasi

BIOTROP diubah menjadi klasifikasi SNI menurut tabel tersebut.

VI.5.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi WWF-BIOTROP

Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 mengacu pada peta yang sama tahun

sebelumnya yang dibuat oleh WWF-BIOTROP dengan mendasarkan pada interpretasi citra LANDSAT. Berdasarkan hasil

interpretasi, kenampakan yang banyak berubah adalah banyaknya ditemui pembukaan lahan baru (land clearing) di

area—area yang sebelumnya merupakan hutan lebat. Pembukaan lahan ditemui di banyak tempat di sepanjang

wilayah Kabupaten Kutai Barat, baik berupa pembukaan lahan dengan luasan besar maupun kecil. Dengan ditemuinya

banyak sekali kenampakan pembukaan lahan, maka salah satu fokus revisi peta untuk tahun 2009 ini adalah

mengiden�fikasi dan memetakan ulang pembukaan lahan baru. Selain itu juga teriden�fikasi adanya perubahan dan

penambahan luasan lahan industri perkebunan kayu, karet dan kelapa sawit, sehingga fokus kedua dari revisi

pemetaan penggunaan lahan tahun 2009 ini adalah iden�fikasi dan upda�ng penggunaan lahan perkebunan industri

komersial. Fokus ke�ga dan terakhir dari pemetaan penggunaan lahan Kab. Kutai Barat ini adalah reinterpretasi dan

redeliniasi ulang kenampakan permukiman dan lahan terbangun. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa terdapat

banyak kenampakan lahan terbangun yang belum terdeliniasi pada peta penggunaan lahan sebelumnya. Hal ini dapat

dimaklumi karena pemetaan penggunaan lahan sebelumnya menggunakan citra yang lebih kasar daripada yang

digunakan dalam pemetaan ini.

Page 44: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

47 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.9 Mosaik Citra Komposit Warna Alami

Gambar 6.10 Mosaik Citra Komposit Warna Semu

Page 45: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

48 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Untuk menambah akurasi dan interpretabilitas dari kenampakan lahan terbangun, juga digunakan data tambahan

berupa data ��k sebaran lahan terbangun hasil cek lapangan (groundcheck) oleh �m WWF Kutai Barat. Selain dari

ke�ga jenis penggunaan lahan yang menjadi fokus interpretasi, penggunaan lahan lain �dak terlalu banyak mengalami

perubahan. Hasil pemetaan penggunaan lahan revisi tahun 2009 dan penggunaan lahan tahun sebelumnya dapat

dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11.

VI.5.2. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi SNI 19-6728.3-2002

Peta penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berdasarkan klasifikasi SNI nomor 19-6728.3— 2002

merupakan keluaran kedua dari kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kutai Barat Tahun 2009. Peta ini disusun dari

keluaran sebelumnya, yaitu Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat Tahun 2009 menggunakan skema klasifikasi BIOTROP-

WWF. Peta ini dihasilkan dengan cara mengubah definisi kelas—kelas penggunaan lahan dari skema klasifikasi

BIOTROP ke definisi kelas—kelas penggunaan lahan menurut SNI dengan menggunakan tabel konversi. Proses teknis

pengubahannya dalam Sistem Infornasi Geografi menggunakan operasi query dan edi�ng data atribut. Tabel konversi

yang digunakan untuk mengubah definisi penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran , sedangkan hasil pemetaan

dapat dilihat pada gambar 6.13

Dalam penyusunan tabel konversi, diupayakan semaksimal mungkin agar definisi penggunaan lahan dari se�ap kelas

dan skema klasifikasi dapat terkonversi tanpa ada perubahan definisi, walaupun demikian karena memang pada

dasarnya kedua jenis klasifikasi memiliki konsepsi dan definisi penggunaan lahan yang berbeda, maka perubahan dan

generalisasi kelas penggunaan lahan �dak dapat dihindari, Perubahan yang paling nyata terlihat adalah untuk jenis

penggunaan lahan hutan, dimana kelas—kelas penggunaan lahan yang lebih rinci menurut BIOTROP pada akhirnya

tergeneralisasi menjadi satu atau dua kelas di skema klasifikasi penggunaan lahan SNI. Hal ini �dak dapat dihindari

karena dalam skema SNI �dak ada pembedaan hutan berdasarkan topografi dan litologi, melainkan hanya berdasarkan

kerapatan vegetasi saja. Itupun pendefinisian kelas penggunaan lahannya lebih umum dari pada skema BIOTROP.

Page 46: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

49 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.11 Peta Penggunaan Lahan Sebelum Reinterpretasi (tahun 2008)

Gambar 6.12 Peta Penggunaan Lahan Sesudah Reinterpretasi (tahun 2009)

Page 47: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

50 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Tabel 6.3 Konversi Penggunaan Lahan antara Skema BIOTROP dan SNI

Page 48: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

51 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Lanjutan Tabel 6.3..........

Page 49: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

52 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.13 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema BIOTROP-WWF

Page 50: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

53 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

Gambar 6.14 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema SNI

Page 51: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

54 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

BAB VII

PENUTUP DAN MASUKAN

Pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berbasis pendekatan interpretasi citra penginderaan

jauh SPOT dan ALOS AVNIR dilaksanakan menggunakan pendekatan interpretasi visual. Sebagai data dasar dan acuan

dalam pemetaan digunakan peta penggunaan lahan tahun sebelumnya yang dibuat oleh BIOTROP menggunakan

interpretasi citra LANDSAT. Revisi dalam pemetaan ini difokuskan pada deliniasi kenampakan pembukaan lahan baru,

lahan perkebunan, dan lahan terbangun, dimana pada pemetaan sebelumnya banyak yang belum teriden�fikasi.

Dengan menggunakan data ALOS dan SPOT yang secara resolusi spasial lebih baik dari LANDSAT, maka kenampakan

yang sebelumnya �ngkat interpretabilitasnya kurang dapat dipetakan dengan data dasar yang lebih baik ini. Walaupun

demikian, kendala tetap ditemui dalam pemetaan ini, terutama dari aspek kualitas citra yang digunakan. Adanya

perawanan yang cukup tebal pada beberapa scene citra menyebabkan interpretasi citra kurang op�mal, sehingga

prak�s daerah yang dapat diinterpretasi secara efek�f hanya 70% dari luas wilayah Kabupaten Kutai Barat.

Penggunaan citra penginderaan jauh op�s dalam pemetaan penggunaan lahan untuk daerah tropis memang biasanya

paling terkendala oleh kondisi atmosfer dan perawanan. Hal ini dikarenakan energi elektromagne�k pada spektrum

visibel sampai inframerah gelombang pendek yang digunakan dalam penginderaan jauh op�s biasanya �dak dapat

menembus awan dan atmosfer yang kotor/hazy.

Untuk pengembangan ke depan, pemetaan dengan menggunakan sistem penginderaan jauh gelombang mikro, RADAR

dan LIDAR perlu untuk dicoba diterapkan di wilayah tropis seper� Kabupaten Kutai Barat. Kemampuan spektrum

gelombang mikro untuk menembus awan dan cuaca serta kemampuan mul�phase pada sensor—sensor SAR terkini

berpotensi dapat memberikan informasi pendukung dan pelengkap untuk pemetaan penggunaan lahan daripada hanya

mendasarkan pada produk citra dari sistem penginderaan op�k pasif saja.

Page 52: Report Landuse Mapping Kutai Barat, 2011, WWF Indonesia

56 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009

Laporan Akhir

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2010. Kabupaten Kutai Barat Dalam Angka 2010. Sendawar. BPS Kutai Barat.

BSN. 2002. Standar Nasional Indonesia Nomor 19-6728.3-2002 tentang Penyusunan neraca sumber daya – Bagian 3:

Sumber daya lahan spasial. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

CCRS. 1999. Fundamentals of Remote Sensing. Diakses dari : http://www.ccrs.nrcan.gc.ca/resource/tutor/fundam/pdf/

fundamentals_e.pdf

ERDAS. 2010. ERDAS Field Guide vol.1 and 2. diakses dari : http://www.erdas.com/Libraries/Tech_Docs/

ERDAS_Field_Guide.sflb.ashx

JAXA. 2008 . ALOS Data User Handbook. Diakses dari : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/doc/fdata/

ALOS_HB_RevC_EN.pdf

Kementerian Kehutanan. 2008. Sta5s5k Kehutanan Indonesia 2008. diakses dari : http://www.dephut.go.id/files/

Khan, Aziz. ___ . Hutan Kutai Barat, Takaran Proses Par5sipa5f. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan. Diakses dari :

http://www.forplid.net/studi-kasus/15-kehutanan-kehutanan-/130-hutan-kutai-barat-.pdf

Pemda Kutai Barat. ____. Profil Umum Kabupaten Kutai Barat. Diakses dari : http://www.kubarkab.go.id/profil.php

GTZ, WWF. 2009. Briefing Paper No. 1: Kerjasama Indonesia - Jerman dalam Bidang Kehutanan - Meningkatkan

Pengelolaan Kolabora5f di Wilayah Konservasi. Diakses dari : http://assets.wwfid.panda.org/downloads/

brief_paper1_introduction_pengelolaan_kolaboratif.pdf

Richards, J. A., dan Jia, X.P. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduc5on (4th edi5on). Berlin: Springer-

Verlag.

SPOT IMAGE. 2010. DIMAP Technical Sheet. Diakses dari : http://www.spotimage.com/automne_modules_files/standard/

public/p235_28da3faa3b8cc43710f1e055074d6003FormatDIMAP_eng_Sept2010.pdf.

SPOT IMAGE. 2006. SPOT User Guide. Diakses dari : http://www.spotimage.fr/

automne_modules_files_standard_publicp229_14f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALITY_PERFORM_20070415.pdf

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

WWF. 2009. Hutan Indonesia: Penyerap atau Pelepas Emisi Gas Rumah Kaca? (Factsheet). Diakses dari http://

assets.wwfid.panda.org/downloads/lembar_fakta_deforestasi_tanpa_foto.pdf

WWF. 2007. Borneo: Treasure Island at Risk (Maps). Diakses dari : http://www.worldwildlife.org/what/wherewework/

borneo/WWFBinaryitem7590.pdf