Renoir Victor

download Renoir Victor

of 14

description

kokoko

Transcript of Renoir Victor

Upaya Pemberantasan Kusta

Renoir Victor10-2011-111Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) 2011Jln. Terusan Arjuna Utara No. 6Jakarta 11510Tel. (021) 56942061 E-mail: [email protected]

PendahuluanMorbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta. Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA).

Skenario: soerang bapak (45 tahun) membawa anaknya lali-laki berumur 14 tahun ke puskesmas untuk berobat. Di punggung dan tangan anak tersebur terdapat bercak putih. Dokter menduga anak ini terkena kusta karena berasal dari wilayah endemis kusta. Dokter melakujkan kunjungan ynntuk memeriksa anggota keluarga dan memeriksa kondisi rumah. Keluarga bapak tersebut tinggal di rumah 4x4 m di pemukiman padat penduduk. Lantai rumah sebagian besar masih tanah. Sinar matahari sulot masuk, keadaan rumah lembab. Di rumh itu tinggal 5 orang. Ibunya pernah diobati kusta 3 thn lalu tpi tidak selesai.

Istilah yang tidak diketahui: -

Rumusan masalah: wilayah endemis kusta

Pembahasan

Puskesmas Di Indonesia puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan tingkat pertama. Departemen Kesehatan RI pada tahun 1991 mendefinisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsuional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.Puskesmas memiliki wewenang dan tanggung jawab yang sangat besar dalam memelihara kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan status kesehatan seoptimal mungkin.1

Ada beberapa fungsi puskesmas, yaitu:1. Sebagai pusat pembangunan keshatan masyarakat di wilayahnya.2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat.3. Memberikan pelayananan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya.

Berkaitan dengan kasus penyakit kusta di atas, maka program puskesmas yang sangat penting dilaksanakan disini adalah upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, upaya pengobatan, dan juga upaya penyuluhan. Berikut adalah penjabaran mengenai ketiga upaya tersebut: 1,3-41. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular Mengumpulkan dan menganalisa data penyakit Melaporkan kasus penyakit menular Menyelidiki di lapangan untuk melihat benar atau tidaknya laporan yang masuk, untuk menemukan kasus-kasus baru dan untuk mengetahui sumber penularan. Tindakan permulaan untuk menahan penularan penyakit Menyembuhkan penderita, hingga ia tidak lagi menjadi sumber infeksi Pemberian imunisasi Pemberantasan vektor Pendidikan kesehatan kepada masyarakat2. Upaya pengobatan Melaksanakan diagnosa sedini mungkin melalui:Mendapatkan riwayat penyakitMengadakan pemeriksaan fisikMengadakan pemeriksaan laboratoriumMembuat diagnosa Melaksanakan tindakan pengobatan Melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu, rujukan tersebut dapat berupa:Rujukan diagnostikRujukan pengobatan/rehabilitasiRujukan lain3. Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tiap-tiap program puskesmas. Kegiatan penyuluhan kesehatan dilakukan pada setiap kesempatan oleh petugas, apakah di klinik, rumah dan kelompok-kelompok masyarakat. Di tingkat puskesmas tidak ada petugas penyuluhan tersendiri, tetapi di tingkat kabupaten diadakan tenaga-tenaga koordinator penyuluhan kesehatan. Koordinator membantu para petugas puskesmas dalam mengembangkan teknik dan materi penyuluhan di puskesmas.

Puskesmas harus bertanggung jawab untuk setiap masalah kesehatan yang terjadi di wilayah kerjanya, meskipun masalah tersebut lokasinya berkilo-kilo meter dari puskesmas. Dengan azas inilah puskesmas dituntut untuk lebih mengutamakan tindakan pencegahan penyakit, dan bukan tindakan untuk pengobatan penyakit. Dengan demikian puskesmas harus secara aktif terjun ke masyarakat dan bukan menantikan masyarakat datang ke puskesmas.Wilayah kerja puskesmas, bisa kecamatan, faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas. 1,3-4

Kegiatan program kusta21. Penemuan pasien: dilaksanakan secara pasif, diikuti dengan penanganan daerah fokus2. Diagnosis: ditegakkan oleh petugas. Bila positif langsung di tatalaksana.3. Pengobatan: regimen pengobatan diberikan oleh petugas.4. Pemantauan pengobatan: dilakukan oleh petugas kesehatan. Bila pasien mangkir dalam 1 bulan perlu dilacak.5. Perawatan diri : penyuluhan tentang perawatan diri diberikan. Pasien perlu mendapat informasi mengenai kecacatan yang diderita dan cara merawat diri.6. Penuluhan: penyuluhn perorangan dan kelompok diberikan oleh puskesmas.7. Pengelolaan obat dilakukan oleh petugas. Bila sudah didiagnosis diberikan MDT.8. Penncatatan dan pelaporan memuat seluruh informasi yang dibutuhkan.9. Pelatihan petugas kesehatan untuk mampu mendeteksi suspek.10. Perencanaan, monitoring dan evaluasi dibuat sesuaitanggung jawab masing-masing.11. Rujukan rehabilitasi medik bagi orang yang pernah mengalami kusta.

Penemuan Kasus Penderita Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada penderita. Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu : 1. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)2 Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan pengobatan. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu : Tidak mengerti tanda dini kusta Malu datang ke Puskesmas Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh. 2. Penemuan secara aktif .2Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah : Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak) Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB. Rapid village surveyPemerksaan seluruh desa untuk mencari suspek. Pada pagi hari di fokuskan ke anak sekolah, siang hari pada masyarakat umum. Chase SurveyMencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar. Spesial action program for elimination leprosy (SAPEL)Proyek khusus untuk mencapai tujuan eliminasi kusta dan dilaksanakan pada daerah yang mempunyai geografis sulit. MDT diberikan 1 paket di bawah pengawasan kader atau keluarga.

Morbus hansen

Definisi Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit tertua sekaligus penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini ditemukan oleh GH Armauer Hansen (Norwegia) pada tahun 1873, dengan menemukan Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai datangnya AIDS, leprae adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular lainnya. Penyakit ini di Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta. Menurut Sub Direktorat Kusta dan Frambusia Direktorat P2M Ditjen PPM& PL, penyakit kusta merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, dimana masih terdapat 10 propinsi yang angka prevalensinya lebih dari 1/10.000 penduduk. Menurut Djuanda A, Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang intraseluler obligat.5Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit.Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini bersifat kronis pada manusia, yang bisa menyerang saraf-saraf dan kulit.. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat cacat jasmani yang berat. Namun, penularan penyakit kusta ke orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit menular lainnya. Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini sering menyebabkan tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan sampai menggangu kehidupan sosial mereka.

Klasifikasi LepraMasa inkubasi Lepra berlangsung lama, antara beberapa minggu sampai 12 tahun. Terdapat 2 jenis Lepra, yaitu : 2,5 Lepra tuberkuloid Pada Lepra tuberkuloid gejala awal yang tampak berupa kelainan motorik, kelainan sensorik dan kelainan trofik pada alat gerak penderita.Kelainan kulit pada Lepra tuberkuloid berbeda jenis dari kulit normal disekitarnya.Lesi kulit Lepra tuberkuloid tidak peka terhadap rasa nyeri dan rasa raba. Lepra lepromatusGejala Lepra jenis lepromatus diawali dengan terjadinya makula pre-lepromatus berupa eritema dengan batas tidak jelas dengan kulit normal disekitarnya.Lesi berkembang menjadi makula lepromatus yang difus dan infiltratif dan terutama mula-mula terbentk didaerah wajah dan lobus telinga. Kadang-kadang Lepra lepromatus dapat berlangsung akut dengan demam berulang, nyeri sepanjang saraf perifer, lalu timbul kelainan kuit yang segera menghilang kembali.Kerusakan saraf perifer menimbulkan gangguuan gerak otot dan kelemahan otot disertai hilangnya kemampuan sensorik dan rasa raba. Rasa tebal atau hilangnya rasa raba terutama terjadi pada lengan, tangan, dan kaki.Penderita Lepra dapat kehilangan fungsi tangan dan kakinya.

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridle dan Jopling yang mengelompokan Lepra menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaranklinik, bakteriologik, histopatologik dan imunologik. 2,5 Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,dapat berupa macula atau plakat, batas jelas dan bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan ditengah.Permukan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Tipe borderline tuberkuloid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anestesi atau plak yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal. Tipe borderline-borderline (BB)Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit Lepra.Tipe ini disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltrate. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik.Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk dan distribusinya. Bisa didapat lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini. Tipe borderline lepromatous (BL)Secara klasik lesi dimulai dengan makula.Awalnya dalam jumlah sedikit kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan. Makula disini lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya walau masih kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrate lebih jelas disbanding pinggir luarnya,dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan rontoknya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit. Tipe lepromatous-lepromatous (LL)Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.Distribusi lesi khas, yakni diwajah mengenai dahi, pelipis dagu, kuping telinga, sedangkan dibadan mengenai belakang yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, kuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonine yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis.Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung.dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atropitestis. Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.

Epidemiologi Penyakit Kusta Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan, serta kematian dalam populasi manusia.Derajat sehat dan sakit individu atau kelompok dapat dianalisis menurut pendekatan model antara agen, host, dan lingkungan. Ketiga komponen tersebut berperan dalam munculnya penyakit (model ekologi). Interaksi antara agen, host, dan lingkungan serta model ekologinya adalah jika antara agen, host, dan lingkungan dalam keadaan seimbang maka tidak terjadi penyakit. Jika kemampuan agen meningkat maka dapat menginfeksi manusia serta mengakibatkan penyakit pada manusia. Perubahan lingkungan yang buruk juga dapat menyebabkan meningkatnya perkembangan agen.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kusta:1. Faktor Internal.a) Umur. Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncakumur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.b) Jenis kelamin. Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkanbahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadiankusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi sepertikebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.c) Daya tahan tubuh seseorang. Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnyamenurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.d) Etnik/suku. Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.2. Faktor Ekternala) Kepadatan hunian. Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut : Bahan bangunan memenuhi syarat : Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit. Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papan . Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidakcocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah. Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit). Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada suhu37C.Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap. Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akanmudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar.b) Perilaku Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses :Stimulus Organisme - Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori _ SO- R _Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan . Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni : Perilaku sehat (healty behavior )Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar. Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti : dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan modern atau professional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya.c) Sosial EkonomiMenurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akanterganggu.

Diagnosa Penyakit Kusta Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita. 2,5Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda dan gejala yaitu : 1) Bercak kulit yang mati rasaBercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri 2) Penebalan saraf tepiDapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu). 3) Ditemukan basil tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

Pemeriksaan 2,51) Anamnesis Keluhan penderita Riwayat kontak dengan penderita Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomis2) Inspeksi Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.3) Palpasi Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya paa tangan dan kaki. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti : N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik. 4) Tes fungsi saraf Tes sensoris Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mataterbuka. Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya. Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul. Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas(sebaiknya 40C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20C). kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test anhidrosis5) Pemeriksaan bakteriPemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk : Membantu menentukan diagnosis penyakit Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta Membantu menilai hasil pengobatan.

Ketentuan untuk lokasi sediaan : Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung, bokong, dan paha. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit.Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan semua penderita MB setahun sekali.

Pengobatan Penyakit Kusta Program MDT Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan rejimen MDT-WHO.(2001) Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.

Obat dalam rejimen MDT-WHO;a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita.d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.

Obat Kusta Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan membahayakan. Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.

Ofloxacin Dan Rifampicin Pada tahun 1992 telah dilakukan percobaan obat dalam skala besar yang dilaksanakan di tujuh negara yaitu: Brazil, Kenya, Mali, Myanmar, Pakistan, Filipina dan Vietnam. Pengobatan ini diberikan secara oral, yang merupakan gabungan antibiotik baru yaitu ofloxacin dengan rifampisin. Dalam percobaan yang me-libatkan 4000 pasien tersebut, dibandingkan penggunaan regi-men baru dengan regimen MDT standar, hasilnya dapat dilihat setelah 4 sampai 5 tahun kemudian. Kombinasi dengan obat ini ternyata dapat memperpendek waktu penyembuhan menjadi 1 bulan dibandingkan dengan standar pengobatan yang sudah ada yaitu 6 bulan sampai 4 tahun. 6-7Cara kerja antibiotik ofloxacin ini adalah membunuh baksil lepra dengan menghambat enzim yang mengontrol jalannya DNA coils yang masuk ke dalam baksil. Ofloxacin menjadi alternatif kedua setelah rifampisin karena kecepatan dan efikasi-nya dalam membunuh baksil lepra yang telah dilakukan pada percobaan dengan teknik foot pad pada mencit. Konsentrasi minimum ofloxacin yang dibutuhkan untuk menghambat per-tumbuhan Myco bacterium leprae adalah 50 mg/kg berat badan, sedangkan untuk rifampisin dan rifabutin adalah 0.003% dan 0.00l%.Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap rifampisin. Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin lebih mahal daripada dapson dan clofazimine, pengobatan baru yang lamanya 4 minggu menjadi sama besar biayanya dengan standar pengobatan yang 6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan penggunaan yang lebih luas maka biaya pengobatan dengan ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk eliminasi lepra pada tahun 2000 dapat cepat tercapai.

MinosiklinDi antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya yang aktif terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis prorein melalui mekenisme yang berbeda dengan obat antikusta yang lain.6-7KlaritromisinDibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin. Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui mekanisme yang lain daripada minosiklin. 6-7

Pencegahan Penyakit Kusta Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier 21) Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.2) Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit. 3) Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.2

Pencegahan Kecacatan M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom.Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah : Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik. Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya. Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi. Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. 2

Upaya pencegahan cacat terdiri atas : 2 Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : Pengobatan secara teratur dan adekuat, diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis, diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan Bedah plastic untuk menguragi perluasan infeksi Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

KesimpulanKusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab kusta adalah kumanmycobacterium leprae. Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atautipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu : Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit Alis rambut rontok Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Program-program puskesmas. Jakarta,2009.h.31-52. Depkes RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta,2007.h. 17-283. Danakusuma, Muhyidin. Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas.IDI : Jakarta. 2005. Hal : 67-714. Azwar, Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga. Binarupa Aksara: Jakarta. 2002. Hal: 91-1155. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2005 Hal : 128-1356. Syarif A. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007 hal 180-1877. Ditjen BKAK, PMD dan BKM Dep. Kes. RI, Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas, jakarta, 2007; 138-4013