Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nagekeo
-
Upload
penataan-ruang -
Category
Documents
-
view
1.698 -
download
13
description
Transcript of Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nagekeo
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NAGEKEO
NOMOR 1 TAHUN 2011
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NAGEKEO
TAHUN 2011 - 2031
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI NAGEKEO
Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di
Kabupaten Nagekeo dengan memanfaatkan ruang
wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata
ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan
pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat
maka Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan arahan
lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka strategi
dan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional
dan provinsi perlu dijabarkan ke dalam rencana tata
ruang kabupaten;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Nagekeo Tahun 2011-2031;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4678);
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4959);
10. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
12. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5068);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3934);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);
18. Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 3 Tahun
2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nagekeo
(Lembaran Daerah Kabupaten Nagekeo Tahun 2008
Nomor 3 Seri D Nomor 3) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor
8 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 3 Tahun 2008
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nagekeo
(Lembaran Daerah Kabupaten Nagekeo Tahun 2009
Nomor 3;
19. Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 5 Tahun
2009 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi
Kewenangan Kabupaten Nagekeo (Lembaran Daerah
Kabupaten Nagekeo Tahun 2009 Nomor 5);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN NAGEKEO
dan
BUPATI NAGEKEO
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN NAGEKEO TAHUN 2011 - 2031
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Nagekeo.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Nagekeo.
3. Bupati adalah Bupati Nagekeo.
4. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nagekeo.
6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan kehidupannya.
7. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
8. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
9. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
hasil perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Nagekeo.
10. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
11. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budidaya.
12. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Penyelenggaraan Penataan Ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang.
14. Pelaksanaan Penataan Ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan
ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
15. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang.
16. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan
pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
program beserta pembiayaannya.
17. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
18. Pembinaan Penataan Ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja
penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat.
19. Pengawasan Penataan Ruang adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
20. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
21. Sistem Wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai
jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
22. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
23. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan.
24. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.
25. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
26. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
27. Kawasan Agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih
pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi
pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan
oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem
permukiman dan sistem agrobisnis.
28. Kawasan pertambangan adalah kawasan yang secara alamiah memiliki
potensi sumberdaya alam pertambangan.
29. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
30. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
31. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
32. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau
lingkungan.
33. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau
beberapa kecamatan.
34. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disingkat PKLp adalah
kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk menjadi PKL.
35. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disingkat PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa desa.
36. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PPL adalah pusat
permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan
atau beberapa desa.
37. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku kepentingan non
pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
38. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
39. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
40. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
41. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian
jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
42. Daerah Irigasi yang selanjutnya disingkat DI adalah kesatuan lahan yang
mendapat air dari satu jaringan irigasi
43. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-
anak sungai, yang berfungsi menampung,menyimpan dan mengalirkan
air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
44. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu yang selanjutnya disebut
KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang
memiliki potensi untuk cepat tumbuh dan mempunyai sektor unggulan
yang dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan sekitarnya
dan memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.
Penetapannya lokasi dan Badan Pengelolanya dilakukan melalui
Keputusan Presiden.
45. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam.
46. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disingkat
BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang di Kabupaten Nagekeo dan mempunyai fungsi membantu tugas
Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
47. Base Transceiver Station yang selanjutnya disingkat BTS adalah istilah
teknis untuk menara telekomunikasi dalam sistem jaringan nirkabel.
48. Koefisien dasar bangunan, selanjutnya disingkat KDB, adalah
perbandingan antara luas dasar bangunan dan luas persil.
49. Koefisien lantai bangunan, selanjutnya disingkat KLB, adalah
perbandingan antara luas lantai bangunan dan luas persil.
50. Koefisien dasar hijau, selanjutnya disingkat KDH, adalah perbandingan
antara luas seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang
diperuntukan bagi pertamanan/penghijauan dan luas persil.
51. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
52. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
53. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
54. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan air mulai
dari mata air sampai muara dibatasi kanan kirinya serta sepanjang
pengalirannya oleh garis sempadan.
55. Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang
terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari tanah
atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang merupakan salah satu
bentuk kawasan lindung.
56. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibendungnya
bangunan sungai dalam hal ini bangunan bendungan dan berbentuk
pelebaran alur / badan / palung / sungai.
57. Drainase adalah sistem jaringan dan distribusi drainase suatu lingkungan
yang berfungsi sebagai pematus bagi lingkungan, yang terintegrasi
dengan sistem jaringan drainase makro dari wilayah regional yang lebih
luas.
58. Sampah adalah distribusi pelayanan pembuangan / pengolahan sampah
rumah tangga, lingkungan komersial, perkantoran dan bangunan umum
lainnya, yang terintegrasi dengan sistem jaringan pembuangan sampah
makro dari wilayah regional yang lebih luas.
59. Air limbah adalah air yang berasal dari sisa kegiatan proses produksi dan
usaha lainnya yang tidak dimanfaatkan kembali.
Pasal 2
(1) Lingkup wilayah perencanaan mencakup seluruh ruang Kabupaten
Nagekeo dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek
administratif mencakup wilayah daratan, wilayah perairan, serta
wilayah udara sebagaimana tergambar pada peta dalam Lampiran I
Peraturan Daerah ini.
(2) Kabupaten Nagekeo memiliki luas wilayah kurang lebih 141.036
(seratus empat puluh satu ribu tiga puluh enam) hektar.
(3) Batas-batas wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi:
a. sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores;
b. sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu;
c. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ende; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ngada.
(4) Lingkup wilayah Kabupaten Nagekeo sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. kecamatan Mauponggo;
b. kecamatan Keo Tengah;
c. kecamatan Nangaroro;
d. kecamatan Boawae;
e. kecamatan Aesesa;
f. kecamatan Aesesa Selatan; dan
g. kecamatan Wolowae.
Pasal 3
Muatan RTRW Kabupaten Nagekeo meliputi:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang;
b. rencana struktur ruang;
c. rencana pola ruang;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang.
BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang
Pasal 4
Penataan ruang Kabupaten Nagekeo bertujuan untuk “mewujudkan
Kabupaten Nagekeo sebagai sentra komoditas pertanian Nusa Tenggara Timur
yang berkelanjutan yang didukung oleh agropolitan yang integratif,
agroindustri, dan pertambangan ramah lingkungan.”
Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang
Pasal 5
Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ditetapkan kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten meliputi:
a. pemantapan sistem pusat kegiatan berbasis agropolitan, agroindustri dan
pertambangan ramah lingkungan;
b. pengembangan pusat-pusat pelayanan secara berhierarki dan bersinergi
antara pusat pengembangan utama di ibukota Kabupaten dan perkotaan
lainnya serta pengembangan sistem permukiman perdesaan berbasis
agropolitan;
c. pengembangan sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara dalam
mendukung pemerataan pertumbuhan wilayah serta mendukung
pengembangan agropolitan, agroindustri dan pertambangan ramah
lingkungan;
d. pengoptimalisasian dan peningkatan jangkauan pelayanan energi,
telekomunikasi, sumber daya air dan prasarana lainnya dalam rangka
pemerataan pertumbuhan wilayah;
e. pemantapan pelestarian dan perlindungan kawasan lindung untuk
meningkatkan kualitas lingkungan, sumberdaya alam/buatan dan
ekosistemnya, meminimalkan risiko dan mengurangi kerentanan bencana,
mengurangi efek pemanasan global yang berprinsip partisipasi,
menghargai kearifan lokal, serta menunjang penelitian dan edukasi;
f. pengembangan kawasan budidaya untuk mendukung pemantapan sistem
agropolitan serta agroindustri dan pertambangan ramah lingkungan;
g. penetapan dan pengembangan kawasan strategis Kabupaten dari sudut
kepentingan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup dalam
mendukung percepatan pertumbuhan wilayah Kabupaten; dan
h. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.
Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang
Pasal 6
(1) Strategi pemantapan sistem pusat kegiatan berbasis agropolitan,
agroindustri dan pertambangan ramah lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi:
a. mengembangkan kawasan perdesaan berbasis hasil perkebunan yang
tersebar di seluruh wilayah yang berpotensi;
b. meningkatkan pertanian berbasis tanaman pangan pada wilayah yang
berpotensi;
c. mengembangkan kawasan agropolitan berbasis pertanian;
d. memantapkan fungsi pusat agropolitan;
e. mengembangkan prasarana wilayah yang menghubungkan sentra-
sentra produksi pertanian unggulan;
f. mengembangkan sarana dan prasarana produksi pertanian ke pusat-
pusat pemasaran sampai terbuka akses ke pasar nasional;
g. memantapkan suprastruktur pengembangan pertanian yang terdiri
dari lembaga tani dan lembaga keuangan;
h. meningkatkan produksi, pengolahan dan pemasaran produk
pertanian dan ternak unggulan sebagai satu kesatuan sistem;
i. meningkatkan potensi perdesaan berbasis agroindustri persawahan
garam;
j. meningkatkan produksi, pengolahan dan pemasaran produk industri
garam;
k. memantapkan sentra-sentra produksi pertanian unggulan sebagai
penunjang agropolitan dan agroindustri;
l. memantapkan fungsi masing-masing kawasan agropolitan dan
agroindustri;
m. memantapkan kawasan pertambangan ramah lingkungan;
n. meningkatkan produksi dan pemasaran produk pertambangan; dan
o. mengembangkan infrastruktur dan kelembagaan penunjang potensi
kawasan.
(2) Strategi pengembangan pusat-pusat pelayanan secara berhierarki dan
bersinergi antara pusat pengembangan utama di ibukota Kabupaten dan
perkotaan lainnya serta pengembangan sistem permukiman perdesaan
berbasis agropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
meliputi:
a. mengembangkan perkotaan Mbay sebagai perkotaan dengan fungsi
utama pemerintahan, agropolitan, agroindustri, dan pendidikan dan
Perkotaan Boawae yang menjadi pusat pengembangan agropolitan,
pendidikan, pelayanan skala kecamatan dan pusat transportasi
kecamatan;
b. memantapkan pusat-pusat kegiatan secara berhierarki;
c. mempersiapkan perkotaan Mbay sebagai perkotaan yang ditunjang
perkembangan kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun;
dan
d. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan pada kawasan perdesaan
sebagai inti kawasan agropolitan dan pertambangan ramah
lingkungan.
(3) Strategi pengembangan sistem jaringan transportasi darat, laut, dan
udara dalam mendukung pemerataan pertumbuhan wilayah serta
mendukung pengembangan agropolitan, agroindustri dan pertambangan
ramah lingkungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi:
a. meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur terutama
infrastruktur jalan untuk mendukung sistem agropolitan dan
agroindustri;
b. mengembangkan terutama infrastruktur jalan untuk mendukung
sistem pertambangan ramah lingkungan;
c. mengembangkan jalan penghubung perdesaan dan perkotaan;
d. memperbaiki jalan kolektor primer;
e. mengembangkan jalan lokal primer pada semua jalan penghubung
utama antar kecamatan;
f. meningkatkan infrastruktur pendukung dan pelayanan terminal yang
memadai;
g. meningkatkan areal pangkalan kendaraan menjadi terminal tipe B di
kota Mbay;
h. memindahkan dan mengembangkan terminal ke lokasi yang sesuai;
i. meningkatkan infrastuktur pelabuhan angkutan;
j. meningkatkan infrastuktur pelabuhan perikanan;
k. meningkatkan rute/jangkauan pelayaran Pelabuhan Laut Marapokot
ke wilayah kabupaten lain, terutama difokuskan ke seluruh kabupaten
sebelah utara di Pulau Flores, sebagai pelabuhan angkutan
barang/manusia;
l. meningkatkan rute/jangkauan Pelabuhan Laut Marapokot II
Kecamatan Mauponggo ke wilayah kabupaten lain, terutama
difokuskan ke seluruh kabupaten di Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau
Timor, maupun Pulau Rote sebagai pelabuhan perikanan;
m. meningkatkan aksesibilitas ke bandara terdekat melalui peningkatan
akses jalan yang menghubungkan ke lokasi tersebut, dan peningkatan
armada angkutan ke/dari tempat tersebut; dan
n. mengupayakan pembangunan eks Bandara Surabaya II untuk menjadi
bandara andalan Kabupaten.
(4) Strategi pengoptimalisasian dan peningkatan jangkauan pelayanan
energi, telekomunikasi, sumber daya air dan prasarana lainnya dalam
rangka pemerataan pertumbuhan wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf d meliputi:
a. memperluas jaringan prasarana energi dan mengembangkan jaringan
baru hingga ke pelosok;
b. mengembangkan sumber daya energi;
c. meningkatkan dan mengoptimalkan pelayanan energi;
d. mengembangkan sistem penyediaan listrik setempat misalnya melalui
mikro hidro.
e. menyediakan tower BTS yang digunakan secara bersama menjangkau
hingga ke pelosok perdesaan;
f. meningkatkan sistem informasi telekomunikasi pembangunan daerah
berupa informasi berbasis teknologi internet;
g. mengembangkan prasarana telekomunikasi meliputi telepon rumah
tangga, telepon umum, dan jaringan telepon seluler;
h. menerapkan teknologi telekomunikasi berbasis teknologi modern;
i. membangun teknologi telekomunikasi pada wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan;
j. membentuk jaringan telekomunikasi dan informasi yang
menghubungkan setiap wilayah pertumbuhan dengan ibukota
Kabupaten;
k. meningkatkan jaringan irigasi sederhana dan irigasi setengah teknis;
l. melindungi sumber-sumber mata air dan daerah resapan air;
m. mengembangkan waduk baru, bendung, dan cek dam pada kawasan
potensial;
n. mencegah terjadinya pendangkalan terhadap saluran irigasi;
o. membangun dan memperbaiki pintu-pintu air;
p. melakukan pengadaan tempat penampungan sampah sementara
(TPS) skala lokal dan regional;
q. melakukan pengelolaan sampah berkelanjutan;
r. pengoptimalisasian sistem pengolahan sampah;
s. melakukan pengolahan sampah untuk mendukung pertanian;
t. meminimalisir penggunaan sumber sampah yang sukar didaur ulang
secara alamiah;
u. memanfaatkan ulang sampah yang ada terutama yang memiliki nilai
ekonomi; dan
v. mengolah sampah organik menjadi kompos.
(5) Strategi pemantapan pelestarian dan perlindungan kawasan lindung
untuk meningkatkan kualitas lingkungan, sumberdaya alam/buatan dan
ekosistemnya, meminimalkan resiko dan mengurangi kerentanan
bencana, mengurangi efek pemanasan global yang berprinsip partisipasi,
menghargai kearifan lokal, serta menunjang penelitian dan edukasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e meliputi:
a. meningkatkan kelestarian hutan lindung untuk keseimbangan tata
air dan lingkungan hidup dilakukan dengan :
1. memperbaiki dan meningkatkan fungsi lindung pada daerah
yang mengalami alih fungsi dan menetapkan lokasi pelestarian
sebesar 30 % (tiga puluh persen) dari luas DAS;
2. melakukan rehabilitasi lahan dengan menanam vegetasi yang
mampu memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah
dan mampu meresapkan air;
3. mengelola kawasan sekitar hutan lindung dengan prinsip
hutan kemitraan, yaitu dengan melibatkan masyarakat lokal
secara aktif dalam perencanaan, pengelolaan, panen dan
pascapanen untuk keberhasilan program dalam jangka waktu
yang panjang;
4. melarang dan mencegah pola penambangan terbuka pada
kawasan hutan lindung; dan
5. mengembalikan fungsi hidrologi kawasan hutan yang telah
mengalami kerusakan.
b. melindungi kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahnya dilakukan dengan :
1. melarang atau mencegah kegiatan budidaya, kecuali yang
tidak mengganggu fungsi lindung;
2. mengendalikan kegiatan budidaya yang telah ada dengan
pembatasan perkembangan serta pengembalian fungsi
lindungnya; dan
3. mengendalikan terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
mineral serta air tanah dengan memperhatikan fungsi lindung
kawasan sekitarnya.
c. melakukan upaya konservasi alam, rehabilitasi ekosistem yang
rusak, mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
pada kawasan perlindungan setempat serta menempatkan kawasan
lindung spiritual dilakukan dengan :
1. membatasi kegiatan yang tidak berkaitan dengan perlindungan
setempat dalam bentuk jalur hijau;
2. mencegah aktivitas perusakan, pengendalian pencemaran dan
peningkatan upaya konservasi laut, pesisir serta rehabilitasi
ekosistem yang rusak;
3. melindungi kawasan sepanjang sempadan sungai untuk
kawasan terbangun;
4. melindungi sekitar waduk/danau untuk kegiatan yang
menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan
kualitas air;
5. melindungi sekitar mata air untuk kegiatan yang menyebabkan
alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas
sumber air; dan
6. mengamankan kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal
dengan melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan
bernilai sejarah dan situs purbakala.
d. memantapkan fungsi dan nilai manfaat pada kawasan suaka alam,
pelestarian alam, dan cagar budaya dilakukan dengan:
1. melindungi ekosistem flora dan fauna khas Kabupaten;
2. melestarikan budaya masyarakat setempat dalam satu
kesatuan dengan kehidupan masyarakat; dan
3. melaksanakan kerjasama antar wilayah dalam penanganan
cagar budaya.
e. menangani kawasan rawan bencana alam melalui pengendalian dan
pengawasan kegiatan perusakan lingkungan terutama pada
kawasan yang berpotensi menimbulkan bencana alam, serta
pengendalian untuk kegiatan manusia secara langsung dilakukan
dengan:
1. mencegah pemanfaatan kawasan yang rawan terhadap
bencana longsor, gelombang pasang, banjir, dan bencana alam
lainnya sebagai kawasan terbangun;
2. mengembangkan hutan mangrove dan bangunan yang dapat
meminimalisir akibat gelombang pasang;
3. menata daerah lingkungan sungai seperti penetapan garis
sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai,
penertiban bangunan di sepanjang aliran sungai serta
peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir; dan
4. melaksanakan upaya mitigasi bencana menyangkut
perencanaan dan perumusan kebijakan yang bersifat
antisipatif.
f. memantapkan wilayah kawasan lindung geologi dengan
pemantapan zonasi di kawasan dan wilayah sekitarnya serta
pemantapan pengelolaan kawasan secara partisipatif dilakukan
dengan:
1. menata kawasan rawan bencana geologi dengan peruntukan
non terbangun;
2. mengembangkan kegiatan pariwisata pengetahuan yang
terkait dengan geologi; dan
3. mengembangkan tanaman keras sebagai perlindungan dan
peresapan air untuk peningkatan cadangan air tanah.
g. memantapkan kawasan lindung lainnya sebagai penunjang usaha
pelestarian alam dilakukan dengan :
1. menetapkan kawasan sebagai objek wisata dan penelitian saat
terjadi pengungsian satwa; dan
2. memelihara habitat dan ekosistem sehingga keaslian kawasan
terpelihara.
(6) Strategi pengembangan kawasan budidaya untuk mendukung
pemantapan sistem agropolitan serta agroindustri dan pertambangan
ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi:
a. mengembangkan kawasan hutan produksi untuk meningkatkan
produktivitas lahan dengan memperhatikan keseimbangan
lingkungan hidup dilakukan dengan:
1. memanfaatkan hasil hutan produksi terbatas yang
eksploitasinya dilakukan dengan cara tebang pilih;
2. dilakukan dengan hasil hutan yang eksploitasinya dilakukan
dengan cara tebang pilih maupun tebang habis untuk kawasan
hutan produksi tetap; dan
3. memberi cadangan kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi untuk penggunaan lain, dapat dikonversi untuk
pengelolaan non-kehutanan.
b. mengembangkan kawasan pertanian dilakukan dengan:
1. meningkatkan peran, efisiensi, produktivitas yang
berkelanjutan, peluang ekstensifikasi, serta mempertahankan
saluran irigasi teknis dan peningkatan irigasi sederhana dalam
skala wilayah untuk pertanian lahan basah;
2. mengembangkan kawasan pertanian lahan kering/tegalan
dengan penanaman tanaman tahunan yang produktif;
3. mengembangkan kawasan pertanian hortikultura dengan
sistem agropolitan dan mengembangkan sektor pertanian
untuk kegiatan agribisnis, agrowisata dan industri pengolahan
pertanian dari bahan mentah menjadi makanan dan sejenisnya
serta melakukan pemasaran skala nasional dan ekspor ke luar
negeri;
4. penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan;
5. mengembangkan industri pengolahan hasil komoditi;
6. mengembangkan fasilitas sentra produksi dan pemasaran pada
pusat kegiatan ekonomi;
7. mengembangkan kawasan-kawasan potensi untuk pertanian
pangan lahan kering;
8. mengembangkan pasar produksi perkebunan; dan
9. mengolah hasil perkebunan terutama dengan membentuk
keterikatan antar produk.
c. mengembangkan kawasan perikanan berupa peningkatan peran,
efisiensi, produktivitas yang berkelanjutan serta peningkatan nilai
tambah beberapa komoditi yang potensial, sementara untuk di
kawasan perikanan di wilayah pesisir dilakukan dengan:
1. mengendalikan dan membatasi pemanfaatan lahan pantai
(pesisir) untuk kegiatan budidaya;
2. mengendalikan metode budidaya yang berbasis kelestarian
sumberdaya pesisir;
3. menggunakan teknologi dalam kegiatan usaha budidaya
perikanan; dan
4. meningkatkan bantuan permodalan usaha kepada kegiatan
usaha masyarakat pertambakan.
d. mengembangkan kawasan peruntukan pertambangan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian, kondisi geologi,
hidrogeologi dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan;
e. mengembangkan kawasan peruntukan industri dilakukan dengan:
1. mengembangkan kawasan sentra industri kecil terutama pada
kawasan perdesaan dan perkotaan;
2. mengembangkan fasilitas perekonomian berupa koperasi pada
setiap pusat kegiatan perkotaan dan perdesaan;
3. mengembangkan ekonomi dan perdagangan dengan
pengutamaan usaha kecil menengah; dan
4. menetapkan skenario ekonomi wilayah yang menunjukkan
kemudahan dalam berinvestasi dan penjelasan tentang
kepastian hukum yang menunjang investasi.
f. menentukan wisata unggulan daerah, pelestarian lingkungan,
promosi serta peningkatan peran masyarakat dalam menjaga
kelestarian objek wisata dan daya jual maupun daya saing;dan
g. mengembangkan kawasan peruntukan permukiman dilakukan
dengan:
1. meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perkotaan;dan
2. membatasi pengembangan permukiman dan kawasan
terbangun lainnya pada kawasan lindung untuk permukiman
perdesaan.
(7) Strategi penetapan dan pengembangan kawasan strategis kabupaten
dari sudut kepentingan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup
dalam mendukung percepatan pertumbuhan wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g meliputi:
a. mengembangkan kawasan strategis ekonomi melalui optimalisasi
KAPET Mbay di kota Mbay sebagai pusat kawasan ekonomi dan
didukung oleh kecamatan-kecamatan lain dilakukan dengan:
1. mengoptimalkan fungsi lahan produktif pengembangan kawasan
melalui peningkatan nilai ekonomis kawasan dengan
agropolitan;
2. mengarahkan sub kawasan pertanian menjadi kawasan
pertanian terpadu dengan peningkatan produktifitas pertanian,
peternakan, dan perikanan;
3. mengoptimalkan fungsi lahan potensial sebagai lahan padang
garam yang tersebar di semua lokasi dan pada umumnya
berbatasan dengan hutan mangrove;
4. meningkatkan kegiatan sektor pertambangan selain untuk
kegiatan penggalian yang hasilnya lebih banyak digunakan untuk
sektor konstruksi;
5. meningkatkan komoditas unggulan, sarana dan prasarana
pendukung proses produksi;
6. meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia baik
sebagai tenaga ahli maupun tenaga pendukung;
7. meningkatkan jumlah sarana dan prasarana sumber daya air dan
irigasi, seperti embung, bendungan dan jaringan irigasi lainnya;
8. melaksanakan kerjasama dengan pihak investor, terkait
pemberian kredit/modal usaha;dan
9. mengidentifikasi potensi kawasan atau sub sektor strategis yang
dapat dikembangkan dan penetapan kawasan ekonomi khusus
baru.
b. mengendalikan perkembangan ruang sekitar kawasan strategis
perkotaan dilakukan dengan:
1. menetapkan batas pengaruh kawasan strategis kabupaten;dan
2. menetapkan pola pemanfaatan lahan, sesuai dengan fungsi dan
peran masing-masing kawasan.
c. meningkatkan dan memantapkan fungsi dan peran kawasan
strategis sosial dan budaya dilakukan dengan:
1. mengembangkan kawasan melalui peningkatan nilai ekonomis
kawasan, antara lain pemanfaatan sebagai aset wisata,
penelitian dan pendidikan;
2. melestarikan kawasan sekitar serta memberikan gambaran
berupa relief atau sejarah yang menerangkan objek/situs
tersebut;
3. membina masyarakat sekitar untuk ikut berperan dalam
menjaga peninggalan sejarah;
4. mengendalikan kawasan sekitar kawasan strategis sosial dan
budaya secara ketat;dan
5. mengendalikan perkembangan kawasan sekitar situs cagar
budaya.
d. meningkatkan dan memantapkan fungsi dan peran kawasan
strategis perlindungan ekosistem dan lingkungan dilakukan dengan:
1. membatasi dan mencegah pemanfaatan ruang yang berpotensi
mengurangi fungsi perlindungan kawasan;
2. melarang alih fungsi pada kawasan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung;
3. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan
di sekitar kawasan yang ditetapkan untuk fungsi lindung yang
dapat memicu perkembangan kegiatan budidaya;
4. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat
dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di
sekitar kawasan lindung; dan
5. mengembangkan kawasan melalui peningkatan nilai ekonomis
kawasan lindung dengan mengizinkan pemanfaatan untuk objek
wisata, pendidikan, dan penelitian berbasis lingkungan hidup,
dan/atau pemanfaatan mangrove dan terumbu karang sebagai
sumber ekonomi perikanan dengan cara penangkapan yang
ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan.
(8) Strategi pemantapan pelestarian dan perlindungan fungsi kawasan untuk
pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf h meliputi:
a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus
pertahanan dan keamanan;
b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di
sekitar kawasan strategis pertahanan untuk menjaga fungsi
pertahanan dan keamanan;
c. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar
kawasan khusus pertahanan untuk menjaga fungsi pertahanan dan
keamanan; dan
d. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan.
BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi :
a. rencana sistem perkotaan wilayah; dan
b. rencana sistem jaringan prasarana skala kabupaten.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan pada peta dengan tingkat
ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Rencana Sistem Perkotaan Wilayah
Pasal 8
(1) Rencana sistem perkotaan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a meliputi:
a. PKL;
b. PKLp;
c. PPK; dan
d. PPL.
(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu perkotaan
Mbay yang terletak di Kecamatan Aesesa.
(3) PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Perkotaan
Boawae yang meliputi wilayah Kelurahan Nagesapadhi, Kelurahan
Natanage, Kelurahan Olakile, Kelurahan Natanage Timur, Kelurahan
Nageoga, Kelurahan Wolopogo dan Kelurahan Rega.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi kawasan
perkotaan:
a. Mauponggo di Kecamatan Mauponggo;
b. Mbaenuamuri di Kecamatan Keo Tengah;
c. Nangaroro di Kecamatan Nangaroro;
d. Tengatiba di Kecamatan Aesesa Selatan; dan
e. Tendakinde di Kecamatan Wolowae.
(5) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi desa:
a. Nagerawe di Kecamatan Boawae;
b. Sawu di Kecamatan Mauponggo;
c. Maukeli di Kecamatan Mauponggo;
d. Wajo di Kecamatan Keo Tengah;
e. Tonggo di Kecamatan Nangaroro;
f. Langedhawe di Kecamatan Aesesa Selatan;
g. Anakoli di Kecamatan Wolowae; dan
h. Marapokot di Kecamatan Aesesa.
Bagian Ketiga
Rencana Sistem Jaringan Prasarana Skala Kabupaten
Pasal 9
Rencana sistem jaringan prasarana skala kabupaten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi:
a. rencana sistem prasarana utama; dan
b. rencana sistem prasarana lainnya.
Paragraf 1
Rencana Sistem Prasarana Utama
Pasal 10
(1) Rencana sistem prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a meliputi:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara.
(2) Rencana sistem prasarana utama digambarkan pada peta dengan
tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Pasal 11
(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf a meliputi:
a. jaringan jalan, terminal, dan rute angkutan; dan
b. jaringan sungai, danau dan penyeberangan.
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. jaringan jalan arteri primer, kolektor primer dan lokal primer;
b. jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi
ruas-ruas jalan yang ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(3) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu berupa
terminal penumpang tipe B di Kecamatan Aesesa.
(4) Rute angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu
berupa pengembangan angkutan penumpang dengan trayek:
a. Kota Bajawa di Kabupaten Ngada - Kecamatan Golewa di Kabupaten
Ngada - Kecamatan Boawae - Kecamatan Nangaroro - Ende di
Kabupaten Ende – Maumere di Kabupaten Sikka;
b. Kecamatan Aesesa - Kecamatan Nangaroro - Ende di Kabupaten
Ende - Maumere di Kabupaten Sikka;
c. Kecamatan Aesesa - Kecamatan Wolowae - utara Kabupaten Ende
ke arah Maumere di Kabupaten Sikka;
d. Kecamatan Aesesa - Kecamatan Boawae - Kota Bajawa di Kabupaten
Ngada; dan
e. Kecamatan Aesesa - Kecamatan Riung di Kabupaten Ngada - Kota
Bajawa di Kabupaten Ngada.
(5) Jaringan sungai, danau dan penyeberangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b berupa pelabuhan penyeberangan Marapokot
Mbay di Kecamatan Aesesa sebagai pelabuhan penyeberangan antar
pulau dan lintas provinsi dari Kabupaten Nagekeo.
Pasal 12
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf b meliputi :
a. tatanan kepelabuhanan;dan
b. alur pelayaran.
(2) Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa Pelabuhan Marapokot di Kecamatan Aesesa dan Pelabuhan
Marapokot II di Kecamatan Mauponggo yang berfungsi sebagai
pelabuhan pengumpan.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas
alur pelayaran dari wilayah Kabupaten menuju Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan daerah lain di Kawasan Timur maupun Barat Indonesia.
Pasal 13
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.
(2) Tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
yaitu Bandar Udara Surabaya II peninggalan Jepang di Kecamatan
Aesesa yang akan dikembangkan menjadi bandar udara domestik dan
internasional yang mendukung sistem transportasi udara di Kabupaten
dan wilayah sekitarnya.
(3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b yaitu berupa rute penerbangan yang akan dikembangkan
menuju bandar udara terdekat yang ada dalam maupun luar wilayah
provinsi nusa tenggara timur.
(4) Ruang udara untuk penerbangan diatur lebih lanjut dalam rencana
induk bandar udara.
Paragraf 2
Rencana Sistem Prasarana Lainnya
Pasal 14
Rencana sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf
b meliputi:
a. rencana sistem jaringan energi;
b. rencana sistem jaringan telekomunikasi;
c. rencana sistem jaringan sumber daya air; dan
d. rencana sistem jaringan prasarana lainnya.
Pasal 15
(1) Rencana sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf a meliputi :
a. pembangkit tenaga listrik; dan
b. jaringan prasarana energi.
(2) Pembangkit listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu
berupa Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) meliputi:
a. PLTD Aesesa di Kecamatan Aesesa;
b. PLTD Tendakinde di Kecamatan Wolowae;dan
c. PLTD Kotakeo di Kecamatan Nangaroro.
(3) Pengembangan prasarana untuk pengembangan listrik meliputi:
a. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di
pertemuan-pertemuan sungai besar antara lain di Kecamatan
Aesesa;
b. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya pada daerah-
daerah terpencil;dan
c. meningkatkan dan mengoptimalkan pelayanan listrik sehingga
terjadi pemerataan pelayanan di seluruh wilayah kabupaten.
(4) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
yaitu berupa gardu induk di Kelurahan Danga Kecamatan Aesesa dan
gardu distribusi yang tersebar di seluruh kecamatan.
(5) Rencana sistem jaringan energi digambarkan pada peta dengan tingkat
ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 16
(1) Rencana sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf b meliputi:
a. sistem jaringan kabel; dan
b. sistem jaringan nirkabel.
(2) Sistem jaringan kabel dan sistem jaringan nirkabel sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terus ditingkatkan perkembangannya hingga
mencapai pelosok wilayah yang belum terjangkau sarana prasarana
telekomunikasi.
(3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berupa BTS yang digunakan secara bersama meliputi:
a. BTS Aeramo, Tedamude, Danga dan Nggolonio di Kecamatan
Aesesa;
b. BTS Kelewae di Kecamatan Boawae;
c. BTS Wuliwalo di Kecamatan Mauponggo;
d. BTS Ua di Kecamatan Keo Tengah;
e. BTS Nataute di Kecamatan Nangaroro;
f. BTS Tendakinde di Kecamatan Wolowae;dan
g. BTS Renduteno di Kecamatan Aesesa Selatan.
(4) Rencana sistem jaringan telekomunikasi digambarkan pada peta
dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Pasal 17
(1) Rencana sistem jaringan sumber daya air, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf c, meliputi:
a. wilayah sungai strategis nasional;
b. jaringan sumber daya air yang ada di Kabupaten;
c. daerah irigasi;
d. prasarana air baku untuk air bersih;
e. jaringan air bersih ke kelompok pengguna;dan
f. sistem pengendalian banjir.
(2) Wilayah sungai strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a yaitu wilayah sungai Aesesa.
(3) Jaringan sumber daya air yang ada di Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. DAS Aesesa seluas 56.189 (lima puluh enam ribu seratus delapan
puluh sembilan) hektar;
b. Bendung Sutami di Kecamatan Aesesa seluas 3 (tiga) hektar;
c. Waduk Ngabatata di Kecamatan Aesesa Selatan dan Waduk Mbay di
Kecamatan Aesesa;
d. Embung, meliputi:
1. Embung Tedakisa, Tedamude, Perenganting, Sangabenga,
Aeramo, Pakicaka, Boanio di Kecamatan Aesesa;
2. Embung Maladhawe di Kecamatan Aesesa Selatan;
3. Embung Dheresia, Gero, Nagerawe dan Tedamude di
Kecamatan Boawae;
4. Embung Dhusera, Gupie, Wolokisa, Malalade, Kadha Ebo, Oki,
Malanunu dan Beku di Kecamatan Nangaroro;
5. Embung Anakoli, Aemata, Ratedao di Kecamatan Wolowae; dan
6. Embung potensial lainnya di setiap kecamatan.
e. Mata air, meliputi:
1. Mata air Lowomeli di Kelurahan Ratongamobo, Wugha-wugha I
di Kelurahan Dhawe, Aekeda dan Liaoro di Desa Ngegedhawe,
dengan wilayah pelayanan Kecamatan Aesesa;
2. Mata air Labosile dan Ae A Ubu di Desa Kelimado, dan Napu
Tere di Desa Rendubutowe, Tabalape di Desa Ngegedhawe
dengan wilayah pelayanan Kecamatan Aesesa Selatan;
3. Mata air Ae Lade, Ae A, Oki Oja, Kusu Koso, Ae Eti, Ae Menge di
desa Kelimado, Ae Te di Desa Raja, Locolabo di Desa Wea Au,
Oki Kemo di Kelurahan Rega, Ae Ca di Desa Wolowea, Mata
Toyo di Desa Solo, Pisa Meka di Kelurahan Nagesapadhi, Ae
Lade dan Pisa di Kelurahan Nageoga, Mata Wala dan Mata
Dhuge di Kelurahan Natanage dengan wilayah pelayanan
Kecamatan Boawae;
4. Mata air Teo Dhae dan Eko Dhe di Desa Sawu, Aelabo dan
Aeleba di desa Wuliwalo, dengan wilayah pelayanan Kecamatan
Mauponggo;
5. Mata air Oki Puu Teye di Desa Totomala, dan Mata Konge di
Desa Tendatoto, dengan wilayah pelayanan Kecamatan
Wolowae; dan
6. Mata air Dowodambo di desa Woewutu, Ae Tele di Kelurahan
Nangaroro, Matamobo Di desa Ulupulu, Soba di desa Woedoa,
Ae Seli I dan Ae Seli II di desa Kotakeo dengan wilayah pelayanan
Kecamatan Nangaroro.
(4) Daerah Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diarahkan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan waduk, embung dan sungai
dengan luas kurang lebih 14.562 (empat belas ribu lima ratus enam
puluh dua) hektar ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(5) Prasarana air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d meliputi:
a. unit Aesesa yang bersumber dari Wugha-wugha 1 dan Lowo Meli;
b. unit Boawae yang bersumber dari Ae Lade, Ae A dan Oki Oja;
c. unit Nangaroro yang bersumber dari Dowo Dambo; dan
d. unit Mauponggo yang bersumber dari Teo Dhae dan Eko Dhe.
(6) Jaringan air bersih ke kelompok pengguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa jaringan air bersih yang dikelola oleh Badan
Layanan Umum Sistem Penyediaan Air Minum.
(7) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
f berupa sistem pengendalian banjir Kota Mbay yaitu rencana drainase
perkotaan secara terpadu.
(8) Rencana sistem jaringan sumber daya air digambarkan pada peta
dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Pasal 18
(1) Rencana sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf d meliputi:
a. rencana sistem jaringan prasarana lingkungan; dan
b. rencana jalur evakuasi bencana.
(2) Rencana sistem jaringan prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. rencana sistem jaringan persampahan; dan
b. rencana sistem pengolahan limbah.
(3) Rencana sistem jaringan persampahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a meliputi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dengan
menggunakan metode sanitary landfill di Towak Kecamatan Aesesa dan
di Dhereisa Kecamatan Boawae.
(4) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana lainnya yang
digunakan lintas wilayah administratif meliputi:
a. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan
penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan;
b. pengalokasian TPA sesuai dengan persyaratan teknis;
c. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan
sesuai dengan kaidah teknis; dan
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan
daya dukung lingkungan.
(5) Upaya penanganan permasalahan limbah khusus rumah tangga
dibedakan menurut wilayah perkotaan dan perdesaan meliputi:
a. pada wilayah perkotaan pengembangan sanitasi diarahkan kepada
pemenuhan fasilitas instalasi pengolahan limbah tinja dan instalasi
pengolahan air limbah pada masing-masing Kepala Keluarga;dan
b. pada wilayah perdesaan penanganan limbah khusus rumah tangga
dapat dikembangkan fasilitas sanitasi pada setiap Kepala Keluarga
serta fasilitas sanitasi umum.
(6) Rencana jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. jalur evakuasi bencana banjir memanfaatkan jaringan jalan menuju
fasilitas umum dan lapangan terbuka yang bebas banjir di
Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Wolowae;
b. jalur evakuasi bencana tanah longsor memanfaatkan jaringan jalan
menuju fasilitas umum dan lapangan terbuka yang bebas tanah
longsor di Kecamatan Aesesa, Kecamatan Boawae, dan Kecamatan
Keo Tengah; dan
c. jalur evakuasi bencana gelombang pasang dan tsunami
memanfaatkan jaringan jalan menuju fasilitas umum dan lapangan
terbuka yang bebas gelombang pasang dan tsunami di Kecamatan
Keo Tengah, Kecamatan Aesesa, Kecamatan Wolowae, dan
kecamatan lainnya.
(7) Rencana sistem jaringan prasarana lainnya digambarkan pada peta
dengan tingkat ketelitian minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
BAB IV
RENCANA POLA RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
(1) Rencana pola ruang wilayah meliputi :
a. kawasan lindung;dan
b. kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan pada peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 20
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi;
g. Kawasan Lindung lainnya.
Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung
Pasal 21
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dengan
luas total kurang lebih 11.071 (sebelas ribu tujuh puluh satu) hektar terdapat
di Kecamatan Boawae, Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Wolowae dan
Kecamatan Aesesa.
Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya
Pasal 22
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b yaitu kawasan resapan air
dengan luas kurang lebih 56.189 (lima puluh enam ribu seratus delapan puluh
sembilan) hektar terdapat di Kecamatan Aesesa, Kecamatan Aesesa Selatan,
Kecamatan Boawae dan Kecamatan Nangaroro.
Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 23
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 huruf c, dengan luas kurang lebih 6.051 (enam ribu lima puluh satu)
hektar meliputi:
a. kawasan sempadan pantai;
b. kawasan sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau/waduk;
d. kawasan sekitar mata air;
e. kawasan lindung spiritual;dan
f. kawasan kearifan lokal lainnya.
(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dengan luas kurang lebih 1.016 (seribu enambelas ) hektar, meliputi:
a. kawasan di sepanjang pesisir pantai utara yang meliputi wilayah
Kecamatan Aesesa dan Wolowae;dan
b. kawasan di sepanjang pesisir pantai selatan yang meliputi wilayah
Kecamatan Mauponggo, Keo Tengah dan Nangaroro.
(3) Kawasan sempadan pantai di sepanjang pesisir pantai utara dan pantai
selatan memiliki ketentuan :
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 (seratus)
meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik
pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap
bentuk dan kondisi fisik pantai.
(4) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dengan luas kurang lebih 3.420 (tiga ribu empat ratus duapuluh)
hektar meliputi:
a. Sungai di Olakile, Ae bha, Lowo Lele dan Nata Bhada di Kecamatan
Boawae;
b. Ae Maunori di Kecamatan Keo Tengah;
c. Lowo Redu di Kecamatan Aesesa Selatan;
d. Sungai Nangaroro, Nangamere, Ndetunura di Kecamatan
Nangaroro;
e. Sungai Aesesa dan Aemau di Kecamatan Aesesa dan kecamatan
Aesesa Selatan; dan
f. Sungai lain yang tersebar merata di setiap kecamatan.
(5) Kawasan sempadan sungai memiliki ketentuan :
a. untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai
yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 –
15 (sepuluh sampai lima belas) meter; atau
b. sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter di kiri kanan sungai besar
dan 50 (lima puluh) meter di kiri-kanan anak sungai yang berada di
luar kawasan permukiman.
(6) Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c yang terdapat di Waduk Ngabatata di Kecamatan Aesesa
Selatan dan Waduk Mbay di Kecamatan Aesesa dengan ketentuan
daratan sepanjang tepian waduk/dam yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi waduk/dam dengan jarak 50-100 (lima
puluh sampai seratus) meter yang memiliki luas kurang lebih 151
(seratus lima puluh satu) hektar.
(7) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dengan luas kurang lebih 1.370 (seribu tiga ratus tujuh puluh) hektar
diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi sumbar daya air ditetapkan
dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
(8) Kawasan sekitar mata air memiliki ketentuan yaitu kawasan dengan
jarak kurang lebih 200 (dua ratus) meter dari mata air.
(9) Kawasan lindung spiritual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dengan luas kurang lebih 34 (tiga puluh empat) hektar terdapat di
Aeramo.
(10) Kawasan lindung kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f dengan luas kurang lebih 60 (enam puluh) hektar, terdapat di
Kampung Ola Lape, Olaia dan Ola Dhawe di Kecamatan Aesesa;
Kampung Wajo di Kecamatan Keo Tengah, Kampung Boawae di
Kecamatan Boawae, dan Kampung Sawu di Kecamatan Mauponggo dan
Kampung Pautoda di Kecamatan Keo Tengah.
Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya
Pasal 24
(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf d dengan luas kurang lebih 5.892 (lima
ribu delapan ratus sembilan puluh dua) hektar, meliputi:
a. kawasan pantai berhutan bakau;
b. kawasan taman wisata alam;
c. kawasan taman wisata alam laut;dan
d. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(2) Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dengan luas kurang lebih 1.351 (seribu tiga ratus lima puluh
satu) hektar, terdapat di:
a. sepanjang pantai di Kecamatan Aesesa dengan luas kurang lebih
550 (lima ratus lima puluh) hektar ; dan
b. sepanjang pantai di Kecamatan Wolowae dengan luas kurang lebih
801 (delapan ratus satu) hektar.
(3) Kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dengan luas kurang lebih 4.221 (empat ribu dua ratus dua
puluh satu) hektar meliputi :
a. Pantai Utara di kecamatan Aesesa dan Kecamatan Wolowae;
b. Pantai Ennagera di Kecamatan Mauponggo;
c. Mulakoli dan Olakile di Kecamatan Boawae;
d. Tengatiba dan Tutubadha di Kecamatan Aesesa Selatan;dan
e. Tedamude dan Tedakisa di Kecamatan Aesesa.
(4) Kawasan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di Taman Laut Tonggo Kecamatan Nangaroro dengan
luas kurang lebih 20 (dua puluh) hektar.
(5) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dengan luas kurang lebih 300 (tiga ratus) hektar
terdiri atas :
a. Watu Togo di Kecamatan Aesesa;
b. Perkampungan Tradisional Nanganumba, Towak, Olaia, Ola Lape,
Rateule, Ola Dhawe dan Lambo di Kecamatan Aesesa;
c. Perkampungan Tradisional Boawae, Wolowea, Natameze, Nagemi,
Gero, Natalea di Kecamatan Boawae;
d. Perkampungan Tradisional Renduola, Tutubhada, Dadho Wawo,
Wolo Wajo, Degho, Wololuba, Boaele, Lari, Boamara, Wolonio,
Nunungongo, dan Jawakisa di Kecamatan Aesesa Selatan;
e. Perkampungan Tradisional Dongga Odo di Kecamatan Nangaroro;
f. Perkampungan Tradisional Lejo, Sawu, Wulu, Paulundu, Wolosambi
dan Pau di Kecamatan Mauponggo;
g. Perkampungan Tradisional Wuji, Keliwatuwea, Wajo, Pautoda dan
Udiworowatu di Kecamatan Keo Tengah;
h. Perkampungan tradisional lainnya di setiap kecamatan; dan
i. Kawasan situs arkeologi Olabula di Olakile, kampung situs swapraja
Nagekeo di Boawae serta situs bunker gua peninggalan Jepang di
Lape dan Aeramo Kecamatan Aesesa.
Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 25
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf e dengan luas kurang lebih 43.706 (empat puluh tiga ribu tujuh
ratus enam) hektar meliputi:
a. kawasan rawan banjir;
b. kawasan rawan tanah longsor;dan
c. kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami.
(2) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dengan luas kurang lebih 36.076 (tiga puluh enam ribu tujuh puluh
enam) hektar, terdapat di desa dan Kelurahan dalam wilayah Kota
Mbay di Kecamatan Aesesa; dan Desa Totomala, Desa Anakoli, Desa
Tendakinde dan Desa Tendatoto di Kecamatan Wolowae.
(3) Upaya penanganan/pengelolaan kawasan rawan banjir, meliputi:
a. pelestarian dan pengelolaan DAS secara lintas wilayah;
b. pembuatan sudetan;
c. pembuatan sumur resapan di kawasan perkotaan dan perdesaan,
kawasan pertanian yang dilengkapi dengan embung, bendung
maupun cek dam, pembuatan bendungan baru;
d. membuat saluran pembuangan yang terkoneksi dengan baik pada
jaringan primer, sekunder maupun tersier, serta tidak menyatukan
fungsi irigasi untuk drainase;
e. pembuatan tanggul pada kawasan DAS dengan prioritas pada
kawasan dataran dan rawan banjir;
f. mengoptimalkan fungsi kawasan lindung dan kawasan resapan air;
dan
g. melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan dan pengembangan
drainase dengan wilayah lain.
(4) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dengan luas kurang lebih 6.143 (enam ribu seratus empat puluh
tiga) hektar, meliputi: Desa Mulakoli, Desa Wea Au, dan Desa Kelimado
di Kecamatan Boawae; beberapa wilayah di Desa Renduteno,
Renduwawo, Tengatiba, Rendubutowe dan Langedhawe di Kecamatan
Aesesa Selatan dan Desa-desa di Kecamatan Keo Tengah serta desa dan
kelurahan di Kecamatan Mauponggo dan Kecamatan Nangaroro.
(5) Kawasan rawan gelombang pasang dan tsunami sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dengan luas kurang lebih 1.487 (seribu empat
ratus delapan puluh tujuh) hektar diindikasikan berada di wilayah
pesisir Kabupaten Nagekeo sebelah selatan yaitu pesisir pantai
Mauponggo, Keo Tengah dan Nangaroro serta pesisir utara pantai
Aesesa dan Wolowae.
Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi
Pasal 26
(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf f
berupa kawasan rawan bencana alam geologi dengan luas kurang lebih
27.531 (dua puluh tujuh ribu lima ratus tuga puluh satu) hektar.
(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu berupa kawasan rawan bencana letusan gunung berapi
yang berada di sekitar gunung berapi Ebulobo, dengan radius jangkauan
rawan bencana berada di sekitar wilayah Kecamatan Boawae dan
Kecamatan Mauponggo.
Paragraf 7
Kawasan Lindung Lainnya
Pasal 27
Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf g
berupa taman buru yang terdapat di Kecamatan Boawae, Kecamatan Aesesa
dan Kecamatan Aesesa Selatan dengan luas kurang lebih 4.909 (empat ribu
sembilan ratus sembilan) hektar.
Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya
Pasal 28
Pola ruang untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b meliputi:
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman;
h. kawasan peruntukan ruang terbuka hijau;dan
i. kawasan pertahanan dan keamanan.
Paragraf 1
Kawasan Hutan Produksi
Pasal 29
(1) Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a
dengan luas kurang lebih 20.898 (dua puluh ribu delapan ratus
sembilan puluh delapan) hektar meliputi:
a. kawasan hutan produksi terbatas;dan
b. kawasan hutan produksi tetap.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdapat di Kecamatan Wolowae dan Kecamatan Aesesa
dengan luas kurang lebih 12.332 (dua belas ribu tiga ratus tiga puluh
dua) hektar.
(3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b tersebar di wilayah Kecamatan Aesesa, Kecamatan Keo Tengah,
Nangaroro dan Boawae dengan luas kurang lebih 8.566 (delapan ribu
lima ratus enam puluh enam) hektar.
Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 30
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf b dengan luas kurang lebih 99.468 (sembilan puluh sembilan ribu
empat ratus enam puluh delapan) hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan tanaman pangan;
b. kawasan peruntukan hortikultura;
c. kawasan perkebunan;
d. kawasan peternakan; dan
e. kawasan pertanian berkelanjutan.
(2) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. pertanian tanaman pangan lahan basah, yang tersebar di
Kecamatan Aesesa, Kecamatan Boawae, Kecamatan Wolowae,
Kecamatan Nanggaroro dan Kecamatan Mauponggo dengan luas
kurang lebih 5.663 (lima ribu enam ratus enam puluh tiga) hektar;
dan
b. pertanian tanaman pangan lahan kering, yang tersebar di seluruh
wilayah kecamatan dengan luas kurang lebih 5.349 (lima ribu tiga
ratus empat puluh sembilan) hektar.
(3) Kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdapat di Kecamatan Aesesa Selatan, Kecamatan Boawae dan
Kecamatan Mauponggo dengan luas kurang lebih 47.831 (empat puluh
tujuh ribu delapan ratus tiga puluh satu) hektar, yang dikembangkan
pula sebagai kawasan agropolitan dengan komoditi unggulan berupa
buah-buahan meliputi pisang, mangga, jeruk dan jahe; sedangkan
sayur-sayuran meliputi bawang merah, bawang putih, tomat, cabe dan
kacang panjang.
(4) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, tersebar di seluruh wilayah kecamatan dengan luas kurang
lebih 16.404 (enam belas ribu empat ratus empat) hektar.
(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi ternak besar dan ternak kecil yang tersebar di
Kecamatan Aesesa, Kecamatan Aesesa Selatan, Kecamatan Wolowae,
Kecamatan Boawae dan Kecamatan Nangaroro dengan luas kurang
lebih 19.634 (sembilan belas ribu enam ratus tiga puluh empat) hektar.
(6) Kawasan pertanian berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e ditetapkan pada daerah irigasi kabupaten dan daerah irigasi
nasional yang berada di wilayah kabupaten seluas lebih kurang 9.936
(sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh enam) hektar.
Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf c dengan luas kurang lebih 47.922 (empat puluh tujuh ribu
sembilan ratus dua puluh dua) hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap;dan
b. kawasan peruntukan budidaya perikanan.
(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan peruntukan perikanan di pesisir selatan terdapat di
Kecamatan Nangaroro, Kecamatan Keo Tengah dan Kecamatan
Mauponggo dengan luas kurang lebih 20.000 (dua puluh ribu)
hektar; dan
b. kawasan peruntukan perikanan di pesisir utara terdapat di
Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Wolowae dengan luas kurang
lebih 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar.
(3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdapat di wilayah pesisir utara dan pesisir selatan
Kabupaten Nagekeo dengan luas kurang lebih 2.922 (dua ribu sembilan
ratus dua puluh dua) hektar.
(4) Pelabuhan Nangadhero di Kecamatan Aesesa dan Pelabuhan
Nangaroro di Kecamatan Nangaroro yang berfungsi sebagai pelabuhan
khusus perikanan.
Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 32
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf d berupa kawasan peruntukan pertambangan mineral
dengan luas kurang lebih 1.857 (seribu delapan ratus lima puluh tujuh)
hektar.
(2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi:
a. kawasan peruntukan pertambangan batu gamping terdapat di
Kecamatan Boawae dan Kecamatan Nangaroro;
b. kawasan peruntukan pertambangan batu besi terdapat di
Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Aesesa Selatan;
c. kawasan peruntukan pertambangan batu pasir terdapat di
Kecamatan Keo Tengah, Kecamatan Aesesa, Kecamatan Nangaroro
dan Kecamatan Boawae;
d. kawasan peruntukan pertambangan batu pasir besi terdapat di
Kecamatan Nangaroro dan Kecamatan Mauponggo;
e. kawasan peruntukan pertambangan mangan terdapat di Kecamatan
Aesesa dan Kecamatan Aesesa Selatan;
f. kawasan peruntukan pertambangan tembaga terdapat di
Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Aesesa Selatan;
g. kawasan peruntukan pertambangan marmer terdapat di Kecamatan
Aesesa Selatan dan Kecamatan Wolowae;
h. kawasan dengan indikasi potensi pertambangan emas terdapat di
Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Aesesa Selatan;
i. kawasan dengan indikasi potensi pertambangan gipsum terdapat di
Kecamatan Wolowae;
j. kawasan peruntukan pertambangan tanah liat dan lempung
terdapat di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Wolowae; dan
k. kawasan peruntukan pertambangan batu warna terdapat di
Kecamatan Nangaroro.
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf e berupa kawasan peruntukan industri menengah dan industri
rumah tangga dengan luas kurang lebih 7.439 (tujuh ribu empat ratus
tiga puluh sembilan) hektar.
(2) Kawasan peruntukan industri menengah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan luas kurang lebih 5.439 (lima ribu empat ratus tiga
puluh sembilan) hektar, meliputi:
a. kawasan industri pengolahan perikanan terpadu berupa Tempat
Pelelangan Ikan dan kawasan pengolahan hasil ikan di kawasan
pesisir di Marapokot dan Nangadhero di Kecamatan Aesesa; dan
b. kawasan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dan
pertambangan di Desa Nggolonio dan Desa Waekokak di Kecamatan
Aesesa.
(3) Kawasan peruntukan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu berupa kawasan peruntukan industri garam yang
terdapat di Kecamatan Aesesa dan Kaburea di Kecamatan Wolowae
dengan luas kurang lebih 2.000 (dua ribu) hektar.
Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 34
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf f dengan luas kurang lebih 7.109 (tujuh ribu seratus sembilan)
hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan pariwisata budaya;
b. kawasan peruntukan pariwisata alam; dan
c. kawasan peruntukan pariwisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 140 (seratus empat puluh)
hektar meliputi :
a. kawasan peruntukan pariwisata kawasan utara yang meliputi
Perkampungan Tradisional di Kecamatan Aesesa dan Wolowae;
b. kawasan peruntukan pariwisata kawasan tengah yang meliputi
Perkampungan Tradisional di Kecamatan Boawae, dan
Perkampungan Tradisional di Kecamatan Aesesa Selatan; dan
c. kawasan peruntukan pariwisata kawasan selatan yang meliputi
Perkampungan Tradisional di Kecamatan Mauponggo,
Perkampungan Tradisional di Kecamatan Keo Tengah dan
Kecamatan Nangaroro.
(3) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dengan luas kurang lebih 1.770 (seribu tujuh ratus tujuh
puluh) hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan pariwisata Kota Mbay yang meliputi kawasan
sumber air panas Puta di Kecamatan Aesesa, kawasan pantai
Watundoa -Marapokot – Nangadhero - Anakoli dan kawasan sekitar
Gua Jepang;
b. kawasan peruntukan pariwisata kawasan tengah yang meliputi
kawasan sekitar Gunung Ebulobo; dan
c. kawasan peruntukan pariwisata pesisir selatan yang meliputi Pantai
Ena Gera di Kecamatan Mauponggo dan Pantai Tonggo di
Kecamatan Nangaroro .
(4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, dengan luas kurang lebih 5.199 (lima ribu seratus
sembilan puluh sembilan) hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan pariwisata Kota Mbay yang meliputi kawasan
Agrowisata Mbay dan kawasan Bendungan Sutami di Kecamatan
Aesesa; dan
b. kawasan peruntukan pariwisata pesisir selatan yang meliputi
kawasan perkebunan di pesisir selatan Kabupaten Nagekeo.
Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 35
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 huruf g dengan luas kurang lebih 108.955 (seratus delapan ribu
sembilan ratus lima puluh lima) hektar meliputi:
a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan.
(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terdapat di perkotaan Aesesa di Kecamatan
Aesesa dengan luas kurang lebih 37.095 (tiga puluh tujuh ribu sembilan
puluh lima) hektar.
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b tersebar di seluruh kecamatan, yaitu di
Kecamatan Aesesa, Kecamatan Wolowae, Kecamatan Mauponggo,
Kecamatan Keo Tengah, Kecamatan Nangaroro dan Kecamatan Aesesa
Selatan dengan luas kurang lebih 71.860 (tujuh puluh satu ribu delapan
ratus enam puluh) hektar.
Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Ruang Terbuka Hijau
Pasal 36
Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf h dengan luas kurang lebih 27.229 (dua puluh tujuh ribu dua ratus dua
puluh sembilan) hektar meliputi :
a. kawasan RTH sempadan sungai;
b. kawasan RTH sempadan waduk, bendungan, situ, danau, dan mata air;
c. kawasan RTH sempadan pantai;
d. kawasan RTH hutan kota;
e. kawasan RTH taman rekreasi; dan
f. kawasan RTH sempadan jalan.
Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Pertahanan dan Keamanan
Pasal 37
Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf i, dengan luas kurang lebih 30 (tiga puluh) hektar
meliputi :
a. kawasan peruntukan pelayanan pertahanan dan keamanan setingkat
rayon/sektor di masing-masing kecamatan;dan
b. kawasan peruntukan pelayanan pertahanan dan keamanan setingkat
distrik/resort di pusat perkotaan Mbay.
BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Pasal 38
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Nagekeo meliputi:
a. kawasan strategis nasional; dan
b. kawasan strategis kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis digambarkan pada peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 39
Kawasan Strategis Nasional yang ada di Kabupaten Nagekeo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a adalah KAPET Mbay yang merupakan
kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi.
Pasal 40
(1) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf b meliputi :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya;
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup; dan
d. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan
keamanan.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan perkotaan Mbay di Kecamatan Aesesa yang berfungsi
sebagai pusat KAPET Mbay dan ibukota Kabupaten Nagekeo;
b. kawasan Lambo di Kecamatan Aesesa sebagai kawasan Kota
Terpadu Mandiri; dan
c. kawasan Pelabuhan Marapokot.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa perkampungan tradisional dan
kawasan situs arkeologi Olabula di Kecamatan Boawae.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat
di kawasan sekitar Sungai Aesesa dan Taman Laut Tonggo di Kecamatan
Nangaroro.
(5) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan pertahanan dan
keamanan negara berdasarkan geostrategis nasional;dan
b. diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah
pembuangan amunisi, daerah uji coba sistem persenjataan,
dan/atau kawasan industri sistem pertahanan.
BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Pasal 41
(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten merupakan indikasi
program utama yang memuat uraian program atau kegiatan, sumber
pendanaan, instansi pelaksana dan tahapan pelaksanaan.
(2) Pelaksanaan RTRW Kabupaten terbagi dalam 4 (empat) tahapan meliputi:
a. Tahap I (tahun 2011-2016);
b. Tahap II (tahun 2016-2021);
c. Tahap III (tahun 2021-2026); dan
d. Tahap IV (tahun 2026-2031).
(3) Prioritas pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan atas
kemampuan pembiayaan dan kegiatan yang mempunyai efek ganda
sesuai arahan umum pembangunan daerah.
(4) Prioritas pembangunan yang menjadi komitmen seluruh jajaran
pemerintahan Kabupaten Nagekeo dan masyarakatnya meliputi:
a. pengembangan Perkotaan Mbay sebagai pusat pemerintahan
Kabupaten Nagekeo sekaligus sebagai pusat pengembangan utama
Kabupaten;
b. membuka dan mengembangkan potensi kawasan strategis yang
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah seperti
pengembangan agropolitan, pengembangan kawasan industrial
estate, pengembangan kawasan agroindustri, pariwisata dan
pertanian tanaman pangan;
c. membuka dan mengembangkan kawasan perbatasan, tertinggal
dan terisolir dengan pengembangan sistem jaringan jalan yang
dapat menghubungkan antar pusat-pusat kegiatan wilayah,
perkotaan dan perdesaan;
d. pengembangan dan peningkatan sistem transportasi yang
terintegrasi dengan wilayah pusat-pusat pertumbuhan regional-
nasional yang direncanakan terpadu antara jaringan jalan, terminal
dan pelabuhan;
e. membangun prasarana dan sarana pusat pemerintahan,
perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan di masing-masing
pusat pertumbuhan wilayah dimana pembangunan sesuai fungsi
dan peranannya baik wilayah perkotaan maupun perdesaan;
f. dukungan pembangunan sarana dasar wilayah seperti jaringan
listrik, telepon dan air bersih, agribisnis hulu dan hilir, promosi yang
dapat menunjang perkembangan pusat-pusat pelayanan wilayah,
industri, pertanian dan pariwisata;
g. penanganan dan pengelolaan kawasan DAS, sumber mata air,
pembangunan dan pengembangan sumber daya alam berlandaskan
kelestarian lingkungan; dan
h. peningkatan sumber daya manusia dengan penguasaan ilmu dan
teknologi, keterampilan dan kewirausahaan dalam mempersiapkan
penduduk pada semua sektor, menghadapi tantangan globalisasi
dan pasar bebas.
(5) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten disusun dengan kriteria:
a. mendukung perwujudan struktur ruang, pola ruang, dan kawasan
strategis kabupaten;
b. mendukung program utama penataan ruang nasional dan provinsi;
c. realistis, objektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka
waktu perencanaan;
d. konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun,
baik dalam jangka waktu tahunan maupun antar lima tahunan; dan
e. sinkronisasi antar program harus terjaga.
Pasal 42
(1) Program pemanfaatan ruang disusun berdasarkan indikasi program
utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, investasi swasta dan kerjasama pendanaan.
(3) Kerjasama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 43
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif;dan
d. arahan pengenaan sanksi.
Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Pasal 44
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten digunakan
sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan
zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk struktur ruang;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk pola ruang;dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan strategis.
Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Struktur Ruang
Pasal 45
Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. rencana sistem perkotaan wilayah;dan
b. rencana sistem jaringan prasarana skala kabupaten.
Pasal 46
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi rencana sistem perkotaan wilayah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a terdiri atas:
a. sistem perkotaan;dan
b. sistem perdesaan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. kawasan perkotaan diperuntukan bagi kegiatan intensitas tinggi
dengan mengutamakan fungsi perdagangan dan jasa, industri,
permukiman, dan fasilitas umum sesuai dengan karakter
perkotaan di Kabupaten Nagekeo;
b. intensitas kegiatan tinggi dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB),
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH)
sesuai dengan peruntukan masing-masing dengan menyediakan
RTH minimum 20% (dua puluh persen) sebagai RTH publik dan
10% (sepuluh persen) RTH privat;dan
c. pengendalian fungsi kawasan sesuai dengan peraturan zonasi dan
perkembangan yang ada pada setiap kawasan perkotaan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perdesaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan perdesaan diperuntukan bagi kegiatan intensitas rendah
dengan mengutamakan fungsi pertanian dan pendukung kegiatan
agropolitan sesuai dengan potensi kawasan perdesaan di
Kabupaten Nagekeo;
b. intensitas kegiatan rendah dengan KDB, KLB dan KDH sesuai
dengan peruntukan masing-masing;dan
c. pengendalian fungsi kawasan sesuai dengan peraturan zonasi dan
perkembangan yang ada pada setiap kawasan perdesaan.
Pasal 47
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi rencana sistem jaringan prasarana
skala kabupaten, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b terdiri
atas:
a. sistem jaringan prasarana jalan;
b. sistem jaringan prasarana energi;
c. sistem jaringan sumber daya air;
d. sistem jaringan telekomunikasi;dan
e. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem jaringan prasarana
jalan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi ketentuan
umum pengaturan zonasi pada sistem jaringan prasarana jalan arteri
primer/kolektor primer/lokal primer, dengan rincian sebagai berikut :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri
primer disusun dengan memperhatikan:
1. jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dengan lebar
badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter;
2. jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata;
3. pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan
kegiatan lokal.
4. jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) masih tetap terpenuhi;
5. persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan
pengaturan tertentu harus tetap memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4);
6. jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan
dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh
terputus;dan
7. lebar ruang pengawasan jalan arteri primer minimal 15
(limabelas) meter.
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor
primer disusun dengan memperhatikan:
1. jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 40 (empat puluh) kilometer per jam dengan
lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter;
2. jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar
dari volume lalu lintas rata-rata;
3. jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
masih tetap terpenuhi;
4. persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dengan
pengaturan tertentu harus tetap memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3);
jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan
dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh
terputus; dan
5. lebar ruang pengawasan jalan kolektor primer minimal 10
(sepuluh) meter.
c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal
primer disusun dengan memperhatikan:
1. jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar
badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter;
2. jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak
boleh terputus; dan
3. lebar ruang pengawasan jalan lokal primer minimal 7 (tujuh)
meter.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar sistem
jaringan prasarana energi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi :
a. permukiman, perdagangan jasa dan fasilitas umum dapat
dikembangkan di sekitar prasarana energi dengan radius 20-25 (dua
puluh sampai dua puluh lima) meter dari prasarana energi;
b. intensitas bangunan yakni KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan
jenis peruntukan yang akan dilakukan sebagaimana ketetapan
sebelumnya; dan
c. perlu adanya pengendalian yang ketat dan pemberian sangsi bagi
yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar sistem
jaringan prasarana sumber daya air, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi :
a. larangan kegiatan yang dilakukan di luar kegiatan yang menunjang
prasarana sumber daya air;
b. kegiatan yang boleh berkembang adalah kegiatan pertanian,
perkebunan, hutan dan RTH;dan
c. perlu adanya pengendalian terutama IMB yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar prasarana
telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. permukiman, perdagangan jasa dan fasilitas umum dapat
dikembangkan di sekitar prasarana telekomunikasi dengan radius
20-25 (dua puluh sampai dua puluh lima) meter dari prasaranan
telekomunikasi;
b. ketentuan intensitas bangunan KDB, KLB dan KDH menyesuaikan
dengan jenis peruntukan yang akan dilakukan sebagaimana
ketetapan sebelumnya;dan
c. ketinggian tower tidak boleh lebih dari 52 (lima puluh dua) meter
berdasarkan ketetapan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar sistem
jaringan prasarana lainnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e meliputi :
a. arahan pengembangan sistem prasarana lingkungan yang digunakan
lintas wilayah secara administratif dengan kerjasama antar wilayah
dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah sampah
terutama di wilayah perkotaan;
b. pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan sampah Reuse,
Reduce, Recycle (3R) komunal;
c. penanganan persampahan selain menggunakan Reuse, Reduce,
Recycle (3R) juga dengan pengembangan sistem komposting;
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan
daya dukung lingkungan.
e. pengalokasian TPA sesuai dengan persyaratan teknis;
f. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai
dengan kaidah teknis dan dengan konsep Reuse, Reduce, Recycle
(3R);
g. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan
daya dukung lingkungan;
h. penyediaan ruang untuk TPS dan atau TPA terpadu;
i. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan
penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan;
j. penerapan pengelolaan limbah bahan beracun berbahaya (B3)
terbentuk yang didasarkan atas konsep cradle-to grave dan
mendorong industri penghasil limbah untuk mengolah, mendaur
ulang serta menimbun limbahnya dekat dengan pabrik, dan
menerapkan teknik pengelolaan limbah berbahaya sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku;
k. memberi kemudahan kredit pembelian alat pengolahan limbah bagi
industri kecil, atau mengurangi pajak import alat pengolah
limbah;dan
l. peningkatan kemampuan institusional dalam memberi fungsi bagi
pencemar, pemberlakuan secara ketat tentang baku mutu
lingkungan.
Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pola Ruang
Pasal 48
Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b meliputi:
a. kawasan lindung;dan
b. kawasan budidaya.
Pasal 49
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan lindung sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 48 huruf a adalah peraturan pada kawasan
lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak
pada wilayah kabupaten meliputi:
a. kawasan pada hutan lindung ;
b. kawasan perlindungan bawahnya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam;dan
e. kawasan rawan bencana.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada hutan lindung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pengembangan ekowisata dengan tidak merubah bentang alam;
b. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luasan
kawasan hutan lindung;
c. pada kawasan lindung, kegiatan budidaya yang diperkenankan
adalah kegiatan yang tidak mengolah permukaan tanah secara
intensif seperti hutan atau tanaman keras sehingga tidak terjadi
erosi tanah atau merubah bentang alam, kecuali kegiatan tersebut
mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi kepentingan kabupaten,
nasional maupun regional;
d. apabila ada hutan produksi dan kegiatan budidaya lainnya yang
masuk dalam hutan lindung agar ditingkatkan upaya konservasinya
menjadi hutan produksi terbatas;dan
e. ketentuan umum intensitas bangunan yaitu KDB yang diizinkan 10%
(sepuluh persen), KLB 10% (sepuluh persen) dan KDH 90% (sembilan
puluh persen).
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan perlindungan
bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kawasan resapan air yang diusulkan dapat dibudidayakan sebagai
perkebuan tanaman tahunan/tanaman keras dan jenis komoditas
yang ditanam disesuaikan dengan komoditas andalan wilayah
tersebut;
b. kawasan resapan air perlahan-lahan fungsinya ditingkatkan menjadi
hutan lindung khususnya pada wilayah-wilayah dengan kelerengan
> 25 % (lebih dari dua puluh lima persen) dan zona ini dapat
dikukuhkan sebagai hutan lindung dan tidak dibudidayakan;
c. dapat dialokasikan sebagai kebun campuran, tanaman tahunan,
hutan produksi terbatas ataupun hutan lindung, kegiatan budidaya
yang diperbolehkan adalah kegiatan yang tidak mengurangi fungsi
lindung kawasan;
d. kegiatan yang masih boleh dilaksanakan adalah pertanian tanaman
semusim atau tahunan yang disertai tindakan konservasi dan
ekowisata;
e. kegiatan yang tidak mengolah tanah secara intensif, kecuali
dipandang memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi kepentingan
regional dan nasional; dan
f. ketentuan umum intensitas bangunan KDB yang diizinkan 10%
(sepuluh persen), KLB 10% (sepuluh persen) dan KDH 90% (sembilan
puluh persen).
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan perlindungan
setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari
kawasan sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan
sekitar mata air, dengan rincian sebagai berikut :
a. peraturan zonasi pada kawasan sempadan sungai meliputi:
1. penentuan kawasan sempadan bagi perlindungan DAS dan
zonasi pemanfaatan DAS berdasarkan daya dukung
lingkungannya terutama untuk daerah tangkapannya;
2. penentuan kawasan sempadan sungai bagi perlindungan DAS
yaitu sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter di kiri kanan
sungai besar, dan 50 (lima puluh) meter di kiri kanan anak
sungai yang berada di luar permukiman;
3. pengelolaan zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan
membagi tipologi DAS. Berdasarkan tipologinya, DAS terbagi
menjadi daerah hulu sungai, daerah sepanjang aliran sungai,
daerah irigasi, daerah perkotaan dan industri, serta daerah
muara sungai;
4. kegiatan yang mampu melindungi atau memperkuat tebing
sungai atau saluran dari kelongsoran, kegiatan yang tidak
memperlambat jalannya arus air, kecuali memang sengaja
bermaksud untuk memperlambat laju arus air seperti
pembuatan cek dam atau krib, atau dam, atau pembelok arus
air sungai;
5. KDB yang diijinkan 10% (sepuluh persen), KLB 10% (sepuluh
persen) dan KDH 90% (sembilan puluh persen);dan
6. sempadan sungai besar di luar kawasan permukiman adalah
100 (seratus) meter, sedangkan sempadan anak-anak sungai
sebesar 50 (lima puluh) meter, sempadan sungai dan anak
sungai yang melewati permukiman minimal 15 (lima belas)
meter.
b. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar
danau/waduk meliputi:
1. kegiatan perikanan, ekowisata, pertanian dengan jenis
tanaman yang diizinkan, pemasangan papan pengumuman,
pemasangan fondasi dan rentang kabel, fondasi
jalan/jembatan, bangunan lalu lintas air, pengambilan dan
pembuangan air serta bangunan yang mendukung kelestarian
kawasan;
2. kegiatan yang diperkenankan adalah kegiatan yang berkaitan
dengan wisata seperti hotel, rumah makan, tempat rekreasi
dengan tetap mengupayakan pembangunan fisik yang mampu
mencegah terjadinya sedimentasi ke dalam waduk/danau;
3. dilarang menyelenggarakan kegiatan yang mengganggu
kelestarian daya tampung waduk seperti pendirian bangunan,
permukiman dan penanaman tanaman semusim yang
mempercepat pendangkalan;
4. KDH yang diizinkan 10% (sepuluh persen), KLB 10% (sepuluh
persen) dan KDH 90% (sembilan puluh persen); dan
5. sempadan waduk 50-100 (lima puluh sampai seratus) meter
dari tanggul waduk.
c. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sekitar mata air
meliputi:
1. kegiatan yang diutamakan adalah kegiatan penghutanan atau
tanaman tahunan yang produksinya tidak dengan menebang
pohon;
2. kegiatan yang masih diperkenankan adalah pertanian dengan
jenis tanaman yang tidak mengganggu mata air, pemasangan
papan reklame/pengumuman, pondasi dan rentangan kabel
listrik, kegiatan sosial masyarakat yang tidak menggunakan
tanah secara menetap atau terus menerus dan bangunan lalu
lintas air;
3. penetapan kawasan perlindungan setempat radius 200 (dua
ratus) meter dari mata air;dan
4. kawasan dengan radius 15 (lima belas) meter daerah mata air
harus bebas dari bangunan kecuali bangunan penyaluran air.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan suaka alam dan
pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
cagar alam, taman wisata alam dan cagar budaya sebagai berikut:
a. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan cagar alam
meliputi:
1. kegiatan ekowisata dan penelitian yang tidak merusak
lingkungan;
2. KDB yang diizinkan 5% (lima persen), KLB 5% (lima persen) dan
KDH 95% (sembilan puluh lima persen);dan
3. pembagian zona dan kegiatan : zona inti yaitu dikelola secara
alami dan menghindarkan campur tangan manusia, zona
perlindungan yaitu dikelola sebagai kawasan suaka
margasatwa, pengelola dapat melakukan pembinaan areal
dengan tanpa mengganggu fungsi suaka alam, penelitian yang
tidak merusak ekosistem di kawasan ini dapat dilakukan
dengan intensif, untuk zona pemanfaatan yaitu dikelola
sebagai taman wisata dan dimanfaatkan untuk kepentingan
rekreasi dan budaya, zona penyangga dapat dimanfaatkan
secara langsung dan tidak langsung oleh masyarakat.
b. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan taman wisata
alam meliputi:
1. kegiatan yang diperbolehkan adalah outbond, bumi
perkemahan dengan syarat tidak boleh merubah dan merusak
bentang alam;
2. kegiatan ecotourisme terbatas dan penelitian yang tidak
merusak taman wisata alam; dan
3. KDB yang diizinkan 5% (lima persen), KLB 5% (lima persen) dan
KDH 95% (sembilan puluh lima persen).
c. ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan cagar budaya
meliputi:
1. tidak diperbolehkan adanya alih fungsi kawasan;
2. sarana prasarana yang dikembangkan pada kawasan situs-situs
yang dijadikan objek wisata harus berada di luar situs;
3. pembagian status zona/penetapan batas lapangan secara jelas
: zona perlindungan inti, merupakan bangunan/lingkungan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang dilindungi, zona
pemanfaatan, lingkungan di sekitar cagar budaya yang
dimanfaatkan, baik sebagai permukiman masyarakat, maupun
pariwisata;
4. pengelolaan potensi kawasan (sebagai wisata, penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan);dan
5. KDB yang diizinkan 20% (dua puluh persen), KLB 20% (dua
puluh persen) dan KDH 80% (delapan puluh persen).
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan rawan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,meliputi:
a. zonasi pada kawasan rawan bencana erosi / longsor meliputi :
1. tertutup bagi kegiatan permukiman, persawahan, tanaman
semusim dan kegiatan budidaya lainnya yang berbahaya bagi
keselamatan manusia dan lingkungan;
2. pemantapan zona dengan mengembalikan kawasan sesuai
fungsi, karena wilayah rawan longsor sebagain besar termasuk
dalam kawasan hutan lindung dan resapan air;
3. pembatasan permukimakan di wilayah rawan longsor
khususnya pada kelerengan > 25% (lebih dari dua puluh lima
persen);
4. pembatasan budidaya khususnya pariwisata dan permukiman;
dan
5. KDB 30-50% (tiga puluh sampai lima puluh persen), KLB 30-
50% (tiga puluh sampai lima puluh persen) dan KDH 50-70%
(lima puluh sampai tujuh puluh persen).
b. zonasi pada kawasan rawan bencana banjir, meliputi :
1. pembangunan saluran drainase dan kegiatan pencegah
bencana banjir;
2. untuk daerah yang sudah terbangun, hendaknya diadakan
penyuluhan akan bahaya yang mungkin terjadi pada masa
yang akan datang, secara bertahap dan terencana
permukiman dipindahkan;
3. dilarang melaksanakan kegiatan permukiman, diizinkan untuk
kegiatan budidaya pertanian, perkebunan;dan
4. KDB 30-50% (tiga puluh sampai lima puluh persen), KLB 30-
50% (tiga puluh sampai lima puluh persen) dan KDH 50-70%
(lima puluh sampai tujuh puluh persen).
Pasal 50
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf b berupa peraturan pada kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan meliputi :
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan pertambangan;
d. kawasan industri;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman;
g. kawasan peruntukan RTH; dan
h. kawasan pertahanan dan keamanan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan hutan produksi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan
neraca sumber daya kehutanan;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan
pemanfaatan hasil hutan;
c. dilarang menyelenggarakan pemanfaatan lahan untuk fungsi-
fungsi yang berdampak negatif terhadap keseimbangan ekologis;
d. kawasan ini tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain, dan
harus dikendalikan secara ketat; dan
e. KDB yang diizinkan 1% (satu persen), dan KLB 1% (satu persen).
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan pertanian,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. dilarang melaksanakan pembangunan fisik dengan fungsi yang
tidak mendukung kegiatan pertanian, kecuali kawasan tersebut
berada di kawasan perkotaan;
b. kawasan ini hanya diperuntukan bagi tanaman padi secara terus
menerus dengan pola tanam sesuai dengan penetapan Bupati;
c. perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian
wajib memperhatikan rencana produksi pangan secara nasional
maupun regional serta ada izin lokasi dan izin perubahan
penggunaan tanah;
d. pembangunan yang bersifat non pertanian diusahakan agar tidak
menggunakan areal pertanian yang subur, beririgasi teknis,
setengah teknis dan sederhana;
e. alih fungsi sawah irigasi teknis di kawasan perkotaan diizinkan
maksimum 10% (sepuluh persen); dan
f. alih fungsi sawah irigasi teknis di kawasan perdesaan diizinkan
maksimum 5% (lima persen) terutama di ruas jalan utama dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan pertambangan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :
a. kegiatan yang diizinkan adalah penelitian, penambangan,
pengolahan awal dan pengemasan, pengangkutan, pengelolaan
dan pemantauan kawasan;
b. kegiatan yang sudah ada yang tidak menunjang kegiatan
penambangan dan membahayakan kegiatan tersebut, secara
bertahap dipindahkan dengan penggantian yang layak;dan
c. kegiatan penambangan yang sudah selesai diselenggarakan harus
melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan sehingga lahan bekas
tambang tidak berbahaya dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
produktif lainnya.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan industri, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. untuk kegiatan atau bangunan baru yang tidak serasi dengan
kegiatan industri seperti permukiman, pertanian, perusahaan dan
jasa perkantoran yang tidak ada hubungannya dengan industri
tidak diperkenankan;
b. pemanfaatan permukiman, perdagangan dan jasa serta fasilitas
umum maksimum 25% dari luas areal yang ada;
c. KDB yang diizinkan 50% (lima puluh persen), KLB 50% (lima puluh
persen) dan KDH 50% (lima puluh persen);dan
d. jenis bangunan yang diizinkan adalah bangunan
produksi/pengolahan dan penunjang, fasilitas pengangkutan dan
penunjangnya, pos pengawasan dan kantor pengelola.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan pariwisata,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :
a. kegiatan yang diizinkan adalah kunjungan atau pelancongan,
olahraga dan rekreasi, pertunjukan dan hiburan, komersial,
menginap/bermalam, pengamatan, pemantauan, pengawasan
dan pengelolaan kawasan;
b. untuk kegiatan ecotourisme pengembangan yang dilakukan tidak
bertentangan dengan fungsi kawasan terutama pada kawasan
lindung; dan
c. pemanfaatan permukiman, perdagangan dan jasa serta fasilitas
umum maksimum 20% (dua puluh persen) dari luas lahan yang
ada dengan KDB yang diizinkan 30% (tiga puluh persen), KLB 30%
(tiga puluh persen) dan KDH 70% (tujuh puluh persen).
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan permukiman,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi :
a. permukiman perkotaan KDB yang diizinkan 60-70% (enam puluh
sampai tujuh puluh persen), KLB 60-210% (enam puluh sampai
dua ratus sepuluh persen) dan KDH 30-40% (tiga puluh sampai
empat puluh persen);
b. kawasan permukiman perdesaan KDB yang diizinkan 50-60% (lima
puluh sampai enam puluh persen), KLB 50-180% (lima puluh
sampai seratus delapan puluh persen) dan KDH 40-50% (empat
puluh sampai lima puluh persen);
c. kawasan perdagangan dan jasa di lingkungan permukiman
perkotaan KDB yang diizinkan 70-80% (tujuh puluh sampai
delapan puluh persen), KLB 70-240% (tujuh puluh sampai dua
ratus empat puluh persen) dan KDH 20-30% (dua puluh sampai
tiga puluh persen),
d. kawasan fasilitas umum di lingkungan permukiman perkotaan KDB
yang diizinkan 50-60% (lima puluh sampai enam puluh persen),
KLB 50-180% (lima puluh sampai seratus delapan puluh persen)
dan KDH 40-50% (empat puluh sampai lima puluh persen);
e. kawasan perdagangan dan jasa di lingkungan permukiman
perdesaan KDB yang diizinkan 60-70% (enam puluh sampai tujuh
puluh persen), KLB 60-210% (enam puluh sampai seratus dua
puluh persen) dan KDH 30-40% (tiga puluh sampai empat puluh
persen);dan
f. kawasan fasilitas umum di lingkungan permukiman perdesaan
KDB yang diizinkan 50-60% (lima puluh sampai enam puluh
persen), KLB 50-180% (lima puluh sampai seratus delapan puluh
persen) dan KDH 40-50% (empat puluh sampai lima puluh persen).
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan RTH, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi :
a. RTH publik yaitu taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur
hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai, dengan proporsi paling
sedikit 20% (dua puluh persen);
b. RTH privat yaitu kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/ swasta yang ditanami tumbuhan, dengan proporsi
10% (sepuluh persen); dan
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai RTH Perkotaan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b diatur dalam Rencana Detail Tata
Ruang.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan pertahanan dan
keamanan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h meliputi :
a. diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas
peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan
peraturan yang berlaku;dan
b. mengendalikan kawasan budidaya pada sekitar kawasan
pertahanan dan keamanan.
Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pada Kawasan Strategis
Pasal 51
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis kabupaten
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf c berupa
pelaksanaan pembangunan, meliputi:
a. kawasan strategis ekonomi;
b. kawasan strategis sosial kultural;
c. kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;dan
d. kawasan strategis pertahanan dan keamanan.
(2) Arahan ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis
ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pengembangan kawasan strategis ekonomi yang akan memicu
perkembangan kawasan sekitarnya;
b. penyediaan fasilitas perkotaan pendukung agropolitan;serta
c. penyediaan prasarana pendukung dan pengendalian kawasan
sekitar prasarana yang ada.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis sosio-kultural
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. zonasi kawasan pengembangan di sekitar kawasan; serta
b. pengamanan terhadap kawasan atau melindungi tempat serta
ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah, situs purbakala dan
kawasan dengan bentukan geologi tertentu dengan membuat
ketentuan-ketentuan yang perlu perhatian.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis yang
memiliki fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan
dan terdapat kerusakan baik pada zona inti maupun zona
penunjang harus dilakukan pengembalian ke rona awal sehingga
kehidupan satwa langka dan dilindungi dapat lestari;
b. untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam
jangka panjang harus melakukan percepatan rehabilitasi lahan;
dan
c. pada zona ini tidak boleh melakukan alih fungsi lahan yang
mengganggu fungsi lindung apalagi bila di dalamnya terdapat
kehidupan berbagai satwa maupun tanaman langka yang
dilindungi.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis pertahanan
dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. pengendalian kegiatan budidaya di sekitar kawasan strategis
pertahanan dan keamanan; dan
b. Diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas
peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan
Pasal 52
(1) Perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki
sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
(2) Jenis-jenis perizinan terkait dengan pemanfaatan ruang meliputi:
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT);
d. izin mendirikan bangunan;
e. Izin pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat; dan
f. izin lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Mekanisme perizinan terkait pemanfaatan ruang yang menjadi
wewenang pemerintah kabupaten mencakup pengaturan keterlibatan
masing-masing instansi perangkat daerah terkait dalam setiap perizinan
yang diterbitkan.
(4) Ketentuan teknis prosedural dalam pengajuan izin pemanfaatan ruang
maupun forum pengambilan keputusan atas izin yang akan dikeluarkan,
yang akan menjadi dasar pengembangan Standar Operasional Prosedur
(SOP) perizinan.
(5) Ketentuan pengambilan keputusan apabila dalam dokumen RTRW
kabupaten belum memberikan ketentuan yang cukup tentang perizinan
yang dimohonkan oleh masyarakat, individual maupun organisasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian perizinan dan aturan
pelaksanaannya lebih lanjut ditetapkan dalam peraturan bupati.
Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 53
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi Pemerintah
Daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
struktur ruang, rencana pola ruang, dan ketentuan umum peraturan
zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu
dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 54
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan
ruang wilayah Kabupaten dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi
berwenang sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 55
a. Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2), dapat diberikan dalam bentuk :
a. pemberian kompensasi;
b. pengurangan retribusi;
c. imbalan;
d. sewa ruang dan urun saham;
e. penyediaan prasarana dan sarana;
f. penghargaan; dan/atau
g. kemudahan perizinan
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur
dengan Peraturan Bupati.
Pasal 56
(1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (3) dapat diberikan dalam bentuk :
a. pengenaan pajak/retribusi yang tinggi;
b. pemberian persyaratan khusus dalam proses perizinan; dan/atau
c. pembatasan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Arahan Pengenaan Sanksi
Pasal 57
(1) Pengenaan sanksi merupakan arahan ketentuan pengenaan sanksi
administratif kepada pelanggar pemanfaatan ruang yang akan menjadi
acuan bagi pemerintah daerah kabupaten
(2) Dalam hal penyimpangan penyelenggaraan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang melakukan
penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan ditetapkkan berdasarkan hasil pengawasan
penataan ruang, tingkat simpangan implementasi rencana tata ruang,
kesepakatan antar instansi yang berwenang, dan peraturan
perundang-undangan sektor terkait lainnya
(3) Pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang
tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi
dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
(4) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik
yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin dapat
dikenai sanksi adminstratif atau sanksi pidana dan/atau sanksi pidana
denda sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
berupa:
a. peringatan tertulis diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam
penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan
surat peringatan tertulis sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali.
b. penghentian sementara kegiatan; dilakukan melalui langkah
langkah sebagai berikut:
1. penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara
dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban
pelanggaran pemanfaatan ruang;
2. apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian
kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap
kegiatan pemanfaatan ruang;
3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai
pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang
dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat
penertiban;
4. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat
yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan
aparat penertiban melakukan penghentian
kegiatanpemanfaatan ruang secara paksa; dan
5. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat
yang berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan
pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi
kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar
untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan
rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan
ruang yang berlaku.
c. penghentian sementara pelayanan umum; dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
1. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara
pelayanan umum dari pejabat yang berwenang melakukan
penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang (membuat surat
pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum);
2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang
disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi
penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar
dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang
akan diputus;
3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan
sanksi penghentian sementara pelayanan umum yang akan
segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan
umum yang akan diputus;
4. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada
penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan
pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan
secukupnya;
5. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan
kepada pelanggar; dan pengawasan terhadap penerapan
sanksi penghentian sementara pelayanan umum dilakukan
untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada
pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi
kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya
dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis
pemanfaatan ruang yang berlaku.
d. penutupan lokasi; dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang;
2. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang
disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi kepada
pelanggar;
3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai
pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera
dilaksanakan;
4. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat
yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban
melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan
5. pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi,
untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali
sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk
menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata
ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang
berlaku.
e. pencabutan izin dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin
oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban
pelanggaran pemanfaatan ruang;
2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang
disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat
keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan
ruang;
3. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar
mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin;
4. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat
yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan
izin;
5. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan
pencabutan izin menerbitkan keputusan pencabutan izin;
6. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status
izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk
menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara
permanen yang telah dicabut izinnya; dan
7. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk
menghentikan kegiatan pemanfaatan yang telah dicabut
izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban
kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku
f. pembatalan izin dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1. membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara
pemanfaatan ruang menurut dokumen perizinan dengan
arahan pola pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang
yang berlaku;
2. memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang
perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan
dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan izin;
3. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat
yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang;
4. memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan
pembatalan izin;
5. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat
yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan
izin; dan
6. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status
izin yang telah dibatalkan
g. pembongkaran bangunan dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran
bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan
penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang;
2. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang
disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi
pembongkaran bangunan;
3. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan
sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera
dilaksanakan; dan
4. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat
yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan
bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran
bangunan secara paksa.
h. pemulihan fungsi ruang dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
1. menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi
bagian-bagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara
pemulihannya;
2. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan
perintah pemulihan fungsi ruang;
3. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang
disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan
penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi
pemulihan fungsi ruang;
4. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban,
memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan
sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan
pelanggar dalam jangka waktu tertentu;
5. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban
dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan
pemulihan fungsi ruang;
6. apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar
belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang
bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat
melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan
fungsi ruang; dan
7. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu
membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah
dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan
dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di
kemudian hari.
i. denda administratif dapat dikenakan secara tersendiri atau
bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif dan
besarannya ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Pasal 58
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang
telah ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 59
(1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan
kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dibentuk
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(2) Tugas, struktur, organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan
Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Bupati.
BAB IX
HAK, KEWAJIBAN, PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 60
Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah.
c. menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai
akibat dari penataan ruang;
d. memperoleh pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana
tata ruang;
e. mendapat perlindungan dari kegiatan-kegiatan yang merugikan; dan
f. mengawasi pihak-pihak yang melakukan penyelenggaraan tata ruang
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 61
Kewajiban masyarakat dalam penataan ruang wilayah meliputi :
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang diberikan;
dan
c. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 62
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan dengan mematuhi dan
menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan
ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara
turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor
daya dukung lingkungan, estetikalingkungan, lokasi, dan struktur
pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang
serasi, selaras, dan seimbang.
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 63
Peran masyarakat dalam penataan ruang di Daerah dilakukan antara lain
melalui partisipasi dalam :
a. penyusunan rencana tata ruang;
b. pemanfaatan ruang; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 64
Bentuk peran masyarakat pada tahap penyusunan perencanaan tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a meliputi :
a. memberikan masukan mengenai :
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau
kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan rencana tata ruang; dan
c. melakukan kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sesama unsur masyarakat.
Pasal 65
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 huruf b meliputi:
a. melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal
dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian, dan/atau dana dalam
pengelolaan pemanfaatan ruang;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan
ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan
memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan ruang dengan Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau dan pihak lainnya secara bertanggung jawab untuk
pencapaian tujuan penataan ruang;
f. menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan
dan SDA;
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa keahlian; dan
h. mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah atau pihak lain apabila
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan merugikan.
Pasal 66
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c meliputi:
a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
ruang, rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pemenuhan standar
pelayanan minimal di bidang penataan ruang;
c. melaporkan kepada instansi/pejabat yang berwenang dalam hal
menemukan kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata
ruang yang telah ditetapkan dan adanya indikasi kerusakan dan/atau
pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar pelayanan minimal
dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam penyelenggaraan
penataan ruang;
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang
dipandang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
e. mengajukan gugatan pembatalan izin dan/atau penghentian
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
instansi/pejabat yang berwenang.
Pasal 67
(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara
langsung dan/atau tertulis kepada Bupati.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat
disampaikan melalui unit kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 68
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, Pemerintah Daerah
membangun sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pasal 69
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 70
RTRW Kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah
kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
Pasal 71
(1) Jangka waktu RTRW Kabupaten Nagekeo adalah 20 (dua puluh) tahun
sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial Negara, dan/atau
perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan undang-undang, RTRW
Kabupaten Nagekeo dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam
5 (lima) tahun.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan
apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang
mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika
internal wilayah.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
(1) Dengan berlakunya peraturan daerah ini, maka semua peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah
ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan
belum diganti berdasarkan peraturan daerah ini.
(2) Dengan berlakunya peraturan daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai
dengan ketentuan peraturan daerah ini tetap berlaku sesuai
dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin
tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan
peraturan daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan
penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan peraturan daerah ini, izin yang telah
diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang
timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat
diberikan penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan
bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan peraturan daerah ini; dan
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan peraturan
daerah ini, dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
(3) Sebagai tindak lanjut dari penyusunan RTRW ini, maka perlu disusun
rencana rinci tata ruang dalam bentuk penyusunan RDTR dan Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Nagekeo.
Ditetapkan di Mbay
pada tanggal, 9 Juli 2011
BUPATI NAGEKEO,
JOHANES SAMPING AOH
Diundangkan di Mbay
pada tanggal 9 Juli 2011
PLT. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN NAGEKEO
AHIM JUUF
WANGGOL LUDOVIKUS
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NAGEKEO TAHUN 2011 NOMOR 1
Penjelasan
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NAGEKEO
NOMOR 1 TAHUN 2011
T E N T A N G
RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NAGEKEO
TAHUN 2011-2031
UMUM
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, RTRW Kabupaten Nagekeo 2011 – 2031 juga
merupakan penjabaran RTRW Propinsi Nusa Tenggara Timur 2011 – 2031 ke
dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten adalah rencana pengembangan
kabupaten yang disiapkan secara teknis dan non-teknis oleh Pemerintah
Daerah yang merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi
wilayah kabupaten termasuk ruang di atasnya yang menjadi pedoman
pengarahan dan pengendalian dalam pelaksanaan pembangunan kabupaten.
Bahwa RTRW Kabupaten Nagekeo tahun 2011-2031 merupakan perwujudan
aspirasi masyarakat yang tertuang dalam rangkaian kebijaksanaan
pembangunan fisik Kabupaten Nagekeo.
Merupakan pedoman, landasan dan garis besar kebijaksanaan bagi
pembangunan fisik Kabupaten Nagekeo dalam jangka waktu 20 tahun, dengan
tujuan agar dapat mewujudkan kelengkapan kesejahteraan masyarakat dalam
hal memiliki kabupaten yang dapat memenuhi segala kebutuhan fasilitas.
Berisi suatu uraian keterangan dan petunjuk-petunjuk serta prinsip pokok
pembangunan fisik kabupaten yang berkembang secara dinamis dan didukung
oleh pengembangan potensi alami, serta sosial ekonomi, sosial budaya, politik,
pertahanan keamanan dan teknologi yang menjadi ketentuan pokok bagi
seluruh jenis pembangunan fisik, baik yang dilaksanakan Pemerintah
Kabupaten Nagekeo, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, maupun
Pemerintah Pusat dan masyarakat secara terpadu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal
17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar
pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur
pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang
disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana
rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang
harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona
pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan
tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien
dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis
sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana,
serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan
ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Untuk mengendalikan perkembangan kawasan budi daya
yang dikendalikan pengembangannya, diterapkan
mekanisme disinsentif secara ketat, sedangkan untuk
mendorong perkembangan kawasan yang didorong
pengembangannya diterapkan mekanisme insentif.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang
terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki
sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NAGEKEO NOMOR 1
Lampiran I : Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Nagekeo
Lampiran II : Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Nagekeo
Lampiran III : Peta Rencana Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten Nagekeo