Rencana Strategis Riset Karbon Laut Di Indonesia Edisi II-2010

download Rencana Strategis Riset Karbon Laut Di Indonesia Edisi II-2010

of 77

description

Proper citation:Pranowo, W.S., N.S. Adi, A. Rustam, T.L. Kepel, B.A. Subki, T.R. Adi, S. Wirasantosa.: Rencana Strategis Riset karbon Laut di Indonesia Edisi II Tahun 2010, ISBN: 978-602-9086-18-8, 77 halaman, 2010.

Transcript of Rencana Strategis Riset Karbon Laut Di Indonesia Edisi II-2010

RENCANA STRATEGIS RISET KARBON LAUT DI INDONESIAEdisi II - Tahun 2010

Penyusun: 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. Widodo Setiyo Pranowo Novi Susetyo Adi Agustin Rustam Terry Louis Kepel Berny Achmad Subki Tukul Rameyo Adi Sugiarta Wirasantosa

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik IndonesiaGedung BRKP Lantai 3, Jl. Pasir Putih I, Jakarta 14430, Tel. 021-64711583, Fax. 64711654

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena buku mengenai Rencana Strategis Riset Karbon di Indonesia Edisi 2 Tahun 2010 sebagai sumbangsih kepada program nasional terkait adaptasi perubahan iklim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (Puslitbang SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini adalah pembaruan dari edisi 1 Tahun 2009, dengan adanya rencana aksi nasional riset 2011-2014 melalui program kerjasama Indonesia-Jerman Science for Protection Indonesian Coastal Marine Ecosystems (SPICE) Tahap III Topik 2 tentang The climate change and the oceans yang dikoordinatori oleh Badan Litbang KP, Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK), dan Leibniz-Center for Tropical Marine Ecosystem Research (ZMT-Bremen). Kami memberikan penghargaan yang tinggi dan mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini.

Jakarta, 31 Desember 2010 Tim Penyusun

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Atmosfer bumi saat ini mengandung sekitar 380 ppm (parts per million) karbon dioksida (kondisi terbaru pada Februari 2011 yaitu sekitar 391 ppm berdasarkan data NOAA), jauh lebih banyak dibanding angka 280 ppm pada tahun 1800. Namun angka tersebut ternyata hanya setengah dari CO2 yang dilepaskan ke udara selama periode 1800 hingga sekarang, diduga sisanya telah diserap lautan. Hasil penelitian NOAA tahun 2004 menunjukkan bahwa "Lautan telah mengambil 48 persen CO2 yang dilepaskan ke atmosfer melalui pembakaran dan industri."

(Christopher L. Sabine, Science, 2004). Secara keseluruhan, antara tahun 1800 hingga 1994, lautan menyerap 118 milyar metrik ton karbon yang sebelumnya dibuang ke udara. Jumlah itu berarti dalam periode tersebut lautan ibarat telah menampung bobot dari 118 milyar mobil kecil. Walau sudah menyerap berton-ton CO2, namun lautan masih mampu menerima gas tersebut selama berabad-abad ke depan, karena air laut bercampur secara perlahan dan sebagian besar CO2 berada di bagian permukaan. Larutnya CO2 ke dalam air laut menghasilkan senyawa asam (Richard A. Feely, Science, 2004) dan proses tersebut akan mempengaruhi kehidupan laut. Pertanyaan yang penting adalah seberapa besar perairan Indonesia menyerap CO2? mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas perairannya 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial 0,3 juta km 2, perairan Nusantara 2,9 juta km2, dan Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km 2. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Indonesia mencakup lebih dari dua per tiga dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur atau menghitung tingkat penyerapan CO2/karbon oleh laut antara lain: 1. Pengukuran insitu yaitu menggunakan parameter berupa karbon anorganik terlarut, alkalinitas, Fugasitas CO2 (CO2 fugacity), dan pH untuk menghitung CO2 atau PCO2 (tekanan parsial CO2); 2. Pemodelan ekologi / ekosistem seperti Ecological North Sea Model Hamburg (ECOHAM), Ecological Simulation (ECOSIM/ECOPATH), Carbon-cycle Model Intercomparison Project (OCMIP); dan Ocean

ii

3. Pendekatan empirik menggunakan persamaan yang menghubungkan antara CO2 atau PCO2 dengan variabel lain seperti suhu, kecepatan angin, dan lain-lain; 4. Penginderaan jauh yang didasarkan pada hubungan empirik secara langsung atau tidak langsung antara CO2 atau PCO2 dengan produk penginderaan jauh, misalnya SST; 5. Penyerapan Spesies (Spesies Uptake) dilakukan dengan mengkultur spesies tertentu misalnya algae, mangrove, dan lain-lain dan melihat pola penyerapannya terhadap beberapa konsentrasi CO2 yang diberikan; 6. Integrasi yaitu pendekatan kompleks yang menggabungkan ke-5 pendekatan sebelumnya. Untuk mendapatkan tingkat penyerapan CO2 atau konsentrasi CO2 di laut yang diperlukan antara lain adalah pengukuran karbon anorganik terlarut, alkalinitas, Fugasitas CO2 (CO2 fugacity), pH, TCO2 dan PCO2.Prosedur sampling dan peralatan yang diperlukan dijelaskan secara detil pada publikasi resmi dari North Pacific Marine Science Organization (PICES) (www.pices.int) yang ditulis oleh Dickson et.al (2007). Terdapat beberapa penelitian karbon laut di Indonesia, antara lain preliminary study potensi laut sebagai penyerap CO2 yang dilakukan oleh PRWLSDNH. Dari penelitian tersebut ditarik kesimpulan yaitu meskipun dalam skala global perairan di wilayah tropis berpotensi sebagai sumber pelepas CO2, dari hasil studi awal dapat ditunjukkan bahwa perairan Indonesia memiliki variabilitas baik sebagai pelepas, maupun sebagai penyerap CO2. Dua kawasan yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan CO2 yakni perairan Arafura dan perairan Selatan Jawa. Hasil studi awal juga menunjukkan bahwa tekanan parsial CO2 laut memegang peranan vital dalam proses transfer atau aliran CO2 dari atmosfer ke laut dan sebaliknya sehingga tingkat akurasi perhitungan tekanan parsial CO2 laut sangat dibutuhkan. Studi karbon di sungai Brantas, Jawa Timur telah dilakukan oleh Edvin Aldrian dkk. dari BPPT. Kegiatan penelitian berupa pengukuran konsentrasi dan fluks dari dissolved dan particulate organic dan inorganic carbon secara bulanan dari bulan Juli 2005 hingga Juni 2006 di DAS Sungai Brantas, yang merupakan sungai bertipe tropical mountainous berukuran sedang dan kedua terpanjang di Pulau Jawa. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan musiman pada fluks karbon. Fluks dissolved inorganic carbon (DIC) lebih besar 9,3 kali dan fluks dissolved organic iii

carbon (DOC) lebih besar 532 kali pada musim hujan (Oktober hingga April) dibandingkan pada musim kemarau. Kegiatan studi potensi karbon laut di Indonesia dengan menggunakan simulasi model dilakukan pada tahun 2008 oleh PRWLSDH. Kegiatan ini menghasilkan peta bulanan produktifitas primer laut indonesia berbasis karbon untuk tahun 2006, data primer mengenai kondisi Teluk Banten, parameter parameter input untuk simulasi model, dan persiapan untuk simulasi pemodelan HAMSOM, ECOHAM dan OCMIP. Model ekosistem dipadukan dengan model hidrodinamika dan model karbon laut merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mempelajari sistem penyerapan karbon di laut yang sangat kompleks. Kegiatan ini diteruskan pada tahun 2009 untuk mendapatkan hasil mengenai estimasi penyerapan karbon oleh lautan Indonesia. Studi penyerapan karbon oleh berbagai jenis fitoplankton dilakukan oleh BPPT. Untuk meningkatkan sistem penyerapan karbon di Indonesia, BPPT akan mengembangkan teknik pengembangbiakan fitoplankton yang disebut Foto Bio Reactor. Target selanjutnya adalah mengembangkan desain reaktor untuk mendapatkan siklus hidup fitoplankton yang lebih panjang, selain itu dikembangkan juga tangki untuk panen. Bekerja sama dengan LIPI dan IPB, akan dibangun pabrik skala laboratorium di Serpong yang dimulai Januari 2008 dan diperkirakan akan mulai beroperasi Juni 2008, dan akan berlangsung hingga tahun 2010. Selanjutnya BPPT merencanakan pengembangan fitoplankton air tawar. Pengembangan foto bioreaktor ini akan mengacu pada teknik yang dikembangkan di Jerman. Di Universitas Bremen, bioreaktor yang diisi fitoplankton diterapkan untuk menyerap CO2 hasil pembakaran pada pembangkit listrik tenaga batubara. Untuk kapasitas 5.000 ton per hari, CO2 yang diserap mencapai satu persennya. Pada tahap pertama daya serapnya 500 ton gas karbon per tahun. Pengembangan teknologi ini targetnya 15.000 ton CO2 per tahun. Dr. Alan F. Kolopitan dari IPB melakukan riset siklus karbon di Laut Jawa dengan mempertimbangkan sistem karbonat laut, arus laut, dan suplai dari daratan. Dengan data yang ada, telah dikembangkan model matematika untuk mencoba meniru mekanisme di Laut Jawa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 0,003 mol C/m2/tahun. Angka ini termasuk kecil (kurang dari 0,1%) dibanding dengan peluang pelepasan karbon pada lokasi upwelling ekuator di Lautan Pasifik, yang merupakan carbon iv

source terbesar dari perairan global.

Beberapa publikasi di jurnal internasional

menunjukkan bahwa daerah upwelling umumnya bersifat sebagai carbon source. Penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga kelautan Jepang (sekitar Agustus 2005) di lepas pantai Barat Sumatra (lokasi upwelling) menunjukkan nilai perbedaan tekanan parsial CO2 antara laut dan udara pada kisaran +16 sampai +27 atm. Nilai positif menunjukkan bahwa perairan ini bersifat sebagai carbon source. Hasil riset lainnya (Februari 1984), dilakukan oleh lembaga meteorologi Jepang, menunjukkan hasil pengukuran perbedaan tekanan parsial sepanjang jalur yang memotong perairan selatan memasuki Selat Lombok, Selat Makassar sampai ke arah Laut Sulawesi, yang menunjukkan nilai positif berkisar pada +4 sampai +20 atm. Hasil kajian-kajian ini merupakan masukan penting dan amunisi utama bagi Indonesia dalam perdagangan karbon dunia. Hingga saat ini, memasukkan unsur penyerapan laut dalam perdagangan emisi belum lazim dilakukan pada pelaksanaan protokol Kyoto, hal ini karena belum adanya inisitatif dari negara kepulauan seperti Indonesia. Berhubung perdagangan emisi akan dihubungkan dengan remisi karbon berupa insentif yang mungkin diterima sebuah negara, maka rencana strategis riset karbon laut di Indonesia sangat diperlukan dan dimasukkan dalam perhitungan emisi lokal disamping penyerapan oleh hutan. Sehingga dapat mendorong dimasukkannya sektor laut dalam mekanisme CDM dan memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perundingan internasional tentang kebijakan perubahan iklim Oleh karena alasan itulah diperlukan strategi bagaimana melakukan riset karbon laut di Indonesia, yang secara garis besar berupa dua rekomendasi dasar. Kedua rekomendasi dasar itu adalah Penyusunan Rencana Penelitian Strategis Karbon Laut 2010-2014 dan Pembentukan Kelompok Riset Lingkungan Laut & Pesisir. Kegiatan Penelitian Karbon Laut dalam kurun waktu 5 tahun ke depan (2010 2014) paling tidak difokuskan pada 4 Penelitian. Pertama yaitu Pemantauan Lingkungan Pesisir dan Laut di wilayah potensi (termasuk daerah CTI bagian Indonesia) dan hubungannya dengan perubahan iklim. Tujuannya yaitu untuk (1) mengetahui karakteristik lingkungan pesisir, (2) mengetahui indeks ekologi sumberdaya pesisir, (3) mengetahui penyebab tekanan terhadap sumberdaya pesisir, dan (4) mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap karakteristik sumberdaya pesisir. Target tahun 2009-2011 mencakup Wilayah Indonesia Barat (Teluk Banten dan Teluk Bungus dan Kepulauan v

Mentawai), target tahun 2012-2013 Wilayah Indonesia bagian Tengah (Nusa Tenggara Barat/ NTB dan Kepulauan Togean), dan target tahun 2014 Wilayah Indonesia Timur (Teluk Cendrawasih). Kedua yaitu Pengembangan Basisdata dan Pemetaan Lingkungan sebagai Hasil dari Pemantauan Lingkungan Terpadu Secara Berkesinambungan (timeseries). Tujuannya meliputi (1) penyusunan basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir dan memetakannya secara kontinu dan berkelanjutan, serta (2) analisa untuk mengetahui perkembangan kondisi lingkungan bio-fisik lingkungan laut dan pesisir terkait dengan proses penyerapan karbon serta perubahan iklim. Target

tahun 2009-2011 yaitu terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Barat, target tahun 2012-2013 yaitu terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Tengah, dan target tahun 2014 yaitu terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Timur. Ketiga yaitu Pemodelan Ekologi Laut dan Penyerapan Karbon Laut, dengan tujuan mengembangkan model-model kopel dinamika dan ekologi secara terpadu untuk memantau dan memprediksi kecenderungan kondisi bio-fisik lingkungan laut dan pesisir. Target tahun 2009-2011 yaitu knowledge-based tentang karbon laut & adaptasi model-model numerik, target tahun 2012-2013 yaitu integrasi dan kopel model fisik dan lingkungan, dan target tahun 2014 yaitu model prediksi peringatan dini kerusakan lingkungan bio-fisik laut dan pesisir. Keempat yaitu Aplikasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir. Tujuannya yaitu (1) mengkaji penerapan produk-produk penelitian ke dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, dan (2) mengkaji pengembangan strategi dan kebijakan pengelolaan dan konservasi lingkungan laut dan pesisir. Target pada tahun 2009-2012 yaitu evaluasi peranan laut sebagai penyerap karbon secara periodik, dan target tahun 2013-2014 yaitu perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan laut dan pesisir berbasis penelitian. Pembentukan Kelompok Riset (Keris) Lingkungan Laut dan Pesisir sudah benar-benar mendesak untuk menyelenggarakan riset-riset yang sangat dibutuhkan dalam rangka menjawab isu-isu kelautan terkini seperti isuperubahan iklim dan karbon laut. Keberadaan kelompok riset ini juga diperlukan untuk mengimplementasi amanah pembangunan kelautan yang tertuang dalam dokumen RPJP 2025.

vi

Dalam hal ini, Pusat Riset Wilayah Laut (PRWLSNH) telah memiliki dukungan sumberdaya riset baik dukungan SDM maupun dukungan sarana dan prasarana riset. Kekuatan SDM riset PRWLSNH untuk mendukung kegiatan ini kurang lebih 10 peneliti, terdiri dari 2 peneliti senior , dan 8 peneliti muda, dan 1 perekayasa/ahli instrumentasi. Sementara itu sarana dan prasarana riset yang telah dimiliki PRWLSNH meliputi perangkat pengolahan data, perangkat lunak pemodelan numerik, perangkat lunak pengolahan citra dan SIG, serta wahana riset inflatable boat. Pada tahun 2010 terjadi perubahan nomenklatur dari Departemen Kelautan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal ini memberikan dampak bagi satuan kerja riset yang harus meningkatkan perannya bukan hanya sebagai berkecimpung di bidang penelitian saja melainkan harus bertindak sebagai pengembang hasil penelitian tersebut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) menjadi Badan Penelitiian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), kemudian PRWLSH menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Laut dan Pesisir (Pusat Litbang SDLP). Puslitbang ini mempunyai wilayah kerja seluruh Indonesia dengan dibantu oleh 2 satuan kerja Unit Pelayanan Teknis (UPT), yakni: Balai Riset Observasi laut (BROK) di Perancak Bali, dan Loka Riset Kerentanan Pesisir dan laut (LRKPL) di Teluk Bungus Sumatera Barat. Pusat Litbang SDLP ini juga berperan dalam koordinasi dengan instansi negara lainnya dalam hal penelitian dan pengembangan kelautan di Indonesia, salah satunya adalah Program kerjasama riset Indonesia-Jerman Science for Protection Indonesian Coastal Marine Ecosystems (SPICE) III Topik 2 Climate change & the ocean: Carbon sequestration in Indonesian Seas & their global significance (generation of scientific knowledge for formulating strategies for adaptation to climate change). Melanjutkan riset SPICE tahap sebelumnya, akan dilakukan penyusunan rencana riset SPICE III Topik Kedua, yang bertujuan untuk meneliti dampak perubahan iklim dan degradasi lahan gambut terhadap siklus karbon pada ekosistem pesisir (misalnya padang lamun, terumbu karang dan sistem pelagis), serta perannya dalam penyerapan karbon dan pengembangan kebijakan ekonomis strategi mitigasi untuk mengimbangi emisi karbon lahan gambut. Targetnya yaitu (1) terwujudnya basis data dampak anomali di sistem laut-atmosfer dan dampak berbagai skenario emisi karbon lahan gambut terhadap siklus karbon global vii

sehingga

terbentuk

perangkat

kebijakan

ekonomis

strategi

mitigasi

untuk

mengimbangi emisi karbon lahan gambut, dan (2) terwujudnya basis data lingkungan bio-fisik ekosistem pesisir dan siklus karbon pesisir sepanjang pesisir Indonesia, serta dampak kegiatan manusia terhadap siklus karbon pada ekosistem tersebut.

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

i ii ix xi xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Laut sebagai penyerap karbon 1.3 Proses pompa biologi dan pompa solubilitas di laut 1.4 Proses penyerapan karbon oleh laut 1.5 Proses penyerapan karbon oleh sedimen dasar laut 1.6 Peran anthropogenik terhadap siklus Karbon 1.7 Pendekatan umum kajian (siklus) karbon 1.7.1 Pengukuran In situ 1.7.2 Pemodelan ekologi/ekosistem 1.7.3 Pendekatan empirik 1.7.4 Pendekatan dengan penginderaan jauh 1.7.5 Pendekatan secara laboratorium kultur spesies 1.7.6. Pendekatan secara terintegrasi (multi-metode) II. PENELITIAN KARBON LAUT DI INDONESIA PERIODE 20052010 1. Studi awal potensi laut Indonesia sebagai penyerap karbon 2. Studi Karbon di Sungai Brantas, JawaTimur 3. Studi pendahuluan karbon berdasarkan produktivitas primer laut Indonesia data I-1 I-1 I-4 I-5 I-7 I-7 I-8 I-10 I-10 I-11 I-13 I-14 I-14 I-14 II-1

II-1 II-4

satelit II-4

4. Studi penyerapan karbon oleh berbagai jenis fitoplankton 5. Penyerapan karbon oleh laut Jawa

II-6 II-7 ix

6. Kajian dan monitoring karbon laut di Teluk Banten 7. Pengukuran karbon di perairan Teluk Jakarta

II-9 II-28

III.

RENCANA PENELITIAN KARBON PERIODE 2010-2014 3.1 Kebutuhan riset karbon laut & peluang kerjasama 3.1.1 Kebutuhan penelitian karbon Laut 3.1.2 Peluang melalui kerjasama penelitian a. Kerjasama pemantauan melalui jaringan Seagrass-net b. Kerjasama regional konservasi taman nasional laut c. Kerjasama di bidang penginderaan jauh d. Kerjasama Coral Triangle Initiative (CTI) e. Kerjasama di bidang pengembangan basis data dan pemodelan numerik karbon laut f. Aplikasi atau pengembangan untuk pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir Dukungan sumberdaya penelitian dan pengembangan

III-1 III-1 III-1 III-2 III-2 III-3 III-4 III-5 III-7 III-8

3.2 3.3

III-8

Rencana Kerjasama penelitian karbon laut konsorsium III-9 Indonesia-Jerman DP-1

DAFTAR PUSTAKA

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

Judul Episode La Nina yang ditandai oleh temperatur muka air laut dingin (Cold) dan La El Nino dimana temperatur air laut hangat (Warm) di Samudera Pasifik tropis (150 Bujur Barat) berdasarkan periode Monsun sepanjang 1952 - 2002. Episode lemah ditandai dengan C- atau W-, menengah ditandai dengan C atau W, sedangkan kondisi normal ditandai dengan N (Putri, 2005). Batas imaginer laut dan samudera berdasarkan geografis nama di sepanjang garis lintang 5.244 65.36S yang membelah koordinat bujur 106.31E pada Gambar 2.9. (diolah dari berbagai sumber) Batas imaginer laut dan samudera berdasarkan iklim di sepanjang garis lintang 5.244 65.36S yang membelah koordinat bujur 106.31E pada Gambar 2.9 (diolah dari berbagai sumber) Skenario Laut Jawa sebagai pelepas (positif pCO2) atau penyerap CO2 (negatif pCO2), dimana pCO2 dihitung menggunakan formula 5.4. Nilai rerata parameter Karbon dan kualitas air terukur Maret, Mei, Juli 2010 Kompilasi nilai R2 dari hasil analisa regresi linear tunggal antara pCO2 dengan masing-masing DIC, TALK, pH, Fosfat, Silikat, Nitrat, Klorofil, Temperatur dan TSS bulan Maret dan Juli 2010 Skenario Teluk banten sebagai pelepas (positif pCO2) atau penyerap CO2 (negative pCO2), dimana pCO2 dihitung menggunakan formula 5.4.

Hal. II-13

2.2

II-14

2.3

II-15

2.4

II-20

2.5

II-21

2.6

II-27

2.7

II-28

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul 1.1 1.2 Efek GRK (sumber: www.eohandbook.com, 2007)

Hal. I-3

Proses fisik & biologi yang terjadi di Laut. Selama jutaan I-3 tahun, lautan bertindak sebagai tanki yang teraduk sempurna. Proses masukan dan keluaran eksternal (oleh Matahari: aliran sungai, fotosintesis); atau internal (oleh Bumi: reaksi di punggungan tengah-lautan, uplift dan subduksi kerak lautan). (The Open University, 1996) Proses pompa biologi Siklus karbon Fluks CO2 tahunan Deskripsi model ECOHAM Deskripsi model OCMIP (Koropitan, 2008) I-4 I-8 I-9 I-11 I-12

1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 2.1

Aliran bersih (net flux) CO2 di perairan Indonesia selama bulan II-2 Februari (gram CO2 m-2 tahun-1) Aliran bersih (net flux) CO2 di perairan Indonesia selama bulan II-2 Agustus (gram CO2 m-2 tahun-1) Peta bulanan produktivitas primer berbasis karbon laut di II-6 Indonesia pada tahun 2006. Batimetri Teluk Banten berdasarkan berdasarkan GEBCO 2008 resolusi 30 arcsec (~90 meter) data II-10

2.2

2.3

2.4

2.5

Profil Teluk Banten hingga Laut Jawa bagian barat di sektar II-11 Pulau Tunda berdasarkan data citra satelit Landsat ETM 2008 Pola arus rerata pasang surut di Pulau Kubur dan Pulau II-11 Besar, Teluk Banten (Hoitink& Hoekstra, 2003) Pola arus permukaan akibat seretan angin monsun (Wyrtki, II-12 1961); kiri atas: Februari mewakili Monsun Timur; kanan atas: April mewakili peralihan Monsun Timur ke Monsun Barat; kiri bawah: Juni mewakili Monsun Barat; kanan bawah: Agustus mewakili peralihan Monsun Barat xii

2.6

2.7

2.8

Pola distribusi frekuensi angin (gambar kiri) dan gelombang II-12 (gambar kanan) yang dibangkitkannya (wind waves) yang terjadi di Laut Jawa selama musim hujan 1998-1999 (Hoitink, 2003) Stasiun pengamatan yang diambil dan digunakan dalam II-14 analisa ini Total CO2 di Bujur 106-114 BT di sepanjang lintang 5.244 II-15 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan Total CO2 di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS yang II-16 membelah koordinat bujur 106.31BT, terhadap penampang vertical kedalaman laut. Zoom dari Gambar 2.11 hingga kedalaman maksimum 20 m. II-16 Perairan terdangkal di sekitar 52.44 LS adalah di Laut Jawa mendekati/sekitar Teluk Banten Alkalinitas di Bujur 106-114 BT di sepanjang lintang 5.244 II-17 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan Alkalinitas di sepanjang lintang 5.244 65.36 LSyang II-17 membelah koordinat bujur 106.31BT, terhadap penampang vertical kedalaman laut Antropogenik CO2 di Bujur 106-114 BT di sepanjang lintang II-18 5.244 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan Antropogenik CO2 di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS II-18 yang membelah koordinat bujur 106.31BT, terhadap penampang vertikal kedalaman laut Distribusi DIC (panel kiri) dan pCO2 (panel kanan) di Laut II-19 Jawa lapisan permukaan Distribusi pH (panel kiri) dan total Alkalinitas (panel kanan) di II-19 Laut Jawa lapisan permukaan Distribusi Fosfat (panel kiri) dan Silikat (panel kanan) di Laut II-19 Jawa lapisan permukaan DistribusiTemperatur (panel kiri) dan Salinitas (panel kanan) di II-19 Laut Jawa lapisan permukaan Sebaran C* (karbon antropogenik) di Teluk Banten Maret dan II-22 Juli 2010 xiii

2.9

2.10

2.11

2.12

2.13

2.14

2.15

2.16

2.17

2.18

2.19

2.20

2.21

2.22

Sebaran DIC dan Total Alkalinitas Teluk Banten Maret dan II-22 Juli 2010 Variabilitas klorofil di Teluk Banten Maret, Mei dan Juli 2010 II-23

2.23 2.24

Variabilitas pH dan salinitas di Teluk Banten pada bulan Maret II-23 dan Juli 2010 Variabilitas pCO2air laut bulan Maret dan Juli 2010 di II-24 TelukBanten Konsentrasi pCO2 bulan Juli dan Agustus 2009. Satuan yang II-24 digunakan adalah atm (Adi & Rustam, 2010) Sebaran nutrient di Teluk Banten bulan Maret, Mei danJuli II-25 2010 Perubahan spesiasi silikat, fosfat dan nitrogen terhadap pH II-25 dimana kotak merah merupakan perkiraan pergeseran pH akibat perubahan iklim (Heppelwhite, 2010) Sebaran differential pCO2 Teluk Banten bulan Maret dan Juli II-26 2010 berdasarkan tiga skenario (pCO2 atm: scen 1= 379 atm, scen 2 = 385 atm dan scen 3= 475 atm) Fraksi kadar relative spesies CO2 ,HCO3-dan CO32-pada II-26 kondisi pH tertentu (Lohman, 2005) Jaringan penelitian dan pemantauan Seagrass-net III-3

2.25 2.26

2.27 2.28

2.29

2.30

3.1 3.2

Skema penginderaan jauh untuk penelitian dan pemantauan III-5 ekosistem pesisir Lokasi yang potensial untuk pilot penelitian dalam rangka III-14 kerjasama SPICE III Topik 2 Skema kompleksitas interaksi laut dan atmosfer yang III-15 berpotensial mempengaruhi variabiliotas fluks karbon laut yang akan dikembangkan menjadi penodelan numeric hidrodinamika kopling dengan transpor/siklus karbon dalam rangka penelitian SPICE III topic 2 Skema rancangan awal perencanaan pelaksanaan penelitian SPICE III topic 2 III-15

3.3

3.4

3.5

xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktifitas manusia telah menimbulkan dampak terhadap perubahan iklim bumi (IPCC, 2001). Perubahan iklim global terutama diakibatkan oleh pengaruh emisi gas-gas seperti CO2, CH4, N2O, CF4, C2F6 yang menyebabkan terjadinya suhu udara seperti di rumah kaca yang kemudian dikenal sebagai Gas Rumah Kaca (GRK). Pada kondisi normal GRK berperan sebagai perangkap panas yang akan meninggalkan bumi, sehingga suhu di bumi lebih hangat dan dapat dihuni oleh manusia. Seperti diketahui semua panas yang diterima oleh bumi berasal dari matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,2 4,0 m, dikenal dengan radiasi gelombang pendek. Dari radiasi ini, 31% dipantulkan kembali, 23% diserap oleh ozon, uap air, awan dan debu di atmosfer, dan 26% diserap oleh daratan dan lautan di permukaan bumi. Komponen penyerap radiasi gelombang pendek ini memantulkan kembali gelombang yang diterimanya namun dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Gelombang panjang yang dipantulkan kemudian diserap oleh GRK di dalam lapisan atmosfer paling bawah, menyebabkan suhu pada lapisan tersebut meningkat. Jumlah panas yang terperangkap dan suhu atmosfer yang dihasilkan bervariasi secara langsung dengan konsentrasi GRK. Efek pemanasan yang ditimbulkan oleh GRK berbeda-beda karena perbedaan konsentrasi dan kemampuan untuk menyerap panjang gelombang yang berbeda. Diantara gas-gas tersebut, klorofluorokarbon memiliki efektifitas paling tinggi dalam memerangkap panas. Satu molekul klorofluorokarbon setara dengan 10.000 kali efektifitas karbon. Peningkatan klorofluorokarbon, walaupun sedikit, mampu membuat perubahan besar pada total penyerapan. Hal ini disebabkan karena klorofluorokarbon menyerap energi pada jendela antara 8 12 m yang masih penuh dengan radiasi yang tidak terserap. Sedangkan uap air dan CO2 walaupun memiliki konsentrasi yang besar di atmosfer, keduanya menyerap energi pada panjang gelombang yang lebih pendek dari 8 m atau

I-1

lebih panjang dari 12 sudah banyak diserap.

m, padahal energi pada panjang gelombang tersebut

Penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan CO2 di atmosfer sebesar 25% sejak 1850 yang disebabkan oleh pembakaran kayu, batu bara, minyak dan gas. Penggundulan hutan juga berperan penting terhadap pengurangan biomasa yang mengambil CO2 dari atmosfer. Selain itu, gas-gas seperti metan, nitrat oksida dan sebagainya juga mengalami peningkatan. Hal-hal tersebut menjadi perhatian dunia saat ini. Apabila konsentrasi gas-gas rumah kaca diketahui, maka penentuan laju pemanasan dapat diketahui karena hubungannya yang berbanding lurus. Hal yang sulit adalah menentukan perubahan suhu akibat perubahan laju pemanasan karena atmosfer dan / atau laut bereaksi terhadap meningkatnya pemanasan dengan proses-proses yang hasilnya berupa respon positif atau negatif. Semua model yang ada saat ini memprediksi bahwa peningkatan gasgas rumah kaca akan menyebabkan suhu bumi meningkat sekitar 1,5 5,50C bila konsentrasi CO2 berlipat, yaitu kira-kira pada tahun 2030 walaupun sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang keakuratan model. GRK telah menyebabkan bumi kian menjadi panas karena tersekap oleh kondisi yang dimunculkan oleh emisi gas yang diproduksi oleh kegiatan industri, transportasi dan aktivitas manusia lainnya yang mempergunakan sumber energi fosil (batubara, minyak bumi, gas) serta berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap CO2 akibat deforestasi. Gas ini mempunyai kemampuan menyerap radiasi panas matahari di atmosfer yang menyebabkan radiasi panas kembali ke bumi karena terjebak oleh gas buangan ini. Saat ini diperkirakan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah mengakibatkan lebih 50% dari total efek GRK. Kecenderungan peningkatan suhu bumi mulai terlihat sejak abad ke-20. Sejak 1900, suhu rata-rata dunia telah meningkat sebanyak 0,7 derajat Celsius. Dampak perubahan iklim saat ini dapat terlihat di berbagai belahan dunia, kekeringan semakin parah sehingga menimbulkan kebakaran hutan; dan gletser sedang mencair.

I-2

Gambar 1.1 Efek GRK (sumber: www.eohandbook.com, 2007)

Gambar 1.2. Proses fisik & biologi yang terjadi di Laut. Selama jutaan tahun, lautan bertindak sebagai tanki yang teraduk sempurna. Proses masukan dan keluaran eksternal (oleh Matahari: aliran sungai, fotosintesis); atau internal (oleh Bumi: reaksi di punggungan I-3 tengah-lautan, uplift dan subduksi kerak lautan). (The Open University, 1996)

1.2.

Laut sebagai penyerap karbon Laut adalah penyerap CO2 alami (natural CO2 sink) terbesar di bumi.

Peran ini dikontrol oleh dua proses utama yaitu pompa solubilitas (solubility pump) dan pompa biologi (biological pump). Pompa fisika terutama merupakan fungsi perbedaan solubilitas air laut dan faktor fisika, yaitu sirkulasi termohalin, sedangkan pompa biologi merupakan kesatuan proses biologi yang mentranspor karbon (organik maupun anorganik) dari permukaan laut ke dasar laut. Sirkulasi termohalin adalah bagian dari sirkulasi laut skala global yang dikontrol oleh gradien densitas akibat perbedaan suplai air tawar dan panas permukaan laut. Beberapa bagian karbon organik yang tertranspor ke dasar laut melalui mekanisme pompa biologi tersimpan dalam kondisi anoxic (tanpa oksigen terlarut) di bawah sedimen dasar laut dan pada akhirnya membentuk bahan bakar fosil seperti minyak dan gas alam. Gambar 1.3. memperlihatkan mekanisme pompa biologi

Gambar 1.3. Proses pompa biologi

I-4

Saat ini diperkirakan sepertiga (30 %) CO2 antropogenik (hasil proses manusia) diserap oleh laut. Namun demikian angka atau kemampuan laut dalam penyerapan CO2 masih bervariasi. Beberapa penelitian menyebutkan

kemampuan lautan hingga 50 % (e.g. Sabine et.al, 2004) dalam menyerap CO2. Penelitian lain menyebutkan bahwa dari total 4 5 Pg C yang diemisikan tiap tahun ke atmosfer sekitar 2 Pg C diserap laut, yang kurang lebih setara dengan 50 %-nya. Pompa solubilitas merupakan mekanisme utama transpor CO2 dari atmosfer ke laut dibandingkan pompa biologi. Hal ini dikarenakan fitoplankton sebagai komponen penyerap utama CO2 dari atmosfer sangat tergantung oleh cahaya dan nutrisi yang cukup bagi keberlangsungan hidupnya. Namun demikian peran fitoplankton dalam menyerap CO2 ini juga masih menjadi topik penelitian. Meningkatnya karbon anorganik total diketahui tidak berpengaruh terhadap produktivitas primer oleh fitoplankton di laut. Hal ini berbeda dengan tumbuhan di darat dimana naiknya CO2 di atmosfer dapat berfungsi sebagai pupuk (fertilizer). Namun demikian kenaikan CO2 di atmofer dapat

mengganggu fungsi pompa biologi karena menyebabkan proses pengasaman (ocean acidification) yang menghambat perkembangan organisme famili Cnidaria yang juga berperan dalam transpor CO2, yaitu organisme yang mempunyai cangkang atau mengandung kalsium karbonat, seperti coccolithophores, foraminiferans dan pteropods. Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh negatif terhadap mekanisme pompa biologi karena mengakibatkan pemanasan dan stratifikasi permukaan laut sehingga mengurangi suplai nutrien ke permukaan laut. 1.3. Proses pompa biologi dan pompa solubilitas di laut Transfer CO2 pada permukaan laut tergantung pada perbedaan antara tekanan parsial CO2 di permukaan air dan udara, dikalikan dengan koefisien transfer gas. Perbedaan tekanan parsial sangat kuat dipengaruhi oleh fiksasi karbon secara biologi, karena fotosintesis oleh fitoplankton mengurangi konsentrasi CO2 di permukaan laut. Selain itu jika air dingin dinaikkan dan

I-5

dihangatkan di permukaan, perubahan suhu yang terjadi akan meningkatkan tekanan parsial karena air hangat menjadi jenuh pada konsentrasi gas yang rendah dibandingkan dengan air dingin. Koefisien transfer gas tergantung faktorfaktor seperti kekuatan angin, derajat turbulensi di permukaan dan bentuk gelombang. Takahashi (1989) menyatakan bahwa fluks karbon bersih antara atmosfer dan lautan 0,3 Gt / tahun. Fluks terbesar dari lautan ke atmosfer berasal dari pemanasan air umbalan pada divergen equator (pusat equator). Meskipun pompa biologi terjadi kuat di sana, besarannya kurang dari pelepasan gas yang dihasilkan dari pemanasan air umbalan. Penenggelaman CO2 utama ditemukan pada daerah kutub dan subkutub. Pendinginan air ketika mengalir dari equator menuju kutub mengambil CO2 dari atmosfer, dan demikian juga formasi air laut dalam yang membawa sejumlah CO2 yang terserap untuk turun. Sebagai tambahan, pompa biologi yang terjadi di perairan sedang (temperate) membawa sejumlah besar karbon ke dalam interior lautan. Fiksasi biologi karbon terjadi secara kontinyu di lautan, tetapi polanya sangat kompleks. Prosesnya tergantung perubahan terang gelap, berupa siklus 24 jam atau berubah secara musim, dan juga tergantung lokasi seperti paparan kontinen atau laut terbuka, serta pada daerah umbalan (upwelling). Hingga saat ini estimasi laju fiksasi karbon skala global oleh fitoplankton disusun berdasarkan kompilasi pengukuran lapangan yang dilakukan pada lokasi dan waktu tertentu. Tetapi dengan menggunakan citra satelit ocean color saat ini dimungkinkan untuk membuat estimasi distribusi klorofil permukaan laut, meskipun nilai yang diberikan hanya berupa indikasi distribusi biomasa fitoplankton. Untuk mengkonversi distribusi biomasa tersebut ke laju fiksasi karbon perlu menggunakan algoritma dan pemodelan yang didukung oleh data lapangan. Ada dua kategori produktivitas primer: produksi regenerasi, dimana alga menggunakan sumber nitrogen dari amonia yang dikeluarkan oleh konsumer di dalam sistem dan produksi baru, dimana alga menggunakan nitrat yang naik ke permukaan (upwelled) dari bawah nutriklin.

I-6

1.4.

Proses penyerapan karbon oleh laut Produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton kemudian dikonsumsi oleh

zooplankton. Zooplankton memproduksi semacam pelet dalam berbagai ukuran dan laju penenggelaman. Cara untuk mengukur laju penenggalaman karbon dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan penjebak partikel (particle traps). Martin dkk. (1987) telah merekonstruksi profil vertikal dari penenggelaman senyawa organik hingga kedalaman 2000 m. Semakin dalam penjebak partikel ditempatkan, semakin sedikit material yang dikoleksi, dan ini memberi pentunjuk laju penguraian senyawa organik dalam perjalanannya turun ke dasar laut. Di dekat permukaan terjadi regenerasi CO2 yang cepat, artinya sebagian besar CO2 yang dipindahkan pada kedalaman 100 m ke atas siap melakukan pertukaran dengan atmosfer dalam kurun waktu 10 tahun. Akan tetapi hal itu tidak berlaku pada daerah tropis yang memiliki termoklin kurang dari 100 m, di wilayan tropis pertukaran dapat terjadi dalam beberapa dekade. Martin dkk. (1987) juga mengkonversi laju oksidasi karbon ke laju penggunaan oksigen dan membandingkan hasilnya. Laju pada kedalaman 100 m di Atlantik lebih rendah dibanding Pasifik, sedangkan laju pada kedalaman 200 500 m pada Atlantik hasilnya lebih tinggi daripada Pasifik. Mekanisme pompa biologi merupakan debat aktif hingga sekarang karena interpretasi dari pola penenggelaman fluks yang berbeda-beda ini cukup sulit dan kompleks. Zooplankton, misalnya, dapat memproduksi pelet yang mudah tenggelam dan mempercepat pergerakan karbon turun ke bawah; sedangkan bakteri memiliki ukuran tubuh kecil yang sulit untuk tenggelam sehingga memungkinkan fiksasi karbon berada dalam kondisi suspensi dan dapat dikonversi kembali ke CO 2 melalui respirasi bakteri. 1.5. Proses penyerapan karbon oleh sedimen dasar laut Tingkatan terakhir dari pemompaan biologi adalah sedimentasi di dasar laut. Dengan mempertimbangkan gyre lautan-lautan utama, laju fiksasi karbon oleh fitoplankton relatif kecil dan jumlah yang tenggelam diregenerasi menjadi

I-7

CO2 di kolom air sehingga sedimen laut dalam hanya menerima sedikit, beberapa gram m-2

karbon organik dalam setahun. Penelitian menunjukkan

akumulasi sedimen karbon yang terbesar bukan berada pada paparan kontinen (yang memiliki produktifitas primer yang tinggi), melainkan berada pada lereng paparan, karena adanya transportasi silang dan ekspor ke lereng kontinen sebesar 2,7 Gt karbon / tahun. 1.6. Peran anthropogenik terhadap siklus Karbon Dalam siklus karbon, sumber utama karbon di bumi berasal dari gunung api ditambah dengan pembakaran bahan bakar fosil (Gambar 1.4). CO2 pada atmosfer kemudian diserap oleh tumbuhan dan sebagian masuk ke lautan dengan melarut terlebih dahulu di lapisan permukaan laut. Cadangan karbon disimpan dalam batuan dan sedimen laut. Jika tidak ada lautan untuk membentuk sedimen, maka konsentrasi CO2 di atmosfer akan sangat tinggi hingga mendekati suhu di planet Venus (400 0C).

Gambar 1.4. Siklus karbon

I-8

Karena laut dan batuan sedimennya mengandung CO2 dari atmosfer dan tambahan lainnya, maka jelaslah bahwa proses yang mengontrol disposisi gas menjadi vital untuk memahami sistim iklim dunia. Setelah CO2 masuk ke dalam laut, ia bereaksi membentuk asam karbonat (H2CO3), ion bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO3-2) (Takahashi 1989). Di lapisan permukaan, karbon tersebut membentuk senyawa kimia, rangka dan cangkang, terutama pada musim semi. Ketika organismenya mati, rangka dan cangkang ini terurai kembali menjadi karbon tetapi sebagian tenggelam dan terkubur dalam sedimen. Fluks karbon di luar zona euphotic hingga lapisan yang lebih dalam disebut pompa karbon biologi. Semakin ke dalam, konsentrasi karbon meningkat dari 2,0 nmol kg -1 pada permukaan hingga 2,2 2,4 nmol kg-1

pada kedalaman 1000 m. Dari 1000 m sampai dasar, konsentrasi hanya sedikit

bertambah atau berkurang. Konsentrasi CO2 dibawah 1000 m pada Samudera Pasifik Utara berbeda sebesar 10% lebih tinggi dibandingkan Atlantik Utara. Perbedaan ini karena adanya perbedaan pada laju sirkulasi laut dalam. Laut dalam melewati Atlantik lebih cepat dibandingkan Pasifik (Takahashi 1989; Takahashi et.al. 2002, Gambar 1.5) sehingga tidak banyak waktu yang tersedia untuk memompa CO2 ke lapisan bawah.

Gambar 1.5. Fluks CO2 tahunan.

I-9

1.7. Pendekatan umum kajian (siklus) karbon Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur atau menghitung tingkat penyerapan CO2 / karbon oleh laut.

1.7.1. Pengukuran In situ Pengukuran secara langsung individu CO2 di laut sulit dilakukan sulit dilakukan secara langsung (Dickson et.al, 2007) sehingga metode yang dikembangkan adalah mengukur parameter-parameter yang berkaitan dengan sistem karbon di laut dan kemudian menghitung CO2 atau PCO2 (tekanan parsial CO2) dari hubungan parameter-parameter tersebut. Keempat parameter tersebut yaitu (Dickson et.al, 2007) : karbon anorganik terlarut alkalinitas Fugasitas CO2 (CO2 fugacity) pH Perhitungan ideal didapatkan jika ke-4 parameter tersebut diukur, namun demikian pengukuran dua saja dari ke-4 parameter tersebut cukup digunakan untuk menghitung CO2. Kesimpulan akhir sebagai source / sink CO2 dilakukan dengan membandingkan hasil akhir PCO2 ato CO2 dengan konsentrasi di atmosfer (CO2 = 380 ppm, IPCC, 2001). Untuk mendapatkan tingkat penyerapan CO2 atau konsentrasi CO2 di laut yang diperlukan antara lain adalah pengukuran karbon anorganik terlarut, alkalinitas, Fugasitas CO2 (CO2 fugacity), pH, TCO2 dan PCO2. Prosedur sampling dan peralatan yang diperlukan dijelaskan secara detil pada publikasi resmi dari North Pacific Marine Science Organization (PICES) (www.pices.int) yang ditulis oleh Dickson et.al (2007). Publikasi tersebut dapat diakses secara gratis lewat internet ataupun permintaan pengiriman lewat pos.

I-10

1.7.2. Pemodelan ekologi/ekosistem Metode ini dilakukan untuk memodelkan siklus karbon pada suatu perairan dengan memasukkan grup fungsional pada sistem tropik (fitoplankton

sebagai produsen, zooplankton sebagai konsumen dan sebagainya) dan proses dekomposisi. Pemodelan ekologi atau ekosistem seperti ini dilakukan untuk memperhitungkan secara detil komponen-komponen yang memanfaatkan karbon di laut untuk mengetahui tingkat penyerapan karbon di laut. Contoh model seperti ini antara lain adalah Ecological North Sea Model Hamburg (ECOHAM), Ecological Simulation (ECOSIM/ECOPATH), Ocean Carbon-cycle Model Intercomparison Project (OCMIP) dan lain-lain. Berikut ini diberikan contoh deskripsi model ECOHAM dan OCMIP:

Gambar 1.6. Deskripsi model ECOHAM (Moll, 1998)

I-11

Solar radiation

Biogeochemical Model DevelopmentAIR-SEA FLUX FCO2N/P ratio Nitrification

PO4N/C ratio

NH4

NO3

TOTAL CO2 (TCO2) CO2-UptakeCarbonate system (OCMIP-3)

Nutrient-Uptake (A1F) Min(NO3+NH4,PO4) F Phytoplankton (1- )A3Z Grazing Z Zooplankton A4Z Z Excretion/mortality A5D Pel. Decomp. A6D Bot. Decomp. PD Pel. Detritus BD Bot. Detritus A3Z Egestion A2F F Mortality

A6D Bot. Decomp.

-Dep/+resusp Cohesive sed.

Gambar 1.7. Deskripsi model OCMIP (Koropitan, 2008)

Pemodelan ekosistem / ekologi tersebut dalam perkembangannya sering digabungkan (coupled) dengan model hidrografi / oseanografi untuk

memperhitungkan sirkulasi, transpor dan mixing CO2 di laut, misalnya Ocean General Circulation Models (OGCMs). Walaupun pemodelan ekosistem / ekologi ini kompleksitasnya cukup tinggi namun sangat berguna untuk

mengekstrapolasikan pola penyerapan CO2 pada wilayah luas tanpa harus melakukan pengukuran in situ secara langsung di lapangan.

I-12

1.7.3. Pendekatan empirik Pendekatan empirik dilakukan dengan menggunakan persamaan yang menghubungkan antara CO2 atau PCO2 dengan variabel lain seperti suhu, kecepatan angin, dan lain-lain. Sebagai contoh Adi et al (2007) menggunakan beberapa persamaan empirik untuk menghitung tingkat penyerapan CO2 oleh laut Indonesia. Persamaan-persamaan yang digunakan antara lain : Penghitungan aliran CO2 di interface udara-laut air F ks ( pCO2sea pCO2 )

(1)

dimana F adalah flux atau aliran, k adalah kecepatan transfer gas, s adalah solubilitas (kelarutan) CO2 di dalam air laut dan pCO2sea serta pCO2air adalah tekanan parsial CO2 di dalam laut dan di udara. Perbedaan yang terjadi dalam dua variable terakhir tersebut menentukan arah pertukaran, dan nilai k mengontrol laju perpindahannya. Dalam hal ini, nilai k ditentukan oleh keadaan fisis di permukaan laut, terutama oleh angin dan suhu permukaan laut. Berdasarkan persamaan (1), kemudian digunakan formula WM99 untuk memparameterisasikan kecepatan transfer gas:

kWM 99

3 0.0283u10 (

Sc ) 660

0.5

(2)

dimana k dalam satuan cm hr-1, u10 adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m (m s-1), Sc adalah bilangan Schmidt yang tidak berdimensi yang dihitung dari:Sc 2073.1 125.62SST 3.628SST 2 0.0432SST 3

(3)

SST adalah suhu permukaan laut dalam satuan derajat Celcius (oC). Bilangan Schmidt adalah kekentalan air laut dibagi dengan koefisien difusi molecular dari CO2 di air laut. Solubilitas atau kelarutan dalam satuan moles L -1 atm-1 , solubilitas yang digunakan berdasarkan formula Murray dan Riley (1971). Hasil akhir dari penelitian Adi et.al (2007) tersebut adalah peta pola penyerapan CO2 di wilayah perairan Indonesia.

I-13

1.7.4. Pendekatan dengan penginderaan jauh Pendekatan ini utamanya didasarkan pada hubungan empirik secara langsung atau tidak langsung antara CO2 atau PCO2 dengan produk penginderaan jauh, misalnya SST. Tidak jarang pendekatan ini berdasarkan pada pendekatan empirik (pendekatan nomor 2) yang penerapannya dilakukan pada data penginderaan jauh. Operasi persamaan empirik dilakukan pada tiap piksel sehingga hasil akhir dapat menggambarkan pola spasial dari PCO2 atau CO2. 1.7.5. Pendekatan secara laboratorium kultur spesies Pendekatan ini agak berbeda dengan pendekatan 1-4 yang mengukur CO2 atau PCO2 secara umum / global tanpa memasukkan kemampuan eksak suatu organisme dalam menyerap CO2. Pendekatan ini dilakukan dengan dengan mengkultur spesies jenis tertentu misalnya algae, mangrove, dan lainlain dan melihat pola penyerapannya terhadap beberapa konsentrasi CO2 yang diberikan. Penelitian sejenis ini berguna untuk memberikan angka penyerapan suatu organisme terhadap CO2 dan dapat dimasukkan ke dalam model ekologi / ekosistem. 1.7.6. Pendekatan secara terintegrasi (multi-metode) Pendekatan ini adalah pendekatan kompleks yang menggabungkan ke-5 pendekatan sebelumnya. Model ekosistem dipadukan dengan model hidrodinamika dan model karbon laut merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mempelajari sistem penyerapan karbon di laut yang sangat kompleks. Proses fisis akan dijalankan oleh model hidrodinamika yang kemudian dipadukan dengan model ekosistem untuk proses kimia dan biologi. Hasil luaran proses-proses pemodelan ekosistem dan hidrodinamika tersebut kemudian digunakan dalam model prediksi karbon. Dengan menggunakan model terpadu ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai siklus biogeokimia dan sirkulasi perairan di

I-14

wilayah Indonesia sekaligus menentukan daerah-daerah yang memiliki potensi sebagai wilayah penyerapan karbon. Proses biologi dikaji dengan menggunakan model dengan input berupa kecepatan arus dan viskositas eddy dari simulasi model hidrodinamika. Hasil simulasi model ekologi akan digunakan sebagai input dalam perhitungan fluks

CO2. Akurasi hasil pemodelan numerik sangat ditentukan oleh input, yakni dari hasil pemodelan model dari observasi penginderaan jauh dan konstantakonstanta yang didapatkan dari hasil eksperimen laboratorium. Adapun tahapan teknis yang umum dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menentukan parameter-parameter biologi dan oseanografi dalam rangka pengukuran dan eksperimen laboratorium, yang selanjutnya akan

digunakan sebagai in put model numerik. b. Pengumpulan data biologi dan oseanografi (in situ) dengan melakukan survey di daerah kajian dan observasi penginderaan jauh. c. Melakukan eksperimen laboratorium untuk mendapatkan konstanta-

konstanta untuk model ekologi. d. e. Persiapan dan desain simulasi model numerik. Simulasi model numerik Simulasi model dilakukan sebanyak tiga tahap yaitu: simulasi model hidrodinamika 3 dimensi dilakukan untuk menentukan kecepatan dan difusifitas yang digunakan untuk proses difusi dan adveksi pada model ekologi simulasi model ekologi dilakukan untuk mengetahui proses ekologi biologi yang berlangsung dan menghasilkan parameter-parameter yang akan dijadikan input pada model karbon laut. simulasi model karbon laut dilakukan untuk menentukan besarnya fluks yang terjadi di wilayah kajian. f. Verifikasi hasil prediksi baik verifikasi hidrodinamika maupun transpor ekologi.

I-15

g.

Analisis dan penentuan wilayah potensial penyerapan dan pelepasan CO2SDFS

.

I-16

BAB II PENELITIAN KARBON LAUT DI INDONESIA PERIODE 2005-2010

1. Studi awal potensi laut Indonesia sebagai penyerap karbon Penelitian tentang potensi laut Indonesia sebagai penyerap CO 2 mulai dilakukan oleh PRWLSNH bekerjasama dengan ITB pada tahun 2005/2006. Penelitian ini merupakan studi awal (preliminary study) yang bertujuan untuk mengkaji secara kuantitatif aliran pertukaran CO2 antara laut dan udara beserta pola sebarannya dalam skala ruang dan waktu di perairan Indonesia, melalui suatu pemodelan matematis pertukaran CO2 laut-udara (Sea-Air CO2 flux exchange) dengan menggunakan data citra satelit dan data klimatologi laut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan prakiraan awal kemampuan laut Indonesia dalam penyerapan CO2, dan dapat digunakan untuk memperkirakan potensi kredit emisi dari program internasional CDM. Selanjutntya, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat mendorong dimasukkannya sektor laut dalam mekanisme CDM memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perundingan internasional tentang kebijakan perubahan iklim Model penyerapan CO2 oleh laut yang dikembangkan oleh Joos et al (1999) akan di gunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini lautan Indonesia diasumsikan sebagai suatu kolam karbon (carbon pool), dimana terjadi pertukaran antara CO2 di atmosfer dengan lautan. Aliran CO2 yang melintasi interface udaralaut dideskripsikan oleh Kettle dan Merchant (2005) sebagai berikut:F ks ( pCO2seaair pCO2 )

(1)

dimana F adalah flux atau aliran, k adalah kecepatan transfer gas, s adalah solubilitas (kelarutan) CO2 di dalam air laut dan pCO2sea serta pCO2air adalah tekanan parsial CO2 di dalam laut dan di udara. Perbedaan yang terjadi dalam dua variable terakhir tersebut menentukan arah pertukaran, dan nilai k mengontrol laju perpindahannya. Dalam hal ini, nilai k ditentukan oleh keadaan fisis di permukaan laut, terutama oleh angin dan suhu permukaan laut. Dalam studi awal tentang kemampuan laut Indonesia dalam hal menyerap (uptake) CO2, akan dilakukan perhitungan aliran (flux) CO2 untuk kondisi rata-rata perairan Indonesia pada bulan kering dan bulan basah. Berikut ini disajikan hasil

II-1

perhitungan untuk bulan kering (Februari) dan bulan basah (Agustus) kondisi lautan Indonesia.

Gambar 2.1. Aliran bersih (net flux) CO2 di perairan Indonesia selama bulan Februari (gram CO2 m-2 tahun-1)

Gambar 2.2 Aliran bersih (net flux) CO2 di perairan Indonesia selama bulan Agustus (gram CO2 m-2 tahun-1)

II-2

Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan hasil perhitungan penyerapan (uptake) atau aliran bersih (net flux) di perairan Indonesia selama bulan basah (Februari) dan bulan kering (Agustus) per tahun dalam satuan gram CO2 m-2. Dalam studi ini digunakan asumsi solubilitas permukaan air laut adalah 0.001 moles/l/atm (homogen di seluruh perairan Indonesia). Gambar 2.1 mewakili aliran pertukaran CO2 dalam selama musim basah di Indonesia (Februari), berdasarkan gambar tersebut terjadi pelepasan CO 2 yang kuat di bagian tenggara perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena suhu permukaan laut di daerah tersebut cukup tinggi, sehingga menyebabkan konsentrasi CO 2 di daerah laut tersebut tinggi pula karena pCO2sea adalah fungsi dari suhu permukaan laut (SST). Selain itu, kecepatan angin permukaan di daerah ini juga cukup besar yang menambah besarnya laju transfer gas dari laut menuju udara sehingga menjadikan daerah ini sebagai daerah sumber pelepasan CO 2 yang kuat yang mencapai 200-300 gram CO2 m-2 tahun-1. Gambar 2.2 menjelaskan aliran pertukaran CO2 selama musim kering di Indonesia, suhu hangat menyebabkan rata-rata konsentrasi CO2 di lapisan permukaan perairan menjadi lebih tinggi, namun di bagian tenggara Indonesia terjadi penyerapan yang cukup kuat mencapai 100-200 gram CO2 m-2 tahun-1. Hal ini disebabkan pada daerah ini mempunyai suhu cukup dingin yang menyebabkan konsentrasi CO2 di udara lebih besar daripada konsentrasi CO2 di permukaan laut, sehingga mendorong pertukaran dari udara menuju laut. Selain itu, pada daerah ini rata-rata kecepatan angin bulanannya cukup besar yang akibatnya meningkatkan laju transfer CO2 dari udara menuju laut. Dari hasil studi awal yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Meskipun dalam skala global perairan di wilayah tropis berpotensi sebagai sumber pelepas CO2, dari hasil studi awal dapat ditunjukkan bahwa perairan Indonesia memiliki variabilitas baik sebagai pelepas, maupun sebagai peyerap CO2. Terdapat dua kawasan yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan CO2 yakni perairan Arafura dan perairan Selatan Jawa. 2. Tekanan parsial CO2 laut memegang peranan vital dalam proses transfer atau aliran CO2 dari atmosfer ke laut dan sebaliknya sehingga tingkat akurasi perhitungan tekanan parsial CO2 laut sangat dibutuhkan.II-3

2. Studi Karbon di Sungai Brantas, Jawa Timur Studi karbon di Sungai Brantas, Jawa Timur ini dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dipimpin oleh Edvin Aldrian. Pengukuran konsentrasi dan fluks dari dissolved dan particulate organic dan inorganic carbon dilakukan secara bulanan dari bulan Juli 2005 hingga Juni 2006 di DAS Sungai Brantas, yang merupakan sungai bertipe tropical mountainous berukuran sedang dan kedua terpanjang di Pulau Jawa. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan musiman pada fluks karbon. Fluks dissolved inorganic carbon (DIC) lebih besar 9,3 kali dan fluks dissolved organic carbon (DOC) lebih besar 532 kali pada musim hujan (Oktober hingga April) dibandingkan pada musim kemarau. Perbedaan konsentrasi yang besar ini membawa perbedaan load yang besar pula antara bulan-bulan hujan dan kemarau. Pada musim hujan antara Januari dan April, Fluks DIC dan DOC adalah 66% dan 87%, dari fluks total tahunan. Kebanyakan fluks tahunan dari TSS (2.7 _ 106 t a_1), TDS (2.3 _ 106 t a_1), DIC (0.26 _ 106 t a_1), dan DOC (0.2 _ 106 t a_1) di transport ke Selat Madura. Sehubungan dengan itu maka Sungai Brantas berada pada urutan ke 17 dari 20 sungai yang berasal dari elevasi diatas 3000 m. Konsentrasi DIC tinggi secara konsisten sepanjang tahun karena adanya carbonate weathering dalam DAS, kecuali bagian tengah dari DAS, dimana konsentrasi DOC sangat seasonal karena variasi dari aktifitas biologis. Konsentrasi total inorganic carbon secara substansial melampaui konsentrasi total organic carbon, tapi perbedaannya menurun dari Januari hingga April dimana DOC meningkat tajam. Carbon budget mengindikasikan bahwa daerah hulu sungai merupakan carbon source, dan daerah tengah sungai carbon sink. Tidak ada carbon trapping yang diamati oleh beberapa impoundments sepanjang DAS sementara sediment trapping terlihat nyata.

3. Studi pendahuluan karbon berdasarkan data satelit produktivitas primer laut Indonesia Pada kegiatan ini telah dihasilkan peta produktivitas primer berbasis karbon di perairan Indonesia. Peta ini merupakan hasil dari pemodelan dan remote sensing menggunakan citra satelit untuk tahun 2006. Peta produktivitas primer berbasis karbon di perairan Indonesia untuk tahun 2006 dapat dilihat pada gambar 2.3.II-4

Januari 2006

Februari 2006

Maret 2006

April 2006

Mei 2006

Juni 2006

Juli 2006

Agustus 2006

September 2006

Oktober 2006

II-5

November 2006

Desember 2006

0

2731.9 mgC/m2/hari

5463.9

Gambar 2.3. Peta bulanan produktivitas primer berbasis karbon laut di Indonesia pada tahun 2006.

4. Studi penyerapan karbon oleh berbagai jenis fitoplankton Studi ini telah dilakukan sejak tahun 2007 oleh BPPT untuk mengetahui tingkat serapan CO2 oleh fitoplankton di lautan. Prospek fitoplakton di Indonesia, sebagai tumbuhan air yang menyerap karbon sangat besar. Wilayah laut Indonesia meliputi 70 persen dari total wilayahnya sehingga kandungan biomassanya jauh lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan di darat. BPPT akan mengembangkan teknik rekayasa "pohon buatan" dan

penyerapan CO2 secara biologis (biological pumping) oleh fitoplankton. CO2 ini diserap fitoplankton untuk pertumbuhan dan mereproduksi diri. Pengambilan CO2 di daerah daratan mencapai hingga satu giga ton per tahun. Di laut jumlahnya dua kali lipat. Daya serap CO2 oleh fitoplankton saja bisa 200 kali lipat dibandingkan penyerapan oleh tumbuhan darat. Di lautan terdapat ratusan jenis fitoplankton. Akibatnya, potensi Indonesia mengisap CO2 di laut sangat tinggi. Penelitian di University of New Zealand menunjukkan, satu miligram klorofil fitoplakton dapat menyerap 1,65 miligram CO 2. Ketika gas karbon mengendap ke permukaan air, maka akan berubah menjadi dua, yaitu karbon organik partikulat dan karbon organik terurai. Karbon partikulat akan tenggelam ke dasar laut. Sebagian lainnya akan dimakan biota laut. Hasil dekomposisi oleh organisme ini kemudian terangkat lagi oleh arus naik dan menjadi santapan plankton. Begitulah daur pemanfaatan karbon di perairan.

II-6

Fitoplankton yang mati dan tenggelam di dasar laut selanjutnya akan didegradasi oleh bakteri menjadi kalsium karbonat. Meskipun daya serap gas karbon di perairan cukup tinggi, polusi CO 2 sampai tingkat tertentu di udara dapat berdampak negatif bagi kehidupan biota laut. Seperti di darat, tingginya emisi CO2 dapat menaikkan tingkat keasaman air laut yang bersifat korosif sehingga berdampak negatif bagi lingkungan kelautan, antara lain akan mengikis lapisan luar terumbu karang jenis Emiliana yang berbentuk bulat. Untuk meningkatkan sistem penyerapan karbon di Indonesia, BPPT akan mengembangkan teknik pengembangbiakan fitoplankton yang disebut Foto Bio Reactor. Untuk itu akan dicari jenis fitoplankton yang memiliki pertumbuhan yang cepat, seperti Chaetoceros dan Skeletonema. Tujuan riset ini untuk mengetahui tingkat penyerapan CO2 dari spesies fitoplankton tersebut. Target selanjutnya adalah mengembangkan desain reaktor untuk mendapatkan siklus hidup fitoplankton yang lebih panjang. Selain itu dikembangkan tangki untuk panen. Pembangunan pabrik skala laboratorium di Serpong yang melibatkan LIPI dan IPB akan dimulai Januari 2008 dan diperkirakan akan mulai beroperasi Juni 2008, dan akan berlangsung hingga tahun 2010. Selanjutnya BPPT merencanakan pengembangan fitoplankton air tawar. Pengembangan foto bioreaktor ini akan mengacu pada teknik yang dikembangkan di Jerman. Di Universitas Bremen bioreaktor yang diisi fitoplankton diterapkan untuk menyerap CO2 hasil pembakaran pada pembangkit listrik tenaga batubara. Untuk kapasitas 5.000 ton per hari, CO2 yang diserap mencapai satu persennya. Pada tahap pertama daya serapnya 500 ton gas karbon per tahun. Pengembangan teknologi ini targetnya 15.000 ton CO2 per tahun. 5. Penyerapan karbon oleh laut Jawa Suatu studi pemodelan numerik penyerapan karbon oleh laut jawa telah dilakukan oleh Tim penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dipimpin oleh Alan F. Koropitan. Secara umum, proses penyerapan karbon di laut tidak sama dengan proses yang terjadi di daratan. Memang fitoplankton dapat menyerap CO2 terlarut di air melalui proses fotosintesis. Tetapi gas CO2 di atmosfer tidak otomatis diserap ketika proses ini berlangsung, karena laut me-miliki mekanisme sendiri yang dikontrol oleh

II-7

sistem karbonat laut. Salah satu parameter penting adalah tekanan parsial CO2 di permukaan laut (pCO2). Perbedaan tekanan parsial di lapisan permukaan lautudara akan menentukan arah pertukaran gas CO2. Bila pCO2 rendah maka akan terjadi penyerapan CO2 di atmosfer, demikian pula sebaliknya.

Ada parameter lainnya, yaitu kandungan karbon anorganik terlarut (DIC) dan total alkalinitas (TA). Semakin tinggi DIC maka pCO2 permukaan laut akan meningkat, tetapi semakin tinggi TA akan menurunkan pCO2 permukaan laut. Suplai nutrien dari daratan (misal: sungai) dapat memicu aktifitas foto-sintesis dan diikuti oleh penurunan DIC. Tetapi, suplai dari daratan juga memba-wa DIC dan TA yang memiliki dampak berbeda terhadap pCO2 di perairan pesisir. Tim penelitian IPB telah melakukan riset siklus karbon di Laut Jawa dengan mempertimbangkan sistem karbonat laut, arus laut, dan suplai dari daratan. Dengan data yang ada, telah dikembangkan model matematika untuk mencoba meniru mekanisme di Laut Jawa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 0,003 mol C/m2/tahun. Angka ini termasuk kecil (kurang dari 0,1%) dibanding dengan peluang pelepasan karbon pada lokasi upwelling ekuator di Lautan Pasifik, yang merupakan carbon source terbesar dari perairan global. Lokasi upwelling, yang memang memiliki temperatur permukaan laut yang rendah karena naiknya massa air dari lapisan bawah, tetapi hal ini akan diikuti pula oleh kandungan DIC yang tinggi. Beberapa publikasi di jurnal internasional menunjukkan bahwa daerah upwelling umumnya bersifat sebagai carbon source. Penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga kelautan Jepang (sekitar Agustus 2005) di lepas pantai Barat Sumatra (lokasi upwelling) menunjukkan nilai perbedaan tekanan parsial CO2 antara laut dan udara pada kisaran +16 sampai +27 atm. Nilai positif menunjukkan bahwa perairan ini bersifat sebagai carbon source. Ada pula hasil riset lainnya (Februari 1984), yang dilakukan oleh lembaga meteorologi Jepang. Mereka mengukur perbedaan tekanan parsial ini pada sepanjang jalur yang memotong perairan selatan memasuki Selat Lombok, Selat Makassar sampai ke arah Laut Sulawesi. Hasilnya tetap menunjukkan nilai positif yang berkisar pada +4 sampai +20 atm.

II-8

6. Kajian dan monitoring karbon laut di Teluk Banten Penelitian dan monitoring ini telah dilakukan sejak 2008 oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, akan tetapi kegiatan yang lebih komprehensif dilakukan sejak tahun 2009 hingga 2010. Pada tahun 2010, terjadi perubahan nomenklatur nasional, sehingga secara struktural berurutan instansi menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir (Pusat Litbang SDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Perubahan ini tidak menganggu substansi ilmiah. Hasil pengukuran dan analisa deskriptif atas kondisi oseanografi, meteorologi dan klimatologi perairan Teluk Banten dan Laut Jawa serta variabilitas fluks karbon di daerah-daerah tersebut menyimpulkan beberapa hal penting. Teluk Banten adalah perairan dangkal dengan kedalaman berkisar antara 2 62 meter.(lihat Gambar 2.4 dan Gambar 2.5), dan mempunyai tipe pasang yang cenderung diurnal karena dipengaruhi oleh Laut Jawa (lihat Gambar 2.6). Selain mempengaruhi tipe pasang di Teluk Banten, Laut Jawa juga mempungaruhi pola monsoon, dimana musim hujan terjadi antara bulan November Maret dan musim kemarau pada bulan Juni Agustus (lihat Gambar 2.7 dan Gambar 2.8). Teluk Banten seperti juga halnya Laut jawa juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO), lihat Tabel 2.1. Total CO2 di Laut Jawa relatif rendah dibandingkan dengan perairan lintang yang tinggi sampai ke Antartika pada bujur yang sama (lihat Gambar 2.9 dan Gambar 2.10, Tabel 2.2 dan 2.3). Secara vertikal, terjadi variasi total CO2 di laut Jawa namun

kecenderungannya naik seiring dengan bertambahnya kedalaman (lihat Gambar 2.11 dan Gambar 2.12). Pola variasi alkalinitas di laut Jawa, baik horizontal maupun vertikal menunjukkan pola yang sama dengan total CO 2 (lihat Gambar 2.13 dan Gambar 2.14). Hasil perhitungan menggunakan 3 jenis skenario berdasarkan data IPCC, Laut Jawa bertindak sebagai pelepas CO2 (pCO2atm=379 atm dan pCO2atm=385 atm) dan sebagai sink pada pCO2atm=475 atm. Skenario terakhir merupakan

II-9

skenario dimana faktor antropogenik sangat berpengaruh (lihat Tabel 2.4, Gambar 2.15 hingga Gambar 2.20). Adanya pola fluktuasi variabilitas DIC (Dissolved Inorganic Carbon) dan TA (Total Alkalinitas) di perairan Teluk Banten pada permukaan (lihat Tabel 2.5). Nilai nilai DIC dan TA yang tinggi berada di pinggir teluk (tertinggi 1720,04 mol/kg). Hal ini disebabkan adanya pengaruh antropogenik dari daratan (sungai) yang masuk ke teluk (lihat Gambar 2.21 dan Gambar 2.22). Tinggi rendahnya nilai DIC sangat dipengaruhi oleh faktor biologi, proses fotosintesa, serta faktor osenografi seperti pasang surut. Rendahnya nilai DIC di ekosistem mangrove dan lamun (DIC = 1329,87; 1605,19 dan 1522,24 mol/kg) mengindikasikan bahwa kedua ekosistem ini menjadi Carbon Sink, lihat Tabel 2.5. Nilai pCO2 di Teluk Banten pengaruhi oleh nilai DIC, pH dan nutrient (fosfat dan silikat), lihat Gambar 2.23 dan 2.30. Perairan pesisir Teluk Banten pada waktu tertentu (Juli 2010) merupakan penyerap (sink) CO2 ke atmosfer yang ditunjukkan oleh nilai pCO2 negatif, lihat Tabel 2.6 dan Tabel 2.7.

Gambar 2.4 Batimetri Teluk Banten berdasarkan berdasarkan data GEBCO 2008 resolusi 30 arcsec (~90 meter).Pulau-pulau kecil yang berada di dalam teluk seperti yang terlihat di Gambar 2.5 tidak terwakili keberadaannya.

II-10

Gambar 2.5 Profil Teluk Banten hingga Laut Jawa bagian barat di sektar Pulau Tunda berdasarkan data citra satelit Landsat ETM 2008. Bulatan-bulatan berangka dan bernama adalah posisi stasiun-stasiun observasi.

Gambar 2.6 Pola arus rerata pasang surut di Pulau Kubur dan Pulau Besar, Teluk Banten (Hoitink & Hoekstra, 2003).

II-11

Gambar 2.7 Pola arus permukaan akibat seretan angin monsun (Wyrtki, 1961); kiri atas: Februari mewakili Monsun Timur; kanan atas: April mewakili peralihan Monsun Timur ke Monsun Barat; kiri bawah: Juni mewakili Monsun Barat; kanan bawah: Agustus mewakili peralihan Monsun Barat ke Monsun Timur. Kotak merah adalah Laut Jawa bagian barat dimana Teluk Banten berada

Gambar 2.8 Pola distribusi frekuensi angin (gambar kiri) dan gelombang (gambar kanan) yang dibangkitkannya (wind waves) yang terjadi di Laut Jawa selama musim hujan 1998-1999 (Hoitink, 2003). II-12

Tabel 2.1 Episode La Nina yang ditandai oleh temperatur muka air laut dingin (Cold) dan La El Nino dimana temperatur air laut hangat (Warm) di Samudera Pasifik tropis (150 Bujur Barat) berdasarkan periode Monsun sepanjang 1952 - 2002. Episode lemah ditandai dengan C- atau W-, menengah ditandai dengan C atau W, sedangkan kondisi normal ditandai dengan N (Putri, 2005).

II-13

Gambar 2.9. Stasiun pengamatan yang diambil dan digunakan dalam analisa ini. Legenda di samping kanan gambar titik stasiun adalah kedalaman laut dalam satuan meter, data dari GEBCO. Tabel 2.2. Batas imaginer laut dan samudera berdasarkan geografis nama di sepanjang garis lintang 5.244 65.36S yang membelah koordinat bujur 106.31E pada Gambar 2.9. (diolah dari berbagai sumber) Nama Laut/Samudera Laut Jawa Laut Selatan Jawa Samudera Hindia (bagian Tenggara) Samudera Selatan& Antartika Batas Lintang 5S 7 - 10S 10 - 60S > 60S

II-14

Tabel 2.3. Batas imaginer laut dan samudera berdasarkan iklim di sepanjang garis lintang 5.244 65.36S yang membelah koordinat bujur 106.31E pada Gambar 2.9(diolah dari berbagai sumber) Iklim Tropis Sub-Tropis Sub-Kutub (selatan) Kutub (selatan) Batas Lintang 5.00 - 23.50S 23.50 - 35.00S 35.00 - 50.00S > 50.00S

Gambar 2.10.Total CO2 di Bujur 106-114 BT di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan.

II-15

Gambar 2.11.Total CO2 di sepanjang lintang 5.244 65.36 LSyang membelah koordinat bujur 106.31BT,terhadap penampang vertikal kedalaman laut.

Gambar 2.12. Zoom dari Gambar 2.11 hingga kedalaman maksimum 20 m. Perairan terdangkal di sekitar 52.44 LS adalah di Laut Jawa mendekati/sekitar Teluk banten.

II-16

Gambar 2.13. Alkalinitas di Bujur 106-114 BT di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan.

Gambar 2.14. Alkalinitas di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS yang membelah koordinat bujur 106.31BT, terhadap penampang vertikal kedalaman laut.

II-17

Gambar 2.15. Antropogenik CO2 di Bujur106-114 BT di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS penampang horisontal di lapisan permukaan.

Gambar 2.16. Antropogenik CO2 di sepanjang lintang 5.244 65.36 LS yang membelah koordinat bujur 106.31BT, terhadap penampang vertikal kedalaman laut.

II-18

Gambar 2.17. Distribusi DIC (panel kiri) dan pCO2 (panel kanan) di Laut Jawa lapisan permukaan.

Gambar 2.18. Distribusi pH (panel kiri) dan total Alkalinitas (panel kanan) di Laut Jawa lapisan permukaan.

Gambar 2.19. Distribusi Fosfat (panel kiri) dan Silikat (panel kanan) di Laut Jawa lapisan permukaan.

Gambar 2.20. Distribusi Temperatur (panel kiri) dan Salinitas (panel kanan) di Laut Jawa lapisan permukaan.

II-19

Tabel 2.4.Skenario Laut Jawa sebagai pelepas (positif pCO2)atau penyerap CO2 (negatif pCO2), dimana pCO2dihitung menggunakan formula 5.4. pCO2 [atm] Minimum Maximum Rerata Skenario 1 pCO2atm=379 atm 14.487 123.017 47.5518 Skenario 2 pCO2atm=385atm 8.487 117.017 41.5518 Skenario 3 pCO2atm=475atm -81.513 27.017 -48.448

II-20

Tabel 2.5 Nilai rerata parameter Karbon dan kualitas air terukur Maret, Mei, Juli 2010Maret 2010 Parameter Rata-rata Klorofil-a ug/L NO3 (Nitrat) mg/L NH4 (Amonium) mg/L Kalsium (mg/L) Magnesium (mg/L) TSSmg/L PO4 mg/L PO4 mol/kg Si mg/L SiO2 mol/kg pH DIC umol/kg pCO2 air laut (atm) TA (Total Alkalinitas) CO2* (mol/kg) Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Mei 2010 Juli 2010

5.865 0.050 0.468 499.680 901.188 65.000 0.015 0.158 4.216 68.552 8.109 1626.849 634.738 1878.277 15.553846

8.2973 0.1026 1.2137 218.3620 289.6799 74.0225 0.0039 0.0403 9.3367 151.8155 0.3255 111.1620 928.0857 228.1963 25.859609

0.937 0.001 0.009 83.280 117.070 6.000 0.007 0.072 0.057 0.927 7.140 1280.440 255.200 1187.900 5.6

-

30.086 0.352 4.449 999.360 1163.630 292.000 0.020 0.205 30.891 502.293 8.320 1720.040 3671.000 2067.600 100.6

0.624 0.098 0.228 408.462 1861.645 11.538 0.018 0.181 1.764 28.677 7.998 -

-

0.324 0.201 0.584 92.235 1301.665 21.923 0.019 0.191 2.458 39.969 0.324 -

0.110 0.001 0.026 158.600 1211.570 4.000 0.010 0.103 0.261 4.244 7.290 -

-

1.233 0.681 2.137 475.680 6180.020 83.000 0.063 0.647 8.825 143.496 8.190 -

1.037 0.030

0.676 0.011 33.848 0.010 0.099 0.155 2.518 0.078 101.963 66.668 99.507 1.522

0.356 0.020 77.000 0.010 0.103 1.221 19.854 8.110 1329.870 202.000 1660.100 4.400

-

2.133 0.047 155.000 0.036 0.370 1.658 26.959 8.310 1605.160 375.400 1917.900 8.400

94.800 0.020 0.209 1.445 23.493 8.236 1497.870 274.820 1808.580 6.120

-

-

-

-

-

-

II-21

120 100

C* (umol/Kg)

80 60 40 20 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Stasiun K8 K9 K10 K11 K12 K13C* Juli10 C* Maret 10

Gambar 2.21. Sebaran C* (karbon antropogenik) di Teluk Banten Maret dan Juli 2010

1800 1700

DIC (umol/kg)

1600 1500 1400 1300 1200 1100 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Stasiun K8 K9 K10 K11 K12 K13Juli 10 Maret 10

2500 2000 1500 1000 500 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Stasiun K8 K9 K10 K11 K12 K13TA Maret 10 TA Juli 10

Gambar 2.22 Sebaran DIC dan Total Alkalinitas Teluk Banten Maret dan Juli 2010

Total Alkalinity

II-22

35 30

Klorofil-a ug/L

25 20 15 10 5 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 StasiunKlorofil-a ug/L Maret 2010 Klorofil-a ug/L Mei 2010 Klorofil-a ug/L Juli 2010

Gambar 2.23 Variabilitas klorofil di Teluk Banten Maret, Mei dan Juli 2010

8.4 8.2 8

pH

7.8 7.6 7.4 7.2 7 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13pH Juli 10

Stasiun

pH Maret 10

35 30

Salinitas (PSU)

25 20 15 10 5 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Stasiun K8 K9 K10 K11 K12 K13Salinitas Maret 10 Salinitas Juli 10

Gambar 2.24 Variabilitas pH dan salinitas di Teluk Banten pada bulan Maret dan Juli 2010

II-23

4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13pCO2 Juli 2010

p CO2 (uatm)

StasiunpCO2 Maret 2010

Gambar 2.25 Variabilitas pCO2air laut bulan Maret dan Juli 2010 di Teluk Banten

1000 900Konsentrasi

pCO2

800 700 600 500 400 300 200on 0 on 1 on 2 on 3 on 4 ) ) ) ) (3 m m m m (3 (3 (2 0 Cr b Cr b Cr b Cr b Cr b (2 0 on 7 Cr b m )

on 5

on 6

on 6

Cr b

Cr b

Cr b

Cr b

on 7

July August

Stasiun

Gambar 2.26 Konsentrasi pCO2 bulan Juli dan Agustus 2009. Satuan yang digunakan adalah atm (Adi & Rustam, 2010)

II-24

Nitrat, Fosfat dan Silikat35 30

Konsentrasi (mg/L)

25 20 15 10 5 0 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 Stasiun

M aret NO3 (Nitrat) mg/L M ei NO3 (Nitrat) mg/L Juli NO3 (Nitrat) mg/L

M aret P O4 mg/L M ei P O4 mg/L Juli P O4 mg/L

M aret Si mg/L M ei Si mg/L Juli Si mg/L

Gambar 2.27. Sebaran nutrient di Teluk Banten bulan Maret, Mei dan Juli 2010

Gambar 2.28. Perubahan spesiasi silikat, fosfat dan nitrogen terhadap pH dimana kotak merah merupakan perkiraan pergeseran pH akibat perubahan iklim (Heppelwhite, 2010)

II-25

3500 3000

Differential pCO2

2500 2000 1500 1000 500 0 -500 K0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12M aret 2010 pCO2 scen 3 Juli 2010 pCO2 scen 3

K13

M aret 2010 pCO2 scen 1 Juli 2010 pCO2 scen 1

M aret 2010 pCO2 scen 2 Juli 2010 pCO2 scen 2

Stasiun

Gambar 2.29. Sebaran differential pCO2 Teluk Banten bulan Maret dan Juli 2010 berdasarkan tiga skenario (pCO2 atm: scen 1= 379 atm, scen 2 = 385 atm dan scen 3= 475 atm)

Gambar 2.30. Fraksi kadar relative spesies CO2 ,HCO3- dan CO32- pada kondisi pH tertentu (Lohman, 2005).

II-26

Tabel 2.6 Kompilasi nilai R2 dari hasil analisa regresi linear tunggal antara pCO2 dengan masing-masing DIC, TALK, pH, Fosfat, Silikat, Nitrat, Klorofil, Temperatur dan TSS bulan Maret dan Juli 2010pCO2 Maret DIC Juli Maret TALK Juli Maret pH Fosfat Juli Maret Juli Maret Silikat Juli Maret Nitrat Klorofil Juli Maret Juli Maret Temperatur Juli Maret TSS Juli 0.8641 0.3849 0.9087 0.0748 0.9217 0.9821 0.0126 0.398 0.3041 0.1287 0.8692 0.0183 0.1944 0.326 0.5718 0.1311 0.0036 0.6364

II-27

Tabel 2.7.Skenario Teluk banten sebagai pelepas (positif pCO2)atau penyerap CO2 (negatif pCO2), dimana pCO2dihitung menggunakan formula 5.4. Maret 2010 pCO2 [atm] Minimum Maximum Rerata Juli 2010 pCO2 [atm] Minimum Maximum Rerata Skenario 1 pCO2atm=379 atm -177 -3.6 -104.18 Skenario 2 pCO2atm=385 atm -183 -9.6 -110.18 Skenario 3 pCO2atm=475 atm -273 -99.6 -200.18 Skenario 1 pCO2atm=379 atm -123.8 3292 255.7385 Skenario 2 pCO2atm=385 atm -129.8 3286 249.7385 Skenario 3 pCO2atm=475 atm -219.8 3196 159.7385

7. Pengukuran karbon di perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, suatu teluk yang berdekatan dengan Teluk Banten dimana juga dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan iklim Laut Jawa dan sangat dipengaruhi oleh antropogenik dari kota metropolitan Jakarta adalah menarik untuk dilihat. Tim penelitian BPPT yang dikomandani Mochamad Saleh Nugrahadi yang bekerjasama dengan Tetsuo Yanagi dari Universitas Kyushu Jepang, berkesempatan melakukan pengukuran karbon terlarut di perairan Teluk Jakarta selama 2 hari pada tanggal 15 dan 16 Februari 2007 bertepatan 1 minggu setelah banjir besar melanda Jakarta, dan 16 Mei 2007 (Nugrahadi et al., 2009). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa karbon organic terlarut (DOC) berkisar antara 100-950 g-C/liter pada bulan Februari dan 0-850 g-C/liter pada bulan Mei, karbon organic partikel (POC) berkisar 50-650 g-C/liter pada bulan Februari, dan 50-900 g-C/liter pada bulan Mei. Temuan ini sangat kontras dengan perbedaan input volume air dari daratan, sehingga estimasi total fluks karbon organic per harinya menjadi 107.6 ton/hari untuk Februari dan 42.7 ton/hari di bulan Mei 2007. II-28

BAB III RENCANA PENELITIAN KARBON PERIODE 2010-2014

3.1.

Kebutuhan riset karbon laut & peluang melalui kerjasama

3.1.1. Kebutuhan penelitian karbon Laut Berdasarkan pada uraian tentang siklus karbon laut, serta status kegiatan riset yang terkait dengan karbon laut pada bab-bab sebelumnya, maka kagiatan riset karbon laut di Indonesia yang lebih terstruktur dan berkelanjutan sangatlah diperlukan. Kebutuhhan Riset Karbon Laut di Indonesia pada masa mendatang meliputi: 1. Riset yang mengungkap tentang peran lingkungan laut dalam proses penyerapan karbon dan perubahan iklim, merupakan kegiatan identifikasi yang mendalam tentang kondisi dan peranan ekosistem serta sumberdaya pesisir dan laut dalam proses siklus karbon laut. Selain itu dalam riset ini akan dilakukan pemantauan dan prediksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi terhadap kondisi ekosistem dan sumberdaya laut dan pesisir, terutama terkait dengan fenomena perubahan iklim dan kegiatan-kegiatan antropogenik lainnya. Oleh karena itu, riset ini harus dilakukan secara terus menerus dalam kurun waktu yang panjang (4 10 tahun kedepan). 2. Riset pemodelan proses siklus karbon laut di Indonesia, bertujuan untuk menghimpun pemahaman (knowledge-based) yang lebih komprehensif tentang proses-proses yang terkait dengan siklus karbon laut, seperti proses physical pump, biological pump, carbon sink dan lainnya. Melalui riset ini diharapkan akan tersedia informasi yang lebih akurat tentang potensi penyerapan karbon di perairan Indonesia. 3. Riset aplikasi dalam mendukung pengelolaan sumberdaya dan

lingkungan laut dan pesisir, merupakan riset lanjutan dari riset-riset sebelumnya untuk membantu menentukan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut, termasuk usaha-usaha konservasi dan pengembangan MPA di Indonesia.

III-1

3.1.2. Peluang melalui kerjasama penelitian Adapun beberapa peluang kerjasama yang telah terjalin dan berpotensial untuk terus dibina dan dikembangkan antara lain:

a. Kerjasama pemantauan melalui jaringan Seagrass-net Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga yang hidup di perairan pantai, berfungsi sebagai penstabil sedimen, peredam energi gelombang dan ombak, serta merupakan tempat berpijah, membesarkan anak dan mencari makan bagi biota lain, termasuk biota yang bernilai ekonomis seperti baronang, kepiting dan kerapu. Selain itu, lamun berpotensi sebagai penyerap karbon, serta dapat digunakan sebagai indicator kesehatan perairan, sehingga lamun dapat dimanfaatkan sebagai indicator dalam system peringatan dini (Early Warning System) untuk kerusakan lingkungan perairan. Seagrassnet merupakan suatu program internasional yang bertujuan untuk meneliti dan memantau kondisi lamun dengan cara pembuatan lokasi penelitian permanen. Penelitian dan pemantauan dilakukan secara rutin dan terus menerus untuk mendapatkan informasi yang bersifat timeseries. Pada tahun 2009, Kelompok Riset Lingkungan Laut dan Pesisir di PRWLSNH telah mendapatkan rekomendasi dari Seagrassnet International sebagai National Coordinator dalam mengembangkan kegiatan riset dan pemantauan lingkungan laut dan pesisir di Indonesia, dan dapat mengusulkan bantuan teknis dan peralalatan yang akan digunakan dalam kegiatan ini. Bahkan Kelompok ini telah menyiapkan program strategis tentang penelitian lingkungan laut dan pesisir 2011-2014, terkait dengan karbon laut dan perubahan iklim. Perubahan nomenklatur struktural institusi, sekarang menjadi P3SDLP, diharapkan lebih memberikan kontribusi dan implementasi yang nyata terhadap program strategis tersebut.

III-2

Gambar 3.1 Jaringan penelitian dan pemantauan Seagrass-net

b. Kerjasama regional konservasi taman nasional laut Kegiatan yang bertopik Conservation Strategy based on Regional Reef Connectivity and Environmental Load Assessment in SEA-WP Region ini merupakan kegiatan kerjasama regional yang diprakarsai dan akan didanai oleh Kementerian Lingkungan Jepang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan strategi konservasi yang tepat melalui studi konektivitas terumbu karang dalam kerangka regional di wilayah Perairan Asia Tenggara sehingga dapat ditentukan dengan tepat area-area yang akan dijadikan sebagai MPA (Marine Protected Area). Kegiatan ini juga akan melakukan kajian-kajian daya dukung lingkungan yang nantinya terkait dengan potensi laut dalam penyerapan karbon, serta kaitannya dengan isu perubahan iklim. Rencana lokasi yang menjadi target dalam kegiatan ini antara lain: 1. 2. 3. 4. Japan: Okinawa, Ishigaki, Miyako, and Kume islands. Taiwan, termasuk Kenting Marine Park, Tapei, Green Island. Philippines, termasuk Puerto Galera, Batangas, and Bolinao. Indonesia, lokasi yang potensial adalah: Lombok (Nusa Tenggara Barat), Karimun Jawa (Central of Java), Wakatobi (South East Sulawesi), Raja III-3

Ampat (West Papua), Tarakan, (East Kalimantan). 5. Papua New Guinea: Milne Bay (Lousiade, Bwanabwana, and Trobriand areas), Central, Western, dan Madang Provinces. 6. French Polynesia (control region) Sejak tahun 2009 sebagai contact person untuk Indonesia adalah Subandono dari Direktorat Jenderal KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan kesepakatan informal, PRWLSNH yang sekarang telah menjadi Pusat Litbang Sumberdaya Laut dan Pesisir (P3SDLP) adalah mitra dalam kegiatan riset ini. Akan tetapi hingga saat ini, 2010, belum terlaksana tindak lanjut dalam bentuk formulasi MOU.

c. Kerjasama di bidang penginderaan jauh Peluang kerjasama dalam hal pengembangan Inderaja Oseanografi untuk lingkungan laut dan pesisir ini diprakarsai hasil pertemuan informal antara PRWLSNH dengan Profesor Kawamura dari Universitas Tohoku Jepang pada bulan Oktober 2007. Kegiatan penelitian dalam bidang ini direncanakan untuk mengembangkan metoda-metoda baru dalam intepretasi data satelit ke dalam parameter lingkungan laut seperti New Generation SST, Kesuburan dan produktivitas primer perairan berbasis karbon, serta informasi-informasi lain yang berguna bagi konservasi dan perikanan. Parameter-parameter tersebut diatas juga merupakan parameter-parameter kunci dalam proses karbon laut dan isu perubahan iklim. Peluang kerjasama ini juga telah dibahas dalam pertemuan Westpac/IOC pada tahun 2008, dan disepakati untuk ditindaklanjuti dalam format MOU dan Technical Agreemant antara BRKP dan Universitas Tohoku. Pada saat ini, 2010, P3SDLP masih membahas tentang potensi kerjasama tersebut.

III-4

Visible

Infrared

MicrowaveRadar Technology Wind

Absorption ScatteringPlankton Sediment

Thermal Emission

Wave/EM wave Interaction

(Oceanography Material/Biological Information /Fisheries/etc.)

Applications

Thermal Environmental Information

Ocean Forcing Field

Oceanography Asian Marine EnvironmentsGambar 3.2. Skema penginderaan jauh untuk penelitian dan pemantauan ekosistem pesisir

d. Kerjasama Coral Triangle Initiative (CTI) Pemantauan Lingkungan Pesisir dan Laut di wilayah potensi (termasuk daerah CTI bagian Indonesia) dan hubungannya dengan perubahan iklim. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk mengetahui karakteristik lingkungan pesisir; (2) Mengetahui indeks ekologi sumberdaya pesisir; (3) Mengetahui penyebab tekanan terhadap sumberdaya pesisir; (4) Mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap karakteristik sumberdaya pesisir. Kegiatan yang potensial diimplementasikan antara lain: Pengamatan secara in situ secara kontinu dilakukan per 3 bulan sekali dengan parameter lingkungan perairan yang akan diamati meliputi suhu air laut, kecepatan arus, salinitas, kecerahan (intensitas cahaya), substrat dan oksigen terlarut (DO); Pengamatan kondisi sumberdaya pesisir lamun, terumbu karang, dan mangrove; Analisis parameter iklim berdasarkan data citra satelit; Mengidentifikasi indikator III-5

yang dapat menurunkan kualitas sumberdaya pesisir; Analisis korelasi antara parameter iklim dengan karakteristik sumberdaya pesisir. Beberapa area yang potensial untuk dijadikan target adalah: Wilayah Indonesia Barat (Teluk Banten dan Teluk Bungus dan Kepulauan Mentawai) untuk tahun 2011; Wilayah Indonesia bagian Tengah (Nusa Tenggara Barat/ NTB dan Kepulauan Togean) untuk tahun 2012-2013; Wilayah Indonesia Timur (Teluk Cendrawasih) untuk tahun 2014. Kegiatan-kegiatan riset lingkungan laut dan pesisir yang potensial dapat dilakukan dalam mendukung implementasi Coral Triangle Initiative (CTI) meliputi: 1. Mendukung Goal 1: Priority seascapes designated and effective managed. Dengan potensial lingkup kegiatan: Melakukan otenc dibidang biofisik, biologi, ekologi dan geofisik didaerah yang akan menjadi seascape; Melakukan kajian mengenai kondisi awal dari calon daerah seascape. 2. Mendukung Goal 2: Ecosystem Approach to Management of fisheries (EAFM ) and other marine resources fully applied. Dengan potensial lingkup kegiatan: Bekerjasama dengan pihak yang terkait lainnya dalam menyusun standar kondisi terumbu karang, berdasarkan pengalaman peneliti PRWLSDNH dalam penelitian selama ini dan data-data sekunder terbaru; Menggunakan data-data survey wallacea 2004 di daerah kepulauan Banggai; Melakukan survey kondisi lingkungan (habitat) Banggai Cardinal Fish di Kepulauan Banggai. 3. Mendukung Goal 4: Climate change adaption mesures achieved. Dengan potensial lingkup kegiatan: Melakukan penelitian terhadap

pengaruh perubahan temperatur air laut terhadap ekosistem padang lamun (bersifat time series); Melakukan penelitian mengenai ketahanan biota di ekosistem pesisir terhadap perubahan iklim (bersifat time series);

Melakukan penelitian yang bersifat eksperimental mengenai metode rehabilitasi ekosistem pesisir yang paling cocok untuk daerah tertentu; Melakukan pengembangan data base bersama-sama dengan pihak terkait lainnya untuk menggabungkan data-data hasil penelitian selama ini. 4. Mendukung Goal 5: Threatened species status improving. Dengan potensial lingkup kegiatan: Melakukan penelitian mengenai kondisi lingkungan (habitat) yang sesuai bagi organisme laut yang terancam.

III-6

e. Kerjasama di bidang pengembangan basis data dan pemodelan numerik karbon laut Melakukan kerjasama di bidang Pemodelan Ekologi Laut dan Penyerapan Karbon Laut, adalah mempunyai tujuan untuk mengembangkan model-model kopel dinamika dan ekologi secara terpadu untuk memantau dan memprediksi kecenderungan kondisi bio-fisik lingkungan laut dan pesisir. Kegiatan yang potensial untuk diciptakan antara lain: dengan mengembangkan model-model numerik baik model hidrodinamika fisik, maupun kopling dengan model-model ekologi; Mengembangkan system peringatan dini untuk degradasi lingkungan biofisik laut dan pesisir. Dimana kegiatan tersebut, diharapkan bahwa: Knowledgebased tentang karbon laut & adaptasi model-model numerik menjadi target tahun 2011; Integrasi/kopel model hidrodinamika fisik & ekologi menjadi target tahun 2012-2013; dan: Model prediksi peringatan dini kerusakan lingkungan bio-fisik laut dan pesisir menjadi target tahun 2014. Kegiatan studi potensi karbon laut di Indonesia dengan menggunakan pendekatan simulasi pemodelan numerik potensial dilaksanakan oleh P3SULAP, ITB, IPB, dan BPPT, baik secara masing-masing ataupun secara bekerjasama mengingat masing-masing mempunyai kekuatan di bidang yang berbeda tetapi saling melengkapi. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan peta bulanan produktifitas primer laut indonesia berbasis karbon, data primer mengenai kondisi Teluk Banten, parameter parameter input untuk simulasi model numeric. Diharapkan kegiatan ini jika kontinyu dilaksanakan maka dapat menghasilkan estimasi penyerapan karbon oleh lautan Indonesia. Saat ini banyak sekali pemodelan numerik hidrodinamika kopling dengan ekologi yang bersifat open source untuk publik. Adapun (contoh) pemodelan yang cukup berpotensial adalah: Hamburg Shelf Ocean Model (HAMSOM), ECOlogical North Sea Model HAMburg (ECOHAM) dan Ocean-Carbon Model Intercomparison Project (OCMIP).

Pengembangan basis data dan pemetaan lingkungan sebagai hasil dari pemantauan lingkungan terpadu secara berkesinambungan (timeseries) adalah penting untuk dikembangkan. Tujuan dan wacana pengembangan ini antara lain: Menyusun basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir dan memetakannya secara kontinu dan berkelanjutan; Melakukan analisa untuk mengetahui III-7

perkembangan kondisi lingkungan bio-fisik lingkungan laut dan pesisir terkait dengan proses penyerapan karbon serta perubahan iklim. Kegiatan yang potensial dikembangkan adalah: Mengembangkan pusat data dan situs informasi lingkungan bio-fisik di Indonesia; dan menyusun atlas klimatologi lingkungan bio-fisik laut dan pesisir. Dimana yang bisa ditargetkan untuk tahun 2011 adalah terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Barat; Tahun 2012-2013 adalah terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Tengah; dan tahun 2014 adalah terwujudnya basisdata lingkungan bio-fisik laut dan pesisir wilayah Indonesia Timur.

f. Aplikasi atau pengembangan untuk pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir Secara lebih luas, hasil-hasil penelitian diatas dapat dikembangkan untuk aplikasi pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Dimana tujuannya adalah mengkaji penerapan produk-produk penelitian ke dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir; dan mengkaji pengembangan strategi dan kebijakan pengelolaan dan konservasi lingkungan laut dan pesisir. Dengan kegiatan yang potensial dilakukan antara lain: Analisis dampak perubahan iklim terhadap karakteristik sumberdaya pesisir; Analisis mekanisme proses recovery dan pemantauan kondisi sumberdaya pesisir; Pengembangan strategi konservasi termasuk penentuan MPAs. Sebagai target tahun 2011-2012 dilakukan evaluasi peranan laut sebagai penyerap karbon secara periodik; dan tahun 2013-2014 diharapkan tercipta perangkat kebijakan pengelolaan lingkungan laut dan pesisir berbasis penelitian.

3.2. Dukungan sumberdaya penelitian dan pengembangan Dalam rangka mewujudkan rencana penelitian dan pengembangan (litbang) karbon laut dan Perubahan Iklim di Indonesia, P3SDLP saat ini memiliki dukungan Sumberdaya litbang yang cukup memadai da