RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA...

165
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya i

Transcript of RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA...

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

i

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Wilayah KPHL Sumba Barat Daya mencakup 11 wilayah kecamatan dan ditinjau dari

keberadaan kawasan hutannya terdiri atas dua fungsi hutan, yaitu hutan lindung (HL) dan

hutan produksi (HP). KPHL Sumba Barat Daya seluas 20.646,64 ha didominasi oleh areal

hutan Lindung mencapai 58% dan hutan produksi sekitar 42%. Di dalam pengelolaan tingkat

tapak, Visi KPHL Sumba Barat Daya adalah Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan

Sebagai Penyedia Jasa Ekosistem Dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan

beberapa misi pengelolaan, yaitu :

1. Memantapkan status kawasan KPHL Sumba Barat Daya;

2. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yaitu dengan mengoptimalkan

potensi hasil hutan non kayu dan jasa ekosistem lainnya dengan memperhatikan

ekosistemnya;

3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang efisien dan efektifit dalam

pengelolaan KPHL;

4. Pengembangan potensi ekowisata dan jasa ekosistem lainnya;

5. Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan;

6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan melalui kegiatan pengelolaan dan

pelestarian ekosistem hutan yang terintegrasi dengan pemanfaatan hasil hutan non

kayu, pengembangan ekowisata, aneka usaha kehutanan dalam peningkatan

ekonomi masyarakat;

7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dengan para pihak dalam pengelolaan

produk hasil hutan dan jasa lingkungan hutan.

Adapun kegiatan yang direncanakan dalam RPJP KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai

berikut :

1. Inventarisasi berkala wilayah kelola serta penataan hutannya

2. Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu

3. Pemberdayaan masyarakat

4. Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) pada areal KPHL yang telah ada izin

pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutannya

5. Penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar izin

6. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

ii

7. Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin

8. Penyediaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM)

9. Pemantapan kebijakan pengelolaan KPHL

10. Penambahan staf pengelola KPHL

11. Penyusunan prosedur kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau kerjasama

12. Penyediaan pendanaan

13. Pengembangan database

14. Rasionalisasi wilayah kelola

15. Review Rencana Pengelolaan

16. Pengembangan investasi.

Untuk mewujudkan rencana pengelolaan jangka panjang ini diperlukan dukungan komitmen

dari para pihak yang didukung dengan sistem kelembagaan dan personil yang memadai.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

iii

KATA PENGANTAR

Pengelolaan hutan dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

meliputi kegiatan tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan,

rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Untuk mengimplementasikan

pengelolaan hutan tersebut, maka perlu disusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka

Panjang (RPHJP) KPHL Sumba Barat Daya.

Rencana Pengeloaan Hutan Jangka Panjang KPHL Sumba Barat Daya memuat tujuan yang

akan dicapai KPHL, kondisi yang dihadapi, strategi dan kelayakan pengembangan

pengelolaan hutan, yang meliputi: tata hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan

hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Melalui rencana jangka

panjang ini potensi dan kondisi sumber daya hutan, kondisi sosial ekonomi dan

pengembangan KPHL jangka panjang di Kabupaten Sumba Barat Daya dapat diketahui.

Data dan informasi yang digunakan dalam rencana ini mengacu pada hasil kegiatan

inventarisasi kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya di wilayah kerja KPHL

Sumba Barat Daya.

Dengan tersusunnya Rencana Jangka Panjang Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya

ini diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan rencana

ini. Mudah-mudahan rencana ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan hutan

berkelanjutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya.

Sumba Barat Daya, ………………. 2015 Kepala KPHL Sumba Barat Daya,

……………………………. …………………………………

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

iv

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii

DAFTAR ISI…. ...................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................. viiii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. x

1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2. Tujuan ............................................................................................... 2

1.3. Sasaran ............................................................................................. 3

1.4. Ruang Lingkup ................................................................................... 3

1.5. Batasan Terminologi ........................................................................... 4

2.1. Risalah Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ............................................. 8

2.1.1. Letak dan Luas ................................................................................... 8

2.1.2 Topografi ........................................................................................... 9

2.1.3. Geologi ............................................................................................ 10

2.1.4. Tanah .............................................................................................. 12

2.1.5. Keadaan Iklim .................................................................................. 15

2.1.6. Daerah Aliran Sungai .......................................................................115

2.1.7. Aksesibilitas Kawasan ......................................................................115

2.1.8. Batas-Batas ...................................................................................... 17

2.1.9. Sejarah Pembentukan Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ..................... 18

2.1.10. Pembagian Blok Kawasan KPHL Sumba Barat Daya ............................ 20

2.2. Potensi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ........................................... 21

2.2.1. Penutupan Lahan ............................................................................. 21

2.2.2 Potensi Flora .................................................................................... 22

2.2.4 Potensi Fauna................................................................................... 24

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

v

2.2.5 Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam ......................................... 26

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat ........................................ 31

2.3.1 Demografi ........................................................................................ 31

2.3.2 Suku/etnis ........................................................................................ 32

2.3.3 Perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ...................... 33

2.3.4 Deskripsi Desa Sampel ...................................................................... 35

2.4 Perizinan dan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan ............. 76

2.5 KPHL SBD dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah ............................................................................................. 76

2.6 Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan ........................................... 78

2.6.1 Isu Strategis. .................................................................................... 78

2.6.2 Kendala dan Permasalahan ............................................................... 79

3.1. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya ................... 81

3.1.1. Visi .................................................................................................. 81

3.1.2 Misi .................................................................................................. 82

3.1.3 Tujuan Pengelolaan .......................................................................... 83

3.1.4 Pendekatan Strategi Pengelolaan ....................................................... 84

4.1. Analisis Data dan Informasi KPHL Sumba Barat Daya .......................... 88

4.1.1 Faktor Internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness) ............ 88

4.1.2 Faktor Eksternal (Peluang/Opportunities dan Ancaman/Threats) .......... 97

4.1.3 Penilaian Terhadap Faktor Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/ Ancaman (SWOT) ..........................................................................................102

4.2 Proyeksi Kondisi Wilayah KPHL Sumbawa Barat Daya di masa yang akan datang ............................................................................................105

4.2.1. Proyeksi Kelestarian Fungsi Lindung .................................................105

4.2.2. Proyeksi Kelestarian Ekologis ............................................................111

4.2.3. Proyeksi Kelestarian Sosial Ekonomi ..................................................112

5.1 Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Serta Penataan Hutannya ...........114

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

vi

5.1.1 Inventarisasi Hutan ..........................................................................115

5.1.2 Hasil Penataan Hutan di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya .............115

5.1.3 Pembagian Blok Hutan Lindung di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................................117

5.1.4 Pembagian Blok Hutan Produksi di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................................119

5.2 Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu ........................................123

5.3 Pemberdayaan masyarakat ..............................................................125

5.4 Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) Pada Areal KPHL Yang Telah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan Hutannya .........125

5.5 Penyelenggaraan Rehabilitasi Pada Areal Di Luar Izin.........................126

5.6 Pembinaan Dan Pemantauan (Controlling) Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Reklamasi Pada Areal yang Sudah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan Hutan ............................................................126

5.7 Penyelenggaraan Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam ...............130

5.7.1 Perlindungan Hutan. ........................................................................131

5.7.2 Konservasi Alam ..............................................................................131

5.8 Penyelenggaraan Koordinasi Dan Sinkronisasi Antar Pemegang Izin ....133

5.9 Koordinasi Dan Sinergi Dengan Instansi Dan Stakeholder Terkait .......134

5.10 Penyediaan Dan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) ..134

5.10.1 Pemantapan Kebijakan Pengelolaan KPHL .........................................134

5.10.2 Penambahan Staf Pengelola KPHL ....................................................134

5.10.2 Penambahan Staf Pengelola KPHL……………………………………..………....134 5.10.3 Penyusunan Prosedur Kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau

kerjasama……………………………………………………………………………………137 5.10.4 Peningkatan Sarana dan Prasarana ...................................................137

5.11 Penyediaan Pendanaan ....................................................................137

5.12 Pengembangan Database .................................................................138

5.13 Rasionalisasi Wilayah Kelola .............................................................139

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

vii

5.14 Review Rencana Pengelolaan ...........................................................139

5.15 Pengembangan Investasi .................................................................142

6.1. Pembinaan ......................................................................................143

6.2. Pengawasan ....................................................................................144

6.3. Pengendalian...................................................................................144

7.1. Pemantauan ....................................................................................146

7.2. Evaluasi ..........................................................................................148

7.3. Pelaporan ........................................................................................149

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Jenis-jenis tanah di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya .......................................................................................113

Tabel 2. 2 Kondisi erosivitas di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dsk .... 1Error! Bookmark not defined.

Tabel 2. 3 Kondisi areal berdasarkan cakupan sebaran Kecamatan di KPHL SBD .116

Tabel 2. 4 Arahan penataan detail areal kerja KPHL SBD..................................... 21

Tabel 2. 5 Kondisi tutupan lahan di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya .......... 22

Tabel 2. 6 Jenis-jenis fauna yang dijumpai di wilayah NTT .................................. 25

Tabel 2. 7 Tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah penduduk Kab. SBD ......... 32

Tabel 2. 8 Luas Wilayah Desa Bukambero menurut penggunaan lahan 2015 ........ 36

Tabel 2. 9 Jumlah Penduduk Desa Bokambero 5 (lima) tahun terakhir ................. 40

Tabel 2. 10 Jumlah ternak di Desa Bukambero ..................................................... 42

Tabel 2. 11 Kalender Musim Desa Delo ................................................................ 45

Tabel 2. 12 Jumlah Penduduk di Desa Delo .......................................................... 50

Tabel 2. 13 Jumlah dan Sebaran Penduduk Berdasarkan Nama Dusun/Kampung ... 50

Tabel 2. 14 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Desa Delo ....................................................................................................... 50

Tabel 2. 15 Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Delo dalam Kurun Waktu 1 (satu) Tahun .............................................................................................. 51

Tabel 2. 16 Luas Wilayah Desa Waimangura menurut lenggunaan lahan ............... 55

Tabel 2. 17 Lembaga-lembaga di Desa Waimangura ............................................ 55

Tabel 2. 18 Jumlah Penduduk Desa Waimangura berdasarkan kelompok umur ...... 57

Tabel 2. 19 Jenis kegiatan dan frekuensi gotong royong setahun terakhir .............. 61

Tabel 2. 20 Potensi Tanaman Pangan di Desa Waimangura .................................. 62

Tabel 2. 21 Perkembangan populasi ternak di Desa Waimangura .......................... 63

Tabel 2. 22 Produktivitas Perkebunan di Desa Waimangura .................................. 64

Tabel 2. 23 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah di Desa Dikira .................... 68

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

ix

Tabel 2. 24 Nama suku yang ada di Desa Dikira beserta nama Kepala Suku........... 70

Tabel 2. 25 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Dusun .................................... 71

Tabel 2. 26 Jumlah Penduduk Desa Dikira Pada Akhir Tahun 2014 ........................ 71

Tabel 2. 27 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Tingkat Pendidikan ................. 72

Tabel 2. 28 Jumlah Petani serta Luas Produksi Tanaman Pertanian di Desa Dikira .. 73

Tabel 2. 29 Jumlah Ternak di Desa Dikira ............................................................ 73

Tabel 2. 30 Jumlah Sarana Ekonomi di Desa Dikira ............................................... 74

Tabel 4. 1 Tutupan Lahan di areal KPHL SBD (dalam ha) .................................... 89

Tabel 4. 2 Tingkat Kekritisan di Kawasan KPHL SBD ........................................... 91

Tabel 4. 3 Kebutuhan Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Hutan di KPHL SBD (ha) ... 92

Tabel 4. 4 Potensi Pemanfaatan di Areal KPHL SBD ............................................ 93

Tabel 4. 5 Potensi Pemanfaatan HHBK di Areal KPHP SBD................................... 94

Tabel 4. 6 Kelas Aksesibilitas Terhadap Areal KPHL SBD ..................................... 97

Tabel 4. 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan ......................................................................................................101

Tabel 4. 8 Perhitungan Nilai Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ......................................................................................................102

Tabel 4. 9 Proyeksi HHBK Tahun 2015-2025 di Wilayah KPHL SBD .....................110

Tabel 4. 10 Proyeksi Pengurangan Tingkat Kekritisan Lahan di KPHL SBD Periode 2015 – 2025 ....................................................................................111

Tabel 5. 1 Pembagian blok dan arahan pengelolaan KPHL SBD ..........................118

Tabel 5. 2 Sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD ....117

Tabel 5. 3 Pembagian blok hutan produksi di wilayah KPHL SBD ........................119

Tabel 5. 4 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Lindung KPHL SBD .................128

Tabel 5. 5 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Produksi KPHL SBD ...............129

Tabel 7. 1 Kegiatan Pemantauan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL SBD ................................................................................................147

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sebaran Fungsi Hutan di wilayah KPHL SBD ......................................... 9

Gambar 2 Sebaran kondisi fisiografi lahan di wilayah KPHL SBD ............................ 9

Gambar 3 Kondisi sebaran kelas lereng di wilayah KPHL Sumba Barat Daya .. Error! Bookmark not defined.0

Gambar 4 Peta Kelas Batuan di wilayah KPHL SBD ............................................. 11

Gambar 5 Kondisi Geologi di wilayah KPHL SBD ................................................. 12

Gambar 6 Peta Jenis Tanah di wilayah KPHL SBD ............................................... 13

Gambar 7 Kondisi curah hujan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya ..................... 16

Gambar 8 Tingkat Aksesibilitas Kawasan KPHL Sumba Barat Daya ...................... 17

Gambar 9 Bagan organisasi KPHL Sumba Barat Daya ......................................... 17

Gambar 10 Skema Pembagian Blok KPHL Sumba Barat Daya ................................ 21

Gambar 11 Objek wisata Danau Weekuri ............................................................. 27

Gambar 12 Objek wisata alam berupa tebing-tebing di Pantai Mandorak ............... 27

Gambar 13 Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Mandorak ....................... 28

Gambar 14 Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Waibuku ........................ 26

Gambar 15 Objek wisata alam Pantai Watu Maladong .......................................... 26

Gambar 16 Objek wisata alam Pantai Tanjung Bulir ............................................. 27

Gambar 17 Objek wisata alam Air Terjun Pabeti Lakira ......................................... 30

Gambar 18 Objek wisata alam Air Terjun Dikira ................................................... 31

Gambar 19 Rumah Permanen dan Semi Permanen di Desa Bukambero ................. 36

Gambar 20 Presentase Penganut Agama di Desa Bukambero ............................... 40

Gambar 21 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bukambero .................................. 41

Gambar 22 Pakaian adat untuk berburu .............................................................. 47

Gambar 23 Kondisi tata guna lahan Desa Delo ..................................................... 46

Gambar 24 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ................................... 52

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

xi

Gambar 25 Rumah tersebar di sepanjang jalan .................................................... 55

Gambar 26 Struktur organisasi Desa Waimangura ................................................ 54

Gambar 27 Jumlah Penduduk Desa Waimangura Tahun 2012-2013 ...................... 56

Gambar 28 Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa Waimangura Tahun 2012 dan 2013 ................................................................................................ 60

Gambar 29 Irigasi dan Sawah di Desa Waimangura ............................................. 62

Gambar 30 Pemanfaatan Pekarangan rumah ....................................................... 63

Gambar 31 Bentuk bangunan rumah di Desa Dikira ............................................. 68

Gambar 32 Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (Lima) Tahun Terakhir .. 71

Gambar 33 PLTMH di desa Pada Eweta ............................................................... 75

Gambar 34 Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHL SBD ...................................... 90

Gambar 35 Struktur Organisasi KPHL SBD ........................................................... 95

Gambar 36 Peta Kelas Aksesibilitas di wilayah KPHL SBD ...................................... 98

Gambar 37 Posisi Strategis Pada Awal Pembangunan KPHL SBD ..........................104

Gambar 38 Peta Penataan Hutan di wilayah kerja KPHL SBD ...............................116

Gambar 39 Luas blok fungsi dan arahan KPHL Sumba Barat Daya .......................117

Gambar 40 kondisi tutupan vegetasi di areal blok inti di Hutan lindung KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................118

Gambar 41 Luas setiap kelas lereng di blok inti hutan lingung KPHL SBD .............116

Gambar 42 Luas blok arahan pada blok pemanfaatan hutan lindung KPHL SBD ....117

Gambar 43 Kondisi sebaran tutupan vegetasi pada APL di Hutan Lindung KPHL SBD ......................................................................................................118

Gambar 44 Kondisi tutupan areal di wilayah sasaran usaha skala kecil di hutan lindung blok pemanfaatan .................... Error! Bookmark not defined.

Gambar 45 Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemanfaatan HHK-HT KPHL SBD .......................................................... Error! Bookmark not defined.

Gambar 46 Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok pemanfaatan jasa lingkungan ......................................................................................................119

Gambar 47 Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok Lindung .............................122

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

xii

Gambar 48 Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemberdayaan KPHL SBD ……..121

Gambar 49 Peta Wilayah Tertentu KPHL SBD. ......... Error! Bookmark not defined.

Gambar 50 Alur Pelaksanaan Evaluasi Rencana Pengelolaan Hutan ......................148

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

1

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu modal alamiah (natural capitals) yang sangat penting sebagai

sumber daya alam (natural resources) dan sumber dari beragam jasa ekosistem/lingkungan

(ecosystem services) yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya. Keberadaan

produk dan jasa yang disediakan hutan seperti kayu, hasil hutan bukan kayu, air,

biodiversitas, udara bersih, serapan karbon, wisata alam, dan sebagainya menjadi bagian

dari kebutuhan penting kehidupan manusia. Uniknya produk dan jasa ekosistem hutan

tersebut sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem hutannya, dimana apabila

ekosistemnya mengalami degradasi maka produk dan jasa ekosistem hutan tentunya akan

terganggu atau terdegradasi juga. Oleh karena itu mengelola hutan secara berkelanjutan

menjadi keniscayaan karena hutan adalah modal alamiah yang sangat penting sebagai

penyangga sistem kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia beserta

lingkungan hidupnya.

Bagi masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya, hutan dinilai sebagai ibu dari kehidupan

masyarakat sepanjang waktu. Hutan menyediakan berbagai kebutuhan hidupnya, seperti air

bersih, hasil hutan kayu dan bukan kayu, pangan, obat tradisional, serta perlindungan

ekosistem wilayahnya. Di sisi lain dengan makin berkembangnya Kabupaten Sumba Barat

Daya sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Nusa Tenggara

Timur, maka peranan hutan terutama dalam menyediakan jasa lingkungannya seperti

sumber air bersih dan perlindungan lingkungan hidup makin penting dan strategis.

Untuk menjamin eksistensi hutannya dapat dikelola secara berkelanjutan, maka diperlukan

penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Unit pengelolaan tersebut adalah

kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

dikelola secara efisien dan lestari, yang kemudian disebut KPH (Kesatuan Pengelolaan

Hutan), antara lain dapat berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan

Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).

KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata kawasan

hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai izin dan/atau dikelola

BAB

1 PENDAHULUAN

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

2

sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Apabila

peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan

harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan

lestari.

Pembentukan KPHL Sumba Barat Daya dengan luas areal ± 25.213 ha telah ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor :

SK.591/Menhut-II/2010 tanggal 19 Oktober 2010 tentang penetapan wilayah KPHL dan

KPHP Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan lampiran SK lembar 1. Selain itu berdasarkan

Peraturan Daerah Kabupaten SBD Nomor 16 Tahun 2014 telah ditetapkan Organisasi dan

Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai

dasar hukum pembentukan kelembagaan KPHL Sumba Barat Daya.

Penyelenggaraan kegiatan kehutanan di wilayah tersebut agar berjalan secara terencana,

sistematis, dan efisien maka perlu didukung oleh kegiatan perencanaan yang baik.

Perencanaan memegang peranan penting, karena tanpa perencanaan yang baik tidak

mungkin kegiatan akan berjalan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh

karena itu rencana pengelolaan hutan di Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi tahapan

penting dalam penyelenggaraan KPHL Sumba Barat Daya.

Rencana jangka panjang KPHL Sumba Barat Daya ini disusun untuk memberikan gambaran

mengenai: (1) potensi dan kondisi sumber daya hutan, letak KPHL Sumba Barat Daya dalam

DAS, kondisi sosial ekonomi dan pengembangan wilayah, (2) bobot fungsi hutan yang akan

diwujudkan dan sasaran para pihak untuk mewujudkan pemanfaatan hutan secara efisien

dan adil, (3) ketersediaan prakondisi maupun potensi hambatan ditinjau dari kepastian

wilayah, permintaan hasil hutan, investasi dan sumber pendanaan, dan sumberdaya

manusia, serta (4) kelayakan pengembangan yang ditelaah selain dari segi manfaat dan

biaya juga dari ketersediaan prakondisi, kekuatan dan kelemahan institusi dan organisasi.

1.2. Tujuan

Menyediakan rencana pengelolaan (management plan) jangka panjang kurun waktu 10

tahun untuk memberikan arahan bagi para pihak yang berkepentingan dalam kegiatan

pembangunan kehutanan pada setiap blok dan petak di wilayah KPHL Sumba Barat Daya,

sehingga memiliki kerangka kerja yang terpadu dan komprehensif di dalam pelaksanaan

pengelolaan kawasan hutan yang lebih efektif, efisien dan manfaat yang berkeadilan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

3

1.3. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang

KPHL Sumba Barat Daya adalah tersusunnya kerangka formal pengelolaan untuk jangka

waktu sepuluh tahun ke depan sebagai acuan bagi rencana pengelolaan jangka menengah

(5 tahunan), dan rencana pengelolaan jangka pendek (1 tahun) dalam mewujudkan

kelestarian fungsi dan manfaat dari kawasan KPHL Sumba Barat Daya.

1.4. Ruang Lingkup

Penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang KPHL Sumba Barat Daya untuk jangka

waktu sepuluh tahun berdasarkan kajian aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dengan

memperhatikan partisipasi, aspirasi, budaya masyarakat dan rencana pembangunan

daerah/wilayah. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang ini menjadi dasar bagi penyusunan

Rencana Pengelolaan Jangka Menengah dan Jangka Pendek dalam bentuk matriks strategi

pengelolaan yang memuat program-program dan usulan kegiatan operasional.

Lingkup substansi RPJP-KPHL Sumba Barat Daya secara sistematik sebagai berikut :

a. Pendahuluan, berisi : latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, dan batasan

pengertian.

b. Deskripsi Kawasan KPHL Sumba Barat Daya, yang terdiri atas : a). Risalah wilayah

(letak, luas, aksesibilitas kawasan, batas-batas, sejarah wilayah, dan pembagian blok),

b). Potensi wilayah (penutupan vegetasi, potensi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan

kayu, keberadaan flora dan fauna langka, potensi jasa lingkungan dan wisata alam), c).

Data dan informasi sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar hutan termasuk

keberadaan masyarakat hukum adat, d). Data dan informasi izin-izin pemanfaatan hutan

dan penggunaan kawasan hutan di dalam wilayah kelola, e). Kondisi posisi KPHL Sumba

Barat Daya dalam perspektif tata ruang wilayah dan pembangunan daerah, dan f). Isu

strategis, kendala dan permasalahan.

c. Mendeskripsikan kondisi wilayah KPHL Sumba Barat Daya baik berdasarkan

aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya, dan pembangunan wilayah;

d. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan, berisi ; pernyataan visi dan misi, kebijakan dan

strategi pencapaian .

e. Analisis dan Proyeksi, meliputi : a). Analisis data dan informasi yang tersedia saat ini

(baik data primer maupun data sekunder), b). Proyeksi kondisi wilayah KPHL Sumba

Barat Daya di masa yang akan datang dan c). Analisa dan proyeksi core business.

f. Rencana Kegiatan, terdiri dari : a). Inventarisasi berkala wilayah kelola dan penataan

hutan, b). Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu, c). Pemberdayaan masyarakat,

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

4

d). Pembinaan dan pemantauan (controlling) pada areal KPHL yang telah dibebani izin

pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan, e). Penyelenggaraan rehabilitasi

pada areal di luar izin, f). Pembinaan dan pemantauan (controlling) pelaksanaan

rehabilitasi dan reklamasi pada areal yang sudah ada izin pemanfaatan dan penggunaan

kawasan hutan, g). Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam, h).

Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin, i). koordinasi dan

sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait, j) penyediaan dan peningkatan

kapasitas SDM, k). Penyediaan pendanaan, l). pengembangan database, m).

Rasionalisasi wilayah kelola, n). Review rencana pengelolaan (minimal 5 tahun sekali)

dan o). Pengembangan investasi

g. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian

h. Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan

i. Penutup

1.5. Batasan Terminologi

Dalam dokumen ini yang dimaksud dengan :

1. Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;

2. Hutan Tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai

kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas

dan hutan produksi tetap;

3. Hutan Konservasi yang selanjutnya disebut HK adalah kawasan hutan dengan ciri

khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragam tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya;

4. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah;

5. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi

hasil hutan;

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

5

6. Pengurusan Hutan adalah kegiatan penyelenggaraan hutan yang meliputi

perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan

dan pelatihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan;

7. Pengelolaan Hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan

rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan,

rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam;

8. Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup

kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi

yang terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya bagi masyarakat secara lestari;

9. Inventarisasi hutan pada wilayah KPHL adalah rangkaian kegiatan pengumpulan

data untuk mengetahui keadaan dan potensi sumberdaya hutan dan lingkungannya

secara lengkap;

10. Rencana Pengelolaan Hutan adalah rencana pada kesatuan pengelolaan hutan yang

memuat semua aspek pengelolaan hutan dalam kurun jangka panjang dan pendek,

disusun berdasarkan hasil tata hutan dan rencana kehutanan, dan memperhatikan

aspirasi, peran serta dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan dalam rangka

pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih

optimal dan lestari;

11. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang adalah Rencana pengelolaan hutan

pada tingkat strategis berjangka waktu 10 (sepuluh) tahun atau selama jangka benah

pembangunan KPHL;

12. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek adalah Rencana Pengelolaan Hutan

berjangka waktu satu tahun pada tingkat kegiatan operasional berbasis petak dan/atau

blok;

13. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,

memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta

memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya;

14. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan

perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

6

dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan;

15. Penggunaan Kawasan Hutan adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk

pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok

kawasan hutan;

16. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan

hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan

lestari;

17. Kesatuan pengelolaan Hutan Konservasi selanjutnya disebut KPHK adalah KPH

yang luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan konservasi;

18. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang

luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung;

19. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang

luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi;

20. Resort Pengelolaan Hutan adalah kawasan hutan dalam wilayah KPH yang

merupakan bagian dari wilayah KPH yang dipimpin oleh Kepala Resort KPH dan

bertanggung jawab kepada Kepala KPH;

21. Blok Pengelolaan pada wilayah KPH adalah bagian dari wilayah KPH yang dibuat

relatif permanen untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan;

22. Petak adalah bagian dari Blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha

pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan dan silvikultur yang sama;

23. Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik

bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya atau belum dibebani

izin pemanfaatannya;

24. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut sebagai pemerintah, adalah perangkat

Negara Kesatuan RI yang tediri dari Presiden beserta Menteri;

25. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang

kehutanan;

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

7

26. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang

lain sebagai badan eksekutif daerah;

27. Dinas adalah Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan;

28. Kolaborasi Pengelolaan Kawasan adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau

penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas

pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas

dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

29. Peran serta para pihak adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para

pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk

bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan KPH;

30. Kelembagaan Kolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPHL adalah

pengaturan yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan termasuk

mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan kolaborasi yang ditetapkan

berdasarkan kesepakatan para pihak;

31. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan suatu alat yang berisi kerangka

dasar bagi upaya pengalokasian ruang berdasarkan fungsi, struktur dan hirarki ruang,

serta sebagai pengendalian pemanfaatan ruang;

32. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) merupakan salah satu struktur tata ruang

yang merupakan bentuk sasaran dalam penetapan kebijaksanaan penataan ruang

wilayah.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

8

2.1. Risalah Wilayah KPHL Sumba Barat Daya

2.1.1. Letak dan Luas

Wilayah KPHL Sumba Barat Daya secara administratif berada di Kabupaten Sumba Barat

Daya sebagai salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur terletak di daratan Pulau

Sumba, sebuah pulau di bagian Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, bersebelah dengan

Kabupaten Sumba Barat. Letak astronomisnya antara 9º 18’ - 10º 20’ Lintang Selatan, dan

antara 118º 55’ - 120º 23’ Bujur Timur. Wilayah ini secara langsung berbatasan dengan

Selat Sumba di sebelah utara, Samudera Indonesia di sebelah selatan, Samudera Indonesia

di sebelah barat dan Kabupaten Sumba Barat di sebelah Barat.

Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan antara lain Kecamatan

Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara,

Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur,

Kecamatan Wewewa Tengah, Kecamatan Wewewa Utara,Kecamatan Loura dan Kecamatan

Kota Tambolaka. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki luas daratan mencapai 1.445,32

km2. (144.532 ha).

Wilayah KPHL Sumba Barat Daya mencakup 11 wilayah kecamatan dan ditinjau dari

keberadaan kawasan hutannya terdiri atas dua fungsi hutan, yaitu hutan lindung (HL) dan

hutan produksi (HP). KPHL Sumba Barat Daya seluas 20.646,64 ha didominasi oleh areal

hutan Lindung mencapai 58 % dan hutan produksi sekitar 42 %. Hutan lindung di dalam

wilayah ini secara umum lebih diperuntukkan sebagai penyangga tata air. Kondisi sebaran

fungsi hutan KPHL Sumba Barat Daya secara lebih rinci disajikan pada gambar berikut:

BAB

2 DESKRIPSI KAWASAN

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

9

Gambar 1. Sebaran Fungsi Hutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

2.1.2 . Topografi

Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit-bukit dengan ketinggian

dari permukaan laut berkisar 0 – 850 mdpl. Untuk kemiringan wilayah, hampir 50% luas

wilayahnya memiliki kemiringan antara 2 – 40%. Topografi yang berbukit-bukit

mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi.

Hasil analisis spasial diperoleh gambaran kondisi topografi di wilayah kerja KPHL Sumba

Barat Daya secara umum didominasi oleh kawasan dataran dan perbukitan. Kondisi sebaran

fisiografi lahan di wilayah ini disajikan pada gambar berikut:

Gambar 2. Sebaran kondisi fisiografi lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

HL 58%

HP 42%

- 1.0

00,0

0

2.0

00,0

0

3.0

00,0

0

4.0

00,0

0

5.0

00,0

0

6.0

00,0

0

7.0

00,0

0

8.0

00,0

0

9.0

00,0

0

DATARAN

JALUR MEANDER

PANTAI

PEGUNUNGAN

PERBUKITAN

RAWA PASUT

TERAS

Luas (ha)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

10

Selanjutnya bila ditinjau dari segi kondisi kemiringan lahan (lereng), kawasan KPHL Sumba

Barat Daya didominasi oleh kelas lereng di atas 15% (agak curam – sangat curam)

sebagaimana ditunjukkan pada diagram berikut:

Gambar 3. Kondisi sebaran kelas lereng di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

Dari diagram di atas diketahui bahwa lahan-lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

memiliki resiko ekologis/lingkungan yang cukup tinggi. Bentuk-bentuk penggunaan lahan

memerlukan perhatian secara hati-hati terutama untuk mengantisipasi erosi dan longsor di

musim penghujan.

2.1.3. Geologi

Secara umum pulau Sumba dan kepulauan Nusa Tenggara lainnya terletak pada wilayah

Ring Api Pasifik Seismik yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurosia,

tepatnya pada busur Sunda-Banda bagian luar atau busur geantiklin yang dimulai dari Timur

ke Barat sebelah Selatan yang tidak bergunung api atau merupakan rona gempa dangkal.

Pulau Sumba termasuk kedalam tipe pegunungan kelopak dimana intensitas tektoniknya

cukup aktif dengan sesar sungkup yang cukup banyak ditemukan di bagian selatan, hal ini

menyebabkan litologi yang menyusun daerah ini cukup rumit dan sering mengalami

perulangan (Rosidi, Suwitodirdjo dan Tjokrosapoetro, 1974/1975).

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

0 - 8% 8 - 15% 15 - 25% 25 - 40%

Luas

(h

a)

Kelas Lereng (%)

HL

HP

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

11

Gambar 4. Peta Kelas Batuan di wilayah KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

12

Berdasarkan hasil analisis spasial diperoleh informasi bahwa kondisi geologi di wilayah kerja

KPHL SBD dan sekitarnya lebih banyak didominasi batuan dengan formasi batu gamping

sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 5. Kondisi geologi di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

2.1.4. Tanah

Berdasarkan data Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor (1974) memperlihatkan bahwa di

Kabupaten Sumba Barat Daya ditemukan 3 (tiga) jenis tanah yaitu : renzina seluas 1.196,58

km2 atau 85,88 %, tanah kambisol distrik seluas 162,53 km2 atau 11,67% dan tanah regosol

ustik seluas 22,92 km2 atau 1,65 %.

Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kerja KPHL Sumba Barat

Daya didominasi oleh jenis tanah renzina (74,50). Tanah renzina memiliki kadar lempung

yang tinggi, teksturnya halus dan daya permeabilitasnya rendah sehingga kemampuan

menahan air dan mengikat air tinggi. Tanah renzina baik digunakan untuk budidaya

tanaman keras semusim dan juga tanaman palawija. Kondisi sebaran jenis tanah di wilayah

kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Jenis-jenis tanah di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya

No Jenis Tanah Luas (Ha) Persen (%)

1 Aluvial 240,21 1,16

2 Kambisol Distrik 4.228,06 20,48

3 Latosol Distrik 208,62 1,01

4 Regosol Ustik 587,50 2,85

5 Renzina 15.382,26 74,50

Total 20.646,64 100,00

Sumber: Hasil analisis spasial (2015)

- 50

0,0

0

1.0

00

,00

1.5

00

,00

2.0

00

,00

2.5

00

,00

3.0

00

,00

3.5

00

,00

4.0

00

,00

Aluvium estuarin marin muda (bergaram)

Andesit; basalt

Batu gamping

Batu gamping; koral

Batu gamping; koral; marl

Batu pasir; batu lumpur; serpih; konglomerat; batu…

Koral; Aluvium marin estuarin muda (bergaram);…

Tufit; batu pasir; konglomerat

Luas (ha)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

13

Gambar 6. Peta Jenis Tanah di wilayah KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

14

2.1.5. Keadaan Iklim

Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi

Nusa Tenggara Timur hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan.

Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak

banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada

bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal

dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti

setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-

Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Barat Daya dan umumnya NTT dekat

dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera

Pasifik sampai di wilayah Sumba Barat Daya kandungan uap airnya sudah berkurang yang

mengakibatkan hari hujan di Sumba Barat Daya lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah

yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Barat sebagai wilayah yang

tergolong kering di mana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan Maret, dan Desember) yang

keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering.

Keadaan iklim di wilayah Sumba Barat Daya belum sepenuhnya diperoleh informasi secara

menyeluruh mengingat masih terbatasnya stasiun dan alat pengukur iklim yang mewakili

seluruh wilayah. Sampai saat ini stasiun pengukur curah hujan baru terdapat di Kecamatan

Wewewa Timur, Wewewa Utara dan Loura. Secara rata-rata, Sumba Barat Daya mengalami

139 hari hujan dengan curah hujan mencapai 4.134 milimeter selama tahun 2011 (data

tahun 2013 tidak tersedia). Daerah dengan hari hujan dan curah hujan tinggi adalah

Kecamatan Wewewa Timur yang memiliki tinggi rata-rata 300-850 meter di atas permukaan

laut. Sedangkan daerah dengan hari hujan dan curah hujan rendah berada di Kecamatan

Kodi Utara, yang merupakan dataran rendah dengan tinggi rata-rata 0-300 meter di atas

permukaan laut. Berdasarkan analisis spasial diperoleh informasi mengenai sebaran luas

wilayah berdasarkan tipe hujan di KPHL Sumba Barat Daya sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 7.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

15

Gambar 7. Kondisi curah hujan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

2.1.6. Daerah Aliran Sungai

Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki 6 buah sungai dengan panjang yang bervariasi, yang

terletak di empat Kecamatan yaitu Sungai Pola Pare dan Sungai WaiHa dengan panjang 18

Km dan 9 Km di kecamatan Kodi Bangedo, Sungai Wee Wagha dan Sungai Wee Lomboro

dengan panjang masing- masing 10 Km terletak di Kecamatan Wewewa Selatan, Sungai Wee

Kalowo dengan panjang 7 Km di Kecamatan Wewewa Timur dan Sungai Loko Kalada

sepanjang 16 Km yang terletak di Kecamatan Loura.

2.1.7. Aksesibilitas Kawasan

Aksesibilitas menuju kawasan secara umum bervariasi dari rendah sampai tinggi, namun

berdasarkan hasil analisis peta aksesibilitas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan

(61%) memiliki aksesibilitas yang rendah, namun di HL justru cenderung tinggi. Hal ini

diduga karena terdapatnya lokasi-lokasi objek wisata alam di dalam kawasan dan juga

terdapatnya areal-areal terbuka. Kondisi aksesibilitas kawasan disajikan pada Gambar 8.

-

1.000,00

2.000,00

3.000,00

4.000,00

5.000,00

6.000,00

Luas

(h

a)

Curah hujan (mm/th)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

16

Gambar 8. Tingkat Aksesibilitas Kawasan KPHL Sumba Barat Daya

2.1.8. Batas-Batas

Wilayah KPHL Sumba Barat Daya secara administratif berada di Kabupaten Sumba Barat

Daya dengan luas wilayah kabupaten mencapai ± 144.532 ha. Sejak otonomi daerah

diberlakukan pada tahun 2001, sejumlah Desa/kelurahan dan Kecamatan di Sumba Barat

Daya mengalami pemekaran. Secara administrasi penambahan ini sudah defenitif. Sampai

tahun 2013, terhitung 131 Desa/Kelurahan definitif dan 11 Kecamatan definitif. Kondisi areal

di dalam kawasan KPHL Sumba Barat Daya berdasarkan sebaran wilayah admistratif

disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2. 2 Kondisi areal berdasarkan cakupan sebaran Kecamatan di KPHL Sumba Barat Daya

No. Kecamatan HL (ha) HP (ha) Jumlah (ha)

1 Kec. Kodi - 62,64 62,64

2 Kec. Kodi Bangedo - 1.885,17 1.885,17

3 Kec. Kodi Utara 2.544,49 3.896,69 6.441,18

4 Kec. Lamboya - 275,22 275,22

5 Kec. Lamboya Barat - 268,42 268,42

6 Kec. Loli 739,10 125,95 865,04

7 Kec. Loura 2.153,98 93,59 2.247,57

8 Kec. Tana Righu 254,63 92,64 347,27

9 Kec. Wewewa Barat 3.553,33 525,53 4.078,86

10 Kec. Wewewa Selatan 857,37 85,76 943,13

11 Kec. Wewewa Timur 1.925,53 1.306,61 3.232,14

Total 12.028,41 8.618,23 20.646,64 Sumber: Hasil analisis spasial (2015)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

HL HP Total

Luas

(h

a)

Fungsi Hutan

Rendah

Sedang

Tinggi

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

17

2.1.9. Sejarah Pembentukan Wilayah KPHL Sumba Barat Daya

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Nomor SK.633/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penetapan Lokasi Fasilitasi pada 7 (Tujuh) Unit

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 4 (Empat) Kesatuan Pengelolaan Hutan

Produksi (KPHP) di Provinsi Nusa Tenggara Timur, untuk Kabupaten Sumba Barat Daya

merupakan Unit XI Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dengan total luas ±

20.646,64 Ha (Dua puluh ribu enam ratus empat puluh enam koma enam puluh empat

hektar), dengan rincian hutan lindung seluas ± 12.028,41 ha, dan hutan produksi tetap

seluas ± 8.618,23 ha.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia

Nomor: SK.3911/MENHUT-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang Kawasan Hutan dan

Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur, luas kawasan hutan di wilayah Provinsi

Nusa Tenggara Timur adalah ± 1.784.751 hektar. Selanjutnya berdasarkan Peraturan

Daerah Kabupaten SBD Nomor 16 Tahun 2014 telah ditetapkan Organisasi dan Tata Kerja

Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai dasar hukum

pembentukan kelembagaan KPHL Sumba Barat Daya sebagaimana disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Bagan organisasi KPHL Sumba Barat Daya

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

18

2.1.10. Pembagian Blok Kawasan KPHL Sumba Barat Daya

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembagian wilayah dalam blok-

blok didasarkan pada ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan. Ketentuan ini yang

mendasari pembentukan blok-blok pada kawasan hutan, baik pada hutan produksi, hutan

lindung maupun kawasan konservasi. Pembagian blok dilaksanakan untuk setiap fungsi

hutan. Selain itu, tata hutan dan rencana pengelolaan hutan pada KPH telah dituangkan

dalam Permenhut Nomor P6/Menhut-II/2011 tentang Norma Standar Prosedur dan Kriteria

Pengelolaan Hutan KPHP/KPHL. Sebagai pedoman dalam kegiatan tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan, pembagian blok di kawasan KPHL Sumba Barat

Daya mengacu pada Peraturan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan No. P.5/VII-

WP3H/2012.

Pembentukan blok-blok di kawasan KPHL Sumba Barat Daya juga didukung oleh hasil

inventarisasi biogeofisik dan inventarisasi sosial ekonomi dan budaya sebagai dasar

penyusunan dokumen tata hutan yang didalamnya terdapat peta, data, dan informasi

potensi wilayah. Blok sebagai bagian dari wilayah KPH dengan persamaan karakteristik

biogeofisik dan sosial budaya, bersifat relatif permanen yang ditetapkan untuk meningkatkan

efektivitas dan efisiensi manajemen. Dengan demikian pembentukan blok didasarkan faktor

biogeofisik dan sosial budaya. Faktor-faktor biogeofisik yang berpengaruh antara lain:

penutupan lahan, potensi sumber daya hutan, bentang alam, topografi dan ekosistem.

Faktor sosial budaya yang berpengaruh antara lain : jumlah penduduk, mata pencaharian,

pemilikan lahan, jarak pemukiman, pola-pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat,

keberadaan hutan adat, dan sebagainya. Pembagian blok tentunya mempertimbangkan peta

arahan pemanfaatan sebagaimana diarahkan oleh Rencana Kehutanan Tingkat Nasional

(RKTN) Tahun 2011-2013, dan RPJMD Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya.

Berdasarkan hasil penataan yang dilakukan diperoleh bahwa wilayah KPHL Sumba Barat

Daya terbagi menjadi blok hutan lindung (HL) dan blok hutan produksi (HP). Pada masing-

masing fungsi kawasan diberikan arahan yang sesuai dengan karakteristik setempat

berdasarkan hasil inventarisasi dan RKTN sebagaimana disajikan pada gambar berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

19

Gambar 10. Skema Pembagian Blok KPHL Sumba Barat Daya

Arahan penataan secara lebih detail berdasarkan karakteristik wilayah hasil overlay peta-peta

dan inventarisasi diperoleh arahan penataan KPHL Sumba Barat Day sebagaimana disajikan

pada tabel berikut:

Tabel 2. 3 Arahan penataan detail areal kerja KPHL SBD

Fungsi Arahan Total (ha) Persen (%)

HL

HL-BLOK INTI 6.059,30 29,35

HL-BLOK PEMANFAATAN 5.969,11 28,91

Jumlah 12.028,41 58,26

HP

HP-BLOK PEMANFAATAN HASIL

HUTAN KAYU-HUTAN TANAMAN 4.396,13 21,29

HP-BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK 1.296,22 6,28

HP-BLOK LINDUNG 1.656,65 8,02

HP-BLOK PEMBERDAYAAN 1.269,23 6,15

Jumlah 8.618,23 41,74

Total 20.646,64 100

Sumber: Hasil analisis spasial (2015)

2.2. Potensi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya

2.2.1. Penutupan Lahan

Kondisi penutupan lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya sebagian besar merupakan area

belukar dan hutan lahan kering primer yang tersebar baik di hutan produksi maupun hutan

lindung, sebagian lainnya berupa hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering

campur. Keberadaan hutan lahan kering primer di hutan produksi ini sangat potensial untuk

KPHL Sumba Barat Daya

(± 20.646,64 ha)

Hutan Lindung

(± 12.028,41 ha)

Blok Inti

(± 6.059,30 ha)

Blok Pemanfaatan

(± 5.969,11 ha)

Hutan Produksi

(± 8.618,23 ha)

Blok Pemanfaatan HHK-HT

(± 4.396,13 ha)

Blok Pemanfaatan JL & HHBK

(± 1.296,22 ha)

Blok Lindung

(± 1.656,65 ha)

Blok Pemberdayaan (± 1.269,23 ha)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

20

pemanfaatan usaha-usaha jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kondisi

penutupan lahan di KPHL Sumba Barat Daya disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2. 4 Kondisi tutupan lahan di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya

No Tutupan Lahan HL (ha) HP (ha) Jumlah (ha)

1 Belukar 3.936,46 1.679,92 5.616,39 2 Hutan Lahan Kering Primer 5.665,68 5.741,36 11.407,04 3 Hutan Lahan Kering Sekunder 1.425,66 907,83 2.333,50 4 Padang Rumput/Savana 675,80 675,80 5 Pertanian Lahan Kering Campur 205,42 289,11 494,53 6 Tanah Terbuka Kosong 119,39 119,39 Total 12.028,41 8.618,23 20.646,64

Sumber: Hasil analisis spasial (2015)

Keberadaan hutan lindung yang luas di wilayah ini menjadi potensi yang baik bagi

Kabupaten Sumba Barat Daya terutama sebagai pelindung tata air dan tanah. Selain hal

tersebut, keberadaan hutan ini menjadi penting bagi perlindungan jenis-jenis flora dan

fauna asli beserta habitatnya.

2.2.2 Potensi Flora

A. Tipe vegetasi dan jenis-jenis flora khas

Keanekaragaman flora di wilayah Nusa Tenggara Timur pada dasarnya mengikuti zona-zona

flora yang termasuk dalam kelompok flora kepulauan wallacea, sehingga flora yang ada di

wilayah ini secara umum memliki kesamaan dengan wilayah Sulawesi dan Kepulauan

Maluku. Kondisi iklim yang secara umum tergolong kering dan kelembaban udara yang

relatif rendah dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia menyebabkan wilayah Nusa

Tenggara memiliki corak-corak vegetasi yang berbeda dengan wilayah lainnya.

Salah satu tipe vegetasi yang khas dijumpai di wilayah NTT adalah vegetasi sabana tropis,

hutan musim kering (dataran rendah sampai pegunungan) dan padang rumput (savana).

Jenis flora yang khas dijumpai antara lain pohon cendana (Santalum album) termasuk jenis

dilindungi, kesambi (Schleichera oleosa) dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Pohon cendana

sekaligus menjadi flora identitas Provinsi NTT.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari BBKSDA NTT diketahui bahwa daerah-

daerah di NTT cenderung memiliki kesamaan dalam hal keanekaragaman flora, sehingga

tidak dijumpai jenis flora khusus di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Lebih lanjut Dinas Kehutanan Provinsi NTT menjelaskan bahwa di wilayah NTT terdapat

jenis-jenis flora khas antara lain Hue (Eucalyptus alba), Kabesak/Pilang (Acacia

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

21

leucophloeae), Kleo/Laban (Vitex pubescens), Usapi/Kesambi (Schleichera oleosa),

Matani/Kayu Merah (Pterocarpus indicus), Kolaka/Besi (Parinarium corimbosum), Ampupu

(Eucalyptus urophylla), Ajaob/Kasuari/Cemara (Casuarina junghuhniana), Kolo (Erithrena

littosperma), Kelumpang (Sterculia foetida), Mbuhung (Schoutenis ovata), Munting/Bungur

(Langerstonia speciosa), Kawak/Jabon (Anthocepalus cadamba), Kodal/Eboni (Diospiros

maritima), Nera/Mindi (Melia acederachta), Worak/Kasai (Pometia tomentosa),

Nunuh/Beringin (Ficus benjamina), Lontar (Borasus flabilifer); Jenis bakau seperti Rhizophora

mucronata, Rhizophora appiculata, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Baringtonia

speciosa, Avicenia amarin, Bruguera gimnorhyza.

Hasil penelitian Njurumana dan Dwi Prasetyo (2010) Di wilayah KPHL Sumba Barat Daya

juga dikenal potensi jenis-jenis tumbuhan bermanfaat obat yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar, yaitu Pulai (Alstonia scholaris) sebagai obat malaria, lumpuh dan

rematik; Kunjur (Cassia fistula L) obat sakit kepala, sakit pinggang, melahirkan dan

bersihkan darah kotor; Nggai (Timonius flavescens B.) sebagai obat telinga yang bernanah,

cacingan pada anak-anak, badan pegal-pegal; Bila (Clerodendrum speciosum) sebagai obat

gangguan pada kelamin manusia; Hekul/Genoak (Acorus calamus L.) sebagai obat untuk

menolak serangan makhluk halus; Jambu biji (Psidium guajava) untuk mengobati

diare/mencret; Padamu Dima (Jatropha curcas) untuk menolak serangan makhluk halus,

melahirkan dan mengobati sakit kepala; Mawona/marungga/Kelor (Moringa oleifera) untuk

mengecilkan ari-ari, meningkatkan produksi air susu dan meningkatkan kesehatan anak;

Kuta kalara/sirih hutan (Piper amboinensis) untuk mengobati patah tulang, katalisator untuk

obat-obatan sembur; Winnu/Winno (Arecha pinnata) mengobati perut kembung, mual dan

katalisator obat-obatan yang disembur; Tada Linnu (Dysoxylon arborescens) sebagai cuci

darah, bersihkan darah kotor,bersihkan ginjal, lambung dan tambah darah; Nittu

/hadana/cendana (Santalum album Linn. Kerr.) menolak roh jahat; Kunyit (Curcuma

domestica) untuk cuci darah, bersihkan darah kotor; Tai kabala (Chromolaena odorata)

untuk mengobati luka pada manusia dan hewan; Tada Kaninggu (Cinnamomum burmanii)

sebagai obat sembur bila tertikam dan bumbu penyedap rasa; Kumis kucing (Orthosiphon

stamineus) sebagai obat asma, sesak napas dan kencing manis; Waru (Hibiscus tiliacus)

sebagai obat sakit telinga, mengobati luka sayat dan menghindari infeksi; Kadabu/Mengkudu

(Morinda sp.) obat sakit gula, liver, jantung, darah tinggi, asma dan gangguan pencernaan.

Hasil penelitian yang sama terhadap masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung

Yawila di Sumba Barat Daya diketahui bahwa masyarakat sekitar hutan melakukan

perburuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis-jenis satwa yang sering diburu

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

22

meliputi babi liar (Sus barbatus), burung alap-alap (Accipitridae sp.), musang (Cynogale

bennetti), ayam hutan (Gallus gallus) dan berbagai jenis satwa lainnya. Masyarakat juga

mengambil nilai manfaat dari sungai yang ada dengan cara menangkap ikan gurami

(Osphronemus gouramy), belut (Monopterus albus), udang (Cambarus virilis) dan jenis

hewan air lainnya. Sumber karbohidrat yang dapat diperoleh dari hutan berupa umbi-umbian

seperti Xanthasoma sp., Colocasia gigantea, Discorea pentaphylla, Discorea alata dan pisang

hutan (Musa sp.) serta jenis lainnya yang tumbuh liar.

Manfaat hutan sebagai sumber vitamin diperoleh dengan mengambil sayur-sayuran yang

berasal dari hutan seperti : sayur paku (Diplazium esculentum, Sternoclaena palustris dan

Neprolepis bisserata), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur payung/tiram (Pleurotus

ostreatus) dan lainnya. Hasil hutan itu sering dimanfaatkan masyarakat setempat untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil lain yang diperoleh adalah mengambil buah-buahan

segar dalam kawasan hutan meliputi mangga (Mangifera indica), nangka (Artocarpus

integra), kelapa (Cocos nucifera), kesambi (Scheilera olease) dan berbagai jenis buah-

buahan lain yang terdapat dalam hutan. Secara berkala masyarakat juga mengambil bahan

baku bumbu untuk memasak yang ada di hutan seperti jenis Eugenia sp. (sejenis daun

salam), jahe (Zingiber sp.), buah kemiri (Aleurites moluccana) dan jenis-jenis lainnya.

B. Potensi Tegakan

Berdasarkan hasil perhitungan potensi kayu di wilayah KPHL Sumba Barat Daya diperoleh

gambaran bahwa secara keseluruhan potensi kayu terpusat di hutan lahan kering sekunder

baik pada areal hutan lindung maupun hutan produksi.

Jenis-jenis pohon yang mendominasi di wilayah ini tergolong memiliki nilai komersial yang

cukup tinggi diantaranya adalah cendana (Santalum album), kayu merah (Dehaasia

incrasata), johar (Casia siamea), gaharu (Aquilaria malacensis), jati (Tectona grandis),

kesambi (Schleichera oleosa), merbau (Intsia bijuga), ampupu (Eucalyptus urophylla), dan

mahoni (Swietenia mahagony).

2.2.4 Potensi Fauna

Wilayah Nusa Tenggara Timur dikenal memiliki beragam jenis-jenis fauna yang khas dan

endemik diantaranya jenis reptilia berupa Komodo (Varanus komodiensis), Penyu (Chelonia

spp) dan Phyton Timor (Phyton timorensis). Berdasarkan hasil inventarisasi satwa yang

dilakukan oleh BBKSDA NTT (2013) diperoleh jenis-jenis fauna khas wilayah NTT

sebagaimana tabel berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

23

Tabel 2. 5 Jenis-jenis Fauna yang dijumpai di wilayah NTT

No. Kelompok fauna Nama Daerah Nama Latin

1

Mamalia

Rusa, sambar (gns Cervus) Cervus spp

Lumba-lumba air laut Dlphinidae

Landak Hystrixbrachyura

Kuskus (semua jenis phalanger) phalanger spp.

Lumba-lumba air laut (famili ziphiidae) Ziphiidae

Paus Biru Balaenoptera musculus

Paus bersirip Balaenoptera physalus

Paus (dari semua jenis famili Cetacea) Cetacea

2

Burung (Aves)

Alap-alap, elang (jns accipiteridae) Accipitridae

Udang, raja udang (jns alcedinidae) Alcedinidae

Pecuk ular Anhinga melanogaster

kuntul, bangau putih Bubulcus ibis

Julang, enggang, rangkong, Kangkareng

(fam bucerotidae)

Bucerotidae

Kakatua jambul kuning Cacatua sulphurea

Bangau hitam, sandang lawe Ciconia episcopus

Pergam raja Ducula whartoni

Kuntul karang Egretta sacra

Kuntul, bangau putih Egretta spp.

Alap-alap putih, alap-alap tikus Elanus caerulleus

Alap-alap, elang (fam falconidae) Falconidae

Beo flores Gracula religiosa mertensi

Bayan Lorius roratus

Burung gosong Megapodius reintwardtii

Sesap, pengisap madu (fam melipagidae) Meliphagidae

Burung kipas Rhipidura javanica

3

Reptilia

Penyu hijau Chelonia mydas

Buaya muara Crocodylus porosus

Penyu belimbing Dermochelys coriacea

Penyu sisik Eretmochelys imbricata

Penyu ridel Lepidochelys olivacea

Sanca timor Python timorensis

Biawak komodo, ora Varanus komodoensis

Biawak timor Varanus timorensis

4

Insekt

Kupu raja Troides haliphron

Kupu raja Troides helena

Kupu raja Troides plato

Akar bahar, krl hitam (gns antiphates) Antiphates spp.

Sumber :Hasil Inventarisasi Satwa BBKSDA NTT 2013

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

24

2.2.5 Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam

Wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya memiliki peranan yang strategis dalam mendukung

perkembangan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Beberapa nilai penting dari potensi

jasa lingkungan di wilayah kerja KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya, terutama terkait

dengan keberadaan lahan hutannya sebagai daerah tangkapan air bagi sumber-sumber mata

air dan aliran sungai yang dimanfaatkan sebagai air baku minum, pertanian, dan industri.

Disamping hal tersebut, areal hutan di wilayah ini memiliki nilai karbon yang cukup tinggi.

Selain potensi jasa lingkungan di atas, wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki

potensi wisata alam yang menarik dan memiliki keunggulan tersendiri. Sebagaimana telah

dirilis oleh Kompas, diketahui bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

memiliki tempat-tempat yang sangat indah dan dapat dijadikan sebagai tempat destinasi

wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Beberapa objek menarik dan

potensial untuk mendukung ekonomi daerah antara lain: 1) Danau Weekuri merupakan

objek wisata di kawasan Kodi Utara, Danau Weekuri ini menurut beberapa wisatawan

mancanegara akan menjadi primadona obyek wisata di Sumba Barat Daya karena jarang

bisa menemukan danau dengan air asin dengan suasana alamnya yang mendukung.

Gambar 11. Objek wisata Danau Weekuri

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

25

2) objek-objek wisata pantai, antara lain tebing-tebing di Pantai Mandorak

Gambar 12. Objek wisata alam berupa tebing-tebing di Pantai Mandorak

Selain tebing-tebing pantai, terdapat pasir yang putih di Pantai Mandorak yang menjadi

destinasi wisata lainnya di Sumba Barat Daya. Pantai ini berada di Kecamatan Kodi Utara,

ketika mengunjungi pantai Mandorak anda akan disajikan pemandangan karang terjal yang

eksotis. Selain itu di ujung tebing-tebing anda akan menemukan pantai dengan pasir putih

yang indah. Di kawasan ini sudah ada salah satu investor asal prancis yang mengembangkan

ecotourism.

Gambar 13. Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Mandorak

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

26

Pantai Waibuku terletak di wilayah Kodi Balaghar yang masih sangat alami bahkan banyak

orang sumba yang belum mengunjunginya. Pantai dengan pasir putih dan garis pantai

sangat cocok bagi para pencinta surfing karena tinggi ombak sangat memungkinkan untuk

berselancar. Disamping itu juga terdapat objek wisata Pantai Watu Maladong dan Pantai

Tanjung Bulir.

Gambar 14. Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Waibuku

Gambar 15. Objek wisata alam Pantai Watu Maladong

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

27

Gambar 16. Objek wisata alam Pantai Tanjung Bulir

3) objek-objek wisata air terjun, antara lain Air Terjun Pabeti Lakera

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

28

Gambar 17. Objek wisata alam Air Terjun Pabeti Lakira

Air terjun Dikira berada di Kecamatan Wewewa Timur, tempat ini juga digunakan sebagai

pembangkit tenaga mikrohidro. Menariknya kebanyakan pengunjung hanya melihat terjun

yang difungsikan untuk tenaga mikrohidro, tidak banyak yang benar-benar melihat

keindahan yang ada dibawahnya karena tidak ada akses untuk berjalan kaki, untuk

mencapainya anda harus berenang.

Gambar 18. Objek wisata alam Air Terjun Dikira

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

29

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat

2.3.1 Demografi

Berdasarkan informasi Statistik Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 diketahui

bahwa jumlah penduduk Sumba Barat Daya mencapai 292.798 jiwa pada tahun 2011

kemudian pada tahun 2012 diperkirakan meningkat mencapai 299.534 jiwa. Angka ini terus

bertambah mencapai 306.195 jiwa pada tahun 2013. Selama periode 2012-2013 tingkat

pertumbuhan penduduk tercatat mengalami sedikit perlambatan dari 2,30 persen menjadi

2,22 persen. Dengan luas wilayah sekitar 1.445,32 km², setiap km² ditempati penduduk

sebanyak 212 orang pada tahun 2013. Tingkat kepadatan penduduk ini meningkat dari

tahun sebelumnya yang sebesar 207 orang per km².

Secara umum di Sumba Barat Daya jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan

jumlah penduduk perempuan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sex ratio yang nilainya lebih

besar dari 100. Pada tahun 2013, untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar

106 penduduk laki-laki.

Dari total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), hampir dua pertiga penduduk Sumba

Barat Daya termasuk dalam angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami

penurunan selama periode 2012-2013 dari 76,70 persen menjadi 72,10 persen.

Dari seluruh angkatan kerja di Kabupaten Sumba Barat Daya, hanya 70,14 persen saja yang

telah bekerja. Tingkat pengangguran terlihat mengalami peningkatans elama kurun waktu

2012-2013. Pada tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 1,19 persen.

Angka ini naik menjadi 2,71 persen pada tahun 2013.

Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama, pilihan bekerja di sektor pertanian

dan pertambangan/penggalian (A) masih mendominasi pasar kerja di Sumba Barat Daya

dengan persentase sebesar 77,65 persen pada tahun 2013, yang diikuti dengan sektor

manufaktur (M) dengan persentase sebesar 13,31 persen. Sementara pekerja di sektor jasa-

jasa (S) sebanyak 9,04 persen. Struktur tersebut tampaknya tidak terlalu mengalami

perubahan selama kurun waktu 2012-2013.

Kemampuan baca tulis penduduk laki-laki dan perempuan di Sumba Barat Daya relatif

berimbang. 80,44 persen penduduk perempuan telah melek huruf, sedangkan jumlah

penduduk laki-laki yang melek huruf sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 83, 61 persen.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

30

Tabel 2.6 Tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah penduduk Kab. Sumba Barat

Daya

2.3.2 Suku/etnis

Penduduk di wilayah Kodi secara umum didominasi oleh Suku Wena Maya, Umbu Tedda,

Umbu Tada, dan Watupakadu yang merupakan penduduk asli daerah tersebut yang tinggal

secara turun temurun. Ada sebagian kecil suku pendatang yang terikat perkawinan dengan

suku asli setempat.

Di wilayah Wewewa Selatan dikenal terdapat 6 (enam) suku yang terdiri dari 1 (satu) suku

pemimpin dan 5 (lima) suku kecil. Nama Suku pemimpin yaitu Suku Umbu Padu sedangkan

nama suku kecil yaitu Bore, Umbu Warata, Ummaroro, Wetalora dan Welande. Suku

pemimpin dan suku kecil merupakan penduduk asli Desa Delo yang sudah tinggal turun

temurun. Bahasa sehari hari yang digunakan adalah bahasa Wewea dan bahasa Kodi.

Di wilayah Waimangura ditempati oleh beberapa kelompok etnik diantaranya Suku Beidello,

Suku We’elewo, Suku Togowatu, dan suku Bondoponda. Bahasa sehari-hari yang digunakan

oleh masyarakat Waimangura adalah Bahasa Waijewa.

2.3.3 Perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

Berdasarkan informasi Statistik Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 diketahui

bahwa kondisi perekonomian Kaabupaten Sumba Barat Daya membiayai kegiatan

pembangunan yang dilakukan pada tahun 2013 dialokasikan anggaran sebesar 548 miliar

rupiah, tetapi yang direalisasikan sebesar 467 miliar rupiah. Dari keseluruhan realisasi

pendapatan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 tersebut, Pendapatan Asli

Daerah (PAD) Sumba Barat Daya mencapai 16,73 miliar rupiah atau 3,37 persen dari total

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

31

realisasi APBD. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan PAD tahun sebelumnya yang

hampir mencapai 18 miliar rupiah. Selebihnya kekurangan APBD dtutup oleh dana

perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah, yang masing-masing jumlahnya mencapai

lebih dari 452 miliar dan 28,6 miliar rupiah.

Dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi daerah diketahui bahwa nilai tambah yang

dihasilkan sektor-sektor PDRB masih rendah. Demikian pula halnya dengan rata-rata tingkat

pendapatan masyarakat yang masih rendah. Jika angka pendapatan per kapita ini dikonversi

ke dalam jumlah hari dalam setahun, maka rata-rata pendapatan penduduk SBD sebesar

Rp.11.103,- per hari. Rendahnya penghasilan masyarakat ini sekaligus menggambarkan

bahwa angka kemiskinan cukup tinggi. Pada tahun 2006, persentase penduduk dibawah

garis kemiskinan mencapai 32,65%, tahun 2007 sebesar 30,12% lalu menurun menjadi

27,74% pada tahun 2008 dan pada kondisi 2009 menjadi 24,96%. Angka ini masih lebih

tinggi daripada prosentase penduduk di bawah garis kemiskinan di Provinsi NTT yang

mencapai 23,41% pada tahun yang sama (RPJMD SBD, 2011-2015).

Tingkat kesejahteraan masyarakat juga tercermin dari kualitas pendidikan masyarakat

berdasarkan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan yakni

angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka partisipasi kasar, angka partisipasi

murni dan angka pendidikan yang ditamatkan.

Jumlah penduduk buta huruf (usia 10 tahun ke atas) pada tahun 2006 sampai 2010

berturut-turut mencapai 36.796 jiwa, 29.476 jiwa, 23.486 jiwa, 17.866 jiwa lalu menurun

menjadi 12.556 jiwa pada kondisi 2010. Trend penurunan jumlah penduduk buta huruf ini

mengindikasikan performance di bidang pendidikan yang cukup baik. Kendati demikian,

angka ini masih tergolong tinggi sehingga membutuhkan intervensi kebijakan yang cukup

intens. Selain angka buta huruf, tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Sumba Barat

Daya yang masih rendah dapat dilihat dari angka rata-rata lama sekolah yang hanya 6,7

tahun pada tahun 2010. Artinya rata-rata penduduk hanya menamatkan sekolah dasar

sederajat.

Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penyediaan akses dan pemerataan

pendidikan dasar bagi masyarakat dan mulai adanya peningkatan partisipasi untuk

pendidikan menengah pertama dan atas. Angka partisipasi pendidikan dasar (baik APK dan

APM) sudah melebihi kondisi ideal yakni APK mencapai 140,76 % dan APM hampir mencapai

100 % pada tahun 2010. Angka partisipasi pendidikan menengah pertama terus meningkat

dalam kurun waktu 2006-2010 dimana APK mencapai 98,39 % dan APM mencapai 77,83 %

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

32

pada tahun 2010. Sedangkan angka partisipasi pendidikan menengah atas relatif masih

rendah dibandingkan jenjang pendidikan lainnya.

Pada tahun 2010, APK untuk SMA/SMK/MA hanya sekitar 65,21 % dan APM sekitar 39,83 %.

Rendahnya angka partisipasi pendidikan menengah atas kemungkinan diakibatkan minimnya

sekolah menengah di kota kecamatan dan terbatasnya kemampuan dan kesadaran

masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Aspek kesehatan juga merupakan salah satu parameter dari indeks pembangunan manusia

yang berkontribusi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator yang

dapat menggambarkan derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI),

Angka Kematian Bayi (AKB), Usia Harapan Hidup (UHH) dan gizi buruk.

Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya menjelaskan bahwa kondisi derajat kesehatan

masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya yang pada umumnya masih rendah. Tampak

sangat jelas, AKI dan AKB yang cukup tinggi, status gizi masyarakat, terutama angka gizi

buruk dan gizi kurang yang cukup tinggi, juga usia harapan hidup yang rendah, masih

berada di bawah 70 tahun. Tentu saja memprihatinkan, dan karena itu sangat dibutuhkan

intervensi kebijakan pemerintah yang tepat untuk menurunkan AKI, AKB dan gizi buruk

sekaligus untuk menaikkan atau memperpanjang usia harapan hidup.

Akses terhadap air minum bersih tampaknya masih menjadi masalah yang serius bagi

penduduk di Sumba Barat Daya. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap

sumber air bersih hanya sebesar 34,14 persen setelah pada tahun 2012 naik pada angka

38,68 persen. Dengan demikian, 63,19 persen masyarakat Sumba Barat Daya belum

memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak.

2.3.4 Deskripsi Desa Sampel

Dalam kaitannya dengan pemotretan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di

sekitar KPHL Sumba Barat Daya, kegiatan inventarisasi sosial budaya masyarakat di

dalam/sekitar wilayah KPHL Sumba Barat Daya dilaksanakan di wilayah desa sekitar KPH.

Metode yang dipilih untuk memilih desa yang akan menjadi sasaran kegiatan inventarisasi ini

adalah metode pemilihan secara disengaja (purposive sampling), yaitu desa yang terletak di

dalam/sekitar wilayah KPH yang dapat mewakili beberapa desa disekitarnya yang memiliki

karakteristik hampir sama. Beberapa pertimbangan dalam penentuan desa sasaran kegiatan

inventarisasi ini adalah sebagai berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

33

1) Pertimbangan fungsi hutan

Merupakan pertimbangan kompleksitas interaksi antara desa dan KPH yang telah ditetapkan

sebagai KPH. Bisa dimungkinkan bahwa jumlah desa disekitar suatu KPH sedikit namun

memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan suatu KPH yang disekitarnya terdapat

jumlah desa yang lebih banyak. Kompleksitas tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan

masyarakat (agama), tradisi, politik lokal, sejarah desa hingga peluang kerja.

2) Pertimbangan sosial budaya

Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, sampel desa didasarkan pada asal usul etnis

sebagai masyarakat pendatang (minoritas) atau masyarakat lokal (mayoritas). Selain itu

dipertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas masyarakat, yaitu tingginya

intensitas interaksi masyarakat dengan kawasan hutan atau ketergantungan/tekanan

masyarakat terhadap kawasan hutan, jarak desa/permukiman dengan kawasan hutan dan

aksesibilitas dari desa menuju kawasan hutan.

3) Pertimbangan administratif

Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, sampel desa didasarkan pada letak

administratif provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, sehingga dapat digunakan untuk

memahami kebijakan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota/kecamatan.

4) Pertimbangan kondisi hutan

Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, lokasi desa sampel dipilih berdasarkan

pemantauan hutan menggunakan citra satelit, sehingga dapat diketahui kondisi penutupan

lahan/hutan yang berada di sekitar desa/permukiman, adanya akses jalan menuju kawasan

hutan.

Pemilihan lokasi kegiatan inventarisasi sosial budaya masyarakat di dalam/sekitar wilayah

KPHL Sumba Barat Daya ini telah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas. Berdasarkan

hal tersebut maka terpilih tiga kecamatan sampel dengan masing-masing diwakili oleh satu

desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan sebagai berikut:

1) Kecamatan Kodi Utara diantaranya adalah Desa Bukambero. Desa tersebut cukup

mewakili keadaan sosial budaya masyarakat di sekitar Kelompok hutan setempat.

2) Kecamatan Wewewa Selatan diantaranya adalah Desa Delo. Desa tersebut cukup

mewakili keadaan sosial budaya masyarakat di sekitar Kelompok Hutan Yawili (RTK. 02).

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

34

3) Kecamatan Wewewa Barat diwakili oleh Desa Waingapura. Desa ini mewakili kelompok

hutan Kelompok Hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45).

4) Kecamatan Wewewa Timur diwakili oleh Desa Dikira. Desa ini mewakili kelompok hutan

Kelompok Hutan Yawila (RTK. 02)

Berdasarkan hasil survey terhadap desa-desa sampling dapat dideskripsikan secara lebih

rinci disajikan sebagai berikut:

A. Kecamatan Kodi Utara: Desa Bukambero (KH Rokoraka Matalumbu)

Sejarah dan kepemerintahan

Kecamatan Kodi Utara terdiri atas 18 (delapan belas) desa dengan luas 253,73 km2. Jumlah

penduduk Kecamatan Bukambero 51.958 jiwa dengan kepadatan penduduk 220 jiwa/ km2.

Desa Bukambero merupakan satu dari delapan belas desa di Kecamatan Kodi Utara dengan

luas wilayah 22,16 km2 atau 9,40% dari luas wilayah Kecamatan Kodi Utara. Desa

Bukambero terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun Padedemanu, Dusun Kapaka Wuni,

Dusun Padarang, dan Dusun Bondo Kalogpo. Batas-batas wilayah Desa Bukambero, yaitu:

Sebelah utara : Samudera Indonesia

Sebelah selatan : Desa Magho Linyo

Sebelah timur : Desa Kalembu Kaha

Sebelah barat : Desa Kadu Eta

Berdasarkan sejarah terbentuknya desa merupakan desa induk dari Desa Kalembu Kaha dan

Desa Bilacenge. Masyarakat Desa Bukambero sudah menghuni desa dari 7 (tujuh) generasi.

Masyarakat Desa Bukambero menghuni desa ini berdasarkan suku dan budaya yang

diturunkan dari generasi ke generasi. Dari peta tata batas Kelompok Hutan Rokoraka

Matalumbu (RTK. 45), Desa Bukambero menjadi salah satu desa yang berada di dalam

kawasan hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45). posisi dan letak Desa Bukambero sebagian

berada di tepi kawasan hutan dan sebagian lagi berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah

responden yang ada 100% responden berada di tepi hutan dengan jarak 1-2 km.

Pemerintahan Desa Bukambero salah satunya sebagai penyelenggara pemerintahan desa

yang bertujuan untuk menciptakan suasana yang kondusif di desa, peningkatan

pembangunan ekonomi dan pembangunan desa serta kelancaran administrasi. Pemerintahan

yang baik diharapkan dapat meningkatkan kemajuan di segala bidang dan kemakmuran

masyarakatnya. Melihat struktur pemerintahan dan tugas masing-masing penyelenggara,

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

35

Desa Bukambero termasuk wilayah yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari ketaatan

masyarakat Desa Bukambero dalam menjalankan semua peraturan dan kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah Desa Bukambero. Salah satu contoh adalah kegiatan rutin gotong

royong dalam membuat jalan di sekitar desa.

Selain pemerintahan desa, masyarakat Desa Bukambero menghormati tokoh adat dan

kesatuan lembaga yang ada di Desa Bukambero. Kegiatan adat masih dijalankan oleh

seluruh masyarakat Desa Bukambero. Peran ketua adat dan ritual adat sangat besar.

Kepercayaan masyarakat kepada “Marapu” tergambar dalam segala aspek kehidupan mulai

dari proses kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian), membangun rumah, bertanam,

panen dan lain-lain. kepercayaan ini sangat dipegang teguh dan dijalankan oleh setiap

masyarakat Desa Bukambero tanpa kecuali. Sanksi akan dikenakan apabila ada anggota

masyarakat yang melanggar atau tidak menjalankan salah satu ritual adat.

Penduduk di Desa Bukambero hidup secara berkelompok tersebar di 4 (empat) dusun yaitu

Dusun Padedemanu, Dusun Kapaka Wuni, Dusun Padarang, dan Dusun Bondo Kalogpo.

Secara umum pemukiman penduduk di Desa Bukambero mempunyai pola permukiman

memanjang mengikuti alur jalan raya yang ada di sepanjang Desa Bukambero. Sebagian

besar kondisi rumah penduduk Desa Bukambero merupakan rumah semi permanen (rumah

adat).

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

36

Gambar 19. Rumah Permanen dan Semi Permanen di Desa Bukambero

Tata Guna Lahan Desa

Masyarakat Desa Bukambero sebagai bagian dari masyarakat Sumba Barat Daya mengenal

konsep sistem pembagian lahan Kabisu. Sistem ini merupakan sistem pembagian lahan dari

ketua suku besar yaitu Wenamaya kepada setiap anak suku yaitu Watupakadu, Umbu Tanda

dan Umbu Tedda. Pembagian lahan ini dibagikan kepada setiap masyarakat suku tersebut

per marga dan per jumlah kepala keluarga. Setiap anak suku memperoleh lahan kurang lebih

70 hektar untuk dibagikan. Pembagian lahan ini hanya bagi anggota suku yang sudah

berkeluarga.

Untuk ketua suku sendiri yaitu Wenamaya, luas lahan yang dimiliki berbeda sekitar kurang

lebih 10 hektar dari anak suku. Lahan yang dibagikan kepada setiap anak suku dan anggota

suku dipergunakan untuk lahan pertanian. Adapun luas wilayah menurut penggunaan lahan

di Desa Bukambero hingga akhir Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. 7 Luas Wilayah Desa Bukambero menurut penggunaan lahan 2015

No. Penggunaan Tanah Luas (Ha)

1. Permukiman 200

2. Ladang 600

3. Kebun 50

4. Semak belukar (bekas ladang) 20

5. Padang rumput/alang-alang 80

6. Hutan rakyat/hutan tanaman rakyat 20

7. Hutan 75

8. Rawa 2

9. Lain-lain 1

Sumber : Monografi Desa Bukambero, 2015

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

37

Berdasarkan tabel diatas penggunaan lahan yang dominan yaitu ladang yang dijadikan

wilayah garapan pertanian untuk menunjang perekonomian masyarakat Desa Bukambero

dan permukiman. Rata-rata masyarakat Desa Bukambero mempunyai lahan pertanian milik

sendiri dengan luas berkisar antara 0,5-1 hektar per kepala keluarga. Selain itu, masyarakat

Desa Bukambero juga memiliki lahan non pertanian yang dipergunakan sebagai rumah dan

pekarangan.

Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Bukambero mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga

Tahun 2015 seluruhnya mencapai 3.626 jiwa sebagaimana ditunjukkan pada table berikut:

Tabel 2. 8 Jumlah Penduduk Desa Bukambero 5 (lima) tahun terakhir

No. Tahun Total (Jiwa)

1. 2009 2.873

2. 2010 2.895

3. 2011 2.916

4. 2012 3.075

5. 2013 3.151

6. 2014 3.626

Sumber : Monografi Desa, 2015

Mayoritas penduduk Desa Bukambero menganut agama Katholik, sebagian lainnya

menganut Kristen dan Islam. Fasilitas ibadah yang terdapat di wilayah ini hanya terdapat

gereja katholik sebagai tempat peribadatan yang berjumlah 1 (satu) buah.

Gambar 20. Presentase Penganut Agama di Desa Bukambero

Di Desa Bukambero terdapat taman kanak-kanak (TK) yang berjumlah 1 (satu) buah dan

sekolah dasar (SD) yang berjumlah 2 (dua) buah. Untuk jenjang pendidikan yang lebih

tinggi, penduduk Desa Bukambero bersekolah di ibukota kabupaten. Dari monografi Desa

0,69 % 3,31%

96 %

Islam

Kristen

Katholik

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

38

Bukambero diperoleh data bahwa presentase rata-rata penduduk yang menempuh tingkat

pendidikan terbanyak adalah SD dan SMA. Presentase jumlah penduduk yang mengenyam

pendidikan di Desa Bukambero dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 21. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bukambero

Desa Bukambero memiliki posyandu yang berjumlah 5 (lima) buah, bidan/mantri 1 (satu)

orang, dan dukun bayi terlatih berjumlah 5 (lima) orang. Fasilitas ini dimanfaatkan untuk

pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil dan balita. Apabila diperlukan pemeriksaan kesehatan

yang lengkap, masyarakat Desa Bukambero memeriksakan kesehatan di puskesmas dan

rumah sakit di Tambolaka.

Kondisi jalan dari Desa Bukambero ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten cukup baik.

Tetapi kondisi jalan antar dusun dan dari dusun ke jalan utama rusak berat dan sulit dilalui

kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Untuk sanitasi lingkungan, masyarakat Desa Bukambero sudah memiliki MCK pribadi yang

berjumlah 431 buah yang digunakan oleh 514 kepala keluarga dengan kondisi baik. Untuk

sumber air, wilayah Desa Bukambero tidak memiliki sumber mata air maupun sumur. Untuk

memperoleh air, masyarakat harus berjalan sekitar 3-4 km menuju sumber mata air

terdekat. Selama ini masyarakat mengandalkan air hujan yang ditampung sebagai sumber

air. Diluar musim hujan, masyarakat memperoleh air dengan cara membeli air tangki yang

dijual seharga Rp 200.000,- per tangki yang berisi sekitar 5.000 liter air yang bisa digunakan

untuk keperluan sehari-hari selama ± 2 minggu.

Kondisi Perekonomian

Sebagian besar masyarakat di Desa Bukambero mempunyai mata pencaharian sebagai

petani. Dari jumlah penduduk Desa Bukambero yang diperoleh 730 KK atau 97,9%

22,09%

20,85%

49,70%

5,54% 1,43% 0,06% 0,33%

Tidak sekolah

SD tidak tamat

SD

SMP

SMA

D1,D2,D3

S1/S2

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

39

merupakan petani. Dari hasil pengolahan data primer, 8 orang responden atau 80%

merupakan petani.

Lahan pertanian penduduk umumnya ditanami tanaman pangan. Tanaman pangan yang

diusahakan oleh penduduk Desa Bukambero adalah tanaman padi, kacang-kacangan, jagung

dan ubi-ubian. Hasil panen tanaman yang diusahakan oleh masyarakat Desa Bukambero

dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.

Selain bertani, masyarakat Desa Bukambero juga mengusahakan ternak. Jenis ternak yang

diusahakan oleh masyarakat Desa Bukambero diantaranya kerbau, sapi, babi, kambing dan

domba, ayam, itik dan unggas lainnya. Ternak yang diusahakan oleh masyarakat Desa

Bukambero dipergunakan untuk konsumsi dan acara adat. Jumlah ternak yang ada di Desa

Bukambero tersaji pada tabel berikut:

Tabel 2. 9 Jumlah ternak di Desa Bukambero

No. Jenis Jumlah (ekor)

1. Kerbau 150

2. Sapi 20

3. Kuda 100

4. Babi 400

5. Kambing/Domba 80

6. Ayam 305

7. Itik 10

8. Unggas lainnya 25

Sumber : Monografi Desa, 2015

Hasil analisa data primer menunjukkan hasil 70% responden berpenghasilan < Rp. 500.000.

Rendahnya tingkat pendapatan berkaitan dengan tingkat pendidikan dimana 49,70%

masyarakat Desa Bukambero berpendidikan sekolah dasar. Dengan rendahnya keahlian yang

dimiliki serta pengetahuan teknologi yang masih terbatas, masyarakat Desa Bukambero

hanya terpusat pada mata pencaharian sebagai petani tradisional. Disisi lain, potensi hasil

pertanian dan peternakan apabila diusahakan secara intensif cukup melimpah. Selain itu,

pesta adat yang hampir dilakukan secara terus-menerus dengan pengeluaran yang tidak

sedikit menyebabkan semakin berkurang tingkat pendapatan yang diperoleh. Hampir

sebagian besar pendapatan yang diperoleh digunakan untuk persiapan pesta adat yang

sewaktu-waktu diadakan.

Sarana dan prasarana kesehatan di Desa Bukambero hanya terdapat posyandu. Tenaga

kesehatan yang ada hanya bidan/mantra dan dukun bayi terlatih. Dengan sarana dan

prasarana yang tidak memadai, masyarakat Desa Bukambero harus ke ibukota kabupaten

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

40

apabila ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk sarana sanitasi lingkungan, hampir

semua masyarakat Desa Bukambero memiliki MCK Pribadi. Akan tetapi sarana dan

infrastruktrur jaringan pipa air maupun sumur (pompa dan timba) tidak terdapat di wilayah

Desa bukambero. Untuk mendapatkan air bersih masyarakat Desa Bukambero hanya

mengandalkan air hujan dan sumber mata air dengan jarak yang cukup jauh dari

permukiman warga. Untuk transportasi dan perhubungan, sarana transportasi dan kondisi

jalan di wilayah Desa Bukambero cukup bagus. Akan tetapi kemudahan akses dan kondisi

jalan yang cukup layak tidak menjadikan Desa Bukambero berkembang dengan baik.

Dengan kondisi jalan yang rusak, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Masyarakat

kesulitan untuk memasarkan hasil pertanian sehingga berakibat dari kurangnya pendapatan

masyarakat.

Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi

Masyarakat Desa

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan baik

yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut.

Masyarakat sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas,

tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik

bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang

menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut

sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya

hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001).

Di Desa Bukambero, ketua dan ritual adat telah melekat dalam setiap kegiatan masyarakat.

peran ketua adat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan tidak terlalu signifikan. Bagi

masyarakat Desa Bukambero sendiri tidak ada ketentuan adat secara khusus terhadap

hutan. Beberapa ketentuan adat seperti waktu larangan masuk hutan atau waktu larangan

memungut hasil hutan belum diatur. Yang sudah ada terbatas pada penunjukkan tempat

terlarang yang berada dalam hutan yaitu tempat pemujaan dan tempat keramat yang

merupakan tempat pemujaan dan persembahan serta pohon yang dilarang ditebang (pohon

beringin) dan binatang yang tidak boleh dibunuh (burung gagak dan burung hantu).

Potensi konflik tenurial dimungkinkan terjadi di masa yang akan datang. Seiring dengan

pertambahan kebutuhan lahan yang semakin meningkat, bukan hal yang tidak mungkin

masyarakat yang terdesak akan kebutuhan ekonomi akan merambah hutan. Dengan

ketersediaan akses menuju hutan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membuka

lahan di kawasan hutan. Akan tetapi, untuk saat ini konflik yang terjadi masih terjadi antar

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

41

masyarakat itu sendiri. Yang terjadi adalah masyarakat yang mempunyai kebun yang

berdekatan bisa berkonflik berkaitan dengan batas kebun mereka. Akan tetapi, konflik ini

bisa diselesaikan dengan mekanisme adat dan pendekataan secara kekeluargaan.

Penyelesaian secara adat dilakukan dengan sumpah adat yang ditandai dengan

penyembelihan hewan yaitu babi. Untuk mencegah terjadinya konflik tenurial, pemerintah

daerah dalam hal ini dinas kehutanan setempat, pemerintah desa dan lembaga adat harus

berperan aktif dalam memberikan sosialisasi dan informasi mengenai kawasan hutan.

Untuk peluang dan dukungan terhadap kawasan, masyarakat Desa Bukambero cukup

mendukung dengan adanya hutan disekitar wilayahnya. Akan tetapi, dukungan ini terbatas

pada pemikiran bahwa hutan penting dan perlu dilestarikan tetapi belum ada tindakan yang

nyata. Apabila pemerintah setempat melakukan sosialisasi dan informasi mengenai kawasan

hutan secara intensif, masyarakat Desa Bukambero akan memahami pentingnya keberadaan

hutan. Peran lembaga adat dapat diberdayakan untuk memberikan dukungan terhadap

kawasan hutan karena lembaga adat mempunyai peran besar dalam kehidupan masyarakat

dan masyarakat Desa Bukambero sangat menghormati peran lembaga adat dan Rato

Marapu.

Dengan proporsi 98% kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani, usaha pertanian

menjadi prioritas utama sebagai sumber ekonomi dan penghidupan bagi masyarakat Desa

Bukambero. Pengembangan usaha pertanian lebih diintensifkan untuk membantu

meningkatkan produksi pertanian. Bagi masyarakat Desa Bukambero, tanaman pertanian

yang dapat dikembangkan adalah padi, jambu mete, kelapa dan jati. Peningkatan produksi

pertanian diharapkan bisa mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan.

B. Kecamatan Wewewa Selatan: Desa Delo (Kelompok Hutan Yawila)

Sejarah dan Kepemerintahan

Kecamatan Wewewa Selatan terpilih sebagai lokasi pengambilan sample kegiatan

Inventarisasi Sosial Budaya masyarakat di dalam/sekitar hutan, dengan alasan bahwa Desa

Delo berada di sekitar kawasan hutan pada Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) dan

Kecamatan Wewewa Selatan mempunyai luas wilayah 174,14 km2 terbagi kedalam 12 desa

dengan jumlah penduduk 24.070 jiwa.

Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) sudah penetapan dengan SK Menhut No: 281/Kpts-II/1986

tanggal 11 September 1986 dengan luas 2524 Ha. Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) memiliki

fungsi yaitu Hutan Lindung.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

42

Pada tahun 1952 Desa Delo sudah terbentuk namun sistem pemerintahannya masih berupa

swapraja atau sistem kerajaan yang dipimpin oleh Cornelis Nono Katoda. Seiring berjalannya

waktu pada tahun 1966 Desa Delo resmi menjadi desa definitif dengan sistem pemerintahan

demokrasi dan dipimpin oleh kepala desa. Sejak terbentuk menjadi desa definitif sampai

sekarang Desa Delo telah mengalami 8 (delapan) kali pergantian kepala desa. Menurut

informasi yang diperoleh hasil dari wawancara nama Delo dalam bahasa indonesia artinya

adalah nama sebuah pohon. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini bahkan disekeliling

kantor desa banyak terdapat pohon delo.

Sejak resmi berdiri Desa Delo mengalami perkembangan setiap tahunnya. Hal ini ditandai

dengan mulai berdirinya sarana dan prasarana seperti pembangunan gedung sekolah,

tempat ibadah, fasilitas kesehatan, pembangunan jalan dan sebagainya. Sampai saat ini

Desa Delo terbagi dalam 3 (tiga) dusun/lingkungan yaitu Dusun I yang disebut Ana Tana

artinya pemilik tanah, Dusun II yang disebut Bindi (nama suku) dan Dusun III yang disebut

Edekalada (nama suku) yang terdiri dari 12 RT dan 6 RW. Masyarakat Desa Delo merupakan

masyarakat asli yang secara turun temurun tinggal di desa tersebut. Tingkat pengetahuan

menentukan juga terhadap perkembangan daerah tempat masyarakat tinggal. Lamanya

tinggal di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator

perkembangan dan kontribusi masyarakat terhadap desa tempat dia tinggal. Lamanya

tinggal seseorang disuatu tempat juga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana

perkembangan yang terjadi di tempat tersebut.

Desa Delo memiliki sistem dan struktur masyarakat yang homogen, yaitu masyarakat Desa

Delo merupakan penduduk asli yang turun temurun lahir, tinggal dan berkarya di

lingkungan tempat tinggal mereka. Hubungan kekerabatan terjalin dengan erat karena

merupakan bagian dari kelompok kekeluargaan atau keluarga besar (klan atau marga).

Masyarakat Desa Delo juga masih menghormati tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal

dan tokoh non formal. Peranan pimpinan desa (formal dan non formal) dengan hasil rapat

warga sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di dalam pembangunan desa baik

itu dalam menangani permasalahan yang dihadapi masyarakat maupun dalam perencanaan

suatu program pemerintahan.

Tokoh non formal yang di hormati masyarakat di Desa Delo biasa disebut tetua adat atau

dalam bahasa Wewewa disebut Rato. Rato memegang peranan yang penting di Desa Delo.

Peran Rato antara lain bertanggung jawab dalam hal acara upacara adat seperti kelahiran,

kematian, pernikahan, penyelesaian masalah adat, pembagian tanah kepada masyarakat dan

pengambil keputusan, namun jika tidak mampu diserahkan kepada perangkat desa.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

43

Masyarakat Desa Delo merupakan masyarakat yang terbuka yang dapat menerima pengaruh

budaya luar dari desa, dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan adat setempat.

Meskipun begitu biasanya masyarakat luar atau pendatang yang tidak mengikuti aturan adat

atau tradisi masyarakat adat harus menghormati adat yang berlaku di Desa Delo. Adat

istiadat yang sampai saat ini masih berkembang sebagai contohnya adalah dalam

melangsungkan pernikahan, kelahiran dan kedukaan serta ketentuan adat dalam

pemanfaatan sumber daya hutan. Dalam hal pernikahan, adat istiadat yang biasanya

dilakukan terdiri dari beberapa tahap. Tahapan awal yaitu bertunangan (pinangan).

Kemudian calon pengantin laki-laki memberitahu orang tua untuk mendapatkan restu.

Selanjutnya keluarga dari pihak calon pengantin laki-laki meminang calon pengantin

perempuan ke orang tuanya dengan syarat membawa barang pinangan 1 (satu) buah

parang, 1 (satu) buah memoli dan 1 (satu) ekor kuda. Balasan dari orang tua calon

pengantin perempuan berupa 1 (satu) lembar kain dan sarung dan kemudian memberi

waktu untuk menentukan waktu pernikahan.

Jika waktu pernikahannya sudah tiba maka pihak dari calon pengantin laki-laki membawa

ternak sesuai dengan kondisi kedudukan suku atau biasa disebut belis. Pada umumnya belis

yang harus disiapkan oleh calon pengantin laki-laki tergantung tingkat kedudukannya. Jika

termasuk golongan bangsawan belis yang harus disiapkan sebanyak 50 ekor binatang (25

ekor kuda dan 25 ekor kerbau), untuk kelas menengah sebanyak 30 ekor binatang (15 ekor

kuda dan 15 ekor kerbau) sedangkan untuk kelas bawah sebanyak 10 ekor binatang (5 ekor

kuda dan 5 ekor kerbau). Dari semua tingkat golongan hal yang wajibkan harus ada yaitu

memoli emas. Setelah belis terpenuhi balasan dari orang tua calon pengantin perempuan

menyiapkan babi sebanyak 4 ekor dengan standar babi yang keluar taringnya sebanyak 1

ekor dan babi yang ukuran sedang sebanyak 3 ekor, kemudian kain sarung sebanyak 3 -

40 lembar dan semua peralatan rumah tangga. Setelah kedua belah pihak sepakat maka

pesta pernikahan dapat dilangsungkan.

Dalam hal kelahiran berlaku juga tradisi upacara adat yang dalam bahasa daerah disebut

tunu manu (bakar ayam) dan tunu wawi (bakar babi). Prosesi adatnya dimulai jika bayi yang

baru lahir sudah berumur 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam. Bidan atau dukun beranak yang

membantu proses persalinan diberi upah berupa sirih pinang seikhlasnya dengan ayam 2

(dua) ekor dimana ayam yang diberikan kemudian dibakar atau disebut tunu manu. Ritual

selanjutnya rambut bayi dipangkas habis seluruhnya dilanjutkan dengan acara bakar babi

istilah adatnya disebut tunu wawi. Upacara adat ini merupakan syukuran karena ibu dan

anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

44

Gambar 22. Pakaian adat untuk berburu

Jika ada kedukaan hal yang pertama kali dilakukan adalah pukul tambur (gendang). Hal ini

menandakan bahwa ada berita duka cita. Untuk masing-masing suku berdasarkan kelasnya

dibedakan jenis hewan yang harus disediakan dalam upacara adat nanti. Jika yang

meninggal berasal dari suku penguasa maka diwajibkan memotong 1 (satu) ekor kerbau

dengan ukuran tanduknya minimal 15 cm. Namun jika yang meninggal dari suku kecil maka

ketika tambur atau gendang dipukul diwajibkan memotong 1 (satu) ekor babi.

Setelah itu jenazah dimasukkan kedalam peti kemudian ditentukan jadwal penguburan.

Biasanya paling cepat 3 (tiga) hari atau paling lama 1 (satu) minggu. Ketika acara

penguburan biasanya dilakukan acara adat dimana anggota keluarga yang meninggal baik

anak laki-kali maupun perempuan harus membawa 1 (satu) ekor kerbau, sedangkan saudara

serta cucu harus membawa babi. Ketentuan adat juga berlaku dalam pemanfaatan sumber

daya hutan. Untuk masuk ke dalam hutan hanya diperbolehkan pada bulan tertentu yaitu

bulan November. Istilah adatnya disebut Ghulla Puddu. Dilakukan hanya pada bulan

November karena menurut kepercayaan masyarakat Desa Delo bulan yang tepat karena

bulan suci. Masyarakat boleh masuk ke hutan hanya untuk berburu babi hutan yang akan

disajikan sebagai sesajen. Sebelum masuk ke dalam hutan biasanya dilakukan ritual adat

yang dipimpin oleh Rato. Setelah ritual selesai baru diperbolehkan untuk masuk ke dalam

hutan dengan menggunakan pakaian adat dan membawa sirih pinang. Pakaian adat yang

digunakan pada saat masuk ke hutan untuk berburu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Kehidupan masyarakat Desa Delo memiliki pola yang dipengaruhi oleh musim. Sehingga

kegiatan-kegiatan masyarakat Desa Delo dilakukan sesuai kalender musim yang

dilaksanakan secara terstruktur disajikan pada tabel di bawah ini.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

45

Tabel 2.10 Kalender Musim Desa Delo

NO. URAIAN BULAN

KETERANGAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1

Perladangan

* * * * * *

Kegiatan meliputi tebas, tebang, bakar, pembersihan,

tunggal-tanam, penyiangan dan

dan Panen

2 Bersawah * *

3 Upacara/Pe

sta adat * * *

Sumber : Monografi Desa Delo, 2015

Keberadaan lembaga kemasyarakatan juga sangat mendukung untuk kemajuan desa. Di

Desa Delo juga terdapat lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan yang masih aktif hingga

sekarang. Lembaga masyarakat yang berkembang adalah LPMD/LPMK, Rukun Warga (RW),

Rukun Tetangga (RT), dan Karang Taruna dengan ruang lingkup kegiatannya yakni

kemasyarakatan. Dengan adanya lembaga kemasyarakatan ini memberikan dampak yang

positif bagi masyarakat karena dapat memberikan pedoman bagi anggota masyarakat

bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-

masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan, menjaga keutuhan

masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem

pengendalian sosial atau sistem pengawasan kepada masyarakat terhadap tingkah laku

anggota-anggotanya.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh Perusahaan dan pemerintah sudah terlaksana di

Desa Delo. Pada tahun 2011 penduduk Desa Delo mendapat bantuan dari BLHD Kabupaten

Sumba Barat Daya dengan jenis anakan mahoni, gmelina dan johar. Sampai saat ini

perkembangan dari jenis anakan tersebut tumbuh dengan baik. Selain itu Desa Delo juga

mendapat bantuan dari Provinsi yaitu PNPM Mandiri dari tahun 2012 sampai tahun 2014.

Pada tahun 2012 mendapat bantuan pembangunan gedung SD, tahun 2013 pembangunan

jalan dan tahun 2014 pengerasan jalan yang ada di Desa Delo.

Tata Guna Lahan

Desa Delo merupakan salah satu dari 12 desa yang ada di wilayah Kecamatan Wewewa

Selatan. Kebutuhan terhadap lahan akan mempengaruhi tingkat pembukaan lahan baru

khususnya terhadap kawasan hutan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3005 jiwa dengan

497 KK, akan memerlukan kebutuhan lahan yang banyak. Dalam rangka mengantisipasi

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

46

Gambar 23. Kondisi tata guna lahan Desa Delo

persoalan konflik lahan dan mencegah pembukaan lahan baru pada areal hutan, maka

pemerintah desa maupun tetua adat mengantisipasi dengan membuat ketentuan luas areal

lahan yang diperbolehkan untuk masyarakat.

Pembagian lahan pertama kali diberikan oleh suku penguasa kemudian diberikan kepada

suku-suku kecil. Pembagiannya dilihat dari kedudukan suku masing-masing berdasarkan sisi

penguasaan. Kemudian dari masing-masing suku kecil yang membagi ke setiap kepala

keluarga. Pembagian lahan kepada masing-masing kepala keluarga disesuaikan dengan

jumlah anggota keluarga. Jika anggota keluarga lebih banyak maka mendapat bagian yang

lebih banyak juga. Hal ini hasilnya sangat efektif untuk mencegah pembukaan lahan baru

pada areal hutan yang juga merupakan lokasi KPH dan mengantisipasi konflik sosial di

masyarakat terkait persoalan lahan.

Pemanfaatan lahan yang ada di desa terpilih terdiri dari lahan pemukiman, sawah, ladang,

kebun (tanaman keras/tanaman tahunan) dan hutan rakyat. Luas penggunaan lahan di desa

terpilih mencapai ± 21 Ha.

Dari diagram di atas, kebutuhan lahan oleh masyarakat desa terpilih sebagian besar berupa

lahan kering. Hal ini disebabkan karena mayoritas mata pencaharian penduduk adalah

bertani. Lahan kering dimanfaatkan oleh masyarakat desa terpilih untuk menanam tanaman

pertanian/ladang. Selain lahan kering ada juga penggunaan lainnya antara lain untuk

pemukiman penduduk, ladang, kebun (tanaman keras/tanaman tahunan) dan hutan

rakyat/hutan tanaman rakyat. Untuk penggunaan lahan berupa sawah basah luasannya

hanya mencapai 6,20 Ha atau sebanyak 29% dari luas total penggunaan lahan di desa

terpilih.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

47

Kependudukan

Penduduk di dalam/sekitar kawasan hutan merupakan salah satu pemegang peran penting

terhadap besarnya tekanan terhadap kawasan hutan. Jumlah penduduk di Desa Delo dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. 11 Jumlah Penduduk di Desa Delo

No. Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-Laki 1245 Orang

2 Perempuan 1760 Orang

3 Jumlah KK 497 KK

Jumlah Total 3.005

Sumber : Monografi Desa Delo, 2015

Dengan jumlah total penduduk sebanyak 3.005 jiwa yang terbagi atas 497 KK, Desa Delo

terbagi atas 3 (tiga) dusun/kampung. Untuk jumlah dan sebaran penduduk di Desa Delo

berdasarkan nama dusun/kampung dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2. 12 Jumlah dan Sebaran Penduduk Berdasarkan Nama Dusun/Kampung

No. Nama Kampung/Dusun Jumlah Jiwa Jumlah KK

1 Ede Kalada 1.150 188

2 Bindi 655 115

3 Anatana 1.200 194

Jumlah 3005 497

Sumber: Monografi Desa Delo, 2015

Adapun data mengenai jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Desa

Delo dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. 13 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Desa Delo

No. Kelompok Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (Jiwa)

1 0 – 4 70 96 166

2 5 – 9 91 176 267

3 10 – 14 85 116 210

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

48

No. Kelompok Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (Jiwa)

4 15 – 19 67 147 214

5 20 – 24 115 116 231

6 25 – 29 117 120 237

7 30 – 34 209 230 439

8 35 – 39 145 184 329

9 40 – 44 97 126 223

10 45 – 49 60 96 157

11 50 – 54 75 96 171

12 55 – 59 40 84 124

13 60 – 64 49 80 129

14 ≥ 65 25 39 64

Jumlah 1.245 1.760 3.005

Sumber : Monografi Desa Delo, 2015

Perkembangan jumlah penduduk dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 2. 14 Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Delo dalam Kurun Waktu 1 (satu) Tahun

Tahun Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total (Jiwa)

2014 1123 1105 2228

2015 1245 1760 3005

Sumber : Kecamatan Wewewa Selatan Dalam Angka, 2014 dan Monografi Desa Delo, 2015

Ditinjau dari segi tingkat pendidikan masyarakat secara umum terlihat bahwa masyarakat

Desa Dole sebagian besar mampu melanjutkan ke jenjang sekolah menengah sebagian lagi

sudah ada yang berpendidikan sarjana. Kondisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

secara lebih rinci disajikan pada gambar dibawah ini.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

49

Gambar 24. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Kondisi Perekonomian

Pada umumnya penduduk Desa Delo memiliki mata pencaharian pokok dari bertani,

berkebun dan beternak. Lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat Desa Delo umumnya

berupa sawah, ladang dan kebun. Hasil pertanian yang diperoleh berupa tanaman pangan

seperti padi (padi sawah dan padi ladang), jagung, kelapa, kopi dan pisang. Masyarakat

Desa Delo di dalam pengolahan lahannya kebanyakan masih menggunakan alat tradisional

seperti, parang, linggis, sabit dan cangkul untuk mengolah lahan garapannya, meskipun ada

beberapa alat yang dipakai sudah modern untuk mengolah tanah seperti traktor.

Masyarakat Desa Delo untuk keperluan memasarkan hasil produksi sudah menggunakan

mobil/motor karena fasilitas jalan desa yang baik yang menghubungkan desa menuju kota

kecamatan. Perkembangan pendididikan di Desa Delo saat ini sudah maju. Pola pikir

masyarakat sudah mulai terbuka akan pentingnya pendidikan sehingga sebagian masyarakat

sudah ada menyekolahkan anaknya baik laki-laki ataupun perempuan sampai kejenjang lebih

tinggi setingkat sarjana.

Masyarakat Desa Delo masih menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Pemberian sanksi

adat biasanya akan lebih ditaati dan ditakuti oleh masyarakat karena sanksinya merupakan

sanksi sosial dan mereka akan merasa lebih berat karena akan dikucilkan dari kehidupan

bermasyarakat sehari-hari dan bisa dikeluarkan dari adat atau tidak diikutsertakan dalam

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

Tidak Sekolah SD tidaktamat

SD Tamat SLTP SLTA D1/D2/D3 S1

Jum

lah

(jiw

a)

Tingkat pendidikan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

50

setiap proses adat yang berlaku. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan masih terikat

dengan hukum adat. Hal ini terlihat dari hal-hal yang dikerjakan laki-laki dan perempuan

ketika akan meyelenggarakan upacara/pesta adat. Jenis-jenis kegiatan adat yang berlaku di

Desa Delo antara lain musyawarah adat, sanksi adat, upacara adat perkawinan, upacara

adat kematian, upacara adat kelahiran, upacara adat dalam pembangunan rumah dan

upacara adat dalam penyelesaian masalah/konflik.

Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi

Masyarakat Desa

Penduduk Desa Delo mayoritas sudah lama tinggal dan menetap secara turun temurun di

desa dan merupakan penduduk asli. Pada umumnya masyarakat mengetahui batas desanya

dari cerita asal usul sesepuh berupa batas yang dibuat secara adat maupun batas

administrasi. Pemukiman penduduk Desa Delo berbatasan dengan tepi kawasan hutan

dengan jalan utama menuju atau keluar kawasan hutan adalah jalan setapak.

Tingkat pengetahuan masyarakat Desa Delo terhadap keberadaan kawasan hutan sangat

tinggi. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil survey bahwa sebanyak 70% responden

mengetahui tentang keberadaan kawasan hutan yang ada dekat dengan tempat tinggal

mereka.

Tingkat pengetahuan terhadap kawasan hutan berpengaruh terhadap pengelolaan hutan

secara lestari. Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan pada masa sulit sekarang ini

cenderung menurun karena kebutuhan hidup yang meningkat, harga bahan kebutuhan yang

terus naik. Hal ini berakibat semakin besarnya tekanan terhadap hutan. Namun dalam hal ini

tidak berlaku di Desa Delo karena adanya kerjasama antar pimpinan desa baik formal

maupun non formal dengan masyarakat khususnya masyarakat yang berkaitan langsung

dengan kawasan hutan dan dinas kehutanan setempat bekerja sama melakukan

pengamanan terhadap kawasan hutan agar kelestarian hutan tetap terjaga.

Masyarakat desa terpilih pada umumnya melakukan usaha di bidang pertanian dan

perkebunan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Usaha kehutanan yang

dikembangkan masyarakat belum terlihat pelaksanaannya, masyarakat desa terpilih hanya

memanfaatkan/mengambil hasil hutan non kayu seperti madu, tumbuhan obat-obatan dan

kayu bakar yang diambil dari hutan hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup

saja tidak untuk dijual.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

51

C. Kecamatan Wewewa Selatan: Desa Waingamura (Kelompok Hutan

Rokoraka Matalumbu)

Sejarah Desa, Pemukiman, dan Tata Guna Lahan Desa

Berdasarkan sejarah terbentuknya desa, Desa Waimangura merupakan pusat administrasi

dari sejak zaman Kolonial Belanda. Seiring dengan perkembangan tata pemerintahan,

dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Sumba Barat Nomor: DD 12/II/I

tanggal 07 Mei 1969 mengenai Pembentukan Desa-Desa Gaya Baru di Kabupaten Daerah

Tingkat II Sumba Barat, maka terbentuklah Desa Waimangura. Dengan demikian Desa

Waimangura merupakan Desa Induk yang sudah ada sejak tahun 1969 dan sekarang pun

menjadi Ibukota Kecamatan Wewewa Barat.

Beberapa masyarakat di Desa Waimangura pernah tinggal di Wanototo yang terletak di

Kelompok Hutan Rokoraka Matalumbu, namun pemerintah meminta masyarakat untuk turun

karena akan segera dilakukan reboisasi. Walaupun sudah sejak tahun 1982 sudah dilarang

tinggal di daerah tersebut, namun masih ada beberapa masyarakat yang berladang di

tempat tersebut. Sehingga perlu dilakukan tindakan yang bijak dari pemerintah terkait

dengan perladangan di dalam hutan.

Sejarah desa penting diketahui oleh masyarakat di Desa Waimangura untuk mengetahui

perkembangan desa ini dari waktu ke waktu. Selain untuk mengetahui perubahan-perubahan

di masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi karena perubahan

tersebut.

Pola penyebaran permukiman penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan iklim,

keadaan tanah, tata air, topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di

wilayah tersebut. Dalam hubungan dengan bentang alamnya, saat ini pola permukiman di

Desa Waimangura termasuk pola pemukiman memanjang. Pola permukiman memanjang

memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel

kereta api atau pantai.

Permukiman di Desa Waimangura berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola

pemukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga

memudahkan pembangunan jalan-jalan di permukiman. Namun pola ini sebenarnya

terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi. Sarana transportasi yang

tersedia di Desa Waimangura berupa jalan, baik jalan aspal maupun jalan pengerasan

ataupun jalan tanah dengan kondisi kurang baik di beberapa titik.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

52

Gambar 25. Rumah tersebar di sepanjang jalan

Pembagian lahan di Desa Waimangura awal mulanya dilakukan oleh Kepala Suku (Suku

Beidello) yang mengatur 3 suku lainnya (We’elewo, Tegowatu dan Bondoponda).

Selanjutnya diantara keempat suku tersebut akan mengatur lahan yang telah menjadi bagian

dari setiap suku.

Pada umumnya lahan di Desa Waimangura akan diwariskan dari orang tua kepada

keturunannya. Serta seiring dengan perkembangan zaman, sebagian masyarakat telah

mensertifikatkan lahan yang dimiliki.

Namun ada beberapa masalah terkait dengan lahan di Desa Waimangura diantaranya belum

adanya penataan dan pemetaan tata guna lahan serta belum adanya prona atau proda bagi

tanah yang belum memiliki sertifikat. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi bibit konflik di

kemudian hari terkait dengan sengketa tanah.

Tabel 2.15 Luas Wilayah Desa Waimangura menurut penggunaan lahan

No. Penggunaan Tanah 2015 (Ha)

1. Permukiman *

2. Sawah dan Ladang 380

3. Ladang *

4. Kebun 500

5. Semak Belukar (bekas ladang) *

6. Padang rumput/alang-alang -

7. Hutan Rakyat/hutan tanaman rakyat 30

8. Hutan 40

9. Rawa *

Sumber : Data Monografi Desa Waimangura 2015

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

53

Kebutuhan lahan adalah kebutuhan hidup minimum. Tekanan penduduk terhadap daya

dukung lahan dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara jumlah penduduk dan

persentase petani dengan luas lahan minimal untuk hidup layak (Sumarwoto, 2003).

Berdasarkan Laporan Data RPDAS Terpadu Aesesa Provinsi Nusa Tenggara Timur (2012)

luas lahan garapan minimal untuk mendukung hidup layak seorang petani pada jenis

penggunaan lahan sawah seluas 1,4 ha/KK.

Sistem dan Struktur Masyarakat

Waimangura merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Wewewa Barat dan

sekaligus sebagai ibukota Kecamatan Wewewa Barat. Dalam urusan pemerintahan, wilayah

ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh Sekretaris Desa dan 4 (Empat)

Kepala Urusan yaitu Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan dan

Ekonomi, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat serta Kepala Urusan Ketentraman dan

Ketertiban dan Keamanan.

Beberapa kelembagaan kemasyarakatan formal yang aktif di Desa Waimangura diantaranya

adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Program Pemberdayaan Keluarga (PKK) Perlindungan

Masyarakat (Linmas) serta Karang Taruna. Kondisi saat ini lembaga-lembaga

kemasyarakatan belum maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam

perencanaan dan pembangunan Desa. Tugas pokok dan fungsi kelembagaan masyarakat

harus dioptimalkan untuk meningkatkan daya dukung terhadap kinerja pemerintahan, serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Desa Waimangura, ada beberapa orang yang

mempunyai pengaruh wibawa sehingga disegani dan dihormati serta dapat dijadikan

pemimpin atau pameran baik formal maupun nonformal atau yang biasa dikenal dengan

tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat formal yang ada di Desa Waimangura diantaranya

adalah Kepala Desa, Sekeretaris Desa, Kepala Seksi di Desa serta aparat-aparat Desa

lainnya. Sedangkan tokoh non formal di Desa Waimangura diantaranya adalah pendeta,

pastor serta tokoh-tokoh adat (Rato).

Tokoh formal berperan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan Desa Waimangura.

Sedangkan tokoh non formal mempunyai peran penting dalam penyelesaian masalah tanah,

batas tanah, klaim kepemilikan, pemanfaatan atas tanah, membantu warga dalam urusan

pesta baik pernikahan maupun kematian. Salah satu peran nyata Rato dalam kehidupan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

54

sosial yaitu membantu warga dalam urusan pernikahan, kematian, dan pesta huru-hara.

Dengan demikian tokoh formal maupun non formal memiliki peran yang sangat besar dalam

tatanan kehidupan sosial di Desa Waimangura.

Berdasarkan hasil analisis data primer, sebagian besar responden merupakan penduduk asli

yang secara turun temurun tinggal di wilayah ini dan telah menetap lebih dari 20 tahun

(Tabel 16.). Namun demikian penduduk di Desa Waimangura memiliki sifat yang terbuka

terhadap perubahan. Hal ini terlihat dari adanya suku pendatang yang berasal dari daerah

lain seperti dari Jawa, Nusa Tenggara Barat maupun wilayah lainnya. Berdasarkan sejarah

Desa Waimangura, sejak zaman dulu penduduk di desa ini bersifat terbuka terhadap

pendatang yang akan diharapkan akan memajukan Desa Waimangura.

Waimangura merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil yang berbentuk Desa di

Kecamatan Wewewa Barat Kabupaten Sumba Barat Daya. Desa Waimangura dipimpin oleh

seorang Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat setiap 6 (enam) tahun sekali.

Walaupun dipilih secara langsung oleh masyarakat namun Kepala Desa yang terpilih

merupakan keturunan raja di Waimangura.

Di dalam struktur pemerintahan, Desa Waimangura dipimpin oleh Kepala Desa yang dibantu

oleh beberapa Kepala Urusan (Kaur). Adapun Struktur Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintahan Desa Waimangura sesuai dengan Peraturan Desa Waimangura Nomor 01

Tahun 2011 sebagai berikut:

- - - - - - -

Gambar 26. Struktur organisasi Desa Waimangura

BPD KADES

Sekretaris Desa

Kaur Pemerintahan

Kaur Pembangunan dan Ekonomi

Kaur Kesra Kaur Trantib

Kepala Dusun I Kepala Dusun II

Kepala Dusun III

Kepala Dusun IV

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

55

Berdasarkan struktur di atas dapat terlihat bahwa secara formal, Desa Waimangura dipimpin

oleh Kepala Desa serta dibantu oleh Sekretaris Desa dan 4 (empat) Kepala Urusan. Setiap

kepala urusan telah memiliki perannya masing-masing dalam pembangunan. Desa

Waimangura terbagi menjadi 4 (empat) Dusun yaitu Dusun 1 (Mikku Ate), Dusun 2 (Lolo

Ramo), Dusun 3 (Dimu Dede), dan Dusun IV (Kabu Roto) serta terbagi menjadi 4 Rukun

Warga dan 19 Rukun Tetangga (RT).

Selain pemerintahan desa, di Desa Waimangura terdapat Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) yang berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama dengan Kepala Desa,

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jumlah anggota BPD Desa Waimangura

periode 2011-2015 sebanyak 7 (tujuh) orang. Selain BPD terdapat beberapa lembaga

masyarakat desa yang ada di Desa Waimangura. Untuk lebih lengkap mengenai lembaga

masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.16 Lembaga-lembaga di Desa Waimangura

No. Nama Lembaga Jumlah Anggota (orang)

1. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 7

2. Lembaga Kemasyarakatan 35

3. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)

4

4. PKK 24

5. Linmas 20

6. Karang Taruna Seluruh pemuda Desa Waimangura

7. Desa Waimangura Yangu Kesenian 15

8. Kumpulan Gereja Kristen Sumba Seluruh masyarakat Desa Waimangura

9. Muda Mudi Katolik (Mudika) Seluruh pemuda Desa Waimangura

Sumber : Data Sekunder Daftar Isian Sosial Budaya Desa Waimangura

Selain lembaga formal seperti pada tabel di atas, di Dusun Lenggara Desa Waimangura juga

terdapat lembaga adat namun belum berbadan hukum. Lembaga adat ini dipimpin oleh

Ketua Suku (Rato). Fungsi pokok lembaga adat di Desa Waimangura adalah untuk

musyawarah adat. Lembaga adat memiliki peran yang besar dalam urusan pesta adat seperti

pesta huru-hara, pesta kematian, pesta masuk rumah, pesta panen dan pesta kawin.

Selain tokoh formal, masyarakat juga menghormati tokoh-tokoh non formal seperti tokoh

agama dan tokoh adat. Tokoh agama yang dihormati adalah pendeta dan pastor, sedangkan

tokoh adat yang dihormati adalah Ketua Adat yang dikenal dengan sebutan Rato.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

56

Masyarakat Desa Waimangura cukup heterogen, sebagian besar masyarakat merupakan

penduduk asli serta turun temurun tinggal di desa tersebut. Namun ada beberapa orang

yang tinggal menetap dengan alasan mencari nafkah.

Hubungan kekerabatan antar penduduk Desa Waimangura sangat kental dan masih

dipertahankan sampai saat ini. Hubungan kekerabatan yang mengikat antar penduduk di

Desa Waimangura didasarkan pada keturunan, ikatan perkawinan dan tempat tinggal.

Hubungan kekerabatan berdasarkan keturunan di Desa Waimangura mengikuti garis

keturunan dari pihak ayah (patrilinear), sebagai contoh untuk nama keturunan mengikuti

fam dari pihak ayah. Sedangkan untuk hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan

perkawinan, ikatan perkawinan bukan hanya mengikat antara laki-laki dan perempuan

namun mengikat keluarga secara luas. Kesamaan tempat tinggal juga menjadikan

kekerabatan diantara penduduk di Desa Waimangura semakin tinggi.

Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Waingamura semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama

antara tahun 2012 dan 2013 terlihat pertambahannya cukup signifikan sebagaimana

ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 27. Jumlah Penduduk Desa Waimangura Tahun 2012-2013

Ketersediaan angkatan kerja di suatu desa dapat dijadikan salah satu tolak ukur untuk

menentukan produktivitas penduduk. Berdasarkan data pada Tahun 2010, jumlah penduduk

di Desa Waimangura terbanyak berada pada kelompok umur 0-19 tahun. Lebih jelasnya data

penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut:

4460

4470

4480

4490

4500

4510

4520

4530

4540

2012 2013

Jum

lah

Pen

du

du

k

Tahun

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

57

Tabel 2.17 Jumlah Penduduk Desa Waimangura berdasarkan kelompok umur

Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0-04 247 255 502

05-09 271 261 532

10-14 281 258 539

15-19 254 235 489

20-24 157 114 271

25-29 127 133 260

30-34 152 135 287

35-39 120 130 250

40-44 98 92 190

45-49 86 96 182

50-54 66 66 132

55-59 45 51 96

60-64 34 38 72

65-69 29 25 54

70-74 25 20 45

75+ 25 32 57

Jumlah 2.017 1.941 3.958

Sumber: Kecamatan Wewewa Barat dalam Angka Tahun 2011

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 2.062 jiwa (52,09%)

penduduk Desa Waimangura berumur 0-19 tahun, 1.668 jiwa (42,14%) penduduk Desa

Waimangura berumur 20-69 tahun dan 171 (4,32%) jiwa penduduk berumur lebih dari 60

tahun. Dengan demikian, jumlah penduduk usia produktif lebih sedikit persentasenya

dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.

Tingkat pendidikan masyarakat Waimangura secara umum mengalami peningkatan dari

Tahun 2012 – 2013. Untuk lebih lengkapnya mengenai perkembangan tingkat pendidikan

penduduk Desa Waimangura pada tahun 2012-2013 dapat dilihat pada diagram berikut:

Gambar 28. Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa Waimangura Tahun 2012 dan 2013

0

5

10

15

20

25

30

35

Tidak/Belum pernahsekolah

Tidak/Belum TamatSD

SD SLTP/sederajat SLTA Akademi/universitas

jum

lah

(o

ran

g)

jenjang pendidikan

2012

2013

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

58

Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa 70%, responden hanya mengenyam

pendidikan sekolah sampai tingkat SD. Sarana pendidikan formal yang ada Desa

Waimangura yaitu TK, SD, SMP serta SMK baik negeri maupun swasta. Dengan demikian

maka sarana bukan masalah bagi penduduk di Desa Waimangura untuk melanjutkan

pendidikan.

Sebanyak 68,71% penduduk Desa Waimangura memeluk agama Kristen Protestan,

sedangkan penduduk lainnya memeluk agama Islam, Katholik, Budha dan Hindu. Adapun

sarana ibadah yang ada di Desa Waimangura sebanyak 7 (tujuh) buah gereja Kristen serta 1

(satu) buah gereja Katholik.

Dalam melakukan kehidupan sehari-hari, masyarakat di Desa Waimangura melakukan

kegiatan secara bersama-sama. Lebih jelasnya mengenai kegiatan gotong royong yang biasa

dilakukan di Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. 18 Jenis kegiatan dan frekuensi gotong royong setahun terakhir

No. Jenis Kegiatan Gotong Royong Rata-rata jumlah warga yang terlibat

1. Membangun Rumah 15-30 orang

2. Membersihkan Jalan Desa Seluruh masyarakat

3. Kerja Kebun 10-20 orang

4. Kerja Sawah 10-20 orang

5. Kebersihan Lingkungan Hidup Seluruh masyarakat

6. Kebersihan Sarana Umum Seluruh warga

7. Penanaman Pohon Seluruh warga

Sumber : Data Sekunder Daftar Isian Sosial Budaya Desa Waimangura

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Penduduk Desa Waimangura secara umum bermatapencaharian sebagai petani, yaitu

sebanyak 613 orang (40,17%), sisanya merupakan pegawai/pensiunan, pendagang,

pengrajin/industry kecil, dan jasa lainnya. Hal tersebut selaras dengan hasil analisis data

primer, dimana 90% responden bekerja di bidang pertanian.

Bidang pertanian menjadi pilihan utama penduduk Desa Waimangura dalam mencari nafkah.

Komoditi yang diperoleh masyarakat dari hasil bertani diantaranya adalah padi, jagung,

kacang nasi, dan ubi kayu. Berdasarkan data pada RPJMDes, potensi tanaman pangan di

Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

59

Tabel 2.19 Potensi Tanaman Pangan di Desa Waimangura

Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM Desa Waimangura 2012-2018

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa produktivitas tanaman pangan mengalami

peningkatan dari tahun 2012-2013. Hal ini dikarenakan adanya upaya ekstensifikasi dan

intensifikasi pertanian tanaman pangan yang disertai dengan perbaikan metode dan

teknologi pra panen. (RPJMDes Desa Waimangura Tahun 2012-2018)

Dalam menunjang usaha pertanian di Desa Waimangura telah dibangun irigasi untuk

mengairi sawah. Adanya irigasi ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman

pangan terutama padi.

Gambar 29. Irigasi dan Sawah di Desa Waimangura

Selain itu penduduk di Desa Waimangura memiliki kebiasaan untuk menanam sayuran di

pekarangan. Mayoritas penduduk di Desa Waimangura mengkonsumsi sendiri sayuran yang

ditanam. Namun jika musim kemarau, maka penduduk akan memanfaatkan daun ubi kayu

dan daun pepaya yang ditanam di pekarangan rumah sebagai sayur.

Tanaman Pangan Uraian Tahun

2012 2013

Padi

Luas Panen (Ha) 380 410

Produksi Gabah (Ton) 177,5 190

Produktivitas (ton/ha) 0,5 0,5

Jagung

Luas Panen (Ha) 455 500

Produksi (Ton) 361 405

Produktivitas (ton/ha) 0,8 0,8

Kacang Nasi

Luas Panen (Ha) 28 30

Produksi (Ton) 9 12

Produktivitas (ton/ha) 0,3 0,42

Ubi Kayu

Luas Panen (Ha) 32 40

Produksi (Ton) 15,8 19,87

Produktivitas (ton/ha) 0,5 0,5

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

60

Gambar 30. Pemanfaatan Pekarangan rumah

Desa Waimangura merupakan salah satu desa yang subur, cocok untuk ditanami berbagai

jenis buah-buahan diantaranya durian, rambutan, alpukat, juga kedondong. Namun menurut

informasi dari masyarakat curah hujan di Desa Waimangura mengalami penurunan dari

tahun ke tahun dikarenakan adanya perusakan hutan.

Selain bertani masyarakat di Desa Waimangura juga memiliki usaha beternak. Secara umum

hasil ternak penting bagi masyarakat Sumba terutama digunakan untuk acara adat.

Sehingga dari segi perekonomian, hasil ternak tidak akan meningkatkan pendapatan jika

digunakan sendiri untuk acara adat. Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi ternak yang ada

di Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.20 Perkembangan populasi ternak di Desa Waimangura

No Jenis Ternak Tahun Perkembangan

2012 2013 (%)

1 Kerbau 274 302 0,25

2 Sapi 18 21 0,025

3 Kuda 149 160 0,10

4 Kambing 172 193 0,18

5 Babi 1091 1193 0,93

6 Unggas (Ayam dan Bebek)

2146 2203 0,55

Rata-Rata 0,34

Sumber : RPJM Desa Waimangura 2012-2018

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kenaikan populasi tertinggi adalah jenis ternak babi

sedangkan yang terendah adalah sapi. Selain bertani dan berkebun, masyarakat di Desa

Waimangura mengembangkan usaha sektor perkebunan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

61

Tabel 2.21 Produktivitas Perkebunan di Desa Waimangura

No Komoditi Uraian Tahun

2012 2013

1. Kelapa Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 31 35

Produksi (Ton) 4 5

Produktifitas (%) 12,9 14,28

2. Jambu Mente Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 18 18

Produksi (Ton) 2 1,5

Produktifitas (%) 11,11 8,3

3. Kemiri Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 350

Produksi (Ton) 150 160

Produktifitas 50 45,71

4. Kopi Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 95 100

Produksi (Ton) 9,5 12

Produktifitas (%) 10 12

5. Pinang Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 50 100

Produksi (Ton) 15 20

Produktifitas (%) 30 20

6. Kakao Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 420

Produksi (Ton) 30 45

Produktifitas (%) 10 11,25

7. Pisang Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 400

Produksi (Ton) 600 650

Produktifitas (%) 200 162,5

Sumber : RPJM Desa Waimangura 2012-2018

Berdasarkan tabel diatas diketahui dalam kurun waktu 2011-2012, dari ketujuh komoditi

yang dikembangkan masyarakat di Desa Waimangura ketiga diantaranya (Kelapa, Kopi,

Kakao) mengalami peningkatan produktivitas. Sedangkan keempat komoditi lainnya (Jambu

mente, Kemiri, Pisang, dan Pinang) mengalami penurunan produktivitas. Secara umum

peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh perluasan areal tanam (ekstensifikasi).

Untuk mendukung perekonomian di suatu wilayah diperlukan sarana ekonomi yang cukup

memadai. Sarana perekonomian di Desa Waimangura cukup lengkap, hal ini dikarenakan

Waimangura merupakan ibukota Kecamatan Wewewa Barat. Dengan tersedianya sarana

perkonomian yang cukup lengkap maka diharapkan akan meningkatkan tingkat

kesejahteraan masyarakat.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

62

Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi

Masyarakat

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan baik

yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut.

Masyarakat sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas,

tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik

bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang

menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut

sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya

hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001).

Desa Waimangura merupakan salah satu wilayah yang berada di sekitar kawasan hutan

Rokoraka Matalumbu (RTK.45) sehingga penduduk di Desa Waimangura memiliki peranan

yang sangat besar. Berdasarkan hasil analisa data primer, sebagian besar responden

memiliki pengetahuan yang baik terhadap kawasan hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45)

baik tentang batas kawasan hutan dengan desa (pal batas) maupun tentang kondisi hutan

Rokoraka Matalumbu. Dengan demikian penduduk di Desa Waimangura secara umum

mengakui tentang keberadaan kawasan hutan Rokoraka Matalumbu.

Informasi tentang kawasan hutan Rokoraka Matalumbu diperoleh masyarakat secara turun

temurun dari petugas kehutanan/aparat dan orang tua. Peran petugas kehutanan dalam hal

ini mantan petugas kehutanan sangat penting. Dikarenakan ada mantan petugas kehutanan

yang tinggal dan menetap tinggal di Desa Waimangura hingga pensiun. Sehingga peran

tokoh ini cukup penting dalam menjaga kelestarian hutan meski sudah tidak aktif berdinas.

Selain itu di Desa Waimangura juga ada Kantor KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan)

Wewewa Barat. Sehingga petugas kehutanan sering berkantor dan berpatroli ke wilayah

tersebut.

Ada 3 (tiga) pihak yang berperan dalam menjaga eksistensi kawasan hutan di Desa

Waimangura yaitu penduduk sekitar kawasan, pemerintah dan tokoh adat. Penduduk sekitar

kawasan hutan Rokoraka Matalumbu mengakui keberadaan kawasan hutan yang berada di

sekitar pemukiman yang hanya dipisahkan oleh jalan raya. Walaupun dalam kehidupan

sehari-hari masih ada masyarakat yang berladang di dalam kawasan hutan, mangambil kayu

dan bambu untuk membuat rumah, dan memanfaatkan kawasan hutan dengan mengambil

hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti Kemiri, Jambu Mete, dan Madu.

Adapun peranan pemerintah Desa Waimangura dalam sektor kehutanan sampai saat ini

dirasakan cukup baik, hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan pemerintah desa akan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

63

kawasan hutan dan pemerintah desa akan bertindak keras terhadap oknum perusak hutan

dan akan diproses secara hukum.

Sedangkan peranan tokoh adat di Desa Waimangura dalam menjaga keberadaan hutan

cukup besar dimana ada aturan secara tidak tertulis tentang larangan merusak hutan dan

ada sanksi adat terhadap perusak hutan.

Masyarakat, pemerintah maupun tokoh adat memiliki peran masing-masing dalam menjaga

keberadaan hutan dan diharapkan ketiga pihak tersebut terus bersinergi serta mampu

memaksimalkan perananannya masing-masing.

Fungsi utama kawasan hutan Rokoraka Matalumbu bagi masyarakat di Desa Waimangura

saat ini adalah sebagai sumber mata pencaharian yaitu sebagai tempat mengambil kemiri

dan jambu mete.

Analisis Usaha Kehutanan dan Tani Masyarakat

Secara ekologi manusia merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya. Manusia

terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia membentuk lingkungan

hidupnya. Kelangsungan hidupnya hanya mungkin dalam batas kemampuannya untuk

menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan hidup. Dengan demikian maka semua

aspek kehidupan penduduk Desa Waimangura akan berpengaruh terhadap kawasan hutan

Rokoraka Matalumbu termasuk mata pencaharian penduduk.

Berdasarkan hasil analisa data primer, 80% responden yang memiliki kegiatan ekonomi

terkait dengan mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan. Kedelapan Kepala Keluarga

(KK) tersebut bermata pencaharian utama mengambil Kemiri dan dan Jambu Mete dari

dalam kawasan hutan. Hasil yang diperoleh dari hutan baik kemiri maupun jambu mete

cukup membantu perekonomian keluarga.

Pemerintah Desa Waimangura melalui RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahun

2014, terdapat program peningkatan ekonomi terkait dengan kehutanan dan perkebunan.

Pemerintah Desa menetapkan kegiatan wajib tanam tanaman kehutanan setiap tahun 10

pohon per KK berupa (Kelapa, pisang, mahoni, jati, dan Gmelina). Program kegiatan ini

diharapkan akan meningkatkan perekonomian rumah tangga. Selain itu pohon yang ditanam

bisa menjadi investasi untuk membangun rumah anak cucu kedepannya. Dengan demikian

maka Hutan Keluarga ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan kayu tanpa merusak

kawasan hutan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

64

Ada 5 (lima) komoditi yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan oleh masyarakat di

Desa Waimangura yaitu Jati, Gmelina, Mahoni Kemiri dan Jambu Mete. Masyarakat yang

memiliki lahan luas akan memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam tanaman tanaman

keras tersebut seperti Jati dan Mahoni. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

menanam tanaman kehutanan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan

Kabupaten Manggarai Barat bekerja sama dengan UPT Kementerian Kehutanan untuk

menyediakan bibit-bibit tanaman kehutanan.

Masyarakat Desa Waimangura mengharapkan Pemerintah Daerah untuk melibatkan

masyarakat dalam mengamankan hutan seperti menjadikan penduduk sebagai pengaman

hutan.

Penduduk Desa Waimangura sebagai salah satu masyarakat yang berada di sekitar Kawasan

Hutan Rokoraka Matalumbu memiliki peranan yang sangat penting. Dengan demikian maka

penduduk Desa Waimangura harus dilibatkan dalam pengelolaan kawasan hutan Rokoraka

Matalumbu. Masyarakat mengharapkan bisa menggarap tegakan Gmelina dan Jambu mete

yang ada di dalam kawasan dan melakukan tumpang sari dengan tanaman pertanian.

Ada beberapa program pemberdayaan masyarakat yang bisa dilaksanakan terkait dengan

pengelolaan kawasan hutan diantaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman

Rakyat (HTR) serta Hutan Desa (HD). Dengan dilibatkannya masyarakat dalam mengelola

kawasan hutan maka diharapkan kelestarian hutan Rokoraka Matalumbu akan tetap lestari

tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat.

D. Kecamatan Wewewa Timur: Desa Dikira (Kelompok Hutan Lamboya)

Sejarah Desa, Pemukiman, dan Tata Guna Lahan Desa

Desa Dikira terbentuk pada tahun 1961 dan telah mengalami pergantian kepala desa

sebanyak 5 (lima) kali. Pada mulanya Desa Dikira masuk dalam wilayah pemerintahan

Kabupaten Sumba Barat hingga pada tahun 2007 terjadi pemekaran kabupaten dan masuk

dalam wilayah administrasi Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya

berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2007.

Masyarakat Dikira terdiri dari 4 (empat) suku besar yaitu suku Beaka, suku Welewo, suku

Wanga dan suku Nuratta. Suku yang paling besar adalah suku Beaka dengan kepala suku

yaitu Daniel N.G. Dappa yang saat ini menjabat sebagai kepala Desa Dikira. Terdapat 4

(empat) dusun dalam struktur pemerintahan desa yaitu Dusun Rodanna, Dusun Katamawee,

Dusun Bondowunuta, dan Dusun Puuede. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa

Wewewa.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

65

Perumahan penduduk Dikira tidak tertata dalam suatu kompleks pemukiman yang kompak

sehingga penduduk masih hidup terpencar. Terdapat 2 (dua) kelompok besar Permukiman

penduduk yaitu pemukiman yang tersebar di tepi hutan (KH Yawila) dan pemukiman yang

tersebar di tepi sungai Polapare. Pemukiman penduduk umumnya masih sederhana berupa

rumah panggung yang terbuat dari bambu dan beratapkan seng atau alang-alang, dan

beberapa rumah yang telah dibangun permanen.

Terdapat keunikan bentuk atap pada bangunan rumah masyarakat Sumba Barat Daya secara

umum termasuk di Desa Dikira yang dibuat menjulang tinggi pada bagian tengah atap

berbentuk segi empat dimana semakin ke atas semakin mengecil seperti bentuk pasak. Pada

rumah tradisional yang berupa rumah panggung terdapat 3 (tiga) lantai dimana lantai 1

berupa lantai tanah yang merupakan tempat hewan ternak, lantai 2 untuk tempat tinggal

penghuni rumah, lantai 3 di atas plafon langsung di bawah atap adalah tempat penyimpanan

bahan makanan.

Gambar 31. Bentuk bangunan rumah di Desa Dikira

Pembagian lahan pertanian maupun lahan untuk permukiman dilakukan pada pemerintahan

kepala desa Dikira yang pertama yaitu Bapak Manu Lede. Penggunaan lahan di desa Dikira

berupa tanah kering yaitu sebagai Lahan Pertanian, pemukiman, dan lainnya. Adapun luas

wilayah menurut penggunaan tanah di desa Dikira hingga akhir tahun 2014 dapat dilihat

pada Tabel 2.23.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

66

Tabel 2.22 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah di Desa Dikira

No. Penggunaan Tanah Luas

LUAS (Km2) 20,35

1. Lahan Pertanian (Ha) 275

2. Pemukiman dan Pekarangan(Ha) 20,16

3. Lainnya (Ha) 1739.84

Sumber : Kecamatan Wewewa Timur dalam angka 2015

Kepemilikan lahan masyarakat untuk pertanian umumnya merupakan warisan turun temurun

yang letaknya berbatasan dengan kawasan hutan dan bersifat permanen sehingga

masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan. Penggunaan

lahan di Desa Dikira yang terbatas juga disebabkan faktor keadaan topografi wilayah yeng

berbukit-bukit. Batas kepemilikan lahan pertanian penduduk biasanya dibatasi dengan

menggunakan tanaman kelapa atau jenis pohon tertentu.

Saat ini sedang terjadi konflik lahan tempat pembangunan kantor kepala desa yang terpaksa

dihentikan proses pembangunannya. Faktor penyebabnya adalah lahan tersebut merupakan

tanah warisan milik penduduk suku yang tidak mendukung terpilihnya kepala desa. Hingga

saat ini belum ada proses penyelesaian masalah baik secara adat maupun secara hukum.

Sistem dan Struktur Masyarakat

Desa Dikira mayoritas penduduknya memiliki sistem dan struktur masyarakat yang homogen,

yaitu merupakan penduduk asli dan turun temurun lahir, tinggal, dan berkreasi di desa

tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, hubungan kekerabatan antar penduduk sangat

kental terjalin. Garis keturunan masyarakat adalah patrilineal. Agama/kepercayaan penduduk

desa Dikira mayoritas adalah agama Protestan dan Khatolik.

Adapun adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Desa Dikira diantaranya adalah

adat istiadat dalam upacara pernikahan. Dalam upacara adat pernikahan terdapat beberapa

tahapan adat yang mengharuskan pihak keluarga laki-laki untuk menyediakan ternak kerbau

yang akan dijadikan sebagai mas kawin dan sebagai syarat untuk memohon restu pada

orangtua serta keluarga dari pihak perempuan. Jumlah kerbau yang diminta tergantung

pada status sosial keluarga pihak perempuan, dimana semakin tinggi status sosial keluarga

pihak perempuan maka jumlah kerbau untuk mas kawin semakin banyak. Upacara

pernikahan biasanya dilangsungkan di rumah mempelai laki-laki.

Selain itu terdapat upacara-upacara adat untuk melakukan kegiatan menanam pada lahan

pertanian maupun kegiatan panen, dan juga sebelum melakukan pembangunan rumah adat

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

67

atau rumah penduduk. Setiap suku di Desa Dikira mempunyai tempat khusus yang

dikeramatkan untuk kegiatan ritual adat tersebut. Suku Beaka misalnya mempunyai tempat

pelaksanaan ritual yang berlokasi di Mangora, suku Welewo mempunyai lokasi ritual yang

berlokasi di Loko, begitu juga dengan dua suku yang lainnya mempunyai tempat

pelaksanaan ritual yang berbeda.

Dalam pembangunan desa masyarakat ikut berperan aktif didalamnya seperti peran serta

masyarakat dalam pembangunan desa, semangat kegotongroyongan masyarakat Desa Dikira

juga ada dalam berbagai kegiatan. Sebagai contohnya adalah adanya kegiatan gotong

royong saat ada kematian penduduk desa, gotong royong dalam kegiatan tanam dan panen

padi di sawah, pembersihan kebun, pembangunan rumah, dan lain-lain.

Di Desa Dikira juga terdapat lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan. Sarana kelembagaan

tersebut baik berupa lembaga formal maupun informal yang bermanfaat bagi kehidupan

bermasyarakat penduduk desa. Adapun lembaga masyarakat tersebut diantaranya adalah

lembaga sosial ekonomi masyarakat berupa 2 (dua) unit Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi

tersebut diantaranya Koperasi Anggur Merah yang merupakan program pemerintah Provinsi

Nusa Tenggara Timur dan Koperasi Cahaya Bapa yang dibentuk oleh gabungan kelompok

tani (Gapoktan) Cahaya Bapa. Lembaga sosial budaya diantaranya gereja sebagai lembaga

kerohanian bagi masyarakat baik umat Protestan maupun Khatolik.

Kehidupan sosial budaya sehari-hari penduduk Desa Dikira hampir semuanya dipengaruhi

oleh adat istiadat daerah setempat. Norma adat ini mempengaruhi kehidupan masyarakat

baik hubungan sosial masyarakat maupun hubungan masyarakat dengan alam. Sistem garis

keturunan dan hubungan kekerabatan penduduk Desa Dikira masih berpegang pada prinsip

patrilineal.

Pertambahan penduduk Desa Dikira dipengaruhi oleh faktor-faktor diantaranya kelahiran,

kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar.

Tata kehidupan penduduk Desa Dikira umumnya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku, dan dipengaruhi oleh

kebijakan-kebijakan adat-istiadat yang ada di desa Dikira dan juga garis keturunan

menurut marga-marga suku yang dipimpin oleh masing-masing kepala suku.

Tabel 2.23 Nama suku yang ada di Desa Dikira beserta nama Kepala Suku

No. Nama Suku Nama Kepala Suku

1. Suku Beaka Daniel N.G Dappa

2. Suku Welewo Yusuf Rewa

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

68

No. Nama Suku Nama Kepala Suku

3. Suku Wonga Alfonsus Lendetera

4. Suku Nuratta NG. Umbu Leba

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

2. Sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas

kesatuan wilayah/territorial administrasi (perbekelan/kelurahan) yang pada umumnya

terpecah lagi menjadi kesatuan sosial yang lebih kecil yaitu dusun. Di desa Dikira terdapat

4 (empat) dusun dengan jumlah penduduk pada masing-masing dusun adalah sebagai

berikut.

Tabel 2. 24 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Dusun

No. Nama Dusun Jumlah Kepala Keluarga (KK)

1. Dusun Rodanna 104

2. Dusun Katamawee 86

3. Dusun Bondowunuta 68

4. Dusun Puuede 78

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Dari sistem kemasyarakatan yang ada tersebut maka warga desa dapat masuk menjadi dua

keanggotaan warga desa ataupun satu keanggotaan, yaitu sistem pemerintahan desa dinas

sebagai wilayah administratif dan atau desa dengan kehidupan masyarakat setempat

berdasarkan hukum adat.

Kependudukan

Penduduk Desa Dikira mengakui adanya kawasan hutan di wilayah tempat tinggalnya.

Keberadaan KH Yawila (RTK. 2) di sekitar Desa Dikira secara langsung dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan akan kayu juga menjadi penyangga sumber mata air. Adapun data

jumlah penduduk Desa Dikira disajikan pada Tabel 2.25.

Tabel 2.25 Jumlah Penduduk Desa Dikira Pada Akhir Tahun 2014

No. Desa Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan

1. Dikira 1598 818 780

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Jumlah penduduk desa setiap tahun bervariasi jika dilihat dari grafik pertambahan penduduk

5 (lima) tahun terakhir berikut ini.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

69

Gambar 32. Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (Lima) Tahun Terakhir

Laju pertumbuhan penduduk Desa Dikira selama 5 (lima) tahun terakhir dapat dihitung

dengan rumus : (p1-po) x 100/po, dimana po adalah jumlah penduduk tahun awal, dan p1

adalah jumlah penduduk tahun akhir, maka diperoleh nilai 2,70 %. Berdasarkan RPJMD NTT

(2009-2014), nilai laju pertumbuhan penduduk (r) termasuk dalam kategori Laju

pertumbuhan penduduk tinggi (> 2%).

Di Desa Dikira sudah terdapat sarana dan prasarana pendidikan yaitu adanya sekolah TK dan

SD dan SLTP. Konsidi bangunan TK dan SD dalam kondisi baik dan layak. Untuk jenjang

yang lebih tinggi, masyarakat Desa Dikira pada umumnya menyekolahkan anaknya ke

ibukota kecamatan atau ke ibukota kabupaten. Jumlah penduduk menurut tingkat

pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.26 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase (%)

1. Tamat SD 250 15,64

2. Tamat SLTP 100 6,25

3. Tamat SLTA 20 1,25

4. Tamat D1/D2/D3/S1 0 0

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Tingkat pendidikan di Desa Dikira masih sangat rendah karena hanya sebagian kecil

penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP dan SLTA bahkan belum ada penduduk yang

menamatkan pendidikan pada perguruan tinggi. Kesadaran penduduk Desa Dikira akan

pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Masyarakat lebih cenderung memelihara ternak

bahkan menyiapkan biaya untuk kepentingan adat istiadat dibandingkan menjual ternaknya

untuk biaya sekolah anak.

750 758 813 798 818

663 670 735 758 780

2011 2012 2013 2014 2015

Grafik 2. Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (lima) Tahun Terakhir

Laki-laki Perempuan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

70

Mayoritas penduduk Desa Dikira menganut agama Kristen Protestan dan Khatolik.

Penyebaran agama Kristen Protestan di Pulau Sumba merupakan peran dari bangsa Belanda.

Sedangkan penyebaran agama Khatolik di Sumba Barat Daya dan sekitarnya pertama kali

dilakukan oleh misionaris-misionaris Jesuit dari pulau Jawa dan dilanjutkan oleh misionaris

dari Flores.

Mayoritas penduduk di Desa Dikira memeluk agama Kristen dan Khatolik, dan penduduk

lainnya beragama Islam. Adapun sarana ibadah yang ada di Desa Waimangura sebanyak 4

(empat) buah gereja Kristen serta 2 (dua) buah gereja Khatolik.

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Sebagian besar penduduk Desa Dikira menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian

berupa padi dan jagung. Hasil pertanian menjadi sumber ekonomi masyarakat Desa Dikira.

Jumlah petani serta luas produksi tanaman pertanian setahun terakhir dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 2.27 Jumlah Petani serta Luas Produksi Tanaman Pertanian di Desa Dikira

NO. Jenis Komoditi Jumlah Petani

(kk)

Luas Areal

(Ha)

Produksi Per Hektar

(ton/ha)

A. Tanaman Pangan

1. Padi Sawah 100 275 10

2. Padi Ladang -

3. Jagung 300 10

B. Tanaman Tahunan

1. Kelapa 300 -

2. Pinang 300 -

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Hasil-hasil pertanian masyarakat lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-

hari. Untuk menopang perekonomian, masyarakat memiliki banyak sekali hasil perkebunan

dan hasil buah-buahan yang dijual. Tanaman tahunan seperti kelapa dan pinang rata-rata

dimiliki sebanyak 2-3 pohon oleh setiap KK untuk dimanfaatkan sendiri.

Selain hasil pertanian dan perkebunan, masyarakat juga memelihara ternak dengan jenis

dan jumlah disajikan dalam tabel berikut ini.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

71

Tabel 2.28 Jumlah Ternak di Desa Dikira

NO. Jenis Ternak Jumlah

1. Kerbau 40

2. Sapi 5

3. Kuda 30

4. Babi 500

5. Kambing 100

6. Ayam 1000

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Ternak selain untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual, biasanya digunakan untuk upacara-

upacara adat, seperti Kerbau sebagai mas kawin dalam upacara adat pernikahan, ayam

digunakan dalam upacara adat kematian. Menurut pengakuan masyarakat bahwa jumlah

ternak kerbau berkurang drastis karena wabah penyakit sura yang pernah menyerang

beberapa waktu yang lalu.

Jumlah sarana ekonomi yang terdapat di Desa Dikira sampai dengan akhir tahun 2014 dapat

dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2. 29 Jumlah Sarana Ekonomi di Desa Dikira

No. Sarana Ekonomi Jumlah

1. Penggilingan padi 2

2. Ojek Motor 10

3. Truk 1

4. koperasi 2

5. Pick Up 1

Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015

Penggilingan padi pada Desa Dikira salah satunya merupakan milik Gapoktan Cahaya Bapa

yang dapat dimanfaatkan oleh anggota kelompok tani tersebut.

Fasilitas kesehatan berupa Posyandu dan Polindes telah dimanfaatkan masyarakat walaupun

masih sangat terbatas karena tidak tersedianya tenaga medis yang memadai. Penanganan

masalah kesehatan berupa penyakit ringan langsung ditangani oleh bidan di polindes,

sedangkan penyakit berat biasanya dirujuk ke puskesmas kecamatan atau ke Rumah Sakit

Umum di Tambolaka. Jenis penyakit yang sering diderita oleh penduduk Desa Dikira adalah

penyakit Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Menurut pengakuan masyarakat

bahwa hampir setiap bulan terdapat penduduk yang mengalami penyakit Malaria.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

72

Masyarakat Desa Dikira sudah terjamah dengan fasilitas listrik PLN dengan Pembangkit

Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan aliran deras sungai Lokomboro

yang berada di desa tetangga yaitu Desa Pada Eweta. Sungai Lokomboro berhulu pada

Hutan Yawila (RTK 2) sehingga pemerintah selalu menekankan kepada masyarakat agar

menjaga kelestarian hutan untuk mempertahankan kelestarian sumber air dan debit air

sungai Lokomboro.

Penggunaan alat-alat elektronik seperti televisi dan parabola belum dimiliki oleh semua

penduduk. Penggunaan telepon genggam sebagai sarana telekomunikasi sudah digunakan

hamper semua masyarakat. Fasilitas air bersih desa Dikira masih mengandalkan mata air

dari sungai Polapare. Masyarakat Desa Dikira secara keseluruhan telah memiliki sarana MCK

di setiap rumah, namun belum semua sarana MCK penduduk masuk dalam standar MCK

sehat.

Gambar 33. PLTMH di desa Pada Eweta

Akses jalan di Desa Dikira masih kurang baik karena sebagian besar berupa jalan aspal

namun mulai rusak. Akses jalan ini menjadi penghubung desa Dikira dan desa-desa

tetangga. Sedangkan jalan penghubung antara desa Dikira dengan kota kecamatan Wewewa

Timur di Elopada dan ke kota kabupaten di Tambolaka berupa jalan aspal yang rusak

sebagian.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Pemerintah melalui gabungan kelompok

tani (Gapoktan) dan penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk

kaum perempuan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui Gapoktan diantaranya

mengembangkan usaha di bidang pertanian, peningkatan kualitas SDM dan peningkatan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

73

kesejahteraan anggota kelompok tani. Sedangkan pemberdayaan masyarakat melalui PKK

salah satunya yaitu pelatihan pembuatan Tortilla dengan menggunakan bahan-bahan lokal.

Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi

Masyarakat

Penduduk Desa Dikira mayoritas sudah lama tinggal dan menetap secara turun temurun di

desa dan merupakan penduduk asli. Pada umumnya masyarakat mengetahui batas desanya

dari cerita asal usul desa dari sesepuh berupa batas yang dibuat secara adat. Sebagian

pemukiman penduduk Desa Dikira berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Yawila (RTK.

2) dengan jalan utama menuju atau keluar kawasan hutan adalah jalan setapak.

Menurut penduduk Desa Dikira kondisi hutan di sekitar tempat tinggal masih dalam keadaan

baik karena masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan.

Hutan bagi masyarakat Dikira adalah penyangga sumber mata air yang saat ini dijadikan

saluran-saluran irigasi untuk sawah-sawah masyarakat. Selain itu masyarakat juga

mengambil kayu bakar untuk dijual atau untuk dipakai sendiri. Penebangan pohon dalam

jumlah kecil dilakukan untuk pembangunan rumah warga Desa Dikira.

Kebijakan untuk menjaga kelestarisan hutan ditujukan untuk menjaga kelestarian sumber air

yang berasal dari dalam kawasan hutan Yawila (RTK 2). Kebijakan ini berlaku tidak hanya

untuk masyarakat Desa Dikira tetapi juga untuk masyarakat yang berada di sekitar kaki

gunung Yawila. Di Desa Dikira terdapat beberapa ketentuan adat dalam pemanfaatan

sumber daya hutan diantaranya tidak boleh memotong/ mematikan bambu. Hal ini

merupakan larangan adat terutama untuk suku Beaka.

Analisis Usaha Kehutanan dan Tani Masyarakat

Masyarakat Desa Dikira pada umumnya melakukan usaha pertanian hanya untuk menopang

perekonomian dan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kawasan Hutan Yawila

(RTK. 2) menjadi sumber air untuk pengairan lahan pertanian Desa Dikira sehingga

masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian di dalam kawasan hutan. Masyarakat desa

Dikira sangat menyadari pentingnya keberadaan hutan dengan menanam pohon baik di

kebun maupun di pekarangan rumah.

Pengelolaan kawasan hutan dilakukan dengan budidaya tanaman kehutanan. Penduduk

Dikira mengharapkan adanya program pembagian bibit tanaman kehutanan oleh Dinas

Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya untuk reboisasi kawasan hutan maupun untuk

ditanam di lahan masyarakat.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

74

2.4 Perizinan dan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Di dalam Wilayah KPHL Sumba Barat Daya belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan

maupun izin usaha pemanfaatan hasil hutan.

2.5 KPHL SBD dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan

Daerah

Pendekatan dalam menata pembangunan dan pengelolaan daerah berorientasi pada

pemanfaatan struktur dan pola tata ruang berbasis potensi dengan memperhatikan daya

tampung dan daya dukung lingkungan dalam pemanfaatan ruang dengan memperhitungkan

aspek keberlanjutan produktifivas dan aspek penyelamatan lingkungan (pemahaman

pembangunan berkelanjutan adalah sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan

generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk dapat

memenuhi sendiri kebutuhan mereka), baik mulai dari perencanaan, pemanfaatan dan

pengendalian pemanfaatan sehingga selalu menjaga keseimbangan lingkungan alam,

keseimbangan lingkungan sosial budaya supaya tetap sinergi dengan peningkatan kualitas

kehidupan dan pertumbuhan ekonomi.

Posisi KPHL Sumba Barat Daya tidak terlepas dari konteks tata ruang wilayah dan

pembangunan daerah. Keberadaan KPHL diharapkan mampu mendukung fungsi-fungsi

penggunaan ruang sebagaimana diharapkan dalam tata ruang wilayah dan mampu

meningkatkan produktivitas sumber daya hutan dan lahan dalam mendukung pembangunan

daerah.

Berdasarkan potensi yang menonjol di Kabupaten Sumba Barat Daya, dimana salah satu

arahan tata ruang wilayah menyebutkan bahwa ekowisata/jasa lingkungan merupakan salah

satu andalan dalam mensejahterakan masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya. Untuk

mendukung hal tersebut maka kawasan yang memiliki potensi jasa ekosistem yang tinggi

perlu memelihara, menjaga dan mengelola sumberdaya secara lestari.

Berkaitan dengan hal tersebut, KPHL SBD ini diharapkan mampu menjawab visi dan misi

Kabupaten Sumba Barat Daya dalam konteks kehutanan dan lingkungan hidup sebagaimana

diuraikan sebagai berikut:

- Sesuai petikan visi pembangunan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya, maka

keberadaan KPHL SBD sangat selaras dengan visi tersebut, dimana salah satunya

adalah pengembangan wisata alam yang lestari melingkupi suatu pengertian bahwa

pengelolaan sumber daya alam khususnya wisata/jasa ekosistem yang optimal untuk

kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

75

o Mengembangkan Kegiatan wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dengan memperhatikan kelestarian dan bentang alam kawasan.

o pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan

bukan kayu.

- Dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan daerah, maka keberadaan dan

pengelolaan KPHL SBD tidak terlepas dari rencana strategis pembangunan kehutanan

sebagaimana telah disusun oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTT.

- Terkait dengan visi Dinas Kehutanan Provinsi NTT, yaitu “Terwujudnya

Penyelenggaraan Pembangunan Kehutanan Secara Terpadu Untuk Menjamin

Kelestarian Hutan yang Bermanfaat Bagi Masyarakat” maka keberadaan KPHL SBD

sangat strategis untuk menjawab visi tersebut. Hal tersebut Dimaksudkan bahwa

hasil-hasil pembangunan kehutanan akan memberikan nilai positif bagi hutan yang

berfungsi konservasi, lindung dan produksi. Fungsi hutan tersebut harus dapat

dirasakan dan dinikmati secara terkelanjutan atau terus menerus sepanjang hidup

melalui suatu bentuk perencanaan yang matang dan terarah sehingga mampu

meningkatkan taraf hidup rakyat di Provinsi NTT umumnya dan Kabupaten Sumba

Barat Daya khususnya.

2.6 Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan

Keberadaan KPHL SBD diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi

pembangunan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya. Dalam menjawab hal ini perlu

dilakukan identifikasi isu strategis, kendala dan permasalahan yang terkait langsung dengan

keberadaan KPHL SBD sebagai wilayah yang berperan strategis dalam pembangunan

kehutanan.

2.6.1 Isu Strategis

Beberapa isu strategis terkait dengan keberadaan KPHL SBD baik secara ekologi, ekonomi

dan sosial diperoleh sebagai berikut:

1) Keberadaan hutan lindung memiliki peran strategis baik bagi lingkungan maupun bagi

pertumbuhan ekonomi daerah, terutama dalam kaitannya dengan pelestarian fungsi tata

air dan peningkatan pendapatan masyarakat.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

76

2) Sumba Barat Daya memiliki potensi wisata yang masih tergolong perawan. Mulai wisata

bahari, memiliki pantai-pantai yang indah di Weekuri, Pero, dan Kondamaloba yang

berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Dari kampung Tosi terlihat anggun di

tengah pepohonan tua dan kuburan megalitik dan juga terdapat pasola yang rutin di

gelar secara turun temurun. Di desa tradisional Ratenggaro juga memiliki pantai yang

sangat indah. Tapi sayang kurangnya perhatian dari pemerintah maupun pihak-pihak

terkait membuat pesona wisata yang ada di pulau Sumba belum dapat dikelola dengan

baik. Potensi wisata pulau Sumba perlu dikelola secara bagus guna mendongkrak

pendapatan asli daerah. Serta disisi lain menggerakan ekonomi kerakyatan dan sektor-

sektor jasa perhotelan dan rumah makan serta klub-klub kesenian. Pariwisata harus

dipandang sebagai gerakan ekonomi untuk memajukan ekonomi daerah.

3) Tingkat kehidupan ekonomi di bawah garis kemiskinan yang sangat tinggi, berdasarkan

data tahun 2013 sekitar 8,33 persen penduduk miskin di Propinsi Nusa Tenggara Timur

adalah penduduk miskin yang berada di kabupaten Sumba Barat Daya. Kondisi ini

berpotensi terhadap kerawanan sosial dan perambahan terhadap kawasan hutan dalam

upaya memenuhi kehidupan ekonominya.

4) Masyarakat sekitar hutan yang umumnya merupakan tipe peladang memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap lahan dan sumber daya hutan.

5) Potensi pengelolaan lahan akan mendapat tantangan dari suku/etnis menjadi masalah

tersendiri, mengingat posisi suku-suku di Sumba Barat Daya sangat kuat sehingga semua

kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan eksistensi suku/etnis yang ada di

Sumba Barat Daya.

2.6.2 Kendala dan Permasalahan

Beberapa kendala dan permasalahan yang cukup menonjol di wilayah kerja KPHL SBD dan

sekitarnya diuraikan sebagai berikut:

1) Saat ini tingkat perambahan hutan hutan di wilayah KPHL SBD tergolong cukup besar,

yaitu mencakup areal seluas 494,53 hektar baik pada hutan lindung maupun hutan

produksi. Kondisi ini tampak pada lahan di dalam kawasan yang telah berubah fungsinya

menjadi lahan pertanian. Sedangkan penutupan lahan berupa semak belukar mencapai

5.616,39 Ha dan tanah kosong 119,39 Ha. Kondisi ini mengindikasi adanya kegiatan

pertanian telah berlangsung lama yang terjadi di areal hutan.

2) Tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan juga masih relatif

rendah. Pembangunan bidang kehutanan diharapkan mampu menyediakan lapangan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

77

kerja dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat yang

tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan pemanfaatan hasil hutan

non kayu dan jasa lingkungan.

3) Belum dikelolanya jasa ekosistem berupa wisata alam dengan baik/profesional.

Pengelolaan dan promosi yang baik akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan

ekonomi masayarakat serta dapat menumbuhkembangkan sektor lainnya seperti sektor-

sektor jasa perhotelan dan rumah makan serta klub-klub kesenian. Sektor ekowisata

diprediksi dapat memajukan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan KHPL.

4) Tingginya lahan kritis, seperti semak belukar dan tanah kosong baik di hutan lindung

maupun di hutan produksi.

5) Tingkat curah hujan yang rendah dan akan menyulitkan dalam upaya reboisasi kawasan

dan berpotensi terjadinya Kebakaran hutan sebagai imbas dari kekeringan yang cukup

panjang.

6) Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan berimplikasi terhadap

pemahaman mengenai pentingnya hutan untuk keberadaan baik lingkungan maupun

kehidupan alam sekitarnya menjadi semakin berkurang. Ketidaktahuan ini menjadikan

hutan hanya sebagai sumber ekonomi belaka tanpa diikuti dengan pengetahuan

mengenai pola pemikiran bahwa keberadaan hutan sangat penting.

7) Potensi konflik tenurial dimungkinkan terjadi di masa yang akan datang. Seiring dengan

pertambahan kebutuhan lahan yang semakin meningkat, bukan hal yang tidak mungkin

masyarakat yang terdesak akan kebutuhan ekonomi akan merambah hutan. Dengan

ketersediaan akses menuju hutan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk

membuka lahan di kawasan hutan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

78

3.1. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya

3.1.1. Visi

Visi adalah gambaran atau pernyataan tentang sesuatu yang ingin diwujudkan oleh

lembaga/organisasi di masa jauh ke depan. Perumusan visi dapat dilakukan dengan

menggunakan data atau informasi yang bersifat normatif, visioner, dan teknis. Visi KPHL

Sumba Barat Daya secara prinsif harus berdasarkan pada visi misi diatasnya yaitu

pemerintah daerah, dinas kehutanan provinsi/kabupaten serta kondisi potensi kehutanan,

permasalahan dan tujuan kesejahtaeraan masyarakat khususnya wilayah Sumba Barat Daya.

Selain itu, penunjukan Kesatuan Pengelolaan Hutan lindung di Sumba Barat Daya

memberikan arti bahwa kegiatan ke depan harus berdasarkan prinsif kelestarian ekologi

dalam arti sustainable yang mendukung tumbuh dan berkembangnya aspek ekonomi dan

pemerataan pembangunan.

Visi pembangunan SBD dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)

Tahun 2014 – 2019 adalah “Membangun Masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD)

yang Sejahtera, Mandiri dan Aman” berdasarkan visi pembangunan serta hasil identifikasi,

analisis dan prediksi kondisi umum berbagai sumber daya yang berada pada wilayah KPHL

SBD dan di sekitar kawasan KPHL, maka Visi KPHL SBD tahun 2015-2024 adalah ”

Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dan

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat “.

Visi tersebut mengandung arti sebagai berikut:

Pengelolaan KPHL, merupakan suatu wujud satuan pengelolaan kawasan tingkat

tapak yang tertata dan terorganisir dalam kerangka penerapan prinsip-prinsip

pengelolaan hutan lindung lestari.

Lestari, kegiatan pengelolaan hutan di KPHL SBD yang tetap memperhatikan

kelestarian fungsi lingkungan guna mendukung keberlanjutan ekosistem hutan

sehingga dapat mengoptimalkan manfaat sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

BAB

3 VISI DAN MISI

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

79

Penyedia Jasa Ekosistem, ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat

dan pertimbangan untuk perencanaan strategis menuju pengelolaan kawasan hutan

lestari sebagai penyedia jasa ekosistem yang mandiri.

Menjamin Kehidupan masyarakat, upaya memaksimalkan potensi sumber daya

hutan bagi kesejahteraan masyarakat, dimana masyarakat dapat memenuhi

kebutuhan dasar yang bersifat material dan terutama pemanfaatan Jasa Ekosistem

dan hasil hutan non kayu untuk peningkatan kesejahteraan.

3.1.2 Misi

Memperhatikan makna yang terkandung dalam Visi KPHL SBD 2015 – 2024 yaitu

”Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dan

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat “. Maka misi ditujukan untuk melaksanakan

agenda-agenda utama yang menjadi penentu keberhasilan pencapaian visi. Mengacu pada

kelestarian ekologi/lestari dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, maka

diperlukan bentuk nyata implementasinya sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan.

Dengan demikian, ditetapkan misi pengelolaan KPHL Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai

berikut :

1. Memantapkan status kawasan KPHL Sumba Barat Daya;

2. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yaitu dengan mengoptimalkan

potensi hasil hutan non kayu dan jasa ekosistem lainnya dengan memperhatikan

ekosistemnya;

3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang efisiensi dan efektifitas dalam

pengelolaan KPHL;

4. Pengembangan potensi ekowisata dan jasa ekosistem lainya;

5. Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan;

6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan melalui kegiatan pengelolaan dan

pelestarian ekosistem hutan yang terintegrasi dengan pemanfaatan hasil hutan non

kayu, pengembangan ekowisata, aneka usaha kehutanan dalam peningkatan

ekonomi masyarakat.;

7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dengan para pihak dalam pengelolaan

produk hasil hutan dan jasa lingkungan hutan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

80

3.1.3 Tujuan Pengelolaan

Berdasarkan visi dan misi diatas maka pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya mempunyai

tujuan pengelolaan sebagai berikut:

1) Terwujudnya kepastian hukum, meminimalkan terjadinya sengketa lahan,

menyediakan lahan bagi masyarakat untuk mendukung pengelolaan KPHL serta

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan penataan batas; Tertatanya

penataan kawasan KPHL SBD, Blok dan Petak yang pengelolaannya dilakukan secara

partisipatif dan kolaboratif dalam perlindungan dan pengawasan ditujukan untuk

menjaga fungsi perlindungan, pelestarian dan pengawetan keanekaragaman hayati

dan ekosistemnya;

2) Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem ditujukan untuk pengendalian

fungsi pemanfaatan secara lestari, bijaksana dan berkelanjutan dalam rangka

pengembangan ekowisata di wilayah KPHL SBD;

3) Peningkatan kualitas sumber daya manusia ditujukan untuk mempersiapkan aparatur

pengelola dalam pelayanan publik, penyusun struktur organisasi, fungsi, wewenang,

tugas dan tanggung jawab serta tata hubungan yang efektif dan efisien dalam

pengembangan ekowisata di KPHL SBD, terwujudnya peningkatan SDM dan

pemantapan aspek kelembagaan sehingga terbentuk staf pengelola KPHL yang

mampu bekerja secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan tata hubungan

yang baik dengan para pihak di luar pengelola kawasan tersebut;

4) Pengembangan potensi ekowisata ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan pertimbangan untuk perencanaan strategis menuju pengelolaan

hutan lestari dan KPHL yang mandiri;

5) Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan ditujukan untuk menjaga fungsi

perlindungan, pelestarian serta revitalisasi hutan sesuai dengan fungsi peruntukannya

demi tercapainya kondisi hutan yang lestari;

6) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ditujukan untuk penguatan kelembagaan

dengan memberikan izin pengelolaan hutan agar dapat meningkatkan pendapatan

dan kesejahteraan masyarakat melalui kerjasama dengan menempatkan masyarakat

sebagai mitra yang sejajar;

7) Terbangunnya berbagai skema kerjasama antara KPHL dan masyarakat serta

pemegang izin dalam pengelolaan kawasan hutan. Terwujudnya pengelolaan jasa

lingkungan dalam peningkatan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

81

melakukan usaha upaya konservasi ekosistem pelestarian alam dan peningkatan

pendapatan masyarakat.

3.1.4 Pendekatan Strategi Pengelolaan

Pendekatan strategi yang akan dipergunakan untuk mewujudkan visi dan misi serta tujuan

pengelolaan tersebut memerlukan analisis, tahapan, serta prakondisi melalui pendekatan

antara lain :

Strategi-strategi sebagaimana tersebut di atas dipandang sesuai walaupun terdapat

keterbatasan-keterbatasan yang berkaitan dengan sumber daya. Pemerintah kabupaten

harus melibatkan lembaga-lembaga lain untuk mengambil bagian dalam pengelolaan hutan

lindung, khususnya masyarakat sekitar yang memiliki mata pencaharian yang bergantung

pada hutan dan berbagai pengalaman dalam mengelola sumber daya alam secara

berkelanjutan. Masyarakat dapat terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti patroli hutan,

penanaman kembali, dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Berbagai kegiatan

mata pencaharian alternatif harus mulai dikembangkan, seperti pembibitan dan pemanfaatan

hasil hutan selain kayu, seperti rotan, madu, dan lainnya. Kesempatan yang diberikan oleh

pemerintah pusat melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti hutan desa dan

hutan kemasyarakatan akan lebih memperkuat komitmen masyarakat dalam mengelola

sumber daya alam.

Untuk menciptakan sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk membiayai pengelolaan

dan perlindungan hutan, keterlibatan individual, koperasi, perusahaan negara, atau swasta

harus didukung dimana keterlibatan mereka diharapkan dapat mendukung terbangunnya

berbagai kegiatan yang menghasilkan pendapatan, seperti program adopsi pohon atau

pembayaran jasa lingkungan (seperti ekowisata, pembayaran untuk air, dan lainnya).

Kerangka pelaksanaan strategi hutan lindung terdiri dari enam langkah utama: a) kolaboratif dan adaptif (adaptive collaborative management).

Pengelolaan hutan lindung secara kolaboratif dan adaptif artinya pengelolaan hutan

lindung dirancang sedemikian rupa sehingga melibatkan berbagai pemangku

kepentingan utama dan menghasilkan berbagai pembelajaran. Pembelajaran-

pembelajaran tersebut dihasilkan melalui proses pemantauan dan refleksi yang

dilakukan secara berkala terhadap pengelolaan hutan lindung dimana pembelajaran-

pembelajaran yang dihasilkan selama proses pengelolaan tersebut digunakan sebagai

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

82

dasar untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai intervensi yang akan dilakukan

selanjutnya. Pengelolaan hutan lindung yang dilakukan secara bersama melibatkan

antara lain, pemerintah kabupaten, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait

lainnya (khususnya lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta). Kemudian, untuk

memastikan adanya dampak positif terhadap hutan dan masyarakat sekitar, maka

pengelolaan hutan lindung harus mendukung penguatan hak-hak pengelolaan oleh

masyarakat melalui program-program, seperti hutan desa dan hutan kemasyarakatan.

b) Pengembangan wisata alam berbasis kelestarian

Pengelolaan hutan lindung dengan tujuan pengembangan wisata alam/ekowisata secara

lestari dapat menjamin keberlangsungan ekologi yang memberikan kontribusi secara

nyata bagi peningkatan ekonomi masyarakat dengan harapan dapat meminimalisasi

masalah degradasi dan deforestasi hutan, masalah lingkungan dan sosial. Secara

operasional dapat berimplikasi pada terjaganya ekosistem hutan secara optimal. meliputi

kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi/produksi dan kelestarian sosial.

Kelestarian ekologi

Prinsip kelestarian ekologi dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan kegiatan

pengelolaan hutan di KPHL yang tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan

guna mendukung keberlanjutan ekosistem hutan sehingga dapat mengoptimalkan

manfaat sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan melalaui ekowisata/jas lingkungan.

Kelestarian ekonomi

Prinsip kelestarian ekonomi dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan keberlanjutan

usaha kehutanan di KPHL, namun tetap memperhatikan kelestarian ekologi dan sosial.

Kelestarian sosial

Prinsip kelestarian fungsi sosial dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan terjaminnya

keberlangsungan manfaat sosial sumber daya hutan bagi para pemanfaat hutan dengan

melibatkan partisipasi aktif para pemanfaat dalam pengelolaan hutan.

b) Pengelolaan yang berkeadilan

Pengelolaan KPHL berkaitan dengan distribusi manfaat sumber daya hutan bagi para

pemanfaat sumber daya hutan. Pemanfaat sumber daya hutan dapat berupa sektor

pemerintah, sektor swasta, dan sektor publik (lembaga swadaya masyarakat (LSM),

masyarakat. Pengelolaan hutan harus dapat memberikan kesempatan yang sama bagi

para pemanfaat hutan dalam mengakses sumber daya hutan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

83

c) Pengembangan kemitraan dengan masyarakat

Pengembangan kemitraan berkaitan dengan peran KPHL terutama dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui skema kegiatan

pengelolaan hutan yang dilakukan. Skema kegiatan pengelolaan hutan ini merupakan

upaya pemberdayaan masyarakat setempat yang dapat dilakukan melalui kemitraan

kehutanan. Skema ini dapat berupa hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman

rakyat (HTR), hutan desa (HD), dan skema lain yang memungkinkan masyarakat

mendapatkan izin usaha di bidang kehutanan.

d) Legalitas Kawasan

Penataan kawasan ditujukan untuk memperoleh kepastian hukum, menghindari

sengketa yang bersumber dari tumpang tindihnya perizinan dan areal kawasan serta

menyediakan wadah bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan baik dalam

rangka mendukung program KPHL Sumba Barat Daya, maupun program pembangunan

daerah Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan

mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

e) Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Bersama

Kegiatan ini ditujukan untuk menjaga keutuhan fungsi kawasan, keragaman hayati

beserta ekosistemnya, menjaga agar kawasan terbebas dari perambahan, perusakan

dan gangguan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam memperkuat perlindungan

dan pengamanan kawasan diperlukan strategi-strategi yang melibatkan peran serta

semua pihak berdasarkan kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak, baik di

internal KPHL Sumba Barat Daya, maupun pihak-pihak eksternal seperti Kepolisian,

Dinas Kehutanan, pihak swasta yang bekerja di sekitar kawasan KPHL Sumba Barat

Daya, serta masyarakat di sekitar kawasan KPHL Sumba Barat Daya. Selain memperkuat

pengamanan bersama, diperlukan juga partisipasi masyarakat yang berada di sekitar

kawasan, partisipasi ini dapat diperkuat dengan membangun pengamanan swakarsa

masyarakat yang berada di sekitar kawasan.

f) Manajemen Kolaborasi

Kerjasama akan mengatur dan membagi peran dari masing-masing pihak dalam

pengelolaan bersama. Peran beberapa pihak tersebut harus bersinergi dalam

memperkuat program yang ada, mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

84

evaluasi dapat dilakukan bersama-sama, sehingga hasil yang diharapkan dapat

maksimal dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan bersama.

g) Sinergisitas Program Antar Pihak

Pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya tidak hanya dilakukan oleh unit pengelola saja,

namun perlu melibatkan berbagai pihak. Keterlibatan antar pihak dapat diwujudkan

dengan memperkuat sinergisitas program para pihak. Pemerintah Pusat dan daerah

memiliki program-program pembangunan Kehutanan dapat bersinergi dan dapat

dikerjasamakan dengan program di KPHL Sumba Barat Daya. Untuk memperkuat dan

sinergisitas program dengan pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

perusahaan maupun investor harus disesuaikan dengan rencana dan tujuan KPHL

Sumba Barat Daya, maupun pemerintah daerah, mulai dari perencanaan, implementasi,

monitoring dan evaluasi.

h) Membuka Jaringan (networking)

Jaringan kerjasama yang dibangun akan memperkuat program-program yang

berdampak pada pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya. Kerjasama dapat dibangun

dengan pihak luar yang memiliki visi dan misi sejalan dengan visi dan misi

pembangunan KPHL Sumba Barat Daya.

i) Pengembangan Daerah sekitar kawasan KPHL Sumba Barat Daya

Pengelolaan daerah sekitar KPHL Sumba Barat Daya haruslah didukung oleh sistem yang

cukup baik. Sistem tersebut harus dibangun sesuai dengan kebutuhan dan

permasalahan yang ada di masyarakat. Untuk mengurangi tekanan yang besar terhadap

kawasan, salah satunya diperlukan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan KPHL

Sumba Barat Daya. Pemberdayaan ini dapat berupa pengembangan ekonomi, budaya,

wisata, kesadartahuan mengenai lingkungan dan lain-lain, yang diadopsi dan diadaptasi

dari potensi dan kekuatan yang ada di masyarakat.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

85

4.1. Analisis Data dan Informasi KPHL Sumba Barat Daya

4.1.1 Faktor Internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness)

A. Potensi Kawasan Hutan

A.1. Penunjukkan kawasan

Total luas areal KPHL Sumba Barat Daya (SBD) adalah seluas 20.646,64 ha terdiri dari hutan

lindung seluas 12.028,41 ha (58%) dan hutan produksi seluas 8.618,23 ha (42%), telah

memiliki SK Penunjukkan Kawasan dari Menteri Kehutanan Nomor: SK.3911/Menhut-

VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014. Dengan telah adanya penunjukkan kawasan hutan,

maka KPHL SBD secara legalitas memiliki kekuatan hukum.

A.2. Fungsi Kawasan

Dari total luas kawasan hutan KPHL Sumba Barat Daya (SBD) seluas 20.646,64 ha, dengan

fungsi yang didominasi oleh fungsi hutan lindung, memiliki potensi pengembangan hutan

untuk pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan HHBK, pemanfaatan jasa ekosistem dan

sisanya untuk rehabilitasi dan blok inti hutan lindung.

A.3. Tata Batas Kawasan Hutan

Batas kawasan KPHL Sumba Barat Daya terdiri dari batas luar antara KPHL Sumba Barat

Daya dengan KPH lain dan guna lahan lain, dan di dalam kawasan yakni batas antar blok

arahan pemanfaatan dan batas antar petak dalam blok arahan pemanfaatan. Keberadaan

tanda batas luar merupakan bentuk kepastian hukum KPHL Sumba Barat Daya di lapangan,

oleh karena itu penting artinya bagi eksistensi KPHL Sumba Barat Daya. Berdasarkan

penelusuran tentang dokumen tata batas hutan di Kabupaten Sumba Barat Daya baru

direalisasi 2 dokumen (Statistik BPKH Wilayah XIV Kupang, 2009), sehingga merupakan

kelemahan utama yang memungkinkan terjadinya okupasi atau perambahan kawasan hutan.

A.4. Tutupan Lahan

Tutupan lahan dalam KPHL Sumba Barat Daya masih didominasi oleh karakteristik yang

mencirikan areal hutan. Dari total luas KPHL seluas 20.646,64 ha, seluas 20.032,72 ha atau

97% adalah tutupan lahan yang masih mencirikan hutan dan sisanya adalah areal

ANALISIS DAN PROYEKSI BAB

4

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

86

penggunaan lain. Dari tutupan lahan yang mencirikan hutan adalah belukar seluas 5.616,39

ha (27%), hutan lahan kering primer seluas 11.407,04 ha (55%), hutan lahan kering

sekunder seluas 2.333,50 ha (11%), padang rumput/savana seluas 675,80 ha (3%), sisanya

adalah pertanian lahan kering campur seluas 494,53 ha (2%) dan tanah terbuka kosong

seluas 119,39 ha (1%).

Tabel 4. 1 Tutupan Lahan di areal KPHL Sumba Barat Daya (dalam ha)

ARAHAN Belukar

Hutan

Lahan Kering

Primer

Hutan

Lahan Kering

Sekunder

Padang

Rumput

/Savana

Pertanian

Lahan Kering

Campur

Tanah

Terbuka

Kosong

Grand Total

HL-BLOK INTI 686,07 4.557,77 490,65 205,42 119,39 6.059,30

HL-BLOK PEMANFAATAN

3.250,39

1.107,91 935,02 675,80 5.969,12

HP-BLOK PEMANFAATAN

HHK-HT

796,17

2.877,44

722,52

4.396,13

HP-BLOK

PEMANFAATAN JASLING/HHBK

186,20

1.110,02

1.296,22

HP-BLOK

LINDUNG 270,37 1.386,28 1.656,65

HP-BLOK

PEMBERDAYAAN 427,18 367,62 185,32 289,11 1.269,23

Grand Total 5.616,3

9 11.407,04 2.333,50 675,80 494,53 119,39 20.646,64

% (Persentase) 27% 55% 11% 3% 2% 1%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

87

Gambar 34. Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

88

A.5. Kondisi Kekritisan Lahan

Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, mengindikasikan bahwa areal KPHL Sumba Barat Daya

memiliki lahan tidak kritis seluas 142,07 ha (1%), potensial kritis seluas 13.073,68 ha (63%),

agak kritis 1.107,40 ha (5%), kritis seluas 6.323,48 ha (31%) dan sangat kritis seluas 0 ha

(0%). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sebagai modal awal kurang menguntungkan

sehingga pada awal pengelolaan harus dilakukan pemulihan lahan kritis yang akan menjadi

beban pengelola KPHL.

Tabel 4. 2 Tingkat Kekritisan di Kawasan KPHL SBD

Fungsi ARAHAN Tidak

Kritis

Potensial

Kritis

Agak

Kritis

Kritis Sangat

Kritis

Grand

Total

HL

HL-BLOK INTI 142,07 2.936,88 0 2.980,34 0 6.059,30

HL-BLOK PEMANFAATAN

0 4.120,25 264,08 1.584,78 0 5.969,12

HL Total

142,07 7.057,13 264,08 4.565,13 0 12.028,41

HP

HP- BLOK PEMANFAATAN HHK-HT

0 4.268,76 0 127,37 0 4.396,13

HP-BLOK PEMANFAATAN JASLING/HHBK

0 803,86 178,38 313,98 0 1.296,22

HP- BLOK LINDUNG

0 101,89 237,76 1.317,01 0 1.656,65

HP- BLOK PEMBERDAYAAN

0 842,05 427,18 0 0 1.269,23

HP Total

0 6.016,55 843,32 1.758,36 0 8.618,23

Grand Total

142,07 13.073,68 1.107,40 6.323,48 0 20.646,64

PERSENTASE

(%) 1% 63% 5% 31% 0% 100%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

A.6. Kegiatan Rehabilitasi

Berdasarkan tingkat kekritisan di atas, maka dari areal KPHL Sumba Barat Daya dari seluas

20.646,64 ha yang memerlukan kegiatan rehabilitasi seluas 4.085,89 ha (20%) terdiri dari

kegiatan rehabilitasi di Blok HL seluas 1.099,15 ha (5%) dan rehabilitasi di Blok HP seluas

2.986,74 ha (14%); dan yang tidak memerlukan rehabilitasi seluas 16.560,75 ha (80%)

terdiri di Blok HL seluas 10.929,26 ha (53%) dan di Blok HP seluas 5.631,49 ha (27%). Hal

ini berarti dari segi kegiatan, maka selain memiliki potensi untuk mengembangkan potensi

hutan yang sudah ada terutama HHBK, tetapi juga dibebani untuk melakukan rehabilitasi

terlebih dahulu.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

89

Tabel 4. 3 Kebutuhan Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Hutan di KPHL SBD (ha)

Fungsi ARAHAN HL-BLOK

REHABILITA

SI

HL-BLOK

NON REHABILITA

SI

HP-BLOK REHABILITA

SI

HP-BLOK

NON REHABILI

TASI

Grand Total

HL

HL-BLOK INTI 1.099,15

4.960,15

6.059,30

HL-BLOK PEMANFAATAN

5.969,12

5.969,12

HL Total

1.099,15

10.929,26

12.028,41

HP

HP-BLOK PEMANFATAAN

HHK-HT

2.190,45

2.205,68

4.396,13

HP-BLOK PEMANFATAAN

JASA LINGKUNGAN

DAN HHBK

243,23

1.052,99

1.296,22

HP-BLOK LINDUNG

0,12

1.656,53

1.656,65

HP-BLOK

PEMBERDAYAAN

552,93

716,29

1.269,23

HP Total 2.986,74 5.631,49 8.618,23

Grand

Total 1.099,15 10.929,26 2.986,74 5.631,49 20.646,64

Persentase (%)

5% 53% 14% 27% 100%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

B. Potensi Pemanfaatan

B.1. Arah Pemanfaatan

Berdasarkan hasil pengolahan, bahwa arahan pemanfatan di KPHL SBD seluas 20.646,64 ha

adalah terdiri dari (1) pemanfaatan HHBK seluas 6.323,84 ha (31%) terdiri di blok hutan

lindung seluas 2,941,56 ha (14%) dan hutan produksi seluas 3.382,28 ha (16%), (2)

pemanfaatan jasa lingkungan seluas 4.839,09 ha (23%) yakni di blok hutan lindung seluas

3.027,55 ha (15%) dan di hutan produksi seluas 1.811,54 ha (9%), (3) rehabilitasi seluas

2.986,74 ha (15%) di hutan produksi, (4) simpanan karbon seluas 6.496,97 ha (32%) yakni

di hutan lindung seluas 6.059,30 ha (30%) dan di hutan produksi seluas 437,68 ha (2%).

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

90

Tabel 4. 4 Potensi Pemanfaatan di Areal KPHL Sumba Barat Daya

Fungsi ARAHAN

PEMANFA

ATAN HHBK

PEMANFAATAN

JASA LINGKUN

GAN

REHABILITASI

SIMPANA

N KARBON

HP-BLOK

JASA LINGKUN

GAN AIR

Grand Total

HL

HL-BLOK INTI

-

-

-

6.059,30

-

6.059,30

HL-BLOK

PEMANFAATAN

2.941,56

3.027,55 - -

-

5.969,12

HL Total

2.941,56

3.027,55

-

6.059,30

-

12.028,41

% HL 14% 15% 0% 29% 0% 58%

HP

HP-PEMANFAATAN

HHK-HT

1.603,88

601,80

2.190,45

- -

4.396,13

HP-

PEMANFAATAN

JASLING/HHBK

960,34

92,64

243,23

- -

1.296,22

HP-LINDUNG

101,76

1.117,09

0,12

437,68 -

1.656,65

HP-PEMBERDAYAAN

716,29

-

552,93 - -

1.269,23

HP Total 3.382,28 1.811,54 2.986,74

437,68

-

8.618,23

% HP 16% 9% 14% 2% 0% 42%

Grand Total

6.323,84

4.839,09

2.986,74

6.496,97

-

20.646,64

Persentase (%) 31% 23% 14% 31% 0% 100%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

B.2. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Berdasarkan hasil kajian, menunjukkan bahwa tidak ada arahan untuk blok pemanfaatan

kayu baik untuk skala besar maupun kecil di KPHL Sumba Barat Daya.

B.3. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu

Berdasarkan luas total arahan pemanfaatan HHBK di KPHL Sumba Barat Daya seluas

6.323,84 ha terdiri di blok hutan lindung seluas 2,941,56 ha (14%) dan hutan produksi

seluas 3.382,28 ha (16%). Berdasarkan data statistik tahun 2012 Kabupaten Sumba Barat

Daya (BPS, 2013), terdapat 10 jenis HHBK, dimana yang tercatat produksinya adalah kemiri

isi dan kutu lak dengan produksi masing-masing sebesar 30 ton dan 20 ton. Jenis lain yang

tercatat namanya namun tidak tercatat produksinya adalah asam biji, sirih hutan, pinang iris,

kunyit, rotan, kemiri kulit, cendana dan kata. Dengan demikian HHBK yang dapat

dikembangkan adalah ke sepuluh jenis tersebut, karena jenis-jenis ini potensi dikembangkan

sebagai komoditas unggulan dari KPHL Sumba Barat Daya.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

91

Tabel 4. 5 Potensi Pemanfaatan HHBK di Areal KPHL SBD

Fungsi ARAHAN PEMANFAATAN HHBK

HL HL-BLOK INTI -

HL-BLOK PEMANFAATAN 2.941,56

HL Total

2.941,56

% HL

14%

HP

HP-PEMANFAATAN HHK-HT 1.603,88

HP- PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN/ HHBK

960,34

HP-LINDUNG 101,76

HP-PEMBERDAYAAN 716,29

HP Total

3.382,28

% HP

16%

Grand Total

6.323,84

Persentase (%) 31%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

B.4. Potensi pengembangan sylvopastural

KPHL SBD memiliki tutupan padang rumput/savana seluas 675,80 ha (3%). Karakteristik dari

padang savana, secara ekologis hanya cocok ditumbuhi oleh padang rumput dan beberapa

jenis pohon tertentu. Di pihak lain, sebagian mata pencaharian penduduk sekitar KPHL

Sumba Barat Daya adalah peternakan yang umumnya menggunakan sistem penggembalaan

liar. Berdasarkan data statistik di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2012 (BPS, 2013)

ternak besar yang dibudidayakan oleh penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sapi,

kerbau dan kuda dengan masing-masing populasi sebesar 2717 ekor, 11,930 ekor dan 4,713

ekor. Dengan demikian, KPHL SBD memiliki potensi agroforestry model sylpopastural yakni

pengembangan ternak sapi, kerbau dan kuda di tutupan lahan savana.

B.5. Potensi pemanfaatan jasa lingkungan air

Di dalam areal KPHL Sumba Barat Daya terindikasi terdapat tubuh air sebagai aliran

permukaan. Dengan daerah yang memiliki curah hujan yang rendah, maka air merupakan

barang yang langka dan perlu dilestarikan. Dalam melakukan pelestarian sumber air dan

pemanfaatan air secara berkelanjutan, maka KPHL SBD berpeluang untuk memanfaatkan

jasa air secara komersil dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan air di sekitar KPHL

SBD.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

92

C. Keadaan Pengelolaan Kawasan

C.1. Organisasi KPHL

Meskipun organisasi KPHL ini baru terbentuk dengan struktur yang belum lengkap, namun

merupakan potensi dari aspek pengelolaan kawasan, karena terbentuknya organisasi KPHL

SBD merupakan bukti adanya dukungan politik dan kebijakan pemerintah pusat dan

pemerintah kabupaten terhadap KPHL. KPH dewasa ini menjadi bagian dari penguatan

sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten. Keberadaan KPH menjadi

semakin kuat dengan dikeluarkannya Permendagri No. 61 Tahun 2010 yang mengamanatkan

bentuk organisasi KPH sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah, dan tanggung jawab Gubernur atau Bupati/Walikota melalui Sekretaris

Daerah. KPH merupakan suatu sistem pengelolaan hutan berdasarkan satu satuan wilayah

yang berbasis ekosistem, yang di dalamnya memuat prinsip-prinsip kelestarian hutan,

tindakan administrasi, dan tindakan organisasi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang

prospektif, sehat dan lestari.

Organisasi KPHL SBD telah ditetapkan melalui Keputusan Bupati Sumba Barat Daya. Dengan

organisasi KPHL yang ada, maka organisasi mulai dapat melakukan kegiatan manajemen

KPHL seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.

Resort KPHL

Seksi Rehabilitasi dan

Pemanfaatan Seksi Perencanaan dan

Perlindungan

Sub bagian Tata Usaha Kelompok Jabatan

Fungsional

Kepala KPHL

Gambar 35. Struktur organisasi KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

93

C.2. Aparatur

Personil KPHL Sumba Barat Daya berasal dari aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten

Sumba Barat Daya, oleh karena itu sebagai organisasi baru yang belum memiliki

kemampuan untuk mengadakan personil sendiri, secara internal ini merupakan potensi yang

dimiliki KPHL Sumba Barat Daya meskipun minimal.

C.3. Sumber Pembiayaan

Berdasarkan hasil tata hutan di areal KPHL Sumba Barat Daya tidak teridentifikasi adanya

IUPHHK – HT, IUPHHK – HA dan IUPHHK – HTR. Dengan demikian pada awal pengelolaan

KPHL Sumba Barat Daya memerlukan sumber pembiayaan yang kuat dari sumber di luar

KPHL, khususnya dari anggaran pemerintah dan sumber dana lainnya. Adapun dukungan

anggaran pemerintah bersumber dari APBN, APBD, BLU; sedangkan sumber dana lainnya

adalah kerjasama dengan lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat dan sumber lain

yang sah dan tidak mengikat.

C.4. Sarana dan Prasarana

Agar pengelolaan kawasan hutan KPHL Sumba Barat Daya dapat berhasil dengan baik

diperlukan berbagai sarana prasarana pokok dan penunjang. Kebutuhan terhadap sarana

dan prasarana ini terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur bagi institusi

baru. Adapun sarana prasarana yang diperlukan adalah:

a) Tanah dan gedung kantor KPHL dan resort beserta peralatan kantor;

b) Sarana transportasi berupa kendaraan roda 4 dan 2;

c) Sarana komunikasi;

d) Alat perlengkapan kerja di lapangan;

e) Prasarana jalan di dalam kawasan KPHL.

Kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki KPHL Sumba Barat Daya sebagai unit

pengelolaan kecil sumber daya hutan yang baru, belum memiliki sarana dan prasarana

tersebut.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

94

4.1.2 Faktor Eksternal (Peluang/Opportunities dan Ancaman/Threats)

A. Aksesibilitas

Berdasarkan hasil penataan hutan menunjukkan bahwa kelas keterjangkauan atau

aksesibilitas terhadap blok memiliki aksesibilitas rendah sebesar 42%, aksesibilitas sedang

sebesar 28% dan aksesibilitas tinggi sebesar 31%. Berdasarkan arahan blok hutan lindung,

untuk blok inti memiliki kelas aksesibilitas rendah 41%, aksesibilias sedang 45%, dan

aksesibilitas tinggi sebesar 14%; sedangkan untuk blok pemanfaatan HL aksesibilitas rendah

10%, aksesibilitas sedang 27% dan akesibilitas tinggi 63%. Dalam hutan produksi, untuk

blok pemanfaatan HHK-HT memiliki aksesibilitas rendah sebesar 65%, aksesibilitas sedang

17%, dan aksesibilitas tinggi sebesar 18%; untuk blok pemanfaatan jasa lingkungan dan

HHBK memiliki aksesibilitas rendah sebesar 69%, aksesibilitas sedang 7% dan aksesibilitas

tinggi sebesar 24%; untuk blok lindung memiliki aksesibilitas rendah 94%, aksesibilitas

sedang 6% dan aksesibilitas tinggi 0%; dan untuk blok pemberdayaan memiliki aksesibilitas

rendah 13%, aksesibilitas sedang 39% dan aksesibilitas tinggi 48%. Hal ini menunjukkan

bahwa areal KPHL Sumba Barat Daya sebagian besar memiliki akses yang menguntungkan

dari masuknya penduduk sekitar KPHL.

Tabel 4. 6 Kelas Aksesibilitas Terhadap Areal KPHL Sumba Barat Daya

ARAHAN

Rendah Sedang Tinggi

Grand Total (ha) Luas

(ha) %

Luas (ha)

% Luas (ha)

%

HL-BLOK INTI 2.497,11 41% 2.707,54 45% 854,64 14% 6.059,30

HL-BLOK PEMANFAATAN 599,49 10% 1.598,23 27% 3.771,39 63% 5.969,12

HP-BLOK OEMANFAATAN HHK-HT

2.869,65 65% 736,27 17% 790,21 18% 4.396,13

HP-BLOK PEMANFATAAN

JASA LINGKUNGAN DAN HHBK

888,68 69% 93,56 7% 313,98 24% 1.296,22

HP-BLOK LINDUNG 1.554,77 94% 101,76 6% 0,12 0% 1.656,65

HP-BLOK

PEMBERDAYAAN 163,96 13% 491,71 39% 613,55 48% 1.269,23

Grand Total 8.573,66 42% 5.729,08 28% 6.343,90 31% 20.646,64

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

95

Gambar 36. Peta Kelas Aksesibilitas di wilayah KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

96

B. Potensi Pasar HHBK

Biji pinang telah dimanfaatkan sejak ratusan tahun lalu untuk menyirih atau menginang.

Menyirih merupakan budaya masyarakat di Nusa Tenggara Timur, termasuk Kabupaten

Sumba Barat Daya. Hal ini merupakan peluang pasar bagi pengembangan pinang di KPHL

SBD. Di samping peluang di pasar local tersebut, juga pinang memiliki peluang untuk pasar

ekspor ke China, India, Pakistan dan Bangladesh.

Cendana (Santalum album) merupakan jenis dengan penyebaran alami yang terbatas, di

antaranya ada di Nusa Tenggara Timur, termasuk tumbuh di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Kayu cendana merupakan bahan mentah untuk memproduksi minyak cendana. Saat ini

minyak cendana banyak diekspor ke Eropa, Amerika, Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang.

Setiap tahun, kebutuhan minyak cendana dunia sekitar 200 ton. Pemenuhan kebutuhan

minyak cendana dunia tersebut kebanyakan disuplai dari India (50%). Indonesia, Australia,

Kaledonia Baru, dan Fiji, menyuplai sekitar 20 ton. Jadi masih ada kekurangan suplai sekitar

80 ton pertahun (Masyhud, 2009). Kondisi ini merupakan peluang bagi KPHL dalam

mengembangkan kayu cendana.

Dengan masih diproduksinya HHBK kemiri isi dan kutu lak, maka menunjukkan permintaan

akan kedua komoditas tersebut cukup tinggi. Oleh karena itu, potensi pasar untuk kayu

cendana, kemiri isi, dan kutu lak saat sekarang dan masa yang akan datang merupakan

peluang yang dapat dipertimbangkan oleh pengelola KPHL untuk mengembangkan ketiga

komoditas tersebut.

C. Potensi Permintaan Jasa Ekosistem

C.1. Potensi Permintaan Air

Kabupaten Sumba Barat Daya berada di daerah dengan iklim yang kering, sehingga air

merupakan barang langka dan menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kondisi ini merupakan

peluang bagi KPHL SBD yang diindikasikan memiliki potensi sumber daya air permukaan.

D. Keadaan Hubungan KPHL dengan Masyarakat Sekitar

D.1. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Pembangunan KPHL SBD

Dari hasil kuisioner persepsi dan sikap masyarakat terhadap pembangunan KPHL SBD masih

rendah, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa areal yang masuk KPHL SBD

sebagian sebagai tanah adat. Sebagian juga berpendapat bahwa dengan adanya KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

97

menyebabkan terbatasnya aktivitas kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan seperti

penggembalaan ternak dan berladang berpindah. Oleh karena itu, persepsi dan sikap

masyarakat yang masih rendah terhadap keberadaan KPHL SBD merupakan ancaman bagi

keberadaan KPHL SBD.

D.2. Kegiatan berladang dan penggembalaan ternak

Pembakaran ladang adalah salah satu fenomena yang selalu dijumpai di kawasan KPHL SBD

dan selalu terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun. Kegiatan pembakaran ladang

dilakukan dalam rangka penyiapan lahan untuk berladang atau untuk menumbuhkan rumput

muda di ladang penggembalaan dan berburu. Dampak yang ditimbulkan oleh pembakaran

yang tidak terkendali antara lain menyebabkan kematian tanaman-tanaman dan anakan-

anakan yang tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam sendiri oleh masyarakat

maupun program pemerintah, serta mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Kegiatan

berladang ini merupakan ancaman yang serius bagi keberadaan tanaman yang ada di dalam

KPHL SBD.

D.3. Kegiatan Berburu dan Meramu

Sebagian masyarakat sekitar hutan lindung sering masuk ke kawasan hutan untuk

mengambil umbi-umbian seperti: umbi gadung, belitung (talas-talasan), dan keladi. Waktu

pengambilan bahan pangan dilakukan masyarakat pada saat musim kemarau, dimana

cadangan pangan mulai berkurang. Selain itu, masyarakat masuk ke hutan untuk mengambil

hasil hutan yang bernilai ekonomi cukup tinggi, antara lain: pinang, asam, kemiri, sirih

hutan, pinang, kunyit, rotan, cendana, kata dan kutu lak. Untuk mempermudah akses masuk

hutan, masyarakat terkadang membakar tanaman untuk membuka jalur masuk hutan. Hal

ini berpotensi untuk merusak lingkungan, meskipun sejauh ini relatif terkendali.

D.4. Masalah Tenurial

Seperti halnya masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara laiinnya, di Kabupaten Sumba Barat

Daya bahwa ladang, sawah, kebun dan pekarangan yang diusahakan masyarakat adalah

lahan milik sendiri yang diperolah petani melalui sistem waris secara turun temurun,

sehingga kepemilikan lahan semakin lama semakin terfragmentasi. Masyarakat tidak/belum

mengenal perubahan penguasaan lahan melalui sistem jual beli, sewa menyewa atau gadai

tanah. Hal ini yang diindikasikan sebagai penyebab bergesernya batas pemukiman/lahan

masyakat yang masuk ke kawasan hutan. Dengan demikian masalah tenurial merupakan

salah satu ancaman yang tinggi terhadap kawasan KPHL Sumba Barat Daya.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

98

D.5. Masalah Kemiskinan

Masalah kemiskinan dengan keterbatasan kepemilikan lahan menyebabkan masyarakat

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan dan hutan. Berdasarkan data statistik

tahun 2012 (BPS, 2013), persentase penduduk miskin di Kabupaten Sumba Barat Daya lebih

tinggi dari tingkat kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun memiliki

kecenderungan menurun dari tahun 2008 sampai 2012, namun persentase penduduk miskin

masih di atas 20%.

Dengan persentase penduduk miskin lebih 20%, maka kemiskinan masyarakat berpotensi

menjadi ancaman terhadap keberadaan kawasan KPHL Sumba Barat Daya. Namun demikian,

karena pola hidup masyarakat yang berada di sekitar KPHL Sumba Barat Daya umumnya

memiliki pola bertani subsisten, yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dengan

taraf minimal, serta jumlah dan kepadatan penduduk yang rendah, semestinya alasan

tersebut bukan menjadi faktor utama terdegradasinya fungsi lahan dan hutan. Kenyataan di

lapangan menunjukkan bahwa lahan dan hutan dalam kondisi kritis dan mempunyai

kecenderungan tingkat kritisnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Tabel 4. 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

99

4.1.3 Penilaian Terhadap Faktor Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/

Ancaman (SWOT)

Berdasarkan uraian sebelumnya terkait faktor internal dan faktor eksternal pembangunan

dan pengembangan KPHL Sumba Barat Daya terungkap faktor kekuatan dan kelemahan dari

internal KPHL Sumba Barat Daya dan faktor peluang dan ancaman dari eksternal KPHL

Sumba Barat Daya. Berdasarkan parameter yang dikembangkan ditentukan ukuran nilai

SWOT yakni 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi) sebagaimana pada tabel 4.8. Sedangkan

besarnya nilai kepentingan (bobot) dilakukan dengan justifikasi, dengan masing-masing

faktor yakni Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman adalah bernilai 100.

Adapun hasil pengelompokkan masing-masing faktor SWOT dan penilaian ukuran SWOT dan

bobot dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4. 8 Perhitungan Nilai Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman

SWOT

Skor SWOT Bobot (Persentase Besarnya

Kepentingan) Nilai

Rendah (1)

Sedang (2) Tinggi

(3)

KEKUATAN (STRENGHT)

1. Penunjukkan kawasan 3 15 45

2. Fungsi Kawasan 2 10 20

3. Tutupan Lahan 2 15 30

4. Potensi Pemanfaatan HHBK 2 15 30

5. Potensi pengembangan sylvopastural 1 10 10

6. Potensi pengembangan manfaat jasa ekosistem air

1 10 10

7. Organisasi KPHL 2 10 20

8. Sumber Pembiayaan 1 15 15

Jumlah Nilai Kekuatan 100 180

KELEMAHAN (WEAKNESS)

1. Tata Batas Kawasan Hutan 3 25 75

2. Lahan Kritis 2 20 40

3. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 3 15 45

4. Aparatur 3 20 60

5. Sarana dan Prasarana 3 20 60

Jumlah Nilai Kelemahan 100 280

PELUANG (Opportunities)

1. Potensi Permintaan Hasil Hutan Kayu 3 25 75

2. Potensi Permintaan HHBK 2 25 50

3. Potensi Permintaan Air 3 25 75

4. Peluang Kerjasama dgn NGO 2 25 50

Jumlah Nilai Peluang 100 250

ANCAMAN (Threats)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

100

SWOT

Skor SWOT Bobot (Persentase Besarnya

Kepentingan) Nilai

Rendah (1)

Sedang (2) Tinggi

(3)

1. Aksesibilitas 2 20 40

2. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Pembangunan KPHL SBD

3 20 60

3. Kegiatan berladang dan penggembalaan ternak

3 15 45

4. Kegiatan Berburu dan Meramu 3 15 45

5. Masalah Tenurial 3 15 45

6. Masalah Kemiskinan 3 15 45

Jumlah Nilai Ancaman 100 280

Berdasarkan hasil perhitungan masing-masing faktor di atas, maka dapat diketahui posisi

strategis KPHL Sumba Barat Daya saat sekarang yakni dengan menghitung sumbu P dan Q

sebagai berikut:

P = Kekuatan - Kelemahan = 180 – 280 = - 100

Q = Peluang – Ancaman = 225 – 280 = - 55

Pada koordinat PQ pada titik A tersebut menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan dalam

pembangunan KPHL Sumba Barat Daya adalah menggunakan strategi bertahan. Artinya

pengelola KPHL Sumba Barat Daya dalam membangun KPHL Sumba Barat Daya pada tahap

awal ini harus melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Meningkatkan kekuatan dan peluang yang ada

2. Membuka peluang-peluang baru

3. Mengatasi dan menurunkan kelemahan yang ada

4. Menetralisir ancaman yang ada.

Berkaitan dengan kondisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT) yang dimiliki

KPHL Sumba Barat Daya pada awal pembangunannya, maka langkah-langkah yang

disarankan untuk diterapkan sebagai dasar bagi penyusunan program strategi pembangunan

dan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai berikut.

i. Meningkatkan fungsi kawasan hutan yakni kawasan hutan lindung hutan produksi yang

pada saat pembangunan KPHL Sumba Barat Daya ini fungsinya belum maksimal;

ii. Meningkatkan tutupan lahan yang didominasi tutupan belukar dan hutan lahan kering

sekunder melalui rehabilitasi dan pengayaan jenis yang lebih produktif di kawasan hutan

produksi dan jenis yang memiliki nilai fungsi lindung yang tinggi di kawasan hutan

lindung;

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

101

iii. Mengurangi tingkat kekritisan lahan dari kritis menjadi agak kritis, dari agak kritis

menjadi potensial kritis dan potensial kritis menjadi tidak kritis melalui perbaikan faktor-

faktor yang menyebabkan kekritisan lahan;

iv. Meningkatkan dan memperkaya hasil hutan bukan kayu di blok HL – Pemanfaatan

maupun di Blok HP – Pemanfaatan;

v. Meningkatkan jasa ekosistem berupa pengembangan simpanan karbon dan melestarikan

jasa ekosistem air;

vi. Mengembangkan sylvopastural di tutupan lahan padang rumput atau savana dengan

ternak unggulan Sumba Barat Daya seperti kuda dan sapi;

vii. Melakukan penataan batas luar maupun batas antar blok dan antar petak di dalam KPHL

Sumba Barat Daya;

viii. Menjalin kerjasama dengan pihak donatur untuk mendapatkan pembiayaan kegiatan

sehingga tidak mengandalkan pembiayaan dari APBN maupun APBD;

ix. Melakukan penambahan pegawai (aparatur) sesuai dengan perkembangan kebutuhan

organisasi;

x. Meningkatkan kemampuan aparatur melalui pendidikan dan latihan, baik di dalam

provinsi maupun di luar provinsi;

xi. Meningkatkan kesadaran dan persepsi masyarakat terkait dengan keberadaan KPHL;

xii. Meningkatkan keterampilan masyarakat dalam melakukan pengolahan tanah tanpa api

dalam kegiatan perladangan maupun penggembalaan ternak;

xiii. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan.

Kekuatan Kelemahan

Peluang

Ancaman

A (-100,-55)

Gambar 37. Posisi Strategis Pada Awal Pembangunan KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

102

4.2 Proyeksi Kondisi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya di masa yang akan

datang

4.2.1. Proyeksi Kelestarian Fungsi Lindung

Sesuai peruntukannya, KPHL Sumba Barat Daya adalah kesatuan pengelolaan yang

didominasi untuk mendukung kelestarian fungsi hutan lindung yakni pengaturan tata air dan

menjaga kesuburan tanah. Oleh karena itu pemanfaatan hutan lindung hanya ditujukan

untuk pemanfaatan yang tidak mengganggu fungsi utamanya tersebut yakni pemanfatan

HHBK dan jasa lingkungan. Berdasarkan potensi yang ada, jenis usaha yang dapat

dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai berikut.

(1) Pemanfaatan kawasan

Pemanfaatan kawasan yaitu segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan (areal)

dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan. Adapun bentuk usaha yang dapat

dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya diantaranya adalah :

Usaha budidaya tanaman obat (herba): sirih hutan dan pinang hutan

Usaha tanaman bernilai tinggi yaitu kutu lak, asam, dan kemiri

Usaha budidaya perlebahan

Usaha budidaya penangkaran satwa liar yakni ular sanca

Usaha budidaya sarang burung walet

Usaha peternakan dengan model sylvopastural

Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan

Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.

Khusus untuk pemanfaatan kawasan di hutan produksi – blok pemanfaatan HHBK dan

blok pemberdayaan, bentuk usaha yang dapat dikembangkan adalah budidaya kayu

cendana. Sedangkan usaha peternakan dengan model sylvopastural dapat dikembangkan

di HP – Blok Pemberdayaan dengan tutupan savana.

(2) Pemanfaatan jasa lingkungan

Pemanfaatan jasa lingkungan yang dikembangkan adalah bentuk usaha yang

memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan fungsi

utamanya. Adapun bentuk usaha yang dapat dikembangkan di KPHL SBD diantaranya

adalah:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

103

Usaha wisata alam

Usaha olah raga tantangan

Usaha pemanfaatan air

Usaha perdagangan karbon (carbon trade)

Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan

Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.

(3) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung

Pemungutan HHBK yaitu pengambilan hasil hutan bukan kayu yang sudah ada secara

alami dengan tidak merusak fungsi utama kawasan. Adapun bentuk usaha yang dapat

dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya diantaranya adalah:

Mengambil rotan

Mengambil madu

Mengambil kutu lak

Mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya

Perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional.

Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan

Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.

4.2.1.1. Proyeksi pemanfaatan kawasan hutan

Arahan pemanfaatan KPHL Sumba Barat Daya untuk HHBK seluas 6.323,84 ha (31% dari

total KPHL Sumba Barat Daya) yang terdiri dari HL – Blok Pemanfaatan seluas 2.941,56 ha

(14%) dan HP – Blok Pemanfaatan HHK-HT seluas 1.603,88 ha (8%), HP – Blok

Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan HHBK seluas 960,34 ha (5%), HP- Blok lindung seluas

101,76 ha (0%) dan HP- Blok Pemberdayaan seluas 716,29 ha (3%). Dalam jangka panjang

arahan rehabilitasi seluas 2.986,74 ha (14%) di hutan produksi, potensi ini sangat kecil.

Secara umum pembangunan hutan tanaman untuk produksi hasil hutan HP- Blok

Pemanfaatan HHK-HT seluas 2.190,45 ha, HP-Pemanfaatan Jasa Lingkungan/HHBK seluas

243,23 ha dan HP-Blok Pemberdayaan seluas 552,93 ha. Berdasarkan distribusi areal

tersebut, maka pengembangan HHBK diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu:

1. HL – Blok Pemanfaatan untuk pengembangan budidaya tanaman obat, antara lain untuk

sirih hutan dan pinang hutan, dan pengembangan budidaya tanaman bernilai tinggi

seperti kutu lak, asam dan kemiri;

2. HP – Blok Pemanfaatan untuk pengembangan budidaya cendana;

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

104

3. HP – Blok Pemberdayaan untuk pengembangan budidaya bernilai tinggi dan budidaya

cendana serta penggembalaan ternak pola sylvopastural.

Dengan potensi HHBK yang masih relatif kecil dan tidak akan menjamin kelestarian produksi,

maka dalam menuju untuk kelestarian produksi perlu dilakukan upaya sebagai berikut:

1. Melakukan pengayaan jenis (enrichment planting) dengan menanam yang akan

dikembangkan di masing-masing blok pemanfaatan dan blok pemberdayaan di atas;

2. Melakukan rehabilitasi lahan dengan menanam jenis yang akan dikembangkan di masing-

masing blok di atas;

3. Mengembangkan teknologi untuk menumbuhkan rumput di padang penggembalaan

tanpa menggunakan api.

Sehubungan dengan pertimbangan KPHL SBD sebagai unit usaha, maka jenis terpilih untuk

HHBK tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Diutamakan adalah jenis endemic;

b. Tanaman yang akan ditanam harus memiliki produksi yang tinggi;

c. Memiliki nilai jual yang tinggi;

d. Dapat dibuat economical unit yang menguntungkan bagi industri atau ekspor;

e. Kesesuaian faktor lingkungan seperti tanah, iklim, topografi, dan sebagainya dengan

jenis yang akan ditanam.

Asumsi yang digunakan dalam proyeksi HHBK periode 2015 – 2024 di wilayah KPHL SBD

adalah:

a. Pohon ditanam secara serentak selama empat tahun selesai;

b. Jenis HHBK utama yang akan dikembangkan adalah jenis endemik yang terdiri dari

pinang hutan, kutu lak, asam biji, kemiri hutan dan cendana;

c. Pengembangan HHBK untuk jenis pinang hutan, kutu lak, asam biji dan kemiri areal

hutan lindung, hutan produksi, dan blok hutan produksi pemberdayaan dengan arahan

pemanfaatan HHBK dan rehabilitasi;

d. Pengembangan HHBK untuk cendana hanya dikembangkan di areal hutan produksi dan

areal hutan produksi pemberdayaan dengan arahan pemanfaatan HHBK dan rehabilitasi;

e. Perhitungan proyeksi menggunakan jumlah pohon yang akan ditanam dengan jarak

tanam 3 x 2 m2 atau 1600 pohon per ha.

f. Pengembangan jenis HHBK dilakukan melalui pengayaan dengan menambah jumlah

pohon masing-masing yakni:

- Hutan Lindung di blok pemanfaatan HHBK sebanyak 10% atau 160 pohon per ha dan

blok rehabilitasi sebanyak 20% atau 320 pohon;

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

105

- Hutan Produksi di Blok Pemanfaatan HHBK sebanyak 30% atau 320 pohon per ha

dan di blok rehabilitasi sebanyak 100% atau 1600 pohon per ha;

- Hutan Produksi Pemberdayaan di Blok pemanfaatan HHBK sebanyak 15% atau 240

pohon per ha dan di blok rehabilitasi sebanyak 20% atau 320 pohon per ha;

- Harga jual yang digunakan adalah harga jual saat sekarang;

- Daur tebang pohon cendana adalah 50 tahun dengan produksi kayu cendana 500 kg

per pohon;

- Tanaman HHBK lainnya mulai berproduksi pada umur 4 tahun.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka proyeksi HHBK periode 2015 - 2024 terlihat

sebagaimana Tabel 4.9. Adapun penjelasannya sebagai berikut.

1. Proyeksi HHBK di Hutan Lindung

HHBK direncanakan dikembangkan di Blok HL Pemanfaatan HHBK dan di Blok Rehabilitasi

adalah pinang hutan, kutu lak, asam biji, dan kemiri. Jumlah pohon yang akan ditanam

masing-masing jenis adalah 470.650 batang. Dengan asumsi keempat komoditas tersebut

mulai dapat diambil hasilnya adalah pada tahun ke empat, maka total nilai selama 6 tahun

sampai tahun 2024 adalah sebesar Rp.2,5 trilyun atau rata-rata Rp.424 milyar.

2. Proyeksi HHBK di Blok HP Pemanfaatan Hutan Produksi

HHBK direncanakan di kembangkan di Blok HP Pemanfaatan HHBK dan di Blok

Rehabilitasi adalah hanya cendana dengan jumlah total pohon yang akan ditanam

sebanyak 815.966 pohon. Dengan asumsi bahwa daur pohon cendana ini baru ditebang

pada umur 50 tahun, maka periode 2015 – 2024 belum memperoleh pendapatan dari

produksi kayu cendana. Diperkirakan bahwa dengan jumlah pohon sebanyak tersebut

dengan harga sekarang, total pendapatan kayu cendana pada tahun 2065 di Blok HP

Pemanfaatan HHBK sebesar Rp. 203 trilyiun per tahun.

3. Proyeksi HHBK di Blok HP Pemberdayaan Hutan Produksi

HHBK yang direncanakan dikembangkan di Blok HP Pemberdayaan untuk HHBK dan di

Blok Rehabilitasi adalah pinang hutan, kutu lak, asam biji, kemiri dan cendana.dengan

jumlah total pohon yang akan ditanam untuk masing-masing jenis sebanyak 304.630

pohon. Untuk jenis HHBK selain cendana, diasumsikan bahwa keempat komoditas

tersebut mulai dapat diambil hasilnya adalah pada tahun ke empat, maka total nilai

selama 6 tahun sampai tahun 2024 adalah sebesar Rp. 76 trilyun per tahun.

Untuk cendana, dengan asumsi bahwa daur pohon cendana ini baru ditebang pada umur

50 tahun, maka periode 2015 – 2024 belum memperoleh pendapatan dari produksi kayu

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

106

cendana. Diperkirakan bahwa dengan jumlah pohon sebanyak tersebut dengan harga

sekarang, total pendapatan kayu cendana pada tahun 2065 di Blok HP Pemberdayaan

HHBK dan rehabilitasi sebesar Rp. 76 trilyun per tahun.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

107

Tabel 4. 9 Proyeksi HHBK Tahun 2015-2024 di Wilayah KPHL SBD

No. Blok/Jenis Komoditas

Pemanfaatan HHBK Rehabilitasi Total

Pohon

Produksi HHBK (ton)

Harga (Rp/kg)

Nilai (Rp. Juta)

Luas Jml Pohon Luas Jml Pohon Kg/phn Total (ton) Rata-Rata/

tahun Total

Rata-rata/tahun

A Hutan Lindung

2.545.462

424.244

1 Pinang Hutan

2.942

470.650 - -

470.650 0,46 216 2.598 7,5 116.909

19.485

2 Kutu Lak

2.942

470.650 - -

470.650 7 3.295 6.589 25 988.364

164.727

3 Asam Biji

2.942

470.650 - -

470.650 3 1.412 4.236 15 381.226

63.538

4 Kemiri

2.942

470.650 - -

470.650 25 11.766 35.299 5 1.058.962

176.494

B HP Produksi

10.199.579.292 203.991.586

1 Cendana

2.666

426.557

2.434 389.409

815.966

500

407.983

8.159.663

25 10.199.579.292

203.991.586

C HP Pemberdayaan

3.807.872.675

76.432.037

1 Pinang Hutan 716 171.910 553 132.720 304.630 0,46 140 1.682 7,5 493,481 12.612 2 Kutu Lak 716 171.910 553 132.720 304.630 7 2.132 4.265 25 4,028,906 106.620

3 Asam Biji 716 171.910 553 132.720 304.630 3 914 2.742 15 1,609,178 41.125

4 Kemiri 716 171.910 553 132.720 304.630 25 7.616 22.847 5 4,469,940 114.236

5 Cendana 716 171.910 553 132.720 304.630 500 152.315 3.046.298 25 3.807.872.182 76.157.444

Total 14.009.997.429

280.847.866

Sumber: Hasil Analisis

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

108

Selain kelestarian hasil hutan kayu dan non kayu, kelestarian produksi di wilayah KPHL SBD

ada kegiatan pemanfaatan hutan untuk jasa lingkungan. Dengan demikian perlu

mengalokasikan lahan hutan alami untuk dijadikan skema perdagangan karbon. Untuk itu

penggunaan areal pemanfaatan hutan yang bersifat alami untuk kepentingan jasa

lingkungan seperti REDD, RE, PAN/RAP KARBON perlu dirintis dan diwujudkan dalam periode

2015-2024. Disamping itu, menuju perkembangan permintaan akan wisata pantai dan

bahari, maka perlu dirintis untuk mengembangkan wisata alam pantai dan bahari periode

2015 – 2024.

4.2.2. Proyeksi Kelestarian Ekologis

Untuk menjamin kelestarian kawasan KPHL SBD ini diperlukan upaya rehabilitasi dan

reklamasi terhadap kawasan yang diklasifikasikan sebagai sangat kritis, kritis dan agak

kritis. Dalam 10 tahun ke depan diperkirakan lahan ini dapat diminimalkan apabila pengelola

KPHL dapat melakukan rehabilitasi seluas 10,396 ha atau rata-rata 1040 ha per tahun. Lahan

ini meliputi lahan sangat kritis seluas 4 ha, kritis seluas 1,964 ha, dan agak kritis seluas

8,428 ha. Kemudian juga harus menjaga lahan potensial kritis seluas 7,717 ha supaya

menjadi tidak kritis.

Tabel 4. 10 Proyeksi Pengurangan Tingkat Kekritisan Lahan di KPHL SBD Periode 2015 – 2024

Klasifikasi 2015

2024

Perubahan

ha % ha %

Tidak Kritis 142,07 1% 8.465,12 41% 40%

Potensial Kritis 13.073,68 63% 5.858,03 28% -35%

Agak Kritis 1.107,40 5% 6.323,48 31% 26%

Kritis 6.323,48 31% - 0% -31%

Sangat kritis 0 0% - 0% 0%

Total 20.646,64 100% 20.646,64 100%

Kelestarian ekologi kawasan KPHL SBD dapat terjaga dengan baik apabila tekanan terhadap

aktifitas yang merusak hutan seperti penebangan liar, perambahan liar, dan kebakaran

hutan dan lahan dapat diminimalkan. Apabila upaya ini dapat dilakukan maka wilayah

dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang tinggi dapat dikurangi.

Berdasarkan analisis yang dilakukan sebelumnya, bahwa kebakaran hutan dan lahan di areal

KPHL SBD lebih disebabkan oleh kebiasaan masyarakat menggunakan api dalam menyiapkan

lahan, menggembalan ternak dan berburu. Dengan melakukan kegiatan penyuluhan dan

peningkatan kapasitas masyarakat dalam penyiapan lahan tanpa menggunakan api dan

mengembangkan pengelolaan sylvopastural, maka diharapkan pada periode 2015 – 2024

dapat dikurangi minimal 20% dari kondisi sekarang.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

109

4.2.3. Proyeksi Kelestarian Sosial Ekonomi

Kelestarian KPHL SBD secara sosial ekonomi dapat dilakukan dengan adanya upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan peningkatan pendapatan

pertumbuhan ekonomi wilayah, serta peningkatan pendapatan bagi daerah. Dalam 10 tahun

mendatang, dengan berjalannya pengelolaan KPHL SBD yang diprioritaskan jenis HHBK yang

unggulan di Kabupaten Sumba Barat Daya yang sebagian besar berada di Blok HP

Pemberdayaan melalui pembentukan Hutan Kemasyarakatan, diharapkan dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber kesejahteraan ini berasal dari penciptaan

tenaga kerja total sebanyak 4,418 orang.

Penciptaan lapangan kerja terjadi di Blok HP Pemberdayaan sebagai petani dengan asumsi 1

kepala keluarga memiliki 3 anggota keluarga sehingga dapat diserap sebanyak 2,209 orang.

Dengan asumsi bahwa pengelolaan HHBK di Blok HP Pemberdayaan dibuatkan Hutan

Kemasyarakatan dengan luas rata-rata 15 orang per KK, maka pendapatan masyarakat

peserta Hutan Kemasyarakatan mencapai Rp. 1,070,000 per bulan per orang atau total Rp.

1.76 trilyun. Sedangkan untuk Cendana dapat dinikmati oleh keturunannya dengan

pendapatan mencapai Rp. 2.9 trilyun.

Sisanya dari pengelolaan HL dan HP melalui HOK. Dengan asumsi UMR di Kabupaten SBD

sebesar Rp, 1,000,000, maka diperoleh penghasilan sebesar Rp. 4,418 milyar lebih per

tahunnya.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

110

Rencana kegiatan jangka panjang di KPHL Sumba Barat Daya diselaraskan dengan tujuan

Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Provinsi Nusa Tenggara Timur maupun Kabupaten

Sumba Barat Daya. Sehingga melalui rencana jangka panjang ini para pemegang izin dan

pengelolaan hutan lainnya dalam areal KPHL mengetahui arah kebijakan dan strategi

penanganan masalah yang dihadapi akan dintegrasikan guna mewujudkan rencana jangka

panjang tersebut.

Rencana jangka panjang KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya telah mempertimbangkan

aspirasi dan kebutuhan para pihak seperti aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja,

penyelesaian konflik, pendampingan masyarakat, pengelolaan sistem informasi dan

database, rencana pendanaan, monitoring dan evaluasi. Partisipasi para pihak sangat

diperlukan dalam penyusunan rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan sehingga

semua pihak mampu bersinergi satu sama lain untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang

telah ditetapkan dalam organisasi KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya.

Kegiatan pengelolaan hutan yang akan dilakukan oleh KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat

terintegrasi dalam rencana jangka panjang diuraikan dalam misi Kabupaten Sumba Barat

Daya tahun 2009-2013 sebagaimana berikut ini:

1. Mewujudkan kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya yang maju, berdaya saing

didukung prasarana dan sarana kehidupan yang memadai;

2. Mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel;

3. Mewujudkan kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya yang sejahtera.

Perencanaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan secara menyeluruh. Kegiatan

pengelolaan hutan pada umumnya melibatkan kegiatan-kegiatan seperti inventarisasi hutan;

Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan

kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; perlindungan hutan dan konservasi alam.

Selain kegiatan tersebut di atas, dalam sebuah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan),

manajemen sumberdaya hutan tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan tersebut karena KPH

RENCANA KEGIATAN BAB

5

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

111

berjalan menuju kemandirian dan profesional (BLU) dan kelompok masyarakat pengelola

hutan.

Rencana kegiatan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya tersebut dijelaskan secara lengkap,

sebagai berikut:

5.1 Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Serta Penataan Hutannya

Kegiatan inventarisasi hutan berkala bertujuan untuk: (1) Mengetahui kondisi hutan (timber

standing stock) secara berkala, (2) Bahan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Wilayah

KPHL Sumba Barat Daya (SBD) sepuluh tahunan (untuk lebih detail periode 5 tahunan), dan

(3) Bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian hutan di areal KPHL SBD,

terutama pada fungsi kawasan hutan produksi.

Sedangkan penataan hutan adalah kegiatan penyusunan rencana pengusahaan hutan yang

ditata untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pemanfaatan hutan secara ekonomis dan

berdasarkan asas kelestarian.

Kegiatan inventarisasi dan penataan hutan dilakukan bersama antara Dinas Kehutanan

Kabupaten Sumba Barat Daya, KPHL Sumba Barat Daya (SBD) dan BKPH Wilayah XIV. Tim

yang melaksanakan kegiatan inventarisasi dan penataan hutan terdiri dari: Kepala dan Staf

KPHL SBD, staf BPKH, dan staf dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya.

Penyusunan rencana kegiatan inventarisasi berkala wilayah KPHL SBD dilengkapi dengan:

(1) Peta areal kerja digital serta hasil cetak (hardcopy) dari areal yang akan di survei, (2)

Data penginderaan jauh resolusi tinggi dengan umur perekaman data tidak lebih dari 2

tahun terakhir serta mempunyai kualitas citra yang baik dengan maksimum tutupan areal

sebesar 5%, (3) Peta areal kerja, peta jalan, sungai dan lokasi permukiman atau

perkampungan baik dalam bentuk digital maupun hasil cetak (hardcopy), (4) Rencana bagan

sampling dan bentuk plot contoh, (5) Rencana alat dan perlengkapan di lapangan, (6) Tata

waktu pelaksanaan, (7) Rencana penyediaan tenaga kerja dan organisasi, (8) Rancangan

pengolahan analisis data dan pelaporan hasil dan (9) Rencana luaran (output).

Rencana kegiatan penataan hutan di wilayah KPHL SBD, meliputi: inventarisasi hutan,

pembagian blok dan petak, tata batas dalam wilayah KPHL SBD berupa penataan batas blok

dan petak, dan Pemetaan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

112

5.1.1 Inventarisasi Hutan

Inventarisasi di wilayah KPHL Sumba Barat Daya untuk mengumpulkan data-data di wilayah

pengelolaannya. Data tersebut dikumpulkan baik di hutan produksi dan hutan lindung,

maupun wilayah sekitar KPHL Sumba Barat Daya. Hasil inventarisasi digunakan sebagai

dasar dalam menyusun perencanaan hutan pada setiap tapak di wilayah kerja KPHL Sumba

Barat Daya.

Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan ini diarahkan untuk mendapatkan data dan

informasi tentang: (1) Status penggunaan dan penutupan lahan, (2) Jenis tanah, kelerengan

lapangan/topografi, (3) Iklim, (4) Hidrologi (tata air), (5) bentang alam dan gejala-gejala

alam, (6) Kondisi sumber daya manusia dan demografi, (7) Jenis, potensi dan sebaran flora,

(8) Jenis, populasi dan habitat fauna dan (9) Kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.

Kegiatan inventarisasi ini terdiri atas: (1) Inventarisasi biogeofisik, (2) Inventarisasi sosial,

ekonomi, dan budaya. Kegiatan inventarisasi biogeofisik dan inventarisasi sosial, ekonomi

dan budaya sudah dilaksanakan (data hasil inventarisasi di Bab II). Kegiatan inventarisasi

akan diulang setiap 5 tahun sehingga data potensi biogeofisik, sosial, ekonomi dan budaya

areal pengelolaan selalu terbarukan (up to date).

5.1.2 Hasil Penataan Hutan di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya

Kegiatan penataan hutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya telah dilakukan dengan hasil

berupa pembagian areal ke dalam blok-blok berdasar fungsi hutan yang dipadukan dengan

RKTN dan karakteristik biogeofisik wilayah, sehingga areal kerja dapat diperoleh arahan

pengelolaannya. Hasil kegiatan penataan wilayah kerja KPHL SBD terdiri dari blok Hutan

Lindung (58%) dan blok Hutan produksi (42%). Hutan lindung terdiri dari arahan blok inti

dan blok pemanfaatan. Sedangkan blok hutan produksi terdiri dari blok arahan

pemanfaatan dan pemberdayaan. Berdasarkan wilayah administratif kecamatan, pembagian

blok dituangkan pada Gambar 38.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

113

Gambar 38. Peta Penataan Hutan di wilayah kerja KPHL SBD

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

114

Gambar 39. Luas blok fungsi dan arahan KPHL Sumba Barat Daya

Pembuatan rencana blok-blok kawasan dilakukan secara partisipatif dengan para pemangku

kepentingan untuk menghindarkan permasalahan di masa depan. Penyusunan blok-blok

pada dasarnya adalah proses perencanaan dan pembuatan kesepakatan secara partisipatif

antara KPHL SBD dengan para pemangku kepentingan terutama masyarakat sekitar

kawasan, Pemerintah Daerah dan lain-lain. Hasil proses ini dituangkan dalam dokumen

tertulis mengenai tata ruang atau blok-blok dalam kawasan KPHL SBD. Karena pembagian

blok-blok ini merupakan hasil kerja multi pihak, maka dibuat dokumen yang mengikat secara

hukum sehingga memiliki akuntabilitas dan legitimasi yang kuat. Pembuatan blok-blok

kawasan KPHL SBD merupakan upaya untuk memastikan terwujudnya penataan ruang yang

secara jelas mengatur tata hak yang secara konsiten ditegakkan dan harus dipatuhi oleh

para pihak.

5.1.3 Pembagian Blok Hutan Lindung di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya

Blok hutan lindung yang dimiliki oleh KPHL Sumba Barat Daya seluas + 12.028,41 ha yaitu

sekitar 58% dari total. Blok hutan lindung ini terdiri dari dua blok, yaitu blok inti dan blok

pemanfaatan. Secara detail disajikan pada tabel berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

115

Tabel 5. 1 Pembagian blok dan arahan pengelolaan KPHL SBD

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

Dari tabel di atas diketahui bahwa Blok hutan lindung KPHL SBD sebagian besar dialokasikan

sebagai blok inti dengan arahan karbon stok (50%), berikutnya adalah blok paemanfaatan

arahan APL (25%). Sedangkan peruntukan blok lainnya relatif kecil.

i. Blok Inti

Keberadaan blok inti dari hutan lindung berfungsi lindung setempat, terutama perlindungan

hidrologis dan sebagai penyimpan karbon. Blok inti di wilayah KPHL SBD seluas + 6059,30

ha diperuntukkan sebagai blok arahan untuk karbon stok. Skema karbon stok tersebut perlu

direncanakan dengan seksama dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Tutupan

lahan di blok inti ini didominansi oleh hutan lahan kering primer sebesar 75%. Kondisi ini

merupakan kondisi alami yang akan dipertahankan dalam mendukung penyimpanan karbon

sesuai arahan blok.

Gambar 40. Kondisi tutupan vegetasi di areal blok inti di Hutan lindung KPHL Sumba Barat Daya

11%

75%

8% 3% 2% Belukar

Hutan Lahan KeringPrimer

Hutan Lahan KeringSekunder

Pertanian Lahan KeringCampur

Tanah Terbuka Kosong

Blok Arahan Luas (Ha) Persentase

(%)

BLOK INTI KARBON STOK 6.059,30 50%

BLOK PEMANFAATAN

APL

3.027,55 25%

SKALA KECIL

2.941,56 24%

TOTAL

12.028,41 100%

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

116

Selain areal-areal yang berupa hutan lahan kering primer diketahui bahwa sebagian areal

memiliki tutupan berupa belukar, hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering

campur. Berdasarkan kondisi ini maka areal tersebut yang berada di dalam blok inti

membutuhkan perlakuan khusus, yaitu merehabilitasi areal dengan jenis-jenis tanaman asli

sesuai tipe ekosistem hutannya atau pada beberapa areal yang tingkat fragmentasinya

rendah dapat dibiarkan untuk menjalani proses suksesi secara alami. Terkait dengan fungsi

yang dimiliki areal ini direncanakan untuk direhabilitasi dengan jenis-jenis tanaman yang

mendukung fungsi perlindungan tata air dan pencegah erosi agar kawasan lindung setempat

dapat terjaga dengan baik.

Berdasarkan kondisi kemiringan lahan diketahui bahwa areal blok inti ini dominan berada

pada kelas lereng 15-25 % (curam) dan 25-40 % (sangat curam), sehingga memiliki resiko

ekologis yang tinggi. Sebagai blok perlindungan, areal tersebut dimaksudkan untuk

mendukung fungsi kawasan lindung setempat atau dengan pengertian lain tidak untuk

dimanfaatkan pada skala komersial.

Gambar 41. Luas setiap kelas lereng di blok inti hutan lindung KPHL SBD

0,00

500,00

1000,00

1500,00

2000,00

2500,00

3000,00

0 - 8% 15 - 25% 25 - 40%

Luas

(H

a)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

117

ii. Blok Pemanfaatan

Blok Pemanfaatan Hutan Lindung di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya merupakan blok

yang paling luas mencapai sekitar 5969,12 ha atau 28,9 % dari total luas KPHL SBD.

Terdapat empat bentuk blok arahan sesuai RKTN dan kondisi karakteristik wilayah setempat

berupa APL (areal penggunaan lain) dan usaha skala kecil (Gambar 42).

Gambar 42. Luas blok arahan pada blok pemanfaatan hutan lindung KPHL SBD

Kondisi tutupan lahan sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD

terdapat berbagai keragaman dari wilayah yang masih tertutup hutan sampai tanah kosong.

Secara lebih rinci tutupan lahan di areal ini disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.2 Sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD

BLOK ARAHAN TUTUPAN LAHAN LUAS (ha)

APL

Belukar 1.666,94

Hutan Lahan Kering Sekunder 684,81

Padang Rumput/Savana 675,80

USAHA SKALA

KECIL

Belukar 1.583,45

Hutan Lahan Kering Primer 1.107,91

Hutan Lahan Kering Sekunder 250,20

LUAS TOTAL 5.969,12

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

3027,55 ha

2941,56 ha

APL

Arahan Usaha Skala Kecil

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

118

1) Pemanfaatan Blok untuk Areal Penggunaan Lain (APL)

Areal penggunaan lain (APL) di dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung memiliki porsi

yang cukup besar bila dibandingkan dengan arahan lainnya. Keberadaan APL ini

memerlukan perhatian secara khusus dalam penataan lebih lanjut mengingat sebagian besar

areal berupa belukar, sebagian areal lainnya non hutan adalah padang rumput/savana dan

pertanian lahan kering campur. Kondisi tutupan vegetasi pada APL secara keseluruhan

ditunjukkan pada Gambar 43 berikut:

Gambar 43. Kondisi sebaran tutupan vegetasi pada APL di Hutan Lindung KPHL SBD

2) Penataan Blok Usaha Skala Kecil

Usaha skala kecil merupakan bentuk arahan yang ditujukan kepada masyarakat sekitar pada

blok pemanfaatan di kawasan hutan lindung. Berdasarkan hasil analisis spasial diperoleh luas

areal yang direncanakan untuk usaha skala kecil mencapai 2.941,56 ha. Pemanfaatan yang

dapat dilakukan adalah yang tidak mengganggu fungsi hidrologis dari lahan. Kondisi tutupan

lahan di wilayah sasaran diketahui bahwa lahan-lahan umumnya berupa belukar. Kondisi

sebaran tutupan areal pada blok pemanfaatan hutan lindung di wilayah sasaran disajikan

pada gambar berikut:

55%

23%

22%

Belukar

Hutan Lahan KeringSekunder

Padang Rumput/Savana

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

119

Gambar 44. Kondisi tutupan areal di wilayah sasaran usaha skala kecil di hutan lindung

blok pemanfaatan

Untuk membangun skema pengelolaan skala kecil ini perlu kerjasama yang baik dengan

masyarakat sekitar hutan. Masyarakat dibina membentuk unit kelembagaan yang kuat,

berupa kelompok atau koperasi. Bentuk kegiatan dapat diusahakan oleh skala kecil di hutan

lindung berupa pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, seperti gaharu, nilam, dan lainnya.

5.1.4 Pembagian Blok Hutan Produksi di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya

Hutan produksi di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya sebesar 44% dari total luas areal

kerja KPHL SBD, yaitu seluas + 8.618,23 ha. Hutan produksi ini terbagi menjadi dua blok,

yaitu blok pemberdayaan dan blok pemanfaatan sebagaimana disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5. 3 Pembagian blok hutan produksi di wilayah KPHL SBD

BLOK BLOK ARAHAN LUAS (Ha) PERSENTASE

(%)

BLOK PEMANFAATAN HHK-HT

APL 905,05 11%

Rehabilitasi 2.190,45 25%

Usaha Skala Besar 355,88 4%

Usaha Skala Kecil 944,75 11%

BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK

APL 1.052,99 12%

Rehabilitasi 243,23 3%

BLOK LINDUNG

APL 1.117,09 13%

Karbon Stok 437,68 5%

Rehabilitasi 0,12 0%

Usaha Skala Besar 101,76 1%

1.583,45 1.107,91

250,20

Belukar

Hutan Lahan KeringPrimer

Hutan Lahan KeringSekunder

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

120

BLOK BLOK ARAHAN LUAS (Ha) PERSENTASE

(%)

BLOK PEMBERDAYAAN APL 716,29 8%

Rehabilitasi 552,93 6%

Grand Total 8.618,23 100%

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

A. Blok Pemanfaatan HHK-HT

Blok pemanfaatan HHK-HT di kawasan hutan produksi KPHL SBD seluas 4.396,13 ha. Terdiri

dari empat blok arahan, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL), blok rehabilitasi,usaha skala

besar dan usaha skala kecil. Kondisi tutupan lahan pada blok pemberdayaan di hutan

produksi KPHL SBD disajikan pada gambar berikut:

Gambar 45. Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemanfaatan HHK-HT KPHL SBD

Kondisi tutupan lahan yang terbanyak di blok pemanfaatan HHK-HT hutan produksi di KPHL

SBD adalah hutan lahan kering primer dan belukar. Dalam rangka kegiatan rehabilitasi selain

bersumber dari anggaran pemerintah/daerah juga bekerjasama dengan mitra lainnya seperti

perusahaan yang memiliki komitmen dan program rehabilitasi hutan dan lahan. Program

rehabilitasi yang dilakukan diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat, sehingga

manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari kegiatan rehabilitasi tersebut dapat dirasakan

oleh masyarakat.

- 200,00 400,00 600,00 800,00

1.000,00 1.200,00 1.400,00

Be

luka

r

Hu

tan

Lah

an K

erin

g P

rim

er

Hu

tan

Lah

an K

erin

g Se

kun

de

r

Be

luka

r

Hu

tan

Lah

an K

erin

g P

rim

er

Hu

tan

Lah

an K

erin

g Se

kun

de

r

Hu

tan

Lah

an K

erin

g P

rim

er

Hu

tan

Lah

an K

erin

g P

rim

er

APL Arahan untuk RehabilitasiArahanUsahaSkalaBesar

ArahanUsahaSkalaKecil

601,80

183,48 119,77 194,37

1.393,33

602,75 355,88

944,75

Luas

(H

a)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

121

B. Blok Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan HHBK

Blok pemanfaatan di hutan produksi KPHL SBD memiliki luas + 1.296,22 ha. Berdasarkan

kriteria RKTN areal di wilayah ini diarahkan untuk direhabilitasi dan APL. Berdasarkan

tutupan lahan menunjukkan bahwa areal-areal di lokasi ini sebagian besar merupakan hutan

lahan kering primer dan sedikit belukar.

Gambar 46. Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok pemanfaatan jasa lingkungan

C. Blok Lindung

Blok pemanfaatan di hutan produksi KPHL SBD memiliki luas + 1.656,65 ha. Berdasarkan

kriteria RKTN areal di wilayah ini diarahkan untuk APL, karbon stok, rehabilitasi dan usaha

skala besar. Berdasarkan tutupan lahan menunjukkan bahwa areal-areal di lokasi ini

sebagian besar merupakan hutan lahan kering primer dan sedikit belukar.

Gambar 47. Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok Lindung

- 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00

Belukar Hutan Lahan KeringPrimer

Hutan Lahan KeringPrimer

APL Arahan untukRehabilitasi

186,20

866,79

243,23

Luas

(H

a)

-

500,00

1.000,00

Belukar Hutan LahanKeringPrimer

Hutan LahanKeringPrimer

Belukar Belukar

APL Karbon Stok Arahanuntuk

Rehabilitasi

ArahanUsaha Skala

Besar

168,48

948,61

437,68

0,12 101,76

Luas

(H

a)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

122

Kawasan hutan produksi di KPHL SBD yang masuk dalam blok lindung untuk karbon stok

seluas 437,68 ha. Tutupan lahan pada areal ini didominasi oleh hutan lahan kering primer.

Perlu dilakukan pengawasan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Untuk

menduga karbon stok yang dapat disimpan di wilayah ini, maka perlu dilakukan penelitian-

penelitian baik secara mandiri maupun melibatkan pihak-pihak lain di luar seperti perguruan

tinggi atau lembaga lingkungan lainnya.

D. Blok Pemberdayaan

Blok pemberdayaan di kawasan hutan produksi KPHL SBD seluas 1.269,23 ha. Terdiri dari

dua blok arahan, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL) dan blok rehabilitasi. Kondisi tutupan

lahan pada blok pemberdayaan di hutan produksi KPHL SBD disajikan pada gambar berikut:

Gambar 48. Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemberdayaan KPHL SBD

Kondisi tutupan lahan yang terbanyak di blok pemberdayaan hutan produksi di KPHL SBD

adalah hutan lahan kering primer dan belukar. Untuk lahan belukar perlu penanganan serius

untuk peningkatan produktivitas agar mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Rehabilitasi dengan jenis-jenis kayu komersil dan HHBK merupakan strategi yang tepat

dengan pola agroforestry multidaur. Jenis-jenis tanaman yang digunakan juga perlu

disesuaikan dengan kondisi lahan yang kering dengan sumber air yang terbatas di NTT, dan

kondisi kecuraman yang ada di wilayah tersebut. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan

produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat secara terus menerus melalui hasil-hasil

pertanian dan kehutanan. Pada sisi yang lain lahan dapat menahan bahaya erosi di musim

hujan. Sebagai blok pemanfaatan, areal tersebut dimaksudkan untuk mendukung fungsi

pemanfaatan pada aspek tertentu. Untuk KPHL SBD pemanfaatan yang ditekankan adalah

untuk jasa lingkungan berupa karbon stok dan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan kondisi

kemiringan lahan diketahui bahwa areal sebagian besar berada pada kelas lereng 8-15%

-

200,00

400,00

600,00

Belukar PertanianLahan Kering

Campur

Hutan LahanKering Primer

Hutan LahanKering

Sekunder

APL Arahan untuk Rehabilitasi

427,18

289,11 367,62

185,32

Luas

(H

a)

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

123

(landai), sehingga tidak terlalu berisiko dalam melaksanakan rehabilitasi. Terkait dengan

fungsi yang dimiliki areal ini maka areal belukar direncanakan untuk direhabilitasi dengan

jenis-jenis tanaman yang mendukung fungsi pemanfaatan untuk masyarakat setempat

dapat terjaga dengan baik.

5.2 Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu

Kawasan KPHL Sumba Barat Daya tidak terdapat izin lainnya sehingga seluruh wilayah KPHL

SBD masuk kategori wilayah tertentu. Potensi hutan yang dimiliki KPHL SBD perlu digali

dan dipromosikan sehingga dikenal dan menjadi daya tarik bagi investor dalam

memanfaatkan dan meningkatkan nilainya. Promosi diawali dengan melakukan inventarisasi

potensi, membuat profil potensi yang bisa dikerjasamakan dan menyampaikan ke berbagai

pihak.

Salah satu pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu adalah melalui pemanfaatan jasa

lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan ini merupakan produk Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya (SDAHE) berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak

langsung (intangible), yang meliputi antara lain jasa wisata alam, jasa perlindungan tata

air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan,

penyerapan dan penyimpanan karbon.

Manfaat lainnya dari wilayah tertentu di KPHL SBD adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

HHBK yang dihasilkan dari wilayah kerja KPHL SBD akan diusahakan untuk dapat dipasarkan

setelah melalui proses pengolahan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai produknya di

pasar. Di dalam tahap awal pengembangan sentra industri HHBK perlu didukung oleh

kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Di dalam tahap awal, kerjasama

pengembangan sentra HHBK dapat dilakukan dengan Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan.

Hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi di kawasan hutan KPHL SBD adalah

minyak cendana, alkohol dan daun lontar dari penyadapan dan pengambilan daun lontar.

Disamping itu perlu dieksplorasi tanaman obat yang ada di dalam kawasan hutan di KPHL

tersebut.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

124

Gambar 49. Peta Wilayah Tertentu KPHL Sumba Barat Daya

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

125

5.3 Pemberdayaan masyarakat

Kabupaten Sumba Barat Daya tergolong wilayah yang sangat subur. Hasil tanaman pangan

seperti padi, jagung, kedelai, berbagai jenis kacang dan masih banyak jenis lainnya. Hasil

jagung dan kacang-kacangan sebagai andalan komoditi keluar wilayah Sumba Barat Daya.

Hasil perkebunan andalan komoditi Sumba Barat Daya seperti Jambu Mente, kelapa, kemiri,

kopi dan masih banyak lainnya. Hasil kehutanan yang sangat menonjol adalah Kayu Jati,

kayu Mahoni dan lainnya. Hasil peternakan,sebagai wilayah sabana di sebagian wilayah tentu

pasti peternakan andalan adalah Sapi, Kerbau, Kuda dan Babi.

Hal tersebut membuat ketergantungan masyarakat sekitar KPHL SBD masih tinggi terhadap

lahan dan hutan yang sering menimbulkan tekanan keberlanjutan sumber daya dan hutan.

Untuk menjaga keberlanjutan potensi sumber daya lahan dan hutan maka diperlukan upaya

pemberdayaan masyarakat berupa meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat

petani dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang memperhatikan

upaya fungsi kawasan lindung.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam perlindungan, pelestarian dan

rehabilitasi perlu dilakukan dengan melibatkan lembaga adat masyarakat desa sekitar KPHL

SBD. Melalui penguatan lembaga adat dalam perlindungan, pelestarian dan rehabilitasi hutan

di wilayah hutan KPHL akan lebih efektif.

Peningkatan nilai tambah ekonomi dari produk dan jasa yang berbasiskan kreatifitas

masyarakat setempat perlu didorong oleh manajemen KPHL SBD. Baik berupa HHBK maupun

jasa lingkungan. Peningkatan nilai seni dari produk HHBK melalui pengembangan obat-

obatan berbasis pengetahuan lokal merupakan contoh kegiatan kreatif yang dapat

meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.

5.4 Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) Pada Areal KPHL Yang

Telah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan

Hutannya

Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya, saat ini pada wilayah

pengelolaan KPHL SBD tidak terdapat pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Untuk menjamin penyelenggaraan pengelolaan berjalan dengan baik, maka kegiatan-

kegiatan yang dapat mengganggu keutuhan ekosistem hutan KPHL SBD harus dapat

dicegah.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

126

Keberadaan KPHL SBD akan mengubah hubungan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.

Sehingga sistem pemantauan (controlling) hutan yang dikembangkan dilakukan secara

partisipatif dengan masyarakat. Untuk mendapatkan dukungan dan keberadaannya diterima

oleh masyarakat, maka diperlukan program sosialisasi baik melalui tatap muka maupun

media sosial lainnya. Program sosialisasi ini harus dilakukan secara terus menerus sesuai

dengan tahapan kegiatan pengelolaan. Program sosialisasi yang dilakukan bukan hanya

sekedar untuk meningkatkan pemahaman akan KPHL tetapi ditujukan untuk meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan KPHL SBD.

Kegiatan pengamanan yang melibatkan masyarakat salah satu contohnya adalah dalam

kegiatan penandaan batas kawasan. Sebelum dilakukan penandaan batas di lapangan

berupa pal atau patok batas, maka perlu dilakukan sosialisasi mengenai batas wilayah

pengelolaan KPHL SBD. Sosialisasi tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik

antar pihak yang berkepentingan terhadap kawasan yang ditentukan sebagai kawasan KPHL

SBD. Batas tersebut harus diketahui oleh para pihak, terutama masyarakat yang berada

dekat dengan wilayah kerja.

Kepala KPHL wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan

izin pemanfaatan hutan di wilayah KPH-nya. Hasil pembinaan, pemantauan dan evaluasi ini

wajib dilaporkan setiap tiga bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan

Bupati/Walikota.

5.5 Penyelenggaraan Rehabilitasi Pada Areal Di Luar Izin

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan

meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya

dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan utama di dalam

rencana pemulihan hutan dan lahan diarahkan kepada revegetasi di lahan yang mengalami

degradasi baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan.

Terdapat dua kegiatan dalam rehabilitasi, yaitu kegiatan penanaman dan kegiatan

konservasi tanah. Para pelaku pembangunan di luar sektor kehutanan berkewajiban

melakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi, karena usahanya berpotensi menimbulkan

perubahan dan terganggunya ekosistem hutan, seperti usaha pertambangan.

KPHL SBD memiliki blok rehabilitasi pada fungsi kawasan hutan lindung seluas + 991,17 ha

dan blok rehabilitasi pada fungsi kawasan hutan produksi seluas + 121,81 ha, sehingga total

luas blok rehabilitasi adalah 1112,98 ha. Luasan tersebut direncanakan akan dilaksanakan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

127

secara bertahap setiap tahun anggaran. Pelaksanaan rehabilitasi harus memperhatikan

musim penghujan dan jenis-jenis yang cocok pada kawasan KPHL SBD.

5.6 Pembinaan Dan Pemantauan (Controlling) Pelaksanaan Rehabilitasi

Dan Reklamasi Pada Areal yang Sudah Ada Izin Pemanfaatan

Maupun Penggunaan Kawasan Hutan

KPHL SBD belum terdapat izin lain selain kegiatan KPHL bersangkutan. Sehingga seluruh

kegiatan pembinaan dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi saat ini

dikelola langsung oleh KPHL SBD. Sistem pelaksanaan rehabitasi melibatkan masyarakat

yang ada di sekitar areal KPHL SBD. Pelibatan masyarakat terjadi dalam beberapa kegiatan

seperti penanaman, pembangunan teknik konservasi, pembuatan persemaian dan penyedia

bibit melalui kelompok-kelompok masyarakat, serta kegiatan lainnya.

Untuk melibatkan masyarakat perlu keguiatan pembinaan baik dalam bentuk penyuluhan,

maupun pendampingan.

Di dalam merencanakan kegiatan pemulihan hutan dan lahan secara revegetasi, ada

beberapa faktor yang menentukan pemilihan jenis dan pola tanam yang akan dilakukan

yakni:

- Kondisi iklim. Areal KPHL SBD berada di wilayah beriklim tropis, namun secara umum

tergolong kering hingga sedang (tipe F) dengan memiliki 2 (dua) musim yaitu musim

hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung rata-rata berlangsung selama 4

bulan antara bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan musim

kemarau berlangsung selama 8 bulan terjadi antara bulan April sampai dengan bulan

November setiap tahunnya. Rata-rata curah hujan per tahun adalah 500 - 1200 mm.

Suhu udara rata-rata 270 C dengan suhu minimum mencapai 200 C dan suhu

maksimum mencapai 330 C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 72%

sampai 84% sedangkan kecepatan angin tergolong rendah rata-rata 8,4 knot/jam.

- Kondisi Topografi. Areal KPHL SBD berada di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya

yang didominasi oleh wilayah berbukit hingga bergunung dengan topografi curam dan

sangat curam (lereng lebih dari 25%) dengan sedikit dataran berupa Topografi lereng

datar (0-2% dan 2-8%), lereng landai (8-15%) hanya seluas 18,01%. Ketinggian dari

permukaan laut hingga 1.319 meter.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

128

- Mata pencaharian penduduk di dalam dan sekitar KPHL. Berdasarkan hasil wawancara

dan pencatatan monografi desa, sebagian besar (77%) mata pencaharian penduduk

di dalam dan sekitar KPHL adalah pertanian dan peternakan. Mengingat curah hujan

yang rendah, maka kegiatan pertanian yang dilakukan adalah berladang berpindah

dan mengandalkan curah hujan.

Berdasarkan tiga faktor utama tersebut, maka arah dari rencana revegetasi dalam upaya

memulihkan fungsi hutan yang mengalami degradasi di setiap arahan blok adalah sebagai

berikut.

1) Blok Hutan Lindung

Berdasarkan hasil tata hutan KPHL SBD diperoleh tingkat kekritisan lahan

sebagaimana tabel berikut:

Tabel 5. 4 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Lindung KPHL SBD

Blok hutan lindung Tingkat kekritisan Luas (ha)

HL-BLOK INTI

Kritis 2.980,34

Potensial Kritis 2.936,88

Tidak Kritis 142,07

Total HL-BLOK INTI 6.059,30

HL-BLOK PEMANFAATAN

Agak Kritis 264,08

Kritis 1.584,78

Potensial Kritis 4.120,25

Total HL-BLOK PEMANFAATAN 5.969,12

TOTAL 12.028,41

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

Revegetasi hutan diarahkan untuk kelas kritis dan sangat kritis. Adapun rencana

pemulihan di lokasi tersebut adalah sebagai berikut:

- Blok Inti. Kondisi lahan kritis di Blok Inti Hutan Lindung seluas 2.1980,34 ha.

Rehabilitasi lahan di Blok ini ditujukan untuk perlindungan tata air dan simpanan

karbon (carbon sink). Karena tipe iklimnya adalah tipe F dengan curah hujan rendah,

maka jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis mempunyai

perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah dan kurang memiliki potensi

pemanfaatannya (bio material) selain sebagai penyimpanan karbon.

- Blok Pemanfaaatan. Rehabilitasi lahan di Blok Pemanfaatan Hutan Lindung ditujukan

untuk kondisi lahan agak kritis dan kritis seluas 1.848,87 ha. Dengan memperhatikan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

129

kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar KPHL, maka rehabilitasi ini dimaksudkan

untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan

sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung

pengembangan jasa ekosistem, wisata alam, dan pengembangan hasil hutan non

kayu, pakan ternak dan pangan. Karena tipe iklimnya adalah tipe iklim F dengan curah

hujan rendah, maka jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis

perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah yakni jenis Multi Purpose

Tree Species (MPTS) dari jenis asli yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.

2) Blok Hutan Produksi

Berdasarkan hasil tata hutan KPHL SBD diperoleh tingkat kekritisan lahan

sebagaimana tabel berikut:

Tabel 5. 5 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Produksi KPHL SBD

BLOK HUTAN PRODUKSI TINGKAT

KEKRITISAN LUAS (HA)

HP-PEMANFAATAN HHK-HT Kritis 127,37

Potensial Kritis 4.268,76

HP-BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK

Agak Kritis 178,38

Kritis 313,98

Potensial Kritis 803,86

HP-BLOK LINDUNG

Agak Kritis 237,76

Kritis 1.317,01

Potensial Kritis 101,89

TOTAL HP-BLOK PEMANFATAAN 7.349,00

HP-BLOK PEMBERDAYAAN Agak Kritis 427,18

Potensial Kritis 842,05

TOTAL HP-BLOK PEMBERDAYAAN 1.269,23

TOTAL 8.618,23

Sumber : Hasil analisis spasial (2015)

Adapun rencana pemulihan di lokasi tersebut diarahkan pada lahan kritis dan sangat kritis

adalah sebagai berikut:

- Blok pemanfataan jasa lingkungan dan HHBK. Kondisi lahan kritis di Blok pemanfataan

HHK-HT, Blok pemanfaatan jasa lingkungan dan HHBK dan Blok lindung pada Hutan

Produksi, yaitu lahan kritis dengan luas 1.758,36 ha. Sedangkan yang agak kritis

luasnnya adalah 416,14 ha dan lahan potensial kritis seluas 5.174,50 ha. Rehabilitasi

lahan di Blok ini ditujukan untuk meningkatkan potensi pemanfaatan untuk jasa

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

130

lingkungan dan HHBK, sehingga perlu ditanam jenis-jenis tertentu yang menunjang

tujuan tersebut. Karena tipe iklimnya adalah tipe F dengan curah hujan rendah, maka

jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik. Untuk jasa lingkungan dipilih

jenis mempunyai perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah dan

kurang memiliki potensi pemanfaatannya (bio material) selain sebagai penyimpanan

karbon. Sedangkan untuk HHBK dipilih jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan hasil non

kayunya, seperti kayu putih, kayu manis, dan gaharu.

- Blok Pemberdayaan. Rehabilitasi lahan di Blok Pemberdayaan Hutan Produksi

ditujukan untuk kondisi lahan agak kritis seluas 427,18 ha dan lahan potensial kritis

adalah 842,05 ha. Blok ini telah ada upaya masyarakat masuk ke dalam kawasan

sehingga akan diarahkan menjadi pengelolaan hutan bersama masyarakat, dalam

bentuk skala besar ataupun skala kecil seperti HTR, HKM, atau hutan desa. Dengan

memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar KPHL, maka rehabilitasi ini

dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan

dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya meningkat. Karena

tipe iklimnya adalah tipe iklim F dengan curah hujan rendah, maka jenis tanaman

yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis perakaran dalam dengan tingkat

evapotranspirasi rendah yakni jenis Multi Purpose Tree Species (MPTS) dari jenis asli

yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.

5.7 Penyelenggaraan Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam

Perlindungan terhadap kawasan hutan dan konservasi alam diarahkan untuk

mempertahankan eksistensi kawasan, serta menjaga agar fungsi-fungsi kawasan terhindar

dari proses degradasi akibat ulah manusia, bencana alam, maupun karena serangan hama

dan penyakit.

Salah satu faktor yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan adalah karena adanya

berbagai kepentingan yang berbeda atas sumber daya hutan sehingga mempengaruhi

pilihan tindakan yang berbeda-beda pula. Misalnya para pengusaha, pilihan tindakannya

cenderung berorientasi untuk kepentingan memperbesar modal yang dalam pelaksanaannya

justru mengorbankan kepentingan lain, seperti mengabaikan asas konservasi atau

kelestarian lingkungan, merebut kepemilikan lahan hutan yang sebelumnya dikuasai rakyat

setempat, atau penggunaan hutan dan lahan oleh masyarakat akibat tidak tersedianya lahan

pekerjaan, kemiskinan, dan penguasaan keterampilan yang rendah, telah meningkatkan

ketergantungan masyarakat terhadap hutan (sandang, pangan, dan papan). Untuk

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

131

mengurangi kerusakan akibat degradasi dan deforestasi maka diperlukan penyelenggaraan

perlindungan dan konservasi alam tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat yang ada di

dalam dan sekitar hutan.

5.7.1 Perlindungan Hutan

Dasar hukumnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah: (1) UU RI No 32

tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Permenhut

P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada

KPHL dan KPHP, (3) PP Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan PP Nomor 45 tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan, dan (4) Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan

Hutan Produksi di Daerah.

Perlindungan hutan dilaksanakan dengan tujuan melindungi kawasan hutan dan proses

produksi dapat berjalan dengan baik. Prinsip pelaksanaan perlindungan hutan adalah (1)

upaya penanganan diutamakan secara preventif, (2) Perlakuan represif dilakukan dengan

mempertimbangkan hasil proses intelijen yang akurat, (3) Sosialisasi seluruh peraturan

perundangan senantiasa dilakukan oleh seluruh aparat, (4) Pelatihan fisik petugas polisi

kehutanan dilakukan secara rutin sekurang-kurangnya setiap minggu sekali, (5) Operasi

dilakukan melalui operasi fungsional dan operasi gabungan, (6) Penanganan kebakaran

diupayakan bersama dengan masyarakat secara bersama-sama, (7) Persediaan makanan

ternak diupayakan dengan memanfaatkan jenis tanaman sela ataupun tanaman inti, dan (8)

Permasalahan penggunaan tanah diselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku.

5.7.2 Konservasi Alam

Rencana teknis konservasi alam merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa

kegiatan teknis yang telah tersusun dalam rencana pengelolaan. Untuk setiap kegiatan

dalam rencana pengelolaan yang memerlukan penjabaran lebih rinci, masing-masing dapat

disusun rencana teknisnya, misalnya rancangan untuk bangunan tertentu, pembinaan

habitat, pembinaan populasi dan rancangan pengambilan sumber genetik.

Pembinaan Habitat dan Populasi Untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan tumbuhan,

satwa, atau ekosistem dapat dilakukan pembinaan habitat yang pelaksanaannya harus tetap

memperhatikan prinsip konservasi. Agar kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa

tetap berada dalam keadaan seimbang dan dinamis, di setiap kawasan konsenvasi pada

dasarnya dapat dilakukan pembinaan populasi yang pelaksanaannya harus tetap

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

132

memperhatikan prinsip konservasi; Pembinaan habitat dan populasi pada pengelolaan

tumbuhan dan satwa serta habitatnya meliputi kegiatan berupa: (1) pembinaan padang

rumput untuk satwa, (2) penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon yang dapat

meningkatkan fungsi konservasi, (3) pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat

berkubang dan mandi satwa, (4) penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa, (5)

penambahan tumbuhan dan satwa asli, dan (6) pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa

pengganggu.

Rehabilitasi dan Restorasi. Rehabilitasi dan restorasi hutan dan lahan adalah kegiatan

pemulihan kondisi sebagian kawasan hutan menjadi atau mendekati kondisi ekosistem

alami, melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan, pengkayaan jenis atau penerapan teknik

konservasi tanah secara vegetatif, dan perbaikan lingkungan untuk memulihkan fungsi

ekosistem alami yang rusak. Pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi di kawasan hutan

mempunyai tujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi ekosistem

yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal sesuai daya dukung, dan

peranannya sebagai habitat suatu jenis tumbuhan/satwa dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan. Tujuan dari proses rehabilitasi dan restorasi adalah mengembalikan

struktur, fungsi keanekaragaman dan dinamika suatu ekosistem yang menghadapi degradasi

tersebut.

Terdapat empat tipe utama untuk mengembalikan/memulihkan komunitas hayati dan

ekosistem yang mengalami degradasi, yaitu: (1) Tanpa tindakan, karena upaya pemulihan

terlalu mahal dan selalu gagal, pengalaman menunjukkan bahwa ekosistem akan dapat pulih

dengan sendirinya, (2) Restorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara

aktif dengan spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi spesies

seperti semula, (3) Rehabilitasi, merupakan pemulihan dari sebagian fungsi-fungsi ekosistem

dan spesies asli, seperti memperbaiki hutan yang terdegradasi melalui penanaman, dan (4)

Penggantian, merupakan upaya penggantian suatu ekosistem terdegradasi dengan

ekosistem lain yang lebih produktif, seperti menganti hutan yang terdegradasi dengan

padang rumput dan sebagainya.

Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan

tercapainya tiga sasaran konservasi (UU No 5 Tahun 1990), yaitu:

a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga

kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia

(perlindungan sistem penyangga kehidupan).

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

133

b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe

tekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan

sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);

c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin

kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta

belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di

perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan

potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).

5.8 Penyelenggaraan Koordinasi Dan Sinkronisasi Antar Pemegang Izin

Rencana ke depan KPHL SBD akan bekerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan

wilayahnya. Pelibatan peran swasta atau pemegang izin, akan didukung melalui koordinasi

dan sinkronisasi kegiatan antara KPHL SBD dengan perusahaan pemegang izin. Hal ini

dilakukan agar pelaksanaan kegiatan antara keduanya tidak saling merugikan atau sinergis,

misalnya dalam pengangkutan hasil panen antar pemegang izin melalui sarana yang sama

dan lainnya.

Keterlibatan dan dukungan dapat melalui berbagai bentuk seperti kerjasama: (1) pelatihan

untuk peningkatan kapasitas staf pengelola KPHL Sumba Barat Daya dengan perusahaan

pemegang izin, (2) pendampingan pemberdayaan masyarakat, (3) penelitian untuk

pengelolaan KPHL SBD serta perusahaan pemegang izin, dan (4) dukungan kebijakan.

Peran manajemen KPHL SBD sangat berkontribusi dalam membuat rencana pengelolaan

oleh karena itu koordinasi dengan pengelola di areal yang telah berizin akan menghasilkan

sinergi positif, sehingga kegiatan koordinasi dan sinkronisasi akan terus dikembangkan.

Setelah sinkronisasi program antara KPHL SBD dengan perusahaan pemegang izin, maka

akan dilakukan pra-kondisi dalam perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi,

sehingga pencapaian kerja di wilayah KPHL SBD lebih mudah terukur dan hasilnya

diharapkan menjadi lebih baik. Implementasi program dan kegiatan ini sebagai upaya

membangun KPHL SBD yang mandiri dan berkelanjutan. Sinkronisasi program antara

KPHL SBD dan perusahaan pemegang izin juga akan disesuaikan dengan permasalahan

yang ada, sehingga proses-proses implementasinya semakin baik dan bermanfaat bagi para

pihak.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

134

5.9 Koordinasi Dan Sinergi Dengan Instansi Dan Stakeholder Terkait

Koordinasi penting dilaksanakan agar terjadi penyerasian dan menyinergikan semua

kegiatan di dalam kawasan KPHL SBD. Selain itu koordinasi dengan instansi dan

stakeholder terkait agar sejalan dengan berbagai tujuan dan kepentingan pembangunan

yang lebih besar. Dalam upaya mengelola hutan di kawasan KPHL SBD agar lebih berdaya

guna dan memiliki dampak yang meluas maka diperlukan adanya koordinasi dan

sinkronisasi dengan stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan pada tingkat

tapak.

Sinkronisasi lebih diupayakan untuk Wilayah KPHL SBD berada dalam wilayah administrasi

desa, kecamatan dan kabupaten. Camat dan Kepala Desa sebagai pemegang wilayah

administrasi mempunyai peran yang strategis dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayah

KPHL SBD. Adanya lahan-lahan garapan masyarakat pada areal konsesi menjadi

hambatan terbesar perusahaan untuk bisa melakukan akselerasi realisasi penanaman.

Dibutuhkan koordinasi dan sinkronisasi dengan Dinas terkait selaku penanggung jawab atas

penempatan masyarakat di kawasan hutan dalam wilayah KPHL SBD. Kegiatan koordinasi

dan sinkronisasi diarahkan pada:

a. Pelaksanaan koordinasi Pengelola KPHL SBD dengan instansi maupun pihak yang terkait

di semua tingkatan.

b. Pelaksanaan sinkronisasi kegiatan di tingkat tapak antara Pengelola KPHL SBD dengan

instansi maupun pihak yang terkait di semua tingkatan.

5.10 Penyediaan Dan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)

Efektivitas dan efisiensi pengelolaan KPHL SBD tergantung kepada pemilihan staf

organisasi yang tepat. Program pengembangan SDM KPHL SBD, mencakup beberapa

kegiatan umum antara lain:

(1) Analisa beban kerja dan kebutuhan personil, dan

(2) Analisa penyesuaian struktur organisasi KPHL SBD, Program pengembangan tersebut

akan didukung kegiatan lainnya, seperti: pemantapan kebijakan pengelolaan KPHL;

penambahan staf pengelola KPHL; penyusunan prosedur kerja dan mekanisme

kolaborasi atau kerjasama; terakhir adanya peningkatan sarana dan prasana. Rincian

detailnya adalah sebagai berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

135

5.10.1. Pemantapan Kebijakan Pengelolaan KPHL

Pengelolaan KPHL SBD akan melihat kondisi saat ini dan kondisi harapan pada masa yang

akan datang. Permasalahan pokok yang ada saat ini, sedini mungkin akan diselesaikan dan

disesuaikan dengan kondisi yang ada, terutama pada hal yang sangat prinsip yaitu legalitas

formal penetapan kawasan yang bebas konflik. Kemudian aturan-aturan sebagai dasar

dalam pengelolaan yang dapat mendukung kebijakan pengelolaan jangka panjang. Langkah

strategis yang lebih terinci sebagai penjabaran dari rencana pengelolaan jangka panjang

(RPJP) akan tergambar dalam pengelolaan jangka pendek secara kualitatif dan kuantitatif,

yang akan dituangkan sebagai langkah pengelolaan yang bersifat teknis operasional.

Pengelolaan KPHL SBD sangat membutuhkan dukungan dan kemampuan personil yang

memadai. Kapasitas personil menentukan berhasil tidaknya pengelolaan. Untuk itu dalam

rencana jangka panjang ini akan dimasukkan upaya pengembangan dan peningkatan bagi

staf pengelola KPHL SBD dalam berbagai bidang seperti: pendidikan, pelatihan-pelatihan

penunjang berupa keahlian pada bidang-bidang tertentu, dan penggalian informasi dari luar

yang dapat menambah pengalaman dan wawasan.

Beberapa rencana kegiatan jangka panjang dalam rangka peningkatan kapasitas staf

pengelola, antara lain: (1) Perbaikan jenjang pendidikan, (2) Pemetaan kompetensi staf, (3)

Diklat SDM pengelola KPHL SBD, (4) Pertukaran kunjungan staf pengelola, (5) Studi

banding, dan (6) Magang pegawai.

5.10.2. Penambahan Staf Pengelola KPHL

Peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan KPHL SBD dapat dilakukan dengan

penambahan staf untuk mengisi kekurangan formasi yang ada. Dengan jumlah personil yang

memadai maka diharapkan pelaksanaan tugas tidak akan dijabat secara rangkap, sehingga

target pengelolaan dapat tercapai dengan baik dan tepat waktu. Kegiatan makro dalam

jangkap panjang mencakup penambahan formasi pegawai dan rekruitmen petugas

lapangan. Sesuai prosedur yang ada, maka pengusulan untuk penambahan formasi

pegawai akan disampaikan ke pusat karena domainnya Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK), sedangkan rekruitmen petugas lapangan sedapat mungkin berasal dari

masyarakat di sekitar kawasan dengan sistem penggajian sebagai tenaga upah/kontrak.

Pada perekrutan tenaga kerja lapangan akan memperhatikan kedekatannya dengan hutan

dan masyarakat, kedekatan bukan hanya dari aspek fisik tetapi juga spiritnya. Tanggung

jawab masing-masing tenaga kerja dijelaskan secara tegas dalam job descriptions, dimana

bagian administrasi dipisahkan dengan bagian pengelolaan, dan setiap pelatihan akan selalu

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

136

berorientasi pada pelayanan, sehingga setiap staf dapat berlaku profesional dalam melayani

dan berupaya meminimalkan kekecewaan pihak lain yang melakukan kerjasama atau

memanfaatkan jasa di KPHL SBD.

5.10.3. Penyusunan Prosedur Kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau

kerjasama

Pelaksanaan tugas lingkup KPHL SBD akan lebih maksimal apabila ada kejelasan mengenai

tata kerja dan tanggung jawab pada masing-masing bidang tugas. Penyelesaian suatu

kegiatan dilakukan melalui prosedur dan tahapan yang mantap dari alur pelaksanaan dan

ketepatan waktu yang efisien. Secara legal formal tata organisai dan uraian tugas pada

KPHL SBD tersebut adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan. Peraturan ini merupakan pedoman yang

digunakan untuk lingkup Kementerian Kehutanan. Dasar hukum penyusunan prosedur kerja

mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan N0.2734/Kpts-II/2002 tanggal 30 April 2002

tentang Pedoman Penyusunan Prosedur kerja Lingkup Kementerian Kehutanan. Sedangkan

untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat teknis operasional sesuai dengan bidang tugas

dan kegiatan tertentu, disusun petunjuk teknis yang akan menjadi pedoman pelaksanaan

tugas di lapangan. Untuk pencapaian program ini dalam rencana jangka panjang, mencakup

beberapa kegiatan makro antara lain: (1) Penyusunan Prosedur Kerja KPHL, (2)

Penyusunan Prosedur Kerja Seksi Pengelolaan Wilayah KPHL SBD, dan (3) Penyusunan

Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan kegiatan.

5.10.4. Peningkatan Sarana dan Prasarana

Agar pengelolaan berjalan lebih efektif dan efisien maka dukungan sarana dan prasarana

yang memadai yang sesuai dengan jenis dan jumlah kebutuhan sangat diperlukan. Sarana

dan prasarana di KPHL SBD terdiri dari sarana prasarana perkantoran pada kesekretariatan

KPHL SBD. Satuan Pengelolaan Wilayah (blok), sarana prasarana penunjang pengelolaan

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta sarana prasarana kegiatan dalam

menunjang perlindungan dan pengamanan kawasan. Kelengkapan sarana dan prasarana

yang diperlukan diperoleh dengan pengadaan baru maupun pemeliharaan yang telah ada.

Sarana prasarana diperoleh dari pengusulan dalam setiap tahun anggaran kegiatan.

Kebutuhan sarana prasarana penunjang pengelolaan KPHL SBD mencakup: (1)

Pembangunan rumah jabatan dan mess lapangan, (2) Pembangunan kantor resort

lapangan, pondok kerja, pondok jaga dan pos jaga, (3) Pengadaan kendaraan roda 4 dan 2,

(4) Pengadaan alat transportasi air, (5) Peningkatan peralatan kantor, (6) Peningkatan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

137

perlengkapan kerja personil, (7) Pengadaan peralatan komunikasi lapangan, (8) Penyediaan

sarana penunjang dan pelayanan pengelolaan wisata alam, (9) Pembangunan mini hidro

dan instalasi air bersih, dan (10) Pemeliharaan, perbaikan dan rehabilitasi sarana dan

prasarana.

5.11 Penyediaan Pendanaan

Pendanaan pengelolaan KPHL SBD dipenuhi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengelolaan KPHL

SBD yang optimal membutuhkan dana yang cukup besar. Dana tersebut tidak mungkin

dicukupi hanya dari keuangan negara (APBN dan APBD). Pemenuhan kebutuhan

pendanaan untuk melengkapi kekurangan dana pengelolaan dari APBN dan APBD akan

dipenuhi dari berbagai sumber, diantaranya:

a. Pembayaran imbal jasa tegakan melalui mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme

pembayaran karbon dapat berupa pembiayaan kegiatan rehabilitasi, pertambangan,

perambahan hutan, bekas kebakaran dan kerusakan hutan lainnya. Skema

perdagangan karbon juga bisa direalisasikan melalui pengembangan program

pengelolaan hutan berbasis masyarakat, atau pengelolaan hutan primer tanpa ada

rencana penebangan (untuk program REDD+);

b. Perlindungan DAS dan tata air. KPHL SBD berada pada provinsi NTT yang sedikit

curah hujan. Kemungkinan pemanfaatan air baku untuk masyarakat luas bisa dijadikan

sebagai alternatif;

c. Kekayaan keanekaragaman hayati. Keragaman hayati, keunikan spesies flora dan

fauna, keindahan bentang alam dan sosial budaya masyarakat lokal dapat dikemas

dalam paket wisata yang memiliki nilai tinggi selain untuk tujuan penelitian dan

pendidikan;

d. Pengembangan pengembalaan pada wilayah-wilayah tertentu yang secara alami

merupakan wilayah savana dapat dilakukan dengan bermitra dengan masyarakat;

e. Produk-produk yang dihasilkan dari budidaya masyarakat lokal juga dapat dikemas dan

diberi label konservasi untuk diperdagangkan di pasar hijau;

f. Bermitra dengan LSM misalnya WWF, CI, FFI dan lain-lain yang sering mendapatkan

bantuan dana internasional untuk melakukan aktivitas konservasi di Kawasan

Pelestarian Alam (khususnya untuk pengelolaan Blok perlindungan);

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

138

g. Pengembangan wilayah-wilayah wisata alam yang berpotensi menjaring turis domestik

dan non domestik.

Untuk mendukung program ini dipersiapkan kegiatan umum untuk jangka panjang yang

mencakup:

a. Membangun mekanisme penggalangan dana yang menguntungkan para pihak. Secara

sederhana mekanisme ini dapat berupa kesepakatan yang memungkinkan untuk

dilaksanakan, dan tidak menyimpang dari aturan main yang ada.

b. Penyusunan proposal untuk memperoleh dukungan pendanaan. Proposal dibuat

berdasarkan kemampuan KPHL SBD saat ini kemudian dibandingkan dengan

kekurangan yang ada. Gap yang terjadi antara kondisi pendanaan saat ini dan

kekurangan dana yang masih harus dipenuhi, dijadikan sebagai dasar penyusunan

proposal untuk memperoleh dukungan pendanaan dari pihak lain. Penyusunan proposal

dan mencari dukungan pendanaan dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama

dengan pihak lain seperti konsultan, LSM, BUMN, dan perusahaan swasta.

c. Membangun perencanaan program bersama. Perencanaan program bersama

merupakan salah satu langkah strategis untuk mencari dana. Penyusunan perencanan

dibuat secara bersama-sama dengan para pihak di luar KPHL SBD. Pendanaan tidak

hanya berupa uang tetapi juga berupa kerjasama program, misalnya NGO maupun

pihak swasta yang tertarik pada sesuatu issue ataupun obyek tertentu.

5.12 Pengembangan Database

Keberadaan database yang lengkap dan tidak kadaluwarsa terkait kawasan pengelolaan

sangat berguna dalam pengelolaan KPHL SBD, contohnya dalam mengambil keputusan

tentang suatu kegiatan. Selain itu, database juga bermanfaat bagi pihak luar yang

membutuhkan informasi tentang KPHL SBD seperti misalnya para peneliti dari universitas

atau lembaga penelitian, LSM, instansi pemerintah, dan individu. Database dan informasi

dapat dikumpulkan dari unit-unit pengelola di lapangan dan juga dari luar.

Database yang ada dapat dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk analog atau manual

(peta, dokumen, laporan, data penelitian dan lain-lain), data digital (dokumen-dokumen,

data GIS dan data digital lainnya). Unit yang secara khusus mengelola database ini pada

organisasi KPHL SBD merupakan Division Support System (DSS) atau pendukung sistem

organisasi yang diperlukan sebagai dasar untuk mengambil keputusan pengelolaan, baik oleh

manajemen pusat KPHL SBD maupun pengelola pada unit terkecil di lapangan. Beberapa

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

139

rencana kegiatan yang mendukung pengembangan database di KPHL SBD, antara lain: (1)

Pelatihan staf pengelola database, (2) Penyiapan perangkat database, (3) Penyusunan dan

pengelolaan sistem database, dan (4) Membangun manajemen sistem pusat informasi.

Dimana pemberian atau pertukaran data dan informasi khususnya dengan pihak luar akan

diatur oleh Standar Operasional Prosedur (SOP).

5.13 Rasionalisasi Wilayah Kelola

Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, maka diperlukan ketepatan menentukan

prioritas program dan wilayah yang dikelola. Rasionalisasi wilayah kelola ini dilakukan untuk

menentukan efektivitas dan efisiensi manajemen KPHL. Bentuk rasionalisasi ini dilakukan

dengan melakukan penilaian terhadap prioritas pengelolaan blok dibandingkan dengan

ketersediaan sumber daya baik sumber daya manusia, keuangan maupun fasilitas. Dengan

demikian pengerahan sumber daya ke arah blok pengelolaan prioritas diharapkan lebih fokus

dan bisa dilakukan. Sementara blok yang bukan prioritas tetap menjadi tanggung jawab

KPHL dalam menghadapi gangguan dari masyarakat dan menjaga agar proses regenerasi

alami dapat berjalan dan tidak mendapatkan gangguan.

Di antara para pihak yang berkepentingan perlu dibangun komunikasi dan koordinasi yang

baik, termasuk membuat kesepakatan terkait mekanisme pembagian tugas, fungsi dan

peran serta dari masing-masing pihak. Mekanisme tersebut dituangkan ke dalam aturan

main yang mengikat para pihak untuk melaksanakan tugas, fungsi dan perannya masing-

masing. Adanya aturan ini akan meningkatkan komitmen para pihak dalam pengelolaan

KPHL SBD secara menyeluruh.

5.14 Review Rencana Pengelolaan

Review rencana pengelolaan KPHL SBD dilakukan melalui kegiatan monitoring dan

evaluasi. Tujuan review ini adalah agar kegiatan pengelolaan KPHL SBD dapat dilaksanakan

sebagaimana perencanaan yang telah disusun, Kegiatan monitoring ini dilakukan dalam

rangka mengawasi, mengamati, atau melakukan pengecekan dengan cermat apakah

pelaksanaan pengelolaan KPHL SBD telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan

pegelolaan yang telah dibuat, atau apakah pengelolaan KPHL SBD tersebut masih dalam

koridor pencapaian tujuan yang telah ditetapkan di awal.

Fungsi dari monitoring adalah untuk mencatat atau mengetahui apa yang terjadi dalam

pelaksanaan suatu pengelolaan hutan ‘tanpa’ mempertanyakan mengapa hal tersebut terjadi

dan tidak melihat adanya hubungan sebab akibat mengapa hal tersebut terjadi. Sedangkan

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

140

tujuan dari evaluasi dalam pengelolaan hutan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan

efisiensi pelaksanaan dari rencana kegiatan yang ditetapkan.

Evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai

secara obyektif terhadap pencapaian hasil-hasil yang direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil

evaluasi dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi kegiatan-kegiatan perencanaan

selanjutnya. Evaluasi pada hakikatnya bermakna mempertanyakan aktualitas atau validitas

secara teknis dari rencana sesudah dilaksanakan. Evaluasi bersifat teknis dan berorientasi

pada pencapaian tujuan dan atau pemecahan masalah yang berbeda dengan pemeriksaan.

Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan dalam siklus

pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh umpan balik untuk menjadi

bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaaan

selanjutnya. Evaluasi dilakukan terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan

KPHL SBD yang mencakup seluruh kegiatan pengelolaan KPHL SBD yang telah

direncanakan di awal.

Supaya pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka dibuat suatu rencana

evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan pemberi arah bagi pelaksana dalam

berpikir dan bertindak. Rencana evaluasi disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu

dijawab melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan perencanaan dan pelaksanaan

kegiatan evaluasi:

a. Waktu melakukan evaluasi, dibagi menjadi: (1) Evaluasi tahunan dilaksanakan untuk

pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPHL SBD seperti yang tercantum dalam RKT, (2)

evaluasi 5 tahunan untuk kegiatan yang tercantum dalam Rencana pengelolaan KPHL

SBD, dan (3) evaluasi 10 tahunan untuk kegiatan yang tercantum dalam rencana

pengelolaan KPHL SBD;

b. Kegiatan evaluasi dilakukan melalui pengamatan terestris, penggunaan citra, kombinasi

terestris dan citra, penelusuruan dokumen, dan wawancara;

c. Pihak yang melakukan evaluasi adalah pengelola Kawasan KPHL, pihak ke-3 seperti

konsultan dan universitas, dan pemerintah (pusat, provinsi dan Kabupaten);

d. Biaya untuk melakukan evaluasi.

Evaluasi dalam pengelolaan hutan dilakukan dengan pendekatan goal oriented dan bukan

budget oriented. Evaluasi secara umum dibagi menjadi tiga kategori, sebagai berikut:

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

141

(1) Evaluasi tahap perencanaan, yaitu evaluasi dilakukan dalam rangka memilih dan

menentukan skala prioritas terhadap beberapa alternatif atau kemungkinan yang dapat

ditempuh / dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya;

(2) Evaluasi tahap pelaksanaan, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui tingkat

perkembangan atau tingkat kemajuan pelaksanaan pekerjaan, disbanding dengan

target rencana yang telah disusun. Evaluasi pada tahapan ini digunakan untuk menilai

apakah tujuan perencanaan masih tetap akan dapat dicapai;

(3) Evaluasi setelah pelaksanaan, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk membandingkan

hasil akhir pelaksanaan rangkaian kegiatan pengelolaan dengan perencanaan (hasil

akhir yang direncanakan).

Pengendalian kegiatan meliputi monitoring dan evaluasi kegiatan. Monitoring merupakan

kegiatan untuk memantau kegiatan pengelolaan KPHL SBD, yang dilakukan secara periodik

sesuai dengan jenis dan jangka waktu perizinannya. Berdasarkan hasil monitoring dan

evaluasi, dilakukan tindak lanjut berupa upaya penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan

pengelolaan hutan. Dalam perencanaan suatu kegiatan, penyelenggara kegiatan selalu

diperhadapkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Atas dasar itu maka suatu

rencana haruslah sedapat mungkin didasarkan dan berorientasi pada efisiensi penggunaan

waktu, tenaga dan biaya tersebut.

Perencanaan kegiatan dapat memberi informasi dan pemahaman tentang waktu dimulai

serta prakiraan dan realisasi waktu selesainya setiap tahapan kegiatan serta hubungan dan

saling ketergantungan antara setiap tahapan kegiatan proyek. Dengan demikian, akibat yang

muncul apabila salah satu tahapan kegiatan proyek terlambat dimulai dan/atau terlambat

selesai, dapat diketahui. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan perbaikan dan

penyempurnaan secara tepat waktu (jika terjadi kesalahan yang berkonsekuensi pada

keterlambatan dimulainya atau selesainya suatu tahapan kegiatan tertentu) dapat dilakukan

dengan segera. Setiap perencanaan kegiatan di KPHL SBD akan menggunakan network

planning (CPM/Critical path method, PERT/Program Evaluation and Review Technique, dan

Metode PM (Presedence Method). Network planning merupakan teknik perencanaan

menggunakan diagram atau grafik, yang sekaligus dapat menggambarkan hubungan dan

saling ketergantungan antara satu tahapan kegiatan dengan tahapan kegiatan lainnya dari

suatu proyek. Diagram atau grafik termaksud dianalisis dengan waktu sebagai unit analisis

dan hasil analisnya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

142

5.15 Pengembangan Investasi

Sebagai suatu unit kelola yang memiliki kewenangan untuk mengelola kawasannya sendiri,

upaya untuk mengembangkan investasi menjadi dimungkinkan. Pada prinsipnya, suatu

investasi yang akan dilakukan harus memiliki nilai tambah yang dapat dirasakan manfaatnya.

Terkait dengan pengangaran, maka pengembangan investasi ini dikenal dengan capital

budgeting (anggaran modal). Modal yang mendukung pengembangan investasi adalah

pembangunan infrastruktur yang mendukung pengelolaan KPHL.

Pengembangan infrastruktur fisik KPHL SBD terutama pengembangan infrastruktur di kantor

dan lapangan. Infrastuktur yang dikembangkan di lapangan sesuai dengan keperluan blok

arahan yang telah ditentukan. Pengembangan infrastruktur tersebut diharapkan tidak

mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya, tidak mengubah bentang

alam, dan tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan lainnya. Blok inti dan

perlindungan diarahkan kepada fungsi sebagai perlindungan tata air, erosi dan banjir

sehingga penyiapan infrastruktur berupa bangunan fisik minimal dibangun di wilayah ini

dibanding dengan blok pemanfaatan dan pemberdayaan.

Selain itu, skema-skema pengembangan investasi dapat dilakukan dan sesuai dengan

kondisi di tingkat tapak. Pengembangan investasi hasil hutan bukan kayu yang dapat

dikembangkan antara lain jenis kayu manis, kayu putih, dan gaharu serta jenis lainnya yang

dapat beradaptasi di wilayah NTT. Pihak pengelola KPH dapat berkerja sama dengan

perusahaan dalam bentuk kemitraan untuk mengembangkan jenis-jenis tertentu. Bentuk

pengembangan investasi diarahkan pada pengembangan investasi produksi hasil hutan

bukan kayu.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

143

PEMBINAAN, PEMANTAUAN DAN

PENGENDALIAN PELAPORAN

b

Dalam melaksanakan manajemen KPHL Sumba Barat Daya menganut manajemen adaptif

dengan menggunakan dua kunci manajemen yakni (1) menerapkan serangkaian kegiatan

manajemen berkelanjutan yakni plan, do, check dan action (PDCA), dan (2) perbaikan yang

terus menerus (continual improvement). Penerapan PDCA mencakup penetapan

perencanaan (Plan), melaksanakan perencanaan (Do), melakukan evaluasi kegiatan melalui

audit dan evaluasi (Check), dan melaksanakan hasil evaluasi (Action) dalam satu siklus

manajemen. Dalam melaksanakan perbaikan secara berkelanjutan perlu menetapkan

ukuran atau standar keberhasilan dalam setiap siklus manajemen. Kedua hal tersebut maka

manajemen yang digunakan akan selalu disesuaikan dengan perubahan secara internal

maupun eksternal KPHL Sumba Barat Daya.

Pada dasarnya KPH dibentuk sebagai bagian dalam upaya pelaksanaan efektivitas

manajemen hutan secara menyeluruh (nasional). Oleh karena itu, pihak yang

berkepentingan (stakeholder) mencakup pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten. Peranan para stakeholder diwujudkan dalam bentuk pembinaan, pengawasan

dan pengendalian (check) sebagai rangkaian manajemen berkelanjutan.

6.1. Pembinaan

Pembinaan dilakukan secara berjenjang sesuai kewenangan masing-masing yakni oleh

pemerintah, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pemerintah kabupaten Sumba

Barat Daya. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan Norma,

Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang terkait dengan pengelolaan hutan produksi.

Disamping itu juga meliputi pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan

tugas perbantuan, pinjaman dan hibah luar negeri dalam pengelolaan KPHL SBD.

Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas

Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur berupa pembinaan terhadap pelaksanaan

pengelolaan KPHL SBD yang berskala regional.

Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berupa

pembinaan dalam penyelenggaraan pengelolaan pada skala tapak. Pembinaan yang

diberikan dapat berupa pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan atau

BAB

6

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

144

supervisi. Pembinaan dilakukan secara berkala1 setiap semester (6 bulan), dan dalam

keadaan tertentu dapat dilakukan pembinaan secara khusus. Hasil pembinaan digunakan

sebagai bahan evaluasi perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan, dan/atau

perbaikan terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.

6.2. Pengawasan

Pemerintah pusat menetapkan standar keberhasilan suatu KPHL yakni NSPK. Oleh karena

itu, untuk memastikan efektifitas KPHL SBD dalam pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur,

dan Kriteria (NSPK) yang terkait dengan pengelolaan hutan produksi, pemerintah akan

melakukan pengawasan (check). Disamping itu juga mencakup pengawasan terhadap

efektifitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas perbantuan, pinjaman dan hibah luar

negeri dalam pengelolaan KPHL SBD.

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas

Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi pengawasan terhadap efektifitas

pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan KPHL SBD yang memiliki keterkaitan dengan

kewenangan Pemerintah Provinsi.

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup

pengawasan terhadap efektifitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan KPHL SBD

pada skala tapak. Pengawasan secara formal dilakukan secara berkala setiap semester (6

bulan), dan dalam keadaan tertentu dapat dilakukan pengawasan secara khusus. Hasil

pengawasan digunakan sebagai bahan perbaikan perencanaan dan pelaksanaan

pengelolaan, dan/atau perbaikan terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.

Serangkaian pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten, merupakan perwujudan dalam melaksanakan manajemen adaptif

yang berpegang pada prinsip manajemen berkelanjutan dalam memastikan agar

pelaksanaan (do) sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (plan).

6.3. Pengendalian

Dalam satu siklus manajemen langkah terakhir adalah action yakni melaksanakan kegiatan

hasil rekomendasi dari kegiatan pengawasan. Dengan demikian peranan pengendalian

adalah untuk memastikan bahwa hasil pengawasan yang dilakukan telah dilakukan sehingga

langkah yang dilakukan KPHL SBD kearah capaian yang diharapkan.

Pengendalian meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan

KPHL SBD. Kegiatan monitoring dilakukan agar hasil yang dicapai dapat memenuhi standar

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

145

atau sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Monitoring dan evaluasi secara formal

dilakukan secara berkala setiap semester (6 bulan), dan dalam keadaan tertentu dapat

dilakukan monitoring dan evaluasi secara khusus. Hasil pengendalian digunakan sebagai

bahan evaluasi perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan, dan/atau perbaikan

terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.

Mekanisme pengendalian KPHL SBD ini merupakan wujud dalam pelaksanaan prinsip dasar

peningkatan yang terus menerus (continual improvement). Dengan prinsip ini maka

manajemen KPHL SBD akan semakin baik dan selalu beradaptasi dengan perubahan

kondisi internal maupun eksternal KPHL SBD itu sendiri.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

146

PEMANTAUAN, EVALUASI DAN

PELAPORAN

Pada rencana pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya, kegiatan pemantauan dan evaluasi

kegiatan merupakan kegiatan penting yang direncanakan akan dilaksanakan. Tujuannya

agar seluruh kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan mengarah pada tercapainya visi,

misi dan tujuan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya yang sudah ditetapkan di awal. Selain

itu kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan juga termasuk ke dalam kegiatan yang

direncanakan, untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian dan keberhasilan dari suatu

program pengelolaan yang dilaksanakan.

7.1. Pemantauan

Kegiatan pemantauan merupakan upaya yang perlu dilakukan secara kuantitatif baik yang

menyangkut pelaksanaan kegiatan maupun hasil dari proses-proses yang dilakukan.

Kegiatan pemantauan harus melibatkan alat dan sistem pemantauan yang terintegrasi

sehingga para pemangku kepentingan dapat melakukan pemantauan terhadap proses-proses

dan mengukur keberhasilan dan kegagalan dari proses yang dijalankan.

Komponen pemantauan dilandaskan pada semua aspek yang berkaitan dengan aktivitas

pelaksanaan pengelolaan KPHL SBD. Dengan kata lain hal-hal yang akan menjadi komponen

pemantauan adalah meliputi semua aspek pelaksanaan rencana pengelolaan KPHL SBD yang

telah disusun dan disepakati secara bersama, yang meliputi aspek persiapan program yang

mencakup arahan pencapaian tujuan, hasil, dan dampak program serta aspek pelaksanaan

program yang mencakup masalah yang dihadapi dan pencapaian tujuan, hasil, dan dampak

nyata dari program/kegiatan. Penanganan permasalahan KPHL SBD (pengelolaan KPHL SBD)

secara terpadu harus memenuhi standar hasil pencapaian sasaran dari program/kegiatan

pengelolaan KPHL yang telah disusun.Beberapa kegiatan penting pemantauan yang perlu

dilakukan secara singkat disajikan pada Tabel 7.1

BAB

7

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

147

Tabel 7. 1 Kegiatan Pemantauan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL SBD

Jenis Pemantauan Frekuensi Skala

Kondisi lingkungan

Kondisi tata air

Kondisi sosial ekonomi

o Tahunan

o Tahunan

o Tahunan

Wilayah KPHL

Wilayah KPHL

Desa/Kecamatan

Penataan hutan

Kondisi Flora dan Fauna

Kualitas air

Pengembangan wisata alam

Sosial ekonomi masyarakat

o 1-2 tahun

o 1-2 tahun

o Tahunan

o 1-2 tahun

o Tahunan

Wilayah KPHL

Wilayah KPHL

Wilayah KPHL

Wilayah KPHL

Desa/Kecamatan

Implementasi kegiatan o Jejak kemajuan

o Analisis arah

perubahan

Blok/Tapak

Pemantauan dilakukan secara terus menerus terhadap pelaksanaan suatu tugas dan fungsi

satuan organisasi. Kegiatan pemantauan yang dilanjutkan dengan evaluasi dapat dilakukan

oleh unsur internal KPHL maupun unsur eksternal baik oleh instansi pemerintah maupun

masyarakat. Pemantauan terhadap jalannya pengelolaan kawasan dilaksanakan oleh internal

KPHL bersama-sama dengan instansi terkait dan pihak ke-3 sebagai mitra. Pemantauan

dilaksanakan dengan melakukan penilaian terhadap seluruh komponen kegiatan

pengelolaan. Hasil yang diperoleh dari pemantauan akan dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam evaluasi pengelolaan. Jangka waktu pemantauan dapat dilakukan

secara berkala. Evaluasi dilakukan dengan melihat ukuran kuantitatif dan kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan, yang dikategorikan kedalam kelompok

masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan manfaat (benefits).

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi mencakup :

1. Pemantauan dan evaluasi oleh internal KPHL SBD;

2. Pemantauan dan evaluasi oleh institusi lain;

3. Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat.

Kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan guna menjamin jalannya proses pengelolaan

dan tercapainya tujuan yang diharapkan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk melihat

sejauh mana pencapaian seluruh kegiatan yang sudah dilaksanakan. Pemantauan dan

evaluasi dimulai dari pembinaan pada tingkat manajemen KPHL SBD dengan pengawasan

pada tingkat internal sebagai penilai dan pengontrol sampai kepada proses di lapangan.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

148

7.2. Evaluasi

Evaluasi dilakukan oleh pihak pemangku kebijakan pengelolaan KPHL SBD dan setiap

anggota kelompok dituntut partisipasinya secara aktif sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini

diharapkan akan terlaksana dengan baik maka harus dikelola oleh petugas tertentu

mengingat kegiatan ini akan dilaksanakan secara terus-menerus dan diyakini akan timbul

berbagai masalah jika tidak ada yang bertanggung jawab secara khusus dalam menangani

kegiatan pemantauan dan evaluasi ini. Kendatipun demikian keterlibatan para pihak tetap

penting dalam memberikan data dan informasi yang akurat, memberikan verifikasi dan

justifikasi data dan informasi yang diperoleh, memberikan kontribusi dalam membicarakan

temuan-temuan di lapangan, dan memberikan kontribusi dalam membangun rencana tindak

lanjut dan aktivitas bersama.

Evaluasi yang efektif harus meliputi 5 komponen yaitu: monitoring, penilaian kinerja, adaptif

manajemen, operasional dan prosedur serta menyusun laporan final kegiatan. Pada tahapan

evaluasi harus dapat diidentifikasi apakah rencana yang telah ditetapkan dapat tercapai, apa

hambatan yang ditemui serta masukan apa yang diperlukan untuk perbaikan di kemudian

hari. Tahapan evaluasi digambarkan pada Gambar 50.

Gambar 50. Alur Pelaksanaan Evaluasi Rencana Pengelolaan Hutan

Hasil yang diperoleh pada kegiatan pemantauan dan evaluasi akan menjadi masukan kepada

KPHL SBD sebagai bahan dalam menentukan kebijakan di rencana dan pelaksanaan kerja

periode berikutnya. Kegiatan pemantauan dan evaluasi ini dilaksanakan dalam bentuk

kegiatan sebagai berikut :

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

149

1. Membangun mekanisme pelaporan yang efektif dan efisien;

2. Rapat pembinaan reguler;

3. Sistem Pengawasan Internal Instansi.

Evaluasi keberhasilan program pengelolaan Kawasan KPHL SBD dapat diukur dari :

a. Tercapainya kelestarian produksi, ekologi dan jasa ekosistem dalam pengelolaan

KPHL SBD;

b. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan Kawasan KPHL SBD

semakin menurun;

c. Timbulnya kesadaran dan meningkatnya peran aktif masyarakat terutama yang

di sekitar kawasan untuk menjaga dan melindungi kawasan KPHL SBD dari

gangguan keamanan kawasan serta berkembangnya nilai-nilai kearifan lokal

masyarakat dalam mendukung pengelolaan kawasan;

d. Berhasilnya program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan sebagai

upaya alternatif dalam peningkatan perekonomian masyarakat;

e. Meningkatnya partisipasi pengelolaan kawasan oleh seluruh stakeholder yang

memiliki kepedulian terhadap keberhasilan pembangunan KPHL SBD , para pihak

dimaksud yaitu: Pemerintah Pusat, Kepala KPHL SBD sebagai Unit Pelaksana

Teknis Daerah pengelola KPHL SBD, Pemerintah Daerah provinsi dan Kabupaten,

dan investor, LSM, masyarakat dan mitra pendukung lainnya;

f. Tersedianya data dan informasi mengenai potensi kawasan.

7.3. Pelaporan

Pelaporan merupakan bentuk pertanggungjawaban kegiatan mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pada instansi pemerintah, pelaporan

seluruh kegiatan yang dilaksanakan disampaikan dalam Laporan. Pelaporan kinerja

dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja dari suatu instansi pemerintah

dalam satu tahun anggaran, yang dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan sasarannya.

Penyampaian laporan disampaikan kepada pihak yang memiliki hak atau yang

berkewenangan meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Pada kegiatan pelaporan,

kepala KPHL SBD melaporkan hasil akhir seluruh kegiatan secara berkala khususnya

terhadap kegiatan pengelolaan yang telah direncanakan sebelumnya dan realisai

pelaksanaan kegiatannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Acuan yang digunakan

dalam pelaporan adalah berdasarkan standar prosedur operasional yang berlaku pada

lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelaporan disusun dengan mengacu

kepada Prosedur Kerja pelaporan berdasarkan standar prosedur operasional yang berlaku

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

150

pada lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelaporan disusun dengan

mengacu kepada Prosedur Kerja KPHL SBD.

Tahapan dari penyampaian laporan dimulai dari penyiapan format laporan, penyusunan

bahan laporan dan resume telaahan bahan laporan sampai pada tahap penyusunan Laporan

Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan. Seluruh laporan

yang telah tersusun ditandatangani oleh Kepala KPHL SBD dan disampaikan kepada Menteri

Lingkungan Hidup dan kehutanan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan

Kabupaten Sumba Barat daya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

151

Penentu keberhasilan pembangunan KPHL adalah adanya komitmen para pihak untuk ikut

berpartisipasi secara aktif terhadap pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya. Tercukupinya staf

pengelola baik administrasi maupun teknis lapangan yang sesuai dengan beban kerja yang

dimiliki, konsistensi kebijakan, dan adanya kepastian hukum atas kawasan yang dikelola

melalui penataan batas yang partisipatif. Selain itu, adanya pengakuan hak-hak masyarakat

atas sumber daya hutan sebagai bentuk insentif yang mampu meningkatkan partisipasi

masyarakat untuk membantu pengelolaan dan mengawasi setiap gangguan dan ancaman

yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan hutan di wilayah KPHL Sumba Barat

Daya. Semua peran tersebut akan berjalan baik dengan berpedoman pada prinsif efisiensi

dan efiktifitas pengelolaan, kelestarian, keadilan serta kesejahteraan untuk mencapai

kelestarian ekosistem.

Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang disusun sebagai acuan, pedoman dan arahan

berbagai strategi kegiatan agar pengelolaan KPHL dilaksanakan secara benar, efisien dan

efektif. Rencana kegiatan disusun berdasarkan informasi yang tersedia, meliputi berbagai

potensi, permasalahan dan peluang yang ada di KPHL SBD. Hasil analisa data tersebut

diwujudkan dalam butiran rencana kegiatan yang ditujukan untuk menjabarkan setiap misi

yang telah ditetapkan guna mewujudkan visi KPHL SBD. KPHL SBD memiliki banyak potensi,

terutama potensi ekowisata. KPHL SBD menetapkan ekowisata sebagai bentuk pengelolaan

yang menjadi fokus utama. Berbagai kegiatan direncanakan akan dilaksanakan untuk

mendukung hal tersebut, dimulai dengan Pemantapan pengelolaan sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya di kawasan KPHL dan sekitarnya secara terpadu, Optimalisasi

pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari, berkelanjutan dan mandiri, Rehabilitasi

Hutan, Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola KPHL dan masyarakat

sebagai mitra pembangunan KPH, Pemantauan dan evaluasi kinerja pengelolaan KPHL,

Peningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah dan swasta (mitra

usaha) dalam mendukung pembangunan kehutanan, Peningkatan kapasitas sumberdaya

manusia pengelola KPH dan masyarakat sebagai mitra pembangunan KPH, Pemantauan dan

evaluasi kinerja pengelolaan KPHL, Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat,

pemerintah dan swasta (mitra usaha) dalam mendukung pembangunan kehutanan, dan

Peningkatan upaya perlindungan hutan, penegakan hukum dan keamanan.

BAB

8 PENUTUP

RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya

152

LAMPIRAN