Rencana Penelitian PPN Lelang Hak Tanggungan

39
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SELATAN RENCANA PENELITIAN TINJAUAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA LELANG EKSEKUSI UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP POTENSI PENERIMAAN NEGARA Diajukan oleh : ARDIAN GALUH SETYAWAN NPM : 144060006259 Kelas 8-C Khusus Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

description

Rencana Penelitian PPN Lelang Hak Tanggungan

Transcript of Rencana Penelitian PPN Lelang Hak Tanggungan

8

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

RENCANA PENELITIAN

TINJAUAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA LELANG EKSEKUSI UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP POTENSI PENERIMAAN NEGARA

Diajukan oleh :

ARDIAN GALUH SETYAWAN

NPM : 144060006259

Kelas 8-C Khusus

Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

TANDA PERSETUJUAN

RENCANA PENELITIAN

NAMA:ARDIAN GALUH SETYAWAN

NOMOR POKOK MAHASISWA:144060006259

JUDUL PENELITIAN:TINJAUAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA LELANG EKSEKUSI UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP POTENSI PENERIMAAN NEGARA

Mengetahui

Menyetujui

Kepala Bidang Akademis Pendidikan Akuntan,

Dosen Pengajar,

Dra. Lies Sunarmintyastuti,M.M.

Rahmadi Murwanto

NIP 195705201982022001

NIP 197003131990031001

DAFTAR ISI

BAGIAN PENDAHULUAN

1. Halaman Judul i

2. Tanda Persetujuan Rencana Penelitian ii

3. Daftar Isiiii

BAGIAN ISI

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian 1

2. Pertanyaan Penelitian 2

3. Tujuan Penelitian 2

4. Sistematika Penulisan 2

B. LANDASAN TEORI

1. Landasan Teori3

2. Kerangka Berpikir13

C. METODOLOGI PENELITIAN

1. Gambaran Umum Objek dan Alasan Pemilihan Objek14

2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data14

3.Teknik Pengumpulan Data14

4.Rencana Daftar Pustaka15

BAGIAN PENUTUP

A. KONTIJENSI16

B. LAMPIRAN17

BAGIAN ISI

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian

Lelang Eksekusi Hak Tanggungan adalah lelang eksekusi pelaksanaan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Lelang eksekusi UU Hak Tanggungan dilaksanakan berdasarkan titel eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan. Apabila debitur cidera janji, sehingga pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum untuk mengambil pelunasan atas piutangnya.

Dalam pelaksanaan lelang eksekusi UU Hak Tanggungan, negara berpotensi memperoleh pendapatan dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurut PMK No.106/PMK.06/2013 tentang Perubahan PMK No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, melalui lelang eksekusi Hak Tanggungan, negara memperoleh PNP berupa PPh Final dan BPHTB, sedangkan PNBP berupa hasil pokok lelang dan bea lelang.

Beberapa kurun waktu terakhir, terdapat permasalahan mengenai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas hasil lelang eksekusi wajib UU Hak Tanggungan yang merupakan penjualan Barang Kena Pajak. Padahal berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai, pada Pasal 1A ayat 1 huruf c disebutkan bahwa yang termasuk penyerahan Barang Kena Pajak (objek PPN) meliputi penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang. Dalam ketentuan lebih lanjut disebutkan bahwa juru lelang adalah juru lelang yang ditunjuk oleh pemerintah, yang kemudian disebut Pejabat Lelang Kelas I pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Menurut amanat Undang-Undang PPN tersebut, diwajibkan dipungut PPN atas pengalihan hak/pemindahtanganan objek lelang yang merupakan Barang Kena Pajak. Namun begitu dalam praktik di lapangan, fakta pengaplikasian amanat ketentuan perundangan tersebut belum dapat dilaksanakan dengan optimal.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi sistem penungutan PPN atas lelang eksekusi Hak Tanggungan. Adapun judul penelitian yang diambil oleh penulis adalah TINJAUAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA LELANG EKSEKUSI UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP POTENSI PENERIMAAN NEGARA.

2. Pertanyaan Penelitian

Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

a. Apa saja sumber penerimaan Negara terkait pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan?

b. Bagaimana potensi pengenaan PPN pada lelang eksekusi Hak Tanggungan?

c. Bagaimana aplikasi di lapangan terkait pelaksanaan pungutan penerimaan negara berupa PPN pada lelang eksekusi Hak Tanggungan?

d. Bagaimana alternatif desain pemungutan potensi PPN pada lelang eksekusi Hak Tanggungan?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui sumber-sumber penerimaan negara terkait pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan

b. Untuk menganalisis potensi PPN pada lelang eksekusi Hak Tanggungan

c. Untuk menganalisis pelaksanaan pemungutan PPN pada hasil lelang eksekusi UU Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan hukum dan isu berkembang terkait implementasi kebijakan pelaksanaannya di lapangan.

d. Merancang desain pemungutan PPN atas lelang eksekusi Hak Tanggungan untuk lebih mengoptimalkan potensi penerimaan negara.

4. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam lima bab dan tiap bab terbagi dalam beberapa subbab dengan urutan penyajian dan isinya adalah sebagai berikut:

BAB IPENDAHULUAN

Bab ini merupakan pengantar menuju pembahasan permasalahan. Di dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan sistematika penulisan.

BAB IILANDASAN TEORI

Bab ini menjabarkan kerangka teori yang bersifat umum dan khusus yang menjadi dasar dari penelitian ini. Pengembangan teori yang menjadi konsep dasar untuk dijadikan kerangka pikir penelitian.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai gambaran umum objek penelitian, jenis, sumber data, dan teknik pengumpulan data.

BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas hasil pengumpulan data, hasil pengolahan data penelitian dan interpretasi.

BAB VSIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN

Bab ini berisi kesimpulan hasil analisis, keterbatasan penelitian dan saran yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan.

B. LANDASAN TEORI

1. Pengertian dan Ciri-Ciri Hak Tanggungan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Istilah yang sering dipakai adalah agunan.

Pengertian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka (1) UUHT yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Selain pengertian Hak Tanggungan dalam UUHT, Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah:

Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.

Definisi yang dikemukakan Budi Harsono ini menekankan pada penguasaan hak atas tanah oleh kreditur sebagai agunan yang secara fisik tetap dikuasai pemiliknya, namun baru dijual lelang bila debitur cedera janji.

Mengenai pengertian Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT di atas, latar belakangnya diuraikan dalam Penjelasan Umum angka 6 yang lebih lanjut mengemukakan ciri Hak Tanggungan. Ciri Hak Tanggungan adalah:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa ciri-ciri Hak Tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu pasal yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:

1. hak jaminan;

2. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;

3. untuk pelunasan suatu hutang;

4. memberikan kedudukan yang diutamakan.

2. Eksekusi Hak Tanggungan

Adapun yang disebut dengan eksekusi Hak Tanggungan adalah jika debitur cidera janji maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain.

Syarat dan cara eksekusi dikemukakan oleh Ignatius Ridwan Widyadharma bahwa apabila debitur cidera janji dapat ditempuh eksekusi Hak Tanggungan lewat dua kemungkinan yaitu:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.

b. Titel eksekutorialnya yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pendapat di atas didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, selengkapnya Pasal 20 menegaskan :

1) Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya ;

2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak ;

3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan ;

4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),batal demi hukum ;

5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.

Adanya janji untuk menjual sendiri di atur dalam Pasal 6 UUHT yang menentukan bahwa:

apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Penjelasan Pasal 6 UUHT menyatakan :

Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri, merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.

Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang. Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan(APHT) atas hak atas tanah. Kalau hak ini tidak diperjanjikan dalam APHT, maka eksekusinya tidak dapat dilaksanakan berdasar Pasal 6 UUHT.

3. Pengertian Lelang Eksekusi Hak Tanggungan dan Pejabat Lelang Kelas I

Lelang menurut ketentuan Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonansi 28 Februari 1908, S. 1908-189, berlaku sejak 1 April 1908 Dg. S. 1940-56 jo. S. 1941) pasal 1 disebutkan bahwa:

penjualan umum" (openbare verkopingen) adalah pelelangan atau penjualan barang- barang yang dilakukan kepada umum dengan penawaran harga yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diizinkan untuk ikut-serta, dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.(Vendu-regl. Ib, 94.5.).

Peraturan pelaksanaan dari Vendu Reglemen dibuatlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan tersebut dijelaskan pengertian lelang yaitu:

penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.

Selanjutnya pengertian Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.

Penjualan lelang mempunyai tujuan agar penjualan barang menjadi terbuka, dan dapat membentuk harga wajar, serta secara tidak langsung masyarakat dapat ikut mengawasi pelaksanaan lelang tersebut. Selain itu, penjualan melalui lelang juga dimaksudkan agar penjualan barang yang merupakan wujud eksekusi dari tindakan penagihan yang dapat diketahui masyarakat dan dapat menimbulkan efek jera bagi debitur. Lebih lanjut dituangkan menurut PMK No 93/PMK.06/2010 Lelang Eksekusi adalah:

lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, dokumen- dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau, melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan pasal 5 PMK No 93/PMK.06/2010 lelang eksekusi terbagi menjadi:

Lelang Eksekusi termasuk tetapi tidak terbatas pada: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia, Lelang Eksekusi Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai atau Barang yang Dikuasai Negara Bea Cukai, Lelang Barang Temuan, Lelang Eksekusi Gadai, Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang diatur bahwa penjualan melalui lelang dilakukan dihadapan Pejabat Lelang, pelaksana lelang adalah Pejabat Lelang. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan tersebut diatur bahwa setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau di hadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat dibatalkan. Selanjutnya, yang menjadi Pejabat Lelang menurut Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah:

a. Pejabat Lelang Kelas I; dan

b. Pejabat Lelang Kelas II.

Terkait dengan lelang eksekusi Hak Tanggungan maka Pejabat Lelang yang akan dibahas adalah Pejabat Lelang Kelas I yang berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang atas permohonan Penjual/Pemilik Barang. Lebih jelas dituangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat 14 dan 15 PMK No.106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menyebutkan definisi Pejabat Lelang yaitu:

(14)Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.

(15)Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela.

4. Teori Perpajakan

Menurut Smeets dalam Brotodiharjo (2008: 04) Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma- norma umum, yang dapat dipaksakan tanpa kontra prestasi, yang dapat ditujukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.

a. Fungsi Pajak

Menurut Soemitro (2005:18) yaitu:

1) Fungsi penerimaan (Budgetair)

2) Fungsi mengatur (Regulator)

b. Pemungutan Pajak

Menurut Sumarsan (2011:6), sistem pemungutan pajak di Indonesia terbagi atas :

1) Official Assessment System

2) Self Assessment System

3) Withholding System

c. Asas Pemungutan Pajak

Asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Smith dalam Waluyo (2011:13) adalah sebagai berikut:

1) Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan)

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

2) Asas Certainty (asas kepastian hukum)

semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

3) Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan)

pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

4) Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis)

biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

d. Stelsel Pengenaan Pajak

Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu stelsel fiksi, stelsel riil, dan kombinasi antara stelsel fiksi dan stelsel riil.

1) Stelsel Fiksi (Pengenaan di Depan)

Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi UU. Misalnya, penghasilan seorang Wajib Pajak pada tahun berjalan dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, tanpa memperhatikan kondisi yang sesungguhnya atas besarnya penghasilan pada tahun berjalan yang seharusnya ,menjadi dasar penetapan besarnya utang pajak pada tahun berjalan. Dengan adanya anggapan yang demikian, fiskus dapat dengan mudah menetapkan besarnya utang pajak pada tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperdua belas dari besarnya PPh tahun pajak yang lalu.

2) Stelsel Riil (Pengenaan di Belakang)

Pengenaan di belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam suatu tahun pajak. Karena besarnya pajak yang diperoleh seorang Wajib Pajak baru diketahui akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya suatu tahun pajak. Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara di belakang diketahui dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 29, yang selengkapnya menyatakan: Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalm Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

3) Kombinasi Stelsel Fiksi dan Stelsel Riil (Pengenaan Cara Campuran)

Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak, fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam UU, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan pajak berdasrkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prisipnya mendasarkan pengenaan pajak dengan cara campuran ini. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal 29 UU PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di belakang. Pengenaan cara campuran ini merupakan cara yang sangat efektif dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan oleh pemerintah.

5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

a. Pengertian PPN

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dibayarkan atas konsumsi barang atau jasa oleh orang pribadi atau badan (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009).

b. Fungsi PPN

Fungsi PPN adalah Sebagai Penerimaan Negara, memeratakan beban pajak, mengatu pola konsumsi masyarakat, mendorong ekspor pengusaha, mendorong investor untuk berinvestasi, membantu pengusaha kecil meningkatkan usaha (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009).

c. Karakteristik PPN

1) Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.

2) Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi Pajak Objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.

3) Menghindari pengenaan pajak berganda.

4) Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung, yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran. (Yamin. 2012)

d. Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Objek PPN adalah Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam daerah Pabean atau dari luar pabean ke dalam daerah pabean baik yang berwujud dan tidak berwujud.

Barang Kena Pajak adalah Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang di kenakan pajak berdasarkan UU. Penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN.

Jasa Kena Pajak adalah Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan UU.

Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak dan Pengusaha Kecil yang dikukuhkan sebagai PKP (Undang-Undang Nomor 42 Tahun).

6. Objek Pajak dan Subjek Pajak Perbankan

Dalam ketentuan perpajakan di Indonesia diatur bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Umum merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak terutang PPN dan yang terutang PPN. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang objektif, sehingga harus ditentukan dengan jelas objek dasar pengenaan pajak. Berdasarkan Pasal 1A huruf c UU No. 42 tahun 2009 disebutkan bahwa objek pajak PPN yang termasuk Barang Kena Pajak adalah penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang.

Selain itu pada pasal 16D UU No. 42 tahun 2009 disebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak .... Dalam poin tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Penjual Kena Pajak (PKP) dalam hal ini adalah bank kreditur yang tidak bergerak dalam usaha jual beli dan tidak mempunyai tujuan awal menjual tanah/bangunan. Terkait salah satu fungsinya sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat, bank melaksanakan ketentuan UU Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut antara lain adalah menyimpan barang jaminan Hak Tanggungan dan apabila terdapat wanprestasi debitur, bank dapat melakukan pelelangan umum. Berdasarkan pengertian diatas maka barang jaminan Hak Tanggungan adalah Barang Kena Pajak (BKP).

Lebih lanjut berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-121/PJ./2010 tanggal 23 November 2010 disebutkan bahwa:

Kegiatan usaha Bank Umum yang merupakan penyerahan jasa yang terutang PPN meliputi :

a. memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah;

b. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

c. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

d. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

e. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;

f. membeli, menjual atau menjamin untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;

g. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

h. surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

i. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

j. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

k. obligasi;

l. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

m. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.

n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping usaha pada butir tersebut diatas, bank umum juga dapat melakukan kegiatan yang bukan merupakan penyerahan jasa, misalnya berupa membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12A UU Perbankan. Dalam hal ini, penjualan agunan, yang telah diambil alih oleh bank tersebut, merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN.

KERANGKA BERPIKIR

Bank Umum mempunyai fungsi sebagai badan pelaksana simpan pinjam, dan terkait salah satu fungsinya sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit kepada masyarakat, bank melaksanakan ketentuan UU Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut antara lain adalah menyimpan barang jaminan Hak Tanggungan dan apabila terdapat wanprestasi debitur, bank dapat melakukan pelelangan umum. Ketentuan perpajakan di Indonesia mengatur bahwa jasa perbankan terkait penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa agunan oleh Perbankan dikenakan PPN. Berdasarkan pengertian diatas maka barang jaminan Hak Tanggungan adalah Barang Kena Pajak (BKP). Bank sebagai penyerah BKP wajib melaporkan ke KPP dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak atas kegiatan penjualan barang agunan/jaminan. Oleh karena itu bank wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang.

Berdasarkan yurisdiksi dan penjelasan di atas, pada prinsipnya proses penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah termasuk objek PPN. Selanjutnya lebih spesifik untuk penjualan lelang atas barang jaminan Hak Tanggungan berupa tanah dan/atau bangunan pada dasarnya juga merupakan objek PPN dikarenakan memenuhi unsur diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (bank kreditur) dan unsur penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang pemerintah. Faktanya di lapangan, pemungutan PPN atas hasil lelang eksekusi Hak Tanggungan tidak optimal. Lelang eksekusi Hak Tanggungan pada dasarnya harus dikenakan PPN atas hasil lelang. Namun begitu, dikarenakan masih terhambat oleh faktor-faktor tertentu, pelaksanaannya belum maksimal. Oleh karena itu penulis berkeinginan untuk melakukan analisis terhadap prosedur pemungutan, hambatan-hambatan, dan merancang desain pemungutan PPN atas lelang eksekusi Hak Tanggungan untuk lebih mengoptimalkan potensi penerimaan negara.

C. METODOLOGI PENELITIAN

1. Gambaran umum objek dan alasan pemilihan objek

Objek penelitian ini adalah kebijakan mengenai pengenaan PPN dan prosedur pemungutan PPN atas lelang eksekusi hak tanggungan. Alasan penulis memilih objek penelitian tersebut adalah karena saat ini tengah menjadi issue yang sedang menjadi pembahasan di lingkungan kerja penulis.

2. Jenis dan sumber data

Data yang digunakan didasarkan pada dua jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer (Primary Data), yaitu data yang diperoleh langsung dari entitas bisnis, dalam hal ini adalah Kantor Pemerintah yaitu Direktorat Lelang DJKN.

b. Data Sekunder (Secondary Data), yaitu data yang diperoleh dari makalah ilmiah dan data kepustakaan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data-data untuk penelitian ini adalah :

a. Dokumentasi

Penulis mengadakan observasi langsung pada tempat penelitian untuk lebih mengarahkan pada masalah penelitian yang dimaksud, dan mencatat hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang diteliti secara objektif.

b. Wawancara

Melakukan wawancara langsung dengan pihak terkait, antara lain pegawai Direktorat Lelang DJKN, Pejabat Lelang Kelas I di KPKNL, Account Representative di KPP, Bendahara Penerimaan.

c. Penelitian Kepustakaan

Penelitian Kepustakaan dilakukan dengan membaca dan mempelajari sumber-sumber kepustakaan, seperti buku-buku literature, peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang berhubungan erat dengan penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar teori yang melengkapi proses penelitian.

4. Rencana Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonansi 28 Februari 1908, S. 1908-189, berlaku sejak 1 April 1908 Dg. S. 1940-56 jo. S. 1941).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-121/PJ./2010 tanggal 23 November 2010

http://www.ortax.org

BAGIAN PENUTUP

A. KONTINJENSI

Apabila dalam kegiatan penyusunan penelitian ini penulis mendapatkan hambatan baik dalam hal pengumpulan data ataupun pembahasan masalah, akan dilakukan perubahan-perubahan dari rencana penelitian sebagaimana yang telah disusun. Perubahan tersebut dapat terdiri dari objek penelitian, perubahan metode penelitian, perubahan pendekatan penyusunan penelitian, atau perubahan judul, bab dan subbab penelitian. Sesuai dengan ketentuan, sebelum melakukan perubahan-perubahan tersebut, penulis akan menyampaikan dan mengkonsultasikan terlebih dahulu dengan dosen pengajar. Selama melakukan penyusunan penelitian, penulis bertempat tinggal di :

1. Domisili : Jalan Cendrawasih 7/12, PJMI, Pondok Aren, Tangerang Selatan

2. Rumah : Jalan Pajajaran Timur 2 No. 2b Sumber, Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah

3. No HP : 085640921721

4. Email : [email protected]

B. LAMPIRAN1. Rencana Pertanyaan Wawancara Pegawai Direktorat Lelang DJKN

1. Bagaimana ketentuan dasar peraturan terkait pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan?

a. Peraturan yang mengatur: UU Nomor 4 Hak tanggungan, PMK No. 93/PMK.06/2010 jo PMK No. 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

b. Prosedur tahap pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan

1) Pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan disertai dokumen-dokumen persyaratan lelang. Adapun dokumen persyaratan lelang adalah sebagai berikut :

i. Surat Permohonan Lelang

ii. Surat Penunjukkan Pejabat Penjual

iii. Daftar Objek Lelang beserta Nilai Limit

iv. Daftar Rincian Hutang

v. Surat Pernyataan bertanggung jawab apabila terdapat gugatan perdata maupun tuntutan pidana

vi. Surat Pernyataan telah dinilai oleh Penilai Publik, untuk objek lelang dengan nilai limit di atas Rp300.000.000,00

vii. Fotokopi Perjanjian Kredit beserta addendum-addendumnya

viii. Fotokopi Sertipikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan

ix. Fotokopi Bukti Kepemilikan, apabila bukti kepemilikan tidak dikuasai disertai dengan surat pernyataan yang menyebutkan alasannya.

x. Fotokopi bukti debitur wanprestasi, yaitu adanya surat-surat peringatan.

2) Setelah dokumen diterima dan dinyatakan lengkap oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), maka ditetapkan tanggal pelaksanaan lelangnya.

3) Berdasarkan surat penetapan tersebut, pemohon mengumumkan melalui media yang ditentukan berdasarkan tanggal pengumuman yang telah disebutkan dalam surat penetapan.

4) Pembeli lelang wajib menyetorkan uang jaminan sebagaimana disebutkan dalam pengumuman, apabila berkeinginan menjadi peserta lelang.

5) Pada hari H pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang membuka dan menawarkan objek lelang. Apabila tidak ada peserta lelang yang mengikuti maka lelang dibuat Risalah Tidak Ada Penawaran.

2. Apa hasil lelang eksekusi hak tanggungan dan potensi apa saja terkait penerimaan negara?

Hasil penjualan dari pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dan penyetorannya, dapat diuraikan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :

1) Hasil bersih lelang

Hasil bersih lelang disetorkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah pemohon lelang eksekusi hak tanggungan.

Dasar Perhitungan : Pokok Lelang Bea Lelang Penjual Pajak Penghasilan

2) Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan disetorkan ke kas negara.

Dasar Perhitungan : 5% x Pokok Lelang

3) Bea lelang penjual

Bea lelang penjual disetorkan ke kas negara

Dasar Perhitungan : 1,5% x Pokok Lelang

4) Bea lelang pembeli

Bea lelang pembeli disetorkan ke kas negara

Dasar Perhitungan : 2% x Pokok Lelang

Berdasarkan keempat bagian tersebut di atas maka yang berpotensi sebagai penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan, Bea Lelang Penjual dan Bea Lelang Penjual.

Di samping keempat bagian tersebut, potensi hasil lelang yang ada adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB sejak tahun 2011 berdasarkan amanat UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah menjadi potensi penerimaan pemerintah daerah. BPHTB ini merupakan kewajiban bagi pembeli lelang dikarenakan KPKNL tidak menjadi wajib pungut Kontrol dari KPKNL terbatas pada pemberian kutipan Risalah lelang, artinya apabila pembeli lelang memerlukan kutipan risalah lelang diharuskan telah menyelesaikan kewajibannya untuk membayar BPHTB, yang dibuktikan dengan memberikan tindasan bukti pembayaran kepada KPKNL.

Dasar perhitungannya : (Pokok Lelang NPOPTKP) x 5%

3. Bagaimana pengaturan teknis pemungutan dan penyetoran penerimaan negara?

Penerimaan negara terkait lelang eksekusi hak tanggungan, yaitu Pajak Penghasilan, Bea lelang pembeli dan Bea Lelang penjual. Ketiga pungutan inilah yang menjadi kewajiban pungut oleh KPKNL. Prosedurnya, yaitu setelah terselesaikannya pembayaran oleh pemenang lelang, maka bendahara penerimaan memilah-milah pungutan serta menyetorkan ke kas negara.

4. Terkait PPN, bagaimana prosedur pemungutan dan penyetorannya?

Terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sampai dengan saat ini DJKN melalui KPKNL belum pernah melakukan pemungutan. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang perpajakan tidak menyebutkan secara jelas bagaimana prosedur pemungutannya dan akan diatur lebih lanjut dengan petunjuk pelaksanaannya.

5. Apakah dalam pelaksanaan di lapangan, terdapat hambatan mengenai pengenaan PPN?

a. Hambatan intern?

b. Hambatan ekstern?

6. Terkait data, bagaimana data realisasi pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan?

1. Rencana Pertanyaan Wawancara Pejabat Lelang Kelas I

1. Bagaimana tahapan pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan dari permohonan sampai akhir pelaksanaan?

1) Pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan disertai dokumen-dokumen persyaratan lelang. Adapun dokumen persyaratan lelang adalah sebagai berikut :

i. Surat Permohonn Lelang

ii. Surat Penunjukkan Pejabat Penjual

iii. Daftar Objek Lelang beserta Nilai Limit

iv. Daftar Rincian Hutang

v. Surat Pernyataan bertanggung jawab apabila terdapat gugatan perdata maupun tuntutan pidana

vi. Surat Pernyataan telah dinilai oleh Penilai Publik, untuk objek lelang dengan nilai limit di atas Rp300.000.000,00

vii. Fotokopi Perjanjian Kredit beserta addendum-addendumnya

viii. Fotokopi Sertipikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan

ix. Fotokopi Bukti Kepemilikan, apabila bukti kepemilikan tidak dikuasai disertai dengan surat pernyataan yang menyebutkan alasannya.

x. Fotokopi bukti debitur wanprestasi, yaitu adanya surat-surat peringatan.

2) Setelah dokumen diterima dan dinyatakan lengkap oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), maka ditetapkan tanggal pelaksanaan lelangnya.

3) Berdasarkan surat penetapan tersebut, pemohon mengumumkan melalui media yang ditentukan berdasarkan tanggal pengumuman yang telah disebutkan dalam surat penetapan.

4) Pembeli lelang wajib menyetorkan uang jaminan sebagaimana disebutkan dalam pengumuman, apabila berkeinginan menjadi peserta lelang.

5) Pada hari H pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang membuka dan menawarkan objek lelang. Apabila tidak ada peserta lelang yang mengikuti maka lelang dibuat Risalah Tidak Ada Penawaran.

2. Bagaimana prosedur penetapan harga-harga terkait pelaksanaan lelang?

a. Nilai limit : Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) PMK No. 93/PMK.06/2010 jo PMK No. 106/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, penetapan nilai limit menjadi tanggung jawab penjual/pemilik barang.

b. Harga penawaran: Penawaran dilakukan dengan harga semakin meningkat atau menurun, sehingga perolehan harga penawaran ditentukan secara naik-naik atau turun-turun berdasarkan nilai limit yang telah ditentukan.

c. Harga lelang: Harga penawaran tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang

d. Hasil bersih lelang: Hasil bersih lelang dihitung dengan rumus : Pokok Lelang Bea Lelang Penjual Pajak Penghasilan

3. Terkait harga lelang, apa saja yang terkandung dalam komponen harga tersebut? Bagaimana terkait komponen penerimaan negara?

Komponen harga lelang eksekusi hak tanggungan dan penyetorannya, dapat diuraikan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :

1) Hasil bersih lelang

Hasil bersih lelang disetorkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah pemohon lelang eksekusi hak tanggungan.

Dasar Perhitungan : Pokok Lelang Bea Lelang Penjual Pajak Penghasilan

2) Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan disetorkan ke kas negara.

Dasar Perhitungan : 5% x Pokok Lelang

3) Bea lelang penjual

Bea lelang penjual disetorkan ke kas negara

Dasar Perhitungan : 1,5% x Pokok Lelang

4) Bea lelang pembeli

Bea lelang pembeli disetorkan ke kas negara

Dasar Perhitungan : 2% x Pokok Lelang

Berdasarkan keempat bagian tersebut di atas maka yang berpotensi sebagai penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan, Bea Lelang Penjual dan Bea Lelang Penjual.

Di samping keempat bagian tersebut, potensi hasil lelang yang ada adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB sejak tahun 2011 berdasarkan amanat UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah menjadi potensi penerimaan pemerintah daerah. BPHTB ini merupakan kewajiban bagi pembeli lelang dikarenakan KPKNL tidak menjadi wajib pungut Kontrol dari KPKNL terbatas pada pemberian kutipan Risalah lelang, artinya apabila pembeli lelang memerlukan kutipan risalah lelang diharuskan telah menyelesaikan kewajibannya untuk membayar BPHTB, yang dibuktikan dengan memberikan tindasan bukti pembayaran kepada KPKNL.

Dasar perhitungannya : (Pokok Lelang NPOPTKP) x 5%

4. Bagaimana syarat pelunasan penjualan dari lelang? Setelah peserta lelang dinyatakan sebagai pemenang lelang maka dalam jangka waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan lelang, pembeli harus segera melunasi. Apabila telah lewat jangka waktunya dan pembeli wanprestasi, maka uang jaminan lelang akan disetorkan seluruhnya ke kas negara.

5. Bagaimana prosedur pengambilan risalah lelang? syarat-syarat terkait?

Pembeli akan diberikan kutipan risalah lelang untuk kepentingan balik nama setelah menunjukkan kuitansi pelunasan pembayaran lelang. Apabila yang dilelang berupa tanah dan/atau bangunan harus disertai dengan menunjukkan asli Surat Setoran BPHTB.

6. Bagaimana opini terkait ketaatan dalam kewajiban pengguna lelang atas penerimaan negara?

Penerimaan negara yang berupa Pajak Penghasilan, Bea Lelang Pembeli dan Penjual disetorkan secara langsung oleh Bendahara Penerimaan KPKNL paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelunasan pembayaran lelang oleh pemenang lelang. Sedangkan, terkait BPHTB merupakan kewajiban bagi pembeli lelang dikarenakan KPKNL tidak menjadi wajib pungut Kontrol dari KPKNL terbatas pada pemberian kutipan Risalah lelang, artinya apabila pembeli lelang memerlukan kutipan risalah lelang diharuskan telah menyelesaikan kewajibannya untuk membayar BPHTB, yang dibuktikan dengan memberikan tindasan bukti pembayaran kepada KPKNL.

1. Rencana Pertanyaan Wawancara Account Representative KPP

1. Apa sumber penerimaan pajak terkait pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan?

2. Bagaimana dasar hukum pelaksanaan pemungutan pajak tersebut?

3. Bagaimana prosedur pemungutan/pemotongan dan penyetoran pajak atas lelang eksekusi hak tanggungan?

4. Apakah selama ini Wajib Pajak telah melaksanakan ketentuan perpajakan tersebut?

5. Apakah terdapat hambatan terkait pelaksanaan ketentuan perpajakan tersebut?

6. Terkait PPN, bagaimana desain pemungutan dan penyetorannya?

7. Bagaimana bentuk monitoring dan pengawasan atas ketaatan WP dalam pajak atas pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan?

1. Rencana Pertanyaan Wawancara Bendahara Penerima KPKNL

1. Terkait hasil lelang, apa saja yang dikelola penyetorannya oleh Bendahara Penerima?

Pada pelaksanaan lelang, seluruh transaksi dilakukan melalui rekening penerimaan KPKNL. Kewajiban dari bendahara penerima adalah menyetorkan masing-masing hasil lelang kepada yang berhak.

a. Hasil bersih lelang disetorkan kepada pemohon lelang.

b. Pajak Penghasilan, Bea Lelang Pembeli dan Penjual ke kas negara.

2. Terkait kewajiban perpajakan, bagaimana pengelolaan penerimaan negara dari lelang eksekusi hak tanggungan?

Standar Operating Procedure (SOP) Bendahara Penerimaan terkait dengan Pajak Penghasilan dan Bea lelang adalah selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah pelunasan harus segera disetor ke kas negara.

3. Apakah terdapat perbedaan pengelolaan lebih khusus terkait sumber-sumber penerimaan negara tersebut? Sumber penerimaan negara yang dikelola oleh Bendahara Penerimaan KPKNL terkait lelang adalah Pajak Penghasilan dan Bea Lelang, terhadap dua sumber tersebut tidak ada perbedaan yang signifikan, selain dasar dan besaran tarif pengenaannya.

4. Apakah terdapat hambatan mengenai pelaksanaan pengelolaan sumber penerimaan negara tersebut?

Tidak ada hambatan yang signifikan dalam pelaksanaan pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara terkait lelang.