Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural Studi Praktek Kesetaraan Gender

148
Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural: Studi Praktek Kesetaraan Gender di Pemerintah Kota Semarang Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Penyusun Nama : Oktavantia Agiasti NIM : D2B 008 055 1

description

Ilmu Pemerintahan

Transcript of Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural Studi Praktek Kesetaraan Gender

PNS PEREMPUAN DAN JABATAN STRUKTURAL: STUDI IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PEMERINTAH KOTA SEMARANG

Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural:

Studi Praktek Kesetaraan Gender di Pemerintah Kota Semarang

SkripsiDisusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Diponegoro

Penyusun

Nama: Oktavantia Agiasti

NIM: D2B 008 055

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar BelakangPerempuan sejak lama telah ambil bagian dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan, terutama dalam peranannya sebagai ibu rumah tangga. Kedudukan perempuan dalam sejarah telah mengalami pasang surut, dimana di suatu masa perempuan pernah mengalami kedudukan sebagai pusat kekuasaan, karena dari sosok perempuan inilah eksistensi masyarakat akan ditentukan. Akan tetapi kedudukan ini kemudian terpinggirkan oleh karena pandangan agama, revolusi industri dan juga karena konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat secara sistematis. Peminggiran inilah yang kemudian menyebabkan perempuan belum mampu menikmati penghormatan dan penghargaan yang setara dengan sumbangan dan beban kerjanya. Perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan ini ternyata terjadi secara terus menerus sehingga perempuan banyak dirugikan dalam berbagai segi, baik dari aspek pendidikan, kesehatan maupun dalam lapangan pekerjaan. Kondisi ini telah mengundang berbagai keprihatinan, terutama di kalangan aktivis perempuan yang menginginkan agar perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan segera berakhir.

Salah satu cara untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap perempuan adalah melalui pembangunan yang sensitif gender. Seorang ekonom ternama yaitu Amartya Sen dalam bukunya Development As Freedom bahkan menegaskan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses perluasan kebebasan yang sesungguhnya bagi umat manusia. Dengan demikian pembangunan tidak dimaknai secara sempit dengan hanya melihat pada GNP, perkembangan teknologi, industrialisasi ataupun modernisasi kehidupan, akan tetapi merupakan upaya pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu, termasuk kemiskinan, kemerosotan sosial, represi oleh negara dan juga kebebasan baru berupa kesamaan hak bagi perempuan terhadap laki-laki.

Konsep kesetaraan gender menjadi sebuah nilai baru yang coba digaungkan untuk menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Agenda penting dari pembangunan adalah menciptakan kehidupan yang lebih berperikemanusiaan, dan penempatan kedudukan perempuan yang tidak sejajar dinilai mencederai makna kemanusiaan. Isu kesetaraan gender telah lama menjadi isu global, dimana dalam Universal Declaration of Human Rights oleh PBB pada tahun 1946 juga memberikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Melalui deklarasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengembangan instrumen dan indikator untuk mengukur kesejajaran pembangunan untuk laki-laki dan perempuan melalui konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang telah dikembangkan sejak tahun 1974.

Saat ini hampir di semua negara yang melaksanakan pembangunan, masalah kesetaraan dan keadilan gender menjadi program pembangunan yang diprioritaskan. Bahkan dalam MDGs juga menempatkan kesetaraan gender menjadi program kerja yang harus dapat direalisasikan pada tahun 2015. Dalam MDGs yang telah ditandatangani oleh 68 negara pada tahun 2000 termasuk Indonesia, salah satu dari 7 programnya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Untuk merespon isu kesetaraan gender sendiri di Indonesia sudah dimulai dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip persamaan hak bagi wanita di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Kemudian untuk mempercepat upaya perwujudan kesetaraan gender ini pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Tujuan dari PUG ini adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. PUG diinstruksikan kepada lembaga pemerintah di tingkat Pusat maupun Daerah yang dipimpin oleh Menteri; Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; Pimpinan Kesekretariatan, Lembaga tertinggi/tinggi negara; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian Republik Indonesia; Jaksa Agung Republik Indonesia; Gubernur; Bupati/Walikota.

Meskipun kesetaraan gender dan keadilan gender telah menjadi program prioritas pembanguan, akan tetapi tidak serta merta masalah ketidakadilan gender terhapuskan. Bukti dari masih kentalnya praktek ketidakadilan gender ditunjukkan pada masih rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, dalam memperoleh upah kerja yang memadai, juga dalam memperoleh akses untuk meraih jabatan publik, termasuk jabatan struktural di Birokrasi. Meskipun jumlah perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, tetapi perempuan masih tetap menjadi minoritas baik di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Di Birokrasi, baik di pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah jumlah perempuan yang memegang jabatan struktural masih rendah.

Data yang ada menunjukkan bahwa ketenagakerjaan di Indonesia khususnya didalam sektor publik belum memuaskan, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan umum mengamanatkan aksi afirmasi yaitu 30 persen kuota untuk perempuan dalam partai politik, namun keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif masih rendah. Pada periode 1992-1997, proporsi perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah 12,0 persen, sedangkan pada periode 1999-2004 adalah 9,9 persen dan pada periode 2004-2009 adalah 11,6 persen. Keterwakilan di DPD (yang dibentuk pada Tahun 2004) juga masih rendah yaitu 19,8 persen. Peran perempuan dalam lembaga yudikatif juga masih rendah, masing-masing 20 persen sebagai hakim dan 18 persen sebagai hakim agung pada tahun 2004. Demikian juga pegawai negeri sipil (PNS) yang menjabat sebagai eselon I, II, dan III masih rendah yaitu 12 persen.

Keterlibatan perempuan dalam sektor publik memang cukup terbuka, bahkan dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang menjadi pegawai negeri terus bertambah. Namun keberadaan pegawai negeri perempuan yang menduduki jabatan struktural masih sangat sedikit. Pentingnya perempuan pada posisi-posisi kunci dalam jabatan pemerintahan akan sangat bermakna untuk dapat mendukung lahirnya kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Posisi kunci dalam jabatan struktural memungkinkan perempuan untuk membuat keputusan yang menguntungkan kaum perempuan. Selama ini posisi perempuan sering terpinggirkan dan kepentingan-kepentingannya tidak menjadi prioritas dalam berbagai program pembangunan, dimana kondisi ini bisa dibuktikan oleh masih kecilnya kontribusi anggaran yang pro gender. Padahal dalam realitasnya begitu banyak persoalan yang terkait dengan perempuan, terutama perlakuan yang tidak adil yang harus diterima oleh perempuan baik di sektor domestik maupun sektor publik. Sesuai uraian diatas inilah akhirnya melatarbelakangi peneliti mengambil judul Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural: Studi Praktek Kesetaraan Gender Di Pemerintah Kota Semarang.1.2. RUANG LINGKUP PEMASALAHAN

Untuk mencegah adanya keekaburan dalam membahas masalah, maka perlu kiranya adanya pembatasan yakni sejauh mana ruang lingkup permasalahan yang akan dikemukakan, sehingga materi yang akan dibahas lebih jelas dan terarah. Adapun ruang lingkup menurut Sutrisno Hadi adalah Membatasi luasnya dan memberikan fenomena-fenomena yang jelas tegas terhadap pokok permasalahan itu.

Dari penjelasan diatas peneliti akan membatasi penelitian mengenai Rekruitmen PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural: Studi Praktek Kesetaraan Gender Di Pemerintah Kota Semarang. Sasaran penelitian adalah Pemerintah Kota Semarang. 1.3. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana mekanisme rekruitmen jabatan struktural di Pemerintah Kota Semarang?

2) Bagaimana Peluang PNS perempuan dalam rekruitmen jabatan struktural di Pemerintah Kota Semarang ?

3) Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat upaya pencapaian praktek kesetaraan gender dalam rekruitmen jabatan struktural di Pemerintah Kota Semarang ?

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1) Untuk mengetahui mekanisme rekruitmen jabatan struktural di Pemerintah Kota Semarang2) Untuk mengetahui Peluang PNS perempuan dalam rekruitmen Jabatan struktural di Pemerintah kora Semarang.3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat upaya pencapaian kesetaraan gender dalam rekruitmen jabatan struktural di Pemerintah Kota Semarang.1.5. KERANGKA TEORI

1.5.1. Ketidakadilan Gender

Masalah kesetaraan gender menjadi isu yang semakin menguat saat ini oleh karena munculnya kesadaran publik terhadap praktek ketidakadilan gender. Meskipun masalah kesetaraan gender telah menjadi tuntutan yang semakin meluas di masyarakat, terutama oleh kalangan aktivis perempuan, namun tidak dipungkiri bahwa konsep gender sendiri masih menimbulkan beragam penafsiran. Untuk menganalisis persoalan ketidakadilan gender perlu dipahami terlebih dulu pengertian gender dengan seks atau jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan secara kodrati memiliki fungsi organisme yang berbeda-beda. Sedangkan kata gender sendiri sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin.

Konsep gender muncul karena adanya sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Bentukan sosial antara laki-laki dan perempuan antara lain: jika perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat diatas tidak dapat dipertukarkan dari waktu ke waktu. Dengan demikian gender merupakan harapan-harapan budaya (cultural expectation for woman and men) terhadap laki-laki dan perempuan. Kesalahpahaman dalam memaknai gender terjadi karena masih seringnya gender dipersamakan dengan seks (jenis kelamin laki-laki dan perempuan). Makna gender berbeda dengan seks, karena seks (jenis kelamin) merupakan pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, yang secara permanen tidak bisa berubah dan tidak bisa dipertukarkan karena merupakan kodrat (ketentuan Tuhan). Dan untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat diperhatikan melalui Tabel 1.1.Tabel 1.1Perbedaan Seks dan Gender

NoKarakteristikSeksGender

1Sumber PembedaTuhanManusia

2Visi, MisiKesetaraanKebiasaan

3Unsur PembedaBiologis (alat reproduksi)Kebudayaan

4Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukaranHarkat, martabat dapat dipertukarkan

5DampakTerciptanya nilai-nilai: kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll. Sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang pantas atau tidak pantas. Laki-laki pantas menjadi pemimpin dan perempuan pantas dipimpin, sering merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan.

6Ke-berlaku-anSepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas.Dapat berubah, musiman dan berbeda antara kelas

Sumber: Unger (1979: 30)

Perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai dasar pemberian peran sosial yang tidak sekedar dijadikan dasar pembagian kerja, namun lebih dari itu menjadi instrumen dalam pengakuan dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik, serta menilai peran dan hak-hak dasar keduanya. Sedangkan gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosia budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender juga dipahami sebagai jenis kelamin sosial. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Skema 1.1.

Skema 1.1Perbedaan Seks dan Gender

Perbedaan dua jenis kelamin sebagai fakta biologis melahirkan dua teori besar yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature berpandangan bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki bersifat kodrati. Perbedaan biologis ini menjadi faktor utama dalam menentukan peran sosial, dimana laki-laki memiliki peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih kuat, lebih potensial dan lebih produktif. Sedangkan perempuan menjadi anggota masyarakat kelas dua karena ruang geraknya dibatasi oleh organ reproduksinya seperti hamil, melahirkan dan menyusui. Perbedaan ini menimbulkan pemisahan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki berperan di sektor publik sedangkan perempuan mengambil peran di sektor domestik. Sedangkan teori nurture menganggap perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi sosial. Menurut teori ini peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagamanan sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan bukan pula produk determinasi biologis melainkan produk konstruksi sosial.

Salah satu konsep terpenting dalam memahami makna gender adalah konsep relasi antar individu dalam kelompoknya, dimana dalam relasi tersebut ada konsep relasi yang membedakan jenis kelamin dan ada yang tidak membedakan jenis kelamin. Ketika gender dimaknai sebagai relasi antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sistem nilai yang dianut oleh komunitas dimana mereka tinggal, maka pemaknaan tersebut tidak bersifat universal dan bisa mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Namun sejarah peradaban manusia mencatat bahwa pada jaman primitif perempuan pernah dipandang sebagai inti kehidupan. Relasi perempuan dan laki-laki mulai timpang ketika masuk peradaban berburu dan terus berkembang pada era industrialisasi. Adanya kenyataan bahwa laki-laki secara biologis berbeda dengan perempuan tidak menimbulkan perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam perbedaan relasi gender menimbulkan banyak perbedaan dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Tabel 1.2..Tabel 1.2

Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki-laki dan PerempuanLaki-laki (Maskuline)Perempuan (Feminim)

- Sangat agresif- Tidak terlalu agresif

- Independen- Tidak tewrlalu independen

- Tidak emosional- Lebih emosional

- Dapat menyembunyikan emosi- Sulit menyembunyikan emosi

- Lebih objektif- Lebih subyektif

- Tidak mudah berpengaruh- Mudah berpengaruh

- Tidak submisif- Lebih submisif

- Sangat menyukai pengetahuan eksata- Kurang menyenangi eksata

- Tidak mudah goyah terhadap krisis- Mudah goyah menghadapi krisis

- Lebih aktif- Lebih pasif

- Lebih kompetitif- Kurang kompetitif

- Lebih logis- Kurang Logis

- Lebih mendunia- Berorientasi ke rumah

- Lebih terampil berbisnis- Kurang terampil berbisnis

- Lebih berterus terang- Kurang berterus terang

- Memahami seluk-beluk perkembangan dunia- Kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia

- Berperasaan tidak mudah tersinggung- Berperasaan mudah tersinggung

- Lebih suka bertualang- Tidak suka bertualang

- Mudah mengatasi persoalan- Sulit mengatasi persoalan

- Jarang menangis- Lebih sering menangis

- Umumnya selalu tampil sebagai pemimpin- Tidak umum tampil sebagai pemimpin

- Penuh rasa percaya diri- Kurang rasa percaya diri

- Lebih banyak mendukung sikap agresif- Kurang senang dengan sikap agresif

- Lebih ambisi- Kurang ambisi

- Lebih mudah membedakan rasa dan ratio- Sulit membedakan antara rasa dan ratio

- Lebih merdeka- Kurang merdeka

- Tidak canggung dalam penampilan- lebih canggung dalam penampilan

- Pemikiran lebih unggul- Pemikiran kurang unggul

- Lebih bebas berbicara- Kurang bebas berbicara

Sumber: Unger (1979: 30)

Konteks pembentukan konsep gender bagi kaum laki-laki dan perempuan menurut Berger dan Luckman dipengaruhi oleh Pertama, konsep diri dan citra diri, bagaimana ia memahami tentang dirinya kemudian mempengaruhi masyarakatnya; Kedua, budaya yang telah mengakar dalam bentuk alat yang diproduksi manusia, institusi, bahasa, simbol, nilai, norma yang dimanefestasikan dalam perilaku sehari-hari,; Ketiga, figur yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai aktifitas sosial. Perhatikan skema berikut:Skema 1.2Pembentukan konsep Gender dan Implikasi terhadap Budaya

Kelahiran

Setiap bayi yang dilahirkan memiliki jenis kelamin yang telah dikenali sejak lahir yang disebut dengan 'gender identity', namun dalam memahami perbedaan jenis kelamin (identitas gender tersebut) sering rancu dengan perbedaan gender sebagai konstruksi sosial. Dari sanalah, konsep dan citra diri laki-laki dan perempuan dibangun dan dipengaruhi oleh budaya yang dikuatkan pula oleh legitimasi agama. Konsep gender bukan merupakan perbedaan gender (gender defferencis), tetapi ada upaya untuk membedakan gender (gender defferencis) melalui proses sosialisasi yang berdampak pada perbedaan status sosial, peran dan relasi asimetris antara laki-laki dan perempuan. Akibat dari pembedaan tersebut status jenis kelamin satu lebih rendah dengan yang lain.

Pada masyarakat modern justru peminggiran perempuan semakin terlihat oleh karena diperkenalkannya konsep pembagian kerja dimana wilayah kerja laki-laki adalah di area publik dengan mempertukarkan tenaganya untuk mendapatkan uang, sedangkan wilayah kerja perempuan adalah di wilayah domestik dengan mengurus rumah tangga. Fenomena pembagian kerja inilah yang oleh Barbara Roger dinilai sebagai domestikasi perempuan. Pembagian kerja menjadi sumber awal munculnya praktek ketidakadilan atau ketimpangan gender. Ketidakadilan gender mewujud karena praktek diskriminasi gender yang tampil dalam berbagai bentuk antara lain :

a) Stereotipe Gender, yaitu pelabelan terhadap jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang selalu berkonotasi negatif sehingga menimbulkan masalah dan merugikan keduanya. Misalnya perempuan dinilai lemah, emosional kurang bisa bertanggungjawab dan sebagainya, sementara laki-laki dinilai kasar, kuat, keras, rasional, pencemburu .

b) Subordinasi, yaitu penempatan salah satu jenis kelamin lebih unggul dari jenis kelamin lainnya dari aspek status, peran dan relasi yang tidak setara. Pandangan subordinat ini dapat menghambat akses partisipasi dan kontrol terutama dalam pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumber daya. Sikap subordinat terhadap perempuan karena beranggapan bahwa perempuan emosional dan irasional

c) Marginalisasi, yaitu proses peminggiran secara sistematik, baik disengaja maupun tidak, terhadap jenis kelamin tertentu dari mendapatkan akses dan manfaat dalam kehidupan akibat adanya stereotipe dan subordinasi, sehingga yang mengalami marjinalisasi pada uumumnya menjadi tidak mampu menikmati hasil pembangunan kendatipun mereka telah banyak berkontribusi. Akibatnya mereka tertinggal dari jenis kelamin lainnya. Timbulnya marginalisasi terhadap perempuan diperkuat oleh tafsir keagamaan maupun adat-istiadat.

d) Beban kerja ganda, berupa pemaksaan dan atau pengabaian salah satu jenis kelamin untuk menanggung beban aktivitas berlebihan. Hal ini disebabkan pembakuan peran secara dikhotomis produktif-reproduktif untuk laki-laki dan perempuan sehingga berdampak pada pola pembagian kerja yang tidak fleksibel. Pola kerja dikhotomis dapat memicu ketidakadilan salah satu jenis kelamin akibat beban kerja yang berlipat.

e) Kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh jenis kelamin berbeda yang disebabkan pandangan bias yang menempatkan salah satu jenis kelamin lebih superior dan yang lain dianggap inferior. Relasi gender yang timpang antara keduanya menjadikan pihak yang merasa kuat berpotensi menindas pada yang lemah.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, pola sosialisasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan juga dapat menimbulkan kesenjangan gender yang akan mengantarkan pada ketidakadilan gender. Adanya persepsi hubungan yang tidak adil seperti menindas dan saling mendominasi antar kedua jenis kelamin dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan menjadi bentuk manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak melahitkan ketidakadilan gender. Namun, persoalannya ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender. Praktek ketidakadilan gender yang berakar dari diskriminasi gender ini umumnya lebih banyak dialami oleh perempuan. Secara umum diskriminasi gender terjadi karena beberapa sebab yaitu :

a) Budaya patriakhi, yaitu suatu sistem yang bercirikan laki-laki, dimana laki-laki berkuasa untuk menentukan, mengatur dan menjadi pengambil keputusan. Budaya yang berpusat pada nilai laki-laki ini menjadi basis bagi suburnya perilaku bias gender. Perilaku tersebut pada gilirannya menempatkan perempuan pada posisi yang subordinatif dan marginal.

Budaya patriarki yang berbasis pada relasi gender lebih banyak terjadi disektor publik apabila akses kaum perempuan juga terbuka. Karenanya budaya patriarki ini berfungsi untuk mengendalikan hal tersebut dengan pembatasan ruang, penetapan posisi dan perilaku. Dan pada batasan tertentu, kekerasan terhadap perempuan akan muncul manakala timbul suatu anggapan bahwa perempuan melampaui batas pengendalian kultural yang telah ditetapkan tersebut.

Kekerasan berbasis gender memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki dan memberi hak pada laki-laki untuk mengontrol perempuan. Karenanya, ada kecenderungan laki-laki untuk menempatkan diri mereka sebagai kelompok dominan yang mengendalikan seksualitas dan identitas gender dan laki-laki melakukan kontrol agar perempuan mematuhinya.

Dalam lingkup keluarga kekerasan terjadi kaitannya dengan status dan peran yang berbeda antar suami dan istri, sehingga bentuk kekerasannya bersifat eksploitatif dan dominasi. Perempuan tidak diberi status dan peran sesuai dengan haknya karena kontrol dalam urusan rumah tangga ada pada suami. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya kekerasan pada tingkat struktur sosial (berkaitan dengan status dan perempuan di masyarakat). Contohnya, adanya larangan terhadap istri untuk mengembangkan karier di sektor publik sesuai dengan potensinya.

b) Teks agama yang diinterpretasikan bias gender, disebabkan oleh pemahaman parsial sehingga kurang mencerminkan pesan-pesan agama yang menghargai perempuan, atau metode penafsiran terhadap teks yang kurang tepat sehingga menghasilkan pandangan keagamaan yang diskriminatif. Dalam perspektif ini, perempuan tidak hanya dihina, diremehkan, tetapi juga ditindas dalam arti selalu mendapatkan tindakan kekerasan.

Ada beberapa kemungkinan mengapa perempuan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan subordinatif dalam wacana pemikiran keagamaan: Pertama, karena adanya kekeliruan dalam menginterprestasikan bunyi teks secara harfiah. Kedua, karena cara atau metode penafsiran yang parsial atau tidak utuh, secara sepotong-sepotomg, srbagian ataupun separuh dari keseluruhan teks. Ketiga, karena seringkali didasari dan dikuatkan oleh hadist-hadist (dho'if) atau bahakan hafist palsu (maudhu') atau hadist israiliyyat. Tiga kemungkinan tersebut, pada akhirnya terakumulasi dalam interprestasi dan seringkali kurang memperhatikan sosiokultural dimana dan kapan firman itu diturunkan, atau disebut dengan asbabun nuzul dan asbabul wurud.

Adapun konsep-konsep dalam ajaran islam yang biasa dipakai untuk membenarkan kekerasan atau menyudutkan perempuan adalah nusyuz yang berarti kedurhakaan dan ketidaktaatan isteri terhadap suaminya sebagai hal yang mengganggu stabilitas keluarga. Kontek ini menunjukkan pada al-Qur'an surat an-Nissa [4]: 34. perempuan-perempuan (isteri) yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka berilah nasihat yang baik, dan biarkan mereka di tempat tidur dan pukullah. Tapi, jika kemudian mereka telah menaatimu, maka janganlah kamu mencari alasan (untuk menzhalimi mereka). Sekilas terlihat bahwa didalam ayat diatas membolehkan suami untuk memukul isterinya apabila tidak menaati perintah suami. Pernyataan tersebut kemudian oleh sebagian orang dijadikan dasar pijakan untuk menjustifikasi keharusan perempuan taat pada suaminya secara absolut. Analisis persoalan kekerasan perempuan ini pada akhirnya berujung pada problem metodelogi penafsiran terhadap teks-teks keagamaan.

Oleh karena itu perlu adanya suatu kerangka pendekatan baru untuk merumuskan pandangan Islam atas permasalahan perempuan yang selama ini masih rentan terhadap kekerasan. Pendekatan baru ini dilakukan dengan mengembangkan pemikiran keagamaan, yaitu mendudukkan teks-teks agama yang normatif ke dalam maknanya yang relatif ketika ia berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial yang menginginkan pesan-pesan fundamental agama.

c) Kebijakan pemerintah baik melalui undang-undang maupun manajemen pemerintahan yang kurang responsif gender.

Praktek ketidakadilan gender dalam berbagai manifestasinya masih banyak ditemukan dalam berbagai tingkatan, baik dalam praktek penyelenggaraan negara, dalam kelompok masyarakat melalui tafsir adat dan budaya, dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam keyakinan dan ideologi yang sangat sulit untuk diubah. Maka dapat disimpulkan bahwa masalah ketidakadilan atau ketimpangan gender sesungguhnya telah mengakar baik pada tingkat individual, masyarakat maupun negara.1.5.2. Kesetaraan dan Keadilan Gender Kesetaraan gender menjadi istilah yang paling populer di kalangan para aktivis perempuan karena merupakan nilai utama yang diperjuangkan. Istilah kesetaraan gender pada umumnya akan selalu dikaitkan dengan praktek ketidakadilan yang termanifestasi dalam bentuk subordinasi, penindasan, kekerasan dan sebagainya. Kesetaraan gender menjadi isu strategis karena tidak dapat dipisahkan dengan persoalan keadilan sosial. Namun konsep kesetaraan gender sampai saat ini masih mengundang perdebatan karena belum adanya tafsir tunggal dan kesepakatan mengenai pemaknaanya. Ada sebagian orang yang menganggap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah kesamaan hak dan kewajiban. Sementara yang lainnya memaknai sebagai mitra kesejajaran untuk mengaktualisasi diri sesuai dengan kodratnya masing-masing.

Perwujudan dari kesetaraan gender ditandai oleh tidak adanya diskriminasi sehingga keduanya memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Dengan adanya keadilan gender maka tidak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terkait dengan perjuangan untuk mewujudkan keadilan gender ini, kaum feminis merupakan pelopor yang tidak pernah putus memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Kaum feminis telah membuktikan kemampuanya untuk mengkoordinasikan kekuatan perempuan menjadi sebuah gerakan perempuan dengan pengaruh politiknya yang sangat besar menyebar hampir ke semua belahan dunia.

Arus utama dalam gerakan feminisme ini berkembang dari feminisme radikal, feminisme sosialis dan feminisme liberal atau kesetaraan kesempatan. Bagi kaum feminis radikal sumber ketidaksetaraan adalah budaya patriakhi dan dominasi laki-laki atas perempuan. Strategi yang dilakukan oleh kelompok ini untuk merebut kesetaraan adalah upaya mengakhiri relasi laki-laki dan perempuan yang terpisah tajam, yang telah melahirkan penindasan dan berbagai bentuk kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Bagi feminisme sosialis sumber ketidaksetaraan adalah dominasi laki-laki serta praktek eksploitasi kelas, yang keduanya harus dilawan. Strategi kelompok ini lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok dan kelas-kelas tertindas. Sedangkan bagi feminisme liberal sumber dari ketidaksetaraan adalah adanya prasangka atauprejudice dan kepentingan egoistis laki-laki.

Untuk mewujudkan kesetaraan, kaum feminis liberal melakukan lobi terhadap pembuat kebijakan agar lebih banyak lahir undang-undang yang memberikan proteksi terhadap kesetaraan dan mengembalikan hak-hak perempuan. Meskipun terjadi perbedaan antar feminisme, namun feminisme sebagai gerakan memiliki tujuan sebagai berikut :

a) Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.

b) Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.

c) Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.

d) Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.

Perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender bukanlah peroalan mudah. Menurut kaum feminis, kendala utama perempuan untuk berkiprah secara setara dengan laki-laki sebenarnya karena hanya perempuan yang bisa hamil, yang menyebabkan dirinya tidak akan dapat sepenuhnya mengabdikan diri dalam pengembangan karier. Bagi perempuan, kesetaraan seringkali hanya bersifat semu dan temporal, yaitu berlaku bagi perempuan yang masih lajang ataupun yang sudah menikah akan tetapi belum punya anak. Pada kondisi ini perempuan bisa saja mencapai karier sebagaimana yang dicapai oleh laki-laki, akan tetapi begitu hamil dan punya anak, perempuan pada akhirnya mulai mengalami hambatan untuk merebut kesetaraan.

Hal mendasar yang menjadi akar dalam mempersoalkan kesetaraan gender adalah belum semua perempuan memiliki atribut-atribut sosial yang mendukung pemberdayaannya dalam meraih kesetaraan berperan. Oleh karena itu penting untuk melihat kesetaraan dari sudut pandang perempuan itu sendiri agar subordinasi yang tersembunyi dapat dihapuskan. Praktek stereotipe pencitraan peran berdasarkan perbedaan biologis yang dilembagakan tidaklah menguntungkan bagi perempuan, sehingga perempuan juga harus diberikan sosialisasi secara terus-menerus agar memiliki kesadaran peran yang lahir atas pilihannya sendiri, bukan karena nilai yang dibakukan oleh masyarakat, apalagi oleh negara.1.5.3. Kualitas Kesetaraan Gender Dalam Birokrasi

Kualitas kesetaraan gender pada hakekatnya adalah terpenuhinya kondisi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukan oleh tingkat representasi perempuan di berbagai bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Meskipun wacana kesetaraan gender sudah lama terdengar, akan tetapi dari sisi kualitas praktek kesetaraan gender belum sepenuhnya memenuhi harapan kaum perempuan. Masih rendahnya kualitas kesetaraan gender dapat dilihat dari masih rendahnya representasi perempuan di area publik, baik di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif maupun di Birokrasi (PNS). Masih belum terwakilinya partisipasi perempuan di berbagai lembaga tersebut sebenarnya dapat ditelusuri dari adanya upaya-upaya domestikasi perempuan melalui dogma-dogma agama maupun budaya patriakhi. Upaya domestikasi perempuan dimaknasi sebagai :

Proses dimana wanita diberi definisi sosial sebagai ibu rumah tangga (housewife) yang tergantung pada suami untuk penghidupan mereka, terlepas apakah mereka secara de facto ibu rumah tangga atau bukan Definisi sosial wanita sebagai ibu rumah tangga adalah pasangan sosial pria sebagai pencari nafkah, terlepas dari kontribusi nyata yang mereka berikan kepada rumah tangga dan keluarga.Konstruksi pembakuan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga juga di lakukan oleh negara melalui kebijakan-kebijakannya, bahkan dalam Undang-Undang perkawinan (pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 2) pun secara gamblang membagi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah. Hal ini menimbulkan ketidakadilan karena tanggung jawab kepengurusan rumah tangga hanya di bebankan pada istri atau dibantu anak-anak perempuannya. Konseptualisme perempuan sebagai ibu oleh negara sebenarnya memperkuat stereotipikasi kultural menjadi stereotipe formal. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kemudian muncul kebijakan-kebijakan negara yang bias gender. Ibuisme yang mengabsahkan posisi domestik perempuan sebenarnya telah menaifkan peran publik perempuan termasuk di Birokrasi. Di era reformasi saat ini ketika wacana gender semakin mengemuka, ternyata ketimpangan gender juga masih cukup tinggi, bahkan di beberapa daerah muncul Peraturan Daerah yang berpotensi meminggirkan perempuan dan membatasi kebebasan perempuan.

Wacana kesetaran gender di sektor publik selama ini masih berkisar pada persoalan perempuan dan politik, belum meluas ke mesin politik paling penting yaitu birokrasi. Namun sejak Indonesia ikut menanda tangani hasil konvensi perempuan di Beijing tahun 1995, maka di Indonesia mulai terjadi pergeseran paradigma pembangunan yang lebih bersperspektif gender. Isu kualitas kesetaraan gender pada Birokrasi pun memperoleh respon positif, termasuk oleh Pemerintah Daerah dengan makin meningkatnya representasi perempuan di Birokrasi, bukan hanya representasi secara total, tetapi juga meningkatnya jumlah perempuan yang memperoleh kesempatan untuk menduduki jabatan struktural.

Bagi Anthony Gidden pembakuan peran perempuan di ranah domestik sebenarnya merupakan usaha terstruktur melalui stigma-stiga stereotipe yang secara tidak sadar menjadikan perempuan menerima marginalisasi dan subordinasi sebagai sebuah kewajaran, yang dalam perspektif strukturasi disebut motivasi tak sadar. Oleh karena itu menurut Antony Gidden untuk merubah kondisi tersebut perlu membangun kesadaran praktis melalui intervensi kebijakan dan perundang-undangan. Kebijakan sebagai instrumen memiliki daya dukung yang kuat untuk mengubah pandangan yang bisa gender menjadi responsif gender. Pergeseran peran gender pada masyarakat moderen saat ini bukan lagi keniscayaan, karena dalam realitasnya kebutuhan sumber nafkah tidak hanya didominasi oleh laki-laki, dan pembangunan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada perempuan untuk meraih pendidikan tinggi, juga telah mampu mengubah peran gender tradisional menjadi peran gender modern.

Pandangan Gideens terhadap modernisasi dapat dilihat dalam buku Modenitas and Self Identity (1991) dengan fokus perhatiannya pada aspek mikro/kedirian (self). Kedirian dimaksud senantiada berdialektika dengan institusi masyarakat modern. Transformasi dalam identitas diri dan globalisasi adalah dua kutub dialektika kondisi lokal dan global modernitas. Perubahan aspek keintiman kehidupan pribadi berkaitan langsung dengan kemapanan hubungan sosial yang paling luas cakupannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia diri dan masyarakat saling berkaitan dalam lingkungan global.

Implikasi dari demokrasi dalam hubungan struktur institusional makro, relasi suami-istri dalam rumah tangga yang dahulu dianggap sebagai relasi sosial privasi bergeser menjadi ranah publik dibawah payung hukum. Jika dahulu kasus-kasus KDRT tak tersentuh hukum (kecuali terdapat bukti-bukti kuat dengan indikator yang problematik). Namun, saat ini dengan kehadiran UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT untuk kasus Indonesia sebagai kelanjutan dari komitmen internasional CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againt Woman) dan ratifikasinya di Indonesia melalui UU RI No. 7 Tahun 1984 menjadi bukti terjadinya perubahan dan kemajuan tersebut.Skema 1.3

Hubungan Dialektik Mikro dan Makro

Kebijakan Pengarusutamaan Gender yang diperluas saat ini sebenarnya merupakan bagian penting dalam mencapai kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan. Konsep gender dalam hal ini diintegrasikan kedalam pendekatan kesejahteraan yang bersifat universal, yang telah pula diabsahkan oleh PBB. PUG atau Gender Mainstreaming ditetapkan sebagai strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Namun keberhasilan pelaksanan kebijakan ini sangat tergantung pada adanya sinergi antara kekuatan struktural pada pemerintah dengan kekuatan kultural pada masyarakat. Implementasi pengarusutamaan gender dibangun memalui kebijakan dan manajemen lembaga, budaya, dan peran-pesan moral keagamaan yang diharapkan dapat mengubah sebuah masyarakat bias gender menuju kepada kesetaran dan keadilan gender. Peran PUG pada jalur struktural dalam mengubah kebijakan dalam pembangunan yang responsif gender memang besar, namun jika jalur kultural yang tampil sebagai sosok lain, dapat menjadi pendukung sekaligus penghambat lajunya kebijakan responsif gender dalam pembangunan.1.6. DEFINISI KONSEPTUAL

Dalam penelitian ini ada beberapa konsep penting yang menjadi acuan dalam pengumpulan data yang dibutuhkan yaitu :1. Rekruitmen dalam jabatan struktural : adalah aktivitas yang dilakukan untuk memilih pegawai yang memenuhi persyaratan guna mengemban tugas dalam jabatan struktural2. Praktek kesetaraan gender : yaitu terpenuhinya kondisi kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan yang ditunjukan oleh tingkat representasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan baik sosial,politik, hukum dan sebagainyaPraktek Kesetaraan Gender dalam Rekruitmen PNS Perempuan dalam Jabatan Srtuktural: proses pendekatan untuk menghilangkan adanya diskriminasi yang menghambat tercapainya keadilan ataupun kesetaran gender pada PNS Perempuan dalam meraih jabatan struktural dan untuk melihat sejauhmana kemitrasejajaran yang harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam suatu lingkungan kerja di ranah publik.1.7. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk mempermudah dalam mengukur konsep dan menentukan data yang akan dicari maka perlu melakukan pendefinisian konsep secara operasional.

Definisi operasional menurut Sofian Effendi adalah Salah satu unsur yang sangat membantu komunikasi antar peneliti, yang merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel diukur. Dengan membaca definisi operasional dalam suatu penelitian, seorang peneliti akan mengetahui pengukuran variabel, sehingga dia dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan indikator yakni mengintegrasi isu gender didalam perekrutan PNS Perempuan untuk meraih jabatan struktural. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ada tidaknya upaya untuk membangun persepsi dan pemahaman tentang kesetaraan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil2. Ada tidaknya diskriminasi dalam meraih jabatan yang lebih tinggi, termasuk dalam jabatan struktural antara laki-laki dan perempuan.3. Ada tidaknya perencanaan kebijakan yang responsif gender di bidang pengembangan sumber daya manusia (kepegawaian) untuk memperkuat kemitraan hubungan kerja antara laki-laki dan perempuan.1.8. METODE PENELITIAN

1.8.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat Dekskriptif Analisis. Penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain.

Pendapat lain mengatakan bahwa, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.

Jadi penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran secara obyektif pemahaman PNS perempuan terhadap konsep kesetaraan dan keadilan gender serta representasi PNS perempuan dalam jabatan struktural.

1.8.2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut :

a. Data Primer

Yaitu data-data yang dikumpulkan dari responden dengan jalan memberikan daftar pertanyaan interview dan observasi.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan lain misalnya dari dokumen-dokumen, brosur-brosur, artikel-artikel yang lain.1.8.3. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah PNS yang berada di lingkungan Pemerintah kota Semarang.

1.8.4. Metode Pengumpulan Data

a) Wawancara mendalam (indepth interview) : merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab lisan secara langsung dan mendalam dengan sasaran/ obyek penelitian untuk mendapatkan data-data dan keterangan yang berkaitan dengan topik penelitian.b) Dokumentasi : merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menelaah dokumen, arsip, maupun referensi yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.c) Tinjauan Pustaka : merupakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari teori-teori didalam buku-buku yang berhubungan dengan topik permasalahan yang diangkat.1.8.5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Analisis dilakukan dengan menguraikan informasi-informasi yang diperoleh secara logis. Didalam penelitian ini langkah-langkah dalam analisis data sebagai berikut :

a) Menelaah seluruh data, dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari pengamatan yang sudah ditulis dilapangan, dokumen-dokumen dan sebagainya.

b) Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan (Miles,1992:16). Langkah-langkah yang dilakukan adalah menajamkan analisis, menggolongkan atau pengkategorisasian kedalam tiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Bab IIGambaran Umum2.1. Gambaran Kota Semarang2.1.1. Kondisi Geografis

Kota Semarang merupakan kota strategis yang terletak di pantai Utara Jawa Tengah, tepatnya pada garis 650' - 710' Lintang Selatan dan garis 11035' - 11050' Bujur Timur, dengan batas-batas sebagai berikut:

Batas Utara: Laut Jawa

Batas Timur: Kabupaten Demak Batas Barat: Kabupaten Kendal Batas Selatan: Kabupaten SemarangGambar 2.1

Peta Letak Kota Semarang di Jawa Tengah

Letak geografi Kota Semarang ini berada dalam koridor pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Luas wilayah Kota Semarang tercatat 373.70 Km-2. Luas yang ada, terdiri dari 39.56 Km-2 (10.59%) tanah sawah dan 34.14 (89.41%) bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya, luas tanah sawah terbesar merupakan tanah sawah tadah hujan (53.12%), dan hanya sekitar 19.97%-nya saja yang dapat ditanami 2 (dua) kali. Lahan kering sebagian besar digunakan untuk tanah pekarangan / tanah untuk bangunan dan halaman sekitar, yaitu sebesar 42.17% dari total lahan bukan sawah. Perhatikan gambar dibawah ini.Gambar 2.2Prosentase Penggunaan Areal Tanah

Sumber: Kota Semarang Dalam Angka 2009Secara topografi wilayah Kota Semarang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan perbukitan. Daerah pantai merupakan kawasan di bagian Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dengan kemiringan antara 0% sampai 2%, daerah dataran rendah merupakan kawasan di bagian Tengah, dengan kemiringan antara 2 15 %, daerah perbukitan merupakan kawasan di bagian Selatan dengan kemiringan antara 15 40% dan beberapa kawasan dengan kemiringan diatas 40% (>40%). Sesuai dengan letak geografis, dipengaruhi iklim daerah tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dengan 2 musim, yaitu musim kemarau pada bulan April September dan musim penghujan antara bulan Oktober Maret. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2,790 mm, suhu udara berkisar antara 230C sampai dengan 340C, dengan kelembaban udara tahunan rata-rata 77%. Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0.75 sampai dengan 348.00 diatas permukaan laut. Secara lengkap ketinggian tempat di Kota Semarang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1Ketinggian Tempat di Kota SemarangNNo.Bagian WilayahKetinggian(MDPL)

11.Daerah Pantai0.75

22.Daerah Dataran Rendah

- Pusat Kota2.45

- Simpang Lima3.49

33.Daerah Perbukitan

Candi Baru90.56

Jatingaleh136.00

Gombel270.00

Mijen253.00

Gunungpati Barat259.00

Gunungpati Timur348.00

Sumber: Kota Semarang Dalam Angka 20092.1.2. Kondisi DemografiBerdasarkan hasil registrasi penduduk selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, jumlah penduduk Kota Semarang terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah penduduk tersebutdipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian dan migrasi. Jumlah penduduk Kota Semarang yang telah melakukan registrasi sampai tahun 2010 sebesar 1,744,311 jiwa, terdiri dari 873,259 jiwa penduduk laki-laki dan 871,052 jiwa penduduk perempuan. Tabel 2.2Jumlah Penduduk Kota Semarang Tahun 2006-2010No.

Tahun

Jumlah Penduduk

Pertumbuhan

(%)

Laki-lakiPerempuanJumlah

1.2006711,755722,2701,434,0251.02

2.2007722,026732,5681,454,5941.43

3.2008735,318744,5711,479,8891.74

4.2009748,515758,4091,506,9241.83

5.2010873,259871,0521,744,31115.75

Sumber: Bappeda Kota Semarang 2010Peningkatan jumlah penduduk kota Semarang secara otomatis mempengaruhi peningkatan jumlah kepadatan penduduk dikota Semarang selama kurun waktu 5 tahun ini. Diakhir tahun 2010 jumlah kepadatan penduduk menjadi 4,595 jiwa/km2 dari yang semula hanya 3,837 jiwa/km2 pada tahun 2006.Tabel 2.3

Jumlah Kepadatan Penduduk Kota Semarang 2006-2010No.TahunKepadatan Penduduk

(Jiwa/Km2)

120063,837

220073,892

320083,965

420094,036

520104,595

Sumber: Bappeda Kota Semarang 2010Secara proporsional peningkatan jumlah kepadatan penduduk kota Semarang akan diikuti pula dengan peningkatan jumlah penduduk usia produktif, dengan demikian dapat dipastikan bahwa jumlah pencari kerja, angka pengangguran dan kebutuhan fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan dan latihan kerja juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah angkatan kerja sebesar 209,232 orang dan terus meningkat di tahun 2007 sebesar 1,052,628 orang, tahun 2008 sebesar 1,069,813 orang dan tahun 2009 sebesar 1,086,997 orang. Namun, pada tahun 2010, angkanya menurun secara signifikan menjadi hanya sebesar 709,464 orang. Lihat gambar berikut.Gambar 2.3

Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja dan Angka Pengangguran

Tahun 2006-2010

Sumber: Bappeda Kota Semarang Tahun 2010

Penduduk yang datang ke Kota Semarang dan penduduk yang lahir setiap tahunnya lebih besar dari pada penduduk yang pindah dan penduduk yang mati, hal tersebut menggambarkan bahwa peningkatan penduduk Kota Semarang disebabkan oleh penduduk yang datang dan lahirdengan proporsi rata-rata 60,04% per tahun dibanding penduduk pindah dan penduduk yang mati. Lihat gambar berikut.

Gambar 2.4Perkembangan PendudukLahir, Mati, Datang dan PindahKota Semarang Tahun 2005 2010

Sumber: Bappeda Kota Semarang Tahun 20102.1.3. Kondisi Pemerintahan

Secara administratif, dengan luas wilayah sebesar 373,70 kilometer persegi Kota Semarang terbagi dalam 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada terdapat 2 kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu kecamatan Mijen (57,55 km2) dan kecamatan Gunungpati (54,11 km2). Sedangkan kecamatan mempunyai luas terkecil adalah kecamatan Semarang Selatan (5,93 km2) diikuti oleh kecamatan Semarang Tengah (6,14). Lihat gambar 2.5.Dari sisi aparatur negara, kualitas Pegawai Negeri Sipil mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 jumlah PNS Kota Semarang sebesar 14,536 orang, tahun 2007 menurun menjadi 14,196 orang, tahun 2008 mengalami kenaikan sebesar 14,323 orang, tahun 2009 menjadi sebesar 14,948 dan tahun 2010 menjadi sebesar 16,679 orang (golongan I sebesar 464; golongan II sebesar 3,732; golongan III: 7,333; golongan IV: 5,150).Gambar 2.5Wilayah Administrasi Kota Semarang

Sumber: Kota Semarang dalam angka 20092.1.4. Pendidikan, Kesehatan dan Agama2.1.4.1. Pendidikan Pada akhir tahun 2010 jumlah penduduk kota Semarang jika dilihat dari tingkat pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Jumlah penduduk tidak tamat SD (belum sekolah dan tidak tamat SD) mencapai 816,134 orang;

b. Jumlah penduduk yang tamat SD mencapai 54,420 orang;

c. Jumlah penduduk tamat SLTP mencapai 232,571 orang;

d. Jumlah penduduk tamat SLTA sejumlah 443,600;

e. Jumlah penduduk tamat Diploma sejumlah 55,131 orang;f. Jumlah penduduk tamat Sarjana S1 sejumlah 127,408 orang;

g. Jumlah penduduk tamat Sarjana S2 sejumlah 12,824 orang;

h. Jumlah penduduk tamat Sarjana S3 berjumlah 224 orang.

Grafik 2.1Prosentasi Penduduk Kota Semarang berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Bappeda Tahun 2010 (data diolah)2.1.4.2. Kesehatan

Pelayanan kesehatan di kota Semarang menunjukkan peningkatan yang baik seiring dengan bertambahnya failitas-fasilitas kesehatan yang dibutuhkan dan SDM dibidang kesehatan. Terlihat dari jumlah Puskesmas yang tetap beroperasi dan tidak menunjukkan angka yang menurun dari tahun 2006 sampai dengan 2010 yaitu mencapai 107 unit. Sedangkan untuk jumlah poliklinik mengalami perubahan fluktuatif, dari tahun 2006 yang berjumlah 216 unit, meningkat menjadi 244 unit di tahun 2007, di tahun 2008 menurun lagi menjadi 202 unit, tahun 2009 meningkat dengan jumlah 229 unit dan diakhir tahun 2010 terus bertambah menjadi 234 unit poliklinik.Sedangkan untuk Rumah Sakit Daerah wilayah kota Semarang selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 tidak mengalami perubahan. Dan untuk menjangkau pelayanan kesehatan sampai pada tingkat RT, aktifitas Posyandu harus terus ditingkatkan. Hal ini terlihat dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 jumlah Posyandu terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 jumlah posyandu berkisar 1,446 unit dan di akhir tahun 2010 jumlah posyandu dikota semarang sudah mencapai 1,511 unit posyandu. Lihat tabel berikut.Tabel 2.4

Jumlah Posyandu di Kota Semarang Tahun 2006-2010

No.TahunUnit

120061,446

220071,464

320081,476

420091,496

520101,511

Sumber: Bappeda 20102.1.4.3. AgamaKota semarang memiliki iklim kondusif bagi berkembangnya berbagai ragam agama, khususnya dalam hal toleransi antar umat beragama. Dari berbagai agama yang ada, sebagian besar penduduk kota Semarang adalah pemeluk agama Islam yakni sekitar 85,59% dari jumlah penduduk. Untuk menunjang kegiataan keagamaan, maka sarana prasarana peribadatanpun perlu ditingkatkan. Lihat tabel 2.6.

Gambar 2.6Perkembangan Jumlah sarana Prasarana Peribadatan di Kota Semarang

Tahun 2006 dan Tahun 2010

Sumber Bappeda Kota Semarang Tahun 20102.2. Potret Gambaran Badan Kepegawaian Daerah di Pemerintah Kota Semarang

2.2.1. Sejarah Singkat Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang

Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang dahulu merupakan salah satu bagian dari sekretariat wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Semarang. Berdasarkan pada peraturan daerah kotamadya, Daerah Tingkat II Semarang No.7 Tahun 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja sekretariat wilayah atau daerah dan sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Semarang, yang terdiri dari :

1) Kepala Bagian Kepegawaian

a) Kasubag Umum;b) Kasubag Mutasi;

c) Kasubag Pengembangan Karier;

d) Kasubag Diklat.Setelah pada tahun 2001 baru dibentuk Badan Kepegawaian Daerah dengan berdasarkan pada Peraturan Daerah Semarang No.3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Semarang, dengan susunan sebagai berikut :

1) Kepala Badan

2) Sekretariat, terdiri dari :

a) Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi;b) Sub Bagian Umum;c) Sub Bagian Keuangan.3) Bidang Administrasi Kepegawaian, terdiri dari :

a) Sub Bidang Formasi Kepegawaian;

b) Sub Bidang Seleksi dan Pengangkatan;

c) Sub Bidang Manajemen dan Informasi.4) Bidang Pengembangan Pegawai, terdiri dari :

a) Sub Bidang Penempatan;b) Sub Bidang Kepangkatan;

c) Sub Bidang Pembinaan Karier;

d) Sub Bidang Mutasi Jabatan.5) Bidang Kesejahteraan Pegawai, terdiri dari :

a) Sub Bidang Jasmani, Rohani dan Kesehatan;

b) Sub Bidang Penghargaan;c) Sub Bidang Peningkatan Kesejahteraan.6) Bidang Diklat, terdiri dari :

a) Sub Bidang Pra Jabatan;b) Sub Bidang Diklat dalam Jabatan;

c) Sub Bidang antar Lembaga.7) Bidang Pemberhentian, terdiri dari :

a) Sub Bidang Disiplin;b) Sub Bidang Pemberhentian;

c) Sub Bidang Pensiun;8) Kelompok Jabatan Fungsional.2.2.2. Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang

Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang berdasarkan atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Semarang terdiri dari :1) Kepala Badan

2) Sekretariat, terdiri dari :

a) Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi;b) Sub Bagian Umum;c) Sub Bagian Keuangan.

3) Bidang Administrasi Kepegawaian, terdiri dari :

a) Sub Bidang Formasi Kepegawaian;

b) Sub Bidang Seleksi dan Pengangkatan;

c) Sub Bidang Manajemen dan Informasi.

4) Bidang Pengembangan Pegawai, terdiri dari :

a) Sub Bidang Penempatan;b) Sub Bidang Kepangkatan;

c) Sub Bidang Pembinaan Karier;

d) Sub Bidang Mutasi Jabatan.

5) Bidang Kesejahteraan Pegawai, terdiri dari :

a) Sub Bidang Jasmani, Rohani dan Kesehatan;

b) Sub Bidang Penghargaan;c) Sub Bidang Peningkatan Kesejahteraan.

6) Bidang Diklat, terdiri dari :

a) Sub Bidang Pra Jabatan;

b) Sub Bidang Diklat dalam Jabatan;

c) Sub Bidang antar Lembaga.

7) Bidang Pemberhentian, terdiri dari :

a) Sub Bidang Disiplin;b) Sub Bidang Pemberhentian;

c) Sub Bidang Pensiun.8) Kelompok Jabatan Fungsional.

Berikut adalah struktur Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang :

1) Kepala Badan

Kepala badan mempunyai tugas memimpin, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah. 2) Sekretariat

Sekretariat mempunyai tugas melaksanakan penyusunan program kerja, pengawasan, pengelolaan, ketatausahaan, administrasi, kepegawaian, perlengkapan dan peralatan, pengelolaan administrasi keuangan serta evaluasi dan pengelolaan laporan pelaksanaan tugas. 3) Bidang Administrasi Kepegawaian

Bidang administrasi kepegawaian mempunyai tugas melaksanakan penyusunan formasi kepegawaian, pelaksanaan seleksi dan pengangkatan calon pegawai serta pelaksanaan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian.

4) Bidang Pengembangan Pegawai

Bidang pengembangan pegawai mempunyai tugas menyelesaikan administrasi penempatan pegawai, kepangkatan, pembinaan karier dan mutasi jabatan. 5) Bidang Kesejahteraan Pegawai

Bidang kesejahteraan pegawai mempunyai tugas menyiapkan bahan pembinaan jasmani, rokhani dan kesehatan, pemberian penghargaan serta peningkatan kesejahteraan pegawai. 6) Bidang Diklat

Bidang Diklat mempunyai tugas menyiapkan bahan penyusunan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis Diklat Prajabatan, Diklat Dalam Jaba tan dan Diklat Antar Lembaga serta Diklat Fungsional.7) Bidang Pemberhentian

Bidang pemberhentian mempunyai tugas melaksanakan perencanaan, pengelolaan dan evaluasi administrasi kepegawaian yang berkaitan de ngan penyusunan program dan petunjuk pembinaan disiplin pegawai, permasalahan pemberhentian dan pensiun.

8) Kelompok Jabatan Fungsional

Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan keahliannya.

2.2.3. Dasar Hukum1. Badan Kepegawaian Daerah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1 dan 2) bahwa setiap daerah dibentuk Badan Kepegawaian Daerah dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah.2. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Semarang.

2.2.4. Visi dan Misi Badan Kepegawaian Daerah Kora Semarang

1) Visi

Visi suatu organisasi adalah jangkauan atau prespektif ke depan suatu organisasi untuk mencapai apa yang diinginkannya, adapun visi Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang : TERWUJUDNYA MANAJEMEN KEPEGAWAIAN PEMERINTAH KOTA SEMARANG YANG PROFESIONAL.

2) Misi

Misi memiliki peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi, yaitu merupakan arahan sekaligus batasan dalam proses pencapaian tujuan. Misi Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang adalah :

a) Memberikan kontribusi nyata dalam perumusan kebijakan di bidang kepegawaian.

b) Mengembangkan sistem administrasi kepegawaian.

c) Meningkatkan kualitas dan mengembangkan karier pegawai.

d) Meningkatkan kesejahteraan serta pembinaan disiplin pegawai.2.2.5. Tugas dan Pokok Fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kota SemarangTugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Sema rang Lampiran VI pasal 2 dan 3 adalah :

1) Tugas Pokok

Tugas pokok Badan Kepegawaian Daerah adalah membantu Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kepegawaian.

2) Fungsi

a) Perumusan kebijakan teknis di bidang kepegawaian;b) Pelayanan penunjang penye lenggaraan pemerintahan daerah di bidang kepegawaian;c) Pengelolaan Kesekretariatan Badan;d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota.

2.2.6. Tujuan, Sasaran, Strategi dan Kebijakan Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang 1) Tujuan

Tujuan Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang adalah sebagai Berikut:

a) Menghasilkan rumusan kebijakan untuk mewujudkan aparatur Pemerintah Kota Semarang yang diharapkan, sesuai kompetensi PNS dan kebutuhan yang secara keseluruhan mengarah pada terselenggaranya pemerintahan yang baik.

b) Mewujudkan sistem administ rasi kepegawaian yang baik sebagai antisipasi tarhadap perkembangan kebutuhan informasi dan pelayanan di bidang kepegawaian.

c) Meningkatkan kualitas pegawai dan sistem pengembangan karier yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.

d) Meningkatkan kesejahteraan pegawai yang disertai dengan meningkatnya disiplin pegawai.

2) Sasaran

a) Terwujudnya perumusan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis di bidang kepegawaian.

b) Terwujudnya peningkatan tertib administrasi kepegawaian untuk mewujudkan ketersediaan informasi dan tata kepegawaian secara lengkap, tepat dan cepat.

c) Terwujudnya tertib administrasi proses kenaikan pangkat dan penataan pegawai serta penanganan berbagai masalah/kasus kepegawaian secara cepat dan tepat.

d) Terwujudnya peningkatan kualitas pegawai sehingga terwujud sumber daya aparatur Pemerintah Kota Semarang yang sesuai dengan kompetensi jabatan dan bidang tugasnya.

e) Terwujudnya kesejahteraan pegawai dan sumber daya aparatur yang sehat jasmani dan rohani, serta meningkatnya pembinaan agar terwujud disiplin pegawai sesuai dengan peraturan yang berlaku.3) Strategi

a) Merumuskan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis di bidang kepegawaian.

b) Meningkatkan tertib administrasi kepegawaian untuk mewujudkan ketersediaan informasi dan data kepegawaian secara lengkap, tepat dan cepat.c) Meningkatkan tertib administrasi proses kenaikan pangkat dan penataan pegawai serta penanganan berbagai masalah/kasus kepegawaian secara tepat dan cepat.

d) Meningkatkan kualitas pegawai sehingga terwujud sumber daya aparatur Pemerintah Kota Semarang yang sesuai dengan kompetensi jabatan dan bidang tugasnya.

e) Meningkatkan kesejahteraan pegawai dan sumber daya aparatur yang sehat jasmani dan rohani, serta meningkatnya pembinaan agar terwujud disiplin pegawai sesuai dengan peraturan yang berlaku. 4) Kebijakan

a) Perumusan kebijakan, pedoman dan petunjuk teknis di bidang kepegawaian.

b) Peningkatan tertib administrasi kepegawaian untuk mewujudkan ketersediaan informasi dan tata kepegawaian secara lengkap, tepat dan cepat.

c) Peningkatan tertib administrasi proses kenaikan pangkat dan penataan pegawai serta penanganan berbagai masalah/kasus kepegawaian secara tepat dan cepat.

d) Peningkatan kualitas pegawai sehingga terwujud sumber daya aparatur Pemerintah Kota Semarang yang sesuai dengan kompetensi jabatan dan bidang tugasnya.

e) Peningkatan kesejahteraan pegawai dan sumber daya aparatur yang sehat jasmani dan rohani, serta meningkatnya pembinaan agar terwujud disiplin pegawai sesuai peraturan yang berlaku.2.2.7. Jumlah Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota Semarang yang tercatat oleh Badan Kepegawaian Daerah 2010Pegawai yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Semarang Tahun 2010 berjumlah 16,319 orang (Lihat tabel 2.5). Kompetensi pegawai dapat dilihat dari tingkat eselon, golongan dan pendidikan sebagai berikut:Tabel 2.5Perbandingan PNS Perempuan dan PNS Laki-laki

KategoriJumlah%

PNS Laki-Laki7.78647,7

PNS Perempuan8.53352,3

Total16.319100

Sumber : BKD Kota Semarang tahun 2010

Tabel 2.5 menunjukkan bahwa prosentasi perbandingan PNS laki-laki dan PNS perempuan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Berdasarkan data diatas menunjukkan presentasi PNS perempuan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang sebesar 52,3% dibandingkan jumlah PNS laki-laki. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya regulasi ataupun kebijakan dari Pemerintah Kota Semarang yang memperhatikan mengenai kesetaraan dan keadilan gender di dalam birokrasi. a. Menurut Jabatan EselonTabel 2.6PNS Laki-laki dan PNS Perempuan menurut Jabatan EselonEselonLPJumlah

II/a101

II/b29837

III/a521062

III/b9837135

IV/a518292810

IV/b541368909

V/a203454

Jumlah12597492008

Sumber: BKD Kota Semarang 2010

Tabel diatas terlihat secara umum jumlah birokrasi yang ada dilingkungan Pemerintah Kota Semarang untuk pimpinan atau yang menduduki jabatan struktural adalah 2008 orang. Dari jumlah tersebut, 63%-nya masih didominasi oleh PNS laki-laki, sedangkan untuk PNS perempuan hanya sebesar 37% yang menduduki jabatan struktural. Belum setarannya kedudukan PNS laki-laki dan perempuan dalam jabatan struktural ini tentunya akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan sehingga ada kemungkinan kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat Pemerintah Kota Semarang masih belum memperhatikan kepentingan perempuan. Upaya penyetaraan gender dalam birokrasi di Pemerintah Kota Semarang perlu ditingkatkan.b. Menurut Golongan Tabel 2.7Jumlah Pegawai Menurut Golongan Tahun 2006-2010

Golongan 20062007200820092010

I11887101323464

II2,9602,7022,6392,8663,732

II7,3356,4926,9616,8267,333

IV4,1254,4674,6224,9335,150

Sumber: Bappeda Kota Semarang Tahun 2010c. Menurut Kualifikasi Pendidikan FormalTabel 2.8Tingkat Pendidikan PNS Laki-laki dan PerempuanNo.PendidikanJenis KelaminJumlah

Laki-LakiPerempuan

1SD36322385

2SLTP53557592

3SLTA2.2161.7593.975

4D-I31137168

5D-II4871.0501.537

6D-II4807911.271

7S-I3.1624.3657.527

8S-II449306755

9S-III112

Prosentasi48%52%100%

Sumber: BKD Kota Semarang Tahun 2010Pada tabel 2.7 menunjukkan bahwa PNS Perempuan memiliki tingkat pendidikan sebesar 58% lebih baik dibandingkan dengan PNS laki-laki. Sehingga seharusnya peluang dalam keterwakilan perempuan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang juga cukup tinggi untuk menduduki jabatan struktural. Namun persoalannya, ternyata masih adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kedudukannya sebagai pemimpin. Seharusnya PNS Perempuan yang memiliki potensi perlu dikembangkan dan diberi kesempatan untuk lebih memberdayakan diri sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk menjadi pimpinan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.2.2.8. Penjabaran Renstra (Rencana Strategis) Tahun 2006-2010 Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang

Badan Kepegawaian Daerah Kota Semarang telah menyusun Rencana Kerja Tahun 2010 yang merupakan acuan dan tolak ukur pelaksanaan kegiatan masing-masing bidang dan Sub Bidang serta Sekertariat beserta Sub Bagian, yang setiap bulannya dapat diukur hasil pelaksanaannya melalui laporan Realisasi Program dan Kegiatan Bulanan. Pada tahun anggaran 2010 dilaksanakan berbagai program dan kegiatan yang merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah daerah dan program/kegiatan penunjang yaitu sebagai berikut:a. Penyusunan formasi PNS

1. Dasar Hukum

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok - Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003.

2. Tujuan

Tujuan ditetapkannya formasi adalah agar satuan organisasi negara mempunyai jumlah dan mutu/kualitas pegawai sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pada masing-masing satuan organisasi.

3. Penyusunan Formasi

Pemerintah Kota Semarang dalam menyusun formasi adalah berdasarkan usulan kebutuhan dari masing-masing SKPD dengan memperhatikan pegawai yang pensiun, berhenti dan meninggal dunia, yang kemuadian dengan Surat Walikota dimintakan persetujuan ke Menpan dan BKN lewat Gubernur.

Adapun formasi kebutuhan PNS Pemerintah Kota Semarang berdasarkan Rekapitulasi Kebutuhan PNS Daerah dari 50 SKPD Tahun Anggaran 2010 adalah jumlah pegawai yang tercatat sebagai PNS berkisar 16.393 orang dan yang tercatat sebagai Non PNS sebesar 573, sehingga jumlah kebutuhan pegawai hingga desember 2010 mencapai 20.149 orang, jumlah kekurangan pegawai dan usulan tambahan mencapai 3.755 serta yang berdasarkan atas persetujuan Menpan sebesar 330 orang.b. Tenaga Pekerja Harian Lepas

Tenaga Pekerja Harian Lepas (TPHL) merupakan tenaga tambahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Semarang.

Tabel 2.9Data TPHL Pemerintah Kota Semarang Tahun 2010

No.Data TPHLJumlah

1SK Penugassan Kembali573

2SK Penugasan Baru-

3SK Pemberhentian350

4SK Perjanjian Kontrak573

Sumber: BKD Kota Semarang keadaan Desember 2010c. Pengadaan CPNS Tahun 2010

Dasar Hukum

Surat Menpan Nomor B/2747.M.PAN-RB/10/2010 tanggal 29 Oktoner 2010 perihal: Perubahan Persetujuan Prinsip Tambahan Formasi CPNS Daerah Tahun 2010. Ditetapkan Alokasi Formasi Tahun 2010 sejumlah 330 formasi dengan rincian sebagai berikut:1. Formasi Pelamar Umum

Guru

: 95

Tenaga Kesehatan

: 63

Tenaga Teknis

: 1722. Formasi Honorer

: -

d. Kenaikan Pangkat PNS dan Mutasi Pegawai

Kenaikan Pangkat (KP) bukanlah hak bagi seorang PNS. Sesuai pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 12 Tahun 2002 disebutkan bahwa kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS terhadap negara. Kenaikan pangkat juga dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada PNS untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya. Sedangkan yang berkaitan dengan mutasi, untuk kepentingan kedinasan dan sebagai salah satu usaha untuk memperluas pengalaman, wawasan dan kemampuan maka diadakan perpindahan jabatan, tugas dan wilayah kerja bagi PNS. Termasuk bagi yang menjabat pimpinan dengan tidak merugikan hak kepegawaiannya. Pelaksanaan mutasi dan penempatan staf di lingkungan Pemerintahan Kota Semarang, masih muncul pemahaman yang beragam terhadap kewenangan dalam hal mutasi PNS antar SKPD. e. Peningkatan Kualitas SDM

f. Penghargaang. Kesehatan Jasmani dan Rohani

h. Pembinaan Disiplin Pegawaii. Pemberhentian dan Pensiun PNSPemberhentian sebagai PNS yaitu pemberhentian yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai PNS.Macam pemberhentian PNS ada 8 yaitu:

1. Pemberhentian PNS atas permintaan sendiri;

2. Pemberhentian PNS karena telah mencapai batas usia pensiun;

3. Pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi;

4. Pemberhentian karena melakukan pelanggaran tindak pidana/ penyelewengan;

5. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan rohani;

6. Pemberhentian karena meninggalkan tugas;

7. Pemberhentian karena meninggal dunia;

8. Pemberhentian karena hal-hal lain.

Sedangkan untuk pensiun PNS adalah hak PNS yang diberikan oleh Pemerintah sebagai Jaminan Hari Tua dan sebagai penghargaan atas jasanya selama bertahun-tahun bekerja kepada Pemerintah. Untuk kelancaran dan ketepatan waktu pemenuhan hak Pensiun PNS diharapkan kelengkapan berkas persyaratan pensiun sudah dapat disampaikan ke BKD Kota Semarang paling lambat 6 (enam) bulan sebelum yang bersangkutan pensiun, sehingga sebagaiman selama ini sudah berjalan Surat Keputusan Pensiun sudah dapat diterima paling lambat 3 bulan sebelum jatuh tempo. BAB IIIREKRUITMENT PNS PEREMPUAN DALAM JABATAN STRUKTURAL

3.1. Mekanisme Rekruitmen Jabatan Struktural

3.1.1. Kedudukan PNS

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa keberadaan Pegawai Negeri Sipil pada dasarnya adalah menjadi aparatur Negara yang memiliki tanggungjawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil ada proses dan mekanisme yang harus dilalui sebagaimana ketentuan perundangan yang berlaku, dimana para calon PNS harus melewati seleksi administrasi dan juga ujian tertulis. Mekanisme (aturan hukum) rekruitmen Pegawai Negeri Sipil yang dibuat oleh pemerintah diatur dalam bentuk Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Keberadaan undang-undang ini adalah dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani dan taat hukum, berperadaban modern demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi. Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara melaksanakan tugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pegawai Negeri Sipil dengan demikian dapat dipahami sebagai setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara lainnya. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pegawai negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan bekerja pada departemen, lembaga pemerintah non departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, instansi vertikal di daerah propinsi/kota, kepaniteraan pengadilan atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainya. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah atau dipekerjakan diluar instansi induknya.

3.1.2. Jabatan Struktural

Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari bagian-bagian yang menunjukkan berbagai detail tugas yang secara otomatis nantinya akan muncul yang bernama individual role atau ada orang-orang yang akan menduduki suatu jabatan. Untuk menduduki suatu jabatan, seseorang mempunyai kewajiban yang harus dilakukan selama menjalankan tugasnya. Sedangkan untuk jabatan struktural dalam Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung-jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara.Jabatan struktural ini erat kaitannya dengan Eselon, yaitu tingkatan dalam jabatan struktural yang disusun berdasarkan berat ringannya tanggung-jawab, wewenang dan hak. Jabatan dilingkungan PNS juga diatur dalam hirarki yang menunjukkan luas-sempitnya tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung-jawab yang harus dilaksananakan dalam jabatan tersebut. Seorang PNS yang akan menduduki jabatan struktural pada suatu instansi Pemerintah memerlukan persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan jabatannya. Dan semua persyaratan dalam jabatan struktural harus sesuai dengan yang tercantum dalam undang- undang dan peraturan pemerintah. Pengaturan jenjang kepangkatan untuk dapat menduduki jabatan struktural berdasarkan esselonering sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002 sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 3.1

Eselon dan Jenjang Pangkat Jabatan StrukturalTertinggi sampai Terendah

No.

EselonJenjang Pangkat, Golongan / Ruang

TerendahTertinggi

PangkatGol/RuangPangkatGol/Ruang

1I aPembina Utama MadyaIV/dPembina UtamaIV/e

2I bPembina Utama MudaIV/cPembina UtamaIV/e

3II aPembina Utama MudaIV/cPembina Utama MadyaIV/d

4II bPembina Tingkat IIV/bPembina Utama MudaIV/c

5III aPembina IV/aPembina Tingkat IIV/b

6III bPenata Tingkat IIII/dPembinaIV/a

7IV aPenata III/cPenata Tingkat IIII/d

8IV bPenata Muda Tingkat IIII/bPenataIII/c

9VPenata MudaIII/aPenata Muda Tingkat IIII/b

Sumber: Keputusan Kepala BKN Nomor 13 Tahun 2002Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural dinyatakan bahwa pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat-syarat obyektif lainnya, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, rasa atau golongan. Dengan demikian jelas secara normatif sesungguhnya telah ada jaminan bahwa tidak adanya diskriminasi bagi PNS perempuan untuk meraih peluang yang sama dengan PNS Laki-laki dalam menduduki jabatan di birokrasi, baik jabatan fungsional maupun jabatan struktural.Realitasnya dalam proses pengangkatan PNS perempuan dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintah Kota Semarang sebagai data hasil penelitian terdapat beberapa temuan antara lain:

1. Adanya faktor X yang kemungkinan adalah faktor kedekatan hubungan yang sulit dikontrol dan tidak bisa diganggu gugat. Sehingga ada pegawai yang memiliki pangkat lebih rendah namun sudah menduduki jabatan tertentu. Sedangkan untuk yang sudah memenuhi syarat dalam jenjang pangkat atau memiliki pangkat yang mencukupi masih belum bisa menduduki jabatan struktural.2. Adanya kemampuan seseorang untuk melakukan lobi dengan pejabat penentu agar bisa meraih jabatan struktural. Hal inilah yang tidak semua perempuan dapat melakukannya.3. Belum adanya pola pengembangan karier yang tertulis dalam bentuk Perda maupun Peraturan Walikota, yang bisa menjadi dasar bagi para pegawai untuk bisa bersaing secara sehat dalam menduduki jabatan struktural. Meskipun banyak perempuan yang memiliki kapasitas baik karena pendidikan maupun pengalaman kerjanya namun kesempatannya masih belum ada atau tepatnya sistemnya yang belum memberikan ruang yang luas bagi perempuan. 4. Adanya politisasi dalam penentuan pejabat struktural. Praktek politik balas budi ini akibat dari faktor subyektifitas Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian bisa jadi lebih menentukan seseorang meraih jabatan struktural dibandingkan dengan faktor obyektif, termasuk masukan dari Baperjakat.

Dalam rangka memberikan landasan yang menjamin Pegawai Negeri Sipil dapat mengembangkan kariernya secara terbuka, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang menjadi pedoman bagi pejabat yang berwenang dan yang secara fungsional membidangi manajemen kepegawaian, dalam memproses pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dari jabatan struktural dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hal tersebut. Keberadaan aturan ini sangat penting karena selama ini muncul asumsi umum bahwa promosi dan juga mutasi dalam jabatan struktural di birokrasi sering diwarnai oleh isu-isu yang kurang menguntungkan misalnya adanya faktor kedekatan, faktor like dan dislike serta mengabaikan aspek-aspek profesionalisme.Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural harus dilakukan secara obyektif, selektif dan terbuka sehingga akan menumbuhkan semangat berkompetensi secara sehat. Metode seleksi jabatan seperti ini akan menumbuhkan minat Pegawai Negeri Sipil untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, sehingga nantinya juga akan mendapatkan pejabat-pejabat professional yang mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.Jabatan struktural sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2000 adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. Selanjutnya dalam Pasal 5 diatur persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural yang antara lain adalah :

a) Berstatus Pegawai Negeri Sipil. Jabatan struktural hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil. Calon Pegawai Negeri Sipil yang tidak dapat menduduki jabatan struktural biasanya dikarenakan masih dalam masa percobaan dan belum mempunyai pangkat.b) Serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan. Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki pangkat satu tingkat lebih rendah dari jenjang pangkat untuk jabatan struktural tertentu, dipandang telah mempunyai pengalaman atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan jabatannya.

c) Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan. Kualifikasi dan tingkat pendidikan pada dasarnya akan mendukung pelaksanaan tugas dalam jabatannya secara profesional, khususnya dalam upaya penerapan kerangka teori, analisis maupun metodologi pelaksanaan tugas dalam jabatannya.

d) Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir. Penilaian prestasi kerja/Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaaan (DP-3) pada dasarnya adalah penilaian dari atasan langsungnya terhadap pelaksanaan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, dan digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dapat diangkat kedalam jabatan yang lebih tinggi. Dalam DP-3 memuat unsur-unsur yang dinilai yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Apabila setiap unsur yang dinilai sekurang-kurangnya bernilai baik dalam jangka waktu 2 tahun terakhir, maka pegawai yang bersangkutan memenuhi salah satu syarat untuk dapat dipertimbangkan di angkat dalam jabatan struktural.

e) Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan dan Sehat jasamani dan rohani.Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif dan eresien.

f) Sehat jasmani dan rohani.

Sehat jasmani dan rohani disyaratkan dalam jabatan struktural karena seseorang yang akan diangkat dalam jabatan tersebut harus mampu menjalankan tugas secara profesional, efektif dan efesien. Sehat jasmani diartikan bahwa fisik seorang Pegawai Negeri Sipil tidak dalam keadaan sakit-sakitan sehingga mampu menjalankan jabatannya dengan sebaik- baiknya. Sehat rohani diartikan bahwa seorang Pegawai Negeri sipil tidak dalam keadaan terganggu mentalnya atau jiwanya, sehingga mampu berpikir dengan baik dan rasional.Kemudian Pasal 6 menyatakan, disamping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah perlu memperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, usia, pendidikan dan pelatihan jabatan, dan pengalaman yang dimiliki. Sedangkan Pasal 7 mengatur Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan struktural belum mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan tingkat jabatan struktural wajib mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan sesuai dengan tingkat jabatan struktural wajib mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak yang bersangkutan dilantik. Kemudian pasal 8 mengatur Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional.Pada pasal 10 juga disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dari jabatan struktural apabila:

1. Mengundurkan diri dari jabatan yang didudukinya;

2. Mencapai batas usia pensiun;

3. Diberhentikan sebagai PNS;

4. Diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional;

5. Cuti diluar tanggungan negara, kecuali cuti karena persalinan;

6. Tugas belajar lebih dari 6 bulan;

7. Adanya perampingan organisasi pemerintah;

8. Tidak memenuhi kesehatan jasmani dan rohani;

9. Hal hal lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.

Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural dimaksudkan untuk membina karier Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural dan kepangkatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan pelaksanaan pengangkatan dalam jabatan struktural memiliki tujuan untuk memberikan pedoman kepada pejabat yang berwenang dan pejabat secara fungsional membidangi manajemen Pegawai Negeri Sipil dalam memproses pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural.3.2. Akses dan Peluang PNS Perempuan Dalam Jabatan Struktural3.2.1. Kondisi Perempuan saat iniFenomena perempuan di sektor publik bukanlah hal yang baru di tengah masyarakat. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, biasanya para perempuan memiliki pekerjaan di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Meski bukan fenomena baru, namun masalah perempuan di sektor publik ini nampaknya masih terus menjadi perdebatan sampai sekarang. Bagaimanapun, masyarakat masih memandang keluarga yang harmonis adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri di rumah dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat masih menganggap bahwa idealnya suami yang berperan sebagai pencari nafkah dan istri menjalankan fungsinya mendidik anak dan mengurus rumah tangga.

Anggapan stereotype tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk kepada perempuan yang bekerja di sektor publik. Belum lagi jika perempuan harus mengalami dua peran sekaligus didalam keluarganya yakni sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan pencari nafkah. Hal ini akan membawa perempuan pada beban ganda dan posisi yang dilematis jika tidak adanya dukungan sistem dari pemerintah.

Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderunganperempuan terpinggirkan, termasuk juga mereka yang berada di Birokrasi. Meskipun secara keseluruhan jumlah perempuan yang menjadi PNS di Kota Semarang lebih besar dibandingkan dengan PNS laki-laki, tetapi PNS yang menduduki jabatan struktural relatif kecil. Dari jumlah jabatan struktural yang ada di Kota Semarang tahun 2011 yang total keseluruhannya adalah 2008 jabatan mulai eselon II a hingga eselon V b jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural sebanyak 749 orang (37 %) sedangkan PNS laki-laki sebanyak 1259 orang (63%). Sedangkan kalau dilihat dari jabatan struktural yang strategis yaitu eselon II b (Kepala SKPD) dari keseluruhan jabatan yang berjumlah 29 jabatan, jumlah PNS perempuan yang menjadi pejabat eselon IIb berjumlah 8 orang atau 22 % sedangkan PNS laki-laki sebanyak 29 orang atau 78 %. Hal ini dapat mengundang tanda tanya mengapa jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural lebih sedikit. Padahal kalau dilihat dari jenjang pendidikan yang dapat menjadi tolok ukur paling mudah untuk melihat aspek kapabilitas PNS perempuan ini tingkat pendidikanya lebih tinggi, terutama di jenjang pendidikan tinggi. Terkait dengan fakta yang demikian dari berbagai wawancara yang dilakukan mengundang berbagai reaksi sebagaimana yang penulis peroleh dari narasumber berikut ini:Akses dan peluang PNS perempuan untuk menduduki jabatan struktural sangat besar dan terbuka, karena sesungguhnya tidak ada perbedaan antara PNS perempuan dan PNS laki-laki untuk menduduki jabatan struktural, asalkan yang bersangkutan memenuhi persyaratan. Jadi sekali lagi saya tegaskan tidak ada diskrininasi. Kalau kenyataannya untuk pengisian jabatan yang lowong yang diajukan oleh SKPD memang PNS laki-laki kita memang tidak bisa apa-apa, kita tidak dapat merekayasa dan memaksa. Tapi pada prinsipnya rambu-rambunya sudah jelas, siapapun baik PNS Perempuan maupun PNS laki-laki sama hak-nya dan dijamin oleh peraturan dalam proses rekruitmen jabatan struktural.

Secara normatif peluangnya memang sangat terbuka karena aturan kepegawaian memang menjamin penjenjangan karier yang sama antara PNS perempuan dan PNS Laki-laki..tapi dalam prakteknya kan tidak selalu sama. Di birokrasi itu masalah kapasitas dan kecakapan bukan jaminan utama. Ada pepatah menyatakan bahwa siapa dekat akan siap melesat cepat. Artinya disamping kepemilikan leadership juga dibutuhkan kemampuan untuk melakukan lobi dan pendekatan kepada pejabat-pejabat penentu keputusan. Dalam hal yang demikian tidak semua PNS perempuan punya jaringan dan akses terhadap pusat kekuasaan dan tidak semua perempuan mau melakukannya walaupun memiliki akses ke pusat kekuasaan. Berbeda dengan laki-laki yang secara kodrat memang punya naluri mengejar kekuasaan, bahkan bisa secara pro aktif melakukan lobi dengan berbagai cara.

Peluangnya sangat terbuka karena aturannya sendiri kan sudah ada bagaimana pengisian jabatan struktural di aturan kepegawaian. Artinya PNS perempuan memang dijamin kesempatannya sama dengan PNS laki-laki, dimana kalau ada jabatan yang lowong, SKPD akan menginventarisasi calon berdasarkan DUK atau Daftar Urutan kepangkatan (senioritas) dan juga penilaian kinerja dari atasan langsung. Tapi saya harus bicara jujur bahwa tidak jarang ada inkonsistensi sikap pejabat penentu keputusan, karena seringkali mengabaikan kinerja dan mengedepankan factor X yang sulit dikontrol dan sulit dilakukan penggugatan. Saya sendiri mengalaminya dimana berdasarkan kepangkatan seharusnya sudah sejak lima tahun yang lalu saya dipromosikan sebagai Kasie, tapi baru tahun 2011 ini. Sebabnya ya karena factor X tadi.

Menurut saya PNS perempuan di Pemerintah Kota Semarang memiliki peluang yang sangat terbuka untuk menduduki jabatan struktural. PNS perempuan juga telah terbukti memberikan kontibusi yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini dikarenakan jumlah PNS perempuan secara keseluruhan memang lebih besar dari PNS laki-laki. PNS yang menduduki jabatan struktural juga cukup banyak mulai di eselon II b sampai V ada PNS perempuan didalamnya. Saat ini bahkan ada delapan PNS perempuan yang menjadi kepala SKPD, eselonnya IIb. Jadi peluangnya sama, tidak ada diskriminasi, asalkan sudah memenuhi persyaratan adminitratif yang ditentukan, setiap PNS perempuan juga berhak diajukan dalam pencalonan jabatan struktural.

Dari berbagai pendapat tersebut diatas bisa diambil kesimpulan bahwa setiap ada jabatan yang kosong wajib diinformasikan kepada pegawai agar secara normatif atau secara regulatif ada jaminan akses yang sama antara PNS perempuan dan PNS laki-laki untuk menduduki jabatan struktural. Hal ini karena