REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA …repository.unissula.ac.id/9875/3/DAFTAR...

48
vii REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA A. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945. KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958. KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental ( Civil Law System) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Familyatau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and individual rights”. Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa ( volkgeist) Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identitas dan perumusan ciri negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh karena itu perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembaharuan hukum nasional. Adian Husaini menuturkan arti pentingnya Pancasila sebagai worldview dan pijakan nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila, yakni nilai ketuhanan (religius), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan merupakan nilai-nilai filosofi bangsa dalam membangun hukum Indonesia ke depan. Pancasila sebagai ideologi, dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia inilah yang bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat

Transcript of REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA …repository.unissula.ac.id/9875/3/DAFTAR...

vii

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA

MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan

peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945.

KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku

di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958.

KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental (Civil Law

System) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Family”

atau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and

individual rights”.

Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan

karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist)

Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identitas dan perumusan ciri negara

Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara

hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh

karena itu perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan

internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembaharuan hukum nasional.

Adian Husaini menuturkan arti pentingnya Pancasila sebagai worldview

dan pijakan nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila

Pancasila, yakni nilai ketuhanan (religius), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,

dan keadilan merupakan nilai-nilai filosofi bangsa dalam membangun hukum

Indonesia ke depan. Pancasila sebagai ideologi, dasar dan falsafah hidup bangsa

Indonesia inilah yang bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara

sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi

sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat

viii

multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat

yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, di sisi lain Pancasila mempunyai

nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong

persoalan kekinian dan kemasadepanan.

Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila menjadi sangat relevan dalam

rangka membangun jati diri hukum yang bercorak Indonesia. Bangunan hukum

yang mencerminkan nilai-nilai, norma, falsafah bangsa Indonesia. Demikian pula

dalam ranah hukum pidana yang masih memberlakukan Kitab Undang-Undang

Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie untuk selanjutnya

disingkat W.v.S.N.I. atau W.v.S. (KUHP)) yang berasal dari Belanda. W.v.S.

Belanda ini berasal dari Code Penal Perancis buatan Tahun 1791 Masehi. KUHP

(W.v.S) yang masih dipakai di Indonesia ini sudah berusia sekitar 3 abad lamanya.

Apabila dilihat dari rentang waktu yang demikian panjang dengan kultur

masyarakat yang berbeda antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Eropa

(Perancis dan Belanda), maka terdapat perbedaan latar belakang sejarah yang

diiringi dengan perbedaan nilai diantara kedua budaya (kultur) bangsa ini.

Dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan

kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka KUHP (W.v.S.)

sebagai produk hukum kolonial bukanlah harga mati yang harus dipertahankan di

negeri kita. Terlebih ketika di negeri asalnya, W.v.S. sudah berkali-kali mengalami

rekonstruksi. Masih patutkah KUHP dipertahankan seiring dengan dinamika

masyakarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat? Demikian pula aturan yang

mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP

(W.v.S.) dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang saat ini dinilai

masih terfragmentaris.

Bertolak dari pendapat di atas, maka disertasi ini akan mengkaji

komponen norma hukum dan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan

pidana pokok dalam hukum pelaksanaan pidana (hukum penitensier) yang

bercelup Indonesia. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk

menganalisis dan merekonstruksi dalam bentuk disertasi sehingga memenuhi

ix

kaidah tertib negara hukum Indonesia yang berjiwa Pancasila dengan judul

penelitian disertasi,“Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati

Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka

penulis membatasi permasalahan sebagaimana point-point di bawah ini:

1. Bagaimana kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum

pidana positif saat ini?

2. Bagaimana kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati dalam

hukum pidana positif saat ini?

3. Bagaimana rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati

berbasis nilai-nilai Pancasila?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pelaksanaan pidana

mati dalam hukum pidana positif saat ini.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis kelemahan-kelemahan hukum

pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini.

3. Untuk menganalisis dan merekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan

pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat/kegunaan baik

secara teoretis maupun praktis;

x

1. Kegunaan Teoretis

Menemukan teori baru kebijakan hukum pelaksanaan pidana dalam upaya

pembangunan hukum pidana yang bercelup Indonesia, sesuai dengan jati diri,

falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.

2. Kegunaan Praktis

Memberi masukan bagi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan

masyarakat guna mempertimbangkan seberapa efektif kebijakan hukum

pelaksanaan pidana saat ini yang masih mempertahankan produk hukum

kolonial.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Hakikat penelitian ini adalah menganalisis kebijakan

legislatif/formulatif dalam menetapkan dan merumuskan sistem hukum

pidana/sistem pemidanaan yang meliputi hukum pelaksanaan pidana. Oleh

karena itu pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Dalam penelitian hukum normatif digunakan beberapa pendekatan, yaitu

pendekatan perundang-undangan (statute appproach), pendekatan konseptual

(conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative

approach).

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dilakukan dalam menyusun disertasi ini

adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dalam

penelitian hukum normatif, perbandingan hukum merupakan suatu metode.

Dengan metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap

pelbagai sub-sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau

secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum pelbagai masyarakat

yang berbeda-beda.

3. Jenis dan Sumber Data

xi

Jenis dan data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang

bahan-bahannya diambil dari pustaka/bahan-bahan pustaka. Data sekunder

yang diteliti dalam disertasi yang disusun ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri:

1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pancasila yang terdapat

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

2. Peraturan Dasar; Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945,

Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/PJP

(Pembangunan Jangka Panjang).

3. Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya mencantumkan

ketentuan hukum pelaksanaan pidana, serta Peraturan Pelaksananya

yaitu Peraturan Pemerintah.

4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat dan

hukum agama.

5. Yurisprudensi.

6. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih

berlaku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

/KUHP/W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti rancangan undang-undang (yang diteliti meliputi;

RUU KUHP Tahun 2015 dan Konsep KUHAP Baru Tahun 2009), Kitab

Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana Negara Lain, hasil-hasil

penelitian dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum (pidana).

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya,

kamus, ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Berpijak dari penelitian yang dilakukan dengan memusatkan perhatian

pada data sekunder melalui studi pustaka, maka bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan perumusan masalah yang

xii

telah ditetapkan, kemudian diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya

untuk dikaji secara komprehensif.

5. Metode Analisis Data

Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini

dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.

Penggunaan metode analisis deskriptif kualitatif ini sangat berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas dalam disertasi, seperti yang telah dikemukakan

dalam perumusan masalah. Analisis kualitatif normatif terhadap data yang

disajikan secara kuantitatif, berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif.

F. Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana

Positif Saat Ini

Hukum Pelaksanaan Pidana berupa pidana mati di Indonesia saat ini diatur

dalam UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden

dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Penetapan Presiden yang

dimaksud adalah Penpres No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum

dan Militer.

Ketentuan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak

sampai mati ini merubah ketentuan dalam Pasal 11 KUHP yang berbunyi, “Pidana

mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang

terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan

tempat terpidana berdiri.” Pelaksanaan pidana mati oleh algojo di tiang gantungan

ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan. Oleh karena itu perlu

diadakan penyesuaian sebagaimana diatur dalam Penpres No. 2 Tahun 1964.

Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati dan Penpres No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan

Peradilan Umum dan Peradilan Militer, ternyata tak semua senjata diisi peluru

tajam. Hanya tiga senapan laras panjang diisi peluru tajam, sementara sembilan

senapan lain diisi peluru hampa.

xiii

G. Kelemahan-Kelemahan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum

Pidana Positif Saat Ini

Dalam konteks Indonesia, berkaitan dengan membatasi penerapan pidana

mati dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2-3/PUU-

V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan,

penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal

penting:

a) Pidana mati bukan merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang

bersifat khusus dan alternatif.

b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)

tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana

penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.

d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit

jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana

yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Kontroversi seputar pidana mati mengemuka antara aliran abolitionist

yang kontra dengan pidana mati dengan penganut yang menyatakan masih

perlunya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana (retentionist).

Ada dua golongan tentang pidana mati ini:

Golongan yang tidak setuju, alasannya:

a. Sifatnya mutlak, tidak dapat ditarik kembali

b. Kesesatan hakim

c. Bertentangan dengan perikemanusiaan, moral dan etika

d. Berhubungan dengan tujuan pemidanaan: Tujuan perbaikan tidak tercapai dan

Pelaksanaannya tidak di muka umum, sehingga rasa takut (generale preventie)

tidak tercapai.

e. Adanya rasa belas kasihan kepada si terpidana

Golongan yang setuju, alasannya:

a. Pelaku sudah melakukan tindakan yang melanggar HAM dan sila-sila

Pancasila

xiv

b. Alat keamanan kurang

c. Heterogenitas penduduk Indonesia, terjadi bentrokan

d. Perlu untuk tindak pidana tertentu, yaitu misalnya untuk pembunuhan

berencana, tindak pidana korupsi, tindak pidana HAM, tindak pidana bagi

pengedar narkotika.

Terlepas dari kontroversi pendapat yang pro maupun yang kontra terhadap

pidana mati, namun secara yuridis formal pidana mati masih diterapkan di

Indonesia.

Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia

harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat

menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu

yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak

hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana

tertentu. Namun, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan

seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran-

pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat telah

terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat

dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk undang-undang maupun hakim

karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah

masyarakatnya.

H. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-

Nilai Pancasila

Melakukan kebijakan hukum pidana termasuk didalamnya kebijakan

hukum pelaksanaan pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional,

dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach).

Jadi sudah semestinya antara pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai tidak

dipandang secara dikotomi. Dimana di dalam pendekatan kebijakan sudah

seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor nilai.

xv

Terlebih bagi negara Indonesia yang memiliki Pancasila yang sarat akan

nilai-nilai dan garis kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan membentuk

manusia Indonesia yang seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai

sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula

diperhatikan. Pendekatan humanistis menjadi hal yang penting diperhatikan bukan

hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan,

tetapi juga karena pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat

menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.

Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya

berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan

nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si

pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup

bermasyarakat.

Selain itu, langkah pembaharuan juga perlu memperhatikan landasan

sosio-filosofis dan sosiokultural sistem hukum nasional yang dilatarbelakangi oleh

kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus

perubahan/penggantian KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman

kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform”(pembaharuan

hukum pidana). Termasuk dalam pembaharuan ini adalah pembaharuan hukum

acara pidana (criminal procedur law) dan hukum pelaksanaan pidana (criminal

law implementation).

Bertolak dari pemikiran di atas, maka ide pembaharuan hukum pidana

tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional

yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang

dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga

dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang

mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius

(ketuhanan); (b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi; (e)

keadilan sosial.

Dengan mengemukakan hal-hal di atas ingin ditekankan, bahwa

penggalian hukum agama dan hukum tradisional merupakan hal yang wajar dan

xvi

bahkan dapat dikatakan merupakan “tuntutan zaman”. Khususnya bagi bangsa

Indonesia, hal itu jelas merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan

“kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan

direkomendasikan dalam berbagai perundang-undangan dan seminar-seminar

nasional selama ini. Masalahnya adalah bagaimana menggali,

mentransformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai hukum tradisional (hukum

adat) dan nilai-nilai hukum agama sehingga dapat diterima menjadi norma-norma

yang terintegrasi dalam sistem hukum nasional.

Oleh karena itu disertasi ini menjadikan RUU KUHP2015 sebagai dasar

rujukan mengingat adanya pembaharuan orientasi nilai yang dicita-citakan yang

bermuatan nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik, dan sosiokultural bangsa

Indonesia yang berbasis nilai-nilai Pancasila didalamnya.

Pasal 10 KUHP menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana

pokok. Pidana mati merupakan pidana paling berat dalam susunan jenis pidana

(straf soort). Pelaksanaan pidana mati saat ini dilakukan oleh regu tembak dengan

cara ditembak sampai mati dan dilakukan secara tertutup. Tata cara pelaksanaan

pidana mati ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1964

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di

Lingkungan Peradilan Umum dan Militerjo Peraturan Kapolri (Kapolri) No. 12

Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Ide (gagasan) keseimbangan terdapat dalam prinsip-prinsip dalam hukum

(pidana) Islam secara substansial sudah banyak diadopsi dalam hukum nasional

yang secara historis merupakan peninggalan hukum Barat, namun masih ada yang

kurang mendapat tempat sewajarnya dalam hukum pidana positif Indonesia,

diantaranya:1

1 Lihat, Mahmutarom HR, 2016, Rekonstruksi Konsep Keadilan (Studi tentang

Perlindungan Korban Tindak Pidana Terhadap Nyawa Menurut Hukum Islam, Konstruksi

Masyarakat dan Instrumen Internasional, Cetakan Ke-3, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang, hlm. 338-339.

xvii

a. Perlu adanya transparansi dalam proses peradilan pidana sebagai bentuk

peradilan yang jujur, tidak memihak dengan mengedepankan keadilan dan

kebenaran (Rule of Justice atau Rule of Morality) dan bukan sekedar

menegakkan undang-undang (Rule of Law). Terlebih peradilan yang

mengancam pidana mati terhadap terdakwa. Peradilan yang ketat dalam hal

pembuktian, transparan, mengedepankan keadilan, kebenaran, kejujuran dan

bermartabat sangat dibutuhkan dalam menentukan ‘nasib’ seorang terdakwa.

b. Eksekusi hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik. Pelaksanaan

eksekusi pidana mati yang saat ini diterapkan di Indonesia dengan cara

ditembak sampai mati dalam beberapa kasus tidak langsung menyebabkan

kematian terhadap terpidana mati. Hal ini tentu saja menyebabkan rasa sakit

yang luar biasa dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila

kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu perlu

dipertimbangan untuk eksekusi yang langsung menyebabkan kematian

dengan meminimalisir rasa sakit yang memutus “kabel” (spinal cord) antara

dua titik sentral kehidupan manusia yakni jantung dan otak.

c. Hakim hendaknya memiliki keberanian, progresif dan bersifat aktif dalam

mencari dan menemukan kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan

kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

d. Perlu ditingkatkan perlindungan terhadap masyarakat terutama korban dan

wali korban melalui peran sertanya dalam proses peradilan pidana di bawah

koordinasi hakim. Termasuk perlindungan terhadap bayi (anak) bagi

terpidana mati yang sedang hamil, hendaknya eksekusi ditangguhkan

xviii

minimal selama 2 tahun agar terpidana (Ibu) dapat memberikan ASI (Air

Susu Ibu) untuk anaknya. Demikia pula untuk terpidana mati yang sakit jiwa

dan sakit keras ditunda eksekusinya hingga terpidana sembuh dari sakitnya.

Pemeriksaan terhadap kondisi terpidana mati dilakukan oleh tim medis

(dokter) terkait.

e. Dibukanya peluang untuk melakukan rekonsiliasi melalui permintaan maaf

dari pelaku kepada korban/keluarga korban melalui hakim dalam sidang yang

dinyatakan terbuka untuk umum.

f. Dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai salah satu bentuk

tanggung jawab pelaku akan kelangsungan hidup korban atau keluarga

korban (dalam kasus tindak pidana (kejahatan) terhadap nyawa) dalam jumlah

yang disepakati sesuai dengan kondisi korban dan kemampuan pelaku

berdasar kebijaksanaan hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.

g. Adanya pemberian maaf dan/atau pemberian santunan atau ganti rugi bukan

merupakan akhir dari perkara, hakim sebagai wakil dari negara dengan

kearifan dan kebijaksanaannya dapat memberikan sanksi tambahan atas dasar

pertimbangan kepentingan masyarakat dalam arti luas.

h. Pelaksanaan hukum tidak hanya sekedar untuk mewujudkan

kemaslahatan/kepentingan umum, tetapi juga harus mampu menghindari

datangnya kemungkinan kerusakan atau kemaksiatan. Dalam hal terjadi

benturan kepentingan, maka menghindari kerusakan harus lebih diutamakan

sekalipun juga pada sisi lain dapat mendatangkan kemaslahatan.

xix

i. Penerapan hukum hendaknya memperhatikan ide-ide, nilai-nilai, konsep serta

tujuan hukum yang dibalik ketentuan undang-undang, karena undang-undang

haruslah tunduk kepada ide-ide, nilai-nilai serta tujuan hukum tersebut. Di

samping itu juga harus memperhatikan kondisi-kondisi riil yang ada dalam

masyarakat yang meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan masyarakat yang

meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan serta norma-norma sosial yang ada,

sehingga tidak harus serba seragam.

j. Penerapan hukum pelaksanaan pidana mati hendaknya juga memperhatikan

pendapat maupun instrumen internasional terutama penolakan pidana mati

dari aliran abolitionist dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi

manusia dengan tidak memasukkan pidana mati sebagai pidana pokok akan

tetapi sebagai pidana khusus yang diatur secara alternatif. Disertai dengan

ketatnya dalam hal pembuktian dan proses persidangan yang menegakkan

keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pidana mati hanya diterapkan untuk

tindak pidana yang masuk dalam kategori the most seroius crimes, seperti:

tindak pidana terhadap nyawa manusia (seperti: pembunuhan, terorisme,

genoside), korupsi, pengedar narkotika dan psikotropika, dan tindak pidana

lainnya yang perlu dirumuskan secara nasional dalam rangka terciptanya

masyarakat yang adil, makmur, aman,nbahagia dan sejahtera.

Berdasarkan uraian di atas, maka rekonstruksi nilai kebijakan hukum

pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan

perlindungan hukum bagi pelaku dan korban secara seimbang. Asas-asas hukum

yang dapat dijadikan pondasi dalam kerangka rekonstruksi kebijakan hukum

xx

pelaksanaan pidana mati yang berkaitan dengan perlindungan pelaku dan dan

korban secara seimbang diantaranya dijabarkan sebagai berikut:

1. Asas Ketuhanan dapat diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana menjalankan

kewajiban agama2 (hukum yang hidup) seperti kewajiban untuk berpuasa 2

bulan berturut-turut bagi pelaku pembunuhan, korupsi, pengedar narkotika,

psikotropika, dan terorisme yang tidak dipidana mati, membebaskan budak

(untuk saat ini dapat digantikan dengan kewajiban memberi makan orang

miskin dalam jumlah tertentu atau kewajiban-kewajiban lain) berdasarkan

ajaran agama yang dianutnya sebagai upaya membebaskan rasa berdosa pada

si pelaku yang menjadi salah satu tujuan pemidanaan.

2. Asas Kemanusiaan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian ganti

rugi kerugian sebagai jaminan kelanjutan hidup yang relatif layak tanpa harus

membedakan siapa pelaku dan siapa korbannya, kewajiban untuk membiayai

perawatan, pemakaman maupun biaya selamatan dan tidak

mempermasalahkan dari mana sumber keuangannya (bagi terpidana tindak

pidana terhadap nyawa). Pemberian ganti kerugian terhadap korban

pengedaran narkotika dan psikotropika baik itu berupa pembiayaan

rehabilitasi (bagi terpidana pengedar narkotika dan psikotropika).

Pengembalian uang korupsi kepada negara (bagi terpidana korupsi).

3. Asas Persatuan yang dapat diwujudkan dengan menciptakan rekonsiliasi dan

pemulihan hubungan baik yang telah rusak sebagai akibat tindak pidana

tersebut. Dengan rekonsiliasi sekaligus mengakhiri konflik dengan prinsip

2 Kewajiban agama dalam hal ini diartikan dalam jargon politik untuk kesatuan pandangan,

sehingga menjadi hak negara untuk menafsir dan melaksanakan dan bukan dalam jargon

keagamaan yang multi tafsir. Lihat, Mahmutarom HR, Ibid, hlm. 340-341.

xxi

musyawarah yang berkeseimbangan dan berkeadilan. Rekonsiliasi ini

hendaknya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum untuk

menghindari tekanan-tekanan yang tidak diharapkan dan dapat merusak

keseimbangan dan keadilan. Sekaligus juga memberi ruang gerak bagi negara

melalui hakim untuk melakukan kontrol agar kepentingan negara dan

masyarakat dalam arti luas dapat terlindungi.

4. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan /

Perwakilan diwujudkan dalam bentuk penegakan asas legalitas namun lentur

dalam pelaksanaannya dengan mengedepankan kepentingan rakyat

(masyarakat) luas, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, keadilan dan

kemanfaatan. Baik dalam upaya menciptakan kemaslahatan maupun dalam

upaya menghindari kemadlaratan maupun dalam upaya menghindari

kemadlaratan melalui peran aktif hakim. Penyelesaian dapat dilakukan

dengan menggunakan lembaga formal maupun non formal melalui

musyawarah yang memadukan unsur ketuhanan, religius (hikmah) dan unsur

kebijaksanaan (hati nurani), yang semuanya tetap dikemas dalam putusan

hakim. Di samping itu, korban juga diberi kesempatan untuk mengakses atau

paling tidak ada hak untuk memonitor atau diberi tahu akhir dari perkara yang

menimpa dirinya sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penegak hukum.

Transparansi dan kejujuran kinerja lembaga penegak hukum diperlukan

dalam rangka membangun kepercayaan publik terhadap intitusi penegak

hukum.

xxii

5. Asas Keadilan Sosial yang dapat diwujudkan dengan menciptakan

keseimbangan dalam pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Tidak hanya

kepada korban, tetapi juga kepada masyarakat dan negara maupun kepada

ALLAH melalui kewajiban menjalankan ketentuan agama. Dengan

keseimbangan ini diharapkan tercipta kemaslahatan umat dengan tetap lebih

mengutamakan menghindari kemadlaratan yang dapat merugikan masyarakat

dan negara. Sehingga terwujud masyarakat yang adil, makmur, bahagia dan

sejahtera. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-

nilai Pancasila diawali dengan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa yang

menjiwai seluruh proses pembangunan dan pembaharuan ilmu hukum pidana

nasional. Bukan saja karena letaknya yang berada di urutan pertama dalam

tata urutan sila Pancasila, namun begitu kuatnya jiwa Ketuhanan Yang Maha

Esa yang menjiwai keseluruhan pembangunan dan pembaharuan sistem

hukum nasional.

Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati di beberapa negara asing

mengambil contoh 3 negara asing sebagai studi perbandingan (comparative

approach) yaitu Negara Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Jepang. Negara Arab

Saudi dengan eksekusi qishash dengan cara dipancung. Negara Jepang dengan

cara digantung. Sementara di Negara Amerika Serikat dengan cara disetrum

dengan kursi listrik, disuntik mati, atau ditembak. Namun studi perbandingan itu

menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana dengan cara dipancung dinilai lebih

manusiawi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Untuk itu Penulis

menghasilkan temuan bahwa pelaksanaan pidana mati lebih religius, manusiawi,

xxiii

berkeadilan dan beradab karena tidak menimbulkan rasa sakit pada diri terpidana

mati disebabkan putusnya urat atau “kabel” yang memutus hubungan antara

jantung dan otak (spinal cord) secara langsung dan berbarengan. Akan tetapi

yang harus diperhatikan adalah proses pembuktian yang ketat dimana proses

persidangan yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Dengan demikian

rekonstruksi Penulis adalah amandemen terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal

1 UU No. 2/Pnps/1964 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana dengan cara

ditembak sampai mati dan amandemen Pasal 15 huruf x Peraturan Kapolri No. 12

Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang menyebut

penembakan pengakhir dilakukan dengan menempelkan ujung laras

senjatagenggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga.

Amandemen juga perlu dilakukan terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal

7 UU No. 2/Pnps/1964 yang berbunyi, “Apabila terpidana hamil, maka

pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah

anaknya dilahirkan” direkonstruksi menjadi, “Penjatuhan pidana mati bagi

terpidana yang sedang hamil sampai terpidana melahirkan anaknya dan menyusui

anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) selama 2 tahun danpenjatuhan pidana mati

bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari

sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana mati oleh tim medis (dokter).”

xxiv

TABEL REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN

PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

JENIS

PIDANA

SEBELUM

REKONSTRUKSI

KELEMAHAN-

KELEMAHAN

SESUDAH

REKONSTRUKSI

NILAI-NILAI

PANCASILA

SILA KE-

1 2 3 4 5

PIDANA

MATI

1. UU No. 5 Tahun

1969jo Pasal 1 UU

No.2/Pnps/1964

berbunyi,” Dengan

tidak mengurangi

ketentuan-

ketentuan hukum

acara pidana yang

ada tentang

penjalanan

putusan pengadilan,

maka pelaksanaan

pidana mati, yang

dijatuhkan oleh

pengadilan di

lingkungan

peradilan umum

atau peradilan

militer, dilakukan

dengan ditembak

sampai mati,

menurut ketentuan-

ketentuan

dalam pasal-pasal

berikut.

1. Pidana mati

dengan cara

ditembak sampai

mati, belum

solutif karena

tidak langsung

menyebabkan

kematian dan

menimbulkan

rasa sakit pada

terpidana mati.

1. Pelaksanaan

eksekusi pidana mati

dengan cara qishash

berdasarkan QS Al

Baqaroh Ayat 178

dan 179 dan HR

Muslim yakni dengan

cara dipancung

karena dinilai

merupakan

eksekusi yang terbaik

(ihsan al-qatlu),

cepat, dan tidak

menimbulkan rasa

sakit pada terpidana

dimana memutus urat

atau “kabel” yang

menghubungkan

jantung dan otak

(spinal cord).

v V - - v

2. UU No. 5 Tahun

1969 jo Pasal 7 UU

No. 2/Pnps/1964

berbunyi,”Apabila

terpidana hamil,

maka pelaksanaan

pidana mati baru

dapat dilaksanakan

empat puluh hari

setelahanaknya

dilahirkan.”

2. Pengaturan

bagi terpidana

hamil belum

memberikan

perlindungan

bagi anak dari

terpidana hamil

yang masih

membutuhkan

ASI (Air Susu

Ibu) dan belum

diatur tentang

pidana mati bagi

terpidana yang

sakit jiwa dan

sakit keras

hingga sembuh

dari sakitnya.

2. Penjatuhan pidana

mati bagi terpidana

yang sedang hamil

sampai terpidana

melahirkan anaknya

dan menyusui

anaknya dengan Air

Susu Ibu (ASI)

selama 2 tahun dan

penjatuhan pidana

mati bagi terpidana

yang sakit jiwa dan

sakit keras sampai

terpidana sembuh

dari sakitnya.

Penilaian atas kondisi

terpidana mati oleh

tim medis (dokter).

v V - - v

xxv

3.UU No. 5 Tahun

1969 jo Pasal 15

Huruf x Perkap No.

12 Tahun 2010

tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana

Mati,

berbunyi,”Komand

an Pelaksana

memerintahkan

komandan regu

penembak untuk

melakukan

penembakan

pengakhir dengan

menempelkan

ujung laras senjata

genggam pada

pelipis terpidana

tepat di atas telinga;

3.Penembakan

pengakhir

dengan cara

menempel ujung

laras senjata

genggam pada

pelipis terpidana

tepat di atas

telinga dinilai

tidak manusiawi

karena

sebelumnya

sudah merasakan

penderitaan

akibat diawali

dengan tembak

di jantung dan

tembak kepala

menyebabkan

otak terpidana

terburai.

3. Pelaksanaan

eksekusi pidana mati

dengan cara qishash

berdasarkan QS Al

Baqaroh Ayat 178

dan 179 dan HR

Muslim yakni dengan

cara dipancung

karena dinilai

merupakan

eksekusi yang terbaik

(ihsan al-qatlu),

cepat, dan tidak

menimbulkan rasa

sakit pada terpidana

dimana memutus urat

atau “kabel” yang

menghubungkan

jantung dan otak

(spinal cord).

v V - - v

xxvi

I. Simpulan

Berdasarkan analisis kualitatif dengan menggunakan pendekatan

yuridis normatif, serta paradigma kontruktivisme, maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif

saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1962jo

Peraturan Kapolisian (Perkap) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati.

2. Kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati saat ini, antara

lain tidak ada bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai efektivitas pidana

mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan

pidana, akurasi dan keadilan terhadap putusan pidana mati ini,

kekhawatiran mengeksekusi orang yang salah, dan dinilai tidak

manusiawi.

3. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-

nilai Pancasila adalah mewujudkan kebijakan perlindungan hukum bagi

pelaku dan korban secara seimbang. Sedangkan rekonstruksi hukumnya

mengamandemen beberapa ketentuan yang mengatur tentang pidana mati.

Pasal-pasal tersebut antara lain: Mengamandemen ketentuan UU No. 5

Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964 danUU No. 5 Tahun 1969 jo

Pasal 15 Huruf x Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati dimana pelaksanaan pidana mati dengan cara

ditembak sampai mati diamandemen dengan cara dipancung, mengingat

xxvii

eksekusi tersebut merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu), cepat,

dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dengan cara memutus

urat atau “kabel”yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord).

Mengamandemen ketentuan UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 7 UU No.

2/Pnps/1964 tentang pelaksanaan pidana mati bagi terpidana hamil

pelaksanaan pidana baru dapat dilaksanakan setelah terpidana melahirkan

anaknya dan menyusui anaknya (ASI) selama 2 tahun. Penjatuhan pidana

mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana

sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana sakit jiwa dan atau

sakit keras ditentukan oleh tim medis (dokter) terkait.

J. Implikasi Kajian Disertasi

Berdasarkan temuan yang telah dikemukakan di atas, maka dihasilkan

implikasi teoritis dan implikasi praktis:

(1) Implikasi Teoritis

Terjadi pergeseran kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati yang

melindungi pelaku tindak pidana menjadi kebijakan hukum pelaksanaan

pidana yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban secara seimbang.

(2) Implikasi Praktis

a. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana yang berbasis nilai-

nilai Pancasila, yakni nilai: Ketuhanan (religius), kemanusiaan yang adil

dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan.

xxviii

b. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai

Pancasila ini bersinergi dengan kebijakan hukum pidana materiil dan

hukum pidana formil.

c. Respon akademisi terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana

berbasis nilai-nilai Pancasila terutama dalam hal penguatan (penegasan)

terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai

Pancasila.

d. Respon aparat penegak hukum dalam menerapkan kebijakan hukum

pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila sehingga terbangun

sistem yang kondusif, manusiawi, terstruktur, masif dan dapat

dipertanggungjawabkan dengan evaluasi secara terus menerus.

e. Penerapan kebijakan hukum pelaksanaan pidana ini membutuhkan

pemahaman yang menyeluruh dari semua pemangku kepentingan

(stakeholders) baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk Polri,

jaksa, hakim, pengacara dan petugas di Lembaga Pemasyarakatan, serta

pemahaman masyarakat Indonesia secara luas agar bersinergi dalam

upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah

UUD NRI Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berfalsafah Pancasila.

K. Saran-saran

1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengamandemen

UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964, UU No. 5 Tahun

xxix

1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964, dan UU No. 5 Tahun 1964 jo

Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

2. Berdasarkan fakta yang ada, meski negara Indonesia sudah merdeka sejak

17 Agustus 1945, namun beberapa produk hukumnya masih menggunakan

warisan penjajah Belanda. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(Wetboek van Strafrecht). Untuk itu, sebagai negara yang berdaulat sudah

saatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berdaulat secara

hukum. Terlebih dari sisi hukum pidananya. Dimana produk hukum

pidana merupakan cermin peradaban masyarakatnya. Baik itu produk

hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan

pidana. Diharapkan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dan Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana (KUHPP) yang

berbasis nilai-nilai Pancasila, yang dibuat oleh bangsa Indonesia yang

mengambil sari pati nilai dari masyarakat Indonesia, yakni nilai Ketuhanan

(religius), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, serta

keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

3. Diharapkan ada penelitian lanjutan kebijakan hukum pelaksanaan pidana

pada pidana pokok lain (seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana

denda, dan pidana tutupan) serta penelitian pada pidana tambahan.

xxx

SUMMARY OF DISERTATION

RECONSTRUCTION OF THE LAW POLICY OF

DEADIMPLEMENTATION BASED ON PANCASILA VALUES

A. Background

As it is known that until now the Criminal Code (hereinafter abbreviated as the

Criminal Code) is a legacy of the Dutch colonial heritage still prevails in the

Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) that has been sovereign and

independent since August 17, 1945. Criminal Code (Wetboek van Strafrecht for

the next abbreviated as WvS) is still valid in Indonesia based on Law no. 1 of

1946 jo Law no. 73 of 1958. The Criminal Code (WvS) comes from a Civil Law

System or called by Rene David as "the Romano Germanic Family" or "Civil Law

System" which accentuates the notion of "individualism, liberalism and individual

rights" .

While the conception of Indonesian legal state has characteristics and

characteristics based on the spirit and spirit of the nation (volkgeist) Indonesia,

namely Pancasila. Although the identity and formulation of Indonesian state

characteristics based on Pancasila has been formulated, the conception of the

Pancasila legal state has not been well implemented and institutionalized.

Therefore, there is a need for systematic, structured, and massive efforts to

internalize the concept of Pancasila law state into aspects of national and state

life, particularly in the renewal of national law.

AdianHusaini said the importance of Pancasila as a worldview and a foothold of

values for the nation of Indonesia. The values contained in the precepts of

Pancasila, namely the value of divinity (religious), humanity, unity, democracy,

and justice are the values of the nation's philosophy in developing Indonesian law

in the future. Pancasila as the ideology, the foundation and the philosophy of life

of the Indonesian nation is what our nation and country live the life of the state in

accordance with its identity that distinguishes it from other nations in the world.

xxxi

Along with the dynamics of life of nation and state, Pancasila has become the

primary source in solving multidimensional nation problem. Admittedly,

Pancasila has a strong historical value that can improve the spirit of nationality,

on the other hand Pancasila has a spiritual-ideological value that can be used as

a power to examine the problems of present and kemadya.

In this context, the values of Pancasila become very relevant in order to build an

Indonesian legal identity. Building law that reflects the values, norms, philosophy

of the Indonesian nation. Similarly, in the realm of criminal law that still apply

the Criminal Code (Wetboek van StrafrechtvoorNederlands Indie hereinafter

abbreviated as W.v.S.N.I. or W.v.S. (KUHP)) originating from the Netherlands.

W.v.S. The Netherlands is derived from the French Penal Code made in 1791 AD.

KUHP (W.v.S) which is still used in Indonesia is already around 3 centuries old.

When viewed from such a long span of time with different cultures of society

between Indonesian society and European society (French and Dutch), there is a

difference of historical background which is accompanied by different values

between the two cultures (culture) of this nation.

In order to replace the legislation of the colonial legacy and refine the existing

legislation that is no longer in accordance with the times, the Criminal Code

(W.v.S.) as a product of colonial law is not a fixed price to be maintained in our

country. Especially when in his native country, W.v.S. has reconstructed many

times. Is it still appropriate to keep the Criminal Code in line with the dynamics of

an independent and sovereign Indonesian society? Similarly, the rules governing

the criminal law contained in Article 10 of the Criminal Code (W.v.S.) and some

related legislation that is currently assessed are still fragmented.

Based on the above opinion, this dissertation will examine the components of

legal norms and legislation, especially in relation to the underlying penalty in

Indonesian penal code of penal code (penitensier law). This condition is behind

the author to analyze and reconstruct in the form of a dissertation so as to meet

the orderly rules of the legal state of Indonesia with the spirit of Pancasila with

the title of dissertation research, "Reconstruction of Legal Policies of Criminal

Implementation Based on Pancasila Values Values".

xxxii

B. Problem Formulation

The formulation of the problem based on the description of the background above,

then the authors limit the problems as the points below:

1. What is the legal policy for the execution of capital punishment in the current

positive criminal law?

2. How are the weaknesses of the law of execution of capital punishment in the

current positive criminal law?

3. How to reconstruct the legal policy of the execution of capital punishment

based on Pancasila values?

C. Research Objectives

1. To review and analyze the legal policies of the execution of capital

punishment in the current positive criminal law.

2. To examine and analyze the legal weaknesses of the execution of capital

punishment in the current positive criminal law.

3. To analyze and reconstruct the legal policy of execution of capital punishment

based on Pancasila values.

D. Research Purpose

This dissertation research is expected to provide benefits / usefulness both

theoretically and practically;

1. Theoretical Uses

Finding a new theory of criminal law enforcement policy in the development of

criminal law dyed Indonesian, in accordance with the identity, philosophy, and

ideology of the Indonesian nation that is Pancasila.

2. Practical Usefulness

Provide inputs to executive, legislative, judicial, academic and community bodies

to consider how effective the current criminal law enforcement policies that retain

colonial legal products.

xxxiii

E. Research Methods

1. Research Approach

The essence of this research is to analyze the legislative / formulative policy in

establishing and formulating the criminal law system / penal system which

includes criminal law. Therefore the approach in this research is normative

law research. In normative legal research, several approaches are used,

namely statute appproach, conceptual approach and comparative approach.

2. Research Specification

The specifications of the research undertaken in preparing this dissertation

are normative legal research or literature legal research. In the study of

normative law, comparative law is a method. By comparative method of law

can be done research on various sub-system of law that applies in a certain

society or cross-sectoral to legal system of various society different.

3. Types and Data Sources

Type and data in this research is secondary data. Data that the material is

taken from library / library materials. The secondary data examined in this

dissertation consist of:

a. The primary legal materials, namely binding legal materials consist of:

(1) Norms (basic) or basic rules, namely Pancasila contained in the

Preamble of the 1945 Constitution.

(2) Basic Regulations; Body of the Constitution of 1945, Decisions of the

People's Consultative Assembly / PJP (Long-Term Development).

(3) Laws and Regulations in which the legal provisions of criminal

implementation, and the Executing Regulation are Government

Regulations.

(4) Uncoded legal substances, such as customary law and religious law.

(5) Jurisprudence.

(6) Legal material from the colonial era which until now is still valid, such

as: Book of Criminal Law / KUHP / W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).

b. Secondary law materials, which provide explanations of primary legal

materials, such as draft laws (which include the Bill of the Criminal Code

xxxiv

of the Year 2015 and the Concept of the 2009 New Criminal Procedure

Code), the Criminal Code of Criminal Procedure of Other Countries, the

results of research and results scientific work of the law (criminal).

c. Tertiary legal matter, ie materials that provide guidance or explanation of

primary and secondary legal materials; for example, dictionary,

encyclopedia

4. Data Collection Method

Based on research conducted by focusing on secondary data through

literature study, primary and secondary legal materials are collected based on

the formulation of predetermined problems, then classified according to

source and hierarchy for comprehensive review.

5. Data Analysis Method

All data and information obtained in this research are analyzed by using

descriptive qualitative analysis method. The use of descriptive qualitative

analysis method is closely related to the issues discussed in the dissertation,

as has been put forward in the formulation of the problem. Qualitative

analysis of normative to the data presented quantitatively, based on

descriptive and predictive analysis.

F. Legal Policies on the Implementation of Criminal Offenses in Positive

Criminal Law at the Moment

The Law of Criminal Implementation in the form of capital punishment in

Indonesia is currently regulated in Law no. 5 of 1969 on the Statement of

Various Stipulation of President and Presidential Regulation as Law.

Determination of the President in question is Presidential Decree no. 2 of

1964 on the Procedures of the Criminal Implementation Done by the

Courts in the General and Military Courts.

The provisions of the execution of capital punishment shall be done by

shooting to death. This is amended by Article 11 of the Criminal Code

which reads, "The death penalty is executed by the executioner at the

hanging point by tying the rope attached to the gallows on the convict's

xxxv

neck and then dropping the board where the convict is standing." die by

the executioner on the gallows is considered incompatible with the

progress of progress. Therefore it is necessary to make adjustments as

regulated inPresidential Decree no. 2 Year 1964.

Based on the Chief of Police Regulation no. 12 Year 2010 on the

Procedures of the Implementation of Criminal and Presidential Decree

No. 2 / PNPS / 1964 on the Procedures of Criminal Implementation

Dropped by the Courts in the General Courts and Military Courts, not all

weapons filled with live ammunition. Only three long-barreled rifles filled

with live ammunition, while nine other rifles filled with empty bullets.

G. The Weaknesses of the Law of Imprisonment of Criminal Justice in

Positive Criminal Law Today

In the context of Indonesia, relating to limiting the application of capital

punishment is confirmed in the Constitutional Court Decision (MK) no. 2-

3 / PUU-V / 2007 stating that in the future, the formulation,

implementation, or execution of capital punishment should pay attention to

four important matters:

a) Capital punishment is not a principal punishment, but as a special and

alternative criminal act.

b) The death penalty may be imposed with a probationary period of 10

(ten) years that if the prisoner is admitted commendable can be

changed with life imprisonment or for 20 years.

c) Capital punishment can not be imposed on immature children.

d) The execution of capital punishment on pregnant women and a person

who is mentally ill is suspended until the pregnant woman gives birth

and the mentally ill prisoner is healed.

The controversy surrounding capital punishment arises between the

conservative abolitionist flow and the death penalty with adherents stating

the need for capital punishment as one type of criminal (retentionist).

There are two categories of capital punishment:

xxxvi

The disagreeable group, the reason:

a. Absolute, irrevocable

b. Misguidance of the judge

c. Contrary to humanity, morals and ethics

d. Related to the purpose of punishment: The purpose of improvement is

not achieved and Implementation is not public, so the fear

(generalepreventie) is not achieved.

There is a sense of mercy to the convicted person The agreed group, the

reason:

a. The perpetrator has committed acts that violate human rights and the

principles of Pancasila

b. Less security tool

c. Heterogeneity of Indonesian population, clash

d. Need for certain crimes, for example for premeditated murder,

corruption, human rights, criminal acts for narcotics dealers.

Regardless of the controversy of the opinion of the pros and cons against

the death penalty, but the formal juridical capital punishment still applied

in Indonesia.Therefore, the non-acceptance of the abolition of capital

punishment in Indonesia must be understood that the historical

consciousness of Indonesian society has not been able to accept the

abolition of capital punishment. The death penalty is still understood as

legally and morally legitimate. Even if capital punishment violates the

right to life, the violation can be justified as a punishment for certain

criminal acts. However, historical awareness will certainly undergo

changes along with the change of Indonesian society and the emergence of

new ideas that underlie efforts to abolish capital punishment. In the event

of a change in the historical consciousness of society, capital punishment

can be abolished, which can occur through legislators as well as rights.

xxxvii

H. Reconstruction of Legal Policies of Criminal Implementation Based on

Pancasila Values

Conducting a criminal law policy including criminal law enforcement

policy requires a more pragmatic and rational policy oriented approach,

as well as a value judgment approach. So it should be between a policy

approach and a value approach not viewed dichotomously. Where in the

policy approach it should take into account the value factors.

Especially for the Indonesian state that has Pancasila which is full of

values and policy lines of national development that aims to form a

complete Indonesian man. If the criminal will be used as a means for that

purpose, the humanistic approach must also be taken into account. The

humanistic approach is important not only because the crime is essentially

a humanitarian issue, but also because the criminal itself contains

elements of suffering that can strike the most valuable interests or values

for human life.

The humanistic approach to the use of criminal sanctions means not only

that the penalty imposed on the offender must be in accordance with

human values, but also to raise awareness of the offender of human values

and social values.

In addition, the renewal step also needs to consider the socio-

philosophical and sociocultural basis of the national legal system based

on national needs and demands to reform and at the same time the change

/ replacement of the Old Dutch Criminal Code (Wetboek van Strafrecht).

So it is closely related to the idea of "penal reform" (renewal of the

criminal law). Included in this update is the renewal of the criminal

procedural law and the criminal law implementation.

Based on the above thinking, the idea of reform of criminal law can not be

separated from the idea / policy of development of National Legal System

based on Pancasila as the idealized nationality values. This means that the

renewal of the national criminal law should also be based on and oriented

to the basic ideas of Pancasila containing the balance of values / ideas /

xxxviii

paradigms: (a) religious morals (divinity); (b) humanity (humanistic); (c)

nationality; (d) democracy; (e) social justice.

With the above points to be emphasized, that the excavation of religious

law and traditional law is a natural thing and can even be said to be "the

demands of the times". Especially for the Indonesian people, it is clearly a

"national burden" and even a "national obligation and challenge" because

it has been mandated and recommended in various national laws and

seminars so far. The problem is how to explore, transform and actualize

the values of traditional law (customary law) and religious law values so

that it can be accepted into norms that are integrated in the national legal

system.

Therefore this dissertation makes the Criminal Code Act 2015 as the

reference base considering the renewed orientation of values that aspired

to the values of sociofilosofis, sociopolitical, and sociocultural of the

Indonesian nation based on the values of Pancasila in it.

Article 10 of the Criminal Code places capital punishment as one of the

principal penalties. The death penalty is the most severe punishment in the

composition of the criminal type (strafsoort). The execution of capital

punishment is currently done by firing squads by being shot to death and

done in private. The procedure of execution of capital punishment is

regulated in Law no. 5 of 1969 jo Law no. 2 / Pnps / 1964 on Procedures

for the Criminal Implementation Done by Courts in the General and

Military Courts joKepololri (No. 12 Year 2010 on the Procedures of

Criminal Implementation.

The idea of equilibrium is contained in the principles of Islamic law has

been substantially adopted in national law which is historically a legacy of

Western law, but there are still less reasonable places in Indonesian

positive criminal law, such as:

a) There needs to be transparency in the criminal justice process as an

honest, impartial judicial form by promoting justice and truth (Rule of

Justice or Rule of Morality) and not just enforcing the law (Rule of

xxxix

Law). Especially the judiciary that threatened capital punishment

against the defendant. Strict justice in the case of proof, transparent,

put forward justice, truth, honesty and dignity is needed in determining

the 'fate' of a defendant.

b) Execution should be done in the best way possible. The execution of

capital punishment which is currently applied in Indonesia by being

shot to death in some cases does not directly cause death to death row

convicts. This of course causes tremendous pain and is incompatible

with the values of Pancasila especially the second precepts, Just and

Civilized Humanity. It is therefore necessary to consider for the

immediate execution of death by minimizing the pain that breaks the

"cable" (spinal cord) between the two central points of human life ie

the heart and brain.

c) Judges should have courage, progressiveness and be active in seeking

and finding the truth as one form of upholding the truth as one form of

upholding justice and truth.

d) There should be increased protection to the community, especially

victims and guardians through their participation in the criminal

justice process under the coordination of judges. Including protection

of infant (child) for death row inmates who are pregnant, should be

suspended execution for at least 2 years for the convict (Mother) can

give milk (Milk Mother) to her child. Demikia also for death row

inmates who are mentally ill and severely delayed his execution until

the convict healed from his illness. The examination of the conditions

of death sentence is done by the relevant medical team (doctor).

e) Opening the opportunity for reconciliation through an apology from

the perpetrator to the victim / victim's family through a judge in a

hearing declared open to the public.

f) It is possible to provide compensation as a form of responsibility of the

perpetrator for the survival of the victim or the victim's family (in the

case of a crime against the life) in the agreed amount according to the

xl

victim's condition and the abilities of the perpetrator based on the

judge's discretion in a public hearing.

g) The existence of forgiveness and / or compensation or compensation is

not the end of the case, the judge as a representative of the state with

its wisdom and wisdom may impose additional sanctions on the basis

of considerations of public interest in a broad sense.

h) Implementation of law is not only to realize the public benefit, but also

must be able to avoid the coming of the possibility of damage or

disobedience. In the event of a conflict of interest, avoiding damage

should be preferred even if on the other hand it can bring benefits.

i) The application of the law should pay attention to the ideas, values,

concepts and objectives of law that are behind the provisions of the

law, because the law must be subject to the ideas, values and

objectives of the law. In addition, it should also take into account the

real conditions that exist in society that include values of justice,

customs of society that includes values of justice, customs and social

norms that exist, so it does not have to be all uniform

j) The application of the law on the implementation of capital

punishment should also pay attention to the opinion as well as

international instruments, especially the rejection of capital

punishment from abolitionist flows while upholding human rights

values by not including capital punishment as the principal

punishment but as a specially arranged alternative criminal.

Accompanied by strictness in terms of proof and trial process that uphold

justice, truth and honesty. The death penalty applies only to crimes which

fall into the category of the most serious crimes, such as: criminal acts

against human life (such as murder, terrorism, genocide), corruption,

narcotics and psychotropic substances, and other crimes that need to be

formulated nationally in the framework of creating a just society,

prosperous, safe, happy and prosperous.

xli

Based on the above description, the reconstruction of the legal value of the

implementation of capital punishment based on the values of Pancasila to

realize the legal protection for the perpetrators and victims in a balanced

manner. The legal principles that can be used as the foundation within the

framework of the reconstruction of the legal policies on the execution of

capital punishment related to the protection of perpetrators and victims

are equally described as follows:

1. The Godhead may be manifested in the form of criminal sanction in

performing religious obligations (living law) such as the obligation to fast

2 consecutive months for perpetrators of murder, corruption, narcotics,

psychotropic, and terrorism who are not subject to death, freeing slaves

this may be substituted by the obligation to feed a certain number of poor

or other obligations) on the basis of his religious teachings in an attempt

to free the guilt of the perpetrator who became one of the objectives of the

crime.

2. The principle of humanity, which can be realized in the form of

compensation of losses as a relatively viable survival guarantee without

having to distinguish who the perpetrator and the victim, the obligation to

finance the care, funeral and the cost of salvation and do not question

from where the financial resources (for convicted criminals criminal to

life). Provision of compensation for victims of narcotics and psychotropic

drugs either in the form of financing of rehabilitation (for convicted drug

dealer and psychotropic). Refund of corruption to the state (for convicted

corruption)

3. The principle of Unity which can be realized by creating reconciliation

and restoration of good relations that have been damaged as a result of

such offenses. With reconciliation and ending conflict with the principle of

deliberation balance and fairness. This reconciliation should be conducted

in a public hearing to avoid unforeseen pressures and could damage

equilibrium and justice. At the same time also provide space for the state

xlii

through judges to exercise control so that the interests of the state and

society in the broad sense can be protected

4. People's Principle Led by Wisdom in Deliberation / Representation is

manifested in the form of enforcement of the principle of legality but is

flexible in its implementation by promoting the interests of the people

(society) broadly, upholding the values of deliberation, justice and

expediency. Both in the effort to create the benefit and in the effort to

avoid kemadlaratan or in an effort to avoid kemadlaratan through the

active role of judges. The settlement can be done by using formal and non-

formal institutions through deliberations that combine elements of divinity,

religious (wisdom) and the elements of wisdom (conscience), all of which

remain packed in a judge's decision. In addition, victims are also given the

opportunity to access or at least have the right to monitor or be informed

of the end of the case affecting him as a form of law enforcement agency

accountability. The transparency and honesty of the performance of law

enforcement agencies is needed in order to build public confidence in law

enforcement institutions.

The principle of Social Justice that can be realized by creating a balance in

the accountability of the perpetrators of crime. Not only to the victims, but

also to the people and the state and to GOD through the obligation to observe

the religious provisions. With this balance is expected to create the benefit of

the people with a fixed priority to avoid a kemadlaratan that can harm the

community and the state. So as to realize a just society, prosperous, happy and

prosperous. The reconstruction of the criminal justice policy based on

Pancasila values begins with the idea of the Supreme Godhead that animates

the entire process of development and renewal of national criminal law. Not

only because it is located in the first sequence in the order of the precepts of

Pancasila, but so strong the soul of God Almighty God who animates the

overall development and renewal of the national legal system.

The legal policies on the execution of capital punishment in some foreign

countries take the example of 3 foreign countries as comparative approach,

xliii

namely Saudi Arabia, USA, and Japan. Saudi Arabia state with qishash

execution by beheaded. Japan by hanging. While in the United States by

electric shock, electric shock, or shot. But the comparative study shows that

criminal execution by beheading is considered more humane and painless to

the convicted person. The writer therefore finds that the execution of capital

punishment is more religious, humane, just and civilized because it does not

cause pain to the convict of death because of the breaking of the veins or

"wires" which cut off the connection between heart and brain (spinal cord)

directly and simultaneously. However, what must be considered is a rigorous

proof process where the trial process that puts honesty and justice forward.

Thus the author's reconstruction is an amendment to Law no. 5 of 1969 jo

Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 which regulates the implementation of the

crime by being shot to death and the amendment of Article 15 letter x of the

Kepololri Regulation no. 12 of 2010 on the Implementation of Deadly

Criminal Procedure which mentions the ending shoot is done by attaching the

end of the barrel of a hand-held weapon to the convict's temple just above the

ear.

Amendments also need to be made to Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law

no. 2 / Pnps / 1964 which reads, "If the convict is pregnant, then the execution

of capital punishment can only be done forty days after the child is born"

reconstructed into, "the imposition of capital punishment for the convicted

prisoner until the convict gave birth to his child and breastfeed his / (ASI) for

2 years and the imposition of capital punishment for the defendant who is

mentally ill and severely ill until the convict is cured of his illness. Assessment

of conditions of death sentence by medical team (doctor)."

I. Conclusion

Based on the qualitative analysis using normative juridical approach, and the

paradigm of kontruktivisme, it can be concluded that:

1. The legal policy on the execution of capital punishment in positive

criminal law is currently regulated in Law no. 5 of 1969 jo Law no. 2 /

xliv

Pnps / 1962jo Covenant Regulation (Perkap) no. 12 Year 2010 on the

Procedures of Criminal Implementation

2. The current legal weaknesses in the execution of capital punishment,

among others, there is no sufficiently strong scientific evidence of the

effectiveness of capital punishment related to deterrence as one of the

criminal purposes, accuracy and fairness of the sentence, the execution of

persons which is wrong, and considered inhumane.

3. The reconstruction of the legal policy of the implementation of capital

punishment based on the values of Pancasila is to realize the legal

protection policy for the perpetrators and victims in a balanced manner.

While the legal reconstruction amends several provisions regulating the

death penalty. The articles include: Amending the provisions of Law no. 5

of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 and Law no. 5 of 1969 jo

Article 15 Letter x Perkap no. 12 Year 2010 on the Implementation of

Criminal Procedures where the execution of capital punishment by shot to

death amended by dipancung, given the execution is the best execution

(ihsan al-qatlu), fast, and painless to the convicted by breaking the vein or

"wires" connecting the heart and brain (spinal cord). To amend the

provisions of Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964 on

the implementation of capital punishment for pregnant prisoners new

criminal implementation can be executed after the convict gave birth to his

child and breastfeed his child (ASI) for 2 years. The imposition of capital

punishment for the convicted person who is mentally ill and severely ill

until the convict is healed from his illness. Assessment of the condition of

convicted psychiatric and / or severe illness is determined by the relevant

medical team (doctor)

.

J. Implications of the Dissertation Review

Based on the findings presented above, theoretical implications and practical

implications are generated:

(1) Theoretical implications

xlv

There is a shift in the legal policy of the execution of capital punishment

which protects the perpetrators of criminal acts into a criminal law

enforcement policy that protects the community, perpetrators and victims

equally.

(2) Practical Implications

a. Implementing a criminal justice policy based on Pancasila values,

namely: (religious), fair and civilized humanity, Indonesian unity,

democracy and justice.

b. Applying the criminal law policy based on Pancasila values is in

synergy with the policy of material criminal law and formal criminal

law.

c. The academic response to the criminal justice policy based on

Pancasila values, especially in the case of strengthening (affirmation)

on the criminal law of crime-based implementation of Pancasila

values.

d. The response of law enforcement officers in applying the criminal law

policy based on Pancasila values so as to build a conducive, humane,

structured, massive and accountable system with continuous

evaluation.

e. The implementation of this criminal law policy requires a thorough

understanding of all stakeholders at both the central and regional

levels, including the police, prosecutors, judges, lawyers and officials

in the Penitentiary, as well as a broader understanding of the

Indonesian community in order to synergize in the effort to realize the

community which is just and prosperous according to the mandate of

the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia within the

framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia which

philosophizes Pancasila.

xlvi

K. Suggestions

1. The Government and the House of Representatives (DPR) need to

amend Law no. 5 of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964, Law

no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964, and Law no. 5

Year 1964 joPerkap No. 12 Year 2010 on the Procedures of Criminal

Implementation.

2. Based on the facts that exist, although the state of Indonesia has been

independent since August 17, 1945, but some legal products still use

the Dutch colonial heritage. Such as the Criminal Code (Wetboek van

Strafrecht). For that reason, as a sovereign country it is time the

Unitary State of the Republic of Indonesia is also sovereign by law.

Especially from the side of the penal law. Where the product of

criminal law is a mirror of civilization society. Whether it is a product

of material criminal law, formal criminal law and criminal law.

Indonesia is expected to have the Criminal Code (Criminal Code), the

Criminal Procedure Code (KUHAP), and the Criminal Code of

Criminal Justice (KUHPP) based on the values of Pancasila, made by

the Indonesian people who take the essence starch values of the

Indonesian people, namely the value of the Godhead (religious), the

just and civilized humanity, the unity of Indonesia, the populace led by

the wisdom of deliberation / representation, and social justice for the

people of Indonesia.

3. It is expected that there will be further research on the criminal law of

criminal implementation on other principal criminal cases (such as

imprisonment, imprisonment, fine and criminal cover) and additional

criminal research.

xlvii

KATA PENGANTAR

حيم نٱلر حم بسمٱللهٱلر

Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Kebijakan Hukum

Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”dapat selesaitepat pada

waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat doktor pada

Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan

Agung (Unissula) Semarang.

Shalawat serta salam tercurah pada Rosulullah Muhammad SAW teladan

umat sepanjang masa yang kelak dinantikan syafaatnya di hari akhir.

Disertasi ini membahas tentang upaya rekonstruksi terhadap kebijakan hukum

pelaksanaan pidana berbasis pada nilai-nilai Pancasila.

Dalam kesempatan ini, penulis juga bermaksud menyampaikan ucapan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non

materiil sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan terutama kepada:

1. H. Hasan Toha Putra, M.B.A. selaku Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf

Sultan Agung (YBWSA).

2. H. Anis Malik Toha, Lc, M.A., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam

Sultan Agung (Unissula) Semarang beserta seluruh jajaran Wakil Rektor

Unissula.

3. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt., M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Unissula sekaligus Co-Promotor yang sangat besar sumbangsih

pemikiran, perhatian, nasehat, semangat, dukungan dan motivasi yang

berharga dalam penyelesaian disertasi dan studi S3 ini.

4. Dr. Hj. Anis Masdurohatun, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Program Doktor

Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung

(Unissula) Semarang dan Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.H.

selaku sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula.

5. Prof. Dr. H. Eko Soponyono, S.H., M.H. selaku Promotor yang dengan

penuh dedikasi tinggi dalam keilmuan, kesabaran dan kesungguhan hati

xlviii

meluangkan waktu serta perhatiannya untuk memberikan bimbingan,

semangat, dan perhatian yang sangat berharga dalam penulisan disertasi

ini.

6. Prof. Dr.H. Mahmutarom HR, S.H., M.H. selaku penguji eksternal.

Masukan dan bimbingan ilmu yang sangat aspiratif.

7. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Fakultas Hukum (S1) Unissula.

8. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Doktor Ilmu Hukum

(PDIH) Fakultas Hukum Unissula.

9. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Magister Ilmu Hukum

(S2) Fakultas Hukum Unissula.

10. Segenap pimpinan dan manajemen Program Magister Kenotariatan

(M.Kn) Fakultas Hukum Unissula.

11. Suami tersayang Dr. Nuridin, S. Ag., M. Pd., belahan jiwa dan motivator

hidupku.

12. Bapak dan Ibuku, Drs. Ichtimam, C.A. dan Sarwiyati (Alm.) tercinta yang

telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada penulis. Do’a

ibu dan bapaklah yang juga turut memberikan semangat kepada penulis

untuk terus menuntut ilmu. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang

berlipat dan menempatkan di tempat terbaik-Mu. Semoga Allah

mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin.

13. Mertua Bapak H. Syamsudin (Alm.) dan Ibu Hj. Khafsah (Alm.) semoga

Allah mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin

14. Anak-anak kami: Muhammad Pasha Nabih Nurdin, Edelia Balqis Nurdin

dan Muhammad Fawwaz Hilal Nurdin (Alm.) dan adiknya (Alm.) semoga

tetap istiqomah di jalan Allah. Aamiin.

15. Prof. Dr. Ichtijanto, S.A., S.H. (Alm.), salah satu inspirator penulis dalam

ketekunan dan kegigihannya di dunia akademik. Pak De’ Yanto (demikian

penulis memanggil) sepanjang hidupnya aktif sebagai dosen dan guru

besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas

Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Trisakti, Universitas Islam

Jakarta, Universitas Krisnadwipayana dan beberapa universitas di Jakarta.

xlix

Mantan Dirjen Peradilan Agama Departemen Agama (Depag) ini masih

aktif menulis sampai akhir hayatnya. Semoga tradisi intelektual tetap

terbangun dalam keluarga kami. Aamiin

16. Adik-adikku: Aqid Muhammady (Adi), Muhammad Abdul Aziz, Amd,

Ratna Rifiyanti, S.Pt, Hapsari Asriyati, Amd, Sari Nourma Hidayati, S.S.

Adik ipar: Reta, Endah Lestari, Amd., Hasanudin, S.Pt, Kurniawan Ari,

S.Akt. Ponakan: Alvin, Fathan,Shafa, Caca, Fahri, Bilqis, Raissa (Icha),

Abid. Saudara-saudaraku di Jakarta, Magelang, Bogordan Semarang.

17. Kakak-kakak ipar: Mbak Puah, Mas Zainal (Alm.), Mbak Miftah (alm.),

Mbak Puroh (alm.), Mbak Pu’ah (alm.), Mbak Pipah, Mbak Likha, Mbak

Khopi, ponakan-ponakan dan cucu-cucu di Tegal, Jakartadan Semarang.

18. Guru-guruku di: TK. Persit Kartika Candra Kirana Kebon Jeruk Jakarta

Barat, SDN Sukabumi Udik 01 Pagi Kebun Jeruk Jakarta Barat, SDN II

Pamulang, SDI Al-Falah 01 Petang Jakarta Barat, SMPN II Ciputat,

SMAN 47 Jakarta Selatan.

19. Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip)

Semarang, dan Program Magister (S2) Ilmu Hukum Unissula, Semarang.

20. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Jazakumullah khairon katsiro.

Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis

mengharapkan saran dan kritik membangun demi perbaikan dan semoga

disertasi ini dapat bermanfaat. Aamiin.

Semarang, 9 September 2017

Penulis

IRA ALIA MAERANI

DAFTAR ISI

l

HALAMAN JUDUL ...................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ ii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................. iii

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................ iv

ABSTRAK ..................................................................................... v

ABSTRACT ..................................................................................... vi

RINGKASAN DISERTASI ........................................................... vii

SUMMARY DISERTATION ........................................................... xxx

KATA PENGANTAR ................................................................... xlvii

DAFTAR ISI .................................................................................. l

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR .............................................. xxxvii

DAFTAR SINGKATAN ................................................................ xxxviii

GLOSSARY ................................................................................... xxxix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................... 16

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 16

D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 16

E. Kerangka Teori ..................................................................... 17

F. Kerangka Konseptual ............................................................... 38

(1) Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD NRI

Tahun 1945 ……………………………………………. 38

(2) Hukum Pelaksanaan Pidana dalam KUHP, Konsep KUHP,

li

dan Peraturan Perundang-undangan di Luar KUHP ........ 43

G. Kerangka Pemikiran ................................................................ 46

H. Metode Penelitian ................................................................... 53

a. Paradigma Penelitian ........................................................ 53

b. Metode Pendekatan Penelitian ....................................... ...... 54

c. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 59

d. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 61

e. Metode Pengumpulan Data ............................................. ...... 63

f. Metode Analisis Data ......................................................... 63

I. Orisinalitas Penelitian .............................................................. 64

J. Sistematika Penelitian .............................................................. 66

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 68

A. Pengertian Rekonstruksi ........................................................... 68

B. Pengertian Kebijakan ................................................................ 70

C. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana... ...... 74

D. Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan .......... ...... 82

E. Pengertian Tujuan Pemidanaan ................................................... 91

F. Pengertian Pidana Mati dalam Perspektif Islam ........................ 99

G. Pengertian Nilai-Nilai Pancasila ........................................... ...... 105

BAB III KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI

DALAMHUKUM PIDANA POSITIF SAAT INI ............ . 120

BAB IV KELEMAHAN-KELEMAHAN KEBIJAKAN HUKUM

PELAKSANAAN PIDANA MATI DALAM HUKUM

lii

PIDANA POSITIF SAAT INI …...…...…………………. 133

BAB V REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN

PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA...... 162

A. Nilai Filosofis Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana dalam

UUD NRI Tahun 1945 ............................................................ 162

B. Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum

Pidana Positif di Negara Asing ............................................... 174

C. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati

Berbasis Nilai-Nilai Pancasila ............................................... 197

BAB VI PENUTUP .......................................................................... . 235

A. Simpulan ............................................................................. . 235

B. Implikasi Kajian Disertasi ................................................... . 236

C. Saran-saran............................................................................ . 238

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... .. 240

BIODATA PENULIS ...................................................................... . 250

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

liii

Bagan Keadilan dalam Islam dan Kontribusinya dalam Pembaharuan

Hukum Pidana .......................................................................... 32

Bagan Paradigma Ide Dasar Pancasila ............................................. 50

Tabel Kerangka Pemikiran .................................................................. 52

Tabel Orisinalitas Penelitian ................................................................ 66

Tabel Jalinan Keterkaitan Sistem Pemidanaan dan Sistem Peradilan

Pidana......................................................................................... 78

Tabel Sistem Pemidanaan Dalam Arti Luas ........................................ 84

Tabel Sistem Pemidanaan Dalam Arti Sempit .................................... 85

Tabel Sistem Pemidanaan dalam Arti Luas dan Sempit ..................... 87

Tabel Perundang-undangan Indonesia yang Memiliki Ancaman Pidana

Mati ............................................................................................. 127

Tabel Daftar Eksekusi Pidana Mati Tahun 1987 – 2016 ........................ 130

Tabel Praktek Pidana Mati di Dunia ...................................................... 176

Tabel Angka Kejahatan Pembunuhan di Arab Saudi Dibanding Enam

Negara Arab yang Tidak Menerapkan Hukum Pidana Islam ...... 180

Tabel Angka Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan di Arab Saudi

Dibanding Enam Negara Arab yang Tidak Menerapkan Pidana

Islam ............................................................................................. 181

Tabel Angka Kejahatan Seksual di Arab Saudi Dibanding Enam Negara

Arab yang Tidak Menerapkan Hukum Pidana Islam ................... 181

Gambar Proses Eksekusi Pancung ..................................................... 186

Tabel Data Hukuman Mati di Amerika Serikat ................................ 190

liv

Tabel Daftar Penangguhan Eksekusi 2014 ....................................... 192

Tabel Daftar Penangguhan Eksekusi 2015 ........................................ 193

Gambar Tempat Eksekusi Pidana Gantung di Jepang ..................... 198

Tabel Tabel Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana

Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila …………….................. 236

DAFTAR SINGKATAN