REHABILITASI SOSIAL UNTUK PENYALAHGUNA...
Transcript of REHABILITASI SOSIAL UNTUK PENYALAHGUNA...
REHABILITASI SOSIAL UNTUK PENYALAHGUNA NAPZA DI
YAYASAN KARYA PEDULI KITA TANGERANG SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
ROUDHOTUL FIRDHA
NIM: 1112054100036
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016
i
ABSTRAK
Roudhotul Firdha. 1112054100036. Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna
NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan. Dibawah
bimbingan Ismet Firdaus, M.Si
Permasalahan narkoba saat ini tidak mudah untuk ditangani karena antara
produsen, pengedar, dan pengguna sulit untuk terdektesi. Anak-anak mulai dari
usia 14 sampai 18 tahun yang merupakan usia rawan ingin mencoba narkoba.
Sehingga peran rehabilitasi dalam pemulihan ketergantungan bagi penyalahguna
narkotika sangat penting, baik rehabilitasi sosial ataupun medis karena semakin
bertambahnya pecandu narkotika di Indonesia. Efektifitas rehabilitasi untuk
memulihkan korban dari narkotika sangat diperlukan, mengingat sulitnya korban
atau pengguna narkotika untuk dapat terlepas dari ketergantungan narkotika
secara individu. Yayasan Karya Peduli Kita adalah tempat rehabilitasi sosial yang
menyediakan program khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
individu, seperti program ganggguan penggunaan zat untuk remaja, wanita,
eksekutif muda, orang dengan gangguan pesikologis,dll.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses rehabilitasi
sosial dan bagaimana hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta bagi
klien penyalahguna NAPZA. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
kualitatif jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
merupakan kumpulan data dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang
diperoleh dari informan yang berjumlah 6 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses rehabilitasi sosial Yayasan
Kapeta melalui beberapa fase, mulai dari fase rawat inap sampai dengan fase
rawat jalan. Dalam rawat inap, diawal bulan klien dilakukan Asesmen kemudian
diberikan rencana rawatan, pemahaman adiksi, kesehatan diri, di bulan kedua
klien mulai mengembangkan rencana rawatan, lalu diberikan edukasi pemahaman
tentang pemulihan, pendidikan kesehatan diri, diberikan keterampilan hidup dan
pencegahan kekambuhan, kemudian di fase bulan ketiga ini adalah akhir dari
rawat inap dimana klien sudah pada tahap pemantapan rencana rawatan, dengan
diberikan terapi pencegahan kekambuhan, lalu ditambahkan dengan kelompok
bantu diri, dan dialog untuk keluarga bersama YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih
Indonesia) kemudian dilanjutkan rencana rawat jalan, rawat jalan dilakukan
selama 3 bulan sesuai dengan kebutuhan klien. Dalam tahap ini klien sudah boleh
pulang ke rumah, dan hanya beberapa hari berada di tempat rehabilitasi. Kegiatan
yang dilakukan selama rawat jalan tidak jauh berbeda dengan saat klien
melakukan rawat inap, klien tetap mendapatkan konseling individu, terapi
kelompok, mendapatkan kelompok dukungan, dan kelompok bantu diri, juga
mendapatkan kegiatan vokasional setelah itu dilakukan asesmen kembali untuk
mengetahui perkembangan yang didapat setelah menyelesaikan rawatan. Dan
hasil dari rehabilitasi bisa dilihat dari niat klien itu sendiri apakah dirinya mau
untuk berubah atau ada support system seperti keluarga tetapi tujuan Yayasan
Kapeta ialah melakukan kondisi abstinen yaitu berpantang dari segala bentuk
pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol.
Kata Kunci : Rehabilitasi Sosial, Penyalahgunaan NAPZA, Yayasan Karya
Peduli Kita.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan bentuk nikmat
kepada penulis, nikmat jasmani, rohani, nikmat lahir dan batin, sehingga penulis
bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula
penulis ucapkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah
menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangan-
kekurangan ataupun kesalahan baik pada teknis penulisannya ataupun materinya,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu, kritik serta saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan
skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dari mulai proses penyusunan sampai dengan skripsi ini selesai.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA Selaku Dewan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto,
M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA
selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris program Studi
Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya.
3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membantu membimbing dan memberikan masukan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam
mendidik dan memberikan wawasan selama mengikuti perkulihahan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Orang tuaku tercinta dan adikku, Bapak Hambali dan Ibu Yulianti dan
Muhamad Farizi. Terimakasih tak terhingga untuk kasi sayang yang
diberikan kepada penulis. Perhatian, do’a, motivasi, nasehat-nasehat
berharga yang penulis dapat selama ini. Terimakasih, semoga Allah
memberikan kesehatan, kebahagiaan dan berkah kepada keluarga kita.
6. Kepada seluruh pegawai dan petugas serta klien Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, terimakasih atas waktu dan izinnya sehingga penulis bisa
melaksanakan penelitian ini.
7. Sahabatku Novita Amalia dan Pamela Nurul Khairani.S.E , Salwa Hayati.
S.H, yang telah kurang lebih tujuh tahun ini menemani perjalanan hidup
penulis dengan senyum, tawa dan motivasinya kepada penulis.
8. Dan sahabatku semasa sekolah di MAN 7 Jakarta, Rahmi Shidqiyah, Rica
Fahmia. S,Pd. Dan Nurul Pratiwi yang telah memberikan semangat, do’a
serta dukungan kepada penulis.
iii
9. Keluarga besar SAROJA dan keluarga besar dari Bapak yang selalu
memberikan semangat, dukungan baik moril maupun materil selama ini.
10. Ratna Wati dan Miftah Mawadah, S.Pd. Teman yang sudah menjadi
keluarga, terimakasih telah memberikan semangat, keceriaan dan dukungan
kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan skripsi Syarifah Malahayati, Nuni Nuraini, Dwi
Hardianti, Rahmawati Agustini, Heni Purwati, Nurfauziah Safitri, Fahmi
Islam yang telah berjuang bersama dan saling memotivasi selama
mengerjakan skripsi.
12. Teman-teman Kesejahteraan Sosial kelas B angkatan 2012 yang telah
memberikan canda, tawa serta kebersamaan selama masa perkuliahan.
13. Dan teman-teman angkatan 2012 Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan warna baru selama perkuliahan, Terutama kepada Aisyah
Rahma Utami.S.Sos dan Ira Rahmawati.S.Sos yang telah memberikan
bantuan kepada penulis mulai dari mencari judul sampai selesai.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis untuk menyelesaikan skripsi dan perkuliahan.
Penulis juga berharap bahwa skripsi ini memberikan pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi penulis, mahasiswa Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Roudhotul Firdha
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………..…………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……...…………………………………………………... ii
DAFTAR ISI……………….………………………………………………....... iv
DAFTAR TABEL………….…………………………………………………... vi
DAFTAR BAGAN………..……………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….... 9
D. Metodologi Penelitian……………………………………………... 10
E. Sistematika Penulisan……………………………………………... 22
BAB II LANDASAN TEORI
A. Rehabilitasi Sosial…………………………………………………. 24
1. Pengertian Rehabilitasi sosial………………………………… 24
2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi…………………………... 25
3. Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA………………… 28
4. Tahapan Rehabilitasi Sosial…………………………………... 30
5. Teori Kognitif-Perilaku……………………………………….. 31
6. Peran Pekerja Sosial…………………………………………... 32
7. Terapi Kelompok……………………………………………… 35
8. Instrument Yang Digunakan…………………………………. 36
9. Sumber-sumber Self-help……………………………………... 39
10. Ukuran Hasil…………………………………………………... 40
11. Teori Sistem Ekologi………………………………………….. 40
B. Penyalahguna NAPZA……………………………………………. 42
1. Pengertian Penyalahguna…………………………………….. 42
2. Akibat Penyalahguna…………………………………………. 43
3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA……………………... 44
C. NAPZA……………………………………………………….......... 45
1. Pengertian NAPZA……………………………………………. 45
2. Jenis-jenis NAPZA…………………………………………….. 47
BAB III PROFIL LEMBAGA
A. Latar Belakang Lembaga…………………………………………. 54
1. Sejarah Yayasan Kapeta……………………………………… 54
2. Visi dan Misi…………………………………………………… 55
3. Prosedur Penerimaan Klien…………………………………... 56
4. Alur Layanan………………………………………………….. 58
5. Struktur Organisasi…………………………………………… 59
6. Sarana dan Prasarana………………………………………… 60
7. Landasan Hukum……………………………………………... 60
8. Program Rehabilitasi………………………………………….. 61
v
9. Kerjasama Lembaga…………………………………………... 62
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
A. Proses Rehabilitasi Sosial…………………………………………. 63
B. Hasil Rehabilitasi Sosial…………………………………………... 89
C. Peran Pekerja Sosial………………………………………………. 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………… 96
B. Saran……………………………………………………………….. 98
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 99
vi
DAFTAR TABEL DAN DAFTAR BAGAN
Tabel 1. Subjek dan Informan............................................................................... 12
Bagan 1. Alur Layanan......................................................................................... 58
Bagan 2. Stuktur Organisasi.................................................................................. 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini tidak hanya kalangan menengah keatas atau artis saja yang menjadi
korban narkoba melainkan semua kalangan masyarakat sudah banyak yang menjadi
korban dari obat terlarang ini, mulai dari kalangan pelajar/mahasiswa, sampai
pekerja. Sekarang ini masyarakat menyebut obat terlarang itu dengan sebutan
narkotika namun yang dimaksud narkotika itu sendiri adalah penggunaan narkoba
dan psikotropika atau NAPZA (Narkotika,Psikotropika,dan Zat Adiktif).
Narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi sintetis
yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping
membius dan menurunkan kesadaran adalah mengakibatkan daya khayal/halusinasi
(ganja), serta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut
dapat menimbulkan ketergantungan (depence). Narkotika yang dibuat dari alam yang
kita kenal adalah candu (opium),ganja dan cocaine.1
Sebagian dari narkoba itu menimbulkan gairah, semangat dan keberanian,
sebagian lagi menimbulkan perasaan mengantuk, yang lain bisa menyebabkan rasa
tenang dan nimat sehingga bisa melupakan segala kesulitan. Oleh karena efek-efek
itulah beberapa remaja menyalahgunakan narkoba dan alkohol.2
1 Sasangka Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Manjur,
2003), Cetakan I, h. 35. 2 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja , (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2007), h. 217-
218.
2
Begitu juga dengan penggunaan narkoba ini member efek rasa percaya diri yang
berlebihan, sehingga pemakaiannya dapat nekat dalam melakukan hal-hal yang
berbahaya. Beberapa tindakan tawuran pelajar dan tindakan pidana lainnya juga
dirangsang dengan narkoba ini.3
Penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dilakukan seseorang tanpa dengan adanya
resep dari dokter dan dipakai secara berulang kali sampai akhirnya menjadi pecandu,
yang juga melanggar hukum dan merusak fisik serta kehidupan sosialnya.
Dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90 sudah dijelaskan tentang
penyalahunaan narkotika ini:
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung.”4
Sesuai dengan firman Allah.SWT, di atas dijelaskan bahwa segala zat yang dapat
memabukkan seseorang sampai hilang kesadaran itu adalah haram, dan tidak boleh
digunakan sembarangan tanpa adanya resep dari dokter.
3 Topo Santoso dan Anita Silalahi, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja: Suatu
Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1 (September 2000): h.37 4 Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, (Jakarta: PT. Suara Agung,
2009), cetakan ke-2, h. 221.
3
Berdasarkan data statistik sepanjang tahun 2015 BNN telah mengungkap
sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan sindikat jaringan nasional
dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah P21. Kasus-kasus yang telah
diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA.
Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang telah diungkap, BNN telah menyita
barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabukristal; 1.200 mililiter sabu cair;
1.100.141,57 gram ganja; 26 biji ganja; 95,86 canna chocolate; 303,2 gram happy
cookies; 14,94 gram hashish; 606.132 butir ekstasi; serta cairan prekursor sebanyak
32.253 mililiter dan 14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang
berhasil disita oleh BNN senilai Rp 85.109.308.33.5
Untuk persoalan penyalahgunaan NAPZA ini memang harus ditindaklanjuti, baik
secara hukum ataupun memberikan rehabilitasi kepada penyalahguna NAPZA.
Karena penyalahguna zat ini tidak cukup untuk diberi hukuman saja, melainkan harus
di rehabilitasi agar mereka tidak kembali memakai NAPZA tersebut. Menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
bagian kedua mengenai rehabilitasi pasal 55:
1) Orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk
mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
5 Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”, Diakses pada
tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id.
4
2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat,rumah
sakit,dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.6
Menurut peraturan kepala Badan Narkotika Nasional tentang rehabillitasi
narkotika komponen masyarakat nomor 14 tahun 2011, Pasal 3 yang berbunyi,
“Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.”7
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat
kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di
sekolah/kampus dan ditempat kerja. Program rehabilitasi psikososial merupakan
persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka
perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani
program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.8
Kemudian hal ini dibahas salah satunya oleh Journal of Substance Abuse
Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor, Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic
Evaluation of the Effectiveness of a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance
6 M. Wresniwiro, Selamatkan Anak Bangsa dari Bahaya Narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h. 122-123 7 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi Narkotika
Komponen Masyarakat. 8 Dadang Hawari, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif),
(Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h. 138.
5
Program on Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau
cara rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di jelaskan
bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak permasalahan sosial dan hal
tersebut membuat mereka sulit mengelola permasalahannya diri sendiri. namun, pada
jurnal ini memberikan beberapa cara yang membantu agar klien mampu
memanajemen diri sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis
telfon. Disini para klien akan memiliki anggota kelompok yaitu
perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna narkoba.
Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami kepada anggota kelompok
lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak merasa mengalami masalah sendirian dan
mampu untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6
bulan. Intervensi berbasis telepon dianggapp cukup praktis karena klien dapat
melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat.
Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12 langkah
yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan mantan pecandu
narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan bahwa mereka yang
menggunakan metode 12 langkah dapat membantu dalam menangani permasalahan-
permasalahan pada dirinya dan dapat membantu anggota kelompok lain apa bila
memiliki permasalahan serta para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan
narkoba dan mau mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya.
Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari
psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman dengan
6
masalah Gangguan Penggunaan Zat di antara keluarga dan lingkungannya. KAPETA
memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk orang tua
(Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat rawat jalan
(daycare), hinggaa kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum Yayasan pada
tanggal 24 Februari 2004. Melalui berbagai program terkait penanggulangan masalah
Gangguan Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha
untuk dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah Gangguan
Penggunaan Zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan
memberikan dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
dalam menapaki kehidupannya. Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi
terkait masalah Gangguan Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia,
menyebabkan keanekaragaman pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan
masalah tersebut.
Yayasan Kapeta dalam memberikan program membaginya menjadi 2 bagian,
program untuk rawat inap dan rawat jalan. Untuk rawat inap dibagi lagi menjadi
rawat inap jangka pendek dan menengah, untuk mengakomodir rawatan Gangguan
Penggunaan zat, khususnya heroin (putaw), ATS – Amphetamine Type of Stimulants,
dan zat lain dengan tingkat yang lebih kompleks, yayasan Kapeta membuka layanan
program rawat inap (residensial) jangka pendek dan menengah. Kemudian ada Rawat
jalan, yaitu program terapi dan pemulihan ini ditujukan khususnya kepada mereka
yang memiliki Gangguan Penggunaan Zat yang masih dalam tahap awal atau
menengah (light to moderate).
7
Dipilihnya durasi jangka pendek dan menengah adalah untuk memenuhi
kebutuhan, khususnya para pengguna zat yang telah menjalani program pemulihan
jangka panjang sebelumnya, menjalani program perawatan yang tidak
mengharuskannya meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Selain itu
program ini diinisiasi untuk mengisi lubang dari rangkaian rentang rawatan
(Continuum of Care) Gangguan Penggunaan Zat, yang umumnya diisi di Indonesia
oleh program terapi dan rehabilitasi rawat inap dengan durasi lebih lama (6 bulan
hingga 2 tahun), tanpa pilihan lain yang secara signifikan berbeda.
Alasan penulis memilih Yayasan Kapeta sebagai tempat penelitian karena
Yayasan Kapeta telah terakreditasi sebagai pusat terapi rehabilitasi NAPZA
komponen masyarakat peringkat A (terbaik) nasional dan berada di peringkat
program di wilayah jabodetabek berdasarkan penilaian Badan Narkotika Nasional
tahun 2014. Kemudian para konselor adiksi Yayasan Kapeta telah tersertifikasi
sebagai Internasional Certified Addiction professionals (ICAP) oleh ICCE
(Internasional Centre for Certification and Education of Addiction Professionals) dan
sebagai Certified Substance Abuse Therapies oleh APBC (Asia Pasific Certification
Board) sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik. Dan penulis juga ingin
mengisi kekurangan dari penelitian sebelumnya yang membahas tentang rehabilitasi
sosial untuk penyalahgunaan NAPZA.
Rehabilitasi terhadap penyalahguna NAPZA juga merupakan suatu bentuk
perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial
agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan NAPZA. Sudah seharusnya mereka yang
menyalahgunakan narkotika dibawa ke tempat rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis
8
ataupun sosial. Sudah banyak tempat rehabilitasi penyalahguna narkoba, baik yang
didirikan oleh pemerintah ataupun swasta.
Berdasarkan penjelasan diatas diperlukannya rehabilitasi sosial untuk memulihkan
kondisi dari penyalahguna zat, agar mereka dapat kembali fungsi sosialnya.
Penyalahguna zat tidak hanya memerlukan obat saja untuk pulih namun
membutuhkan terapi-terapi yang lain yang dapat membantu penyalahguna zat ini
kembali baik secara fungsi sosialnya, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian
mengenai “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan
KAPETA, Tangerang Selatan”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, sehingga sampai pada
tujuannya, maka penulis membatasi penelitian ini pada:
1) Rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu suatu proses kegiatan
pemulihan baik secara fisik, mental ataupun sosial untuk penyalahguna
NAPZA agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat. Dalam penelitian ini yang diukur adalah bagaimana proses
rehabilitasi sosial yang diberikan untuk penyalahguna NAPZA.
2) Terapi dalam rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu terapi medis
untuk memulihkan kondisi fisik yang lemah seperti memberikan kegiatan
olahraga, selanjutnya terapi psikiatrik diberikan dalam bentuk psikoterapi
baik secara individu atau kelompok tujuannya untuk menghilangkan sikap
anti sosial dan juga untuk keluarga agar memahami permasalahan
9
mengenai narkoba. Terapi psikososial juga diberikan agar penyalahguna
NAPZA dapat kembali dalam lingkungan sosialnya dan terapi
psikoreligius yaitu agar memulihkan penyalahguna dalam menjalankan
ibadahnya.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini:
a) Bagaimana proses rehabilitasi sosial yang diberikan di Yayasan Kapeta?
b) Bagaimana terapi rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
a) Mendeskripsikan proses rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta.
b) Mendeskripsikan terapi yang ada saat rehabilitasi sosial yang
diberikan oleh Yayasan Kapeta.
2. Manfaat penelitian
a) Manfaat Akademis
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini dapat
menjadi tambahan referensi dan meningkatkan wawasan akademi dalam
bidang kesejahteraan sosial khususnya yang terkait dengan rehabilitasi
sosial untuk para penyalahguna narkoba.
b) Manfaat Praktis
1) Menginformasikan hasil yang dicapai dari rehabilitasi sosial bagi
penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Kapeta Indonesia.
10
2) Memberikan pemahaman dan masukan untuk penelitian-penelitian
lebih lanjut dan juga praktisi di lembaga.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan
pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari proses berpikir secara
induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antarafenomena yang
diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif menurut Bodgan & Taylor (1990) adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan berperilaku yang dapat diamati yang diarahkan
pada latar dan individu secara holistic (utuh).
Metode penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam
pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab
permasalahan yang dihadapi. Menurut Denzin dan Lincoln, penelitian
kualitatif lebih ditunjukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai
organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan
dari sampel besar dari sebuah populasi.9
Penggunaan pendekatan kualitatif ini mempunyai beberapa alasan yakni
salah satunya adalah bersifat luwes dan fleksibel, menyajikan secara langsung
hakikat hubungan antara penulis dengan penelitian.
9 Koentjoro, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta:Salemba
Humanika, 2012).
11
2. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data
primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian.
Data primer dari penelitian ini adalah staff klinis dan klien dari Yayasan
Kapeta, Tangerang Selatan.
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh sumber-sumber infomasi baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa dokumen, arsip-arsip,
memo atau catatan tertulis lainnya maupun gambar atau benda yang berkaitan
dengan penelitian. Data sekunder ini peneliti dapatkan dari Yayasan Kapeta,
website Yayasan Kapeta, media masa, dan lain-lain.
3. Teknik Pemilihan Informan
Menurut Sugiyono, purposive sampling adalah teknik untuk menentukan
sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu bertujuan agar data
yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif. Dalam penelitian ini yang
menjadi subjek penelitian adalah klien, konselor dan pekerja sosial yang ada di
Yayasan Kapeta. Sedangkan objek penelitian ini adalah rehabilitasi sosial untuk
penyalahguna NAPZA di yayasan Kapeta, Tangerang Selatan. Dalam memilih
subjek penelitian ini, penulis menggunakan pengambilan informan menggunakan
purposive sampling yaitu peneliti sudah mempunyai informan yang dituju untuk
12
membantu melakukan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik purposive sampling yang diberikan keleluasaan kepada peneliti dalam
menyeleksi informan yang sesuai dengan tujuan penelitian, yang terpenting disini
bukanlah jumlah informan, melainkan potensi diri tiap kasus untuk memberikan
pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.10
Purposive sampling juga merupakan teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Jadi sebelumnya peneliti sudah melakukan perencanaan
yang menjadi informan dalam penelitian yang sesuai dengan penelitian ini.
Berikut ini jumlah informan yang terpilih dalam pengumpulan data yang
diperlukan dalam penelitian.
Tabel 1 Subjek dan Informan Penelitian
No. Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Klien AR, P, AR Mengetahui apa saja yang
didapatkan selama proses
rehabilitasi sosial di Yayasan
Kapeta.
3 orang
2. Bapak Gidien dan
Bapak Irfan
(Konselor)
Mengetahui proses
rehabilitasi sosial, terapi-
terapi yang diberikan, serta
kegiatan yang dilakukan
2 orang
10
Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.79.
13
selama proses rehabilitasi
sosial. Dan hasil yang didapat
setelah menjalankan
rehabilitasi sosial.
3. Siti Jumartina
(Pekerja Sosial)
Mengetahui gambaran
tentang profil lembaga, dan
tugas pokok pekerja sosial
dalam proses rehabilitasi
sosial di Yayasan Kapeta.
1 Orang
Jumlah Informan 6 orang
Sumber : Penentuan Informan Penulis
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah dengan cara:11
a. Wawancara
Wawancara mendalam (in-dept, intensive interview). dalam hal ini
seharusnya peneliti mempelajari teknik wawancara agar bisa dilakukan
wawancara secara mendalam. Teknik ini menuntut peneliti untuk mampu
bertanya sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data terntentu
sehhingga diperoleh data atau informasi yang rinci.
11
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan
Penelitian, (Malang: Umm Press, 2010), Cetakan kedua, h. 56.
14
Melakukan wawancara mendalam berarti menggali informasi atau data
sebanyak-banyaknya dari responden atau informan. Agar informasi yang
detail diperoleh, peneliti hendaknya berusaha mengetahui, menguasai
sebelumnya tentang topik penelitiannya.
Sebelum wawancara peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang
berhubungan dengan keterangan yang ingin digali. Adapun hal yang
diwawancarai adalah seputar proses rehabilitasi sosial untuk penyalahguna
NAPZA di Yayasan Kapeta dan Hasil yang didapat setelah melakukan
rehabilitasi sosial. Dalam hal ini peneliti menggunakan bahasa Indonesia
dalam mewawancarai responden, yaitu para klien, staff klinis, dan pekerja
sosial Yayasan Kapeta.
b. Observasi
Dengan teknik ini (termasuk wawancara) peneliti harus berusaha dapat
diterima sebagai warga atau orang dalam para responden, karena teknik ini
memerlukan hilangnya kecurigaan para subjek penelitian terhadap
kehadiran peneliti.
Observasi, berarti peneliti melihat dan mendengarkan (termasuk
menggunakan tiga indera yang lain, jika terjadi) apa yang dilakukan dan
dikatakan atau diperbincangkan para responden dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari baik sebelum, menjelang, ketika dan sesudahnya. Aktivitas
yang diamati terutama yang berkaitan dengan konsep-kunci penelitian,
tanpa melakukan intervensi atau member stimuli pada aktivitas subjek
penelitian.
15
Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang proses
rehabilitasi sosial untuk penyalahguna NAPZA dan hasil rehabilitasi sosial
di yayasan Kapeta.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang
berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Studi
dokumen merupakan perlengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara.12
Teknik dokumentasi yang berupa informasi yang berasal dari catatan
penting baik dari lembaga atau organisasi maupun perorangan.
Peneliti berusaha mengumpulkan, membaca, dan mempelajari
berbagai bentuk data tertulis yang ada dilapangan serta data-data lain yang
didapat dari buku, majalah, surat kabar, artikel, kliping, dan lain-lain.
5. Tempat dan Waktu Penelitian
a) Tempat Penelitian
Tempat penelitian yang diambil oleh penulis yaitu Yayasan Kapeta.
Disana penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi dari
staff yang memberikan rehabilitasi dan penerima pelayanan dengan
melakukan wawancara langsung serta observasi terhadap proses
rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan
12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2013), Cetakan Pertama, h. 176.
16
Kapeta tersebut untuk mendapatkan data tertulis seperti dokumentasi dan
data-data lain yang mendukung penelitian ini.
b) Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dilakukan penulis berlangsung selama enam
bulan dimulai dari bulan Juni 2016 sampai bulan November 2016.
6. Analisa Data
Analisis data adalah pencarian atau pelacakan pola-pola. Analisis data
kualitatif adalah pengujian sistematik dari sesuatu untuk menetapkan bagian-
bagiannya, hubungan antar kajian dan hubungannya terhadap keseluruhan.
Artinya, semua analisis kualitatif akan mencakup penelusuran data, melalui
catatan-catatan (pengamatan lapangan) untuk menemukan pola-pola budaya yang
dikaji oleh peneliti.13
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif, data yang diperoleh
melalui wawancara dan pengamatan tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian.
Setelah data terkumpul dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan
permasalahan penelitian, maka selanjutnya peneliti melaksanakan analisis
terhadap data dan informasi tersebut. Dalam menulis data tersebut, peneliti
menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskrpsikan hasil temuan penelitian
secara sistematik, faktual dan akurat yang disertai dengan petikan wawancara
yang akan dipaparkan oleh peneliti.
13
Ibid, h. 210.
17
7. Teknik Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memiliki kriteria,
yaitu, Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam
metode kualitatif yang dilakukan dengan membandingkan data hasil pengamatan
dengan hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah berupa
kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan.14
8. Teknik Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka penulis mengacu pada
pedoman penulisan karya ilmuan (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2008.
9. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa
hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Adapun penelitian tersebut diantaranya:
a. Journal of Substance Abuse Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor,
Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic Evaluation of the Effectiveness of
a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on
Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau cara
14
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), Edisi kedua, Cetakan ke-5, h. 264-265.
18
rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di
jelaskan bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak
permasalahan sosial dan hal tersebut membuat mereka sulit mengelola
permasalahannya diri sendiri. namun, pada jurnal ini memberikan
beberapa cara yang membantu agar klien mampu memanajemen diri
sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis telfon.
Disini para klien akan memiliki anggota kelompok yaitu
perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna
narkoba. Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami
kepada anggota kelompok lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak
merasa mengalami masalah sendirian dan mampu untuk melanjutkan
kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6 bulan. Intervensi
berbasis telepon dianggapp cukup praktis karena klien dapat
melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat.
Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12
langkah yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan
mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan
bahwa mereka yang menggunakan metode 12 langkah dapat membantu
dalam menangani permasalahan-permasalahan pada dirinya dan dapat
membantu anggota kelompok lain apa bila memiliki permasalahan serta
para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan narkoba dan mau
mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya.
19
b. Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan Sosial
Koreksional. Disusun Oleh Ilmawati Hasanah, jurusan Kesejahteraan
Sosial/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tahun 2015.
Isi skripsi ini meneliti tentang Program rehabilitasi sosial bagi
narapidana di lembaga Pemasyarakatan klas I Cipinang Jakarta: Perspektif
pekerjaan sosial koreksional, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pola rehabilitasi sosial melalui pembinaan berdasarkan
perspektif pekerjaan sosial koreksional, bagaimana metode pembimbingan
narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang
Jakarta, dan bagaimana pendampingan bagi narapidana selama mengikuti
pembinaan. Dalam hal ini, penulis dengan peneliti terdahulu sama-sama
mengambil metode group work, yang jadi pembeda antara penelitian
terdahulu tersebut dengan skripsi penulis ialah subjek yang diteliti.
c. Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial
Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor. Disusun oleh Nurjanah, jurusan
Bimbingan Penyuluhan Islam/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, tahun 2014.
Isi dari skripsi ini menjelaskan mengenai Proses rehabilitasi korban
penyalahgunaan NAPZA merupakan upaya kesehatan yang dilakukan
secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial
dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita ketergantungan dapat
mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Dalam mencapai
20
tujuan dari proses tersebut dibutuhkan suatu layanan bantuan berupa peran
peer counselor. Hal ini didasari bahwa tidak semua klien yang mengikuti
program rehabilitasi memiliki masalah yang sama (walaupun samasama
pengguna). Adanya peer counseling tersebut tentunya memiliki beberapa
tujuan yang hendak dicapai, dasar komunikasi dalam peran peer
counselor, dan keberhasilan yang dicapai dalam peer counselor. Perbedaan
penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis teliti yaitu terletak
pada pembahasan, pada penelitian yang penulis lakukan ialah membahas
keseluruhan proses rehabilitasi sosial dengan berbagai macam terapi yang
diberikan. Persamaannya terdapat pada salah satu pembahasan mengenai
terapi konseling, dimana terapi konseling ini perlu diberikan kepada klien
baik secara individu ataupun kelompok agar terciptanya komunikasi yang
saling terbuka dan terjadinya pemberdayaan konseling agar mampu
mengambil keputusan untuk permasalahan klien. Perbedaannya terdapat
pada lembaga penelitian yang diambil oleh penulis.
d. Rehabilitasi Mental Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan
Madani Mental Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Disusun oleh Jovendra Aliansyah, jurusan Bimbingan Penyuluhan
Islam/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Isi skripsi ini adalah Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai proses rehabilitasi yang dilakukan dalam
penyembuhan korban penyalagunaan narkoba di Yayasan Madani Mental
21
Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Yang membedakan
dengan skripsi peneliti adalah subjek penelitiannya adalah klien dari
Yayasan Kapeta Tangerang Selatan. Sedangkan objek penelitian adalah
mengetahui proses rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta
untuk penyalahguna NAPZA. Dan persamaanya adalah membahas
mengenai Penyalahguna NAPZA.
e. Peran Pekerja Sosial Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba di
Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor. Disusun oleh
Risdiyanto, jurusan kesejahteraan sosial/Fakultas ilmu dakwah dan ilmu
komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas Peran Pekerja Sosial dalam rehabilitasi sosial
memiliki beberapa peran yaitu, peran sebagai perantara, peran sebagai
pendorong, peran sebagai penghubung, peran sebagai advokasi, peran
sebagai perunding, peran sebagai pelindung, peran sebagai fasilitator,
peran sebagai negosiator. Peran yang paling menonjol dari peran tersebut
adalah peran sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator, dan yang
menonjol dari PSPP “Galih Pakuan” Bogor adalah rehabilitasi sosialnya
yang menerapkan penuh pembinaan mental, sosial, dan fisik tanpa
menggunakan obat-obatan pemulihan kecanduan narkoba.
Perbedaan dalam skripsi ini adanya objek yang diteliti dalam
penelitian, dan persamaannya adalah peran pekerja sosial yang menonjol
yaitu sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator serta dalam
22
rehabilitasi sosial ini tidak menggunakan obat-obatan seperti metadon
dalam pemulihan kecanduan narkoba.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, masing-
masing bab terdiri dari beberapa sub bab secara sistematis sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Mengemukakan: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II: LANDASAN TEORI
Dalam bab ini, dikemukakan teori-teori yang melandasi dan mendukung
penelitian. Yang meliputi pengertian rehabilitasi sosial, sarana dan prasarana
rehabilitasi, rehabilitasi bagi korban narkoba, tahapan rehabilitasi sosial, teori
kognitif-perilaku, teori sistem ekologi, terapi kelompok, peran pekerja sosial
dengan kelompok, pendekatan penanganan penyalahgunaan obat, asesmen,
skrining, hasil rehabilitasi, pengertian penyalahguna narkoba, akibat
penyalahgunaan narkoba dan cara mengatasinya, Dampak penyalahgunaan
NAPZA, serta pengertian napza, jenis-jenis dan tahapan penyalahgunaan
napza.
BAB III: PROFIL LEMBAGA
Menjelaskan tentang profil lembaga, pertama penulis menguraikan latar
belakang berdirinya Yayasan Kapeta Indonesia, Visi dan Misi, Landasan
23
Hukum, Struktur Organisasi, Sarana dan Prasarana, Prosedur Penerimaan
klien, Kerja sama lintas sektoran, Program Yayasan Kapeta.
BAB IV: ANALISIS DAN TEMUAN LAPANGAN
Bab ini membahas tentang Proses rehabilitasi sosial yang diberikan
Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dan terapi-terapi yang
diberikan Yayasan Kapeta.
BAB V: PENUTUP
Bab terakhir ini, memberikan kesimpulan terhadap hasil penelitian yang
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, guna menghasilkan masukan
ataupun saran terhadap program lembaga.
24
BAB II
LANDASAN TEORI
A. REHABILITASI SOSIAL
1. Pengertian Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi menurut Dadang Hawari yaitu upaya memulihkan dan
mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna/ketergantungan zat kembali
sehat secara fisik, psikologik, sosial dan spiritual/ agama (keimanan). Dimana
dalam keadaan sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi
secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah/kampus, di
tempat kerja dan lingkungan sosialnya.15
Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, pasal 1 poin 17 menyatakan,
rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.16
Kemudian rehabilitasi itu dibagi lagi berdasarkan objeknya rehabilitasi dibagi
menjadi 2 yaitu:
a. Rehabilitasi cacat yaitu rehabilitasi bagi orang-orang yang memiliki cacat
fisik seperti tuna netra, tuna rungu dll
15
Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program
Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h.32. 16
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h.105.
25
b. Rehabilitasi sosial yaitu rehabilitasi bagi orang yang tunasosial atau memiliki
kelainan atau penyimpangan sosial seperti tuna susila, korban narkotika, anak
nakal dll.17
Rehabilitasi sosial sendiri bertujuan untuk para mantan penyalahguna napza
agar mereka dapat pulih kembali dan sehat baik secara mental dan fisik, serta
melaksanakan fungsi sosialnya.
Program rehabilitasi sosial ini merupakan persiapan untuk kembali ke
masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan
pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja
dapat diadakan di pusat rehabilitasi.
2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi
Setiap korban narkoba berhak memperoleh kesehatah dan kesembuhan yang
didambakannya. Maka harus tersedia dukungan dan pertolongan bagi harapannya
itu, dengan perlengkapan-perlengkapan teknis lainnya. Selain tempat, diperlukan
juga berbagai perlengkapan fisik, baik langsung ataupun tidak langsung, baik
pokok maupun tambahan, baik kebutuhan pribadi ataupun bersama, yang
mendukung dan memberi nuansa kondusif bagi semua yang berkepentingan. Staf
maupun pecandu narkoba (pasien) harus bekerja sama untuk mencapai hasil yang
maksimal.
Sarana dan prasarana rehabilitasi yang merupakan alat untuk mengatasi
masalah-masalah ketidakmampuan atau cacat (disability), dapat dibagi ke dalam
17
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.13.
26
empat kategori, yaitu program, pelayanan (service), sumber daya manusia
(personnel), dan fasilitas serta peralatan. Berikut adalah penjelasan mengenai hal-
hal diatas:18
a. Program Rehabilitasi
Program rehabilitasi digambarkan sebagai suatu rencana prosedur yang
bersifat luas yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh kelompok-kelompok orang.
Program rehabilitasi berbeda dalam hal jangkauan (scope), organisasi, tujuan, dan
praktek operasionalnya. Jangkauan program dapat meliputi lingkup nasional,
regional atau lokal. Organisasi suatu program dapat dikategorikan ke dalam
organisasi pemerintah (public) atau swasta (private).
Tujuan suatu program dapat dihubungkan dengan salah satu tipe masalah
sosial, dan dapat juga dihubungkan dengan kategori kecacatan atau masalah sosial
yang lebih umum atau luas. Seringkali tujuan program berkaitan dengan suatu
bagian khusus dari proses rehabilitasi. Praktek operasional suatu program
rehabilitasi dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, diantaranya pengadaan
pelayanan, informasi dan publikasi, koordinasi kegiatan-kegiatan, pertukaran ide
atau pemikiran antara profesi atau disiplin ilmu, pengumpulan dana, penelitian
dan pendidikan.
b. Pelayanan Rehabilitasi
Penyandang rehabilitasi diorganisasikan untuk kepentingan langsung para
penyandang masalah sosial. Pelayanan rehabilitasi merupakan penerapan
18
Edi Suhato, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta: Badan
Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h.187
27
kombinasi talenta dan metode yang pada umumnya bersifat professional atau
teknis dan membuahkan hasil berupa pengurangan atau peringaqnan dari
konsekuensi masalah yang dihadapi.
c. Sumber Daya Manusia yang Melakukan Pelayanan Rehabilitasi
Sumber daya manusia atau personel yang melakukan pelayanan rehabilitasi
disesuaikan dengan persyaratan keterampilan pada masing-masing bidang
pelayanan. Dengan demikian sumber daya manusia terdiri dari orang-orang dari
berbagai profesi yang memiliki keterampilan-keterampilan khusus seperti dokter,
perawat, psikolog, pekerja sosial, pekerja sosial medis, konselor, vokasional, ahli
terapi bicara dan mendengar, ahli terapi phisik dsb. Selain personel tersebut,
terdapat bagian dari masyarakat yang memberikan kontribusi pada seluruh
prosedur rehabilitasi, diantaranya adalah volunteer atau sukarelawan, pencari
dana, pekerja sosial dan kesehatan masyarakat, dsb.
d. Fasilitas sarana dan prasarana
Fasilitas sarana dan prasarana rehabilitasi merupakan sesuatu yang
memperlancar setiap tindakan, pelaksanaan atau kegiatanan rehabilitasi. Perlu
adanya sarana atau lokasi khusus bagi pekerja medis, psikolog, dan pekerja
rehabilitasi vokasional. Fasilitas tersebut dapat berupa, rumah sakit, lembaga atau
pusat rehabilitasi dll.
e. Peralatan
Peralatan yang dipergunakan merupakan bagian penting dari kelengkapan
kegiatan rehabilitasi untuk kelancaran proses rehabilitasi. Sifat dari peralatan
28
dapat manual atau menggunakan teknologi tinggi. Jenis dan jumlahnya tergantung
pada banyaknya profesi yang terlibat dalam proses rehabilitasi.
3. Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA
Rehabilitasi korban narkoba adalah suatu proses yang berkelanjutan dan
menyeluruh. Rehabilitasi korban narkoba, harus meliputi usaha-usaha untuk
mendukung para korban, hari demi hari, dalam membuat pengembangan dan
pengisian hidup secara bermakna serta berkualitas dibidang fisik, mental, spiritual
dan sosial.19
Seseorang yang menjadi korban penyalahguna zat memang harus diberikan
perawatan guna memulihkan kondisinya agar baik seperti kondisi awal sebelum
menggunakan NAPZA, menurut Peter jenis perawatan terhadap korban penyalahguna
zat meliputi:
a. Getting People Off Drugs, yaitu upaya perawatan untuk menghentikan
pemakaian obat atau zat melalui detoksifikasi.
b. Keeping Them Off, yaitu upaya perawatan untuk mempertahankan
penghentian pemakaian obat atau zat melalui rehabilitasi.20
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik
fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial
19
Lambertus Somar, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 20. 20
Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program
Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h. 32.
29
dilakukan pada panti rehabilitasi atau diterapkan pada beberapa fasilitas pendidikan
yang berorientasi keagamaan.21
Bentuk-bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial adalah:
a. Terapi medis, ditunjukan agat para pengguna narkoba sehat secara fisik.
Kegiatan dalam terapi ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan
pemberian makanan yang bergizi dan kegiatan olahraga.
b. Terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat menghilangkan
sikap antisosial. Kegiatan utamanya adalah psikoterapi baik secara individu
maupun kelompok. Selain itu terapi ini juga ditunjukan untuk keluarganya
agar dapat memahami permasalahan seputar narkoba dan persiapan atau sikap
yang harus diambil bila anggota keluarganya kambuh kembali.
c. Terapi psikososial ditunjukan agar peserta rehabilitasi dapat bergabung
kembali ke dalam lingkungan sosialnya. Kegiatan utamanya adalah
pembekalan dengan pendidikan dan latihan keterampilan.
d. Terapi psikoreligius untuk memulihkan peserta rehabilitasi dalam
menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka
sehingga tidak kembali pada narkoba.22
21
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, hal. 105. 22
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h. 14-15.
30
4. Tahapan Rehabilitasi Sosial
Terdapat 7 (tujuh) tahapan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu:23
a. Pendekatan awal. Merupakan rangkaian yang mengawali keseluruhan proses
rehabilitasi sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi,
motivasi, seleksi penerimaan.
b. Pengungkapan dan pemahaman masalah. Merupakan kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi
dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual dan budaya.
c. Penyusunan rencana pemecahan masalah. Merupakan kegiatan penyusunan
rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman
masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metoda, strategi, dan
teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan.
d. Pemecahan masalah. Merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana masalah
yang telah disusun.
e. Resosialisasi. Merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan
pendidikan dan lingkungan kerja.
f. Terminasi. Merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban
penyalahgunaan NAPZA.
g. Bimbingan lanjut. Merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial
sebagai upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti
proses rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga.
23
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
31
5. Teori Kognitif-Perilaku
Seperti yang dikutip oleh Siti Napsiyah dan Lisma Diawati Fuaida, Scott dan
Dryden mengklarifikasi terapi Kognitif-Perilaku dalam empat kategori:
a) Keterampilan menyelesaikan (coping skills) terdiri dari dua elemen, yaitu
“verbalisasi diri” (suatu intruksi terhadap diri sendiri) dan tingkah laku yang
dihasilkannya. Kesulitan dalam menghadapi situasi dapat berasal dari
ketidakmampuan untuk mengucapkan secara verbal maupun melakukannya
dalam bentuk aksi sesuai. Pelatihan inokulasi stress (stress inoculation
training) yang dilakukan oleh Meichenbaum bertujuan untuk mengurangi dan
mencegah stress dengan cara mengajari klien apa yang harus dikatakan atau
dilakukan dalam situasi yang sulit.
b) Penyelesaian masalah (problem solving) berbeda dari teori psikodinamik
sosial. Ini fokus melihat kehidupan manusia sebagai proses untuk
menyelesaikan permasalahan hidup. Disini penyelesaian masalah lebih mirip
dengan kerja yang berfokus pada tugas: klien didorong untuk “mengunci” dan
mendefinisikan masalah, menemukan solusi, memilih yang terbaik,
merencanakan cara untuk penyelesaiannya dan mereview peningkatannya.
c) Restrukturasi kognitif (cognitive restructuring) lebih dikenal sebagai bentuk
terapi kognitif. Sheldon menekankan untuk memfokuskan kepada kekacauan
dalam persepsi dan dampak atribut persepsi, yaitu bagaimana seseorang
menyikapi segala sesuatu yang menimpa mereka. Atribusi adalah penilaian
mereka terhadap makna dari pengalaman mereka.
32
d) Terapi kognitif stuktural (structural cognitive therapy) fokus terhadap tiga
struktur kepercayaan atau keyakinan dalam pemikiran klien; keyakinan utama
adalah asumsi terhadap diri sendiri; keyakinan tengah-tengah adalah deskripsi
ekplisit yang dibuat oleh manusia terhadap dunia; keyakinan terakhir adalah
rencana aksi dan strategi penyelesaian masalah yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.24
Pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah mengidentifikasikan kandungan
pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri (self
talk), atau kelengkapan (attributions). Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran
kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku
klien.
6. Peran Pekerja Sosial
Menurut Jim Ife, peran pekerja sosial antara lain:
a. Peranan Fasilitatif
Peranan praktek yang dikelompokan ke dalam peranan fasilitatif merupakan
peranan yang dicurahkan untuk membangkitkan semangat atau memberi
dorongan kepada individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat untuk
menggunakan potensi dan sumber yang dimiliki untuk meningkatkan
produktivitas dan pengelolaan usaha secara efisien. Melakukan mediasi dan
negosiasi, yaitu pekerja sosial memerankan diri sebagai mediator dalam
pemanfaatan lahan dengan pihak lain untuk memperluas aktivitas kerjasama
24
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 42.
33
dengan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Memberikan
support/dukungan, yaitu memberikan dukungan untuk memperkuat, mengakui
dan menghargai nilai yang dimiliki oleh individu-individu, kelompok-kelompok
dan masyarakat, menghargai kontribusi dan kerja mereka. Dukungan ini dapat
bersifat formal dan informal. Membangun consensus dengan sesama pihak untuk
melakukan kerjasama dalam rangka pengembangan potensi individu-individu,
kelompok-kelompok dan masyarakat. Memfasilitasi individu-individu, kelompok-
kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas dan pemasaran
hasil produksi.
b. Peranan Educational
Pekerja sosial memainkan peranan dalam penentuan agenda, sehingga tidak
hanya membantu pelaksanaan proses peningkatan peningkatan produktivitas akan
tetapi lebih berperan aktif dalam memberikan masukan dalam rangka peningkatan
pengetahuan, keterampilan serta pengalaman bagi individu-individu, kelompok-
kelompok dan masyarakat. Peran pendidikan ini dapat dilakukan dengan
peningkatan kesadaran, memberikan informasi, mengkonfrontasikan, melakukan
pelatihan bagi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat.
c. Peranan-peranan Representasional
Pekerja sosial melakukan interaksi dengan badan-badan di masyarakat yang
bertujuan bagi kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok dan
masyarakat. Peranan ini dilakukan, antara lain dengan : mendapatkan sumber-
sumber dari luar tetapi dengan berbagai pertimbangan yang matang, seperti
bantuan modal usaha, pelatihan pengembangan potensi dan produktivitas dari
34
berbagai donator. Melakukan advokasi untuk membela kepentingan-
kepentingan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat seperti
mendukung upaya implementasi program dan berupaya merealisasikan program
tersebut. Memanfaatkan Media Masa untuk memperkenalkan hasil produksi.
Selain itu juga bertujuan menerima dukungan dari pihak lain yang lebih luas;
membuka jaringan kerja, dengan mengembangkan relasi dengan berbagai pihak,
kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya
pengembangan potensi, seperti pemerintah, pengusaha, dan masyarakat’ selain itu
pula, pekerja sosial berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan stakeholder.
d. Peranan Teknis
Di sini pekerja sosial melakukan pengumpulan dan analisis data, kemampuan
menggunakan komputer, kemampuan melakukan presentasi secara verbal maupun
tertulis, manajemen serta melakukan pengendalian finansial, dan melakukan need
assessment terhadap pengembangan potensi individu-individu, kelompok-
kelompok dan masyarakat. Peran-peran ini dapat dilakukan pekerja sosial
bersama individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat melakukan
mendapatkan informasi dan data yang dapat digunakan baik untuk mengundang
perhatian dari stakeholders untuk mengembangkan potensi tetapi juga membantu
mempromosikan.
Dengan demikian, pekerjaan sosial memiliki peran yang sangat penting
dalam pengembangan potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan
masyarakat.
35
7. Terapi Kelompok
Terapi kelompok menurut Albert S. Alissi, terapi kelompok terutama
mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara normal, membantu mencegah
perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitatif, serta
mendorong keterlibatan dan tanggungjawab penduduk dalam aksi sosial.25
Seperti yang di kutip Edi Suharto, menurut Zastrow dalam kaitannya dengan
terapi kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang sering digunakan sebagai
media pertolongan pekerjaan sosial, yaitu:26
a. Kelompok Keterampilan Rekreasi (Recreaction Skill Group)
Selain tujuan kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga
untuk meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Berbeda
dengan kelompok rekreasi, kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau
instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.
b. Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan (Problem-Solving
and Decision-Making Group)
Kelompok ini melibatkan klien/penerima pelayanan dan para petugas
pemberi pelayanan di suatu lembaga kesejahteraan sosial. Bagi klien, tujuan
bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk menemukan pendekatan-
pendekatan yang dapat digunaan untuk menemukan sumber-sumber baru
dalam memenuhi kebutuhan baru. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan,
25
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 38. 26
Ibid, h. 39.
36
kelompok ini dijadikan sarana untuk mengembangkan rencana penyembuhan
bagi klien atau sekelompok klien, merumuskan keputusan dalam
mengalokasikan sumber-sumber pelayanan yang terbatas, memperbaiki
kualitas pelayanan, menyempurnakan kebijakan-kebijakan lembaga, atau
memperoleh masukan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga-
lembaga lain.
c. Kelompok Penyembuhan (Therapeutic Group)
Kelompok terapi umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami
masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok
dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai
tingkah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok,
penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku. Mirip
konseling perseorangan, tujuan kelompok terapi adalah mengupayakan agar
para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan
kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah. Ahli
terapis kelompok biasanya menggunakan satu atau lebih pendekatan terapi
sebagai pedoman dalam melakukan pengubahan tingkah laku.
7. Instrumen yang digunakan
a. Skrining (screening)
Ada banyak instrument tersedia bagi pekerja sosial untuk melakukan
skrining bterhadap individu yang mengalami masalah alkohol dan obat-
obatan. Pada umumnya pekerja sosial menggunakan instrumen yang diisi oleh
37
individu sendiri (yaitu klien mengisi sendiri) atau instrument yang digunakan
oleh pekerja sosial dengan mengajukan pertanyaan pada klien.
Instrument singkat dan cepat yang paling sering digunakan dalam skrining
adalah sebagai berikut:
- CAGE (empat topic CAGE adalah instrumen yang paling singkat)
- Michigan Alcoholism Screening Test (MAST)
- Drug Abuse Screening Test (DAST)
- Alcohol Use Disorders Indentification Test (AUDIT)
- Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI)
Seleksi alat skrining harus didasarkan sesuai dengan setting (tempat)
digunakannya termasuk tempat pelayanan klien. Menurut Skinner, skrining
bermanfaat apabila:
- Klien bebas alkohol dan obat serta mentalnya stabil
- Individu yang melakukan skrining membangun kedekatan dengan klien
- Klien memahami bahwa informasi yang mendukung akan digunakan
- Klien dijamin adanya kerahasiaan.
Dibanyak setting kerahasiaan sering tidak mungkin terjamin karena klien
dirujuk oleh pengadilan, petugas kejaksaan atau lembaga pelayanan
perlindungan anak yang memberikan informasi untuk menentukan adanya
38
masalah penyalahgunaan atau ketergantungan obat sehingga perlunya
dilakukan intervensi.27
b. Assessment
Instrumen standar yang paling umum digunakan dalam asesmen orang dewasa
yang bermasalah kecanduan alkohol dan obat adalah ASI (Addiction Severity
Index). Instrument ini mencakup tujuh bidang, medis, pekerjaan, alkohol, obat,
legal, keluarga/sosial, psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang
substansial.
Pekerja sosial umumnya terampil dalam menyusun sejarah sosial, mengingat
kebanyakan pekerja sosial tidak bekerja dalam program penanganan
ketergantungan obat tetapi menghadapi klien dengan masalah tersebut, McNeece
& DiNitto memberikan informasi dan panduan untuk menyusun sejarah sosial
klien dalam kasus-kasus ketika informasi tentang masalah kecanduan alkohol dan
obat diperlukan. Sejarah sosial membahas 10 bidang: pendidikan, lapangan kerja,
sejarah keterlibatan sebagai militer (apabila sesuai), sejarah keluarga, relasi
dengan orang penting lain, dan alasan individu mencari bantuan.28
8. Penanganan Penyalahgunaan Obat
Salah satu bentuk layanan rawat rumah yang dibutuhkan klien adalah
komunitas terapeutik dan rumah singgah, yang mempunyai tingkat supervise dan
monitoring serta jangka waktu tinggal di tempat tersebut. Tidak banyak
27
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar pekerja Sosial Social Workers’ Desk
reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
Cet. 1, h. 302. 28
Ibid, h. 304.
39
kesepakatan tentang pendekatan teori yang terbaik untuk merawat klien dengan
masalah ketergantungan alkohol atau obatan lain. Proyek MATCH, yaitu studi
tentang penanganan alkoholisme yang disponsori oleh National Institute on
Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) menggunakan tiga pendekatan waktu
terbatas bagi individu, dan penanganan rawat rumah (kadang-kadang lanjutan dari
rawat inap):
- Fasilitas dua belas langkah (12 sesi) yang dirancang untuk membantu
klien menggunakan Alcoholics Anonymous dan kelompok-kelompok
serupa.
- Terapi peningkatan motivasi (4 sesi) yang dirancang untuk membantu
klien menggalang sumber-sumbernya sendiri untuk penyembuhan.
- Terapi perilaku kognitif (12 sesi) yang di rancang untuk meningkatkan
kemampuan penyelesaian masalah klien untuk mempertahankan
kesembuhan.29
9. Sumber-sumber Self-Help
Sumber pertama program 12 langkah adalah Alcoholic Anonymous (AA).
Berbagai kelompok lain juga membantu orang yang bermasalah ketergantungan
obat seperti Narcotic Anonymous (NA) dan Cocaine Anonymous (CA). AA, NA,
dan kelompok lain telah membuka pertemuannya untuk membantu non-anggota
belajar lebih banyak tentang kelompok itu. Mereka berbeda dari apa yang
dibayangkan oleh orang yang sering merujuk klien ke kelompok tersebut.
Sekalipun beberapa klien merasa bahwa kelompok demikian tidak bermanfaat,
29
Ibid, h. 306.
40
namun demikian kelompok tersebut dapat menjadi sumber penyembuhan utama
bagi klien. Apabila digunakan bersama dengan penanganan professional,
kelompok demikian merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.30
10. Ukuran Hasil
Mengukur hasil klien individu dalam praktik klinis sering dilakukan secara
informal, tetapi ada beberapa instrument dalam bidang penyalahgunaan obat dan
penanganan ketergantungan. Allen dan Columbus, banyak diantaranya terdapat
instrument mengukur hasil pada tingkat lembaga atau program. Misalnya, ASI
(Addiction Severity Index) mempunyai versi tindak lanjut yang dapat digunakan
untuk mengukur hasil seorang klien pascapenanganan.31
11. Teori Sistem-Ekologi
A. Pengertian Sistem Ekologi
Menurut David Easton teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan
hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit yang
bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat, buruh, organisasi pemerintahan.32
Teori sistem memfokuskan pada aspek-aspek relasi antara orang-orang dan
lingkungannya, bahwa individu secara konstan berinteraksi dengan individu
lainnya. Ketika seseorang bertindak sesuai dengan sistem, maka seseorang
tersebut mempengaruhi perubahan dalam sistem, sebaliknya mungkin
mempengaruhi individu.
30
Ibid, h. 309. 31
Ibid, h. 310. 32
Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta, Gunung
Mulia:1999), cet. ke-7, h. 6
41
B. Jenis-Jenis Sistem
Dalam teori yang diungkapkan Urie Bronfenbrenner bahwa terdapat lima
sistem lingkungan yakni:
a) Mikrosistem
Lingkungan dimana individu tinggal, hal ini meliputi keluarga, teman,
sekolah, tetangga, tempat kerja. Adanya interaksi maka mempengaruhi seorang
individu dalam pembentukan tingkah laku mereka.
b) Mesosistem
Hubungan antar mikrosistem atau hubungan antar konteks. Contohnya
hubungan antar pengalaman dalam keluarga dan pengalaman di sekolah,
pengalaman keluarga dengan tempat kerja dan lain-lain.
c) Ekosistem
Pengalaman individu yang dapat mempengaruhi individu lain secara tidak
langsung, melibatkan pengalaman individu yang tidak memiliki peran aktif di
dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan wanita
dengan suami dan anaknya.
d) Makrosistem
Kebudayaan dimana individu hidup, perkembangan individu dipengaruhi oleh
norma, nilai, dan amalan masyarakat. Budaya dimana seseorang tinggal, budaya
merupakan pola, perilaku, keyakinan yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
42
e) Kronosistem
Merujuk pada pola peristiwa dan transisi yang berlaku dalam sekitar individu
disepanjang kehidupannya.
B. Penyalahguna Narkoba
1. Pengertian Penyalahguna
Penyalahguna zat adalah pemakaian zat di luat indikasi medik, tanpa
petunjuk/resep dokter, pemakaian sendiri secara teratur atau berkala sekurang-
kurangnya selama satu bulan. Pemakaian bersifat patologik dan menimbulkan
hendaya (impairment) dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan sekolah.33
Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1
poin 15 menyatakan: “Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika
tanpa hak atau melawan hukum”.
Mekanisme terjadinya penyalahguna NAZA, oleh peneliti Hawari
dikemukakan sebagai berikut: penyalahguna NAZA terjadi oleh interaksi antara
faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi
(kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya dan
zatnya itu sendiri).
Dari sudut psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) penyalahgunaan NAZA dapat
mengakibatkan gangguan mental organik akibat NAZA atau disebut juga
Sindrom Otak Organik, yang disebabkan oleh efek langsung dari NAZA tersebut
terhadap susunan saraf pusat/otak.
33
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, (Jakarta: Fakultas Kedokteraan
Universitas Indonesia, 1991), h. 42.
43
2. Akibat Penyalahgunaan NAPZA
Akibat-akibat Narkoba Terhadap Individu, Narkoba yang disalahgunakan
dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai sebagai berikut:34
a) Euphoria: ialah suatu persaan riang gembira (well being) yang dapat
ditimbulkan oleh narkoba yang abnormal dan tidak sepadan atau tidak sesuai
dengan keadaan jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya.
b) Delirium: yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan
yang agak hebat yang terjadi secara mendadak, yang dapat menyebabkan
gangguan coordinator otot-otot gerak motorik (mal coordinator).
c) Halusinasi: yaitu suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang
dilihat, apa yang didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya.
d) Weakness: yaitu suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduanya yang
terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba.
e) Drowsiness: yaitu kesadaran yang menurun, atau keadaan antara sadar dan
tidak sadar, seperti keadaan setengan tidur disertai fikiran yang sangat kacau
dan kusut.
f) Collapse: yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat
mengakibatkan kematian.
3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA
Dampak penyalahgunaan narkotika pada seseorang sangat tergantung pada
jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
34
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar Maju,
2003), Cetakan I, h.24.
44
pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkotika dapat terlihat pada fisik,
psikis maupun sosial seseorang.
Dampak Fisik, Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-
kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi, gangguan pada
jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung,
gangguan peredaran darah, gangguan pada kulit (dermatologis) seperti:
penanahan (abses), alergi, eksim, gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti:
penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.
Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat,
pengecilan hati dan sulit tidur. Selanjutnya berdampak terhadap kesehatan
reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon
reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual,
juga berdampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara
lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe
(tidak haid).
Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum
suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C,
dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya. Penyalahgunaan narkotika bisa
berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkotika melebihi
kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.
Dampak Psikologi, Dampak psikologi yang ditimbulkan adalah: lamban
kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah, hilang kepercayaan diri, apatis,
pengkhayal, penuh curiga, agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal,
45
sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan, cenderung menyakiti diri,
perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri, gangguan mental, anti-sosial dan asusila,
dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban keluarga serta
pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram.
Dampak fisik dan psikis berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan
mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak
mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan
sangat kuat untuk mengkonsumsi (biasa disebut sugest). Gejala fisik dan
psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk
membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dan lain-lain.35
C. NAPZA (Narkoba, Psikotropika, Zat Adiktif)
1. Pengertian NAPZA
a) Narkotika
Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke” yang berarti
terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Pengertian yang paling umum dari
narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.36
Smith Kline dan French Clinical staff dalam bukunya “Drug Abuse,
Amanual for law enforcement officer” membuat definisi tentang narkotika
sebagai berikut:
35
Sumarlin Adam, Dampak Narkotika Pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat, Diakses Pada
20 Oktober 2016, www.portalgaruda.org. 36
Ibid, h.35.
46
“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their
depressant effect on the central vervous system. Included in this definition are
opium, opium derivatives (morphine, codein, heroin) and synthetic apiates
(meperidin, methadone)”.
Artinya lebih kurang sebagai berikut:
“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidak
sadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi
susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis
candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine dan lain-lain)”.37
b) Psikotropika
Obat psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat
(S.S.P) yang memperlihatkan efek yang sangat luas. Istilah psikotropik mulai
banyak dipergunakan pada tahun 1971, sejak dikeluarkan Convention on
Psycotropic Substance oleh General Assembly (PBB) yang menempatkan zat-
zat tersebut dibawah control internasional.38
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yamg berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.39
37
Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, (Jakarta: Karisma
Indonesia, 1986), h. 12. 38
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h.63. 39
A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: PT. Forum Media Utama,
2010), h. 41.
47
Psikotropika merupakan zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah
maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
normal dan perilaku.40
c) Zat Adikitif
Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi
oleh organism hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan
ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin
menggunakan secara terus menerus yang jika dihentikan dapat member efek
lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa, atau zat yang bukan narkotika dan
psikotropika tetapi menimbulkan ketagihan.41
Unsur paling penting pada zat adiktif ini adalah karena zat tersebut
membuat pemakainya ketergantungan.
2. Jenis-jenis NAPZA
a. Narkotika
Dalam pasal Undang-undang No.35 tahun 2009, narkotika dikelompokkan
ke dalam tiga golongan, yaitu:
1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah terbatas
dan dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, serta
40
Joyo Nur Suryanto Gono, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan Pencgahannya, h. 81. 41
Nurbani Ulfah, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis (NAPZA-
Skizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, (Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h.63.
48
mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: opium, heroin, kokain, dan lain-lain.
2) Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk
pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggu mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: banzetidin, betametadol, difenoksilat,
hidromorfinol, metadon, morfin, petidin dan turunannya, dan lain-lain.
3) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: kodein, norkodina, propiran dan lain-lain.
Jenis-jenis narkoba diantaranya:42
a) Opium berarti getah, yaitu getah dari kotak biji tumbuhan yang belum
matang dari tumbuhan Papaver Somniferum L. bila kotak biji tumbuhan
tersebut diiris akan mengeluarkan getah yang berwarna putih seperti air
susu, yang bila dikeringkan akan menjadi sejenis bahan seperti karet
berwarna kecokelatan.
b) Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik
yang mempunyaio khasiat farmakologi mengurangi atau memtikan rasa
nyeri (analgesic).
42
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, h.28.
49
c) Morfin adalah bahan analgesic yang kuat khasiatnya, tidak berbau, bentuk
Kristal, berwarna putih, yang berubah warnanya menjadi kecoklatan.
Opium mentah mengandung 4% sampai 21% morfin. Sebagian besar
opium diolah menjadi morfin dan codein.
d) Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai
2,5%. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk
keperluan medis.
e) Heroin/putaw adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan
berasa pahit yang disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap heroin
dipasarkan dalam ragam warna karena dicampur dengan bahan lainnya
seperti gula, cokelat, tepung susu, dan lain-lain dengan kadar sekitar 24%.
f) Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama
serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan.
g) Ganja, cimeng, marijuana, atau cannabis sativa atau cannabis incida
adalah tumbuha perdu liar di daerah beriklim tropis dan sedang seperti
Indonesia, India,, Laos, Cambodia.dll
h) Hashish adalah getah ganja yang di keringkan dan dipadatkan menjadi
lempengan.
i) Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan Erythroxylon Coca, sejenis
tumbuhan di lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan.
50
b. Psikotropika
Dalam United Nation Conference for Adoption of protocol on Psycotropic
Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan
yang memiliki kapasitas yang menyebabkan:
a. Keadaan ketergantungan
b. Depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP)
c. Menyebabkan halusinasi
d. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood.43
Didalam ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat psikotropika seperti
yang telah diuraikan, dibagi menjadi:
1) Stimulansia
Yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat
yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat yang dimasukan dalam
golongan stimulansia adalah Amphetamine beserta turunan-turunnya.44
Ada beberapa jenis psikotropika diantaranya:
a. Amphetamine dan ATS (Amphetamine Type Stimulant) adalah stimulant
susunan syaraf pusat, seperti kokain, kafein, nekotin dan cathine.
b. Ekstasi adalah zat sintetik amfetamin yang dibuat dalam bentuk pil. Ekstasi
berarti sukacita yang berlimpah-limpah, berlebihan, meluap. Pil ini bekerja
merangsang syaraf pusat otonom.
43
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h. 64. 44
Ibid, h. 69.
51
c. Shabu adalah zat metilamfetamin (turunan amfetamin), dimana namanya
meminjam nama sebuah masakan dari jepang. Shabu berbentuk Kristal putih
mirip vetsin dan cairan mudah larut dalam alkohol dan air.45
2) Depresiva
Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SSP
yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si
pemakai.
Dalam ilmu kejahatan yang menyangkut NAPZA, biasanya yang
digolongkan obat-obat depresiva adalah:
1. Barbiturat dan turunan-turunannya
2. Benzodiazepine dan turunan-turunannya
3. Metakualon
4. Alkohol
5. Zat-zat pelarut/solvent.
3) Halusinogen
Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya hayal
(halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan
dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, pengelihatan maupun
perasaan.
Secara umum halusinogen bekerja terhadap sistem neurotransmisi serotonin
di otak. Dimasa kini, zat halusinogen tidaklah merupakan zat yang bersifat
45
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas,
2010), Cetakan Pertama, hal 9.
52
menyembuhkan. Bahkan di Amerika Serikat sejak tahun 1965, penggunaan
halusinogen dianggap menimbulkan resiko terhadap kesehatan sehingga
dilarang pemakaian dan penjualannya.
Berikut ini adalah beberapa macam halusinogen:
a) LSD
LSD merupakan kependekan Lysergic acid diethylamide, yang merupakan
obat yang dibutuhkan oleh manusia (sintetis). Di Indonesia LSD dikenal
dengan sebutkan Elsid.
b) D.M.T
D.M.T merupakan singkatan kata dari Dimethly triptamine. Zat ini berasal
dari tanaman Cohoha. Tanaman tersebut ditanam oleh penduduk asli India
Barat dan Amerika Selatan.
c) D.E.T
D.E.T merupakan suatu singkatan dari kata Diethly tryptamine. Zat ini
tidak didapat dari tumbuhan alam. DET seratus persen dibuat secara kimiawi
dilaboraturium.
d) D.O.M
D.O.M merupakan singkatan dari kata Dimethoxy amphetamine. DOM
hanya dibuat secara kimiawi, dan tidak diketemukan dari tumbuhan alam.
e) P.C.P
Pada saat ini PCP merupakan obat-obatan yang mempunyai resiko yang
paling besar bagi pemakaiannya dibanding obat-obatan lain yang
disalahgunakan.
53
f) MESCALINE
Mescaline dibuat dari bahan alamiah dan sintetik. Antara keduanya
didalam penyalahgunaan tidak banyak berbeda yakni dipergunakan untuk
menimbulkan halusinasi.
c. Zat Adiktif
Zat adiktif yang lazim digunakan adalah nikotin dalam produk-produk
tembakau dan caffeine, zat aktif dalam kopi, teh dan beberapa minuman botol
yang dijual disetiap supermarket.
Ada beberapa jenis zat adiktif diantaranya:
a) Nicotin
Nicotin terdapat dalam tembakau (nicotiana tabacum L, berasal dari
argentina) dengan kadar sekitar 1%-4. Dalam setiap batang rokok terdapat
1,1 mg nikotin, nikotin merupakan stimulant susunan syaraf pusat.
b) Alkohol
Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zaat tersebut dapat menimbulkan
adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan).
Penyalahgunaan/ketergantungan NAZA jenis alkohol ini dapat
menimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dalam fungsi
berfikir, berperasaan dan berperilaku.46
46
Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat
Adiktif), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h.51.
54
BAB III
PROFIL LEMBAGA
A. Latar Belakang Lembaga
1. Sejarah Yayasan KAPETA
Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari
psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman
dengan masalah gangguan penggunaan zat di antara keluarga dan lingkungannya.
KAPETA memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk
orang tua (Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat
rawat jalan (daycare), hingga kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum
Yayasan pada tanggal 24 Februari 2004.
Melalui berbagai program terkait penanggulangan masalah gangguan
Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha untuk
dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah gangguan penggunaan
zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan memberikan
dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dalam
menapaki kehidupannya.
Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi terkait masalah Gangguan
Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia, menyebabkan keanekaragaman
pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan masalah tersebut. Hal ini
55
seringkali berdampak dan menjadi beban tersendiri bagi orang-orang atau
lingkungan dekat dari para penderita Gangguan Penggunaan Zat dan ODHA.
Apabila tidak ditanggulangi dengan baik, hal ini dapat menjadi stigma dan
diskriminasi yang justru akan membuat masalah Gangguan Penggunaan Zat dan
HIV / AIDS ini menjadi semakin rumit untuk ditanggulangi. Untuk itu, yayasan
KAPETA juga mencoba mewujudkan kepeduliannya kepada para orang-orang dan
masyarakat umum yang didalam kehidupannya bersinggungan erat dengan
penderita Gangguan Penggunaan Zat maupun ODHA, dalam bentuk pemberian
informasi, edukasi dan dukungan sosio-psikologis secara berkala. Kegiatan ini
dikemas dalam bentuk pertemuan dukungan sebaya dan pertemuan dukungan
keluarga, seminar, workshop, outbound maupun pelatihan, yang menjadi bagian
dari pelayanan program untuk masyarakat umum (Public Program Services).47
2. Visi dan Misi
a. Visi
Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga
dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah Narkoba dan HIV /
AIDS.
b. Misi
- Mencegah meningkatnya permasalahan terkait dari penggunaan Narkoba dan
epidemi HIV/AIDS.
47
Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
56
- Membantu memberikan perawatan dan dukungan kepada para pengguna
Narkoba dan ODHA.
- Memberikan dukungan kepada keluarga dan lingkungan terkait lain dari para
pengguna narkoba dan ODHA dalam pemulihan.
- Memberikan dukungan orang dengan masalah narkoba dan ODHA di dalam
pemulihan untuk dapat hidup mandiri dan berdaya. Membangun lingkungan
kondusif untuk mendukung pencegahan dan penanggulangan masalah
narkoba dan HIV / AIDS di masyarakat.
- Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga
dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah masalah narkoba
dan HIV / AIDS di masyarakat.48
3. Prosedur Penerimaan Klien
a) Prosedur Kedatangan
Klien datang diantar oleh orang tua/ didampingi oleh wali yang ditunjuk
orang tua.
b) Wawancara Awal
Klien datang menjalani wawancara awal terkait beberapa hal berikut:
- Perjanjian masuk
- Perilaku yang dapat mengakibatkan dikeluarkan dari program
- Penjelasan program
- Peryataan keluar
48
Yayasan Kapeta Indonesia, Tengtang Kami, artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
57
- Hak klien di dalam program
- Kewajiban program terhadap klien.
Jika klien setuju dengan pernyataaan diatas maka dipersilahkan untuk
membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang tersedia atau paraf di
bagian kanan bawah pernyataan tersebut.
c) Pengisian Formulir dan Pemeriksaan Awal
Fisik dan barang bawaan adalah kegiatan pemeriksaan kepada calon
klien terhadap barang bawaan dan tubuh yang bertujuan mencegah adanya
barang-barang yang dilarang masuk kedalam fasilitas. Hal ini dilakukan
untuk menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh klien kami, dengan
meminta ijin dan persetujuan klien terlebih dahulu.49
49
Data diperoleh dari Klien Handbook Yayasan Kapeta.
58
ALUR LAYANAN
4. Alur pelayanan yang diberikan Yayasan Kapeta untuk rehabilitasi sosial: 50
50
Data Diperoleh dari Dokumentasi Yayasan Kapeta.
Edukasi dasar, Wawancara,
Family Support
Group Yayasan keluarga
pengasih
Indonesia
8.1
Keluarga 8
Rawat Inap
5
Penerimaan
Klien Kapeta
Head Office (Jl. Abdul Madjid
Raya No.9,
Cipete Utara, Jakarta Selatan)
Pluto 8
Treatment Center
(Jl. Pluto Dalam 1 no.8, Villa
Cinere Mas)
Intake 1.1
ATS
KOKAIN 2.1
Half-way
House
6
Konseling,
Family Support Group
yayasan
Keluarga Pengasih
Indonesia
8.2
Detoksifi
kasi Penangan
an Gejala
Putus Zat
4
Pemerikasa
an Kesehatan
Dasar
3
OPIAT
2.2
Skrining
Pengenalan
Program
1.2
BENZO
ALKOHO
L
2.3 Rawat Jalan
7
After Care
9
KANABIS Dan Lain-
lain
2.4
59
5. Struktur Organisasi51
STRUKTUR ORGANISASI
KAPETA
a.
51
Yayasan Kapeta Indonesia, Tentang Kami, artikel diakses pada 6 maret 2016 dari
http://kapeta.org/.
DEWAN PEMBINA
- Dra. Psi. Betty Kemal Taruc,
Psi.
- Alita Damar, MPH
- Ir. Adji Sarnanto
DEWAN PENGAWAS
- Ir. Paramayudha
- Ir. Wisdarmanto GS
- Dra. Ottyawati Adji
- Drs. Kemal Taruc
KETUA/DIRECTUR
Erry Wijoyo, S.Ikom
BENDAHARA
Gita Kencana Poetri
SEKRETARIS
Adinda P. Kusubandio
DIVISI PROGRAM
GANGGUAN
PENGGUNAAN
ZAT
DIVISI
PENGEMBANGAN
PROGRAM
DIVISI
KEUANGAN &
ADMINISTRASI
DIVISI PROGRAM
HIV & AIDS
STAFF
DESAIN GRAFIS &
PAKAIAN
STAFF
KEUANGAN
ADMINISTRASI
STAFF
RAWAT INAP
RAWAT JALAN
STAFF
SSR DF R 8
JAKARTA
SELATAN
60
6. Sarana dan Prasarana
Untuk menunjang kualitas program, yayasan KAPETA menyediakan
layanan dan fasilitas pendukung seperti:
a) Konseling gangguan penggunaan zat terstruktur
b) Konsultasi psikologi
c) Konsultasi dokter umum dan spesialis
d) Kamar tidur AC + water heater
e) Kolam renang
f) TV kabel dan internet
g) Wellnes program
h) Fasilitas olahraga
i) Self-help Group dan family support group
j) Vokasional
k) Outing
l) Dan lain-lain.
7. Landasan Hukum
a. Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 tentang Institusi Penerima Wajib
Lapor.
c. Peraturan Menteri Sosial NO/HUK/2009 Standar Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial Penyalahgunaan NAPZA.
61
d. Peraturan Menteri Sosial No.3 Tahun 2012 Standar pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA.52
8. Program Rehabilitasi
Ada beberapa program rehabilitasi KAPETA, diantaranya:
a. Program Rawat Inap
Program untuk Gangguan Penggunaan Zat yang didisain berdasarkan
kebutuhan klien dengan jangka waktu 1 sampai dengan 6 bulan. Klien akan
menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling individu, konseling
kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan olahraga,
kegiatan rogani, kegiatan rekreasi dan kegiatan teraputik lainnya.
Menggunakan pendekatan elektik yang mengintegrasikan model pembelajaran
sosial dengan pendekatan motivasional, terapi kognitif-perilaku, pengenalan
12-langkah dan strategi pengendalian HIV&AIDS.
b. Program Rawat Jalan
Program yang dirancang khususnya untuk gangguan pennggunaan zat
yang masih dalam taraf menengah atau belum mengalami ketergantungan
(adiksi). Program ini cocok untuk membantu menyelesaikan masalah
gangguan penggunaan zat jenis stimulant (shabu, ekstasu, dll),
benzodiazepine (Xanax, Dumolid, Happy Five, dll) hingga alcohol dan ganja.
Program ini juga dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang
dirancang dengtan tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti
sekolah, bekerja hingga mengurus anak.
52
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
62
c. Layanan Keluarga
Yayasan Kapeta menyediakan layanan untuk keluarga, pasangan maupun
pihak terdekat lainnya untuk dapat mendukung dan terlibat langsung di dalam
program. Program ini adalah wadah bagi keluarga yang salah satu anggotanya
mengalami masalah dengan Gangguan Penggunaan Zat untuk dapat berbagi,
saling menguatkan dan mendapatkan pengetahuan menghadapi masalah
tersebut.53
9. Kerjasama Lembaga
Yayasan Karya Peduli Kita didukung oleh beberapa lembaga terkait seperti:54
- IKAI (Ikatan Konselor Adiksi Indonesia)
- BNN (Badan Narkotika Nasional)
- Komisi Penanggulangan AIDS
- Kementrian Sosial Republik Indonesia
- YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih Indonesia).
53
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta. 54
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
63
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab empat ini mengenai temuan lapangan yang selanjutnya dianalisa sesuai
dengan tinjauan pustaka, berdasarkan hasil temuan lapangan yang penulis peroleh
mengenai judul Rehabilitasi Sosial untuk Penyalahguna Napza di Yayasan Karya
Peduli Kita, maka penulis akan menjelaskan pada bab ini melalui proses rehabilitasi
dan hasil rehabilitasi yang diberikan di Yayasan Kapeta. Adapun sub-bab yang akan
dibahas:
A. Proses Rehabilitasi Sosial
Proses rehabilitasi sosial diberikan Yayasan Kapeta untuk klien penyalahgunaan
NAPZA melalui beberapa program, baik itu sifatnya individu ataupun kelompok.
Dalam program rehabilitasi sosial, klien diberikan beberapa macam rawatan, seperti
Rawat Inap dan Rawat Jalan.
Program rawat inap merupakan program yang diberikan untuk gangguan
penggunaan NAPZA yang didisain berdasarkan kebutuhan klien dengan rentang
waktu 1 s.d. 6 bulan. Klien menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling
individu, konseling kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan
olahraga, kegiatan rohani, kegiatan rekreasi dan kegiatan teraputik lainnya.55
Dalam
tahap rawat inap, klien diberikan beberapa fase mulai dari fase awal bulan pertama
sampai dengan fase bulan ketiga.
55
Studi Dokumen, Brosur Yayasan KAPETA.
64
Dalam program rawat inap terdapat tahapan sebelum klien menjalankan rawatan
yaitu Assessment. Assessment adalah proses penilaian dan estimasi atau evaluasi
kebutuhan klien yang dilakukan oleh staff, assessment diberikan saat awal bulan
pertama. Seperti yang telah disampaikan oleh bapak Gidien selaku konselor di
Kapeta, sebagai berikut:
“Assesment ada beberapa yang kita lakukan, tujuannya itu untuk
mendiagnosa, apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya untuk
mendiagnosa. Seperti addiction severity index (ASI) ini adalah
standar internasional, untuk mengetahui tingkat keparahan
menggunakannya dan permasalahan apa saja yang menyerta,
biasanya kan jika menggunakan zat itu ada masalah yang menyerta
lainnya seperti dari medis, keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita
memberikan terapi. Dan juga ada assessment yang lain, seperti bunuh
diri jadi untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri. Jadi disini kita bisa
mengantisipasi. Supaya kita punya dasar untuk memberikan terapi,
makanya dibutuhkan assessment.”56
Assessment perlu dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul
terhadap klien, juga untuk menentukan perencanaan rawatan yang dibutuhkan oleh
klien. Serta mengetahui tingkat keparahan klien dalam penggunaan zatnya itu sendiri,
seperti yang dikatakan oleh pekerja sosial Siti Jumartina sebagai berikut:
“ assesment yang pertama itu ada ASI (addiction severity index), itu
zat yang di pake apa, tingkat keparahannya apa, gak jauh beda sama
pengecekannya biopsikososial spiritual”57
Tidak hanya ASI, dalam melakukan assessment perangkat yang digunakan ada
WHOQOL yaitu alat untuk mengukur kualitas hidup dari klien dan BBV-Traq yaitu
untuk menilai resiko tercapainya virus melalui transmisi darah. Hal ini disampaikan
juga oleh pekerja sosial Siti Jumartina yang mengatakan:
56
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 57
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
65
“Selanjutnya ada WHOQOL itu mengenai 30 hari terakhir sebelum
klien ada disini, kaya gitu”
“Setelah itu ada BBV traq itu perilaku beresiko saat dia pake, kaya
perilaku dia menyuntik, lalu perilaku seksual dan penetrasi kulit itu
kaya pake barang-barang pribadi bersamaan dengan orang lain
seperti gunting kuku, alat cukur, sisir kaya gitu jadi mereka harus
punya barang masing-masing”58
Selanjutnya dari hasil assessment, konselor akan menentukan langkah apa yang
tepat untuk diberikan ke klien. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, instrumen yang
digunakan untuk assessment ialah ASI (Addiction Severty Index). Instrument tersebut
mencakup tujuh bidang: medis, pekerjaan, alkohol, obat, legal, keluarga/sosial,
psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang substansial. Assesment
diperlukan untuk klien agar klien mendapatkan rawatan yang tepat dalam
menjalankan rehabilitasi sosial yang diberikan.
Dari data diatas dapat penulis simpulkan untuk melakukan assessment, Yayasan
Kapeta menggunakan beberapa perangkat assessment seperti ASI (addiction severity
index), WHOQOL, dan BBV-Traq. Assesment dilakukan oleh staff yang bertugas saat
itu. Assesment juga berguna untuk mengetahui permasalahan yang lain diluar
penggunaan NAPZA. Dari assessment tersebut, konselor dapat menentukan rawatan
selanjutnya bagi klien.
Setelah melakukan assessment diawal, klien akan menjalani program rawat inap
di Yayasan Kapeta. Dalam program rawat inap terdapat beberapa program yang
diberikan Yayasan Kapeta kepada klien baik secara individu atau kelompok. Adapun
ini program individu yang diberikan Yayasan Kapeta, sebagai berikut:
58
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
66
a. Konseling Individu
Konseling individu yaitu merupakan salah satu pemberian bantuan secara
perseorangan dan secara langsung. Adapun konseling individu yang dilakukan
oleh Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dijelaskan oleh Bapak
Gidien sebagai konselor, sebagai berikut:
“Konseling disini dilakukan klien dengan konselornya, konseling
individu ini dilakukan berbeda-beda karena setiap klien berbeda
bentuk terapinya bisa berbeda-beda makanya topiknya juga berbeda
karena setiap orang punya masalah yang gak sama kan.. jadi
konseling individu itu kita sesuaikan dengan permasalah klien yang
sudah kita ketahui melalui assessment biar berkesinambungan
konteknya gak keluar dari permasalahannya biasanya dari
permasalahan dari penggunaanya terus mungkin ada permasalahan,
faktor pemicu kenapa dia menggunakan, atau pola penggunaannya
atau strategi mencegah penggunaan, strategi mencegah kekambuhan
atau bisa juga tentang dampak-dampaknya. Lebih banyak itu kita
lihat masalah penggunaannya dulu, bisa juga masalah keluarga tapi
kita hanya bisa mendengarkan.”59
Hal ini juga dikatakan oleh Bapak Irfan sebagai konselor, sebagai berikut:
“Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke resume assessment tadi
biasanya udah ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia nanti
dapet stukturnya nanti kita bahas tuh prioritas-prioritas itu. Misalnya
apa aja nih yang mau kita bahas masalah napza, kita konseling itu
klien center jadi yang memutuskan klien, tapi kita susun secara
terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi konseling juga gak ngalor
ngidul gitu nah sesuai rencana rawatannya apa yang mau dibahas.”60
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, konseling yang dilakukan oleh
Yayasan Kapeta merupakan interaksi antara klien dan konselor untuk
mengetahui dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi klien mulai dari
penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan klien menggunakan NAPZA.
59
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 60
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
67
Konseling individu di Yayasan Kapeta dilakukan dalam 8 kali pertemuan, hal ini
dijelaskan oleh Bapak Irfan sebagai Konselor.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling individu sangat dibutuhkan dalam
rehabilitasi, agar setiap apa yang dirasakan oleh klien selama didalam Yayasan
bisa disampaikan kepada konselor dan jika ada masalah, konselor sebagai
fasilitator bisa mencari jalan keluar bersama klien untuk mencari solusinya. Saat
konseling individu, klien lebih ditekankan membahas penggunaan zat itu sendiri
baik untuk pemulihan maupun pencegahan kekambuhan, namun jika klien ingin
membicarakan hal lain juga diperbolehkan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, ruangan untuk konseling
individu saat ini sedang dalam renovasi. Jika ada klien ingin melakukan konseling
biasanya mereka mencari tempat yang sepi dan kondusif untuk sharing semua
yang dirasakan oleh klien, konseling juga dapat dilakukan di luar Kapeta tapi
dengan persetujuan bersama dengan konselor.
Berikut pernyataan klien AR mengenai konseling individu yang dilakukan
oleh konselornya:
“Nah kalo konseling disini kaya cerita, misalkan ( iya nih gara-gara
drugs saya jadi lemot, gimana sih caranya biar gak lemot lagi?) dia
tuh kaya kasih tahu gitu, atau gak kan kalo make narkoba tuh kaya
jadi banyak gitu masalah, duit abis mulu atau gak kalo lagi gak ada
barang lu tuh butuh banget sampe jual sepatu baju lah kaya gitu..
konseling tuh sejam cuma kan udah asik cerita kadang lebih dari
sejam.”61
Berdasarkan hasil wawancara diatas disimpulkan bahwa kegiatan konseling
individu ini yang dilakukan dengan konselor, dilakukan minimal 8 kali pertemuan
61
Wawancara Pribadi dengan Klien, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
68
dan setiap pertemuan hal yang dibicarakan klien biasanya mengenai adiksi itu
sendiri, atau hal mengenai pencegahan kekambuhan. Namun setiap individu
memiliki perpedaan masalah, jadi setiap yang konselor memiliki cara mereka
sendiri untuk membantu klien.
Program yang diberikan oleh Yayasan Kapeta setelah proses konseling adalah
memberikan berbagai terapi. Terapi yang diberikan yaitu:
b. Terapi Religius
Terapi religi ini adalah suatu proses penyembuhan dan pengobatan suatu
penyakit baik mental, spiritual, moral, maupun fisik. Terapi religius yang
diberikan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Siti Jumartina sebagai Pekerja
Sosial, Sebagai berikut:
“ada sesi religi juga, setiap hari rabu jam 3 rutin kita ngundang pak
ustadz kesini untuk ceramah..”62
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa terapi religi yang dilakukan dengan
mengundang Bapak Ustadz untuk memberikan ceramah kepada penyalahguna
NAPZA pada setiap hari rabu pukul 3 sore. Berdasarkan hasil temuan lapangan
tidak hanya dipanggil seorang ustadz, melainkan ada beberapa sesi yang sifatnya
mengajarkan klien untuk ingat akan Tuhan dimanapun dia berada. Dan juga
kegiatan solat berjam’ah bagi yang muslim dilakukan di Yayasan Kapeta, bagi
yang non muslim setiap mereka yang ingin beribadah makan Yayasan akan
memberikan izin tapi tetap dengan persetujuan konselor.
62
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
69
Terapi psikoreligius merupakan terapi untuk memulihkan peserta rehabilitasi
dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka
sehingga tidak kembali pada narkoba.63
Berdasarkan analisis penulis bahwa terapi
religi merupakan terapi yang dibutuhkan oleh klien untuk memperkuat keimanan
klien sehingga para penyalahguna tidak kembali dalam menggunakan narkoba.
Terapi religi ini diharapkan kepada klien agar mereka lebih memikirkan lagi
hukum dosa atau tidaknya suatu perbuatan mereka karena agama juga
mengajarkan berbuat kebaikan, apabila seseorang tidak mempunyai pengetahuan
agama maka potensi mereka berbuat kesalahan akan lebih besar.
c. Terapi Olah Raga
Yayasan Kapeta sudah memfasilitasi klien untuk kegiatan Olahraga, seperti
penyediaan kolam renang, boxing, dan alat fitness. Kegiatan ini juga diberikan
dalam bentuk kompetisi seperti, futsal, basket, badminton, jalan pagi, dan tenis
meja dengan tujuan untuk membantu menumbuhkan perilaku yang bertanggung
jawab diantara mereka. Proses terapi olahraga yang dilakukan oleh penyalahguna
NAPZA seperti yang disampaikan oleh Siti Jumartina:
“iya jadi anak-anak disini dibebasin kalo mau olah raga, tapi tetap
ada waktunya. Mereka bisa pilih sendiri mau olah raga apa,
misalnya kan dibelakang ada kolam renang ya mereka boleh
berenang dibebasin terus kemarin ada yang mau ikutan boxing nanti
kami disini memfasilitasi mereka”64
Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa terapi medis melalui
kegiatan olahraga dilakukan tanpa adanya paksaan dari Yayasan Kapeta. Para
63
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15. 64
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta,
Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
70
klien diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan olahraga yang mereka
inginkan. Karena berdasarkan hasil temuan penulis bahwa yayasan Kapeta telah
memfasilitasi kegiatan olahraga untuk para klien seperti kolam renang, alat
fitness, boxing dan tenis meja yang berada di halaman belakang. Klien melakukan
kegiatan olahraga setelah mereka selesai melakukan sesi di pagi hari seperti
berenang bersama.
Terapi olahraga ini merupakan bagian dari jenis terapi medis, terapi medis
ditunjukan agar para pengguna narkoba sehat secara fisik. Kegiatan dalam terapi
ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan pemberian makanan yang
bergizi dan kegiatan olahraga.65
Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi medis
melalui kegiatan olahraga bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik para
pengguna narkoba sehingga terapi ini bermanfaat untuk klien guna menjaga
kesehatan diri klien, karena setiap individu yang memiliki badan yang sehat tidak
ingin memakai zat narkoba. Terapi medis ini juga bisa menjauhkan diri klien dari
hal-hal bersifat negative dengan melakukan berbagai kegiatan olahraga.
d. Terapi Seni
Dalam memberikan terapi seni Yayasan Kapeta memberikan kebebasan
terhadap klien untuk memilih apa yang diinginkan, yang biasa diberikan seperti
bermain gitar, karaoke, art therapy, membuat puisi, melukis, dan membuat
gambar atau prakarya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Gidien:
“Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang memang berkaitan
langsung dengan seni yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang
65
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15.
71
sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan dua-duanya, kalo terapi
seni itu kita yang mengadakan dan yang rekreasional itu dipilih oleh
mereka dan kita didiskusikan.”66
Kemudian kegiatan seni ini juga bersifat terapi agar mengetahui psikologis
klien seperti apa, hal ini dijelaskan oleh Bapak Gidien:
“Kalo itu ada yang namanya art feeling itu jenis terapi seni yang
menggunakan medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu baik dari
segi warna gambar itu bisa kita evaluasi jadi bisa lebih tau ada
permasalahan apa untuk kedepannya bisa dibantu.”67
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa kegiatan seni ini
diberikan untuk mengatahui psikologis dari masing-masing klien, misalnya klien
sedang merasa senang atau sedih. Dan kegiatan ini juga untuk memberikan
kegiatan tambahan disaat klien sedang tidak melakukan kegiatan terapi yang lain.
Kegiatan ini merupakan bisa diberikan melalui kelompok, seperti yang
dijelaskan oleh Zastrow kelompok ini termasuk dalam kelompok keterampilan
rekreasi, tujuan dari kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga
meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya.68
Berdasarkan
analisis penulis dapat disimpulkan bahwa kegiatan seni ini sifatnya rekreasi
untuk meningkatkan keterampilan dari klien. Selain itu tujuan kelompok ini
untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga untuk meningkatkan
keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Kelompok seni ini berguna
66
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016 67
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016. 68
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38.
72
untuk membantu klien disini agar klien dapat melakukan kegiatan yang positif
dan menghasilkan suatu karya dibandingkan klien harus menggunakan NAPZA.
e. Personal Time
Personal time adalah waktu yang disediakan Kapeta bagi klien untuk
memenuhi kebutuhan pribadi mereka seperti menyelesaikan tugas, mencuci baju,
merapihkan kamar, dan lain-lain. Berikut ini adalah wawancara penulis dengan
Bapak Gidien sebagai salah satu konselor:
“Kalo personal time itu adalah waktu mereka melakukan kewajiban-
kewajiban pribadi mereka, baik dari merapihkan tempat tidur,
kamar, baju dan sebagainya.”69
Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, klien melakukan hal pribadi
mereka seperti mencuci pakaian, mencuci piring yang telah selesai dipakai
kemudian membuat makanan atau minuman saat waktu istirahat, ataupun
mengobrol dengan klien yang lain.
Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa kegiatan personal time
sangat bermanfaat bagi klien, dengan kegiatan tersebut dapat mengajarkan klien
tanggung jawab terhadap pekerjaan dan dirinya sendiri. Selain itu juga
mengajarkan klien untuk lebih disiplin.
69
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016.
73
Yayasan Kapeta juga memberikan terapi kelompok bagi para klien yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan
interpersonal, membagi emosi atau perasaan yang dimiliki klien dan agar klien
mandiri. Terapi kelompok yang diberikan di yayasan Kapeta adalah:
a. Morning Meeting
Morning meeting adalah kegiatan yang dilakukan setiap pagi hari yang
mengawali kegiatan awal hari klien. Beberapa proses Morning Meeting yang
dilakukan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Bapak Irfan salah satu
Konselor, sebagai berikut:
“Yaa pertama itu ada just for today biasanya ngebacain tulisan
yang ada di buku ini yang dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous),
nanti dibaca oleh satu orang dan yang lainnya menanggapi.
Morning meeting ini biasanya berkumpul mereka semua dan
ditemani oleh staff yang bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12
langkah dan langkah-langkah itu harus mereka jalani dan orang
yang mengajari 12 langkah itu harus sudah pernah menjalani
tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum menjalani 12 langkah itu
belum bisa mengajari klien itu sendiri.”70
Jadi sebelum melakukan morning meeting klien harus membuar format circle
baik itu di ruang kelas ataupun di ruang sesi, kemudian seluruhnya membacakan
doa kedamaian atau yang sering disebut serenity prayer satu sama lain
berpegangan tangan dan kemudian satu orang diantara mereka membacakan buku
just for today dimana di dalam buku tersebut berisikan tulisan 12 langkah.
Kemudian setelah selesai dibacakan just for today tersebut kemudian selanjutnya
70
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
74
dilakukan belly check. Belly check ini juga dijelaskan oleh Bapak Irfan salah satu
konselor:
“Lalu ada belly check disitu mereka mengungkapkan perasaannya
di hari itu seperti apa, apakah baik seperti itu.. Dan ada
announcement itu disini adalah pengumuman, misalnya hari ini saya
mau telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju, yaa mulai
kegiatan hari ini. Terus community concerns itu kepedulian
komunitas isinya menegur, memberikan informasi, ucapan
terimakasih dan ucapan penghargaan tapi dengan cara yang baik
dan benar dan berfokus pada masalah tidak merembet ke yang lain
dan terjadi pada hari itu juga, dan ada juga yang memberikan
motivasi.”71
Untuk belly check ini setiap klien menceritakan perasaannya di hari itu,
misalnya tentang kesehatannya apakah baik atau kurang baik. Selanjutnya ada
announcements, community concerns, awareness, hause issue dan theme of the
day. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Siti Jumartina salah satu pekerja
sosial yang mengatakan:
“announcement misalnya dia mau ngapain hari ini entah nyuci baju
atau telpon ortunya, community concern itu memberi peringatan
misalnya selesai mandi handuknya jangan taro sembarangan, terus
ada awareness itu pemberitahuan aja kaya cucian piring numpuk
siapa yang mau cuci, terus house issue biasanya kita tentuin isu
rumah buat hari ini, theme of the day itu membahas yang house
issue itu dan yang bertugas itu mayor on duty”72
Morning meeting memiliki durasi waktu sekitar 45 menit sampai satu jam
tergantung dari banyaknya klien, diadakannya setiap pagi setelah makan pagi dan
dipimpin oleh satu orang staff yang sedang bertugas atau sering disebut mayor on
duty. Setelah selesai morning meeting, klien berperan menjadi “chief”
71
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 72
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
75
mengingatkan klien untuk mengembalikan kursi dan peralatan lain yang
digunakan di dalam pertemuan pagi untuk dikembalikan ke tempat semula, dan
kemudian melakukan selanjutnya yang sudah direncanakan.73
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis, saat melakukan
morning meeting semua klien disana aktif dan semua berbicara. Penulis
mengikuti semua proses saat morning meeting tersebut, tidak ada pembatas antara
penulis dan klien semua sama menjadi satu saat melakukan format circle. Klien
semua terbuka menceritakan apa yang sedang dirasakan hari itu ataupun apa yang
akan dilakukan dan melakukan kepeduliannya sesama residen seperti
memberitahukan mesin cuci yang sedang rusak dan kerja sama mereka kompak
seperti membersihkan kamar tidur mereka sendiri ataupun ruangan lain yang
masih berantakan.
Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa morning meeting
menggunakan kelompok penyembuhan (therapeutic group), kelompok terapi ini
umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan
emosional yang berat dan serius.74
Dalam pemberian kegiatan ini Yayasan Kapeta
bertujuan untuk mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali
masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih
strategi pemecahan masalah. Penggunaan kelompok ini guna untuk mengubah
tingkah laku anggota kelompok.
73
Data didapat dari Klien handbook Yayasan Kapeta. 74
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 39.
76
b. Assertive Group
Assertive Group merupakan pembentukan kelompok bertujuan untuk
membuat klien dapat menyampaikan apa yang dirasakan dengan menggunakan
komunikasi yang baik agar mendapatkan ouput yang baik pula.
Salah satu keterampilan menyelesaikan “coping skill” yang perlu dimiliki oleh
klien adalah keterampilan mengutarakan pendapat kepada seseorang secara apa
adanya dan tidak bersifat agresif terhadap perasaan orang lain, yang disebut
dengan komunikasi asertif. Pada kontek pemulihan, faktor relapse pada seseorang
sering terjadi salah satunya karena ketidakmampuan untuk berbicara secara
asetif.75
Hal ini disampaikan oleh salah satu konselor yaitu Bapak Gidien:
“Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan komunikasi yang
terjadi tuh biasanya gak nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi
misalnya gini saya gak suka nih sama mba tapi gak saya sampein,
jadi saya pendem padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas
mungkin kekesalan saya akan berkurang walaupun gak ilang sama
sekali tapi kalo itu gak saya sampaikan nantinya akan cenderung
agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk menyampaikan unek-
unek perasaan tapi dengan aturan-aturan tertentu, tanpa
menyinggung perasaan seseorang dan itu diadakan biasanya saat
mereka ada masalah.”76
Dari wawaancara diatas dapat dikatakan bahwa assertive group ini
merupakan kelompok yang bertujuan untuk klien agar dapat mengemukakan
pendapatnya dengan komunikasi yang baik, tentu saja dalam kelompok ini klien
diberikan aturan-aturan agar apa yang disampaikan tidak menyinggung perasaan
orang lain.
75
Data didapat dari Klien Handbook Yayasan Kapeta. 76
Wawancara Pribadi dengan Pak Irfan sebagai Konselor, Ruang Tamu Yayasan Kapeta,
Tangerang Selatan, 9 September 2016.
77
Hal ini berkaitan dengan teori yang di sampaikan oleh scott dan Dryden,
mengenai Keterampilan menyelesaikan (coping skills). Melalui sesi Assertive
Group ini klien dibantu untuk dapat menyampaikan apa yang dirasakan,
diajarkan agar bisa menyampaikan dengan cara yang benar serta dapat
menghadapi apa yang terjadi ketika mereka dalam kondisi sulit.77
Jadi dapat
disimpulkan bahwa assertive group ini berguna untuk mengutarakan pendapat
dengan membentuk sebuah kelompok diharapkan klien dapat menjadi lebih
komunikatif, asertif, dan dapat menempatkan emosinya dengan cara yang
terkontrol, terutama ketika menghadapi masalah dan konflik.
c. Static Group
Suatu kelompok kecil klien yang ditunjukkan untuk membahas
perkembangan-perkembangan yang dialami klien dengan konselor.78
Hal ini
dijelaskan oleh Bapak Gidien salah satu konselor, yang mengatakan bahwa:
“Static group itu lebih pendekatan ke terapi kelompok tetapi
memang kelompoknya itu lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor
yang sama, jadi kelompok ini memiliki konselor yang sama paling
banyak anggotanya 4 orang. Di grup ini karena rekan sebaya dan
karena memang tujuannya untuk diskusi supaya input dan satu sama
lain saling memberikan, rekan sebaya disini adalah karena satu
permasalahan dan satu tujuan untuk pulih.”79
Kemudian hal ini juga dikatakan oleh konselor yang lain yaitu Bapak irfan,
sebagai berikut:
“Jadi yang dibahas itu biasanya tema besarnya datang dari
konselor, atau bisa kita lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak
77
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42. 78
Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta. 79
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
78
tentang kepulihan, selain kepulihan disini juga bisa tentang yang
lain setelah mereka selesai rehabilitasi. Diskusi disini didampingi
oleh konselor dan konselor sendiri itu sebagai fasilitator.”80
Berdasarkan wawancara diatas bahwa static group ini dibentuk berdasarkan
kelompok sebaya yang mempunyai konselor yang sama, permasalahan yang
sama dan kemudian ini adalah terapi kelompok yang bertujuan agar sesama
anggota kelompoknya dapat bercerita dan mencari jalan keluar bersama atas
permasalahannya.
Berdasarkan teori mengenai kelompok pemecahan masalah dan pembuat
keputusan, adanya kegiatan static group ini diharapkan bagi klien untuk
menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan
sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru.81
Jadi dapat disimpulkan
bahwa static group merupakan pembentukan kelompok kecil yang dilakukan
klien untuk mendiskusikan, membahas suatu permasalahan rencana dank lien
ketika tahap rehabilitasi telah selesai dengan konselor. Dengan static group, klien
dapat menemukan sumber-sumber dan informasi yang dibutuhkan oleh klien
tersebut.
Materi dalam kelompok ini membahas tentang kepulihan ataupun mengenai
zat itu sendiri, namun anggota kelompok dapat meminta apa yang akan dibahas
materinya sesusai dengan permintaan dari anggota kelompok namun agar tidak
melenceng tetap ada arahan dari konselor.
80
Wawancara Pribadi dengan Konselor, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 81
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social
Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38.
79
d. Kelompok Pencegahan Kekambuhan
Terapi ini diberikan ada yang sifatnya edukasi ataupun yang memulihkan,
terapi ini wajib diikuti oleh semua klien sesuai dengan rencana perawatannya.82
Hal ini juga dijelaskan oleh konselor bapak Gidien, mengatakan:
“Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang sifatnya edukatif dan
ada yang mengembangkan keterampilan mereka supaya mereka
tidak kambuh, misalnya bagaimana caranya menghadapi rasa
menagih, bagaimana caranya melakukan strategi penolakan, dan
mengidentifikasi rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff kita
disini.”83
Menurut wawancara diatas, kelompok pencegahan kekambuhan ini diberikan
edukasi dengan cara memberikan informasi kepada klien untuk mengontrol diri
mereka agar mampu untuk menahan rasa ingin kembali untuk memakai zat/rasa
menagih.
Terapi ini merupakan jenis terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta
rehabilitasi dapat menghilangkan sikap anti sosial. Selain itu terapi ini juga
ditunjukkan untuk keluarganya agar dapat memahami permasalahan seputar
narkoba dan persiapan atau sikap yang harus diambil bila anggota keluarganya
kambuh kembali.84
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok
pencegahan kekambuhan merupakan terapi yang wajib diikuti oleh semua klien
dengan memberikan edukasi informasi mengenai pemulihan baik dari cara
menghadapi rasa ingin mencoba kembali dan melakukan penolakan serta cara
mengembangkan keterampilan klien agar mereka tidak mengulang kesalahan lagi.
82
Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta. 83
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 84
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15.
80
e. Terapi Kelompok Psikoedukasi
Terapi ini ditunjukan untuk klien agar lebih memahami mengenai adiksi, baik
dari segi dampak menggunakan adiksi atau bahaya yang ditimbulkan. Kegiatan
ini berupa pembekalan dengan pendidikan. Kegiatan utamanya adalah
pembekalan dengan pendidikan dan keterampilan, dalam terapi ini klien diberikan
pendidikan mengenai adiksi seperti apa dan juga keterampilan dalam menyiapkan
diri klien untuk nantinya kembali ke lingkungan sosialnya. Kemudian hal ini
disampaikan oleh Konselor Bapak Gidien di yayasan Kapeta, yang menyatakan
sebagai berikut:
“Kelompok psikoedukasi, materinya tentang adiksi atau bahaya dari
adiksi.”85
Berdasarakan hasil wawancara diatas, kelompok ini berguna untuk para klien
dalam memberikan informasi tentang adiksi, karena klien membutuhkan
informasi ini agar dapat mengetahui apa itu adiksi dan bagaimana bahaya yang
ditimbulkan dari adiksi. Dan juga agar nantinya klien tidak lagi ingin
menggunakan NAPZA. Seperti yang disampaikan oleh Pekerja Sosial, Siti
Jumartina yang menyatakan:
“jadi kalo terapi psikodinamik itu kita bisa kasih mereka semacem
informasi tidak hanya adiksi, ataupun tentang kesehatan diri terus
sama tentang kejiawaan. Nanti bentuknya tuh kaya seminar gitu kita
tampilin pake proyektor”86
85
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 86
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
81
Terapi ini termasuk dalam terapi psikososial dimana terapi ini bertujuan untuk
para klien dapat bergabung kembali ke dalam lingkungannya.87
Berdasarkan
hasil analisa penulis dapat dikatakan bahwa terapi psikoedukasi memberikan
informasi tentang kejiwaan ataupun kesehatan diri, terapi ini berguna bagi klien
dalam menjaga kesehatan dirinya yang telah menggunakan zat dan mengontrol
diri agar bersikap sesuai dan juga agar klien dapat kembali kedalam
lingkungannya.
f. Terapi Kelompok Kognitif-Perilaku
Menurut Scott dan Dryden, pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah
mengidentifikasikan kandungan pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan,
harapan, pesan kepada diri sendiri (self talk), atau kelapangan (attributions).
Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan
dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien.88
Bapak Irfan sebagai
konselor di Yayasan Kapeta menyatakan bahwa:
“terapi kalo disini ada beberapa pokok bahasan, secara garis besar
ada pembahasan CBT (cognitive behavioral therapy) terapi pikiran
dan perilaku”89
Dari hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa terapi kognitif perilaku ini
adalah untuk mengidentifikasi pikiran yang paling penting, perasaan dan perilaku
yang membentuk reaksi dan memutuskan apakah tanggapan tersebut rasional dan
bermanfaat. Prinsip dasar dari CBT adalah bahwa cara berpikir dalam situasi
87
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba,
(Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15. 88
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42. 89
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
Semptember 2016.
82
tertentu mempengaruhi bagaimana seseorang merasa emosional dan fisik, dan
mengubah perilaku individu. Setiap orang akan memiliki cara berpikir sendiri,
respon individu terhadap peristiwa tertentu. Kemudian Pekerja Sosial Siti
Jumartina menyatakan mengenai terapi kognitif perilaku ini, yaitu:
“iya jadi kali CBT disini tuh, kaya ngasih tau klien buat menolak
untuk pake zat lagi kalo nantinya diluar ada yang ngajak memakai
zat lagi, terus menggali sugest klien yang ingin pake lagi agar tidak
memikirkan zat seperti itu”90
Berdasarkan analisa penulis, terapi kognitif perilaku ini dirancang untuk
meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah klien untuk mempertahankan
kesembuhan dan terapi kognitif perilaku ini adalah terapi yang membantu dan
menanggulangi gejala putus zat klien dengan memberikan informasi kepada
klien. Terapi yang memberikan keterampilan mengenai perilaku dan jalan
pikirannya, seperti mengendalikan pikiran tentang NAPZA dan penggunaannya.
g. Terapi Kelompok Life Skill
Terapi life skill ini berupa pendidikan yang memberikan keterampilan non
formal, life skill ini dibutuhkan setiap klien penyalahgunaan NAPZA sebagai
keterampilan untuk dapat berprilaku positif dan beradaptasi dengan lingkungan,
yang memungkinkan klien mampu menghadapi berbagai tuntuan, dan tantangan
dalam hidupnya sehari-hari dan termasuk dalam menyelesaikan masalah adiksi.
Seperti yang dikatakan oleh konselor di Yayasan Kapeta yaitu Bapak Gidien,
sebagai berikut:
90
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016.
83
“Kelompok terapi life skill, meningkatkan keterampilan mereka kaya
manajemen waktu, rasa marah, stress, bagaimana melakukan
perencanaan, berkomunikasi dengan baik”91
Berdasarkan hasil wawancara diatas terapi life skill diberikan kepada klien
dengan tujuan agar klien dapat mengontrol diri mereka sendiri dari rasa marah,
stress dan dapat mengatur waktu agar dapat berkomunikasi dengan baik.
Berdasarkan teori kognitif-perilaku yang salah satu kategorinya ialah
keterampilan menyelesaikan, disini klien diajarkan bagaimana klien dapat
mengelola self control kemudian klien diajarkan cara menyampaikan apa yang
harus dikatakan dalam situasi yang sulit, dan klien juga dapat mengetahui masalah
yang ada dalam dirinya dan bisa merencanakan apa yang harus dilakukan.92
Jadi
dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku ini bertujuan agar klien dapat
melakukan self control mereka dan klien juga dapat menemukan apa yang menjadi
penyebab dalam permasalahan dirinya dan bisa menemukan solusi untuk
menyelesaikan masalah mereka, dalam terapi ini klien juga diajarkan untuk
menyampaikan apa yang dirasakan disaat kondisi yang sulit.
h. Family Support Group
Dalam memberikan terapi peran keluarga juga sangat membantu proses
pemulihan klien yang sedang menjalankan rehabilitasi sosial, dalam hal ini
Yayasan Kapeta memfasilitasi keluarga klien dengan memberikan program
khusus seperti memberikan informasi dan pengetahuan menghadapi masalah
adiksi.
91
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016. 92
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42.
84
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Gidien berikut:
“Kalo family support group ini yang kita ketahui masalah adiksi ini
harus ditangani secara komperhensif, jadi pendekatannya bukan
hanya dari kita aja nih pemberi layanan tapi perlu adanya dukungan
keluarga, dukungan sosial yang baik juga berperan juga. Jadi ini
adalah kelompok dukungan keluarga, jadi bukan hanya masalah
dari klien saja makanya keluarga itu terpengaruh akibat adanya
anggota keluarga ada yang menggunakan baik secara psikologis,
emosional bahkan sampe peran dikeluarga bisa jadi berantakan
menjadi malfunction. Selain mereka lebih paham masalah adiksi,
tentunya mereka perlu dukungan sesame keluarga dengan keluarga
sesama untuk membantu mereka, kalo klien punya kelompok
dukungan juga maka keluarga juga perlu kelompok dukungannya.
Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap hari selasa atau rabu kita
bekerja sama dengan yayasan keluarga pengasih Indonesia, jadi
yang dilakukan tidak hanya sharing dan menggunakan praktisi juga
untuk jadi pembicara.”93
Hal ini juga senada yang diucapkan oleh Bapak Rahardianto:
“iya jadi kita disini ada pertemuan keluarga mba, yang rutin
dilakukan biasanya di tempat kita yang di Senayan.. karena peran
keluarga sendiri sangat berpengaruh untuk mensuport keluarga
yang memakai zat, kegiatannya disana itu diberikan edukasi
mengenai adiksi”94
Berdasarkan hasil wawancara, penulis menyimpulkan bahwa family Suport
group bertujuan agar keluarga klien dapat memahami permasalahan mengenai
adiksi, dan dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sedang
dalam pemulihan. Kegiatan ini bekerja sama dengan Yayasan Keluarga Pengasih
Indonesia.
Family support group adalah kelompok dukungan yang ditujukan untuk
keluarga agar keluarga dapat menerima anggota keluarga yang memakai zat.
93
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 9 September 2016. 94
Wawancara Pribadi dengan Manajer Program Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan
Kapeta, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
85
Kegiatan dalam kelompok ini edukasi mengenai adiksi.95
Menurut analisa
penulis dukungan keluarga dalam proses rehabilitasi korban penyalahgunaan
narkoba memiliki andil yang sangat penting karena klien sangat membutuhkan
dukungan untuk terbebas dari narkoba sehingga tercipta hubungan yang
harmonis dan komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Kemudian Yayasan Kapeta memiliki program rawat jalan, program rawat
jalan dirancang untuk gangguan penggunaan NAPZA yang masih taraf
menengah atau belum mengalami ketergantungan (adiksi). Program ini juga
dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang dirancang dengan
tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti sekolah, bekerja hingga
mengurus anak.96
Dalam tahap rawat jalan ini klien sudah boleh pulang kerumah tetapi 1
sampai dengan 5 hari permingggu klien menginap di Yayasan Kapeta dan sesuai
kebutuhan. Adapun program-program yang didapat tidak jauh berbeda dengan
saat rawat inap, tetapi dalam rawat jalan ini klien ditambahkan terapi kelompok
bantu diri dan kegiatan vokasional. Berikut penjelasan mengenai program
kelompok bantu diri dan vokasional:
a. Self Help Group
Kelompok yang terdiri dari beberapa klien dan berfungsi sebagai ruang
berbagi tiap klien dalam menghadapi masalahnya. Hal ini disampaikan oleh
Bapak Gidien berikut:
95
Dokumentasi Yayasan Kapeta. 96
Studi Dokumen, Brosur Yayasan Kapeta.
86
“Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok dukungan yang
ditujukan untuk klien, jadi orang-orang yang sudah pulih untuk
menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok dukungan untuk bantu
diri dari situlah mereka ada untuk membantu satu sama lain nah
jadi untuk masalah adiksi ini maka perlu dirawat supaya gak
kambuh maka perlu adanya kelompok dukungan namanya kelompok
bantu diri itu fungsinya untuk mengingatkan, berbagi pengalaman
bagaimana mengatasi masalah-masalah setelah selesai dari rehab
nah sudah diluar tantangannya banyak misalnya gak gampak cari
kerja bosenlah, makanya butuh kelompok ini. Salah satunya adalah
kelompok Narcotic Anonymous.”97
Berdasarkan hasil wawancara diatas, kelompok dukungan klien ini
dibutuhkan untuk klien agar klien dapat sharing kepada orang-orang yang sudah
mengalami permasalahan yang sama sebelumnya seperti klien, klien juga
mendapatkan pengetahuan lebih tentang pencegahan kekambuhan itu sendiri
ataupun saat fase pemulihan. Di kelompok ini klien juga dapat menambah
teman agar wawasan klien bertambah.
Menurut analisa penulis, kelompok dukungan untuk diri klien ini
bermanfaat dan bisa menjadi sumber penyembuhan utama bagi klien, apabila
digunakan bersama dengan penanganan professional, kelompok dukungan ini
merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.98
Jadi dapat disimpulkan
bahwa kelompok dukungan yang diberikan Yayasan Kapeta kepada
penyalahguna NAPZA dapat membantu klien dalam proses pemulihan, karena
dengan bergabungnya klien dengan kelompok ini klien dapat berbagi
97
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016. 98
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk
Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
Cet. 1, h. 309,
87
pengalaman dengan anggota lainnya dan juga mendapatkan informasi baru
menganai adiksi dan lainnya.
b. Kegiatan Resosialisasi
Yayasan Kapeta memberikan Kegiatan Resosialisasi dengan memberikan
program kerja sosial, kegiatan ini bertujuan agar klien dapat mengadapi
lingkungan mereka yang sesungguhnya dan mampu berkomunikasi dengan baik
serta bekerja dengan masyarakat. Adapun proses kegiatan resosialisasi di Yayasan
Kapeta seperti yang dikatakan oleh Siti Jumartina salah satu Pekerja Sosial yang
ada di Yayasan Kapeta:
“Nah kita disini kaya kasih business pass sama home leave, jadi biar
mereka tuh terbiasa di luar, gimana ngejalin komunikasi di luar biar
gak kaku. Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka rutin dari pagi
sampe malem setiap hari kaya gitu, berbeda saat mereka diluar.
Nanti pas mereka udah balik kesini kita review, apa aja yang
dilakuin selama diluar itu.. melatih mereka juga agar mereka
mandiri”99
Jadi berdasarkan wawancara, proses resosialisasi yang digunakan oleh pihak
Yayasan Kapeta kepada klien dengan memberikan kegiatan business pass dan
home leave dengan tujuan untuk melatih klien ketika mereka berada di
masyarakat.
Dalam kerja sosial klien sendiri harus mendapatkan imbalan sebagai bentuk
implementasi dari filosofi “lakukan yang terbaik, maka segala hal yang baik akan
mengikuti” dan “kompensasi itu sebuah hal yang valid”100
Ada bermacam-macam
kerja sosial yang disediakan oleh Yayasan Kapeta seperti, mencuci motor dan
99
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016. 100
Dokumentasi Yayasan Kapeta.
88
mobil warga, merawat dan membersihkan halaman rumah tetangga, dan
membantu program panti asuhan/panti jompo.
Tahap resosialisasi merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial,
lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja.101
Berdasarkan analisa penulis pada
tahap resosialisasi, kegiatan ini baik untuk klien dalam menyiapkan diri klien agar
dapat menyiapkan dirinya kembali ke dalam lingkungan, baik keluarga ataupun
masyarakat. Dengan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat, mengajarkan
klien untuk lebih aktif dan bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat sehingga
bisa menghilangkan stigma negatif yang timbul di masyarakat mengenai
penyalahguna NAPZA itu sendiri.
c. Kegiatan Vokasional
Kegiatan vokasional mendukung produktifitas dan menumbuhkan nilai
kewirausaan dalam diri klien, maka perlu dilakukan kegiatan vokasional di sela
kegiatan program lainnya.102
Hal ini disampaikan oleh Bapak Rahardianto sebagai
Program Manajer yang menyatakan bahwa:
“iya kita disini ada kegiatan vokasional yang diberikan kepada
klien seperti memberikan pelatihan menyablon, jadi waktu itu kita
bawa mereka ke tempat penyablonan gitu mba jadi mereka diberikan
pelatihan disana. Untuk saat ini sih kita masih mencari kegiatan
yang lain selain menyablon”103
Kemudian hal ini juga diperkuat oleh Pekerja Sosial, Siti Jumartina yang
menyatakan, sebagai berikut:
101
Ibid, h. 309. 102
Dokumentasi Yayasan Kapeta. 103
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 18 April 2016.
89
“oh kalo kegiatan vokasional kita disini waktu itu sih kita bawa klien
ke tempat penyablonan yang dari kemensos kalo gak salah, abis itu
kita panggil tukang sama bawa alat penyablonanya kesini itu sih
buat sablon yang mudah dulu belum yang sulitnya”104
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan kegiatan vokasional ini
diberikan disela-sela program yang tujuannya untuk membuat keterampilan baru
terhadap klien, dan juga menumbuhkan kewirausahaan bagi klien. Kegiatan
voksional ini bagus untuk diberikan agar klien setelah menyelesaikan rehabilitasi
bisa membuka usaha diluar untuk pekerjaan baru.
B. Hasil Rehabilitasi
Tujuan setelah selesai melakukan rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta membuat
klien yaitu untuk tetap abstinen. Maksud dari abstinen itu sendiri adalah kondisi yang
berpantang dari segala bentuk pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol. Hal
ini seperti yang telah dikatakan oleh Bapak irfan:
“Secara garis besar sih yang dibilang berhasil mereka sudah tidak
menggunakan zat kembali, terus yang kedua meskipun nantinya
mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi mereka tahu harus ngapain..
kalo toh mereka menggunakan kembali, mereka sudah tahu
menggunakan yang tidak terpapar penyakit yang menular. Tapi kalo
tujuan utama itu sih memang abstinen, sudah tidak lagi
menggunakan.”105
Hasil dari rehabilitasi disini dimaksudkan kepada klien mereka sudah pulih
dan berkurangnuya keinginan untuk memakai zat, serta klien juga sudah berubah
secara perilaku. Dari hasil temuan lapangan yang penulis lakukan klien sendiri sudah
bisa lebih teratur kehidupannya, mulai dari melakukan kegiatan dengan positif dan
104
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
29 Juli 2016. 105
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
90
tepat waktu seperti mencuci baju sendiri, mencuci peralatan makanan yang telah
dipakai, kemudian melakukan kegiatan seperti olah raga ataupun kegiatan seni yang
meningkatkan keterampilan mereka. Seperti yang telah dikatakan oleh Konselor
Bapak Gidien, sebagai berikut:
“Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan assessment lanjutan
dan itu menjadi bahan evaluasi.. dan memakai assessment ASI, nah
dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa, Apakah sudah meningkat
atau belom, walaupun udah pulih tapi masih ada yang harus
diperbaikin kita kasih tau ke klien. Karena kalo udah diluar ya itu
jadi tanggung jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi lagi.”106
Di dalam Yayasan Kapeta ini juga mengizinkan klien untuk tetap melakukan
kegiatan di luar rumah yang dinamakan Business Pass misalnya mereka adalah
mahasiswa diluar mereka tetap kuliah, jika yang bekerja mereka tetap melakukan
pekerjaan. Dengan rehabilitasi ini mereka diharapkan untuk tetap abstinen dan bisa
untuk menolak jika diajak untuk menggunakan zat kembali.
Ukuran hasil individu bisa dilihat dari asesmen ASI yang mempunyai versi saat
tindak lanjut, di Yayasan Kapeta melakukan asesmen ASI tindak lanjut tepatnya
setelah 6 bulan perawatan dan yang diperiksa kembali adalah medis, sosial seperti
hubungan dengan keluarga, pendidikan, psikologis, dan hukum. Seperti yang telah
dikatakan oleh Program Manajer Bapak Rahardianto, sebagai berikut:
“iya benar, setelah 6 bulan bisa diberlakukan asi lagi.. hasilnya
akan bisa menjadi tolak ukur perkembangan klien khususnya dalam
program, contoh mengenai status sosial di asi awal misalnya dia
menyatakan bahwa dalam 30 hari terakhir ada maslah dengan
keluarga dan lingkungan sekitar, nah setelah program berjalan dan
106
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
91
asi kembali dilihat apakah mengalami perkembangan atau tidak
seperti itu kira-kira..”107
Dan untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi setiap individu dilihat
perkembangannya setelah melakukan rawatan selama 6 bulan, jika dilihat klien
mengalami perkembangan dari aspek-aspek yang dilakukan ASI saat asesmen
diawal nantinya klien akan dibuatkan resume rawatan yang menjadi hasil
evaluasi rawatan yang telah dijalankan, juga diperkuat dengan pernyataan
berikut:
“lebih tepat setelah 6 bulan sejak asi 1 dilakukan mba, indikator
lainnya dengan melihat rencana rawatan apa saja yang sudah
berjalan dan mengalami perkembangan.. jadi setiap klien yang
selesai program akan dibuatkan resume rawatan sebagai evaluasi
rawatan yang sudah dijalankan”108
Kemudian klien AR juga mengatakan perkembangan yang dirasakan setelah
mengikuti rawatan selama berada di Yayasan Kapeta, sebagai berikut:
“Fisik sih membaik, dari sisi psikologi juga membaik, hubungan
dengan keluarga juga membaik.”109
Klien AR adalah klien yang paling lama mengikuti rawatan diantara klien
yang sebagai informan, klien AR merasakan bahwa dirinya semakin baik setelah
mengikuti rawatan di Kapeta. Berdasarkan dari data diatas penulis
menyimpulkan bahwa program rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta sudah
berjalan dengan baik dan berdampak positif terhadap diri klien.
107
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 22 Oktober 2016. 108
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang
Selatan, 22 Oktober 2016. 109
Wawancara Pribadi dengan Klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 20
September 2016.
92
Kemudian juga ada klien P yang memberikan pernyataan mengenai
perkembangnnya selama mengikuti rehabilitasi, sebagai berikut:
“mungkin gua berkurang keinginan butuh zat gua, udah gak mikirin
zat lagi, waktu awalnya masih mikirin shabu gua pengenlah
ibaratnya nagih. Sekarang udah ilang sedikit demi sedikit, sama fisik
gue lebih baik kesehatan lebih baik”110
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil dari rehabilitasi ini dilihat dari asesmen
menggunakan ASI setelah mereka selesai melakukan rawatan, dan aspek-aspek
dalam ASI itu seperti kesehatan, psikologis, relasi dengan keluarga ataupun orang
lain. Dari situ dapat disimpulkan hasil, apakah dari fisik yang semula klien sakit
setalah mengikuti rawatan menjadi membaik, kemudian jika sebelumnya klien
addict untuk menggunakan zat setelah mengikuti rehabilitasi klien sudah
berkurang untuk memikirkan zat itu lagi dan sudah tidak lagi menggunakan zat,
dan juga hubungan dengan keluarga yang kurang baik akibat menggunakan
NAPZA sekarang klien sudah berhubungan membaik karena perubahan yang
dialami oleh klien yang tidak lagi memakai zat. Dan keluarga juga sudah
diberikan pengetahuan mengenai adiksi, dan bagaimana cara menghadapi anggota
keluarga yang penyalahguna NAPZA.111
110 Wawancara Pribadi dengan Klien P, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26
Agustus 2016. 111
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk
Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009),
h. 304.
93
C. Peran Pekerja Sosial
Pekerja Sosial di Yayasan Kapeta menjalankan berbagai peranan, Salah
satunya sebagai fasilitator. Pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan sebagai
berikut:
“kita disini tugasnya membantu konselor saat melakukan asesmen,
contohnya kita ngebuat ecomap, genogram kaya gitu karena
konselor sendiri kurang paham untuk ngebuat itu makanya kita
bantu. Terus juga kita isi sesi-sesi yang ada disini..”112
Seperti yang terlihat saat peneliti melakukan observasi, pekerja sosial
mengisi sesi. Saat itu pekerja sosial memberikan materi psikoedukasi, dan dalam
sesi tersebut pekerja sosial mendorong anggota untuk berpartisipasi aktif hal
tersebut terlihat saat pekerja sosial menanyakan jika ada yang tidak mengerti
sebaiknya bertanya. Kemudian dalam sesi yang lain ada dynamic group,sesi ini
dibuat oleh pekerja sosial, seperti yang dikatakan oleh klien AR sebagai berikut:
“kalo setiap hari jum’at disini kita ada dynamic group, biasanya sih
kita main games aja sama klien yang lain didampingin sama peksos..
gamesnya sih macem-macem kalo setiap minggu..”113
Kemudian hal tersebut dipekuat oleh penyataan pekerja sosial Siti Jumartina,
yang menyatakan bahwa:
“iya peksos disini biasanya setiap hari jumat bikin dynamic group,
tujuannya itu gak cuma sekedar kasih games gitu aja tapi kita juga
bikin biar kelompok itu tuh saling mensuport satu sama lain biar
kompak..”114
112
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016. 113
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26
Agustus 2016. 114
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016.
94
Dan dalam sesi yang lain pekerja sosial juga membantu klien untuk
membantu dalam isu permasalahan, seperti yang terlihat saat peneliti mengikuti
sesi morning meeting. Terlihat pekerja sosial menanyakan apa yang sedang
dirasakan saat itu, kemudian apakah ada masalah atau tidak, jika ada maka
pekerja sosial akan berdiskusi dengan kelompok untuk menemukan jalan keluar
bersama dengan klien.
Kemudian pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan kembali tentang
peranan yang dijalankan oleh pekerja sosial dalam proses rehabilitasi di Yayasan
Kapeta, sebagai berikut:
“jadi kalo disini tuh biasanya klien kalo ada apa-apa biasanya
ngomong ke kita dulu, misalkan uang mereka udah abis tapi mau
beli sesuatu nanti kita nyampein ke konselornya baru dipenjemin
uang dulu kaya gitu, terus kalo mereka lagi ada masalah juga
mereka ceritanya ke kita dulu”115
Menurut analisa penulis bahwa peran pekerja sosial di Yayasan Kapeta
menjalankan peranan sebagai fasilitator yaitu pekerja sosial membantu konselor
untuk membuat instrument untuk melakukan assessment dengan menggunakan
ecomap dan genogram. Instrument tersebut bisa mengetahui hubungan yang
terjalin oleh klien seperti hubungan negatif klien dengan teman diluar yang
mempengaruhi penyalahgunaan NAPZA setelah itu pekerja sosial
memberitahukan hal tersebut kepada konselor untuk ditindaklanjuti.116
115
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan,
26 Agustus 2016. 116
95
Kemudian sebagai mediator seperti yang telah dibahas oleh pekerja sosial,
mediator disini pekerja sosial membantu klien untuk menyampaikan apa yang
dirasakan selama menjalankan rehabilitasi dengan konselor mereka, agar
nantinya berdiskusi untuk menemukan solusi yang tepat untuk penyelesaian
masalah.
96
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh penulis di Yayasan Karya Peduli Kita untuk
melihat proses rehabilitasi dan hasil rehabilitasi melalui wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi maka dapat disimpulkan:
1. Proses Rehabilitasi Sosial
Proses Rehabilitasi sosial yang dilakukan diawal yaitu melakukan assessment
yang bertujuan untuk mengetahui masalah yang timbul, kemudian untuk mencari
tahu kebutuhan klien. Setelah itu klien ditentukan rawatan apakah rawat inap atau
rawat jalan dan diberikan program-program rehabilitasi.
Rawat inap diberikan selama 3 bulan, dan rawat jalan juga diberikan selama 3
bulan namun saat melakukan rawat jalan klien sudah diperbolehkan untuk
business pass untuk bekerja ataupun kuliah. Dan diberikan kegiatan vokasional
agar klien dapat meningkatkan keterampilannya. Setelah rawat jalan akan
dilakukan assessment akhir untuk mengetahui pekembangan klien, dan dilakukan
proses terminasi.
Proses terminasi dilakukan jika klien sudah menyelesaikan program, klien
meminta untuk tidak meneruskan, ataupun keterbatasan lembaga dan diperlukan
sistem rujukan, dan tahap terakhir adalah pembinaan lanjut yang bertujuan untuk
pemeliharaan rehabilitasi klien di masyarakat, ataupun melihat kondisi
97
lingkungan keluarga, sosial atau kerja yang kondusif dan mengembalikan
keberfungsian sosialnya.
2. Terapi yang diberikan Yayasan Kapeta
Dalam memberikan terapi, yayasan Kapeta memberikan terapi baik secara
individu ataupun kelompok. Bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial ini antara lain:
Terapi kelompok pencegahan kekambuhan, Terapi kelompok kognitif-perilaku,
Terapi kelompok psikoedukasi, Terapi kelompok life skill, Terapi kelompok
dukungan keluarga, Terapi psikoreligius, Terapi psikososial. Pemberian terapi ini
bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik ataupun mental penyalahguna NAPZA,
seperti pemberian kegiatan olahraga ataupun memberikan pembekalan dengan
pendidikan dan latihan keterampilan agar klien dapat kembali berfungsi sosial
dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil dari rehabilitasi sosial Yayasan Kapeta adalah membuat klien tetap
abstinen artinya klien sudah tidak lagi menggunakan zat dan bisa untuk menolak
untuk tidak menggunakan kembali jika ada yang mengajak, serta klien tahu apa
yang harus dilakukan saat mereka dalam keadaan terpuruk.
Untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta ini, Kapeta
melakukan Asesment akhir yaitu dengan menggunakan ASI, aspek-aspek yang
diperiksa antara lain mengenai perkembangan kesehatan, psikologis, dan
hubungan dengan keluarga ataupun lingkungan.
98
B. Saran
Dari hasil kesimpulan yang tertera diatas penulis akan memberikan saran yang
terkait dengan rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi yang diberikan Yayasan Kapeta
kepada penyalahaguna NAPZA, sebagai berikut:
1. Yayasan Kapeta sebaiknya menambahkan kegiatan vokasional untuk klien
untuk mengurangi kebosanan. Seperti pemberian keterampilan tata boga atau
wirausaha yang nantinya setelah klien selesai menjalankan rehabilitasi bisa
membuka usaha sendiri agar lebih mandiri atau kegiatan vokasional seni
musik yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bermusik, selain
itu juga sebagai sarana hiburan bagi klien setelah seharian menjalani
rehabilitasi.
2. Yayasan Kapeta menggunakan kembali ruang konseling saat klien melakukan
konseling bersama konselor, agar kerahasiaan klien bisa tetap terjaga.
3. Pekerja sosial juga dapat mengerjakan tugas seorang konselor, seperti
melakukan tahapan assessment sampai pada tahapan terminasi.
99
DAFTAR PUSTAKA
A. SUMBER BUKU
Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, Jakarta: PT.
Suara Agung, 2009.
Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Fuaida, Lisma Diawati, Belajar Teori
Pekerjaan Sosial, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2011.
Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, Jakarta:
Karisma Indonesia, 1986.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2013.
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal
dan Laporan Penelitian, Malang: Umm Press, 2010.
Hawari, Dadang, Lima Besar Penyakit Mental Masyarakat ,Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2008.
Hawari, Dadang, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol,
& Zat Adiktif), Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2013), Cetakan Pertama, h. 176.
Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, Jakarta: PT. Forum Media
Utama, 2010.
Koentjoro, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,
Jakarta:Salemba Humanika, 2012.
Rukminto, Isbandi, Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan
Sosial, dan Kajian Pembangunan), Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013.
Sarwono, Wirawan Sarlito, Psikologi Remaja ,Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2007.
Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung:
Mandar Manjur, 2003.
Somar, Lambertus, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Jakarta: Grasindo, 2001.
Suharto, Edi, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate
Social Resposibility), Bandung: Alfabeta, 2009.
Suhato, Edi, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi,
Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial
RI, 2004.
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, Jakarta: Mitra
Bintibmas, 2010.
100
B. SUMBER SKRIPSI
Cahyani Putri, Perbandingan Parental Attachment Antara Remaja Pria
Penyalahguna Narkoba Dengan Remaja Pria Bukan Penyalahguna
Narkoba, Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2004.
Cristianingrum, Ferlinda, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada
Program Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, Skripsi
S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002.
Kurniawan, Listiyana, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat
Rehabilitasi Narkoba, Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Indonesia Depok, 2005.
Ulfah, Nurbani, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis
(NAPZA-Skizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO)
Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. SUMBER UNDANG-UNDANG
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi
Narkotika Komponen Masyarakat.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang
Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
D. SUMBER WEBSITE
Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”,
Diakses pada tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id.
Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada 6 maret 2016
dari http://kapeta.org/.
E. SUMBER JURNAL
Gono, Joyo Nur Suryanto, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan
Pencegahannya.
Proctor, L, Steven, dkk, A Naturalistic Evaluation of The Effectiveness of a
Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on
Continuing Care Outcomes, Journal of Substance Abuse Treatment, Vol.
73.
Santoso, Topo dan Silalahi, Anita, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan
Remaja: Suatu Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1
September 2000.
F. Hasil Wawancara
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 20 September 2016.
Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
Wawancara Pribadi dengan klien P, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
101
Wawancara Pribadi dengan Konselor Gidien Ryaan, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
Wawancara Pribadi dengan Konselor Irfan Seiff, Tangerang Selatan, 9
September 2016.
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Tangerang Selatan, 29
Juli 2016 dan 26 Agustus 2016.
Wawancara Pribadi dengan program manajer Yayasan Kapeta Rahardianto
Purnomo, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
HASIL OBSERVASI
Waktu : Pukul 09.00.WIB
Hari/Tanggal : 16 September 2016
Observasi Sesi Morning Meeting
Observasi yang penulis lakukan pada hari ini adalah Sesi Morning
meeting. Kegiatan ini dilakukan di ruang kelas yang berada di dekat halaman
belakang Yayasan Kapeta. Kegiatan ini dipimpin oleh staff yang bertugas saat itu
atau biasa yang disebut dengan mayor on duty. Sesi ini adalah kegiatan yang
mengawali pagi hari klien sebelum melakukan sesi-sesi di hari ini, sesi dimulai
pukul 09.00 pagi, semua klien wajib mengikuti sesi morning meeting ini.
Morning meeting dilakukan dalam format circle, sebelum sesi dimulai
semua yang hadir dalam morning meeting membacakan doa perdamaian dengan
berpegangan tangan, doa perdamaian dibacakan oleh satu orang kemudian orang
yang lain mengikuti. Setelah doa perdamaian selesai selanjutnya membacakan just
for today, just for today adalah sebuah buku yang berisikan tulisan-tulisan
penyemangat untuk para klien. Just for today juga dibacakan oleh satu orang yang
memimpin dan yang lain mengikuti, tujuan dari just for today itu sendiri adalah
untuk memberikan motivasi dan hanya memikirkan untuk hari ini saja jangan
memikirkan untuk hari-hari kedepan seperti apa yang telah disampaikan oleh
salah satu konselor.
Setelah itu dilakukan belly check, yaitu setiap klien menyampaikan
perasaannya di hari itu seperti kesehatan ataupun perasaannya hari ini, hari ini
semua klien sehat tapi ada satu orang yang merasa kurang enak badan. Dan
kemudian announcement yaitu memberitahukan apa yang akan dilakukan pada
hari ini, seperti salah satu klien yang mengatakan bahwa hari ini akan
menghubungi orang tuanya dan ada juga yang akan solat jumat.
Lalu community concern dimana bagian ini lebih menunjukkan
perhatiannya terhadap anggota lainnya, seperti memberitahukan apakah yang
merasa kesal dengan klien yang lain tapi saat itu tidak ada yang merasa kesal atau
punya permasalahan dengan yang lain. Selanjutnya awareness yaitu
pemberitahuan untuk anggota kelompok lainnya, hari ini ada seorang klien yang
memberitahukan bahwa filter mesin cuci sudah rusak dan jika selesai mencuci
harus membersihkan filter tersebut.
Kemudian ada house issue yaitu isu apa yang diangkat oleh klien, hari ini
isu yang diangkat nuansa weekend, sepi dan selanjutnya adalah theme of the day
yaitu kerja bakti untuk membersihkan kamar masing-masing dan membersihkan
kamar mandi serta dapur. Setelah selesai setiap anggota kelompok
mengembalikan kursi ke tempat awal.
Tanggal/Hari :26 Agustus 2016/ Jum’at
Waktu : 13.30 WIB.
Mengikuti Sesi yang diberikan oleh Pekerja Sosial dan wawancara dengan 2
orang klien.
Hari ini adalah hari pertama penulis mengikuti sesi yang dibawakan oleh
Pekerja Sosial, sesi diberikan pukul 13.00 siang dan sesi dilakukan diruang kelas.
Saat penulis mengikuti sesi, sebelumnya penulis meminta izin kepada seluruh
klien untuk bisa mengikuti sesi. Sesi ini membahas mengenai life skill, pekerja
sosial yang bertugas memberikan materi layaknya guru memberikan pelajaran
kepada muridnya begitupun saat pekerja sosial memberikan materi semua klien
mendengarkan dengan baik dan mencatat hal-hal yang penting dalam materi
tersebut.
Kemudian penulis melihat bahwa klien disana benar-benar fokus
mendengarkan apa yang diberikan pekerja sosial, dan jika ada yang tidak
dimengerti oleh klien maka mereka akan bertanya dan akan diberikan penjelasan
oleh pekerja sosial. Sesi berjalan kurang lebih 30 menit, setelah sesi selesai klien
mengisi buku kehadiran sesi yang harus ditanda tangani oleh pengisi sesi saat itu.
Setelah mengikuti sesi bersama klien, kemudian penulis menunggu untuk
wawancara dengan klien A dan P. Saat itu semua klien sedang tidak ada kegiatan,
dan mereka hanya melakukan kegiatan pribadi mereka yang ingin dilakukan
seperti bermain gitar, mengobrol, makan siang, ataupun tidur siang. Pertama
penulis melakukan wawancara dengan klien A yang berumur 18 tahun, klien
sangat ramah dengan penulis dan saat penulis menanyakan beberapa pertanyaan
klienpun menjawab dengan apa adanya dan seperti curhat karena setiap satu
pertanyaan yang diberikan klien selalu menjawab dengan panjang dan
menjelaskan secara lengkap, walaupun umur klien lebih muda dari penulis tapi
klien A menjelaskan secara dewasa tetapi masih terlihat jelas klien A adalah ABG
karena suaranya masih sangat ABG.
Dan penulispun melihat bahwa klien sudah mulai menerima kondisinya
sekarang yang dimasukan oleh orang tuanya ke tempat rehabilitasi, menurut klien
A jika seseorang sudah masuk ke tempat rehabilitasi orang tersebut sudah sangat
nakal dan menurutnya dia tidak seharusnya dia dmasukkan ke tempat rehabilitasi
karena kondisinya belum parah. Dan klien juga merasa jika dia bukan anak yang
senakal seperti yang dibayangkan orang tuanya itu, menurut pengamatan penulis
klien A sudah banyak belajar didalam Kapeta dan sudah bisa mengendalikan
dirinya.
Selanjutnya penulis wawancara dengan klien P, berbeda dengan klien A
saat wawancara klien P terlihat lebih pendiam dan tidak terlalu banyak bicara.
Klien P saat itu adalah klien baru yang sudah 3 minggu berada di Kapeta, saat
penulis menanyakan kenapa bisa masuk ke Kapeta terlihat ada emosi didalam diri
klien saat menceritakan proses kenapa klien bisa masuk ke dalam rehabilitasi ini,
walaupun klien baru merasakan 3 minggu tapi klien sudah berinteraksi dengan
baik terhadap orang-orang yang berada di Kapeta. Klien juga mengatakan bahwa
dirinya sudah mulai bisa untuk tidak memikirkan zat kembali, tidak seperti diluar
yang kemungkinan untuk memikirkan zat masih sangat bisa menggunakannya
lagi.
Hari/Tanggal : Jum’at/ 19 Agustus 2016
Waktu : 11.00 WIB
Melihat Sarana dan Prasarana untuk Rehabilitasi
Hari ini penulis ditemani oleh Pekerja Sosial untuk melihat sarana dan
prasarana di Kapeta. Di Kapeta sendiri terdapat 2 kamar tidur AC untuk klien dan
kamar mandi yang ada didalam setiap kamar, kemudian terdapa kolam renang dan
fasilitas olahraga seperi tenis meja, alat boxing, fitness dll. Kemudian ada ruang
kelas untuk sesi, dan ruang konseling untuk melakukan konseling individu dengan
konselor tapi saat penulis melihat ruang konseling sedang tidak bisa digunakan
karena sedang dilakukan renovasi.
Terdapat ruang tamu untuk klien yang digunakan bertemu dengan kerabat
ataupun keluarga yang berkunjung, dan ada ruang tengah yang biasa digunakan
untuk menonton tv bersama atau sekedar mengobrol. Di Kapeta juga menyediakan
TV kabel dan internet, dan ada dapur, tempat mencuci pakaian yang juga
digunakan setiap klien. Untuk staff sendiri ada ruang kerja dan satu kamar yang
disediakan untuk staff yang berjaga malam.
PEDOMAN WAWANCARA
Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli
Kita Tanggerang Selatan
Informan Klien
A. Waktu :
Hari dan Tanggal :
Tempat :
B. Identitas Informan :
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
C. Pertanyaan :
1. Apa yang melatarbelakangi anda memakai zat?
2. Sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA?
3. Jenis NAPZA apa yang digunakan pertama kali dan yang pernah
digunakan?
4. Apa yang dirasakan setelah menggunakan zat?
5. Apakah ada dampak negatif yang dirasakan?
6. Bagaimana kamu mengetahui adanya rehabilitasi sosial di Kapeta?
7. Kegiatan rutin apa yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi?
8. Program rehabilitasi sosial apa saja yang diberikan Kapeta?
9. Apa kegiatan yang dilakukan di luar kapeta?
10. Berapa lama bertemu dengan konselor dalam seminggu?
11. Apa yang dilakukan saat bertemu pekerja sosial/konselor?
12. Apa manfaat yang didapat setelah mengikuti program rehabilitasi sosial?
13. Apakah ada perubahan yang didapat setelah mengikuti rehabilitasi sosial
di Kapeta?
14. Apa harapan anda setelah menjalankan rehabilitasi sosial di Kapeta?
Jakarta, 26 Agustus 2016
Klien
( )
PEDOMAN WAWANCARA
Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli
Kita Tanggerang Selatan
Informan Pekerja Sosial
A. Waktu :
Hari dan Tanggal :
Tempat :
B. Identitas Informan :
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
C. Pertanyaan :
1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi?
2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi?
3. Bagaimana proses rehabilitasi untuk mengetahui masalah yang ada pada
klien?
4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien?
5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien?
6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat?
7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien?
8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi?
9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali
ke lingkungan mereka?
10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi?
11. Saat melakukan bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos
mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?
Jakarta, 29 Juli 2016
Pekerja Sosial
( )
PEDOMAN WAWANCARA
Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli
Kita Tanggerang Selatan
Informan Konselor
A. Waktu :
Hari dan Tanggal :
Tempat :
B. Identitas Informan :
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Agama :
Pendidikan :
C. Pertanyaan :
1. Apa tugas pokok dan fungsi anda sebagai konselor dalam melakukan
rehabilitasi kepada klien?
2. Bagaimana proses rehabilitasi yang dijalankan klien di Kapeta?
3. Program serta pelayanan apa saja yang di berikan Kapeta?
4. Berapa lama klien di rehabilitasi di Kapeta?
5. Kendala atau hambatan apa yang dihadapi dalam menjalankan tugas
sebagai seorang konselor di Kapeta?
6. Tujuan apa yang ingin dicapai pada program rehabilitasi di Kapeta?
7. Apa harapan anda kepada klien setelah menjalankan rehabilitasi sosial di
Kapeta ini?
Jakarta, 9 September 2016
Konselor
( )
PEDOMAN OBSERVASI
1. Untuk melihat bagaimana emosi klien ketika membicarakan masalahnya
2. Untuk melihat bagaimana interasksi klien dengan orang lain saat di dalam
Kapeta
3. Berbagi informasi mengenai program rehabilitasi di Kapeta
4. Untuk melihat kegiatan sesi yang diberikan peksos
5. Untuk melihat sarana dan prasarana yang menunjang rehabilitasi yang ada
di Kapeta
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : AR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 18 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Mahasiswa
Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di
ruang tamu Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara
ini pada pukul 14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang
dipilih langsung oleh staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini
adalah klien yang sudah berada di Kapeta kurang lebih 3 bulan rawat inap.
Jakarta, 26 Agustus 2016
Klien
( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Saya mahasiswa dari UIN
yang mau melakukan
penelitian skripsi disini..
nah izin nih sebelumnya
kalo boleh nanya-nanya..
Oiya UIN ciputat, oke oke boleh..
skripsi emang? Heem skripsi agak
ribet ya? Iya gapapa..
2. Awalnya apasih yang
melatarbelakangi pake zat?
Temen sih, lingkungan.. jadi pertama
kali tuh lagi nongkrongan kan di
pondok indah nah ketemu temen-
temen SMP, jadi SMP gue tuh emang
kaya gitu kan negeri kan SMP ***
nah nongkrongnya emang di belakang
pondok indah, nah awalnya kaya
Cuma minum-minum doing kaya
jamu kaya intisari.. nah pertama tuh
nyobain ganja lagi hallowen party di
daerah cinere di rumah temen terus
kaget rasanya kok kaya gini ternyata
terus pas udah ke dua tiga kali masih
gak suka.. tapi temen tuh suka
namarin, nah belom ada penderian
gitu (oh yaudah lah yantai yantai),
terus pas kelas 3 SMP (ah minum
ngapain ribet kan muntah muntah)
pakelah gue ganja abis itu masuk
SMA kirain kan bener niatnya gue
mau ngambil basket tuh nah gak
taunya kaka kelasnya tuh pada kaya
gitu juga, nah kerjaannya tuh
ngeganja ngeganja yaudah akhirnya
bablas deh tuh.. terus akhirnya
ketauan nyokap.
3. Oh gitu, emang yang
dipake dari awal itu ganja?
Pertama kali sih minum terus abis itu
baru ganja..
4. Nah itu berapa lama pake
ganja?
Make ganjanya? Kalo bener-bener
addictnya sih 3 tahun dari kelas 3
SMP..
5. Nah terus efeknya apasih
dari pake ganja itu, kalo
secara fisik?
Lebih enjoy, seneng, ketawa pokonya
nyantai gitu jadinya pengen makan
terus nafsu makan.
6. Kalo dampak negative
yang dirasin apa nih?
Dampak negatifnya banyak sih, mikir
jadi males.. jadi kaya belajar kalo di
kelas tuh Cuma numpang tidur doang
gitu, kalo guru ngomong masuk
kuping kanan keluar kuping kiri. Jadi
sekolah tujuannya ya ngeganja gitu.
7. Oh jadi makenya
disekolah? Emang
dibolehin? Gak ketauan
apa itu?
Makenya di kantin, gak haha
ketauannya ya ngerokok paling gitu..
gak boleh tapi gimana sih SMA ya
paling ngumpet-ngumpet.
8. Terus bisa masuk kesini
tau dari siapa?
Tau dari om, om dulu pernah disini..
terus tiba-tiba dibawa nyokap kesini
selesai SBM kan.
9. Baru banget dong? Terus
disini udah berapa lama?
Iya baru banget, disini ini mau
menjelang 3 bulan udah 2 bulan 2
minggu..
10. Nah terus adaptasi pertama
disini ada kesulitan gak?
Banget, awalnya sih gak terima
kayanya kesannya gue udah parah
bangat.. gila lu udah masuk rehab
kayanya udah nakal banget sih gue
mikirnya.. tapi pas 2 minggu 3
minggu disini, gue masih gak ngerti
sih sebenernya apasih rehab gak
penting, pelajaran gue udah tau
semua. Tapi lebih mikir aja sih, susah
sih jelasinnya.
10. Terus kegiatan yang udah
dilakuin disini apa aja?
Banyak sih, kalo disini ada yang
namanya sesi.. kaya kita tuh belajar
yang namanya narkoba belajar buat
gimana cara ngindarinnya? Apa
dampak positif negatifnya? Terus kalo
lu lagi suges, jadi lu tuh lebih mikir
lah kalo sugest.. kaya contohnya nih
lagi ujan-ujan sugest lu tuh pengen
makan bakso Cuma tuh gimana
caranya kita ngindarin dulu mungkin
kaya (ah gue beli es krim aja deh).
Main gitar, tidur, ketawa ngobrol-
ngobrol gitu sih..
11. Nah kalo misalkan
program rehabilitasi yang
diberikan Kapeta apa aja?
Banyak, cara perilaku.. terus gimana
sih kenapa menggunakan gitu?
Pokonya banyak deh tentang adiksi
gitu, jadi lebih banyak belajar gitu..
12. Disini kan ada konselor
ya? Itu ketemunya berapa
lama?
Nah kalo konseling disini kaya cerita,
misalkan (gue iya nih gara-gara drugs
gue jadi lemot, gimana sih caranya
biar gak lemot lagi?) dia tuh kaya
ngasih tau gitu, atau gak kan kalo
make narkoba tuh kaya jadi banyak
gitu masalah, duit abis mulu atau gak
kalo lagi gak ada barang lu tuh butuh
banget sampe jual sepatu baju lah
kaya gitu.. konseling tuh sejam cuma
kan udah asik cerita kadang lebih dari
sejam.
13. Terus kalo manfaat yang
didapet setelah melakukan
program ini apa?
Lebih mikir mikir banget, dan
walaupun kita gak berenti tapi kita tuh
lebih mikir gitu gak kaya dulu addict
tiap hari tuh harus kaya gitu.. dan kalo
misalkan kita berenti juga udah
diajarin banget sih tinggal ngikutin
yang udah diajarin aja sih.
14. Perubahan yang udah
didapet setalah 3 bulan
setengah disini apa?
Kalo perubahan negatifnya sih kurang
aktifitas aja sih.. tapi kalo positifnya
banyak banget sih, kepercayaan orang
tua mungkin terus lu tuh lebih mikir
kaya masa sih lu mau gitu-gitu aja.
Terus banyak aktifitas jadinya
olahraga kek, kuliah kek, les apa kek
gitu.
15. Terus kegiatan yang
dilakuin selain di Kapeta
apa?
Oh iya gue tanggal 14 besok udah
mulai kuliah..
16. Kalo harapan setelah
selesai rehab apa?
Banyak banget, kuliah, magang,
pengen buka usaha sih, usaha sepatu
terus hidup sewajarnya aja normal
gitu kaya orang-orang.
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : PPS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 23 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMA/Wiraswasta
Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di ruang tamu
Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara ini pada pukul
14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang dipilih langsung oleh
staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini adalah klien yang sudah berada di
Kapeta baru 3 minggu.
Jakarta, 26 Agustus 2016
Klien
( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Yang melatarbelakangi P
menggunakan zat apa sih
saat itu?
Waktu itu sih, karena faktor tongkrongan
temen-temen deket itu sih.. awalnya sih coba-
coba, terus berapa saat kemudian butuh zat
nagih.
2. Berapa lama tuh make
zat diawal?
Terakhir gua sebulan full setiap hari, awalnya
gua make kelas 2 SMP..
3. Kalo boleh tau jenis apa
tuh yang dipake?
Gua pake shabu sama ganja, yang rutin dipake
pas rutin sebulan itu shabu dan ganjanya udah
gak.
4. Yang dirasakan fisik
setelah memakai zat tuh
apa sih?
Mungkin lebih kerja semangat, kesehatan juga
kaya kebal gak ngerasain rasa sakit.. sama
perasaan seneng.
5. Efek dari ganja sama
shabu tuh beda atau
sama?
Beda, kalo ganja tuh laper bawaannya
pengennya ketawa seneng aja sih lupa sama
semua masalah. Kalo shabu lebih kaya buat
kerja aja sih waktu itu gua buat doping.
6. Terus awalnya bisa
masuk disini tuh gimana?
Gua ditangkep sama polres, gara-gara
dirembetin temen.. jadi gua gak ada sangkut
pautnya sama temen gue tiba-tiba bilang dapet
barang dari gua padahal gak, dari polres ke
BNNK abis itu baru dirujuk kesini. Gua disini
baru 3 minggu.
7. Adaptasi awal sama
orang-orang di Kapeta
gimana?
Kalo awal biasa aja sih, gua karena sakit
diawal vertigo selama satu minggu sempet
dirawat.. setelah bangun ya sok kenal sok deket
aja.
8. Kegiatan rutinnya selama
disini apa?
Ikutin sesi,gua tuh biasanya bangun pagi,
olahraga berenang, sarapan minum obat.
Minum obat tuh rutin setiap pagi.
9. Terus kegiatan selain di
Kapeta apa?
Kalo gua masih belom boleh karena gua masih
baru 3 minggu disini, kalopun mau keluar ya
didampingin sama staff. Diliat
perkembangannya juga.
10. Kalo program rehabilitasi
yang diberikan kapeta
apa aja?
Gua baru sedikit sih program gua, kaya pengen
ketemu orangtua gua. Nanti bilang ke konselor
gua.
11. Nah kalo ketemu
konselor berapa lama
waktunya?
Baru sekali konseling, kalo durasinya sih
waktunya satu jam minimal.. gua sih 8 bulan
pertemuan ya sekitar 3 bulan, ditentuin
konselor itu 2 minggu setelah masuk.
12. Biasanya kalo ketemu
konselor ngapain aja sih?
Ngobrol biasa, sharing.. terbuka juga, ceritain
masalah.
13. Manfaat yang setelah
didapet selama 3 minggu
ini apa?
Mungkin gua berkurang keinginan butuh zat
gua, udah gak mikirin zat lagi, waktu awalnya
masih mikirin shabu gua pengenlah ibaratnya
nagih. Sekerang udah ilang sedikit demi
sedikit.
14. Terus kalo perubahan
yang dirasain sekarang
apa?
Fisik gua lebih baik, kesehatan lebih baik.
15. Kira-kira harapanya apa
nih setelah selesai
program di Kapeta?
Gua lepas dari narkoba itu aja, sama jadi orang
lebih baiklah..
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : AR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 29 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Wiraswasta
Wawancara dilakukan di Yayasan Kapeta tanggal 20 September 2016
pukul 13.00, saat itu klien sedang tidak melakukan aktifitas hanya mengobrol
dengan klien lainnya. Klien sudah 2 kali berada di Yayasan Kapeta untuk
menjalankan rehabilitasi.
Jakarta, 20 September 2016
Klien
( )
NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Awalnya gimana tuh bang
kenapa bisa ngegunain zat?
Awalnya sih dari temen nyoba-
nyoba, pake itu juga karena untuk
pelampiasan dari masalah aja. Dan
awalnya juga gak pake yang
langsung kecanduan gitu secara
bertahap.
2. Terus kalo pakenya itu udah
berapa lama?
Pemakaian on off, gak secara terus-
menerus.
3. Awal pake umur berapa tuh
bang?
Heeem umur 17 tahun.
4. Nah kalo pemakaian yang
sampe terus menerus itu
berapa lama jangka
waktunya?
Waktu itu heem tahun 2010 hampir
satu tahun makenya
5. Jenisnya sendiri yang
dipake apa?
Eeehm ganja, ekstasi, baru nyobain
shabu.
6. Efeknya dari masing-masing
tuh kaya gimana bang?
Kalo ganja tuh bikin ngelayang
karena jenisnya halusinogen jadi
bikin halusinasi, tapi saya gak suka
udah tau rasanya yaudah nah kalo
ekstasi sama dia bikin halusinasi
juga. Kalo shabu itu kan stimulant
gak terlalu banyak halusinasi, jadi
masih bisa aktifitas kalo ngapa-
ngapain juga enak.
7. Dampak negatif yang
dirasain apa?
Males-malesan, males kerja, males
mikir ya maonya yang enak-enak
mulu.
8. Kalo dari secara fisik apa
yang dirasain?
Kalo dampak fisik mah biasanya pas
udah berenti pake, macem-macem
dah timbul asam lambung, asma tapi
kalo lagi maboknya mah gak ada.
9. Awal dateng ke Kapeta itu
kapan? Tahu dari mana
datang kesini
Saya awal dateng tahun 2014, dan
ini yang kedua. Saya tau Kapeta dari
salah satu staff yang emang temen
saya, saya dateng sendiri kesini
10. Kegiatan rutin yang dilakuin
selama disini apa aja?
Banyak, bangun, mandi, sarapan,
olahraga, nonton tv, denger musik.
11. Kalo program
rehabilitasinya yang dikasih
itu apa aja?
Sesi? Banyak sih, sesi pencegahan,
sesi psikoedukasi, manajemen
kesehatan, CBT, 12 langkah,
macem-macem.
12. Terus kalo adaptasinya itu
kaya gimana pas awal
Kalo saya karena pernah ditempat
lain jadi cepet aja, terus kalo sesama
kesini? residen dari tempat ke tempat lain
pasti masih ada yang kenal, jadi
udah gak kaku.
13. Dan dari pihak keluarga
sendiri tanggepannya
gimana?
Semua sih menerima keadaan ini, ya
sejauh ini semuanya baik.
14. Kalo dari segi agama islam
nih bang, menurut abang
yang abang lakuin gimana
nih?
Dosa sih pasti ada, jadi kalo lagi gini
ya belom kapok sampe nanti, kalo
belom sampe puncak ya belom
berenti belom mao juga dateng ke
tempat rehabilitasi.
15. Masalah kesehatan udah
pernah di cek belom bang?
Ngecek sih belom, tapi Cuma asem
lambung aja yang dirasa.
16. Kalo ketemu, konselor tuh
berapa lama terus ngapain
aja?
Waktu intesifnya sih seminggu
sekali, ketemu ya cuma konseling
aja sih.
17. Disini kan ada peksos ya
bang, dia ngapain kalo
disini?
Kalo peksos kan gak punya
pengalaman adiksi ya, jadi dia gak
bisa konseling paling disini dia kaya
ngebantuin bawain sesi. Kalo
masalah klinis mereka gak bisa, kan
emang bukan jurusannya.
18. Manfaat yang udah dirasain
apa bang setelah udah ikut
program?
Banyak sih menunjang pemulihan.
19. Perubahan yang dirasain apa
bang?
Fisik sih membaik, dari sisi
psikologi juga membaik, hubungan
dengan keluarga juga membaik.
20. Harapan abang setelah
selesai program apa nih
bang?
Yaa berguna bagi keluarga,
masyarakat dan agama serta nusa
dan bangsa haha bener kan tuh..
TRANSKIP WAWANCARA
KONSELOR
Nama : Irfan Seiff
Jabatan Konselor : Konselor
Waktu : 14.00 WIB
Hari/Tanggal : Jum’at/9-September-2016
Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta
NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Prosedur penerimaan klien
disini dilakakukan oleh
staff atau konselor pak?
Jadi gini klien tuh dateng ada beberapa cara,
ada yang dateng sendiri, ada yang dateng
diantar keluarga dan ada yang rujukan dengan
bnnk atau lembaga lain misalnya puskesmas
terus ada juga dari penjangkau, jadi selain
disini kita punya tempat juga yang di Abdul
Majid divisi disana tentang HIV biasanya
mereka mengunjungi tempat-tempat yang
pecandu ketika mereka membutuhkan
rehabilitasi mereka mengantarkan kesini..
2. Setelah datang kesini apa
yang dilakukan?
Diawal itu ada yang namanya skrining secara
kasat mata aja dulu, terus ada wawancara
juga terus kemudian ada penjelasan program
dan inform concern.. disitu klien mengisi
biodata, termasuk disitu ada data orang tua,
zat yang digunakan apa nanti keliatan kira-
kira secara fisik bisa gak dia ikutin kegiatan
disini kalo emang bisa diterima..
3. Disini ada kriterianya gak
pak untuk masuk kesini?
kriteria utama disini umur 18 tahun,
mempunyai wali atau orang tua dan bersedia
mengikuti kegiatan disini..
4. Kalo peraturan disini ada
apa aja pak?
Sebenernya peraturan disini banyak, seperti
no drugs, no alkohol, no sex, .
5. Lalu sesi yang dijalankan
disini ada apa aja pak?
Sesi kalo disini ada beberapa pokok bahasan,
secara garis besar ada pembahasan CBT
(cognitive-behavioral therapy) terapi pikiran
dan prilaku, sesi pencegahan kekambuhan,
sesi art class, dan ada juga sesi manajemen
kesehatan.. manajemen kesehatan disitu yang
dibahas masih berhubungan dengan napza
yaa jadi apa dampak buruk terhadap
kesehatan terus bisa kena sakit apa aja,
resikonya tuh apa, terus perilaku apa aja yang
menyebabkan penularan penyakit seperti hiv,
jarum suntik, tato, gunting kuku, sisir, sikat
gigi, terus ada juga pembahasan kewaspadaan
universal. Jadi disini gak boleh tukeran
barang-barang pribadi itu diawal kita kasih
penjelasan.
6. Kalo kesehatan fisik dan
psikis klien disini diawal
pemeriksaan seperti apa?
Kalo fisik yaa mungkin secara kasat mata
kira-kira bisa atau gak ikutin kegiatan sehari-
hari, kalo jiwa kita lihat diajak ngobrol
nyambung apa gak terus kira-kira apa yang
kita sampaikan bisa ditangkep apa gak.
Makanya saat wawancara kita sangat
memperhatikan, dan setiap orang yang
menggunakan zat yang berbeda juga
penangannya berbeda, kalo heroin efeknya
kebalikan waktu dia menggunakan jadi gini
kalo heroin digunakan jarum suntik atau
diatas timah yang dibakar terus dihirup
asapnya, kalo sabu pake bong yang biasa
didenger.. nah efek dari heroin itu orang jadi
santai, agak ngantuk nah kalo udah tidak
menggunakan tuh kebalikannya gak bisa
tidur, gelisah, badan sakit. Tapi kalo pake
sabu kebalikannya nih, kalo abis pake sabu
itu gak tidur, tahan sampe berhari-hari ketika
gak make bisa tidur dan jadi doyan makan.
7. Proses detoksifikasi disini
seperti apa kalo boleh tau
pak?
Yaa pada prinsipnya proses detoksifikasi itu
kan mengeluarkan sisah zat yang ada didalam
tubuh, tapi ada juga untuk menangani gejala
putus zat tadi itu.. jadi istilahnya orang sakau,
orang sakau bisa seminggu, sepuluh hari bisa
juga dua minggu, kalo heroin itu bisa dibantu
dengan obat namanya codein itu emang untuk
membantu ngelewatin masa putus zatnya itu.
Tapi kalo shabu laen lagi, shabu lebih ke
psikologisnya emosi, sensi, sedih, moodnya
naek turun, lebih baper.
8. Lalu kemudian setelah
melawati tahapan awal
untuk masuk kesini,
apakah yang dilakukan
selanjutnya pak?
Assessment biasanya kita dilakukan oleh staff
yang saat itu bertugas, assessment biasanya
ada ASI (addiction severity index) indeks
keparahan adiksi, jadi setelah dilakukan
assessment keluar resumenya kita adain case
conference kita bahas si klien setelah dibahas
keluar rencana rawatan seperti apa baru kita
tentuin konselornya, assessment dilakukan
setelah melakukan putus zatnya.
9. Setelah proses assessment
itu apakah langsung
dilakukan intervensinya
seperti apa?
Iyaa betul, jadi nanti intervensinya disarankan
apakah dilakukan rawat inap atau rawat jalan,
kalo rawat inap itu dikasihnya apa aja..
biasanya saat assessment itu ada masalah
yang dimenjadi prioritas, biasanya sih ada
tiga masalah. Masalah napzanya, masalah
medis sama masalah keluarga nanti dari hasil
itu baru nentui intervensinya apa.
10. Kalo rawat inap tadi
lamanya berapa lama?
Rawat inap sendiri tergantung kondisinya
sendiri, biasanya sih 3 bulan dan dilanjutkan
rawat jalan bergantung sama kondisi
perkembangan dan kebutuhannya kalo
kebutuhannya dilihat lebih lama bisa jadi
lebih lama.
11. Lalu kesepakatan program
dilakukan seperti apa?
Setelah resume jadi dan sudah ditentukan
konselornya, awalnya bertemu dengan klien
itu dijelasin perawatannya seperti apa,
prioritas utamanya apa terus kemudian
rawatannya seperti apa.
12 Terus konseling apa aja
yang dilakukan?
Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke
resume assessment tadi biasanya udah
ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia
nanti dapet stukturnya nanti kita bahas tuh
prioritas-prioritas itu. Misalnya apa aja nih
yang mau kita bahas masalah napza, kita
konseling itu klien center jadi yang
memutuskan klien, tapi kita susun secara
terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi
konseling juga gak ngalor ngidul gitu nah
sesuai rencana rawatannya apa yang mau
dibahas.
13. Kalo program rehabilitasi
mulai dari morning
meeting itu apa aja yang
dibahas?
Yaa pertama itu ada just for today biasanya
ngebacain tulisan yang ada di buku ini yang
dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous), nanti
dibaca oleh satu orang dan yang lainnya
menanggapi.
Morning meeting ini biasanya berkumpul
mereka semua dan ditemani oleh staff yang
bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12
langkah dan langkah-langkah itu harus
mereka jalani dan orang yang mengajari 12
langkah itu harus sudah pernah menjalani
tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum
menjalani 12 langkah itu belum bisa
mengajari klien itu sendiri.
Lalu ada bellu check disitu mereka
mengungkapkan perasaannya di hari itu
seperti apa, apakah baik seperti itu..
Dan ada announcement itu disini adalah
pengumuman, misalnya hari ini saya mau
telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju,
yaa mulai kegiatan hari ini.
Terus community concerns itu kepedulian
komunitas isinya menegur, memberikan
informasi, ucapan terimakasih dan ucapan
penghargaan tapi dengan cara yang baik dan
benar dan berfokus pada masalah tidak
merembet ke yang lain dan terjadi pada hari
itu juga, dan ada juga yang memberikan
motivasi.
Lalu ada awareness itu lebih kewaspadaan,
misalnya gini hati-hati ya lagi musim dbd
tolong bersihin kamar mandi dan tempat
tidur, jangan buang sampah sembarangan.
Kalo house issue itu biasanya berkaitan
dengan isu negative yang ada di rumah secara
keseluruhan. Ini dibangung agar mereka bisa
melihat isu-isu negative yang ada
dilingkungan mereka.
Kalo theme of the day itu kebalikan dari
house issue, misalnya gini hari ini lagi gak
pada semangat nih jadi TOTDnya tetap
semangat ya, tema harian yang akan
dilakukan hari ini.
Dan remarks itu yaa hanya catetan tambahan
aja.
Dilakukan rutin senin sampe jumat, kalo
malem biasanya namanya wrap up itu
dilakukan belly check sama announcement
jadi apa yang dilakukan hari ini saat wrap up
ditarik kesimpulan dari kegiatan yang
seharian udah dilakuin sama klien.
14. Disini kan ada Assertive
grup, itu apa aja sih yang
dilakukan klien pak?
Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan
komunikasi yang terjadi tuh biasanya gak
nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi
misalnya gini saya gak suka nih sama mba
tapi gak saya sampein, jadi saya pendem
padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas
mungkin kekesalan saya akan berkurang
walaupun gak ilang sama sekali tapi kalo itu
gak saya sampaikan nantinya akan cenderung
agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk
menyampaikan unek-unek perasaan tapi
dengan aturan-aturan tertentu, tanpa
menyinggung perasaan seseorang dan itu
diadakan biasanya saat mereka ada masalah.
15. Ada gak sih pak kendala
dan hambatannya dalam
menjalankan tugas sebagai
konselor?
Karena disini setiap orang berbeda, unik jadi
kita disini dituntut kreatif nih disini dengan
latar belakang berbeda, pendidikan yang
berbeda, dan dari keluarga yang berbeda kita
disini saat memfasilitasi mereka itu beragam
banget caranya.
Kalo dari dalam sendiri, kadang-kadang kita
sendiri ada masalah diluar tapi saat disini kita
harus fokus nih gak boleh membawa masalah
luar kesini, jadi makanya kita dituntut
mengesampingkan masalah yang lain.
16. Harapan bapak terhadap
klien saat selesai program
inginya kaya gimana nih
pak?
Apapun yang terjadi, meskipun keluar disini
ada jatuh bangun paling tidak dia tahu harus
berbuat apa.. saya tidak pernah
menggantungkan harapan kepada dia, yang
penting dia tahu harus berbuat apa.
17. Kalo hasil dari rehabilitasi
mereka ini seperti apa?
Secara garis besar sih yang dibilang berhasil
mereka sudah tidak menggunakan zat
kembali, terus yang kedua meskipun nantinya
mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi
mereka tahu harus ngapain.. kalo toh mereka
menggunakan kembali, mereka sudah tahu
menggunakan yang tidak terpapar penyakit
yang menular. Tapi kalo tujuan utama itu sih
memang abstinen, sudah tidak lagi
menggunakan.
18. Terus kapeta sendiri untuk
mengetahui mereka sudah
tidak lagi menggunakan
gimana caranya pak?
Yaa kita tetap menghubungi mereka, itu ada
di after care dan kapan-kapan kita bisa
menghubungi mereka.
19. Lalu saat after care itu
sendiri dilakukannya kaya
gimana pak?
Biasanya sih mereka tetep mengikuti kegiatan
yang sudah dijadwalkan, dan tetap ada
kontak.
TRANSKIP WAWANCARA
KONSELOR
Nama : Gidien Ryaan
Jabatan Konselor : Konselor/Staff klinis
Waktu : 15.40 WIB
Hari/Tanggal : Jum’at/9-September-2016
Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta
NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Static group disini dilakukan
seperti apa ya pak?
Static group itu lebih pendekatan ke terapi
kelompok tetapi memang kelompoknya itu
lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor
yang sama, jadi kelompok ini memiliki
konselor yang sama paling banyak
anggotanya 4 orang. Di grup ini karena
rekan sebaya dan karena memang tujuannya
untuk diskusi supaya input dan satu sama
lain saling memberikan, rekan sebaya disini
adalah karena satu permasalahan dan satu
tujuan untuk pulih.
2. Lalu yang dibahas saat statik
group itu apa sih biasanya
pak?
Jadi yang dibahas itu biasanya tema
besarnya datang dari konselor, atau bisa kita
lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak
tentang kepulihan, selain kepulihan disini
juga bisa tentang yang lain setelah mereka
selesai rehabilitasi. Diskusi disini
didampingi oleh konselor dan konselor
sendiri itu sebagai fasilitator.
3. Selanjutnya ada program
personal time, apa sih yang
dimaksud personal time ini
pak?
Kalo personal time itu adalah waktu mereka
melakukan kewajiban-kewajiban pribadi
mereka, baik dari merapihkan tempat tidur,
kamar, baju dan sebagainya.
4. Bagaimana dengan program
family day?
Kalo family day ini berbeda dengan jenguk,
kalo jenguk itu visit.. jadi kalo family ini,
berbentuk kegiatan kita tunjukan untuk
keluarga, klien, juga kita sebagai pemberi
pelayan tujuannya untuk mempererat kita
satu sama lain sebagai kelompok dukungan
jadi peran keluarga juga penting, saat
berkumpul ada materi yang kita berikan
sebagai edukasi, apa itu adiksi, bagaimana
cara mengatasinya.. waktunya itu sendiri
biasanya setelah lebaran atau sebelum puasa
yang sudah pasti.
5. Lalu kemudian ada proses
assessment, apa saja yang
dilakukan saat melakukan
assessment?
Assessment ada beberapa yang kita lakukan,
tujuannya itu juga untuk mendiaknosa,
apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya
untuk mendiaknosa. Seperti adiksi seferity
index (ASI) ini adalah standar internasional,
untuk mengetahui tingkat keparahan
menggunakannya dan permasalahan apa
saja yang menyerta, biasanya kan jika
menggunakan zat itu ada masalah yang
menyerta lainnya seperti dari medis,
keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita
memberikan terapi. Dan juga ada
assessment yang lain, seperti bunuh diri jadi
untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri
jadi disini kita bisa mengantisipasi disini.
Supaya kita punya dasar untuk memberikan
terapi, makanya dibutuhkan assessment.
6. Konseling individu ini
dilakukan dengan siapa yak
pak? Lalu saat konseling itu
apa saja yang dilakukan?
Konseling disini dilakukan klien dengan
konselornya, konseling individu ini
dilakukan berbeda-beda karena setiap klien
berbeda bentuk terapinya bisa berbeda-beda
makanya topiknya juga berbeda karena
setiap orang punya masalah yang gak sama
kan.. jadi konseling individu itu kita
sesuaikan dengan permasalah klien yang
sudah kita ketahui melalui assessment biar
berkesinambungan konteknya gak keluar
dari permasalahannya biasanya dari
permasalahan dari penggunaanya terus
mungkin ada permasalahan, faktor pemicu
kenapa dia menggunakan, atau pola
penggunaannya atau strategi mencegah
penggunaan, strategi mencegah
kekambuhan atau bisa juga tentang dampak-
dampaknya. Lebih banyak itu kita lihat
masalah penggunaannya dulu, bisa juga
masalah keluarga tapi kita hanya bisa
mendengarkan.
7. Kemudian setalah
assessment, intervensi seperti
apa yang diberikan? Apakah
klien diikut sertakan?
Iya sudah pasti klien ikut serta, kita
merancang intervensi bersama klien karena
klien harus tau mengapa intervensi tersebut
diberikan sama dia dan setelah mengetahui
masalahnya dari assessment kita
merekomendasikan intervensinya klien juga
lebih tau kenapa dapet bantuannya seperti
ini, karena memang permasalahannya
seperti ini.
8. Yang dimaksud family
support group itu apa ya
pak?
Kalo family support group ini yang kita
ketahui masalah adiksi ini harus ditangani
secara komperhensif, jadi pendekatannya
bukan hanya dari kita aja nih pemberi
layanan tapi perlu adanya dukungan
keluarga, dukungan sosial yang baik juga
berperan juga. Jadi ini adalah kelompok
dukungan keluarga, jadi bukan hanya
masalah dari klien saja makanya keluarga
itu terpengaruh akibat adanya anggota
keluarga ada yang menggunakan baik secara
psikologis, emosional bahkan sampe peran
dikeluarga bisa jadi berantakan menjadi
malfunction. Selain mereka lebih paham
masalah adiksi, tentunya mereka perlu
dukungan sesame keluarga dengan keluarga
sesama untuk membantu mereka, kalo klien
punya kelompok dukungan juga maka
keluarga juga perlu kelompok dukungannya.
Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap
hari selasa atau rabu kita bekerja sama
dengan yayasan keluarga pengasih
Indonesia, jadi yang dilakukan tidak hanya
sharing dan menggunakan praktisi juga
untuk jadi pembicara.
9. Selanjutnya program self helf
group itu bagaimana pak?
Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok
dukungan yang ditujukan untuk klien, jadi
orang-orang yang sudah pulih untuk
menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok
dukungan untuk bantu diri dari situlah
mereka ada untuk membantu satu sama lain
nah jadi untuk masalah adiksi ini maka
perlu dirawat supaya gak kambuh maka
perlu adanya kelompok dukungan namanya
kelompok bantu diri itu fungsinya untuk
mengingatkan, berbagi pengalaman
bagaimana mengatasi masalah-masalah
setelah selesai dari rehab nah sudah diluar
tantangannya banyak misalnya gak gampak
cari kerja bosenlah, makanya butuh
kelompok ini. Salah satunya adalah
kelompok Narcotic Anonymous.
10. Apakah materi-materi yang
ada dalam program harus
semua diikuti oleh klien?
Itu semua tergantung, jadi kita liat dulu dia
klien rawat jalan atau rawat inap. Jadi
terapi-terapi itu terjadwal dan diharapkan
memang klien untuk mengikuti terapi
kelompok ini seperti 12 langkah, cbt,
pencegahan kekambuhan, art therapy dll.
11. Lalu terapi-terapi yang ada
disini diberikannya seperti
apa?
Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang
sifatnya edukatif dan ada yang
mengembangkan keterampilan mereka
supaya mereka tidak kambuh, misalnya
bagaimana caranya menghadapi rasa
menagih, bagaimana caranya melakukan
strategi penolakan, dan mengidentifikasi
rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff
kita disini.
Kelompok psikoedukasi, materinya tentang
adiksi atau bahaya dari adiksi.
Kelompok terapi life skill, meningkatkan
keterampilan mereka kaya manajemen
waktu, rasa marah, stress, bagaimana
melakukan perencanaan, berkomunikasi
dengan baik.
Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang
memang berkaitan langsung dengan seni
yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang
sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan
dua-duanya, kalo terapi seni itu kita yang
mengadakan dan yang rekreasional itu
dipilih oleh mereka dan kita didiskusikan.
12. Terapi seni itu kegiatannya
apa pak?
Kalo itu ada yang namanya art feeling itu
jenis terapi seni yang menggunakan
medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu
baik dari segi warna gambar itu bisa kita
evaluasi jadi bisa lebih tau ada
permasalahan apa untuk kedepannya bisa
dibantu.
13. Untuk mengetahui itu
bagaimana cara melihatnya?
Kita panggil ahli yang mengerti tentang itu,
yang jelas dari pemilihan warna, bentuk,
dan tebal tipisnya arsiran gambar.
14. Apakah ada kendala dan
hambatan selama menjadi
konselor?
Yaa gimana ya, kalo kendala dan hambatan
ya pasti ada tapi ya memang harus
dihadepin.
15. Lalu apa sih tujuan dari
kapeta sendiri dalam
rehabilitasi?
Ya tujuannya pasti mereka sudah tidak
menggunakan lagi, total abstinens.. tidak
menggunakan zat dan alkohol apapun itu.
16. Dan apa harapan bapak
sebagai konselor terhadap
klien?
Ya saya gak menuntut dia apa-apa, yang
penting bisa pulih aja. Kalo udah pulih kan
terserah deh tuh dia bisa ngapain aja, bisa
ngembangin bakat dia jalanin hobi dia.
17. Kemudian hasil yang
diperoleh setelah rehabilitasi
apa pak?
Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan
assessment lanjutan dan itu menjadi bahan
evaluasi.. dan memakai assessment ASI,
nah dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa,
Apakah sudah meningkat atau belom,
walaupun udah pulih tapi masih ada yang
harus diperbaikin kita kasih tau ke klien.
Karena kalo udah diluar ya itu jadi tanggung
jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi
lagi.
TRANSKIP WAWANCARA
PEKERJA SOSIAL
Nama : Siti Jumartina
Jabatan Konselor : Pekerja Sosial
Waktu : 15.00 WIB
Hari/Tanggal :26 Agustus 2016
Tempat : Ruang Tamu Yayasan Kapeta
1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi?
2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi?
3. Proses apakah yang dilakukan peksos untuk mengetahui permasalahan
klien memakai adiksi?
4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien?
5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien?
6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat?
7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien?
8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi?
9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali
ke lingkungan mereka?
10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi?
11. Saat melakukan bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos
mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?
NO. PERTANYAAN JAWABAN
1. Pendekatan awal yang
dilakukan dengan klien kaya
gimana?
Biasanya sih kita ya small talk, ngobrol
biasa aja, terus penjalinan relasinya itu
sharing aja dulu.. mereka sih kadang
cerita sendiri aja.
2. Terus untuk pendekatan awal
rehabilitasi seperti apa?
Yaa kita kan di awal ada assessment
sama skrining nanti mereka dikasih tau
apa aja program rehabilitasi, nanti
mereka langsung ke konselor yang sudah
ditentukan tapi di awal sih mereka
ketemu sama staff yang bertugas dulu
sebelum konselornya ditentuin.
3. Bagaimana sih cara peksos
mengetahui permasalahan
klien?
Kita disini bikin kaya genogram, ecomap
kaya gitu nah nanti kalo ada masalah
yang kita ketemuin dari saat assessment
itu ya setelah kita tau kita langsung lapor
ke konselornya masing-masing.
4. Bagaimana rencana awal
program dibuat?
Biasanya udah direncanain sama
konselornya, jadi peksos disini
membantu untuk pelayanan program.
Bentuknya itu kaya menjadi mediator,
membuat ecomap sama genogram tadi,
jadi masalahnya bisa lebih keliatan
mungkin bisa jadi permasalahannya tidak
hanya dari satu sumber aja bisa jadi ada
sumber penyebab yang lain.
5. Lalu cara pemecahan
masalahnya itu bagaimana?
Ya itu dilakukan klien dengan konselor
juga, tapi biasanya setelah kita kasih
kaya ecomap sama genogram tadi ke
konselor, terus kita diskusiin aja gimana
ya baiknya jalan keluarnya apa, karena
kan aku disini peksos baru jadi kalo
untuk memutuskan sendiri masih ragu.
6. Apa klien diikut sertakan
dalam perencanaan pemutusan
masalah itu?
iya klien ikut ambil keputusan, jadi
dibikin kesepakatan.. misalkan klien
maunya kaya gini, dirancang bareng-
bareng tapi hasilnya harus begini jangan
sampe melenceng dari yang udah dibikin.
7. Jika ada hambatan dalam
perencanaan program, apa
yang dilakukan oleh peksos?
Peksos disini sih gak terlalu banyak ikut
campur ya, jadi disini yang lebih tau
memang konselor. Disini kita ya
memang membantu aja.
8. Terus kegiatan yang dibuat
untuk klien agar mampu
kembali ke masyrakat
Nah kita disini kaya kasih business pass
sama home leave, jadi biar mereka tuh
terbiasa di luar, gimana ngejalin
bentuknya kaya gimana? komunikasi di luar biar gak kaku.
Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka
rutin dari pagi sampe malem setiap hari
kaya gitu, berbeda saat mereka diluar.
Nanti pas mereka udah balik kesini kita
review, apa aja yang dilakuin selama
diluar itu.. melatih mereka juga agar
mereka mandiri
9. Lalu apakah disini diberikan
pelatihan-pelatihan untuk
klien?
Kalo disini sendiri, berbeda dengan panti
atau lembaga yang memang biasanya
pelatihan sudah disediakan kaya las,
salon dll, disini balik lagi ke klien
masing-masing minat mereka dimana
kalo mereka pengen muaytai ya kita coba
untuk memfasilitasi mereka. Contohnya
kaya kemaren, ada yang bakat melukis
jadi kita memfasilitasi panggil guru lukis
dan ada juga kegiatan kemarin
menyablon. Jadi kalo disini itu tidak
terpaku dengan program pelatihan yang
seperti di panti yang memang sudah
disediakan, kalo disini sesuai kebutuhan
mereka aja tapi dengan kesepakatan yang
mereka buat dengan konselor.
10. Nanti setelah mereka selesai,
saat terminasi itu apakah ada
surat atau apa yang didapat?
Setelah mereka selesai dari program
rawat inap dan rawat jalan serta after
care, nanti mereka mendapatkan
sertifikat telah selesai melakukan
rehabilitasi.
11. Terus after care disini seperti
apa?
Jadi after care disini, ya paling
komunikasi lagi sama konselor..
misalnya mereka ada keinginan untuk
pake lagi atau mereka lagi galau, nanti
mereka cerita ke konselornya.
DOKUMENTASI
Sesi yang dibawakan oleh Pekerja Sosial Terapi Psikoedukasi yang dibawakan oleh
Staff
mengenai Pencegahan Kekambuhan
Terapi Pencegahan kekambuhan Ruang Tamu atau Ruang Kunjungan
Saturday Night Activity Yoga dan Relaksasi
Ruang Makan Dapur Bersih
Tempat klien mencuci pakaian Dapur Kotor untuk memasak
Musholah Kolam Renang dihalaman belakang
Ruang Sesi Kamar Klien
Ruang tengah untuk berkumpul dan juga bisa digunakan untuk sesi.
Kamar Staff Kantor