Refreshing Tumor Kolon
-
Upload
winda-fricilia-oktarina -
Category
Documents
-
view
60 -
download
5
description
Transcript of Refreshing Tumor Kolon
REFRESHING TUMOR KOLON
STASE ILMU BEDAH
RSUD CIANJUR
DISUSUN OLEH
LUCKY MIFTAH SAVIRO
2007730076
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
pada penulis sehingga mampu menyelesaikan refreshing ini tepat pada waktunya. Shalawat
serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Refreshing ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas kepaniteraan stase ilmu bedah
serta penyusun berharap pembaca bisa mengetahui serta memahami lebih dalam tentang
pembahasan penyusun yaitu tentang dasar-dasar ilmu kedokteran (preklinik) yang berkaitan
dengan kanker kolon.
Penyusun mengakui masih banyak terdapat kesalahan di dalam pembuatan refreshing
ini sehingga refreshing ini masih belum sempurna. Penyusun harapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk menambah kesempurnaan laporan ini.
Terimakasih penulis ucapkan pada pembimbing, dr. Asep Tajul, Sp. B yang telah
membantu penyusun hingga penyusun dapat menyelesaikan pembuatan refreshing serta
membantu dalam kelancaran pembuatan refreshing. Terimakasih juga pada semua pihak yang
telah membantu penyusun dalam mencari informasi dan mengumpulkan data guna
kelengkapan isi refreshing.
Penyusun berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya
serta bagi pembaca pada umumnya
Jakarta, Juni 2011
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling umum ditemukan
pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari 52.000 pasien
meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh kedua
pada penyakit kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi
rata antara pria dan wanita dan tetap berada pada angka yang konstan selama 20 tahun
terakhir. Deteksi dini dengan pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir
dianggap dapat membantu untuk mortalitas kanker kolorektal dalam beberapa tahun
terakhir.
Dalam bebera tahun terakhir, para peneliti menemukan penemuan genetik yang
membantu untuk diagnosis, skrining, dan pencegahan sehingga dapat menekan angka
insidensi dan mortalitas kanker kolorektal.1
2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan refreshing ini adalah untu memenuhi tugas kepaniteraan klinik stase
bedah RSUD Cianjur dan menambah wawasan tentang karsinoma kolon.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Embriologi dan Anatomi 1,2
a. Embriologi
Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat masa
gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi tiga
segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan membentuk
kolon, rektum, dan anus.
Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon transversum
proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika superior. Saat minggu
ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar kavitas abdomen, dan berputar
270° berlawanan arah jarum jam disekitar arteri mesenterika superior dan akhirnya
akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di dalam kavitas abdomen pada minggu
kesepuluh masa gestasi.
Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon desenden,
rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari arteri mesenterika
inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal hindgut (kloaka)
terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan rektum.
Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai
darah dari arteri pudenda interna.
4
Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F)
pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut.
Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada
minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan
traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed.
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)
b. Anatomi
Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara anatomis,
dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon dan rektum
terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot longitudinal
luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi menjadi tiga
taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal dan rektum pada
bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling menggabung
sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas masa gestasi.
Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh serosa; sedangkan
bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.
c. Posisi Kolon
Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
5
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 – 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan terhadap
perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian posterior
menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan anteriornya merupakan
bagian dari struktur intraperitoneal. “White line of Toldt” merupakan gabungan antara
mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang halus ini membuat pembedah
sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan mesenterium dari retroperitoneum.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon asenden
(panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon transversum
intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum gastrokolika
dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung anterior/superior
kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti segitiga pada
kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika
dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang
akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya
menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang
yang bervariasi (15 – 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun
mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri
bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah.
Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan
mengapa penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat
mempunyai gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada
kolon sigmoid membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.
d. Suplai Vaskular Kolon
Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 2). Singkatnya,
arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika (sebanyak 20%
populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke ileus terminalis dan
kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai darah ke kolon
asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon tranversum. Arteri
mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang
6
menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon
sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal.
Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon
mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior berjalan
naik pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan posterior ke
pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi, vena ini di
gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas. Drainase vena
pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika superior yang
begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta. Kolon transversum
distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum terdrainase oleh
vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena splenika.
.
Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]:
Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality Medical
Publishing, 1999, p 30)
Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase lmimfatik
bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa. Pembuluh limfa dan
limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang ada. Limfonodus
7
epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika. Nodus yang berdekatan
pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus intermediet terletak pada
cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer rerletak pada arteri
mesenterika superior atau inferior.
Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th ed.
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)
e. Suplai Saraf Kolon
Kolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis
(eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis
muncul dari T6 – T12 dan preganglion lumbal splanchnikus L1 – L3. Inervasi
parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus vagus
dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri bermulai dari
nervi erigentes S2 – S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung dengan nervus
postganglion simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis. Serat-serat saraf ini,
melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi prostat, uretra, vesika
semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar panggul. Diseksi rektal dapat mengganggu
pleksus pelvis dan subdivisinya, menyebabkan disfungsi neurogenik vesika urinaria
dan seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat dan tipe disfungsi tergantung pada derajat
keparahan cedera neurologinya. Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai
8
nervus hipogastrium menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai
ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan
parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria.
2. Fisiologi Kolon 1,2
Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan
dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni
flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.
a. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampu
oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien,
dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk
cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi
oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan energi terlalu
banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora normal yang ada.
Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011 sampai
1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri anaerob dengan
spesies yang terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012 organisme/mL).
Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang paling banyak 108 sampai 1010
organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein
serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin, asam empedu, estrogen, dan
kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah
bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat
menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan dapat
menyebabkan sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi
kolektomi.
b. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan
sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri
pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum
adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan kembali urea nitrogen
yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain barrier dan menyebabkan
gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma hepatik.
9
c. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 – 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat
akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia
tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk
memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh
inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya
absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus
terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika
absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi
asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium
dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris
dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih
permanen reseksi ileus ekstensif.
d. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum.
Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai
segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri
merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon
diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai kolon melalui
nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai kolon akan
membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika (Auerbach),
submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan,
gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi
dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus
10
terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi
globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic, merupakan gabungan
antara gerakan retropulsif dan tonis.
3. Insidens 1
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling umum
ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari
52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi
pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009).
Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap berada pada angka yang konstan
selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan pengembangan peralatan kedokteran yang
mutakhir dianggap dapat membantu untuk mortalitas kanker kolorektal dala beberapa
tahun terakhir.
4. Epidemiologi (Faktor Risiko) 3
Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar merupakan hal
yang penting untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan
faktor risiko.
a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan insidens
yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini dijadikan
dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala yang
asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia, maka jika ada
gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan rektum, melena, anemia tanpa
sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka diperlukan pemeriksaan yang
lebih mendetail.
b. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat keluarga
yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang lebih luas
terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini. Karena
pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh
pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga yang
dulunya terkena kanker kolorektal.
c. Faktor Diet dan Lingkungan
11
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan
faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat
sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker. Diet
yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid meningkatkan
risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun,
minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Pada penelitian
dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung terhadap mukosa
kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna. Sebaliknya, diet
yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium, selenium,
vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker
kolorektal. Studi ini menjadi dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker
kolorektal dengan cara mengatur diet dan gaya hidup. (Janne PA, 2000 dan Calle EE,
2003).
d. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena kanker
kolorektal (Eaden JA, 2001). Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kornis
akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna dan
hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif pankolitis,
risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun,
dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah sinistra tanpa alasan yang jelas
mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya, pasien dengan kolitis
direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan biopsy mukosa acak 8 tahun
setelah terdiagnosis pankolitis dan 12 – 15 tahun kemudian pada pasien dengan
pankolitis sinistra.
e. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika merokok
lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai peningkatan
faktor risiko adenoma maupun karsinoma (Woodhouse CR, 2002). Akromegali,
dimana terjadi peningkatan growth hormone dan insulin-like growth factor I, juga
menambah faktor risiko.
12
5. Patogenesis 1,3
a. Defek Genetik
Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek genetik
dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan perkembangan
adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan aktivasi onkogen (K-
ras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC (deleted in colorectal
carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan berkembang dari polip adenoma
dengan akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).
Gambar 4. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal. (Sumber: Ivanovich JL, Read TE,
Ciske DJ, et al: A practical approach to familial and hereditary colorectal cancer. Am J Med 107:68-77,
1999).
Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali ditemukan pada
pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan menyelidiki
keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi. APC gen
terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya ditemukan
pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan disekitarnya. Hal ini
menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik. Karena APC adalah gen
penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat menghilangkan aktifitas
penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh pembentukan kodon stop
yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang terpotong. Pada FAP, tempat
mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit. Contohnya, mutasi pada ujung
lengan 3’ atau 5’ menyebabkan pembentukan bentuk FAP yang lemah, sedangkan
13
pusat mutasi pada gen memperparah penyakit. Sehingga, pengetahuan tentang mutasi
spesifik pada keluarga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan
keputusan klinis.
Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi pada APC
akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetik yang akhirnya
menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH). Mutasi tambahan
pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya tumor-suppressor gene
DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen karena mutasi hanya pada satu alel saja
dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras merupakan produk protein G yang ikut
dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-ras yang aktif berikatan dengan guanosin
triphosphate (GTP); terjadi hidrolisis GTP menjadi guanine diphosphate (GDP)
sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi pada K-ras akan menyebabkan
ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP, sehingga protein G akan terus tetap
aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang menyebabkan pembelahan sel yang tidak
terkontrol.
Gen Kromosom Kelas Gen Fungsi Keterangan
Adenomatous
Polyposis Coli
(APC)
5q Tumor suppressor Adhesi dan
komuikasi
interseluler
Mutasi pada FAP,
Gardner’s dan
Turcot’s
syndrome.
Deleted in
Colorectal
Carcinoma (DCC)
18q Onkogen Interaksi dan
adhesi sel
Pertumbuhan
tumor, invasi, dan
metastasis
P53 17p Tumor suppressor Transkripsi faktor
untuk gen yang
mencegah
pertumbuhan
tumor
>50% kanker
kolon mempunyai
mutasi p53
K-ras 12p Onkogen Transduksi signal 50% kanker kolon
mempunyai
aktivitas K-ras
hMSH2, hMLH1,
hPMS1, hPMS2
2p Mismatch repair Memperbaiki
kesalahan
replikasi DNA
HNPCC
14
Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of colorectal
cancer: a clinician’s view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua alelnya akan
mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC berhubungan dengan
adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin penting untuk mencegah
pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis (Jeffrey A., 2000). Fungsi utamanya
nampaknya terletak pada system saraf sentral, yang berfungsi dalam migrasi dan
diferensiasi akson. Observasi tersebut menimbulkan hipotesis bahwa DCC mungkin
terlibat dalam adhesi dan diferensiasi kanker kolorektal, namun teori ini masih belum
di buktikan (53). Mutasi pada DCC terlihat pada 70% kasus dan mungkin bisa
berdampak negatif pada prognosis.
Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan. Protein p53
nampaknya menjadi fakor determinan yang paling penting dalam tomorigenesisi
kolorektal. Kebanyakan gen yang teraktifasi oleh P53 dimungkinkan dapat mencegah
pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi P53 akan menimbulkan pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol. Mutasi pada P53 dapat ditemukan pada setengah kanker manusia,
membuat gen ini menjadi jalur pusat biokimia dalam keganasan manusia.
15
Jalur LOH sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinician’s view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
b. Jalur Genetik
Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur Lost of
Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan dengan
delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah gen yang
terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul dari mutasi
pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang dicirikan dengan
kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada replikasi DNA.
Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA RER, yaitu hMSH2,
hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya pada salah satu gen ini,
cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat timbul pada proto-onkogen
atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat terus meningkatnya kesalahan
eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit (pertumbuhan sel kanker ditempat
lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika telah terbentuk mikrosatelit yang
16
Mutasi gen APC atau hilangnya kromosom 5q (mutasi didapat pada sindroma poliposis adenomatosa)
Hiperproliferasi sel kripta dan proliferasi klonal sel batang yang menyebabkan timbulnya adenoma kecil
Aktivasi onkogen K-ras dalam adenoma kecil dan proliferasi penggandaan sel yang bermutasi
Adenoma intermediet
Hilangnya DCC, sehingga terjadi proliferasi dengan alterasi genetik multipel
Adenoma tingkat akhir dengan displasia
Hilangnya p53 atau mutasi sehingga terjadi proiferasi maligna
Karsinoma invasif
tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi mikrometastasis di tempat lain akibat
struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah lepas.
Jalur RER sampai ke perkembangan kanker kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinician’s view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
17
Mutasi atau mismatch pada gen-gen yang bertugas memperbaiki kerusakan gen
Akumulasi mutasi somatik di dalam mikrosatelit
Gangguan fungsi mikrosatelit
Gangguan fungsi gen yang mengandung atau diregulasi oleh mikosatelit (Gen reseptor TGR-Beta tipe-II)
Akumulasi perubahan-perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan dengan karsinoma
Sekuens adenoma-karsinoma(umumnya tidak melibatkan APC, MCC, K-ras, DCC, p53)
Faktor-faktor molekular yang berhubungan dengan perkembangan keganasan kolorektal. “Faktor
Genetik” muncul pada saat lahir yang menginisiasi karsinogenesis atau dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang menyebabkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. (Sumber: Allen Jl. Molecular
Biology of colorectal cancer: a clinician’s view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)
6. Manifestasi Klinis 3
Presentai timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori umum: onset
gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau perforasi akut. Presentasi
yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis yang asimtomatis (77 – 92%), diikuti
oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi dengan peritonitis local atau difus (2 – 7%).
18
Faktor Genetik Faktor lingkungan Field effect
Mutasi Inisial
Meningkatnya kecepatan mutasi
Mutasi (inaktifasi)
kedua
Gen APC
Jalur LOH
Mutasi so
matik atau
hilangnya
alel K-ras, DCC,
p53
Pertumbuhan klonal
Karsinoma
Metastasis
Gen MMR
Jalur RER
Instabilitas mikrosatelit (TGF-
beta,
dan lainnya
)
a. Gejala
Perdarahan pada anus merupakan gejala yang paling umum pada keganasan
kolorektal. Namun, pasien dan dokter lebih cenderung berpikir bahwa perdarahan
pada anus diakibatkan oleh hemoroid. Perdarahan dapat terjadi secara samar tau dapat
terlihat feses yang berwana hitam, merah marun, ungu hitam, atau merah segar
tergantung pada lokasi keganasan. Perdarahan samar dapat mempunyai gejala anemia
defisiensi besi dan kelelahan.
Perubahan buang air besar merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada
urutan kedua, dengan pasien yang mengeluh konstipasi atau diare. Konstipasi bisa
terjadi pada keganasan yang terletak pada kolon sebelah kiri karena diameter kolon
sinsitra lebih kecil dan feses lebih padat ketika mencapai kolon di sebelah kiri
daripada di sebelah kanan. Pasien juga mengeluh perubahan yang bertahap pada
bentuk feses. Karsinoma pada kolon dextra umumnya tidak ditemukan perubahan
buang air besar, namun banyaknya jumlah mukus yang dihasilkan oleh tumor dapat
menyebabkan diare, namun jika keganasannya terletak di katup ileosekal dapat
menyebabkan obstruksi.
Nyeri abdomen juga sering ditemukan sebagaimana pasien mengeluh perubahan
buang air besar. Obstruksi pada kolon sinistra dapat menimbulkan gejala nyeri perut,
juga nausea dan vomitus, dan mereda dengan gerakan usus. Keganasan pada kolon
dextra dapat berupa nyeri perut yang sulit dilokalisasikan. Gejala umum lain yang
jarang ditemukan adalah kelelahan, penurunan berat badan, demam, massa pada
abdomen, dan gejala-gejala tambahan pada traktus urinarius (frekuensi, penumaturia,
dan fekaluria). Jika ditemukan bakteremia dengan Streptococcus bovis berarti sugestif
tinggi adanya keganasan kolorektal.
b. Tanda
Obsrtruksi intestinal akut merupakan tanda yang ditemukan pada 15% dari 23.500
penderita. Pada pemeriksaan fisik, mungkin agak sulit ditemukan adanya massa pada
abdomen karena usus yang terdistensi, baik keganasan primer maupun metastasis.
Timpani, asites, dan distensi mungkin bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik
abdomen. Rectal toucher hanya jarang dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi,
namun jarang ditemukan. Keganasan kolorektal harus selalu dicurigai pada pasien
dengan keluhan obstruksi kolon. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan radiologi
abdomen sederhana dapat menunjang diagnosis. Pemeriksaan tambahan lain untuk
19
konfirmasi diagnosis lain adalah barium enema, endoskopi rigid atau flexible, atau
CT-scan abdomen atau pelvis.
Perforasi merupakan tanda umum ketiga yang sering ditemukan pada keganasan
kolorektal. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokalis atau difus, dan mampu
menimbulkan fistula pada organ terdekat seperti vesika urinaria. Jika perforasi
muncul ke proksimal dari obstruksi, dan juga perforasi pada sekum yang terdilatasi
proksimal dari karsinoma sigmoid, pasien akan mengeluh peritonitis difus dan sepsis
sehingga hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya bedah emergensi.
c. Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan
dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap
invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak
menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya
linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM
(tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American College of Surgeon’s
Commission on Cancer.
Stadium Kedalaman Status Limfonodus Metastasis Jauh
Stadium 1 T1, T2 N0 M0
Stadium 2 T3, T4 N0 M0
Stadium 3 Seluruh T Setiap N (Kecuali N0) M0
Stadium 4 Seluruh T Setiap N M1
TX tumor primer, tidak dapat dinilai
T0 tidak ada bukti adanya tumor primer
Tis carcinoma in situ
T1 tumor menginvasi ke submukosa
T2 tumor menginvasi muskularis propria
T3 tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika atau
ke perirektal
T4a perforasi tumor ke peritoneum visceral
T4b tumor langsung menginvasi langsung struktur lain
NX limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0 tidak ada limfonodus regional yang terkena
N1 mengenai 1-3 limfonodus perirektal atau perikolik
N2 lebih dari 4 limfonodus perirektal atau perikolik terkena
N3 limfonodus regional beserta pembuluh darah besar
20
MX adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 tidak ada metastasis jauh
M1 metastasis jauh
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and
Business Media LLC, www.springerlink.com).
7. Temuan Laboratorium 3
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya anemia.
Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah terjadi metastasis ke
hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga akan ikut meningkat, namun
jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan ikut meningkat.
8. Imaging Studies 1,3
a. Kolonoskopi
Dengan pemeriksaan kolonoskopi, dokter mampu menilai ukuran tumor, namun tidak
dengan kedalaman invasi tumor, dan juga lokalisasi kolon. Periksaan kolonoskopi
bersifat sangat sensitif untuk mendeteksi bahkan polip yang kecil sekalipun (<1 cm)
dan mampu mulakukan biopsi, polipektomi, dan kontrol perdarahan. Namun,
kolonoskopi membutuhkan persiapan khusus (pasien diperintahkan untuk puasa
sebelum dilakukan kolonoskopi) dan adanya ketidak nyamanan pada saat
pemeriksaan sehingga terkadang harus di anestesi terlebih dahulu. Hal inilah yang
membuat pemeriksaan ini menjadi mahal. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
perdarahan dan perforasi, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (0,2 – 0,3%).
b. Evaluasi Radiologi
Foto roentgen dada dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya lesi
pulmoner sekaligus untuk menentukan status paru dan jantung. CT-scan abdomen
dilakukan selektif jika ada pasien dengan hasil SGOT/SGPT yang abnormal, yang
dimana kemungkinan telah terjadi metastasis.
21
9. Pendekatan Diagnosis 4
Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon.4
10. Diagnosis Banding
a. Ca. rekti 5
Gejala yang umum ditemukan pada ca. rekti mirip dengan kanker kolon, yaitu:
perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti buang air besar
yang tidak lampias, ada darah saat buang air besar (umumnya darah segar), feses yang
lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak enak di abdomen seperti
22
kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, cepat lelah,
dan muntah.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rectal toucher, barium enema, dan
fecal occult blood test (FOBT). Untuk FOBT, pemeriksaan ini tidak terlalu spesifik
karena pada kanker kolon juga terdapat perdarahan yang samar.
b. Hemorrhoid 3
Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan karsinoma
kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami prolapsus, namun
bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan anus. Penderita hemoroid
juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri sehingga terjadi anemia. Untuk
menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan pemeriksaan rectal toucher, barium enema,
atau kolonoskopi.
11. Penatalaksanaan 1
a. Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer
beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon
bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung pada
pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan yang
menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus dilakukan
reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi
pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau adanya riwayat
keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa seluruh kolon berisiko
terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan dipertimbangkan dilakukan
kolektomi total atau subtotal. Jika terjadi metachronous tumors (tumor kedua
daritumor primerkolon) maka dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama.
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan kualitas
reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12 limfonodus
yang terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian
lain menunjukkan bahwa jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingakt
kesembuhan.
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor primer
tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan
23
anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan
keadaan pasien stabil.
Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura hepatika.
C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon desenden. F.
Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Metthews JB, Pollock RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).
24
b. Stadium 0 (Tis, N0, M0)
Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak berisiko untuk
terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade dysplasia, menaikkan
adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal ini, polip tersebut harus di
eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari area
displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan endoskopi. Setelah dibedah,
pasien harus tetap di followup dengan endoskopi untuk meyakinkan bahwa polipnya
tidak akan timbul kembali dan tidak berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip
tidak bias di angkat seluruhnya, maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan
eksisi segmental.
c. Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)
Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan risiko
timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung pada
kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa mengenai
batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%) dan dapat direseksi secara
endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran histologi dengan diferensiasi
yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat reseksi mempunyai faktor risiko
rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini merupakan indikasi dilakukannya
kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang muncul dari polip sessile memanjang
ke arah submukosa sehingga dapat dilakukan kolostomi segmental.
Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi FC,
Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartz’s Principles of
Surgery, 9th Edition).
25
d. Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)
Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan
dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker setelah dilakukan
reseksi, pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi rekurensi kanker ini.
Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit stadium II akan meninggal
akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah pengobatan ajuvan pada
beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II (pasien yang masih muda dengan
gambaran radiologi dengan displasia yang tinggi). Data yang ada masih kontroversial
apakah dengan terapi ajuvan setelah bedah mampu meningkatkan survival rate.
e. Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)
Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis lokal
maupun jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-flurouracil
(5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33% dengan efek samping
yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin,
angiogenesis inhibitors, and imunoterapi juga menunjukkan efek yang baik.
f. Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)
Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun, tidak
seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan terlokalisir,
memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang paling sering terjadi
metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat
direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini meningkat (20 – 40% dalam 5 tahun).
Tempat kedua yang paling sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak
20% pasien dengan karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu
menjalani reseksi (sekitar 1 – 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 –
40%.
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan obstruksi.
Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi. Terlebih lagi,
kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan pengecilan tumor.
Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya dilakukan kemoterapi
tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.
26
g. Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre
(MDACC) 4
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena
mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah
komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Kemoterapi Ajuvan
Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu. Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat. Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap 14 hari. Total 12 siklus.
Terapi untuk Metastasis
Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu selama 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat.
IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100–125 mg/m2 IV tiap 90 min, 5-FU 500 mg/m2, semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2 diberikan selama 14 hari.
XELIRI: Irinotecan 200–250 mg/m2 day 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO dua kali perhari hari ke-1–14, tiap 21 hari.
XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO BID dua kali perhari hari ke-1–14, tiap 21 hari.
Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FU-based chemotherapy.
Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250 mg/m2 selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single agent pada pasien yang tintoleransi irinotecan.
27
12. Prognosis 1
Tabel stadium karsinoma kolorektal dan angka keselamatan selama 5 tahun. (Sumber: Greene et al. AJCC
Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business Media LLC,
www.springerlink.com)
Pasien dengan stadium I dan II dapat mencapai angka keselamatan yang sangat baik.
Adanya metastasis pada limfonodus mengurangi angka keselamatan sebanyak 40%.
Angka keselamatan selama 5 tahun pada kanker kolorektum stadium IV menurun drastis
sampai 14%.
Tabel stadium kanker menurut AJCC. (Sumber: Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition
(2002) published by Springer Science and Business Media LLC, www.springerlink.com)
13. Komplikasi 1
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke organ lain.
Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara
pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini
meningkat (20 – 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena
metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma kolorektal.
Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 – 2%), angka
keselamatan jangka panjang mencapai 30 – 40%.
28
TINJAUAN PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock
RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright © 2004 Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.
4. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
5. University of California San Francisco. Rectal Cancer Diagnosis: Conditions and
Treatments. UCSF Medical Centre.
http://www.ucsfhealth.org/conditions/rectal_cancer/diagnosis.html
29