Refreshing Morbili (1)

download Refreshing Morbili (1)

of 21

Transcript of Refreshing Morbili (1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Morbili atau campak merupakan penyakit endemis, terutama di negara sedang berkembang, di Indonesia penyakit morbili sudah di kenal sejak lama. Di masa lampau morbili di anggap sebagai suatu hal yang harus dialami setiap anak, sehingga anak yang terkena campak tidak perlu diobati, mereka beranggapan bahwa penyakit campak dapat sembuh sendiri bila ruam sudah keluar. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam yang keluar semakin baik. Bahkan ada usaha dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam. Ada kepercayaan bahwa penyakit campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul di dalam rongga tubuh lain seperti tenggorokan, paru, perut dan usus. Hal ini diyakini akan menyebabkan anak sesak nafas atau diare, yang dapat menyebabkan kematian. Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa morbili di Indonesia ditemukan sepanjang tahun. Studi kasus morbili yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu lima tahun ( 1984-1988), memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September, dan Oktober. 1 Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak teratur. Didaerah perkotaan epidemi morbili terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa morbili menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai ialah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%), dan lain-lain (7,9%). 1 Secara biologik, campak mempunyai sifat adanya ruam yang jelas, tidak diperlukan hewan perantara, tidak ada penularan melalui serangga (vektor), adanya siklus musiman dengan periode bebas penyakit, tidak ada penularan virus

1

secara tetap, hanya memiliki satu serotipe virus dan adanya vaksin campak yang efektif. 1 Sifat-sifat biologik campak ini serupa dengan cacar. Hal ini menimbulkan optimisme kemungkinan campak dapat dieradikasi dari muka bumi sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap penyakit cacar. Cakupan imunisasi campak yang lebih dari 90% akan menghasilkan daerah bebas campak, seperti halnya di Amerika serikat. 1 1.2 EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) morbili menduduki tempat ke-5 dalam urutan macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%). 1 Di Indonesia penyakit morbili mendapat perhatian khusus sejak tahun 1970, setelah terjadi wabah morbili yang cukup serius di Pulau Lombok (dilaporkan 330 kematian di antara 12.107 kasus) dan di Pulau Bangka (65 kematian di antara 407 pasien) pada tahun yang sama. Sampai sekarang permasalahan morbili masih menjadi sumber perhatian dan keprihatinan. Wabah dan kejadian luar biasa morbili masih sering terjadi. Salah satu di antaranya adalah wabah di Kecamatan Cikeusal Kabupaten Serang pada tahun 1981, dengan CFR mencapai 15%. Pada kejadian luar biasa morbili di Desa Bondokodi Kabupaten Sumba Barat pada bulan Agustus 1984 sampai Februari 1985 , 50% anak balita terserang morbili dengan CFR 5,3%. 1 Menurut kelompok umur kasus morbili yang rawat inap di rumah sakit selama kurun waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur balita dengan perincian 17,6% berumur < 1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur 2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun dan 8,2% berumur 4 tahun. 1 Hampir semua anak Indonesia yang mencapai usia 5 tahun pernah terserang penyakit morbili, walaupun yang dilaporkan hanya sekitar 30.000 kasus pertahun.2

Hasil survei prospektif oleh badan Litbangkes di Sukabumi tahun 1982 menunjukkan CFR morbili pada balita sebesar 0,64%. Laporan kasus di rumah sakit menunjukkan CFR morbili yang jauh lebih besar. Hal ini disebabkan kebanyakan kasus morbili yang dibawa ke rumah sakit yang merupakan kasus yang parah dan hampir selalu dengan penyulit. Bagian anak RS Pringadi Medan melaporkan bahwa angka kematian akibat penyulit morbili rata-rata 26,4% setiap tahunnya. 1 Kejadian luar biasa morbili lebih sering terjadi di daerah pedesaan terutama daerah yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya dalam program imunisasi. Di daerah transmigrasi sering terjadi wabah dengan angka kematian yang tinggi. Di daerah perkotaan khusus, kasus morbili tidak terlihat, kecuali dari laporan rumah sakit. Hal ini tidak berarti bahwa daerah urban terlepas dari campak. Daerah urban yang padat dan kumuh merupakan daerah rawan terhadap penyakit yang sangat menular seperti campak. Daerah semacam ini dapat merupakan sumber kejadian luar biasa penyakit campak. 1 Angka kejadian campak di Indonesia sejak tahun1990 sampai 2002 masih tinggi sekitar 3000-4000 per tahun demikian juga frekuensi terjadinya kejadian luar biasantampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174, namun case fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak mnederita campak adlah 1 thn : 200.000 unit dosis tunggal p.o. 3 o Dosis dapat diulang pada hari ke-2 dan 4 minggu kemudian bila telah didapat tanda defisiensi vitamin A.3 Vitamin A diberikan untuk membantu pertumbuhan epitel saluran nafas yang rusak, menurunkan morbiditas campak juga berguna untuk meningkatkan titer IgG dan jumlah limfosit total. 9 Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi.

Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi penyulit yang timbul, yaitu : 2 Bronkopneumonia Diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalarn 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral selama 7-10 hari. Oksigen 2 liter/menit. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberkulin dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin bisanya negatif (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed hipersensiitivity disebabkan oleh sel limfosit- T yang terganggu fungsiinya. Enteritis Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi. Otitis media Seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu diberikan antibiotik kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP 4 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis) Ensefalopati, Diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis intravena16

dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalarn 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral selama 7-10 hari. Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga 3/4 kebutuhan untuk edema otak, di samping pemberian kortikosteroid, deksametason 1 mg/kbb/hari sebagai dosis awal dilanjutkan 0,5 g/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian lebih dari 5 hari dilakukan tappering off). Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.1,2 Indikasi rawat : 2 - hiperpireksia (suhu > 39C) - dehidrasi - kejang - asupan oral sulit - adanya komplikasi 2.12 PENCEGAHAN Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulaan atau lebih. Program imunisasi campak secara luas baru dikembangkan plaksanaannya pada tahun 1982.1 Pada tahun 1963 telah dibuat dua macam vaksin campak, yaitu (1) vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonstone B) dan , vaksin vang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak vang berada dalam larutan formalin vang dicampur dengan garam aluminium). Sejak tahun 1967 vaaksin yang berasal dari virus campak vang telah dimatikan tidak digunakan lagi oleh keren efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat mcnimbulkan gejala atypical meales yang hebat. Sebaliknya vaksin campak yyaaang berasl dari virus hidup yang dilemahl;an dikembangkan dari Edmonstone strain menjadi strain Schwarz (1965) dan kemudia menjadi strain Moraten (1968) dengan mengembangbiakan virusnya pada embrio avam. Vaksin Edmonstone Zagreb merupakan hasil biakan dalam human diploid cell17

yang dapat digunakan secara inhalasi atau aerosol dengan hasil yang memuaskan.1 Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1.000 TCID-50 atau sebanyak 0,5 ml. Tetapi dalam hal vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Cara pemberian yang dianjurkan adalah subkutan, walaupun dari data yang terbatas dilaporkan bahwa pemberian secara intramuskular tampaknya mempunyai efektivitas yang sama dengan subkutan. Intranasal dan cara inokulasi konjungtiva sampai sekarang masih terus dilakukan penyelidikan untuk mengetahui efektivitas pemberian vaksin Edmonstone B yang dilemahkan. Sebaliknya pada pemberian vaksin Edmonstone Zagreb secara aerosol didapatkan respons antibodi yang baik walaupun pada anak usia di bawah 9 bulan. Sayangnya pemberian aerosol ini sulit dan kurang praktis. 1 Kombinasi beberapa vaksin dalam satu semprit atau secara simultan di beberapa tempat pada waktu vang sama sering digunakan untuk

menvederhanakan prosedur dan mengurangi biaya. Dalam hal demikian ada 2 kemungkinan yang mungkin terjadi, vaitu peningkatan respons imun atau sebaliknya, menunggu respons imun. Laporan mengenai peningkatan reaksi yang lebih baik karena pemakaian vaksin yang dikombinasikan dibandingkan dengan vaksin tunggal, oleh peneliti tidak ditemukan. Dikatakan bahwa pada kombinasi dengan virus mati tidak didapatkan penurunan respons imun akan tetapi viruc hidup dapat saling mempengaruhi. Vaksin campak sering dipakai bersama-sama dengan vaksin rubela dan parotitis epidemika yang dilemahkan, vaksin polio oral, vaksin difteriatetanus dan lain-lain. Laporan beberapa peneliti menvatakan bahwa kombinasi tersebut pada umumnva aman dan tetap efektif. Seperti yang ditemukan oleh Schwarz (19 -15), serokonversi dapat terjadi antara 97-100%, sedangkan geoimetric mean fiter-nva sama tinggi dengan yang didapatkan pada pemberian vaksin tunggal.1

Efek proteksi dari vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian sakit kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi. 118

Krugman, dkk mencatat bahwa sebagian besar kasus campak dari suatu populasi kelompok anak sekolah akan menghilang setelah program imunisasi berjalan lancar, sedangkan di masyarakat sekitarnya tingkat penularan yang tinggi masih dijumpai. Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan hasil nilai secara nasional di Amerika Serikat maupun negara lainnya yang sudah melaksanakan program imunisasi campak secara meluas. Metode lain untuk mengukur efek proteksi dari vaksin campak ialah membandingkan angka kejadian sakit pada kelompok anak yang sudah diimwlisasi dan mengukur efektivitas vaksin dengan formula (ARU-ARU) x 100/ARU. Efektivitas vaksin dapat dihitung dengan memakai pendekatan kasus dan kontrol, yaitu membandingkan proporsi kasus dan kontrol yang sudah diimunisasi. Dan data yang benar, efektivitas vaksin adalah sebesar 90-95% atau lebih. Hasil ini harus didukung dengan data serokonversi. Perhitungan ini sangat bermanfaat apabila angka cakupan imunisasi campak sangat tinggi, vaitu lebih dari 95%. Jika proporsi kasus campak pada kelompok van(, sudah diimunisasi masih tetap tinggi berarti bahwa vaksinnva yang kurang baik. Proteksi dapat dicatat dengan memeriksa respons imun dan manifestasi klinis yang timbul akihat pemberian imunisasi dengan virus vaksin yang tidak ganas. Akibat setiap pemberian imunisasi akan menvebabkan respons imun anamnestik pada kasus yang tidak menunjukkan gejala klinis dari penvakitnya.1

Indikasi kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah. 11 Kegagalan vaksinasi perlu dibedakan antara kegagalan primer dan sekunder. Dikatakan primer apabila tidak terjadi serokonversi setelah diimunisasi dan sekunder apabila tidak ada proteksi setelah terjadi serokonversi. Berbagai kemungkinan yang menyebabkan tidak terjadinya serokonversi ialah: (a) Adanya antibodi yang dibawa sejak lahir yang dapat menetralisir virus vaksin campak yang masuk, (b) Vaksinnva yang rusak, (c) Akibat pemberian imunoglobulin yang diberikan bersama-sama. Kegagalan sekunder dapat terjadi karena potensi vaksin yang kurang kuat sehingga19

respons imun yang terjadi tidak adekuat dan tidak cukup untuk memberikan perlindungan pada bayi terhadap serangan campak secara alami. 1 2.13 PROGNOSIS Prognosis baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi4. Biasanya sembuh dalam 7-10 hari setelah timbul ruam. Bila ada penyulit infeksi sekunder/malnutrisi berat akan menyebabkan penyakit berat. Kematian disebabkan karena penyulit (pneumonia dan ensefalitis). 3 Angka kematian kasus di Amerika Serikat telah menurun pada tahun-tahun ini sampai tingkat rendah pada semua kelompok umur, terutama karena keadaan sosioekonomi membaik. Campak bila dimasukkan pada populasi yang sangat rentan, akibatnya bencana. Kejadian demikian di pulau Faroe pada tahun 1846 mengakibatkan kematian sekitar seperempat, hampir 2000 dari populasi total tanpa memandang umur5.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Poorwo, Sumarno S. dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Cetakan kedua. Jakarta: 2010. 2. Pudjiadi, Antonius H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta : 2010 3. Garna, Herry, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Bandung : 2005 4. Hassan, et al. Ilmu Kesehatan Anak. Infomedika. Jakarta: 1985 5. Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC 6. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol 2. Jakarta. EGC : 2000 7. www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/diseases/measles_c ontact_factsheet_pdf.asp 8. Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743 9. Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia. Saunders. p.2283 2298 10. Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema Akut dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 113 11. Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk. (ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal. 105

21