Refreshing Dhf Fix Banget
-
Upload
anisah-noviariyanti -
Category
Documents
-
view
267 -
download
11
description
Transcript of Refreshing Dhf Fix Banget
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan
masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di
daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup
tinggi, angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan
penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008).
Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat
setelah tahun 1995. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD
di tiap tahunnya (WHO, 2009). Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak.
DBD merupakan suatu penyakit endemik di daerah tropis yang memiliki tingkat
kematian tinggi terutama pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan
tingkat kejadian DBD maupun Demam Dengue (DD) yang tinggi. Berdasarkan
publikasi World Health Organization (WHO) dalam Dengue Guidelines for
Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, demam dengue merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia. Sejak pertama kali
ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, angka kejadian DBD di Indonesia terus
meningkat. Pada tahun 2007, dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus DBD dengan
lebih dari 25.000 kasus terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Indonesia yang berada di
wilayah tropis pada daerah ekuator memungkinkan perkembangbiakan Aedes
aegypti yang merupakan vektor dari virus dengue. Beberapa laporan menyebutkan
Case Fatality Rate (CFR) dari kasus DBD di Indonesia mencapai 1% (WHO,
2009; Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama
30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695
kasus, dengan angka kasus baru 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
2
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008).
Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan
200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008).
Di Jawa Timur, DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
endemis di hampir seluruh kabupaten/kota. Pada tahun 2010, angka kejadian DBD
di Jawa Timur mencapai 25.762 kasus dengan angka kematian 230 jiwa; tahun
2011 menurun tajam mencapai 5.374 kasus dengan angka kematian 65 jiwa; dan
tahun 2012 kembali meningkat dengan angka kejadian DBD di Jawa Timur
mencapai 8.266 kejadian dengan angka kematian mencapai 119 jiwa (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012). Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur sampai dengan Juni 2013, telah terjadi 11.207 kejadian DBD
dengan Angka Kejadian (Incidency Rate = IR) 29,25 dan CFR 0,88% (99 orang).
Berdasarkan laporan yang sama, di Surabaya angka kejadiannya adalah 1.504
kasus dengan CFR 0,4% (6 orang) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013).
Surabaya merupakan kota dengan IR DBD tertinggi di Jawa Timur. Sebagai
pembanding, Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember yang menempati
peringkat kedua dan ketiga IR DBD di Jawa Timur menunjukkan angka 2.506.102
dan 2.375.469 kasus pada Januari hingga Juni 2013. Sebanyak 1.817 kasus DBD
telah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur selama tahun 2014.
Sebanyak 160 kasus DBD terlapor dari Kota Malang. (KEMENKES, 2015)
Oleh karena banyaknya kasus demam berdarah dengue cenderung
meningkat maka pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian,
diagnosis, dan tata laksana demam berdarah dengue agar dapat menjadi referensi
pembelajaran bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful
Anwar, Malang.
3
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis
serangga khusus spesies Aedes (Hendratno, 2002). Penyakit DBD adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda
perdarahan dikulit berupa petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau
renjatan (Depkes RI. 1995). Nyamuk Aedes aegypti biasanya menggigit baik di
dalam maupun di luar rumah, biasanya pagi dan sore hari ketika anak-anak sedang
bermain (Suprapto. 1995). Penyebab penyakit ini adalah virus Dengue, termasuk
dalam kelompok Flavivirus dari famili Togaviridae. Virus ini ditularkan dari
orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes spesies sub genus
Stegomya (Depkes RI. 1990). Cara penularan penyakit DBD yang terjadi secara
propagatif (virus penyebabnya berkembang biak dalam badan vektor), berkaitan
dengan gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan
vektor utama dan vektor sekunder DBD di Indonesia (Hoedoyo. 1993).
2.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang
4
disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS). Penyakit ini ditularkan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD
adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, yang terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2,
Den3 dan Den-4 (Kurane. 2007). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat
30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara negara baru dan,
dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika
Tengah, Amerika dan Karibia (Kurane. 2007).
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama
di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian
lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang
terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di
rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis
DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk
setempat (WHO. 2009).
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi
tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian
sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik
tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang
atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855
orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89% (Supartha. 2008).
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk
subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai
vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus
sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transeksual dari nyamuk
5
jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari
induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik . Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan
inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun (Wulandari. 2004).
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk
Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di
masyarakat, tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia
karena masih tergantung pada faktor lain seperti kapasitas vektor (kandungan
sporozoit pada nyamuk), virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-
lain. Kapasitas vektor dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim
mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus
gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia, orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali
akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang
lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya
untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga
dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk
Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi
menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host
terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan
status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status
status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan
penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem
kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro
seperti besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi
6
defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem imun (Suharno.
2003).
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh
manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang
masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan
status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu seperti berat badan, tinggi badan,
dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang
diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan
fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain (Harahap.
2004).
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena
zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang,
otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu
melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu
mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi
menghadapi keadaan darurat (Gibson. 1990).
Munculnya kejadian DBD dikarenakan berbagai faktor yang saling
berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan
yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain
itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas
penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap
hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya
(Kasjono. 2008).
2.3. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di
Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki
7
hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-
4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai
penyebab. Nimmanitya (1975) di Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2
yang dominan, sedangkan di Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun
akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2 (Soegijanto.
2010).
Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007
menemukan bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di Surabaya. Studi
epidemiologi yang dilakukan (Yamanaka dkk) pada tahun 2009 dan 2010 pada
penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan
virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat
(Soegijanto. 2010).
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor
risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2
mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan
virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2% (Soegijanto. 2010).
Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian
genom RNA disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi dinding
ikosahedral yang tertutup oleh selubung lemak. Genome virus Dengue terdiri dari
11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran (M)
Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4,
NS4B, dan NS5). Dinding ikosahedral berbentuk seperti bulat, tetapi kalau dilihat
secara dekat akan nampak ikosahedron terdiri dari segitiga sama sisi menyatu
bersama-sama dalam bentuk bola. Bahan genetik sepenuhnya tertutup di dalam
kapsid. Virus dengan struktur ikosahedral yang dilepaskan ke lingkungan ketika
sel mati, pecah, sehingga melepaskan virion. Contoh virus dengan struktur
ikosahedral yang virus polio.
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)
8
dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer
di sinusoid hepar (Soegijanto. 2010).
2.4 Patofisiologi Demam Berdarah Dengue
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunpatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan
dengue (Hendarwanto, 1996).
Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah
respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik
(CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T
helper yaitt TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag
berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan
terbentuknya terbentuknya C3a dan C5a (Hendarwanto, 1966).
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi
di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyababkan
aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon
gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-cx, IL-1, PAF (platelet activating
factor), lL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel
dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi
9
oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma (Suharti C, 2001).
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD (Virus
Dengue), konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan ADP (Adenosine diphosphate), peningkatan kadar b-tromboglobulin
dan PF4 (platelet factor 4) yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinslk
(tissue factor pathway) (Suharti, 2001).
2.5 Gambaran Klinis
10
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam bedarah dengue
atau sindrom syok dengue (SSD) (WHO, 2012).
Gambar 2.1 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue berdasarkan
Keparahannya (WHO, 2012)
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan adekuat. Fase demam berdarah menurut WHO 2012 adalah sebagai
berikut :
1. Fase Demam Tinggi (Febris)
11
Pada fase demam berdarah yang pertama ini terjadi pada hari ke 1 - 3 dan
ditandai dengan demam yang mendadak tinggi disertai sakit kepala, badan
terasa ngilu dan nyeri, mual. Seringkali disertai dengan bintik merah di
kulit yang tidak hilang saat kulit diregangkan (petekie). Pada beberapa
kasus yang terjadi, bahkan ditemukan adanya nyeri tenggorokan, infeksi
pada faring dan juga pada konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
2. Fase Kritis
Pada fase kedua demam berdarah ini terjadi pada hari ke 4 - 5. Fase ini
ditandai dengan demam yang mulai menurun disertai dengan penurunan
kadar trombosit dalam darah dan fase ini seringkali mengecohkan karena
seolah-olah demamnya turun dan penyakitnya sembuh. Namun inilah yang
disebut Fase Kritis Demam Berdarah dan kemungkinan terjadinya DSS
(Dengue Shock Sindrome). Pada fase ini dapat terjadi pendarahan hidung,
mulut, kulit pucat dan dingin, serta terjadi penurunan kesadaran.
3. Fase Konvalesense
Pada fase ini terjadi pada hari ke 6 - 7. Dalam fase penyembuhan ini
keadaan umum dari penderita mulai membaik. Keadaan umum penderita
membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan diuresis
membaik dan akan kembali normal. Dan pada saat ini akan jauh lebih baik
bila penderita diberikan gizi yang baik untuk meningkatkan keadaannya
serta juga meningkat kadar daripada trombositnya.
Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Dengue (WHO, 2012
12
Berikut adalah tingkat derajat demam berdarah berdasarkan dan menurut
WHO yaitu :
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
Derajat IDemam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
Derajat IISeperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak
tampak gelisah.
Derajat IVSyok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur
2.6 Diagnosis Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi, mendadak,
kontinua, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari. Demam disertai dengan
gejala lain yang sering ditemukan pada demam dengue seperti muka kemerahan
(facial flushing), anoreksia, mialgia dan artralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri
epigastrik, mual, muntah, nyeri di daerah, subkostal kanan atau nyeri abdomen
difus, kadang disertai sakit tengoorok. Faring dan konjungtiva yang kemerahan
(pharyngeal infection and ciliary infection) dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik. Demam dapat mencapai suhu 40o C, dan dapat disertai kejang demam.
Manifestasi perdarahan dapat berupa uji torniquet yang positif, petekie
spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila, muka, dan palatum
mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai dengan
perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan
berat dapat ditemukan.
13
Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal
sakit, namun berlangusng singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang
tua. Ruam konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa
penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan pembesaran
bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu diperhatikan bahwa
hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak
disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun
hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok
dengue).
Pada DBD dapat terjaidi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk
efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites.
Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura
terutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat
luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding
kandung empedu (gall bladder wall thickening) mendahului manifestasi klinis
kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (≥20% dari data dasar) dan
penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dl dari data
dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat
menimbulkan berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok
hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue yang memperburuk
prognosis.
Perjalanan penyakit demam berdarah Dengue terdiri atas tiga fase yaitu
fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan atau fase konvalesens. Setiap fase
perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase mempunyai resiko yang dapat
memperberat keadaan sakit.
14
2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
2.6.1.1 Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh
menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat disertai
berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan
gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada
kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga
akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan
mortalitas yang tinggi.
2.6.1.2 Fase Kritis
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence),
pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok
hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadina syok
yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs).
Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari
sakit ke 4-6. Muntah terus menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk
awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan
syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Gejala
tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok. Kelemahan, pusing atau
hipotensi postural dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau
perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan
penting. Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah
trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm3 serta
kenaikan hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal pembesaran plasma,
dan pada umumnya didahului oleh leuokopenia (≤5.000 sel/mm3).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda
paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrir mendahului
15
perubahan tekanan darah serta volumen nadi, oleh karena itu, pengukuran
hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan
cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah,
sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan
jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan
profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif,
dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi
menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia
dapat meningkat sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat.
Beberapa pasien masuk ke fase kritis pembesaran plasma dan kemudian
mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut peningkatan
hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu pada pasien DBD
baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya
hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan hebat, yang dikenal
sebagai expanded dengue syndrome.
2.6.1.3 Fase Penyembuhan
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48
jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang
intravaskular yang berlangusng secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, geala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Pada beberapa pasien
dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus
umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada
tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi
cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah
penurunan suhuh tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih
lambat. Penyulit dapat terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase konvalesens
seperti tertera pada Tabel 2.1
16
Tabel 2.1 Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesens
Fase Gejala Klinis
Demam Dehidrasi
Demam tinggi dapat menyebabkan
gangguan neurologi dan kejang
demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma
Perdarahan masif
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia (jika terapi cairan
intravena diberikan secara berlebihan
dan/atau dilanjutkan sampai fase
konvalesens)
Edema paru akut
2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium
Kriteria laboratorium untuk menegakkan diagnosis DBD adalah sebagai
berikut:
1) Trombositopenia (<= 100.000/ml)
2) Teradapat peningkatan hematokrit >= 20% dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelum sakit atau masa konvalesens.
3) Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia
Dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DBD (IDAI, 2012).
Tes serologis, kultur viral dari plasma (50% sensitif pada hari ke 5) (Levin &
Weinberg, 2009), pemeriksaan IgM dengan ELISA (Sondheimer, 2008), titer
antibodi IgG yang meningkat 4 kali, serta pemeriksaan dengan PCR terhadap
virus dengue dapat membantu penegakkan diagnosa pasien DBD. Pada penderita
17
DBD dengan encephalitis, harus diperiksa CSS/CSF untuk membantu diagnosa
(American Academy of Pediatrics, 2007)
2.6.2.1 Deteksi Asam Nukleat Virus
Genome virus Dengue yang terdiri dari asam ribonukleat atau RNA dapat
dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR). Metode pemeriksaan bias berupa nested-PCR, one step multiplex RT-
PCR, real time RT-PCR, dan isothermal amplification method. Pemeriksaan inin
hanya tersedia di laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan
petugas laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil
pada enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal.
2.6.2.2 Deteksi Antigen Virus Dengue
Deteksi antigen virus Dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus Dengue, yaitu suatu glikoprotein yang
diproduksi oleh semua flaviirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus.
Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam
dan menghilang setelah 5 hari. Sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan
kemudian makin menurun setelahnya.
2.6.2.3 Pemeriksaan Serologi IgM dan IgG Anti Dengue
Immunoglobulin M anti Dengue memiliki kadar bervariasi, pada
umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah
sembilan puluh hari. Pada infeksi Dengue primer, IgG anti Dengue muncul lebih
lambat dibandingkan dengan IgM anti Dengue, namun pada infeksi sekunder
muncul lebih cepat. Kadar IgG anti Dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik
NS-1 antigen birus Dengue dan IgG serta IgM anti Dengue merupakan petunjuk
dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi
primer dengan infeksi sekunder. Interpretasi hasil pemeriksaan IgM dan IgG dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
18
Tabel 2.2 Interpretasi hasil pemeriksaan IgM dan IgG
IgM IgG Interpretasi
(+) (-) Infeksi primer
(+) (+) Infeksi sekunder
(-) (+) Pernah terinfeksi
(-) (-) Tidak ada infeksi
2.6.3 Diagnosis Banding
Diagnosis banding demam berdarah Dengue pada fase demam dan fase
kritis dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.
Tabel 2.3. Kondisi yang Menyerupai Fase Demam
Flu-like Syndrome Influenza, campak, chikungunya,
mononukleosis infeksiosa
Penyakit dengan ruam Rubela, campak, demam skarlatina,
infeksi meningokokus, chikungunya,
reaksi obat (drug fever)
Penyakit diare Rotavirus dan infeksi
mikroorganisme enterik lain
Penyakit dengan manifestasi neurologis Meningoensefalitis, kejang demam
Tabel 2.4 Kondisi yang menyerupai fase kritis
Penyakit Infeksi Gastroenteritis akut, malaria,
leptospirosis, tifoid, virus hepatitis,
sepsis, syok sepsis
Keganasan Leukemia akut dan keganasan lain
19
Gambaran klinis lain Akut abdomen, apendisitis akut,
kolesistitis akut, asidosis laktat,
diabetes ketoasidosis sindrom
Kawasaki, trombositopenia dan
perdarahan, kelainan trombosit, gagal
ginjal, distres pernafasan
2.7 Tatalaksana
Secara praktis, penatalaksanaan pada baik kasus DD, DBD, SSD dapat
dilihat pada bagan, yaitu : Tatalaksana tersangka DBD (Gambar 2.4 dan Gambar
2.5), Tatalaksanaa penderita DBD derajat I dan II (Gambar 2.6), dan Tatalaksana
penderita DBD derajat III dan IV (sindrom syok dengue/SSD) (Gambar 2.7)
(WHO, 2009)
Gambar 2.4 Tatalaksana Tersangka DBD
Gambar 2.5;2.6;2.7
Gambar 2.5)
20
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu :
1. Apakah ada tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru,
tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak
darah, maka pasien perlu dirawat/dirujuk (tatalaksana
sesuai dengan gambar 2,3,4)
2. Apabila tidak dijumpai tanda kegawatan, maka dilakukan
uji Tourniquet dan hitung jumlah trombosit.
a. Bila uji tourniquet positif dan trombosit
<100.000/µl, pasien dirujuk/dirawat (gambar 2)
b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit
<100.000/µl atau normal, pasien diperbolehkan
pulang dengan KIE harus diobeservasi klinisnya.
Pasien dianjurkan untuk banyak minum. Obat-obat
simptomatik boleh diberikan misalnya parasetamol.
Jika saat pasien di rumah demam tidak turun sampai
hari ketiga sakit, dan tanda klinisnya ditemukan
anak mulai gelisah, ujung kaki dan tangan dingin,
sakit perut, berak hitam, kencing berkurang;
lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit. Segera
kembali ke RS jika didapatkan perburukan kondisi.
Apabila pasien masih dapat minum, maka diberikan minum
sebanyak 1-2L/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit. Obat antipiretik
(parasetamol) diberikan bila suhu >38oC. Pada anak dengan riwayat kejang
dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum
atau muntah terus, bisa diberikan NaCl 0,9% : dekstrosa 5% (1:3)
dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Di samping itu perlu
pemeriksaan Hb dan Hematokrit setiap 6 jam dan trombosit setiap 6-12
jam. Jika pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris
21
anak dapat dipulangkan, tetapi apabila kadar hematokrit cenderung naik
dan trombosit menurun, maka infus cairan diganti dengan RL
Gambar 2.5 Tatalaksana Tersangka DBD
Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus
menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan
spontan (petekie atau mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit
<100.000/µl dan peningkatan nilai hematokrit (>20%), dapat diberikan
cairan kristaloid RL atau dekstrosa 5% dalam RL 6-7ml/kgBB/jam.
22
Monitor tanda vital dan hematokrit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24
jam.
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak tampak
tenang, tanda-tanda vital stabil, diuresis cukup, dan kadar hematokrit
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Apabila dalam
observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi
3ml/kgBB/jam dan akhirnya dihentikan setelah 24-48jam.
2. Namun apabila kondisi pasien tidak ada perbaikan, hematokrit tetap
tinggi atau cenderung naik, tekanan darah <20mmHg, diuresis tidak
ada/kurang, maka tetesan dinaikkan menjadi 10ml/kgBB/jam, setelah 1
jam tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan lagi menjadi
15ml/kgBB/jam. Apabila tanda vital tetap tidak stabil disertai distres
pernafasan, hematokrit naik dan tekanan darah -20mmHg, maka
berikan cairan koloid 20-30ml/kgBB. Tetapi apabila hematokrit turun
berarti terdapat perdarahan, berikan transfusi darah segar
10ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis membaik, maka cairan
disesuaikan.
23
Gambar 2.6 Tatalaksana Penderita DBD derajat I dan II
Sementara sindrom syok dengue dapat diartikan degan sekumpulan gejala
seperti gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi
menyempit (<20mmHg), bibir biru, tangan dan kaki dingin, tidak ada produksi
urin. Tatalaksana seperti tertera pada gambar 2.7
1. Segera beri infus kristaloid (RL) 10-20ml/kgBB secepatnya (diberikan
dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2-4lpm. Untuk SSD berat
(derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberi RL
20ml/kgBB bersama kristaloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4-6jam. Periksa elektrolit dan gula
darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan RL tetap
dilanjutkan 15-20ml/kgBB/jam, ditambah plasma (FFP) atau koloid
sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB secepatnya. Observasi
keadaan umum dan tanda-tanda vital tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
a. Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekana nadi >20mmHg, nadi kuat,
24
maka tetesan dikurangi menjadi 10ml/kgBB/jam. Volume
10ml/kgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24jam atau
sampai klinis stabil dan hematokrit menurun <40%.
Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7cc/kgBB sampai klinis
dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5ml/kgBB/jam dan seterusnya 3ml/kgBB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah
syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB/jam) serta
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6jam sampai
keadaan umum baik.
b. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit
menurun tetapi masih >40vol% berikan transfusi darah dalam
volume kecil (10ml/kgBB). Apabila terdapat perdarahan masif,
berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan RL
10ml/kgBB/jam.
c. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk
mengetahui kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk
mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>10mmH20)
maka diberikan dopamin.
25
Gambar 2.7 Tatalaksana Kasus DBD III dan IV (Sindrome Syok
Dengue/SSD)
INDIKASI PULANG PASIEN
a. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
b. Nafsu makan membaik
c. Klinis perbaikan
d. Hematokrit stabil
e. Trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat
f. Tidak dijumpai distres pernapasan
g. 3 hari setelah syok teratasn
26
A. PENCEGAHAN DBD
. a. Pembersihan jentik
- Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
- Menggunakan ikan (cupang, sepat)
b. Pencegahan gigitan nyamuk
- Menggunakan kelambu
- Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
- Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung
baju)
- Penyemprotan (fogging)
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M
PLUS” yaitu MENUTUP tempat penampungan air, MENGURAS bak
penampungan air dan MENGUBUR barang-barang bekas. Selain itu juga
melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik,
menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
kasa, menyemprot dengan insektisida, memakai lotion, memasang obat
nyamuk, memeriksa jentik secara berkala.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Dicky Pribadi Herman. 2007. Pediatri Praktis, Edisi 3. Bandung:
Catatan Pediatri
2. Henry Garna dan Heda melinda Nataprawira. 2012. Pedoman Diagnosis
dan terapi ilmu kesehatan anak, ed. 4. Bandung : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RSUP dr.
Hasan Sadikin Bandung
3. Kliegman, R. 2000. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. EGC. Jakarta
4. Merenstein GB, et all. 2002. Buku Pegangan Pediatri. Edisi 17. Widya
Medika. Jakarta
5. WHO. 2009. Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and
Control, New Edition.
6. WHO Indonesia 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS.
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota : WHO Indonesia.