refrat rosacea
-
Upload
bella-oktaviani -
Category
Documents
-
view
172 -
download
4
description
Transcript of refrat rosacea
ROSASEA
Oleh:
Bella Oktaviani
Pembimbing: Dr. Nopriyati, Sp. KK
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNSRI/RSUP Mohammad Hoesin Palembang
Pendahuluan
Rosasea merupakan penyakit dengan definisi yang masih kurang
memuaskan secara keseluruhan sampai saat ini. Penyakit ini dikarakteristikkan
oleh eritema pada bagian sentral wajah yang persisten selama berbulan-bulan atau
lebih, papul pustular, atau fimatous. Rosaea mengenai permukaan konveks wajah,
mulai dari pipi, hidung, dagu hingga dahi. Rosasea cenderung tidak mengenai
kulit periokular dan tidak berpotensi serius kecuali bila melibatkan okular.1,2,3,4
Rosasea sering terjadi pada populasi Kaukasian, namun dapat pula terjadi
pada populasi Afrika dan Asia. National Rosacea Society (NRS) menafsirkan
sekitar empat belas juta orang Amerika menderita rosasea. Pada suatu studi di
Swedia, didapatkan sekitar 10% dewasa menderita rosasea. Di Indonesia sendiri
belum diketahui jumlah penderita rosasea. Penyakit ini lebih banyak diderita oleh
perempuan dibanding laki-laki, namun perubahan fimatous yang berat sering
terjadi pada laki-laki. Perempuan kulit terang lebih sering terkena dibanding kulit
gelap. Rosasea sering terjadi pada umur 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula
terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda.1,2,3,4
Meskipun rosasea bukan merupakan penyakit yang mengancam kehidupan,
namun penegakkan diganosis lebih awal serta kombinasi terapi topikal dan tabir
surya yang cepat dan tepat dapat membantu mencegah risiko terapi oral dan
pengeluaran biaya yang lebih besar untuk terapi laser dan sinar. Itulah sebabnya
penulis membuat tinjauan pustaka ini, sehingga diharapkan penegakkan diagnosis
rosasea dapat dilakukan lebih awal.4
1
Etiopatogenesis
Penyebab rosasea belum diketahui secara pasti. Etiologi dan patofisiologi
diduga bervariasi di antara berbagai pasien, karena terdapat varian klinis yang
menonjol pada subtipe rosasea. Rosasea berkaitan dengan predisposisi familial.
Variasi etiopatofisiologi rosasea meliputi reaktivasi pembuluh darah wajah,
struktur atau komposisi jaringan ikat dermal, komposisi matriks, struktur
pilosebaseous, kolonisasi mikroba, atau kombinasinya. Hal inilah yang
menyebabkan perubahan respon kulit terhadap faktor pencetus rosasea.2,4,8,13
Faktor pencetus terjadinya rosasea antara lain suhu panas dan dingin, sinar
matahari, angin, minuman hangat, latihan, makanan pedas, alkohol, stres emosi,
kosmetik, iritan topikal, kemerahan kulit menopausal, dan obat-obatan pencetus
kemerahan kulit. Rosasea diinduksi oleh paparan kronik faktor pencetus tersebut.
Vasodilatasi dapat meningkatkan kejadian rosasea diduga karena saat vasodilatasi
terjadi ekstravasasi sebagian plasma ke jaringan interstisial, yang menginduksi
respon inflamasi, yang selanjutnya meningkatkan episode vasodilatasi berulang.
Vasodilatasi kronik, edema, dan gangguan aliran limfatik menyebabkan
telangiektasis dan fibrosis. Abnormalitas unit pilosebaseus bukan merupakan
patogenesis rosasea, namun beberapa pasien mengalaminya, khususnya pasien
tipe glandular. Rosasea umumnya terjadi pada wajah karena wajah memiliki
pembuluh darah lebih superfisial, jumlahnya banyak, dan besar, serta aliran
darahnya lebih banyak dibanding permukaan tubuh yang lain.1,2,3,4
Pemeriksaan histologi pada spesimen rosasea menunjukkan adanya
kerusakan endotelial dan degenerasi mariks dermal. Faktor yang berkontribusi
terjadinya degenerasi matriks dermal adalah gangguan yang diturunkan pada
permeabilitas pembuluh darah dan atau keterlambatan pembuangan mediator
inflamasi dan produk sisa, serta paparan kronik sinar matahari. Kerusakan
jaringan ikat akibat sinar mengubah struktur vaskular dan limfatik serta
penyokong dalam dermis. Hal inilah yang menyebabkan inflamasi persisten dan
kronik pada dermal sehingga bermanifestasi eritema pada bagian konveks wajah
pada individu berpredisposisi rosasea.4
Kerusakan akibat paparan sinar matahari diduga berperan sebagai faktor
etiologi rosasea, karena elastosis solar sering melatarbelakangi gambaran histologi
2
rosasea. Namun prevalensi rosasea tidak meningkat pada pekerja di luar ruangan
dan kerusakan kulit selain wajah akibat sinar matahari tidak progresif menjadi
fenotif rosasea, serta studi provokasi sinar pada pasien rosasea tidak menunjukkan
peningkatan sensitivitas kulit terhadap paparan ultraviolet akut.4,8
Konsep bahwa rosasea diinduksi oleh mikroba dan inflamasi folikel masih
kontroversi. Organisme komensal seperti Propionibacterium acnes dan Demodex
folliculorum yang bermukim pada folikel rambut dan kelenjar sebasea masih
belum jelas apakah dapat mencetuskan papul inflamasi folikulosentrik pada pasien
rosasea. Selain itu, reaksi hipersensitivias diduga dicetuskan oleh mikroba atau
bakteri terkait tungau seperti Bacillus oleronius. Argumentasi ini didukung oleh
studi observasi terhadap penggunaan antiinflamasi nonsteroid dan kortikosteroid
dalam mengurangi papul dan pustul rosasea tidak seefektif dibanding penggunaan
tetrasiklin oral. Hal ini juga masih belum jelas apakah perbaikan papul dan pustul
rosasea terjadi seiring dengan penurunan jumlah Propionibacterium acnes.1,4
Manifestasi Klinis
Berdasarkan kesepakatan National Rosacea Society (NRS) Expert
Committee pada tahun 2002 terdapat 4 klasifikasi subtipe rosasea. Klasifikasi ini
tidak menunjukkan progresifitas penyakit, sehingga semua subtipe dapat terjadi
secara bersama-sama pada satu individu. Berikut ini keempat klasifikasi subtipe
rosasea:
Rosasea eritematotelangiektasis (vaskular)
Rosasea eritematotelangiektasis dikarakteristikkan dengan eritema wajah
persisten dengan atau tanpa telangiektasis, sering kali disertai dengan
edema wajah sentral, rasa terbakar dan pedih, kasar atau bersisik, mudah
teriritasi, atau kombinasi dari tanda dan gejala ini (Gambar 1). Namun,
tidak disertai berkeringat, kepala terasa ringan, atau palpitasi. Umumnya
pasien memiliki riwayat mengalami kemerahan kulit memanjang (lebih
dari 10 menit) setelah terpajan dengan berbagai faktor pencetus. Seiring
waktu, kemerahan kulit menjadi lebih bertahan lama dan permanen.
Telangiektasis mulai terbentuk, awalnya di cuping hidung, lalu meluas ke
hidung dan pipi. Ukuran telangiektasis ini ditentukan oleh jumlah
3
kumulatif kerusakan akibat foto/sinar yang terjadi. Rosasea ini terbagi
menjadi ringan, sedang, dan berat.4,6,8
Gambar 1. A. Subtipe rosasea eritematotelangiektasis. B. Tampak dekat subtipe rosasea eritematotelangiektasis berat menunjukkan kulit yang merah karena telangiektasis multipel, tampak pula sedikit pustul.10
Rosasea papulopustular
Rosasea papulopustular dikarakteristikkan dengan eritema wajah sentral,
persisten disertai papul eritematous, pustul hingga nodul dalam yang
persisten, didominasi pada area konveks wajah (Gambar 2). Rasa terbakar
dan pedih pada wajah dapat terjadi, namun lebih jarang dibanding rosasea
eritematotelangiekasis. Kemerahan kulit biasanya tidak seberat rosasea
eritematotelangiektasis. Rosasea ini juga terbagi menjadi ringan, sedang,
dan berat.1,4,8,9
4
Gambar 2. A. Rosasea subtipe papulopustular ringan. Terdapat eritema persisen disertai pustul kecil. B. Rosasea subtipe papulopustular berat.10
Baik rosasea subtipe eritematotelangiektasis maupun subtipe
papulopustular, eritema tidak mengenai area periorbital. Edema dapat
ringan sampai berat. Edema yang berat dapat memberikan gambaran
morfologi plak pada edema wajah solid, yang sering terjadi pada dahi dan
glabella (Gambar 3), dan jarang terjadi pada kelopak mata dan pipi atas.4,8
Gambar 3. Rosasea dengan edema pada dahi dan kelopak mata.10
Rosasea fimatous
Rosasea fimatous dikarakteristikkan dengan orifisium folikular patulous,
penebalan kulit, nodularitas, dan kontur permukaan kulit yang ireguler
pada area konveks (Gambar 4). Pori-pori berdilatasi sangat besar
mengandung akumulasi debris keratin, sumbatan sebum yang panjang, dan
vermikular, serta pembengkakan jaringan glandular. Gambaran histologi
berupa hiperplasia kelenjar pilosebaseus dengan fibrosis, inflamasi, dan
telangiektasis. Rosasea fimatous juga terbagi menjadi subtipe ringan,
sedang, dan berat. Fima sering terjadi pada hidung, yang disebut rinofima,
namun dapat pula terjadi di dagu (gnatofima), dahi (metofima), kelopak
mata (blefarofima), dan telinga (otofima), tapi sangat jarang. Perempuan
5
dengan rosasea tidak berkembang menjadi fima, mungkin karena alasan
hormonal, namun dapat bermanifestasi sebagai ciri glandular atau sebasea,
dikarakteristikkan sebagai penebalan kulit dan orifisium follikular yang
besar.1,4,6
Gambar 4. A. Subtipe fimatous. Subtipe sedang dengan orifisium folikular
patulous, penebalan kulit, dan nodularitas pada hidung dan pipi. B. Rinofima berat.10
Rosasea okular
Rosasea okular terjadi pada 50% kasus rosasea, serta dapat muncul
sebelum timbul manifestasi kutaneus pada lebih dari 20% individu.
Separuh pasien mengalami rosasea okular setelah timbul gejala kutaneus,
dan sebagian kecil mengalaminya bersama-sama. Beratnya gejala okular
tidak sesuai dengan beratnya lesi rosasea kutaneus. Keterlibatan okular
berupa blefaritis, konjungtivitis (Gambar 5), iritis, skleritis, hipopion,
keratitis, dan terbagi menjadi subtipe ringan, sedang, dan berat. Blefaritis
merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi, dikarakeristikkan dengan
eritema batas kelopak mata, bersisik, krusta, variasi kalazia dan infeksi
staphylococcus karena disfungsi kelenjar meibomian. Kompleks gejala
6
okular berupa sensasi mata kering, mata lelah, berair, penglihatan kabur,
fotofobia, rasa nyeri, terbakar, gatal, dan sensasi benda asing. Pada kasus
yang berat terjadi keratitis rosasea yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan. Rosasea okular diduga terjadi karena impaksi pada kelenjar
meibomian, sehingga terjadi penurunan kadar lipid pada lapisan air mata,
lebih banyak air mata yang mengalami evaporasi, dan mata menjadi lebih
mudah iritasi. Aktivitas epithelium-derived protease acivity, khususnya
matrix metalloproteinase (MMP)-9 meningkat pada air mata penderita
rosasea okular.1,4
Gambar 5. Rosasea subtipe okular. Pasien ini mengalami blefaritis, konjungtivitis, dan keratitis.10
Selain keempat subtipe rosasea di atas, terdapat pula varian rosasea, yaitu
rosasea granulomatous dan rosasea glandular. Rosasea granulomatous memiliki
gambaran histologi berupa formasi granuloma, dengan gambaran klinis
papul/nodul merah atau kuning coklat yang monomorfik dan berukuran sama
(Gambar 6), serta berlokasi pada pipi dan kulit di antara kulit wajah periorifisium.
Pada uji diaskopi, papul ini akan menunjukkan perubahan warna seperti apel-jelli
sama seperti pada sarkoidosis atau lupus vulgaris. Tidak ada kelainan pada kulit
sekitarnya.1,4
7
Gambar 6. Rosasea granulomatousa.10
Rosasea glandular lebih sering mengenai kulit laki-laki yang berminyak
tebal. Lesi ditandai dengan papul edematous, pustul berukuran 0.5 - 1 cm, dan
nodulokistik (Gambar 7). Lesi cenderung berkumpul pada area sentral wajah,
namun bila diderita perempuan, rosasea glandular tidak mengenai dagu. Sering
kali diserai dengan riwayat akne saat remaja dan skar. Kemerahan kulit jarang
terjadi dibanding rosasea eritematotelangiektasis, namun sering terjadi edema
pesisten yang menjadi masalah.2
Gambar 7. Rosasea glandular.2
Diagnosis Banding
8
Gejala eritema persisten pada bagian sentral wajah akibat rosasea
sebaiknya dibedakan dengan berbagai penyakit sistemik lain, seperti polisitemia
vera, penyakit jaringan ikat (lupus eritematosus kutaneus, dermatomiositis),
sindrom karsinoid, mastositosis, dan gangguan neurologi yang menyebabkan
kemerahan kulit. Gangguan neurologi ini seperti tumor otak, lesi medula spinalis,
hipotensi ortostatik, migrain, dan penyakit Parkinson. Berbagai kondisi ini tidak
memberikan gambaran papul dan pustul, serta memiliki berbagai manifestasi
klinis sistemik, gejala ekstrafasial, dan tanda laboratorium spesifik, sehingga
dapat dibedakan dengan rosasea. Manifestasi klinis lupus eritematosus kutaneus
berupa eritema malar sulit dibedakan dengan rosasea, namun yang
membedakannya ialah adanya papul pustul atau blefaritis pada rosasea dan adanya
skuama tipis, perubahan pigmen, sumbatan follikular dan skar pada lupus.1,2,4
Diagnosis banding lain rosasea adalah dermatitis seboroik. Dermatitis
seboroik sering terjadi bersama dengan rosasea. Berbeda dengan rosasea,
dermatitis seboroik memiliki skuama tebal pada lipatan nasolabial, liang telinga,
dan alis bagian tengah.1
Akne vulgaris terjadi pada kelompok usia yang lebih muda dibanding
rosasea dan dikarakteristikkan dengan komedo terbuka dan tertutup pada lesi
inflamasi. Pada usia 20 dan 30 tahunan, pasien dapat menderita akne vulgaris dan
rosasea secara bersamaan. Lesi papul pada rosasea umumnya lebih merah dan
dalam dibanding akne dan lesi rosasea yang inflamasi tidak berada sekitar
komedo.1,4,8
Eritema pada bagian pipi lateral yang terlihat pada eritromelanosis faciei
dan keratosis pilaris rubra sering sulit dibedakan dengan rosasea
eritematotelangiektasis, namun eritromelanosis dan keratosis ini memiliki papul
folikular yang sangat kecil dan sumbatan keratotik.1
Sindrom Harber merupakan penyakit yang diturunkan ditandai dengan
dermatosis seperti rosasea, persisten, dan onsetnya awal. Eritema dan
telangiektasis terjadi bersamaan dengan komedo, atrofi, dan papul kecil. Pada
dekade kehidupan yang lanjut, plak keratotik tersebar pada trunkus dan
ekstremitas.1
9
Folikulitis demodex juga memberikan efloresensi papul dan pustul
folikular eritema seperti rosasea. Folikulitis demodex sering terjadi pada kondisi
imunosupresi dan pada kerokan kulit, sering ditemui kutu Demodex. Pemberian
terapi permetrin dan atau ivermektin oral memberi efek yang memuaskan.1
Kemerahan kulit yang diinduksi obat dapat terjadi pada penggunaan obat
vasodilator, penyekat saluran kalsium, asam nikotinik (niasin), morfin, amyl dan
butil nitrat, obat kolinergik, bromokriptin, hormon pelepas tiroid, tamoxifen,
asetat siproteron, steroid sistemik, dan siklosporin. Selain itu, terdapat beberapa
kondisi kulit yang mirip dengan rosasea, yaitu erupsi akneiform yang diinduksi
steroid topikal, dermatitis perioral, dan kerusakan foto kronik. Lesi erupsi
akneiform yang diinduksi steroid topikal mirip dengan lesi rosasea subtipe
papulopustular. Pada rosasea tidak ditemukan defek keratinisasi folikular.
Dermatitis perioral berbeda dengan rosasea berdasarkan distribusinya di perioral,
kadang periorbital, mikrovesikel, mikropustul, bersisik, dan terkelupas, mengenai
dewasa muda dan anak-anak. Kerusakan kulit akibat paparan sinar kronik ditandai
oleh telangiektasis dan eritema yang menonjol. Tidak seperti rosasea, kerusakan
aktinik juga mengenai wajah perifer dan leher, dada atas, dan kulit aurikular
posterior.1,2,4
Diagnosis
Tidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rosesa.
Penegakan diagnosis dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari
rosasea. Biopsi kulit dapat dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis
banding.12
a. Gambaran primer
Diagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu
atau lebih tanda-tanda di bawah ini:
Kemerahan kulit (eritema transien)
Eritema nontransien
Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa
disertai pustul, dapat pula disertai dengan nodul.
10
Telangiektasis.5
b. Gambaran sekunder
Tanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran
primer, tapi beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah.
Rasa terbakar dan pedih
Plak
Kulit kering.
Edema.
Manifestasi okular.
Lokasi perifer.
Perubahan fimatous.5
Penatalaksanaan
Berikut ini penatalaksanaan umum rosasea:
a. Menyarankan kepada pasien untuk menghindari faktor pencetus dan iritan,
seperti sabun yang kuat dan pembersih kosmetik berbasis alkohol.1,4
b. Menyarankan pasien untuk menggunakan tabir surya sebagai pelindung
terhadap sinar ultraviolet A dan ultraviolet B.4
c. Menyarankan kepada pasien untuk melakukan penilaian terhadap
sensitivitas topikal. Bila pasien mengalami intoleransi/sensitif terhadap
bahan-bahan kosmetik dapat digunakan light liquid foundation. Selain itu,
penggunaan green tinted make up pada lesi sebelum aplikasi alas bedak
dapat dilakukan untuk memudarkan area merah.1,4
d. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan pembersih wajah bebas
sabun dan mengandung sodium sulfacetamide atau sulfur pada pasien yang
sensitif, untuk mengurangi rasa terbakar dan perih akibat penggunaan obat
topikal (azelaic acid).
e. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan pelembab wajah yang
lembut satu sampai dua kali sehari sebelum penggunaan produk kosmetik
lain.
Penatalaksanaan khusus rosasea dilakukan berdasarkan subtipenya.
11
1. Rosasea Eritematotelangiektasis
Antibiotik topikal ringan
Isotretinoin dosis rendah
Tetrasiklin/eritromisin/metronidazol oral
Laser vaskular
Laser ini dapat membantu remodeling kolagen dermal sehingga
matriks dermal dapat lebih kuat.2
Intense pulsed light
Retinoid topikal dosis pemeliharaan
Krim tretinoin dengan emolien.4
2. Rosasea Papulopustular
Rosasea papulopustular berespon baik dengan pengobatan pada
kebanyakan kasus. Perbaikan terjadi perlahan, namun relaps sering terjadi
dengan cepat setelah pengobatan dihentikan.4, 9
Antibiotik topikal
Antibiotik oral
Isotretinoin dosis rendah sampai sedang
Laser vaskular atau intense pulsed light pada beberapa kasus
Retinoid topikal dosis pemeliharaan
3. Rosasea Fimatous dan Rosasea Glandular
Isotretinoin dosis sedang sampai tinggi
Spironolakton
Operasi pengecilan dan teknik kontur. Pada rinofima dapat
dilakukan pembentukkan ulang dengan penggunaan scalpel yang
dipanaskan, elektrokauter, dermabrasi, laser ablasi, eksisi
tangensial dikombinasi scissor sculpting, dan radiofrequency
electrosurgery. Kombinasi dari berbagai teknik operasi ini dapat
memberikan hasil yang lebih memuaskan.2,8
Antibiotik topikal dan atau oral bila dibutuhkan pada lesi inflamasi
Retinoid topikal dosis pemeliharaan
4. Rosasea Okular
Pasien dengan rosasea okular harus dikonsulkan ke dokter spesialis mata.
12
Pembersih.
Air mata artificial.
Emulsi oftalmik ciclosporin.11
Tetrasiklin oral 1 g/hari selama 6 minggu. Tetrasiklin bekerja
sebagai agen antiinflamasi dan menekan sekresi sitokin. Selain itu
dapat digunakan asam fusidik formulasi oftalmik topikal. Pada
studi in vitro, ditemukan bahwa doksisiklin menurunkan
konsentrasi dan aktivitas matriks metalloproteinase (MMP)-9 pada
kultur epitel kornea. 3,4,7
Terapi Topikal
Kombinasi azelaic acid gel 15%, krim/gel metronidazol 0.75 dan 1%, dan
sodium sulfacetamid 10%, dengan krim/suspensi/pembersih sulfur 5% efektif
dalam membersihkan papul dan pustul yang meradang dan mengurangi eritema
bila digunakan 1-2 kali per hari. Penggunaan tetrasiklin dan eritromisin topikal
dapat memperbaiki iritasi pada kulit dengan rosasea. Selain itu, formulasi yang
terdiri dari benzoyl peroxide 5% dan klindamisin 1% telah terbukti efektif dan
ditoleransi baik oleh pasien rosasea. Tacrolimus topikal telah dilaporkan
memperbaiki eritema, sedangkan pimecrolimus topikal memperbaiki lesi eritema
dan papulopustular.3,4
Pada rosasea yang refrakter dengan terapi sebelumnya, dapat digunakan
terapi foto dinamik. Terapi dilakukan setelah pengolesan krim asam metil
aminolevulinik 16% selama 3 jam, selanjutnya dilakukan penyinaran dengan sinar
merah 37 J/cm2. Terapi ini dilakukan dengan interval 1 minggu, dan pasien dapat
menggunakan 1 atau 2 terapi lain selama interval itu.4,8
Terapi Sistemik
Antibiotik oral, seperti tetrasiklin atau oksitetrasiklin 250-500 mg satu
kali sehari tiap pagi, eritromisin 250 mg dua kali sehari, doksisiklin 40 mg per
hari, minosiklin 100 mg satu sampai dua kali sehari, dapat mengontrol lesi papul
dan pustul dan membantu mengobati lesi okular. Pada kasus rosasea yang resisten
dapat digunakan alternatif terapi isotretinoin 10-60 mg/hari. Selain mengurangi
13
lesi inflamasi, isoretinoin juga dapat memperbaiki kualias hidup dan memperbaiki
rinofima. Isotretinoin tidak boleh diberikan pada kasus rosasea dengan
keterlibatan okular, karena retinoid dapat merusak fungsi kelenjar
Meibomian.2,3,7,11
Kemerahan kulit dan rasa terbakar merupakan gejala yang sulit untuk
diobati, namun sering digunakan obat penyekat non-kardioselektif seperti
propanolol 40 mg dua kali sehari atau nadolol 40 mg per hari, dan oksimetazolin
topikal 0.05% tiap hari. Selain itu, dapat dilakukan laser vaskular atau intense
pulse light untuk mengurangi kemerahan kulit dan rasa terbakar.4
Terapi rosasea yang sukses dicapai bila terapi mampu menginduksi remisi
tanda dan gejala, serta meminimalkan dan mengontrol relaps.4
Prognosis
Bila rosasea dapat didiagnosis lebih awal, dilakukan modifikasi perilaku,
dan diberikan kombinasi terapi tabir surya dan agen topikal, maka manifestasi
klinis rosasea dapat dikontrol hingga jangka panjang, efektif, dan aman serta
risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser atau sinar dapat ditekan. Durasi
penyakit rosasea dan hasil akhir sangat bervarisi dan sulit untuk diprediksikan.
Pada suatu studi pemantauan terhadap 70 pasien setelah 6 bulan menjalani
pengobatan dengan tetrasiklin, dua per tiga nya mengalami relaps rata-rata setelah
periode 2.6 tahun. Sebagian besar gejala rosasea berhasil dikontrol, namun
kemeraan kulit seringkali sulit untuk ditekan.3,4
Kesimpulan
Rosasea adalah penyakit kulit yang dikarakteristikkan dengan eritema
pada bagian sentral wajah yang persisten, papul pustular, atau fimatous dan atau
manifestasi okular. Penyakit ini sering terjadi pada kelompok umur 30 sampai 50
tahun dan penyebabnya belum diketahui secara pasti. Rosasea terdiri atas subtipe
eritematotelangiektasis, papulpustul, fimatous, dan okular. Penegakkan diagnosis
rosasea dilakukan berdasarkan gambaran primer dan sekunder, dan
penatalaksanaan dilakukan berdasarkan subtipe.
14