Refrat Polip

28
REFERAT POLIP NASI Lalu Muhammad Nuh H1A007035 Pembimbing : dr. Markus Rambu, Sp.THT DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

description

polip adalah massa yang tumbuh di meatus media

Transcript of Refrat Polip

Page 1: Refrat Polip

REFERAT

POLIP NASI

Lalu Muhammad Nuh

H1A007035

Pembimbing : dr. Markus Rambu, Sp.THT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2013

Page 2: Refrat Polip

I. PENDAHULUAN

Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada

membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik masa

edema lunak yang membentuk masa bertangkai dengan tangkai yang

ramping atau lebar.1 Sebagian besar polip ini berasal dari kompleks

osteomeatal (KOM) dan melebar ke rongga hidung.1,4

Prevalensi dari penderita polip nasi masih belum diketahui secara

pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi epidemolologi serta

tergantung pada pemilihan populasi penelitian serta metode diagnostik yang

digunakan. Namun dari beberapa penelitian diketahui bahwa angka kejadian

dari polip hidung ini mencapai 1-4% dari total populasi di seluruh dunia.

Umumnya lelaki lebih banyak terkena penyakit ini dibandingkan wanita,

serta populasi dewasa juga lebih sering dibandingkan dengan anak-anak.

Seandainya polip hidung ini terjadi pada anak-anak, maka harus dipikirkan

kemungkinan adanya gangguan mukosiliar dan penyakit imunodefisiensi,

sebagai contoh pasien dengan cystic fibrosis memiliki prevalensi 6-8%

untuk mengalami polip hidung.2

Etiologi dari polip hidung ini sendiri masih merupakan subjek yang

terus menjadi sorotan dalam berbagai penelitian terkini. Berbagi faktor

khusunya inflamasi kronis hidung, faktor intoleransi aspirin, asma dan riwayat

rinitis alergi merupakan beberapa dari banyak faktor predisposisi yang akan

dijelaskan nantinya dalam referat ini.

Selain begitu banyak faktor predisposisi serta etiologinya, hal lain

yang juga menjadi sorotan terkini terkait polip hidung ini yaitu bagaimana

penanganan efektif yang dapat dilakukan. Selama ini penanganan yang

digunakan untuk polip hidung yaitu penanganan medikal dan operatif.

Kortikosteroid topikal merupakan pilihan obat yang digunakan untuk

mengurangi ukuran polip dan meningkatkan patensi pernafasan melalui

hidung serta digunakan untuk mencegah kekambuhan. Kemudian pada pasien

yang tidak memberikan respon dengan terapi ini atau memiliki ukuran polip

yang sangat besar, tindakan operatif merupakan pilihan selanjutnya.2,3

1

Page 3: Refrat Polip

Untuk itu dalam refrat ini akan dibahas mengenai gambaran polip

hidung secara umum, namun dengan pembahasan yang lebih terperinci

terkait dengan etiopatogenesis serta penatalaksanaannya.

II. ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi,

5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh

kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan

beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang

hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus

frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang

rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago

nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3)

beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.4

2

Gambar 2.1 Kerangka tulang dan tulang rawan5

Page 4: Refrat Polip

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit

yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

disebut vibrise.4

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang

dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2)

vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian

tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2)

kolumela.4 Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os

etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan

kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang

3

Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi

Page 5: Refrat Polip

palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis.6 Septum dilapisi oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,

sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di

belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral

hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,

lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan

konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 4

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu

meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka

inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus

inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.4 Meatus medius terletak

diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius

terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum

4

Gambar 2.3 Septum nasi

Page 6: Refrat Polip

etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana

terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.4 Pada

meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior

merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.4

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika

berasal dari a. karotis interna.4

III. FISIOLOGI HIDUNG

Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus

memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari

prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,

agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional

yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dasri sinus-sinus anterior

(maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka

seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi

perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada

mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.

Beberapa fungsi hidung juga antara lain :

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring

udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan

dan mekanisme imunologik

2. Fungsi penghidu

3. Fungsi fonetik dalam resonansi suara, membantu proses bicara

4. Refleks nasal.

5

Page 7: Refrat Polip

IV. POLIP HIDUNG

a. Definisi

Polip hidung adalah penyakit inflamasi kronis pada membran

mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan karakteristik adanya masa

edema, berwarna putih keabu-abuan yang membentuk masa bertangkai dengan

dasar tangkai tipis atau lebar.1,4 Umumnya sebagian besar polip ini berasal

dari celah kompleks osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah

rongga hidung.1

b. Epidemiologi

Pada populasi umum, angka kejadian polip hidung ini pada orang

dewasa sekitar 1-4 %. Prevalensi ini jauh lebih rendah pada anak, dimana

seandainya ditemukan anak dengan polip hidung, maka kemungkinan besar

ada gangguan pada faktro mukosilier atau faktor imunologisnya, misalnya

pada anak dengan polip hidung cenderung disertai dengan danya cystic

fibrosis. Dengan pemeriksaan endoskopi yang teliti pada kadaver, ditemukan

seperempat dari individu memiliki polip tanda riwayat penyakit sinonasal

sebelumnya. Polip hidung biasanya terjadi pada rentang usia 30-60 tahun

dengan dominasi pada pria sekitar 2:1 sampai 4:1 dibandingkan dengan

wanita.1,2

c. Etiologi dan Patogenesis

Untuk lebih memahami etiologi dan patogenesis dari polip hidung,

maka terlebih dahulu sebaiknya kita melihat tampakan histologis dari polip

ini. Polip hidung umumnya ditandai dengan adanya edema jaringan yang

masif, yang terjadi dari karena kebocoran plasma melalui celah endotel

(endothelial junction) yang melebar pada pembuluh darah. Berdasarkan

temuan histologis, polip hidung dapat dibagi menjadi empat tipe menurut

Hellquist HB1,6 :

- Eosinophilic edematous type: ditandai dengan edema pada stroma

dengan jumlah eosinofil yang banyak.

6

Page 8: Refrat Polip

- Chronic inflamatory or fibrotic type : ditandai dengan sel

inflamasi khususnya limfosit dan neurtrofil dan sedikit eosinofil

- Seromucinous gland type : tipe I disertai dengan hiperplasia

kelenjar seromukus.

- Atypical stromal type

Sedangkan secara umum, klasifikasi dari polip hidung ini dibagi

menjadi eosinophil dan neutrophil dominated inflammation, tergantung dari

sel inflamasi masa yang lebih dominan. Sebagian besar pada polip hidung,

eosinofil merupakan sel inflamasi yang paling sering ditemukan.1

Sedangkan untuk kepentingan klinis, Stammberger1,6 mengklasifikasikan

polip hidung menjadi lima kelompok, dilihat berdasarkan endoskopi dan

kriteria klinis, respon terhadap terapi yang berbeda serta hubungannya

dengan penyakit lain, yaitu :

- Antrocoanal polyp

- Large isolated polyp

- Polyps associated with chronic inflamation, non-eosinophilic

dominated, non-related to hyperreactive airway syndrome

- Polyps associated with CRS, eosinophilic-dominated

- Polyps associated with spesific disease (Cystic fibrosis, non-

invasive/non-allergic fungal sinusitis, malignancy)

Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari infeksi,

inflamasi non infeksi, anatomis, serta abnormalitas genetik. Banyak teori yang

mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari inflamasi kronis, oleh karena

itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya inflamasi kronis pada rongga

hidung dapat menjadi faktor predisposisi polip. Kondisi-kondisi ini seperti

rinitis alergi ataupun non alergi, sinusitis , intoleransi aspirin, astma, Churg-

strauss syndrome, Cystic fibrosis, katagener syndrome, young syndrome.

Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :1

Alergi

Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena

tiga hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari

7

Page 9: Refrat Polip

eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal

yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara

menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui

inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung.1

Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip

hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka

kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi

lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset

asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitear 10-15%

Ketidak Seimbangan Vasomotor

Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak

ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan

alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami

rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip

hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan

berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam

regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan

edema dan pembentukan polip.

Bernouli Fenomena

Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan

yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan

tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa

disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi

infalamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya

polip.

Terori Rupture Epithel

Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena

infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang

selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin

semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena

mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan

8

Page 10: Refrat Polip

mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna

pada pasien dengan polip hidung.

Intoleransi Aspirin

Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari

intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat

sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya

aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon

Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien

dengan intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan

bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan

metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene

(Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam

arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang

selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG

antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya

akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon

inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis.

Cystic Fibrosis

Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif

pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena

mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis

transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya

cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan

impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium.

Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida

menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya

menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein

CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.

Nitric Oxide

Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan

peran besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi

9

Page 11: Refrat Polip

dari tone vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai

jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan

seimbang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase ,

catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat

melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant, maka akan terjadi

defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis. Ditemukan laporan

akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing

enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang

menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.

Infeksi

Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting

terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan

pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya

terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus

aureus, atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering

ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi

terjadinya polip hidung masih belum benar-benar dipahami.

Superantigen Hypotensis

Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah

mukus didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,

staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B

(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan

berperan sebagai supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi

klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini,

akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4),

hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal

disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik

IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip

hidung.

10

Page 12: Refrat Polip

d. Manifestasi Klinis

Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya

dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus.

Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih

sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri

kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari

penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal drip

serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas

melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas

hidup.4

Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa

batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan asma.

Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma,

intoleransi aspirin.4,6

e. Diagnosis

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung

tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan

gejala skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,

gangguan tidur dan gangguan aktifitas.4

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar

sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada

pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal

dari meatus media dan mudah digerakkan.4

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium

1 : polip masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah

keluar dari meatus media, tampak pada rongga hidung tertapi belum

memenuhi rongga hidung, Stadium 3: polip masif.4

11

Page 13: Refrat Polip

Pemeriksaan Penunjang

Naso-endoskopi

Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari

rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat

terlihat dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering

dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius

sinus maksila.

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan

latera) dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan

adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang

bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat

bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan

sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,

polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT

scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati

dengan terapi medikamnetosa, jika ada komplikasi dari

sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.

f. Tatalaksana

Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu:

- Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung

- Meminimalisir gelaja

- Meningkatkan kemampuan penghidu

- Menatalaksanai penyakit penyerta

- Meningkatkan kulitas hidup

- Mencegah komplikasi.3,6

Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui

penatalksanaan medis dan operatif.

12

Page 14: Refrat Polip

4.1 Gambar alur Tatalaksana Polip Hidung

Tatalaksana Medis

Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara

medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif,

serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.3

1. Antibiotik

Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang

selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat

13

Page 15: Refrat Polip

mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama

operasi. Antibiotik yang diberkan harus langsung dapat memberikan

efek langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan

bakteri anaerob, yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis

kronis.3,6

2. Corticosteroid

Topikal Korticosteroid

Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip

hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna

pada pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat

mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal

ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate

nasal drop 400 ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam

mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), diamana dapat

mengurangi ukuran dari polip hidung dan keluhan hidung tersumbat.3

Sitemik Kortikosteroid

Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum

banyak diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan

terapi kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total

dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan

pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg

dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus

dan mengurangi ukuran polip.3

Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik

tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama

5 hari, dan 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang

signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal

selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu.6

14

Page 16: Refrat Polip

3. Terapi lainnya

Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek

simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi

menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan

dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient

dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin3.

Terapi Pembedahan

Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada

pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal,

pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis,

selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu

dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas.

Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi),

etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus

maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi

endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power.

g. Prognosis

Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip

hidung ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan

tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih

sering terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini

yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan

obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan

serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan

polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat

penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan

lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka

kekambuhan polip hidung.3

V. KESIMPULAN

15

Page 17: Refrat Polip

Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi

pada membran mukosa hidung dan sinus paranasalis, dengan

karakteristik masa edema lunak yang membentuk masa pedunculated

dengan tangkai yang ramping atau lebar. Penyebab pasti dari polip ini

sendiri masih belum bisa dijelaskan secara pasti, namun diduga adanya

inflamasi kronis menjadi faktor penyebab utamanya.

Berbagai kondisi yang berhubungan dengan terbentuknya polip

hidung ini antara lain yaitu riwayat alergi, ketidak seimbangan

vasomotor, fenomena bernoulli, rupture epitel, cystic fibrosis, radikal

bebas, serta adanya infeksi.

Pada pasien dengan polip hidung ditemukan keluhan-keluhan

berupa hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula

didapatkan gejala skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau,

halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas. Dari rinoskopi anterior

ditemukan adanya masa pucat bertangakai. Kemudian pemeriksaan

penunjang dapat dilakukan foto polos, CT scan serta endoskopi untuk

menegakkan diagnosa.

Penanganan pada polip hidung ini dapat dengan obat-obatan

(medik) serta dapat pula dengan tindakan operatif.

VI. DAFTAR PUSTAKA

1. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etopatogenesis. J Med Assoc

Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72

2. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal

Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012

: 2 (4) : 72-75

3. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.

Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 :

27-36

16

Page 18: Refrat Polip

4. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi

kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 – 95

5. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of

the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology.

New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13

6. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87

17