refrat Hirschprung

30
BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Hirschprung atau megakolon kongenital adalah kelainan kongenital dimada tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meissneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus. Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertropi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal. Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai megakolon kongenital ini. Penyakit Hirschprung ini ditandai oleh tidak adanya sel myenteric dan ganglion submukosal (pleksus Auerbach dan Meissner) di sepanjang traktus digestif distal. Penyakit ini menyebabkan penurunan motilitas pada segmen usus yang terkena, kurangnya gelombang peristaltik menuju kolon yang aganglion, dan relaksasi abnormal pada segmen ini. 1

Transcript of refrat Hirschprung

BAB 1 PENDAHULUAN

Penyakit Hirschprung atau

megakolon kongenital adalah kelainan

kongenital dimada tidak dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meissneri pada kolon. Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus. Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertropi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal. Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai megakolon kongenital ini. Penyakit Hirschprung ini ditandai oleh tidak adanya sel myenteric dan ganglion submukosal (pleksus Auerbach dan Meissner) di sepanjang traktus digestif distal. Penyakit ini menyebabkan penurunan motilitas pada segmen usus yang terkena, kurangnya gelombang peristaltik menuju kolon yang aganglion, dan relaksasi abnormal pada segmen ini. Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar 1400 bayi dengan penyakit Hirschprung. Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan, dan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung dengan enterokolitis.

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Penyakit Hirschprung dikarakteristikkan sebagai tidak adanya sel ganglion di pleksus mienterikus (auerbachs) dan submukosa (meissners). (Gambar 1)

Gambar 1. Gambaran kolon normal dan kolon yang tidak normal

2.2. Epidemiologi Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus. Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada

2

colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis .

2.3. Etiologi 1) Ketiadaan sel-sel ganglion Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk Hirschsprungs disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal untuk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen di dalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktorfaktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, imunologis, vaskular, atau mekanisme lainnya.

2) Mutasi pada RED-oncogen Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah ditemukan dalam kaitannya dengan penyakit

Hirschsprung segmen panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk penyakit Hirschsprung adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. Sinyal dari gen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.

3

Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perkembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-oncogene RET diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50 sampai 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada hanya 15 sampai 20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang sporadis.

3) Kelainan dalam lingkungan mikro dinding usus Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan penyakit Hirschsprung, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini.

4) Matriks protein ekstraselular Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar

glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV yang tinggi dalam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro di dalam usus ini dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari penyakit Hirschsprung.

4

2.4. Anatomi dan Fisiologi Kolon Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan

terfiksasi, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan. Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi

serabut saraf parasimpatis

usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus

pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf parasimpatis). Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus: 1) Pleksus Auerbach: terletak di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal 2) 3) Pleksus Henle: terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler Pleksus Meissner: terletak di submukosa Pada penderita penyakit Hirschprung tidak dijumpai ganglion pada ke tiga pleksus tersebut.

5

2.5. Patofisiologi Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat di bagian distal rektum. Dasar patofisiologi dari penyakit Hirschprung adalah tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.

Hipoaganglionosis Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.

Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada kolon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang kolon namun ada pula yang mengenai seluruh kolon

Imaturitas dari sel ganglion Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase, sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.

6

Kerusakan sel ganglion Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapa dapat berasal dari vaskular atau nonvaskular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara Swenson, Duhamel, atau Soave.

2.6. Klasifikasi Penyakit Hirschprung Pada pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit ini, pada sel ganglion Auerbach dan Meissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot hipertofik. Aganglionosis ini mulai dari anus ke arah oral. Berdasarkan panjang segmen yang terkena, penyakit Hirschprung dapat diklasifikasikan dalan 3 kategori: 1) Penyakit Hirschsprung segmen pendek/ HD klasik (75%) Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid. Merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. 2) Penyakit Hirschsprung segmen panjang/ Long segment HD (20%) Daerah agonglionosis dapat melebihi sigmoid malah dapat mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan 3) Total Colonic Aganglionosis (3-12%)

Beberapa lainnya yang jarang terjadi, yaitu: 1) Total intestinal aganglionosis 2) Ultra short segment Hirschprungs disease (melibatkan rektum distal di bawah lantai pelvis dan anus).

7

2.7. Diagnosis 2.7.1. Anamnesis Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.

2.7.2. Gejala klinis Gambaran klinis peyakit Hirschprung dapat dibedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat: 1) Periode Neonatal Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48

8

jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita HD ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. (Gambar 2)

Gambar 2. Foto pasien penderita Hirschprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien tampak menderita. 2) Anak Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

9

2.7.3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan yang digunakan untuk membantu mendiagnosa penyakit Hirschprung dapat mencakup: 1) Foto Polos Abdomen (BNO) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop distensi usus dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Bayangan udara dalam kolon pada neonatus jarang dapat bayangan udara dalam usus halus. Daerah rektosigmoid tidak terisi udara. Pada foto posisi tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara dalam rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit Hirschsprung.

Gambar 3. Penyakit Hirschprung. Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus dan daerah rektosigmoid tidak terisi udara.

10

2) Barium enema Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas: Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Gambar 4. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

11

3) Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan dalam rektum) Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri mengukur tekanan dari otot sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak yang memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi secara normal. Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan mendorong. Tekanan otot spinkter anal diukur selama aktivitas. Saat memeras, seseorang mengencangkan otot spinkter seperti mencegah sesuatu keluar. Mendorong, seseorang seolah mencoba seperti pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang kooperatif dan dewasa.

4) Biopsi rektum Ini merupakan tes paling akurat untuk penyakit Hirschsprung. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung akan tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak diperlukan anestesi. Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi full-thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada biopsi fullthickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksai di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.

12

2.8. Penatalaksanaan Seperti kelainan kongenital lainnya, penyakit Hirschprung

memerlukan diagnosis klinik secepat dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi yang sebaik-baiknya. 1) Pre operatif a. Diet Pada periode preoperatif, neonatus dengan penyakit

Hirschprung terutama menderita gizi buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian bayi dengan penyakit Hirschprung yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy dapat diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal. b. Terapi farmakologik Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan penyakit Hirschprung dimaksudkan untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rektum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rektal dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

2) Operatif Tergantung pada jenis segmen yang terkena. Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus

13

pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. Tidakan bedah definitif pada penyakit Hirschprung dapat dilakukan dengan berbagai taknik antara lain: a. Prosedur Swenson Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah

definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan

spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior. Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvis dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvis/

14

abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup. b. Prosedur Duhamel Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvis pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding

posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya: Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk

melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.

15

c. Prosedur Soave Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. d. Prosedur Rehbein Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan

intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

3) Post operatif Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-through), pemberian makanan peroral dimulai

sedangkan pada bentuk short segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.

16

2.9. Komplikasi Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas: 1) Kebocoran anastomose 2) Stenosis 3) Ruptur kolon 4) Enterokolitis 5) Gangguan fungsi spinchter

2.10. Prognosis Akibat yang dihasilkan setelah perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitif adalah sulit untuk ditentukan karena terjadi konflik pada laporan dalam literatur. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.

17

BAB 3 KESIMPULAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus Auerbach dan pleksus Meissner pada kolon. Gambaran klinis penyakit hirschprung: pada periode neonatal ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama), muntah berwarna hijau dan distensi abdomen. Sedangkan pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive), terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen., riwayat BAB yang tak pernah normal, letargis, demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan menurun, diarrhea, distensi abdomen yang berat, feses berbau busuk. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa

Hirschsprung adalah barium enema dimana akan dijumpai 3 tanda khas : 1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi. 2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi. 3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Penatalaksanaan penyakit hirschprung adalah tindakan operatif dengan prognosis umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Caniano, D.A., D.H. Teitelbaum, and S.J. Qualman : Management of Hirschsprung's disease in children with Trisomy 21. Am J Surg, 159:402, 1990. 2. Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,th

editors. Maingots Abdominal Operation. 10 ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;1997.p.2097-105. 3. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993. 4. Kleinhaus S, Boley SJ, Sheran M, et al. Hirschsprung's disease. A survey of the members of the Surgical Section of the American Academy of Pediatrics. J Pediatr Surg 1979; 14:588-597. 5. Neville, H.L. Hirschprung Disease [diunduh tanggal 18 Nov 2010 dari: http://emedicine.medscape.com/article/929733-overview ]. 6. Rehbein, F., H. Halsband, and S. Hofmann : [Hirschsprung's disease with a long narrow segment]. Dtsch Med Wochenschr, 94:708, 1969. 7. Sjamsuhudajat, R., Wim de jong. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC. 2004. 8. Swenson, O., and J.H. Fisher : Hirschsprung's disease during infancy. Surg Clin North Am, 36:115, 1956. 9. Swenson, O., J. Sherman, J. Fisher, and E. Cohen : The treatment and postoperative complications of congenital megacolon: a 25 year follow-up. Ann Surg, 182:266, 1975. 10. Wyllie R. Gangguan Motilitas dan Penyakit Hirschprung dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol 2. Edisi 15. Jakarta: ECG. 1999. Hal. 13151319. 11. Yoshida, C Jr. Hirschprung Disease Imaging [diunduh pada 18 Nov 2010 dari: http://emedicine.medscape.com/article/409150-overview ].

19