refrat hesti asma

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma meningkat pada anak maupun dewasa. Asma memberikan dampak negatif bagi kehidupan penderitanya. Telah terjadi perubahan pada patogenesis asma, dahulu diyakini sebagai suatu proses yang disebabkan karena bronkospasme dan diobati dengan obat bronkodilator. Dewasa ini, asma diketahui sebagai keadaan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik. Sehingga obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan. Asma pada masa kanak-kanak sebenarnya dapat dikendalikan , walaupun tidak semuanya dapat disembuhkan. Pada kenyataannya, sebagian besar asma masih “under- diagnosed” dan “under-treated”. Sebaliknya di beberapa negara maju, asma ringan sering diberi pengobatan yang berlebihan. (3) Pada anak dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti. Bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. Walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri. (3) Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood 1

Transcript of refrat hesti asma

Page 1: refrat hesti asma

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara

maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma meningkat pada anak

maupun dewasa. Asma memberikan dampak negatif bagi kehidupan penderitanya. Telah

terjadi perubahan pada patogenesis asma, dahulu diyakini sebagai suatu proses yang

disebabkan karena bronkospasme dan diobati dengan obat bronkodilator. Dewasa ini,

asma diketahui sebagai keadaan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik. Sehingga

obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat

ringan. Asma pada masa kanak-kanak sebenarnya dapat dikendalikan , walaupun tidak

semuanya dapat disembuhkan. Pada kenyataannya, sebagian besar asma masih “under-

diagnosed” dan “under-treated”. Sebaliknya di beberapa negara maju, asma ringan sering

diberi pengobatan yang berlebihan. (3)

Pada anak dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum

diketahui dengan pasti. Bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi

saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya.

Walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata

hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri.(3)

Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak

diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung,

Heart, and Blood Institute Amerika yang bekerjasama dengan World Health Organization

(WHO). Untuk anak-anak, Global Initiative for Asthma (GINA) tidak dapat sepenuhnya

diterapkan, sehingga Pediatric Asthma Consensus Group dalam pertemuan pada bulan

Maret 1995 mengeluarkan Konsensus Internasional III Penanggulangan Asma Anak

(selanjutnya disebut Konsensus Internasional ) yang dipublikasikan pada tahun 1998.

Selain Global Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional, banyak negara

yang mempunyai konsensus nasional di negara masing-masing, misal Indonesia sudah

ada Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi

Pulmonologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Konsensus Nasional

Asma Anak menjadi acuan dalam tatalaksana asma anak di Indonesia, maka istilah

konsensus diganti menjadi pedoman. (3)

1

Page 2: refrat hesti asma

1.2. Tujuan Penulisan

Referat berjudul “Asma pada Anak” disusun dengan tujuan agar para pembaca

dan penulis dapat memahami asma secara keseluruhan, yang meliputi :

1. Definisi asma

2. Faktor risiko asma

3. Pencetus timbulnya asma

4. Klasifikasi dan derajat asma

5. Cara mendiagnosis pasien asma

6. Pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam mendiagnosis kasus asma

7. Penatalaksanaan kasus asma

8. Pencegahan yang perlu dilakukan untuk pasien asma agar terhindar dari serangan

ulang.

9. Prognosis pasien asma

10. Dan lain-lain.

2

Page 3: refrat hesti asma

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan

inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan

limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,

sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala

tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,

yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap

berbagai rangsangan.(4)

Konsensus Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang

dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma.(4)

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA), kecurigaan asma apabila anak menunjukkan

gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini

hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada

penderita atau keluarganya. Untuk menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima

tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu

disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi

respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun

(batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama

kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau

berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu

dipertimbangkan diagnosis asma. (1)

2.2 Epidemiologi

Asma diderita kurang lebih oleh tiga ratus juta penduduk dunia. Prevalensi penderita

asma meningkat, terutama pada anak. Setiap tahun, WHO memperkirakan sekitar lima belas

juta penderita mengalami penurunan kualitas hidupnya, dan dua ratus lima puluh ribu

penderita asma meninggal. Lima ratus ribu pasien dirawat karena asma dengan usia delapan

belas tahun atau lebih muda, dengan perkiraan biaya 6,2 miliar. Setiap tahunnya, 1,81 juta

anak usia delapan belas tahun atau lebih muda membutuhkan perawatan Unit Gawat Darurat.

Antara anak remaja usia lima hingga tujuh belas tahun, diperkiran menjadikan hari tidak ikut

3

Page 4: refrat hesti asma

sekolah selama sepuluh juta hari. Angka kesakitan dan kematian akibat asma pada anak

dalam dua dekade ini meningkat.(2)

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di berbagai

pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner baku. Rosmayudi di

Bandung pada tahun 1993 menemukan prevalensi asma pada anak enam hingga dua belas

tahun sebanyak 6,6%. Arifin di Palembang pada tahun 1996 menemukan prevalensi asma

5,7% pada anak tiga belas hingga lima belas tahun. Pada tahun 2002, Kartasasmita di

Bandung menemukan prevalensi asma yang berbeda tergantung umurnya, yaitu 3% pada

anak enam hingga tujuh tahun dan 5,2% pada anak tiga belas hingga empat belas tahun.

Namun Rahajoe NN di Jakarta menemukan prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 6,7% pada

anak tiga belas hingga empat belas tahun. Sidhartani di Semarang tahun 1994 meneliti 632

anak usia dua belas hingga enam belas tahun dengan menggunakan kuesioner International

Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC) dan pengukuran Peak Flow Meter

menemukan prevalensi asma 6,2%. (1)

Faktor risiko asma berhubungan dengan ras, kasus asma pada anak kulit hitam lebih

tinggi dibandingkan anak kulit putih. Sebelum pubertas, prevalensi tiga kali lebih tinggi laki-

laki daripada perempuan, selama remaja, prevalensi sama antara laki-laki dan perempuan.

Kebanyakan anak, asma berkembang sebelum usia lima tahun, dan lebih dari setengah kasus

berkembang sebelum usia tiga tahun. Di antara bayi, 20% mempunyai riwayat wheezing

dengan infeksi saluran nafas atas dan 60% tidak ada wheezing setelah usia enam tahun.

Banyak kasus transient wheezers yaitu tidak ada alergi, walaupun fungsi paru sering

abnormal. Anak dengan riwayat wheezing pertama yang berhubungan dengan alergi,

kemungkinan akan mendapatkan wheezing ketika usia enam hingga sebelas tahun. Bila

wheezing didapatkan saat usia di atas enam tahun dengan riwayat alergi, maka kemungkinan

akan mendapatkan wheezing saat usia sebelas tahun. (2)

2.3 Etiologi(2)

1. Infeksi saluran pernafasan; paling banyak disebabkan oleh infeksi virus. Bayi dan anak

dengan persisten wheezing dan asma mempunyai Immunoglobulin E tinggi dan respon

imun eosinofil, saat pertama kali terserang infeksi.

2. Alergen; terdapat dua respon yaitu, early asthmatic responses (respon dalam waktu

singkat) yang terjadi lewat terbentuknya mediator Immunoglobulin E dari sel mast dalam

hitungan menit pasca paparan alergen dan berakhir dalam dua puluh hingga tiga puluh

menit. Late asthmatic responses (respon lambat) yang terjadi dalam empat hingga dua

belas jam pasca paparan alergen dengan gejala berat yang berakhir selama satu jam atau

lebih. Alergen berupa makanan, kutu, debu, dan lain-lain

4

Page 5: refrat hesti asma

3. Irritan ; zat iritan berupa asap rokok, udara dingin, bahan kimia, parfum, bau cat, polusi

udara yang dapat mencetuskan hiperresponsif bronkial (mekanisme inflamasi).

4. Perubahan cuaca

5. Olahraga ; panas dan kehilangan cairan dapat meningkatkan osmolaritas cairan

pernafasan dan mengakibatkan terbentuknya mediator-mediator. Dingin mengakibatkan

kongesti dan dilatasi pembuluh darah bronkial, selama fase penghangatan setelah

olahraga, pembuluh darah agak melebar.

6. Emosi

7. Reflux gastroesofagus (GER) ; asam mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas

8. Inflamasi saluran nafas atas ; rhinitis alergi, sinusitis, dan lain lain

9. Asma nokturnal ; diakibatkan oleh alergen, sinusitis, refluks gastroesofagus, inflamasi

parenkim, dan lain lain.

2.4 Patofisiologi

1. Obstruksi saluran respiratori

Perubahan fungsional yang terjadi pada asma adalah terjadinya obstruksi saluran

respirasi yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversibel, ini

berdasarkan gejala batuk, sesak, mengi yang timbul pada asma, serta reaksi berlebihan

saluran nafas terhadap bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf

sensorik saluran respirasi oleh mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini juga berperan

dalam menimbulkan persepsi sesak melalui saraf aferen. Ketika saraf aferen terangsang,

misal pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia, maka akan merangsang timbulnya

hiperventilasi alveolar, dan terdapat kemungkinan terburuk adalah dimana adanya

gangguan fungsi pada reseptor aferen yang menyebabkan terjadinya penurunan

kemampuan merasakan adanya penyempitan saluran nafas, ini terjadi pada kasus asma

kronis berat (perceivers buruk). (3)

Semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran

respirasi yang mempengaruhi struktur trakeobronkial, maksimal hingga bronkus kecil

dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran nafas mengalami peningkatan dan laju

ekspirasi maksimal menurun, yang mempengaruhi volume paru secara keseluruhan.

Penyempitan saluran nafas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume residu.

Mekanisme adaptasi yang timbul dari penyempitan saluran pernafasan adalah bernafas

dengan hiperventilasi dimana usaha ini dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Inflasi

toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal secara mekanik

5

Page 6: refrat hesti asma

mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal. Peningkatan usaha

bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal nafas. (3)

2. Hipereaktivitas saluran respiratori

Mekanisme yang menjelaskan timbulnya reaktivitas yang berlebihan sampai saat

ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas

yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas, inflamasi pada dinding

saluran nafas, terutama pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan

saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos. Stimulus yang lain seperti olahraga,

udara dingin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas,

stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut saraf dan sel lain untuk

mengeluarkan mediatornya.(3)

3. Otot polos saluran respiratori

Peningkatan kontraktilitas otot pada asma berhubungan dengan peningkatan

kecepatan pemendekan otot. Perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau

plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran nafas yang

terjadi secara kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dapat

menigkatkan respon otot polos untuk berkontraksi. Ini membuktikan adanya hubungan

antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran nafas secara in vitro. (3)

4. Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran

nafas pasien asma dan penampakan remodelling saluran nafas merupakan karakteristik

asma kronik. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu

ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab yang persisten pada serangan

asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.

Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme yang berperan terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan

hiperplasia, dan mekanisme patofisologi yang berperan terhadap terjadinya sekresi sel

granulasi. Mediator yang dikeluarkan sel goblet, yang mengalami metaplasi dan

hiperplasi merupakan bagian dari inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan oleh

stimulus lingkungan, seperti asap rokok, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan

neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik. Degranulasi yang diprovokasi

oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret , seperti leukotrien, histamin,

produk netrofil non protein. (3)

6

Page 7: refrat hesti asma

5. Keterbatasan aliran udara ireversibel

Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian

kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan

hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan

dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas

yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos

menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel. (3)

6. Eksaserbasi

Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat

menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang

dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran

nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering

menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti

histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya

menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang

diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi

asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi

saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat

menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan

derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial.

Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang

dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu,

paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.(3)

7. Asma nokturnal

Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil

dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya

inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila

pasien asma tidur dalam posisi supine. (3)

8. Abnormalitas gas darah

Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat

ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang

terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan

asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan

7

Page 8: refrat hesti asma

PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat

pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2)sehingga dapat timbul

gagal nafas dan mati. (3)

2.5 Patogenesis

1. Inflamasi Akut dan Kronis

Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis.

Pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi

fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.

-Reaksi Fase Awal/Cepat (Early Phase Reaction)

Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivitas sel-sel yang sensitive terhadap

allergen IgE spesifik, terutama sela mast dan makrofag. Pada pasien dengan

komponen alergi yang kuat terhadaptimbulnya asma, basofil juga ikut berperan. (3)

Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang

menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim

glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien,

adenosine, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator yang sudah terbentuk

sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran

respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan

kebocoran mikrovaskular. (3)

-Reaksi Fase Lambat

Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal.meliputi

pengerahan dan aktivitas dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag.

Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi

dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang

teraktivitas oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam

2-4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi

mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan

aktivitas sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat

semakin lama semakin kuat. (3)

Reaksi fase lambat dipikirkan merupakan system model untuk mempelajari

mekanisme inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons fase lambat dan

berlangsungnya pajanan alergen, aktivitas sel-sel pada saluran respiratori

menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang pelepasan sel

leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan prekursornya dari sumsum tulang ke

dalam sirkulasi. (3)

8

Page 9: refrat hesti asma

2. Airway Remodeling

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang

secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang

menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru.

Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang

rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang

rusak/injury dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada

asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi

yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme

sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodelling.

Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari

diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposisi jaringan

penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan

fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.(8)

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan

remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga

komponen lainnya seperti matriks ekstraseluler, membran retikular basal, matriks

interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot

polos, kelenjar mukus. (8)

Perubahan struktur yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran reticular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraseluler fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

2.6 Gejala Klinis

Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas

dan rasa berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau

9

Page 10: refrat hesti asma

berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan

berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak

atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya

asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).(6)

Gejala asma yang khas biasanya berupa batuk episodik dan wheezing disertai rasa

tertekan di dada dan kesulitan bernafas, terutama pada malam hari. Batuk biasanya kering

namun dapat produktif dengan sputum yang kental dan lengket. Adakalanya batuk

merupakan gejala satu-satunya. Gambaran klinik ini akibat dari penyempitan saluran

pernafasan yang mengakibatkan obstruksi aliran udara. (9)

Penyempitan saluran nafas terjadi akibat proses peradangan, melalui 3 hal :

• Kontraksi otot polos bronkus yang eksesif

• Penebalan dinding saluran bronchus

• Sekresi berlebihan di dalam lumen

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda

dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: (7)

1. Timbul secara episodik dan/atau kronik,

2. Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

3. Musiman

4. Faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik

5. Reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan

pengobatan, serta

6. Adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada

pasien/keluarganya,

7. Sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Manifestasi alergi lain yang dapat menyertai pada penderita asma:(6)

1. Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.

2. Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.

3. Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.

4. Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk.

Sering menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.

5. Nyeri otot & tulang berulang malam hari.

6. Sering kencing, atau bed wetting (ngompol)

10

Page 11: refrat hesti asma

7. Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan,

lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan

bibir kering.

8. Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil

hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.

9. Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat

(berlebihan)

10. Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip,

11. Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.

12. Sering sakit kepala, migrain.

2.7 Klasifikasi Asma

Menurut Global Initiative for Asthma(3)

1. Intermiten

Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan

(FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau

FEV1<20%)

2. Persisten ringan

Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat mengganggu

aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80%

nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%)

3. Persisten sedang

Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala

nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1 60-

80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau

FEV1>30%)

4. Persisten berat

Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi

(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau

FEV1>30%)

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004(3)

Parameter klinis,

kebutuhan obat, dan

Asma episodik Asma episodik sering Asma persisten

11

Page 12: refrat hesti asma

faal paru Jarang

Frekuensi serangan <1 x/bulan >1 x/bulan Sering

Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu

Hampir sepanjang tahun

(tidak ada remisi)

Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam

Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu

Pemeriksaan fisis (di

luar serangan)

Normal (tidak ada

kelainan)

Mungkin terganggu

(ada kelainan) Tidak pernah normal

Obat pengendali

(antiinflamasi) Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid

Uji faal paru (di luar

serangan) PEF/FEV1>80 % PEF/FEV160-80 %

PEF/FEV1<60 %

Variabilitas 20-30%

Variabilitas faal paru

(bila ada serangan) Variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%

2.8 Diagnosis

Perjalanan alamiah (3)

Beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah anak dengan mengi pada tahun

pertama kehidupan, ternyata hanya sejumlah kecil yang mengalami asma pada masa anak. Salah

satu penelitian yang dilakukan TCRS (Tucson Children Respiratory’s Study) menghasilkan

bahwa terdapat 3 fenotip mengi yang terjadi pada masa anak, yaitu

1. transient early wheezing ; kebanyakan pada anak yang mengalami mengi pada 3 tahun

pertama kehidupan, mengi tidak sering, timbul sesekali, dan tidak timbul lagi pada usia 6

tahun . jenis ini tidak mempunyai riwayat keluarga asma, dermatitis atopi, peningkatan kadar

IgE yang lebih. Faktor risiko kasus ini adalah penurunan fungsi paru sebelum terkena

penyakit infeksi saluran nafas bawah, ibu merokok selama kehamilan, dan ibu usia muda.

Wheezing berulang berhubungan dengan penyakit saluran nafas akut oleh virus.

2. wheezing of late onset ; tidak pernah mengalami penyakits saluran nafas bawah yang disertai

mengi, tetapi, pada usia 6 tahun timbul mengi. Ditemukan dengan ibu asma, anak laki-laki,

dan adanya rinitis pada tahun pertama kehidupan.

3. persistent wheezing ; paling sedikit satu kali terkena penyakit saluran pernafasan bawah

dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi selalu muncul sampai usia 6

tahun. Ibu dengan asma, IgE tinggi. Kurang lebih 60 % anak menunjukkan atopi pada usia 6

tahun, dan 40 % non-atopi.

Penilaian derajat serangan asma (3)

Parameter klinis,Fungsi paru,Laboratorium

Ringan Sedang Berat (Tanpa ancaman henti

nafas)

Berat (Ancaman henti nafas)

12

Page 13: refrat hesti asma

Sesak timbul-pada saat (breathless)

BerjalanBayi:menangis keras

BerbicaraBayi :-    Tangis pendek dan lemah-    Kesulitan makan/minum

IstirahatBayi :Tidak mau makan/minum

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Posisi Bisa berbaring Lebih suka dudukDuduk bertopang lengan

Kesadaran Mungkin irritable

Biasanya irritable Biasanya iritable Bingung dan mengantuk

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/JelasMengi (wheezing) Sedang, sering

hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspirasi,± inspirasi

Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Sulit/tidak terdengar

Sesak nafas Minimal Sedang Berat

Obat Bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya YaGerakan paradok torako-abdominal

Retraksi Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah nafas cuping hidung

Dangkal / hilang

Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat MenurunPedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :

Usia                       laju nafas normal< 2 bulan                       < 60 / menit2 – 12 bulan                   < 50 / menit1 – 5 tahun                     < 40 / menit6 – 8 tahun                     < 30 / menit

Laju nadi Normal Takikardi Takikardi BradikardiPedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar :

Usia                       laju nadi normal2 – 12 bulan                   < 160 / menit1 – 2 tahun                     < 120 / menit3 – 8 tahun                     < 110 / menit

Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis)

Tidak ada

< 10 mmHg

Ada

10-20 mmHg

Ada

> 20 mmHg

Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas

PEFR atau FEV1 (% nilai dugaan/% nilai terbaik)-     pra bronkodilator-     pasca

bronkodilator

> 60%

40-60%

> 80%

60-80%

< 40%

< 60%Respon < 2 jam

SaO2 % > 95% 91-95% ≤ 90%PaO2 Normal

biasanya tidak perlu diperiksa

> 60 mmHg < 60 mmHg

PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHgSumber : Global Initiative for Asthma 2006

Alur diagnosis(3)

Batuk dan/mengi

13Riwayat penyakit Pemeriksaan fisikUji tuberkulin

Page 14: refrat hesti asma

2.9 Pemeriksaan Penunjang(3)

1. Pemeriksaan fungsi paru, terdiri dari

1. Pengukuran sederhana ; peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi

(APE), pulse oxymetry, spirometri

2. Pengukuran kompleks ; muscle strength testing, volume paru absolut, kapasitas difusi

uji fungsi paru yang biasa dilakukan adalah volume paru, fungsi jalan nafas,

pertukaran gas. Pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai

14

Diduga asma :1. Episodik2. Nokturnal/morning dip3. Musiman4. Pasca aktivitas berat5. Riwayat atopi pasien/keluarga

Tidak jelas asma :1. Timbul pada masa neonatus2. Gagal tumbuh3. Infeksi kronik4. Muntah/tersedak5. Kelainan fokal paru6. Kelainan sistem kardiovaskuler

Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau spirometer untuk menilai :1. Reversibilitas (≥15%)2. Variabilitas (≥15 %)3. Hiperreaktivitas (≥20%)

Pertimbangkan pemeriksaan:1. Foto ro toraks dan sinus2. Uji fungsi paru3. Uji respon terhadap bronkodilator4. Uji provokasi bronkus5. Uji keringat6. Uji imunologik7. Pemeriksaan motilitas silia 8. Pemeriksaan refluks gastroesofagusBerikan bronkodilator

Diagnosa kerja : asma

Tentukan derajat dan pencetusnyaBila asma episodic sering/persisten :foto rontgen

Berikan obat anati asma: bila tidak berhasil, nilai ulang diagnosis dan ketaatan berobat

berhasil

Tidak berhasil

Tidak mendukung diagnosa lain

mendukung diagnosa lain

Diagnosis dan pengobatan sesuai dengan diagnosis kerja

Pertimbangkan asma sebagai penyakit penyerta

Bukan asma

Page 15: refrat hesti asma

parameter pertukaran gas, tetapi pulse oxymetry masih merupakan pemeriksaan yang

berguna dan efisien. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah

manuver ekspirasi paksa secara maksimal yang dapar dilakukan pada anak di atas 6

tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC)

dengan menggunakan spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau

arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan

reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma,

menilai derajar beratnya asma, dan menjadi acuan dalam strategi pedoman

pengelolaan asma.

Pada pedoman nasional asma anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma anak

dipakai batasan :

1. variabilitas PEF atau FEV1 ≥15%

2. kenaikan PEF atau FEV1 ≥15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator

3. penurunan PEF atau FEV1 ≥20% setelah provokasi bronkus

penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥2 minggu.

2. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas

Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian

respon saluran nafas terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat membantu

menegakkan diagnosis asma.

3. Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif

Dapat dilakukan dengan cara memeriksa sputum, dan dengan pengukuran kadar NO

ekshalasi. Tetapi, pemeriksaan ini tidak spesifik.

4. Penilaian status alergi

Dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dapat membantu menentukan faktor risiko

atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan untuk :

1. Menentukan apakah anak atopi

2. Mengarahkan manipulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi

2.10 Penatalaksanaan

Tata laksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya terntang

15

Page 16: refrat hesti asma

penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus, serta medikamentosa.

Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pereda (reliever)

dan pengendali (controller). (5) Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat

serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika

sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini

tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai

obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar

asma yaitu inflamasi saluran nafas kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus-

menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya

terhadap pengobatan /penanggulangan. (1) Tata laksana asma dibagi menjadi dua kelompok

yaitu saat serangan dan di luar serangan. Di luar serangan, pemberian controller tergantung

pada derajat penyakit. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan

pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat

serangan, lakukan prediksi derajat serangan, kemudian ditata laksana sesuai dengan

derajatnya. (5)

Terdapat empat komponen agar serangan asma tidak berulang (asma terkontrol),

yaitu :(10)

1. Pendekatan, edukasi pasien.

Manajemen kasus asma diperlukan hubungan dan kerja sama yang baik antara

penderita, dan orang-orang yang ada di sekitar pasien (orang tua, dokter, dan

lain-lain). Hal ini berhubungan dengan kepatuhan meminum obat, memberikan

edukasi kapan, dan ciri asma yang memburuk dan langkah apa yang harus

dilakukan bila kondisi asma memburuk, dan lain-lain.

2. Mengindentifikasi dan mengurangi faktor risiko

3. Tata laksana, dan memantau asma

4. Pencegahan dan tata laksana eksaserbasi asma.

Eksaserbasi adalah waktu dimana nafas pendek, batuk, wheezing, tarikan dada

atau kombinasi dari gejala yang meningkat secara progresif.

Terapi yang tidak perlu dilakukan/diberikan untuk asma : (10)

1. Sedatif

16

Page 17: refrat hesti asma

2. Mukolitik ; karena dapat memperberat batuk

3. Terapi fisik pada dada/fisioterapi ; karena dapat meningkatkan ketidak nyamanan pada

pasien

4. Antibiotik ; antibiotik diberikan pada pasien pneumonia atau infeksi bakteri, bukan

asma

5. Adrenalin ; tidak berguna pada pasien asma

2.10.1 Terapi Medikamentosa

Terdiri dari tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang. Pada

saat serangan pemberian α-2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala

dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan

sedang dan berat.

Pada serangan asma yang berat: (5)

1. Berikan oksigen

2. Nebulasi dengan β-agonis  ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali

pemberian.

3. Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada

4. Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam

5. Berikan aminofilin intra vena :

1. Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin

dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-

30 menit.

2. Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis

diberikan separuhnya.

3. Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.

4. Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

6. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan

pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral

7. Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan

dibekali obat  β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam

selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol

ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Tata laksana serangan asma pada anak(5)

17

Page 18: refrat hesti asma

Klinik/IGD

Tatalaksana Jangka Panjang

Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada

asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak

diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses

remodelling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Pemberian kortikosteroid yang

lama pada anak merupakan perdebatan yang cukup lama. Para ahli sepakat bahwa

18

Nilai derajat serangan

Tatalaksana Awal

1. Nebulisasi -agonis 1-2x selang 20 menit2. Nebulisasi kedua + antikolinergik3. Jika serangan sedang/berat, nebulisasi

langsung dengan 2-agonis +antikolinergik

Serangan Ringan (nebulisasi 1 kali, respons baik)1. Observasi 1-2 jam2. Jika efek bertahan,

boleh pulang3. Jika gejala timbul

lagi, perlakukan sebagai serangan sedang

Serangan Sedang (nebulisasi 2 kali, respons parsial)1. Berikan oksigen (3)2. Nilai kembali derajat

serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi di Ruangan Rawat Sehari

3. Berikan steroid oral

Serangan Berat (bila telah nebulisasi 3 kali, respons buruk)1. Sejak awal berikan O2

saat/diluar nebulissasi2. Pasang jalur parenteral3. Nilai ulang keadaan klinis,

jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap

4. Foto rontgen toraks

Boleh Pulang1. Bekali dengan obat -

agonis (hirupan/oral02. Jika sudah ada obat

pengendali, teruskan’jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat diberikan steroid oral

3. Dalam 24-48 jam control ke Klinik Rawat Jalan, untuk reevaluasi

Ruang Rawat Sehari / Observasi1. Teruskan pemberian

oksigen2. Lanjutkan steroid oral3. Nebulisasi tiap 2 jam4. Bila dalam 12 jam

perbaikan klinis stabil, bioleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum mambaik atau memburuk alih rawat ke ruang rawat inap

Ruang Rawat Inap1. Teruskan oksigen2. Atasi dehidrasi dan asiodsis jika ada3. Steroid IV tiap 6-8 jam4. Nebulisasi tiap 1-2 jam5. Aminofilin IV awal lanjutkan

rumatan6. Jika mambaik dalam 4-6x

nebulisasi, interval jadi 4-6 jam7. Jika dalam 24 jam perbaikan klinis

stabil, boleh pulang8. Jika dengan steroid dan aminofilin

parenteral tidak mambaik, bahkan timbul ancaman henti napas alih rawat ke ruang rawat intensif

Catatan :1. Jika menurut penilaian serangannya sedang/berat, nebulisasi

pertama kali langsung dengan -agonis + antikolinergik2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat

Intensif3. Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan

adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit

diberikan sejak awal, termasuk pada saat nebulisasi

Page 19: refrat hesti asma

pemberian kortikosteroid secara sistemik dalam jangka panjang dapat mengganggu

pertumbuhan anak sehingga harus berhati-hati dan bila memungkinkan dihindari.

Berdasarkan hal tersebut, pemberian secara topikal menjadi pilihan utama. Pemberian

kortikosteroid secara topikal (dalam hal ini secara inhalasi) dalam waktu lama

(jangka panjang) dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan

pertumbuhan pada anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan

keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar. Pemberian

yang salah, baik dosis maupun cara pemberian, justru akan berdampak negatif

terhadap pertumbuhan anak dan efek samping lainnya seperti moon face, hipertensi,

perawakan pendek, dan sebagainya. (4)

Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis

rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan pada

anak < 12 tahun 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu)

apabila keadaan asmanya stabil. Pemberian dosis tersebut mempunyai efektifitas

yang baik pada asma yang membutuhkan obat pengendali. Selain itu efek samping

yang dikuatirkan yaitu gangguan pertumbuhan tidak terjadi dengan kortikosteroid

dosis rendah. (4)

Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai

akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak

ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak

terganggu, dan kualitas hidup cukup baik. Apabila dengan pemberian kortikosteroid

dosis rendah hasilnya belum memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting

beta-2 agonist (LABA) atau dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan

antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium

(setaradengan budesonide 200-400 μg). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi

tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang

diberikan < 400 μg dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi

800 μg, karena dengan penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan

menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya. (4)

Penggunaan LABA cukup menjanjikan, karena selain efek bronkodilator

dengan lama kerja yang lama (long acting), LABA juga mempunyai efek lain yang

masih dalam perdebatan yaitu antiinflamasi. pemberian kortikosteroid bersama

dengan LABA sangat menguntungkan. Pada saat ini telah dipasarkan di Indonesia

dalam bentuk satu sediaan yaitu fluticason-salmeterol, dan budesonidformoterol.

Pemberian kombinasi fluticason-salmeterol maupun budesonid-formoterol

19

Page 20: refrat hesti asma

mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan pemberian kortikosteroid dosis ganda

(double dose) secara sendiri. Kombinasi antara kortikosteroid dan LABA telah

terbukti aman selama dosis dan penggunaannya benar. (4)

Di Indonesia bentuk atau kemasan yang ada adalah dry powder inhaler (DPI)

yaitu berisi budesonide-formoterol, dan bentuk metered dose inhaler (MDI) yang

berisi fluticasone-salmeterol. Kombinasi budesonide-formoterol mempunyai onset

yang lebih cepat dibandingkan dengan fluticason-salmeterol, sedangkan flutikasone-

salmeterol mempunyai harga yang lebih murah dan mengurangi perawatan di rumah

sakit. Pada anak sangat dianjurkan menggunakan spacer (alat antara) apabila

menggunakan MDI, karena dapat meningkatkan deposit obat di paru, mengurangi

koordinasi saat menyemprot dan menghirup, serta mengurangi efek samping

kandidiasis mulut. Penggunaan DPI harus benar yaitu dengan menghisap secara cepat

dan dalam, sehingga penggunaannya harus pada anak yang lebih besar (umumnya di

atas 5 tahun). (4)

Penggunaan sodium kromoglikat, nodokromil, dan α2 agonis long-acting

sebagai contoller (pengendali) telahbanyak dilaporkan. Penggunaan obat α2 agonis

long-acting biasanya digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi sebagai

pengendali. Saat ini penggunaan kromoglikat dan nedokromil untuk tatalaksana

jangka panjang tidak digunakan lagi, karena selain efek antiinflamasinya kurang

kuat, juga tidak tersedianya obat tersebut. Selain pengobatan di atas, ada obat lain

yang digunakan pada asma yaitu golongan antileukotrien seperti montelukas dan

zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis zafirlukas masih terbatas pada anak

usia >6 tahun, sedangkan jenis montelukas sudah digunakan pada anak di atas 2

tahun. Mengenai penggunaan obat ini, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (4)

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena

perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang

benar dan berulang kali :

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia (1)

Umur Alat inhalasi < 2 tahun Nebuliser (alat uap)   MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer

Aerochamber, Babyhaler 5-8 tahun Nebuliser   MDI dengan spacer   DPI (Dry Powder Inhaler): Diskhaler, Turbuhaler

20

Page 21: refrat hesti asma

> 8 tahun Nebuliser   MDI dengan spacer   DPI   MDI tanpa spacer

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membuat pedoman tentang tatacara dan

langkah – langkah untuk penggunaan obat controller.(4)

Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma episodik sering atau asma

persisten, maka penggunaan controller sudah harus dijalankan. Pertama berikan

kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis sampai 6-8 minggu. Apabila dalam

waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara

bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam

waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka

harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah

21

Page 22: refrat hesti asma

ditambahkan LABA, atau dengan penambahan TSR, atau dengan penambahan

antileukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan menjadi double dose. (4)

Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma.

Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan

secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat

tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil,

maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis

kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien,

atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi. Apabila dengan dosis

ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke

tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas

asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. (4)

Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir

tatalaksana asma pada anak. Selain penggunaan obat controller, usaha pencegahan

terhadap faktor pencetus harus tetap dilakukan. (4)

Mengenai penggunaan obat antihistamin sebagai obat controller pada asma

anak tidak dianjurkan karena mempunyai efek seperti atropin (atropine like effect)

yang justru merugikan penderita. Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma

jangka panjang apabila penderita menderita asma disertai rinitis alergika kronis.

Tanpa penyakit penyerta rinitis alergika, PNAA tidak menganjurkan pemberian

antihistamin pada tatalaksana jangka panjang. Penggunaan antihistamin generasi

terbaru (misalnya setirizin dan ketotifen) sebagai pencegahan terhadap asma dapat

diberikan pada anak yang mempunyai risiko asma yang kuat yaitu riwayat asma pada

keluarga dan adanya dermatitis atopi pada penderita. Pemberian obat ini masih

kontroversi, meskipun ada yang berpendapat akan mempunyai efek yang cukup baik

bila digunakan selama 18 bulan. (4)

i. Terapi Nonmedikamentosa

Terdiri dari tatalaksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada

penderita dan keluarganya, penghindaran terhadap faktor pencetus. Pada KIE perlu

ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada

kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya.

Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan

22

Page 23: refrat hesti asma

bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus

pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya. (3)

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran

yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang

menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat

terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap

pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. (3)

Pencegahan asma

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi

atau anak yang mempunyai resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari.

Yang dimaksud dengan resiko adalah bayi atau anak dengan atopi, baik pada

salah satu ataupun kedua otangtuanya. Langkah pertama adalah mengenali

adanya faktor resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari, yaitu dengan

mengenali orangtua dengan atopik. Oleh karena itu, upaya pencegahan primer

sudah dapat dimulai ketika belum terjadinya potensi genetik bersatu yaitu

dengan rekayasa genetik. Akan tetapi, hal ini belum dapat dilakukan, sehingga

upaya pencegahan primer saat ini masih ditujukan pada janin atau bayi dengan

resiko asma. Beberapa upaya pencegahan primer telah ditelusuri dan masih

banyak yang kontroversial. Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat

prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orang tua dihindari terhadap

lingkungan yang bersifat sebagai faktor resiko. Penghindaran yang dianjurkan

adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud

dengan indoor pollutants adalah asap rokok, debu rumah yang mungkin

mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain lain. Pemberian probiotik

untuk menurunkan kejadian asma saat ini masih dibicarakan. Diperkirakan

caranya adalah melalui supresi Th2 yang berperan terhadap inflamasi dan

produksi immunoglobulin A (IgA). Faktor yang meningkatkan prevalens asma

yang sudah disepakati adalah infeksi Respiratory sincytial virus (RSV). Ada

dua kemungkinan mekanisme terjadinya peningkatan tersebut. Mekanisme

pertama, mungkin saja pada anak tersebut, yang telah mempunyai riwayat

atopi, melakukan reaksi yang berlebihan terhadap infeksi RSV, sehingga

kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan berdampak di

kemudian hari. Mekanisme kedua, infeksi RSV akan mengakibatkan kerusakan

23

Page 24: refrat hesti asma

hebat pada saluran respiratorik, sehingga kerusakan tersebut berdampak di

kemudian hari. Selain pemberian probiotik pada bayi, yang telah banyak

dilakukan adalah pemberian susu hipoalergenik (susu dengan protein

hidrolisat). (3)

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada

seorang anak yang sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah dibuktikan

dengan menggunakan obat antihistamin. Pada early treatment of the atopic

child (ETAC), pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan

dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mecegah terjadinya asma

sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk

sari. Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan

kejadian asma. (3)

Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor resiko lain seperti

alergen harus dihindari juga. Penghindaran pada pencegahan sekunder juga

sama seperti pada pencegahan primer, sebab tanpa penghindaran terhadap

alergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak bermakna. Akan tetapi,

pencegahan sekunder ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut. (3)

3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang

anak yang sudah menderita asma. Kita menyadari bahwa serangan asma dapat

terjadi akibat adanya faktor pencetus. Pencegahan terhadap hal tersebut

merupakan salah satu langkah pencegahan tersier. Faktor lain yang dapat

menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka panjang. Yang

dimaksud terapi jangka panjang adalah pemberian obat pengendali (controller)

berupa kortikosteroid, baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi

dengan β-agonis kerja panjang atau antileukotrien. (3)

b. Prognosis(2)

1. Wheezing yang ditemukan pada bayi yang disertai infeksi saluran pernapasan

atas (URTIs), 60% tidak menunjukkan gejala pada usia enam tahun, namun anak-

anak yang menderita asma (gejala dapat berulang pada usia enam tahun).

2. Beberapa temuan menunjukkan bahwa prognosis buruk bila asma terjadi pada

usia kurang dari tiga tahun, kecuali bila hanya disebabkan oleh virus.

24

Page 25: refrat hesti asma

3. Individu yang mengalami asma selama masa kanak-kanak memiliki FEV1 yang

rendah, hipersensitivitas saluran nafas dan sering terjadi

bronkospastik oleh karena infeksi dan menghasilkan wheezing.

4. Anak-anak dengan asma ringan yang tidak menunjukkan gejala antara serangan

mungkin di kemudian hari akan bebas dari asma.

5. Saat remaja, kebanyakan asma tidak bergejala atau ringan, tetapi akan menetap

selanjutnya.

6. Asma memiliki kecenderungan berulang pada masa pubertas, dengan

kemungkinan terjadi lebih dini pada anak perempuan. Walau bagaimanapun,

dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki tingkat hyperresponsif

bronkial (BHR) yang lebih tinggi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Asma merupakan inflamasi kronik yang terjadi di saluran nafas atas yang ditandai dengan

wheezing dan batuk.

25

Page 26: refrat hesti asma

2. Asma dibagi menjadi asma ringan, sedang, dan berat

3. Penyebab timbulnya asma sangat banyak, di antaranya infeksi saluran nafas, alergen,

iritan, perubahan cuaca, olahraga, emosi, dan lain-lain.

4. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru, pemeriksaan

hiperreaktivitas saluran nafas, pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif,

dan penilaian status alergi.

5. Penatalaksanaan pasien asma berupa kombinasi yang baik antara terapi medikamentosa

dan nonmedikamentosa. Pencegahan faktor pencetus sangatlah penting, agar terhindar

dari serangan asma ulangan

DAFTAR PUSTAKA

1. Nastiti, dkk. ASMA. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi pertama. IDAI .Jakarta : 2008.

2. Supriyatno, H. Bambang. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universita Indonesia/ Rumah

Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

26

Page 27: refrat hesti asma

3. Sidhartani, Magdalena (2007) Peran Edukasi Pada Penatalaksanaan Asma Pada Anak.

Documentation. Diponegoro University Press, Semarang

4. www.emedicine.com eMedicine Specialties > Pediatrics: General Medicine

>Pulmonology>astma

5. Mangunnegoro Hadiarto,dkk. ASMA. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di

Indonesia. PDPI. Jakarta : 2004.

6. www.fk.unpad.ac.id / anti IgE asma pada anak. 2007

7. Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S. Asma bagian Ilmu Kesehatan

Anak.Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya

8. www.joeuser.com dr Widodo Judarwanto SpA. Asma Pada Anak Gangguan yang

Menyertai dan Fakta Yang belum Terungkap. Children Allergy Center Rumah

Sakit Bunda Jakarta, Oktober: 2006

9. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Nasional Cipto

Mangunkusumo 2007

10. www.ginasthma.org. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. 2009

27

Page 28: refrat hesti asma

28