Refrat Hemoroid Fix
-
Upload
yovita-like -
Category
Documents
-
view
183 -
download
6
description
Transcript of Refrat Hemoroid Fix
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Pendahuluan Hemoroid
Hemoroid adalah jaringan normal yang terdapat pada semua orang, yang
terdiri atas pleksus arteri-vena, berfungsi sebagai katup di dalam saluran anus
untuk membantu sistem sfingter anus, mencegah inkontinensia flatus dan cairan.
Sedangkan dari kamus kedokteran dorland, hemoroid didefinisikan sebagai
dilatasi varikosus vena pleksus hemoroidalis inferior atau superior, akibat dari
tekanan vena yang presisten. Kekeliruan sering kali timbul karena istilah
hemoroid dapat ditujukan baik untuk struktur anatomis yang normal maupun
keadaan penyakit yang sifatnya patologis (Thornton 2012, Hartanto 2006 dan
Sjamsuhidajat, 2007).
Di seluruh dunia, prevalensi hemroid diperkirakan mencapai 4,4 % dari total
populasi. Di Amerika Serikat, sepertiga dari 10 juta orang dengan hemoroid
mencarai pengobatan medis, yang mengakibatkan 1,5 juta resep terkait
hemoroid diberikan. Jumlah penderita hemoroid yang menjalani perawatan
rumah sakit di AS terus menurun. Puncak terbanyak 117/100.000 orang
menderita hemoroid pada tahun 1974; rasio ini menurun menjadi 37/100.000
orang pada tahun 1987. Pasien menjalani rawat jalan juga terus menurun
(Thornton, 2012).
Pasien hemoroid sering dijumpai pada orang kulit putih, dengan status
sosioekonomi tinggi dan dari daerah pedesaan. Hubungan dengan predeleksi
jenis kelamin tidak diketahui pasti, namun laki-laki lebih banyak mencari
pengobatan. Bagaimanapun juga, kehamilan menyebabkan ganguan fisiologis
yang menyebabkan seorang wanita dapat menderita hemoroid. Sejalan dengan
besarnya uterus yang hamil, hal ini menyebabkan tekanan pada vena cava
inferior, menyebabkan penurunan aliran darah balik vena dan pelebaran distal.
(Thornton, 2012)
10
3.2. Anorektum
3.2.1. Anatomi
Rektum berasal dari endoderm, merupakan komponen dorsal
kloaka, yang dibatasi oleh septum anorektum. Anus merupakan invaginasi
jaringan ektoderm. Anorektum berkembang dari pengabungan antara
rektum dan anus yang terbentuk pada minggu ke 8. Linea dentata
merupakan tanda pengabungan dan peralihan dari jaringan endodermal
dan ektodermal. Linea dentata dikelilingi oleh lipatan mukosa longitudinal
yang disebut Column of Morgagni, yang pada ujung distalnya merupakan
tempat kripta anus bermuara (Doherty, 2010 dan Bullard, 2010).
Rektum memiliki panjang kurang lebih 12 – 15 sentimeter. Tiga
lipatan submukosa yang berbeda, katub dari Houston meluas ke arah
lumen rektum. Pada sisi posterior, fasia presakral memisahkan rectum
dari plexus vena presakral dan nervus pelvika. Pada S4, fasia rektosacral
(Fasia Waldeyer’s) meluas kearah depan dan bawah dan kemudian akan
melekat pada fasia propia di peralihan anorektum. Disisi anterior, fasia
Denonvillers memisahkan rectum dengan prostat dan vesikulus eminalis
pada laki-laki dan vagina pada perempuan. Ligamentum lateralis
menyangga bagian bawah rectum (Bullard, 2010).
Secara anatomis anus dimulai pada linea dentate yang merupakan
peralihan antara mukosa colorectal dengan mukosa anus, dan berakir
pada lubang anus yang merupakan peralihan dari mukosa anus denga
kulit perianal. Anus memiliki mekanisme katub, teridri atas internal dan
eksternal katub. Katub interna dibentuk oleh sambungan muskulus yang
sirkuler dari rektum. Ini adalah muskulus yang involunter dan biasanya
berkonstraksi pada saat istirahhhat. Sedangkan katub eksternal teridiri
dari otot bergaris yang volunter. (Bullard, 2010).
11
Gambar 3.1 Anatomi Anorektal
3.2.2. Vaskularisasi
Arteri rektum superior berawal dari cabang terakir arteri
mesenterika inferior dan memberi makan rectum bagian atas. Arteri
rectum mediana berawal dari iliaka interna; keberadaan dan ukuran arteri
ini sangat bervariasi. Arteri rectum inferior berawal dari arteri pudendalis
interna yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Banyaknya
jaringan kolateral yang menghubungkan arteriol terminal dari setiap arteri,
memungkinkan rektum relative resisten terhadap iskemik (Doherty, 2010).
12
Gambar 3.2 Arteri Anorektal
Aliran vena anorektum melalui vena rectum superior, mediana dan
inferior mengalirkan darah menuju system portan dan sistemik. Aliran
vena rektum sejajar dengan arterinya. Vena rectum superior mengalirkan
darah ke system porta melalui vena mesenterika inferior. Vena rectum
superior Vena rectum mediana mengalirkan darah ke vena iliaka interna.
Vena rectum inferior mengalirkan darah ke vena pudendalis interna dan
menuju ke vena iliaka interna (Doherty, 2010 dan Bullard, 2010).
Plexus Hemoroidalis adalah suatu anyaman pembuluh darah yang
terletak dibawah mukosa kanalis ani. Plexus hemoroidalis dibagi menjadi
dua yaitu pleksus hemoroid internus dan eksternus. Kedua pleksus
hemoroid, internus dan eksternus saling berhubungan secara longgar dan
merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari rektum
sebelah bawah dan anus .Plexsus hemoroid interna mengalirkan darah ke
vena hemoroidalis superior selanjutnya ke vena porta melalui vena
mesenterika dan vena rektalis superior. Sedangkan darah dari plexus
13
hemoroidalis eksterna mengalirkan darah ke vena cava inferior melalui
vena iliaka interna dan vena rektalis inferior (Bullard, 2010 dan
Sjamsuhidajat, 2007).
Gambar 3.3 Vaskularisasi Anorektal
3.2.3. Aliran Limfatik
Aliran limfatik rectum sebelah atas dan tengah menuju ke nodus
mesenterika inferior. Cairan limfa dari rektum sebelah bawah juga
mengalir ke sistem mesenterika inferior atau ke dalam sistem sepanjang
arteri rektalis inferior dan media, posterior sepanjang arteri sakralis media,
dan anterior melalui saluran di septum rektovaginal atau retrovesical.
Cairan Ini akan mengalir ke kelenjar limfa iliaka dan akhirnya ke nodus
periaortikus. Aliran limfatik dari anus di atas linea dentata mengalir melalui
14
sistim limfatik rektum superior menuju kelenjar limfa nodus mesenterika
inferior dan lateral menuju nodus iliaka interna (Doherty, 2010).
3.2.4. Inervasi
Inervasi rektum melalui system simpatik dan parasimpatik. Saraf
simpatik berasal dari saraf lumbalis (L1-L3), dari pleksus mesenterika
inferior berjalan menuju pleksus hipogastrica superior dan turun sejalan
dengan nervus hipogastrica yang menuju ke pleksus pelvikum. Saraf
paramsipatik berasal dari akar saraf sakral kedua, ketiga dan keempat
dan akan bergabung dengan saraf hipogastrik anterior dan lateral
membentuk pleksus pelvikum. Serat simpatis dan parasimpatis melewati
pleksus pelvikum dan periprostatikum menuju rektum dan sfingter ani
internus maupun prostat, kandung kemih dan penis. Kerusakan pada
saraf ini dapat menyebabkan impotensi, dinfungsi kandung kemih dan
hilangnya mekanisme defikasi (Doherty, 2010).
3.3. Etiologi dan Patogenesis Hemoroid
3.3.1. Etiologi
Jaringan hemoroid biasanya menimbulkan gejala bila terjadi
pembengkakak, inflamasi, thrombosis atau prolaps. Kebanyakan gejala
yang muncul timbul dari pelebaran pleksus hemoroid internus. Beberapa
penyebab hemoroid sebagai berikut (Thronton, 2012) :
a. Berkurangya aliran balik vena.
b. Mengejan dan Konstipasi.
c. Kehamilan
d. Varises anorektum
e. Hipertensi portal.
f. Faktor resiko lain :
a. Terlalu banyak duduk.
b. Genetik
c. Sosioekonomi tinggi.
15
d. Diare kronis.
e. Ca Colon
f. Penyakit hepar
g. Obesitas
h. Injuri tulang belakang
i. Pembedahan rektum
j. Episiotomi
k. Analsex
l. Inflamatory bowel disease
m. Dll.
3.3.2. Patogenesis
Terdapat ada beberapa teori dan mekanisme menerangkan
pembentukan hemoroid yang telah dikemukakan (Yuwono, 2010):
a) Teori Mekanik
Ligamentum suspensorium dan ligamentum Parks adalah
jaringan muskulo-fibro-elastika yang merupakan jaringan ikat
(supporting tissue) yang menahan hemorhoid interna di tempatnya
cenderung mengalami degenerasi dengan bertambahnya usia. Proses
degenerasi telah dimulai sejak usia dekade ke -3 sehingga jaringan
penahan tersebut tidak lagi kuat berpancang pada lapisan dalam
terutama pada otot sphingter interna dan otot-otot submukosa.
Kelemahan tersebut mengakibatkan mobilitas hemoroid ketika terjadi
peningkatan intra rektal, misalnya dalam keadaan mengejan pada
gangguan konstipasi. Pada puncaknya dapat terjadi ruptur ligamentum
suspensorium dan ligamentum Parks sehingga hemorhoid interna
mengalami prolap, keadaan ini yang memudahkan terjadinya dilatasi
vena sehingga ukuran hemorhoid membesar. Selanjutnya setelah
terjadi dilatasi dan motilasi, timbul kerapuhan dinding mukosa yang
melapisi hemorhoid interna, sehingga akibat tindakan mengejan dan
bergeseran dengan permukaan feses akan memudahkan terjadinya
16
perdarahan. Kecenderungan genetik yang mendasari kelemahan
ligamentum suspensorium dan ligamentum Park’s menerangkan
tingginya angka kejadian hemorhoid pada keluarga penderita.
b) Teori Hemodinamik
Struktur vena dan arteri di dalam hemorhoid saling
berhubungan (hubungan arteriol-venosa) dan tanpa memiliki katup.
Peninggian tekanan intra abdomen oleh karena kebiasaan mengejan
yang terlalu kuat ketika buang air besar, yang terjadi pada keadaan
konstipasi, kehamilan, feses yang tersisa dan melekat (fecolith) dalam
ampula recti, dan kegagalan relaksasi muskulus stingfer interna
setelah defekasi, akan menyebabkan hambatan drainase aliran vena
(gangguan venous return). Keadaan tersebut menimbulkan dilatasi
bantalan karena terisi darah dan dinding yang meregang menjadi
menipis. Feses keras yang melalui bantalan vaskuler yang melebar
dapat menyebabkan bantalan tersebut robek dan mengeluarkan darah
merah terang yang menetes di atas masa feses yang telah lebih
dahulu keluar. Peningkatkan aliran darah dalam perut yang terjadi
segera setelah makan dapat menyebabkan dilatasi hemoroid interna
(dilatasi post prandial), yaitu karena terdapat hubungan antara vena
porta dengan plexus hemorhoidalis.
c) Faktor fungsi spingter yang mengalami peninggian tekanan walaupun
sedang istirahat (tidak sedang defekasi). Abnormalitas fungsi sfingter
dibuktikan pada pemeriksaan manometri anorektal penderita penyakit
hemoroid bila dibandingkan dengan tekanan istirahat anorektal
kelompok control.
3.4. Klasifikasi
3.4.1. Hemoroid Interna
Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior diatas
garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa. Hemoroid ini merupakan
bantalan vascular didalam jaringan submukosa pada rektum sebelah
17
bawah. Hemoroid sering dijumpai pada tiga posisi primer, yaitu kanan
depan, kanan belakang dan kiri lateral. Cabang vena yang terletak pada
columna analis pada posisi jam 3, 7, 11 bila dilihat dalam posisi litotomi
merupakan tempat vena paling mudah mengalami pelebaran (varicosi).
Hemoroid yang kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut
(Sjamsuhidajat, 2007 dan Sneel, 2006).
Gambar 3.4 Tiga Posisi Primer Hemoroid
Karena hemoroid ini terjadi pada setengah bagian atas canalis
analis, tempat tunika mukosa dipersarafi oleh saraf aferen otonom, maka
hemoroid tidak peka terhadap nyeri dan hanya peka terhadap regangan.
Keadaan ini dapat menejlaskan mengapa hemoroid interna yang besar
lebih menimbulkan rasa sakit/tidak enak dibandingkan dari rasa nyeri
yang akut (Snel, 2006).
Hemoroid interna dikelompokan dalam empat derajat
(Tronton,2012) :
a) Derajat I : Hemoroid menyebabkan perdarahan merah segar tanpa
nyeri pada waktu defikasi. Pada stadium ini tidak terjadi prolaps dan
pada pemeriksaan anoskopi terlihat hemoroid yang membesar
menonjol kedalam lumen.
18
b) Derajat II : Hemoroid menonjol melalui kanalis analis pada saat
mengedan ringan tetapi dapat masuk kembali dengan secara spontan.
c) Derajat III : Hemoroid menonjol saat mengedan dan harus didorong
kembali sesudah defikasi.
d) Derajat IV : Hemoroid ini merupakan hemoroid yang menonjol ke luar
dan tidak dapat didorong masuk kembali.
Gambar 3.5 Grade Hemoroid Interna
19
3.4.2. Hemoroid Eksterna
Hemoroid eksterna adalah pelebaran pembuluh vena dari cabang-
cabang vena rectalis (hemorrhoidalis) inferior waktu vena ini berjalan ke
lateral dari pinggir anus. Hemoroid ini diliputi oleh kulit dan umumnya
disebabkan dengan hemoroid interna yang sudah ada.
Hemoroid eksterna diliputi oleh tunica mucosa setengah bagian
bawah canalis analis atau kulit, dan dipersarafi oleh nervus rectalis
inferior. Hemoroid eksterna peka terhadap nyeri, suhu, raba dan tekanan
sehingga hemoroid interna cenderung lebih sakit. Trombosis hemoroid
eksterna bisa terjadi. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun batuk dan
mengedan dapat meningkatkan pelebaran hemoroid yang diikuti oleh
statis. Adanya pembengkakan kecil yang mendadak dan nyeri pada
pinggir anus dapat dikenali dengan segera oleh pasien (Snell, 2006)
\
Gambar 3.6 Hemoroid eksterna dan interna
3.5. Diagnosa
a. Anamnesa (Thornton, 2014)
Pasien dengan keluhan gejala anorektal sering kali diasumsikan dengan
hemoroid. Penting untuk diketahui apakah seorang pasien mengeluhkan
gejala anorektal yang disebabkan oleh hemoroid, atau yang disebabkan oleh
penyakit lainya ataupun merupakan gabungan dari keduanya (Ganz,2013).
20
Gejala hemoroid yang paling sering dijumpai meliputi : perdarahan
perektal, nyeri, pruritus dan prolaps. Anamnesa yang menyeluruh mencakup
onset dan durasi dari setiap gejala yang muncul harus ditanyakan. Untuk
melengkapi hal itu : karakteritas nyeri, perdarahan, protusi atau perubahan
dari pola pencernaan, begitu pula status koagulasi dan status imunologi
pasien (Thornton, 2014).
Riwayat keluarga terhadap penyakit hemoroid, pola makan, riwayat
konstipasi maupun diare, riwayat pekerjaan yang terlalu banyak duduk
maupun mengangkat barang-barang yang berat sangatlah berhubungan dan
penting untuk diketahui (Thornton, 2014).
b. Tanda dan Gejala
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau wasir tanpa ada
hubunganya dengan gejala rektum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat
jarang sekali ada hubunganya dengan hemoroid interna dan hanya timbul
pada hemoroid eksterna yang mengalami thrombosis.
a) Hemoroid Interna
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemoroid interna
akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berawarna merah
segar dan tidak bercampur feces, dapat hanya berupa garis pada feses
atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes
atau mewarnai toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah
yang keluar berwarna merah segar karena kaya akan zat asam.
Pendarahan luas dan intensif di pleksus hemoroidalis menyebabkan
darah di vena tetap merupakan “darah arteri” (Sjamsuhidajat,2007).
Seorang dokter harus mengetahui jumlah, warna, dan waktu
keluarnya darah dari anus. Darah yang berwarna lebih gelap dan atau
bercampur dengan feces lebih dicurigai sebabnya berasal dari proksimal.
Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat menyebabkan anemia
berat. (Thornton, 2014)
Hemoroid yang membesar secara perlahan akirnya dapat menonjol
ke luar dan menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya
21
terjadi sewaktu defikasi dan disusul oleh reduksi spontan sesudah selesai
defikasi. Pada stadium lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong
kembali setelah defikasi agar masuk kedalam anus. Akhirnya hemoroid
dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan
tidak dapat didorong masuk lagi (Sjamsuhidajat,2007).
Keluarnya mukus dan terdapatnya feses pada pakaian dalam
merupakan ciri hemoroid yang mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit
perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus anus
dan ini disebabkan oleh kelembapan yang terus menerus dan rangsangan
mukus. Nyeri hanya timbul bila terdapat thrombosis yang luas dan uedem
dan radang (Sjamsuhidajat,2007).
Gambar 3.7 Linea dentata
b) Hemoroid Eksterna
Pasien dengan hemoroid eksterna yang mengalami thrombus akan
mengeluhkan suatu masa akut yang sangat nyeri pada daerah sekitar
dubur. Nyeri pada hemoroid lazimnya hanya muncul bersamaan dengan
pembentukan thrombus akut. Nyeri ini memuncak pada 48-72 jam dan
menjadi berkurang pada hari ke 4 setelah thrombus terbentuk (Thornton,
2014).
22
Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut
misalnya ketika mengangkat barang berat, batuk, bersin, mengedan atau
partus. Vena lebar yang menonjol itu dapat terjepit sehingga kemudian
menjadi thrombosis. Kelainan yang nyeri sekali ini dapat terjadi pada
semua usia dan tidak ada hubungan dengan ada atau tidaknya hemoroid
interna. Kadang terdapat lebih dari satu thrombus.
Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan di bawah kulit
kanalis analis yang nyeri sekali, tegang, dan berwarna kebiruan,
berukuran mulai dari beberapa millimeter sampai 1-2 cm diameternya.
Benjolan itu dapat unilobular, dan dapat pula multilokuler atau beberapa
benjolan. Ruptur dapat terjadi pada dinding venam meskipun biasanya
tidak lengkap sehingga masih terdapat lapisan tipis adventisia menutupi
darah yang membeku (Sjamsuhidajat,2007).
c. Pemeriksaan fisik
Inspeksi pada daerah perianal secara langsung dapat menggambarkan
kelainan eksternal yang nampak. Pemeriksaan dapat dilakukan baik dalam
posisi pasien pronasi ataupun dengan posisi “left lateral decubitus” (LLD),
namun pada umumnya posisi LLD lebih sering digunakan karena lebih
nyaman untuk pasien dan tidak terlalu mengintimidasi pasien dibandingkan
dengan posisi pronasi atau sering dikenal dengan prone jack-knife potition
(Ganz,2013)..
Apabila hemoroid mengalami prolaps, lapisan epitel penutup bagian yang
menonjol keluar ini mengeluarkan mukus yang dapat dilihat apabila penderita
diminta mengedan. Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna tidak
dapat diraba sebab tekanan vena didalamnya tidak cukup tinggi dan biasanya
tidak nyeri. Colok dubur diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
karsinoma rektum (Sjamsuhidajat,2007).
Pemeriksaan colok dubur tampaknya sekarang menjadi “seni yang hilang”
bagi kebanyakan dokter, tetapi pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang penting untuk mengevaluasi pasien dengan keluhan anorektal. Perlu
ditekankan bahwa evaluasi yang tepat mengenai anorektal dan strukturnya
23
dapat memberikan informasi berguna dalam menentukan penatalaksanaan
pasien (Ganz,2013).
Dengan posisi LLD, pasien diminta untuk fleksi pada sendi lutut secara
maksimal sampai menyentuh dada. Pemberian anestesi (seperti salep
Benzokain 20% atau Lidokain 5 %) dapat mengurangi ketidak nyamanan
pasien pada saat pmeriksaan (Thornton, 2014).
Pemeriksaan colok dubur dilakukan untuk mengindentifikasi berbagai
penonjolan atau area yang mengalami ulserasi. Juga harus dinilai adanya
masa, keteganganya, secret yang mukoid maupun darah dan juga tonus
rectal. Karena hemoroid interna merupakan struktur bervaskuler yang halus,
maka tidak akan teraba kecuali ditemukan adanya thrombus (Thornton,
2014).
Secara lengkap yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi meliputi :
introitus analis, tanda peradangan, lesi pada kulit dan spingter anus,
keseluruhan hal ini dapat dievaluasi pada canalis analis. Beberapa pendapat
mengatakan kelainan-kelainan yang diperoleh pada pemeriksaan ini tidak
dinyatakan dengan posisi arah jam, melainkan lebih baik dengan
mengunakan kiri atau kanan dan antaerior atau posterior. Maka dari itu,
sebagai contoh : hemoroid arah kiri lateral adalah jam 3 bila di lihat dalam
posisi supinasi, jam 6 pada posisi LLD dan jam 9 pada posisi pronasi.
(Ganz,2013).
d. Pemeriksaan Tambahan
a) Anoskopi
Anoskopi adalah teknik yang paling akurat untuk memeriksa lubang
anus dan rekum bagian distal. Keberadaan dengan harganya yang
murah, pemeriksaan ini dapat dilakukan di tempat praktek dengan
aman dan jarang sekali membuat pasien merasa kurang nyaman
(Ganz,2013).
Penilaian dengan anoskop diperlukan untuk melihat hemoroid
interna yang tidak menonjol keluar. Anoskop dimasukan dan diputar
untuk mengamati keempat kuadran. Hemoroid interna terlihat sebagai
24
struktur vascular yang menonjol kedalam lumen. Apabila penderita
diminta mengedan sedikit, ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata (Sjamsuhidajat,2007).
Gambar 3.8 Hemoroid
*ket : (A) hemoroid eksternal dengan thrombus; (B) Hemoroid
Interna derajat 1; (C) Hemoroid interna derajat 2; (D) Hemoroid
interna derajat 3; (E) Hemoroid interna derajat 4;
25
b) Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien pudle sign
(menungging). Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk
memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang
atau proses keganasan di tingkat yang lebih tinggi (Sabiston, 2008)
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan bahwa
kelainan bukan disebabkan oleh proses radang ataupun proses
keganasan di tingkat yang lebih tinggi, karena hemoroid merupakan
keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai
(Sjamsuhidajat,2007).
Gambar 3.9 Anoskop, protoskop, rectoskop
c) Pemeriksaan Feses
Feses harus diperiksa terhadap curiga adanya darah samar
(Sjamsuhidajat,2007).
d) Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap dapat berguna untuk mengetaui
adanya infeksi atau tidak. Anemia yang disebabkan perdarahan
hemoroid yang berulang sangat mungkin dapat ditemukan.
Pemeriksaan hematrokit dianjurkan untuk pasien dengan kecurigaan
adanya anemia (Thornton, 2014).
26
Pemeriksaan status koagulasi juga dapat di lakukan bila pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik dicurigai adnya koagulopati
(Thornton, 2014).
e) Kolonoskopi dan Barium Enema
Pemeriksaan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana terjadi
perdarahan yang belum jelas penyebabnya berasal dari anus atau
tidak. Pada pemeriksaan ini tidak bermanfaat jika kelainan berada
pada bagian proksimal kolon maupun pada intestinum (Thornton,
2014).
Pemeriksaan ini dapat kita lakukan apabila tanda-tanda hemoroid
interna kurang jelas, penderita yang berusia lebih dari 40 tahun atau
penderita dengan resiko tinggi menderita Ca kolon, seperti adanya
riwayat keluarga (Sabiston,2008) (Doherty, 2010)
3.6. Diagnosa Banding
Perdarahan rektum yang merupakan manifestasi utama hemoroid interna
juga terjadi pada karsinoma kolorektum, penyakit divertikel, polip, colitis ulserosa
dan penyakit lain yang tidak begitu sering terdapat di kolorktum. Pemeriksaan
sigmoidoskopi harus dilakukan, Foto barium kolon dan kolonoskopi perlu dipilih
secara selektif bergantung pada keluhan dan gejala penderita
(Sjamsuhidajat,2007).
Perdarahan yang disertai dengan nyeri berhubungan dengan pergerakan
usus mungkin dapat terjadi juga pada ulkus rektum atau fisura anus. Prolaps
rektum juga harus di bedakan dari prolaps mukosa akibat dari hemoroid interna.
Pada hemoroid interna aman dilakukan elastic band ligation namun tidak pada
prolapsus rektum (Doherty 2010).
Kondiloma perianal dan tumor anorektum lainya biasanya tidak sulit
dibedakan dari hemorid yang mengalami prolaps. Lapisan kulit luar yang lynak
akibat thrombosis hemoroid eksterna sebelumnya juga mudah sekali dikenali.
Adanya lipatan kulit sentinel pada garis tengah dorsal, yang disebut dengan
umbai kulit dapat menunjukan adanya fisura anus (Sjamsuhidajat,2007)
27
3.7. Komplikasi / Penyulit
Sesekali hemoroid interna yang mengalami prolaps akan menjadi
ireponibel sehingga tak dapat terpulihkan karena konghesti yang mengakibatkan
oedem dan thrombosis. Keadaan yang agak jarang ini dapat berlanjut menjadi
thrombosis melingkar pada hemoroid interna dan hemoroid eksterna secara
bersamaan. Keadan ini menyebabkan nyeri hebat dan dapat berlanjut,
menyebabkan nekrosis mukosa dan kulit yang menutupinya. Emboli eptic dapat
terjadi melalui system portal dan dapat menyebabkan abses hati. Anemia dapat
terjadi karena perdarahan ringan yang lama (Sjamsuhidajat,2007).
Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada hipertensi
portal dan apa bila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan akan
menyebabkan perdarahan yang sangat banyak (Sjamsuhidajat,2007).
Komplikasi hemoroid interna maupun eksterna adalah indikasi untuk
dilakukan terapi non-bedah maupun bedah. Komplikasi itu meliputi : nyeri,
perdarahan, nekrosis, sekresi mukus, maserasi dan yang paling jarang adalah
sepsis perianal (Doherty 2010).
3.8. Penatalaksanaan
Terapi pada pasien dengan hemoroid yang simtomatis sangatlah bervariasi.
Kesuksesan dalam menangani pasien tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor :
a. Evaluasi pasien yang tepat secara menyeluruh mencakup segala pengaruh
yang dapat menyebabkan timbul gejala yang ada.
b. Perencanaan terapi yang baik untuk mengatasai hemoroid dan pengaruhnya.
Hemoroid internal memiliki beberapa gejala biasanya mencakup rasa gatal,
perdarahan, pembengakak dan prolapsus; jika gejala nyeri merupakan keluhan
yang nyata maka kecenderungan hal itu disebabkan karena adanya fisura
ataupun thrombosis pada hemoroid eksterna (Ganz,2013)
Secara garis besar terapi hemoroid dapat di bagi menjadi tiga kelompok
besar yaitu : terapi konservatif, terapi non bedah dan terapi pembedahan
(Ganz,2013).
28
Terapi hemoroid interna yang simtomatik harus diterapkan secara
perorangan. Hemoroid merupakan satu hal yang normal sehingga tujuan terapi
bukan untuk menghilangkan pleksus hemoroidal tetapi untuk menghilangkan
keluhan (Sjamsuhidajat,2007).
Untuk hemoroid interna, berdasarkan derajat hemoroid maka terapi yang
dapat diberikan sperti pada tabel berikut ini (Townsend,2008):
Tabel 3.1 Management Berdasarkan Grade Hemoroid
Terapi untuk hemoroid eksterna adalah untuk mengurangi gejala yang
disebabkan oleh akut thrombosis dan adanya skin tag. Dengan eksisi (bukan
enucleasi) dapat memberi berdampak sangat signifikan, namun reseksi juga
dapat dipertimbangkan kemudian bila eksisi gagal memberi perbaikan. Perlu
diingat, terapi dilakukan berdasarkan gejala penyakit bukan berdasarkan indikasi
etestika (Thornton, 2014).
Di ruang gawat darurat pada hemoroid eksterna dengan akut trombosisis
dapat dilakukan eksisi langsung dengan syarat gejala itu timbul dalam kurun
waktu 48-72 jam (Thornton, 2014). Terapi dilakukan dengan cara mengeluarkan
thrombus atau eksisi lengkap secara hemoroidektomi mengunakan anestesi
lokal. Bila thrombus sudah dikeluarkan, kulit dinsisi berbentuk elips untuk
29
mencegah bertautnya tepi kulit dan termbentuknya thrombus kembali di
bawahnya. Nyeri akan segera hilang pada saat tindakan, dan luka akan sembuh
dalam waktu singkat sebab luka berada di daerah yang kaya akan darah
(Sjamsuhidajat,2007).
Namun insisi dan pengeluaran clot ini bukanlah terapi yang adekuat dan tidak
dianjurkan untuk dilakukan. Pada pasien yang datang dengan keluhan lebih dari
72 jam dari awal timbulnya gejala, terapi konsrvatif lebih dianjurkan (Thornton,
2014). Usaha untuk reposisi hemoroid eksterna yang mengalami thrombus tidak
boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi pada struktur luar anus yang tidak
dapat direposisi (Sjamsuhidajat,2007)
Gambar 3.10 Eksisi Hemoroid Eksternal dengan Trombus
.
3.8.1. Konservatif (Medikamentosa)
Perubahan prilaku dan diet merupakan terapi lini pertama yang
direkomendasikan pada pasien dengan gangguan anorektal, termasuk
didalamnya adalah hemoroid. Beberapa rekomendasi tersebut adalah
dengan meningkatkan asupan yang tinggi serat, menghindari mengdan
atau meminimalisasikan waktu padaa saat buang air besar, dan
penggunaan terapi rendam duduk beberapa kali perhari (Ganz,2013).
Kebanyakan pasien hemoroid derajat pertama dan kedua dapat
ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang
30
makan. Makanan sebaiknya terdiri atas makanan yang berserat tinggi.,
yang membuat gumpalan isi usus besar dan lunak, sehingga
mempermudah defikasi dan mengurangi keharusan mengedan secara
berlebihan (Sjamsuhidajat,2007).
Benih psyllium dapat mengurangi peradarahan dan nyeri. Benih
psylium atau Metamucil dan methylcellulose (Citrucel) adalah supplement
yang paling sering dikonsumsi. Rata-rata asupan orang amerika perhari
adalah 8-15 g, dan yang dikatan makanan yang berserat tinggi jika
kadarnya lebih dari atau sama dengan 25 g per hari (Thornton, 2014).
Gejala perdarahan tanpa prolaps dapat berkurang dalam kurun waktu 30-
45 hari dengan menggunakan supplement serat. (Townsend,2008)
Baik pada pasien yang menimbulkan gejala maupun yang tidak,
perubahan asupan pola makan yang berserat dapat mengurangi gejala
maupun mencegah dari kekambuhanya. Pada penelitian American
Society of Colon and Rectal Srugeon (ASCRS) dengan menggunakan 378
pasien pada 7 percobaan acak menunjukan keberhasilan dalam
menangani pasien dengan hemoroid yang prolapsus dan perdarahan
pada hemoroid (Ganz,2013).
Tujuan utama dari penggunaan obat-obatan pada pasien hemoroid
adalah untuk mengurangi nyeri dan mencegah konstopasi. Beberapa obat
yang dapat digunakan adalah (Thornton, 2014) :
a. Obat pencahar : digunakan untuk mencegah konstipasi dan mengejan
saat buang air besar. Termasuk didalamnya adalah golongan
Docusate sodium (Contoh : colace, corectol, dok, dulcolac). Docusate
menyebabkan air dan lemak dapat dirubah menjadi feses dengan baik
sehingga feses menjadi lebih halus.
b. Obat analgesic topikal : dugunakan pada pasien yang mengeluh nyeri.
Termasuk didalamnya adalah salep Lidocain 5% (contoh :
Lidoderm,Regenecare,LidaMantle). Lidokain topikal meningkatkan
permeabilitas natrium pada membrane saraf, yang menyebabkan
inhibisi depolarisasi, blok transmisi impuls saraf.
31
c. Astringen ringan : mengurangi nyeri. Termasuk didalamnya :
Hamamelis water (Witzch Hazel). Hamamelis water merupakan
astringen ringan yang berasal dari ranting Hamamelis virginiana.
Preparat ini digunakan sementara untuk mengurangi rasa gatal pada
hemoroid.
d. Analgesik : digunakan untuk mengntrol nyeri pada pasien dengan
keluhan utamanya adalah nyeri. Analgesik membuat pasien merasa
lebih nyaman, dan sangat membantu pada pasien dengan lesi yang
sangat nyeri. Termasuk didalamnya adalah acetaminophen (contoh :
paracetamol, Tylenol, aspirin free anacin, faverall, Mapap).
Acetaminofen adalah pilihan obat untuk terapi nyeri pada pasien
dengan riawayat alergi terhadap aspirin atau NSAID, mengalami
gangguan GI sebelah atas, maupun yang sedang mengkonsumsi
antikoagulan. Preparat ini juga dapat menurunkan demam dengan
mekanisme kerja pada pusat pengaturan panas pada hipotalamus,
dengan cara menghantarkan panas lewat vasodilatasi dan berkeringat.
e. Kortikosteroid topikal : dapat mengurangi gejala berupa gatal dan
perdarahan pada hemoroid internal dengan cara mengurangi
inflamasi. Penggunaanya sering dihubungkan dengan efek samping
terjadinya atrofi mokusa. Maka dari itu penggunaan jangka panjang
tidak dianjurkan.
f. Nitrogliserin dan nifedipin topikal : dapat mengurangi gejala dengan
bekerja pada spasme spingter anus. Penggunaan preparat ini juga
harus diperhatikan karena dapat member efek samping hipotensi.
Pada beberapa penelitian mengunakan rendam duduk juga
menunjukan keberhasilan yang serupa. Studi manometrik menunjukan
rendam duduk pada daerah pareanal dapat menurunkan tegangan
spincter internus dan tekanan pada lumenya. Pada pasien hemoroid
terjadi peningkatan tonus spingter. Peningkatan tekanan lumen dapat pula
menyebabkan terjadinya fisura dan thrombosis pada hemoroid eksterna
(Ganz,2013).
32
Berendam pada bathtub yang berisi air hgangat dapat mengurangi
nyeri pada gangguan daerah perianal. Relaksasi spingter dan spasme
merupakan kunci kerja dari terapi ini. Pemberian Es juga dapat
mengurangi nyeri pada thrombosis yang akut (Thornton, 2014).
Beberapa penulis tidak menyarankan mengunakan stiz bath untuk
mengurangi nyeri. Struktur yang keras dari alat ini dapat memberikan efek
yang saat seperti pada saat duduk di toilet, hal ini menyebabkan kongehsi
dari vena pada daerah perianal dan berpotensi menyebabkan keluhan
yang bertambah. Maka dari itu penggunaan sitz bath pada pasien tua dan
lumpuh tidak dapat dibenarkan (Thornton, 2014).
3.8.2. Non Bedah (Minimal Invasif)
ACRS mengeluarkan tiga capaian yang harus dicapai dalam terapi
non bedah untuk pasien dengan hemoroid yaitu (Ganz,2013):
a. Mengurangi vaskularisasi hemoroid
b. Mengurangi jaringan yang berlebih.
c. Meningkatkan fiksasi dinding rektum untuk mencegah prolaps.
Beberapa tindakan non bedah dapat menghilangkan hemoroid
interna. Tindakan tersebut meliputi : rubber band ligation (RBL),
skleroterapi atau nekrosis jaringan mucosal, koagulasi dan bedah beku.
Dari beberapa penelitian meta-analisis tidak dapat menentukan secara
pasti kelebihan dari setiap teknik yang dilakukan. Bagaimanapun juga
semuanya merupakan pilihan pertama pada hemoroid derajat 1 dan 2
yang tidak membaik dengan terapi konserfatif. Keseluruhan terapi non
bedah memiliki efisiensi yang sama bergantung dari keterampilan dokter
yang melakukan tindakan (Thornton, 2014).
3.8.2.1. Rubber Band Ligation (RBL)
Ligasi dengan gelang karet (RBL) merupakan terapi yang
paling banyak diketahui dengan efektifitas tinggi dan yang paling
33
sering dikerjakan untuk terapi pasien dengan hemoroid;
kesuksesan penggunaanya mencapai 80% (Ganz,2013).
RBL merupakan terapi yang dapat digunakan pada
hemoroid interna derajat 1, 2, 3 dan 4 tertentu (Doherty, 2010). Di
Amerika serikat tindakan ini merupakan tindakan yang paling sering
dilakukan karena teknik ini sering kali diajarkan pada setiap
program pelatihan. Dengan banyaknya pengalaman, hemoroid
interna derajat 3 dan beberapa derajat 4 dapat di sembuhkan
dengan tindakan non operatif (Thornton, 2014).
RBL umumnya sangat mudah dilakukan, prosedurnya
murah, dan banyak cara maupun alat dapat digunakan. Baik
dengan mengunakan anoskopi, endoskopi fleksibel (sigmoideskopi)
bahkan tanpa keduanyapun tindakan dapat dilakukan. Penggunaan
endoskopi fleksibel (sigmoideskopi) dapat lebih jelas dalam melihat
kompleks hemoroidale namun hal ini akan meningkatkan biaya dan
resiko nyeri pada saat memasukan alat tersebut (Ganz,2013).
Gambar 3.11 RBL Tanpa Anoskop & Sigmodeiskop
Prinsipnya adalah jaringan hemoroid (1-2 cm diatas linea
dentate) ditangkap, kemudian ditarik masuk kedalam tabung
ligator, lalu satu atau dua buah karet gelang dimasukan kedalam
34
kompleks hemoroid tersebut secara rapat pada bagian pangkalnya.
Setelah 7-10 hari, mukosa jaringan yang berlebih bersmaan
dengan gelang karet akan terlepas dengan sendirinya, dan
meningalkan bekas luka yang mencegah terjadinya prolaps
berlanjut dan perdarahan pada jaringan yang tertinggal. Jika gelang
karet diletakan pada zona transisional atau di bawahnya maka
akan timbul nyeri yang sangat hebat, hal ini terjadi karena daerah
tersebut mengandung mukosa dan kulit yang kaya akan inervasi.
Jika hal ini terjadi sebaiknya, gelang karet dilepaskan sesegara
mungkin (Doherty, 2010) (Townsend,2008). Nyeri yang timbul
pasca ligasi dengan gelang karet dapat dikurangi dengan
menggunakan rendam duduk dan juga penggunaan analgesic
(Ganz,2013).
Gambar 3.12 Prosedur RBL
35
Ligasi dengan benang karet dapat dilakukan di klinik tanpa
harus menggunakan anestesi dengan cara menggunakan anoskopi
dan ligator. Dengan aturan satu tempat hanya boleh dilakukan
sekali dan tidak tidak boleh berulang (Townsend,2008). Pada
umumnya hanya satu atau dua quadarant yang dapat di lakukan
ligasi dalam sekali tindakan (Bullard, 2010). Seringkali pada satu
kali terapi biasanya hanya diikat satu kompleks hemoroid,
sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 sampai
4 minggu (Sjamsuhidajat,2007).
Teknik asli yang dikemukakan Barron menyatakan bahwa
satu ligasi dalam setiap kali tindakan akan mengurangi kejadian
nyeri dan beberapa komplikasi pada periode pasca ligasi. Namun
ligasi lebih dari satu kompleks hemoroid dalam sekali tindakan
seringkali digunakan pada praktek keseharian. Pada penelitian
memang menunjukan pengunaan ligasi multiple akan
meningkatkan kejadian nyeri, penggunaan analgesic, retensio urin,
gejala vasovagal, pembengkakan dan edema (Ganz,2013).
Seperti halnya jumlah ligasi yang dilakukan dalam sekali
tindakan, mengenai dalamnya ligasipun masi diperdebatkan. Tidak
ada penelitian eksat yang menunjukan seberapa dalam jaringan
harus ligasi dalam berbagai prosedur. Namun yang paling sering
diketahui adalah pada dasar dari kompleks hemoroid tersebut. Hal
ini sangat sulit ditentukan karena bisa saja daerah tersebut
sangatlah luas (Ganz,2013).
Pada prinsipnya RBL menyebabkan reaksi inflamasi yang
membantu memperbaiki mukosa yang longar ke lapisan otot
anorektal yang mendasarinya dengan menyebabkan nekrosis
iskemik pada jaringan yang yang diligasi (baik mukosa maupun
submukosa) dari pada menyebabkan nekrosis yang menyeluruh
pada seluruh bantalan hemoroid. Tidak diketahui seberapa banyak
jaringan yang diperlukan untuk mencapai hal tersebut. Selain itu,
36
ligasi lapisan otot yang lebih dalam secara signifikan dapat
menyebabkan nyeri pasca ligasi. Nyeri yang timbul berasal dari
jaringan otot yang mengalami iskemik dan bila nyeri muncul secara
cepat saat dilakukan ligasi perlu dipertimbangkan adanya muskulus
yang ikut terikat. Suatu ligasi harusnya bersifat mobile jika tidak
ada otot yang ikut terikat dan menjadi terfiksir bila otot ikut terligasi
(Ganz,2013).
Komplikasi pada prosedur ini meliputi : retensi urin,
perdarahan dan infeksi. Retensi urin biasanya terjadi pada 1%
pasien dan biasanya terjadi bila ligasi scara tidak sengaja
mengenai spingter internus. Perdarahan mungkin terjadi dalam
kurun waktu 7-10 hari pasca ligasi, atau pada saat jaringan
hemoroid yang mengalami nekrosis terlepas. (Bullard, 2010).
Komplikasi yang serius namun jarang sekali terjadi adalah
terjadinya Necrotizing pelvic sepsis. Hal ini ditandai dengan tiga
gejala utama yaitu : nyeri yang amat sangat, demam dan retensi
urin (Bullard, 2010; Thornton, 2014). Biasanya hal ini terjadi 1-2
minggu pasca ligasi, dan sering kali pada pasien dengan gangguan
imunologi. Tidak jarang hal ini dapat berujung pada kematian.
Sehingga pasien perlu diedukasi mengenai hal ini, sehingga bila
terjadi segera bisa di bawa ke UGD terdekat (Townsend,2008).
Penatalaksanaanya adalah dengan menggunakan antibiotic IV,
pelepasan “band”, debridement pada jaringan yang mengalami
nekrosis dan observasi. Pasien disarankan untuk menghindari
penggunaan NSAID dan aspirin dalam 10 hari pasca ligasi
(Doherty, 2010).
Karena perdarahan dan sepsis merupakan resiku yang
sering kali terjadi pada prosedur ini maka pencegahanya dapat
diberikan antibiotic profilaksis pada pasien yang beresiko dan
menghindari penggunaan obat yang memilik efek anticoagulant
seperti aspilet (Townsend,2008).
37
3.8.2.2. Skelroterapi
Skleroterapi sudah diketahui sejak satu abad silam dan
penggunaanya biasanya untuk hemoroid interna derajat 1 dan 2
saja. Prinsipnya dengan menginjeksi (1-3 ml) satu dari beberapa
sklerosant (5-phenol in olive oil, sodium morrhuate, atau quinine
urea) kedalam ruang submukosa hemoroid. Jaringan lunak akan
bereaksi menyebabkan terjadinya thrombosis pembuluh darah,
sklerosis jaringan penyangga dan refiksasi dari mukosa yang
mengalami prolaps ke dinding jaringan otot rectal diatasnya
(Ganz,2013; Bullard, 2010; Thornton, 2014).
Penyuntikan dilakukan disebelah atas dari garis mukokutan
dengan jarum yang panjang melalui anuskop. Penyuntikan pada
tempat yang tepat tidak akan menimbulkan rasa nyeri
(Sjamsuhidajat,2007).
Gambar 3.13 Skleroterapi
38
Beberapa komplikasi skleroterapi meliputi : nyeri (12%-
17%), retensi urin, abses dan impotensi; namun komplikasi yang
serius jarang sekali ditemukan. Angka kekambuhan pada prosedur
ini cukup tinggi mencapai 30 %. (Ganz,2013; Thornton, 2014).
Dalamnya injeksi sklerosant sangatlah penting untuk
diketahui. Injeksi yang terlalu dalam mempengaruhi persarafan
parasimpatis yang akan berakibat pada impotensi. Pada hemoroid
dengan area yang cukup besar, bagain proksimal hemoroid adalah
struktur genitourinary, maka injeksi pada hemoroid yang bertempat
di anterior kanan harus dihindari dan diganti dengan teknik lain
seperti RBL (Ganz,2013).
3.8.2.3. Koagulasi (Inframerah laser, bipolar)
Metode ini sangat efektif untuk menerapi hemoroid dalam
ukuran kecil. Koagulasi dilakukan dengan menggunakan sinar infra
merah atau laser. Prinsip dari terapi ini adalah mengadakan
pemanasan pada jaringan hemoroid sehingga jaringan hemoroid
mengeras dan mengkerut dan secara perlahan-lahan akan lenyap
(Townsend,2008).
Koagulasi dengan laser lebih mahal dan keuntunganya tidak
melebihi dari metode yang lain. Operator juga diwajibkan
mengontrol laser untuk mencegah terjadinya perdarahan
(Thornton, 2014).
3.8.2.4. Cryotherapi (cryosurgery)
Cryotherapy adalah suatu metode dengan aplikasi suhu
yang sangat rendah untuk menghilangkan hemoroid. Cryotherapy
ini tidak dipakai secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar
ditentukan luasnya. Bahan yang dipakai untuk cryotherapy ini
adalah nitrogen cair, karbon dioksida, ataupun argon
(Sjamsuhidajat,2007)
39
3.8.2.5. Lords Dilatation
Dilatasi anus yang dilakukan dalam anestesi dmaksudkan
untuk memutus jaringan ikat yang diduga menyebabkan obstruksi
jalan ke luar anus atau spasme yang merupakan faktor penting
dalam pembentukan hemoroid (Sjamsuhidajat,2007).
Dilatasi dari Lord, dengan melebarkan canalis analis secara
manual dibawah pengaruh anestesi jarang dilakukan di Amerika
Serikat dan oleh beberapa dokter bedah kolorektal. Hal ini terjadi
karena dapat menyebabkan gangguan pada mekanisme spingter
ani (Thornton, 2014).
3.8.3. Pembedahan
3.8.3.1. Hemoroidektomi
Terapi pembedahan hemoroidektomi merupakan terapi yang
paling efektif untuk semua jenis hemoroid dan terutama dengan
indikasi seperti berikut (Thornton, 2014):
a. Terapi konservatif dan non bedah gagal. (perdarahan yang
menetap dan gejala yang menahun)
b. Hemoroid derajat 3 dan 4 dengan gejala yang berat.
c. Adanya kondisi yang dapat menyebabkan kontaminasi
anorektal (seperti : fisura atau fistula ani, riwayat hemoroid
eksternal dengan thrombus berulang)
d. Keinginan pasien.
Prinsip yang harus diperhatikan pada hemoroidektomi
adalah eksisi hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar
berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan
kulit yang normal dengan tidak menggangu sfingter anus
(Sjamsuhidajat,2007).
Beberapa prosedur pembedahan dapat digunakan untuk
mengobati hemoroid dengan gejala. Semuanya berdasarkan
40
prinsip untuk mengurangi aliran darah yang menuju ke pleksus
hemoroidalis dan membuang mukosa dan jaringan anorektum yang
berlebih (Bullard, 2010).
a. Closed Hemorrhoidectomy
Oleh Ferguson, teknik ini berkembang pada tahun 1952 di
Amerika serikat. Sekarang ini, seperti halnya terapi
pembedahan pada penderita hemoroid, teknik ini juga dapat
dilakukan pada pasien yang rawat jalan (jam berada di RS
sekitar : 23 jam atau kurang). Kesuksbesan bergantung dari
dokter bedah, anastesiologis dan keinginan pasien yang kuat.
Anastesi yang digunakan dapat berupa anastesi general, caudal
ataupun spinal. Lokal anastesi juga sering dilakuakan, caranya
dengan submukosa anus diinflitrasikan dengan obat anastesi
lokal yang dikombinasikan dengan epinefrin dosis rendah. Tenik
ini dapat meminimalisasikan perdarahan namun tidak
mempengaruhi tekanan darah maupun nadi pasien, dan juga
dapat membentuk bidang antara pleksus hemoroid dengan
spingter internus, hal ini akan membuat eksisi pembedahan
menajdi lebih mudah dilakukan (Kaidar-Person,2007).
Hemoroidektomi fegurson konvensional dilakukan dengan
menggunakan scalpel, gunting, maupun elktrocauter dengan
posisi pasien pronasi atau litotomi. Canalis analis diperiksa dan
speculum dimasukan. Kompleks hemoroid dan mukosa berlebih
yang berhubungan, diidentifikasi dan dieksisi menggunakan
insisi elips yang diawali dari bagian distal dekat dengan canalis
analis menuju ke proksimal mendekati ke cincin anorektal.
Sangat susah dalam mengindetifikasi serabut spingter internus
dan hati-hati pada saat melakukan deseksi agar terhindar dari
cidera sfingter. Apex pleksus hemoroidalis kemudian dilagsi dan
hemoroid dipotong. Luka kemudian ditutup dengan
menggunakan benang yang dapat diserap; bagaimanapun juga
41
harus diingat untuk menghindari reseksi yang terlalu luas dari
kulit perianal agar tidak terjadi stenosis anus pasca operasi
(Bullard, 2010).
Gambar 3.14 Prosedur Closed Hemoroidektomi
b. Open Hemorrhoidectomy
Teknik ini pertama kali ditemukan sejak 2 abad yang lalu, teknik
ini menjadi popular di Inggris oleh Milligan and Morgan pada
tahun 1927 dan masih sering digunakan secara luas di Eropa.
Pada prosedur ini jaringan hemoroid dan pembuluhdarah di
eksisi dengan cara yang sama seperti prosedur Ferguson,
termasuk didalamnya adalah penjahitan pada pedikel hemoroid,
hanya saja insisi dibiarkan terbuka (Kaidar-Person,2007).
42
Gambar 3.15 Prosedur Closed Hemoroidektomi
c. Whitehead Hemorrhoidectomy
Teknik pembedahan ini melibatkan eksisi secara melingkar dari
Kompleks hemoroid yang berada tepat diatas linea dentate.
Setelah dilakukan eksisi, mukosa rektum kemudian ditarik dan
dijahit pada linea dentate. Beberapa ahli bedah masih
menggunakan teknik ini, namun sebagian besar telah
meninggalkanya karena ada resiko terjadinya ektropion
(Bullard, 2010).
43
3.8.3.2. Stapled Hemorrhoidoplexy
Teknik ini memiliki banyak nama lain seperti : mechanical
hemorrhoidectomy with a circular stapler, procedure for prolapsed
and hemorrhoid (PPH), stapled anopexy dan lain sebagainya.
Namun terminology PPH dan hemorrhoidopexy adalah yang paling
tepat dalam mendeskripsikan teknik ini (Kaidar-Person,2007).
PPH pertama kali dikemukakan pada tahun 1997-1998 dan
sangat menarik perhatian. Prosedur ini sering digunakan untuk
mengobati pasien hemoroid interna yang tidak membaik dengan
terapi konservatif maupun non bedah. PPH dianjurkan pada pasien
dengan hemoroid internal yang luas dan komponen eksternal yang
minimal. Prosedur ini dapat dilakukan pada klinik dokter dengan
hanya menggunakan anestesi lokal. (Doherty, 2010).
Setelah diperkanalkan teknik pada tahun 1995 oleh Longo,
beberapa laporan dari asia dan eropa mendokumentasikan bahwa
operasi ini menggunakan waktu yang relative singkat, nyeri pasca
operasi juga minimal, penyembuhan lebih cepat dan sesegera
mungkin pasien dapat kembali beraktivitas (Kaidar-Person,2007).
Teknik ini mengunakan suatu alat stapler yang berbentuk
sirkuler dengan fungsi untuk mendevaskularisasi jaringan
hemoroid, mengurangi prolaps mukosa dan mlakukan anopexy
(Doherty, 2010).
Idenya, karena bantalan hemoroid merupakan jaringan
normal yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah
inkontinensia flatus dan cairan, pada hermoroid derajat III dan IV
tidak dilakukan hemoroidektomi, tetapi cukup dengan menarik
mukosa dan jaringan submukosa rektum kearah distal ke atas
(arah aboral) dengan menggunakan sejenis stapler, sehingga
hemoroid akan kembali ke posisi semula yang normal
(Sjamsuhidajat,2007).
44
Selama prosedur berlangsung, stapler yang didesain khusus
berbentuk sirkular digunakan bersamaan dengan stapler yang lebih
kecil. Tekniknya mencakup menempatkan jahitan pada daerah
mukosa dan submukosa secara sirkumsial, dengan letak rata-rata
3-4 cm diatas linea dentate. Stapler diletakan perlahan dekat
disekitar bantalan hemoroid. Dengan hati-hati diambil untuk untuk
menarik kelebihan jaringan pada hemoroid interna. Ketika stapler
ditembakan, reseksi dari jaringan berlebih dan penempatan stapler
sirkuler diatas linea dentate kan menyebabkan terjadinya reseksi
dari jaringan hemoroid interna yang berlebih, peksi dari jaringan
hemoroid yang tersisa dan penghentian aliran darah dari atas
(Thornton, 2014).
Gambar 3.16 Prosedur PPH
45
3.9. Prognosis
Prognosis terhadap kekambuhan hemoroid sangat bergantung pada
perubahan pola defikasi pasien. Meningkatkan asupan tinggi serat, mengurangi
makanan yang menyebabkan konstipasi, mengurangi latihan fisik berlebih, dan
duduk lama saat buang air besar dapat menghindari dari kekambuhan gejala.
Hal ini berlaku pada semua pasien baik yang menjalani terapi konservatif, non
bedah maupun pembedahan (Doherty, 2010).
Dengan penanganan yang baik hemoroidektomi dapat memberikan angka
kekambuhan hanya 2-5%, dan dengan terapi non bedah seperti RBL, angka
kekambuhanya mencapai 30-50% dalam jangka waktu 10 tahun (Thornton,
2014).
46
Daftar Pustaka
1. Bullard,KM. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Edition. Colon, Rektum, and
Anus. USA: McGraw-Hill Companies.2010
2. Doherty GM, Way LW. Current Surgical Diagnosis & Treatment 13th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies.2010.
3. Ganz RA. The Evaluation and Treatment of Hemorrhoids: A Guide for
Gastroenterologist. Minesota : Clinical Gastroenterology and hepatology. 2013
4. Hartanto H. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran ECG. 2006
5. Kaidar-Person, O., Person, B., and Wexner, S.D., Hemorrhoidal Disease: A
Comprehensive Review. J. at American College of Surgeons. New York : 2007.
hal: 102-114
6. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi.3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG. 2007. hal 788-792
7. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.Jakarta : ECG,
2006
8. Thornton SC, Haemorrhoids [Internet]. 2014 [Updated: Sep 12, 2012]; [cited
2014 May 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/775407-
overview#a0156.
9. Tortora GJ, Derrikson BH. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition.
New York: John Wiley & Son,Inc. 2009
47
10.Townsend, C.M, et al. Sabiston textbook of surgery 17th edition. 2008. Canada :
Saunder.
11.Yuwono, Hendro S. Ilmu Bedah Vaskular. 2010, Bandung : PT Retika Aditama
48