Refrat Dr Edu
-
Upload
yohanes-piyix -
Category
Documents
-
view
228 -
download
7
Transcript of Refrat Dr Edu
BAB I
PENDAHULUAN
Atresia Duodenum adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum(bagian
terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus. Atresia
duodenum merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa ditemui di dalam ahli bedah
pediatrik dan merupakan lokasi yang paling sering terjadinya obstruksi usus di hampir semua
kasus osbtruksi. Atresia duodenum dijumpai satu diantara 6.000 ─ 10.000 kelahiran hidup.
Dasar embriologi terjadinya atresia duodenum disebabkan karena kegagalan rekanalisasi
duodenal pada fase padat intestinal bagian atas dan terdapat oklusi vascular di daerah
duodenum dalam masa perkembangan fetal.
Setengah dari semua bayi baru lahir dengan atresia duedenal juga mempunyai
anomali kongenital pada sistem organ lainnya. Lebih dari 30% dari kasus kelainan ini
ditemukan pada bayi dengan sindrom down. Adapun kelainan lain yang dapat ditemui
diantaranya pancreas annulare(23%), Penyakit jantung congenital (22%), malrotasi (20%),
atresia esophagus(8%) dan lainnya (20%).
Laporan lain menyebutkan bahwa atresia duodenum berkaitan dengan prematuritas
(46%), maternal polyhidramnion (33%), down syndrome (24%), pankreas annulare (33%)
dan malrotasi (28%).
Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana mengakibatkan bayi dapat mengalami
asfiksia, dehidrasi, hiponatremia dan hipokalemia yang diakibatkan muntah-muntah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi
Anatomi
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir pylorus lambung, disebelah
kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1, kemudian membentuk C-shaped curve
mengelilingi kaput pankreas dan akhirnya berhubungan dengan yeyunum disebelah kiri
vertebra lumbal 2. Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling
pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya. Duodenum dibagi
menjadi 4 bagian:
1. Bagian pertama / superior / bulbus duodeni / duodenal cap / D1
2. Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2
3. Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
4. Bagian keempat / obliq / ascending / D4
Bagian pertama (duodenal cap) bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum
kecuali jika terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal longitudinal
sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan anterior dan posterior dari
peritoneum yang meliputi bagian atas dari duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi
ligamentum hepatoduodenale , yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri hepatika
dan vena porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk oleh karena adanya tepi
bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal cap terdapat kantong empedu dan hepar
segmen empat. Dibawah dan dibelakang dari duodenal cap adalah caput pankreas.
Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal menjadi lebih mudah jika pilorus dan duodenum di
mobilisasikan kearah depan didalam kavum abdomen dengan manuver Kocher. Karena
kedekatan duodenum superior dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu
empedu yang sering secara spontan masuk kedalam duodenum melalui kolesistoduodenal
fistula. Selanjutnya peritoneum hanya melapisi bagian ventral dari duodenum sepanjang 2,5
cm berikutnya.
Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir karena adanya fusi
dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum perietale lateral dinding abdomen.
Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral kanan (manuver Kocher), dapat memobilisasi
duodenum desending sehingga dapat mencapai retroduodenal dan saluran empedu
intrapankreatik. Disebelah belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal kanan
dan struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat dipertengahan duodenum,
mesokolon akan melintang secara horizontal, karena bersatunya peritoneum dari arah atas
dan arah bawah. Diatas dari fleksura duodenalis, duodenum bagian pertama dan duodenum
bagian kedua akan membentuk sudut yang tajam dan berlanjut berkisar 7-8 cm dibawah
fleksura duodenalis. Kolon tranversum akan melintang daerah tersebut di sebelah depannya.
Untuk memobilisasi duodenum secara menyeluruh yang harus dilakukan adalah membuka
fleksura hepatis pada sisi anteromedial kolon. Kurang lebih pertengahan dari bagian kedua
duodenum dinding posteromedial adalah papila vateri, yang terdiri atas gabungan antar
duktus koledokus dan duktus pankreatikus Wirsungi. Letak dari duktus pankreatikus
Santorini lebih proksimal. Cabang superior pankreatikoduodenal yang berasal dari arteri
gastroduodenalis, berjalan didalam cekungan antara kaput pankreas dan duodenum bagian
kedua atau desending.
Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm, berjalan horizontal ke
arah kiri di depan dari aorta, vena cava inferior, columna vertebra L2 dan ureter, dan berakhir
pada sebelah kiri pada vertebra L3. Radiks yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum
bagian ketiga. Arteri mesenterika superior berjalan kebawah diatas depan dari duodenum
bagian ketiga dan masuk kedalam radiks mesenterii. Arteri pankreatikoduodenale inferior
membatasi pankreas dan tepi atas dari duodenum bagian ketiga.
Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri sepanjang 2-3cm
disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut duodenoyeyunal pada radiks mesokolon
transversal. Disebelah kiri dari vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke
arah kiri depan dan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini, ligamentum
suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal, tersusun atas jaringan fibrous dan pita
triangular, berjalan ke arah retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan
vena renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura duodenoyeyunalis
dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari obstruksi di daerah usus halus dan
menentukan bagian atas dari yeyunum untuk dilakukan gastroyeyunostomi. Saat laparotomi,
ligamentum ini dapat ditemukan dengan cara menekan daerah dibawah mesokolon tranversal
ke arah belakang sampai ke dinding abdomen bagian belakang sementara tangan yang satu
mempalpasi kearah atas melalui tepi kiri dari pada tulang belakang sampai fleksura ini
ditemukan dengan tanda adanya perabaan yang keras pada tempat fiksasinya. Gabungan
antara peritoneum visceral dari pankreatikoduodenal dengan peritoneum parietal posterior
yang tersisa akan menutupi semua duodenum kecuali sebagian dari bagian pertama
duodenum. Variasi gabungan tadi ke dinding abdomen bagian belakang akan menentukan
variasi dari mobilitas duodenum. Fleksura kolon kanan, bagian dari mesokolon tranversalis
yang terfiksir, hubungan antara ampulla dan pembuluh darah dari duodenum dapat dilihat
dengan jelas. Pada posisi yang cukup dalam ini, menunjukkan bahwa duodenum cukup
terproteksi dengan baik dari adanya trauma, tapi kadang-kadang dapat hancur dan bahkan
terputus karena adanya penekanan dengan landasan pada tulang belakang dari adanya trauma
tumpul abdomen yang berat, dan juga karena tidak ditutupi oleh peritoneum.
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri pankreatikoduodenal anterior dan
posterior. Anastomosis antara arteri ini akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus
seliakus dengan arteri mesenterika superior. Arteri ini membagi aliran darahnya ke kaput
pankreas, sehingga reseksi terhadap pankreas atau duodenum secara terpisah adalah satu hal
yang hampir tidak mungkin dan dapat berakibat fatal. Arteri pankreatikoduodenal superior
adalah cabang dari arteri gastroduodenale, dan arteri pankreatikoduodenal inferior adalah
cabang dari arteri mesenterika superior. Kedua arteri ini bercabang menjadi dua dan berjalan
disebalah anterior dan posterior pada cekungan antara bagian descending dan bagian
transversal duodenum dengan kaput pankreas, kemudian beranastomosis sehingga bagian
anterior dan posterior masing-masing membentuk cabang sendiri.
Vena tersusun paralel bersamaan dengan arteri pankreatikoduodenal anterior dan
posterior. Anastomosis cabang psterior berakhir di atas vena porta, dibawahnya vena
mesenterika superior (SMV). Vena posterosuperiorpankreatikoduodenal mungkin akan
mengikuti arterinya disebelah depan dari saluran empedu, atau mungkin berjalan di belakang
saluran tadi. Vena ini akan berakhir pada tepi kiri sebelah bawah dari SMV. Pada tempat
tersebut, vena tadi akan bergabung dengan vena yeyunalis atau dengan vena
pankreatioduodenal inferior anterior. Sebagian besar aliran vena pada cabang anterior ini
berasal dari Trunkus gastrokolika atau ( Henle’s trunk).
Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri dari vena kolika
media sampai ke hubungannya dengan SMV tepat dibawah dari collum pankreas. Kadang-
kadang identifikasi SMV dapat dilakukan dengan cara insisi pada daerah avaskuler dari
peritoneum sepanjang tepi bawah dari pankreas. Disebelah atas dari pankreas, vena porta
akan terekspos dengan jelas bila arteri gastroduodenal dan duktus koledokus dipisahkan.
Kadang-kadang arteri hepatika aberans salah di identifikasi dengan arteri gastroduodenal,
sehingga untuk kepentingan tersebut, sebelum dilakukan ligasi pada arteri gastroduodenal,
harus dilakukakan oklusi sementara dengan klem vaskuler atau jari ahli bedah sambil
mempalpasi pulsasi arteri hepatik pada hilus hati.
Pembuluh arteri yang memperdarahi separuh bagian atas duodenum adalah arteri
pancreatikoduodenalis superior yang merupakan cabang dari arteri gastroduodenalis. Separuh
bagian bawah duodenum diperdarahi oleh arteri pancreatikoduodenalis inferior yang
merupakan cabang dari arteri mesenterika superior.
Vena-vena duodenum mengalirkan darahnya ke sirkulasi portal. Vena superior
bermuara langsung pada vena porta dan vena inferior bermuara pada vena mesenterika
superior.
Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama dengan
vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe
keatas melalui noduli lymphatici pancreatikoduodenalis ke noduli lymphatici
gastroduodenalis dan kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke bawah melalui noduli
lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici mesentericus superior sekitar pangkal
arteri mesenterika superior. Karsinoma duodenum primer mungkin menyebar ke pankreas
secara langsung atau melalui infiltrasi limfatik, tetapi biasanya karsinoma ini biasanya
menyebar pertama kali ke limfonodus periduodenal dan hati. Nodus pada fleksura duodenalis
superior serta nodul pada retroduodenal biasanya berhubungan dengan adanya metastasis
karsinoma pancreas.
Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang dapat dibedakan
menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik ). Inervasi ekstrinsik dari duodenum
adalah parasimpatis yang berasal dari nervus Vagus ( anterior dan cabang celiac ) dan
simpatis yang berasal dari nervus splanikus pada ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari
plexus myenterikus Aurbach’s dan dan plexus submucosal Meissner. Sel-sel saraf ini
menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos, sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive,
dan juga sel-sel saraf tersebut berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan
interdigitatif yang juga menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam
maupun di luar plexus. Sehingga pathway dari sistim saraf enterik bisa saja multisinaptik, dan
integrasi aktifitasnya dapat berlangsung menyeluruh bersamaan dengan sistim saraf enterik.
Histologi
Dinding duodenum tersusun atas 4 lapisan:
1. Lapisan paling luar yang dilapisi peritoneum, disebut serosa.
Merupakan kelanjutan dari peritoneum, tersusun atas selapis pipih sel-sel mesothelial
diatas jaringan ikat longgar.
2. Lapisan muskuler (tunika muskularis) tersusun atas serabut otot longitudinal ( luar)
&sirkuler (dalam). Pleksus myenterikus Aurbach terletak diantara kedua lapisan ini. Pleksus
Meissner’s ditemukan didalam submukosa di antara jaringan ikat longgar yang kaya akan
pembuluh darah dan limfe.
3. Submukosa.
Terdapat kelenjar Brunner yang bermuara ke krypta Lieberkuhn melalui duktus
sekretorius. Sekresi kelenjar Brunner bersifat visceus , jernih, dengan pH alkali ( pH 8,2 – 9,3
), berguna melindungi mukosa duodenum terhadap sifat korosif dari gastric juice. Epitel
kollumnernya mengandung 2 jenis sel: mucus secreting suface cell – HCO3- secreting
surface cell dan absorptive cell.
4. Mukosa, yang merupakan lapisan dinding yang paling dalam.
Terdiri dari 3 lapisan: lapisan dalam adalah muskularis mukosa , lapisan tengah
adalah lamina propria, lapisan terdalam terdiri dari selapis sel-sel epitel kolumnar yang
melapisi krypte dan villi-villinya. Fungsi utama krypte epitelum ialah (1) pertumbuhan sel ;
(2) fungsi eksokrin, endokrin, dan fungsi sekresi ion dan air ; (3) penyerapan garam, air dan
nutrien spesifik. Krypte epitelium paling sedikit tersusun atas 4 jenis sel yang berbeda ;
Paneth, goblet, undefferentieted cell dan sel-sel endokrin. Pada bagian pertama duodenum
ditutupi oleh banyak lipatan sirkuler yang di namakan plica circularis, tempat saluran empedu
& duktus pancreatikus mayor menembus dinding medial bagian ke dua duodenum. Duktus
pankreatikus accesorius (bila ada) bermuara ke duodenum pada papila yang kecil yang
jaraknya sekitar 1,9 cm di atas papilla duodeni mayor. Dinding duodenum sebelah posterior
dan lateral letaknya retoperitoneal sehingga tidak ditemukan lapisan serosa.
Fisiologi
Motilitas. Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi (kontraksi
segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan belakang) dan peristaltik(migrasi
aboral dari gelombang kontraksi dan bolus makanan). Kolinergik
vagal bersifateksitasi. Peptidergik vagal bersifat inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin
merangsang aktivitas muskular; sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.
Pencernaan dan Absorpsi
Lemak Lipase pankreas menghidrolisis trigliserida. Komponen yang bergabung
dengan garam empedu membentuk micelle. Micelle melewati membran sel secara pasif
dengan difusi, lalu mengalami disagregasi, melepaskan garam empedu kembali ke dalam
lumen dan asam lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali
trigliserida dan menggabungkannya dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein membentuk
kilomikron. Asam lemak kecil memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu
diresorbsi ke dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal. Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr
hilang setiap hari, dan kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.
Protein didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai proteolisis. Protease
pankreas (tripsinogen, diaktivasi oleh enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase,
eksopeptidase), lebih lanjut mencerna protein. Menghasilkan asam amino dan 2-6 residu
peptida. Transpor aktif membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam sel-sel
absorptif.Karbohidrat. Amilase pankreas dengan cepat mencerna karbohidrat dalam
duodenum.Air dan Elektrolit. Air, cairan empedu, lambung, saliva, cairan usus adalah 8-10
L/hari, kebanyakan diabsorpsi. Air secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau
secara pasif berdifusi. Natrium dan klorida diabsorpsi berpasangan dengan zat terlarut
organik atau dengan transpor aktif. Bikarbonat diabsorpsi dengan pertukaran
natrium/hidrogen.Kalsium diabsorpsi melalui transpor aktif dalam duodenum, jejunum,
dipercepat oleh PTH dan vitamin D. Kalium di absorpsi secara pasif.
Fungsi Endokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam darah (endokrin ) melalui
pelepasan lokal (parakrin) atau sebagai neurotransmiter.
Major Actions of Duodenal Peptides
Cholecystokinin Gallbladder contraction
Stimulation of pancreatic exocrine and endocrine secretion
Stimulation of bicarbonate secretion from stomach and duodenum
Inhibition of gastric emptying
Growth of pancreas
Satiety effect
Secretion Stimulation of pancreatic water and bicarbonate secretion
Stimulation of biliary water and bicarbonate secretion
Stimulation of serum parathormone
Stimulation of pancreatic growth
Stimulation of gastric pepsin secretion
Stimulation of colonic mucin
Inhibition of gastric acid secretion
Inhibition of gastric emptying and gastrointestinal motility
Inhibition of lower esophageal sphincter tone
Somatostatin Inhibition of gastric acid and biliary secretions
Inhibition of pancreatic exocrine, and enteric secretions
Inhibition of secretion & action of gastrointestinal endocrine secretion
Inhibition of gastrointestinal motility and gallbladder contraction
Inhibition of cell growth
Small bowel increased reabsorption of water and electrolytes
Neurotensin Stimulation of pancreatic secretion
Mesenteric vasodilation
Decreased lower esophageal sphincter pressure
Inhibition of gastric acid secretion
Gastric inhibitory
polypeptide Glucose-dependent release of insulin
Inhibition of gastric acid secretion
Motilin
Initiation of migrating motor complex (“housekeeper”) of small
intestine
Increased gastric emptying
Increased pepsin secretion
Sekretin. Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh mukosa usus kecil melalui
asidifikasi atau lemak. Merangsang pelepasan bikarbonat yang menetralkan asam lambung,
rangsang aliran empedu dan hambat pelepasan gastrin, asam lambung dan motilitas.
Kolesistokinin. Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons terhadap asam amino dan
asam lemakàkontraksi kandung empedu dengan relaksasi sfingter Oddi dan sekresi enzim
pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan pankreas, merangsang motilitas, melepaskan
insulin.
Fungsi Imun. Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria. Sel-sel M menutupi limfosit dalam
bercak Peyer yang terpanjang pada antigen, bermigrasi ke dalam nodus regional, ke dalam
aliran darah, kemudian kembali untuk berdistribusi kedalam lamina propria untuk
meningkatkan antibodi spesifik.
2.2 Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dariusus halus)
tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang
tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung keusus.
2.3 Embriologi
Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang lempeng
usus,sehingga terdapat sumbatan usus. Seiring pertumbuhan usus, mulai pula proses
vakuolisasi sehingga terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir minggu
8─10. Penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia, web/ diafgrama mukosa.
Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila vateri.
Atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase padat
intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat hubungan kelainan
perkembangan khususnya dengan pancreas dalam bentuk baji yang interposisi antara bagian
proksimal dan distal atresia; pancreas anulare.
Gambar 1. Tipe anomali rekanalisasi duodenum. Dilatasi segmen proksimal yang
normal diperlihatkan pada masing-masing tipe. A. Diafragma; B. Solid corddan atresia; C.
segmental absence.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa pancreas bagian ventral duodenum mengadakan
putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat putaran berlangsung ujung
pancreas bagian ventral melekat pada duodenum maka berbentuk cincin pancreas (anulare)
yang melingkari duodenum. Duodenum tidak tumbuh sehinnga terbentuk stenosis atau
atresia. Akhir saluran empedu umumnya duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan
bawah atresia sehingga empedu dapat dijumpai baik di proksimal ataupun distal atresia.
2.4 Epidemiologi
Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000 ─ 10.000 kelahiran. Obstruksi duodenum
kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi duodenal kongenital
(atresia duodenal 40 ─ 60%, duodenal web 35 ─ 45%, pankreas anular 10 ─ 30%, stenosis
duodenum 7 ─ 20%). Tidak terdapat predileksi rasial dan gender pada penyakit ini. Sekitar
setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi duodenal mempunyai kelainan congenital dari
sistem organ lain.
Tabel 1. Congenital Anomalies Associated With Duedenal Atresia
Type No.(%) of cases
Cardiac 53 (38)
Renal 19 (14)
Esophageal atresia of tracheoesophageal fistula 8 (6)
Imperporata anus 7 (5)
Skeletal 8 (6)
Central nervous system 4 (3)
Other 11 (8)
Laporan lain menyebutkan bahwa anomali yang berhubungan dengan obstruksi
duodenal adalah Down syndrome (28%), Pankreas annulare(23%), Penyakit jantung
kongenital (23%), Malrotasi (20%), Atresia esofagus/ fistula trakheaesofageal (9%), Kelainan
traktus Genitourinaria (8%), Anomalies anorektal (4%), kelainan usus lainnya (4%) dan
anomali lainnya(11%).
2.5 Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan
keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya menunjukkan
bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan.
Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya.
Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini.
Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi
21(sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan
atresia duodenum.
2.6 Patologi
Dapat disebabkan faktor intrinsik didalam duodenum, dapat total atauparsial, atau
tanpa diafragma mukosa. Diameter bukaan dapat kecil sekali ataubesar, mendekati diameter
lumen normal. Faktor ekstrinsik tekanan laurduodenum seperti pita Ladd.
Ladd mengklasifikasikan obstruksi duodenal menjadi lesi instrinsik dan extrinsik.
Beberapa penyebab paling umum diperlihatkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Ladd Clasification: Several congenital lesion Whether intrinsicor
extrinsic can cause complete or partial obstruction
Intrinsic Lession Extrinsic Lession
Duodenal atresia Annular pancreas
Duodenal stenosis Malrotation
Duoedenal web Peritoneal bands
Anterior portal vein
2.7 Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa tanpa
lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa
millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan distal. Lambung
dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal web Tipe I atresia).
Arteri mesenterika superior intak.
2) Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous cord
Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.
3) Tipe III (7%)
Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat (Complete
separation Tipe III atresia).
Gambar 2. Atresia duodenal; 3 tipe anatomis
2.8 Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak
adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita
padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa
epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30 ─ 60 hari lalu akan terhubung ke
lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses
apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara
lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular
(jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat
gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari
pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut,yang
tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm, dikelilingi sel yang
berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya
memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.
2.9 Diagnosis
2.9.1 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi. Atresia
duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir.
Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini
terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum
melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih
jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak
yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna
proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas.
Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid, sehingga obstruksi
intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari
dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama
kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan
elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti.
Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik hipokalemi/
hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi
lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan
cairan berwarna empedu (biliosa)
dalam jumlah bermakna. Jaundice terlihat pada 40% pasien, dan diperkirakan karena
peningkatan resirkulasi enterohepatik dari bilirubin.
Riwayat kehamilan dengan penyulit polihidramnion dan bayi dengan sindroma Down
harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan
atresia duodenal.
2.9.2 Pemeriksaan Penunjang
a) Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak akan terlihat
gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble), gelembung lambung dan duodenum
proksimal atresia. Bila 1 gelembung mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat
atresia pylorus atau membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus
ditunjang muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung udara kecil-kecil di
distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau malrotasi dengan
atau tanpa volvulus.
Gambar 3. Foto polos abdomen posisi AP yangmemperlihatkan gambaran “the double-bubble
sign” pada atresia duodenum.
b) USG Abdomen
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18 macam malformasi
kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in
utero. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda)
pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua
mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal
memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan untuk melahirkan
di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali
saluran cerna.
Gambar 4. Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik memberikan gambaran double bubble sign pada fetus dengan atresia duodenum. In utero, the stomach (S) dan duodenum (D) terisi oleh cairan.
2.10 Tatalaksana
2.10.1 Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi. Resusitasi
cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat
perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
2.10.2 Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus dikoreksi dengan tindakan
pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir. Prosedur operatif standar saat ini berupa
duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang
ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal
invasive. Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis duodenoyeyunostomi.
Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri
dan saluran Wirsungi.
Prosedur pembedahan dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal
abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai kuadran
kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi didalamnya untuk
mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk mendapatkan gambaran
lapang pandang yang baik pada pars superior duodenum, dengan sangat hati-hati dilakukan
penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan
dengan perlahan-lahan.
Gambar 5. Transverse supra-umbilical abdominal incision.
Terdapat dua bentuk anastomosis duodenduodenostomy yang dapat dilakukan yaitu
bentuk 1) Side to side duodenostomy dan 2) Proksimal tranverseto distal longitudinal
(Diamond Shaped Duodenoduodenostomy).
Gambar 6. Duodeno-duodenostomy and “diamond-shaped”anastomosis
Tindakan operasi Diamond Shaped Duodenoduodenostomy (DSD) dilakukan sebagai
berikut.
Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal
Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum distal
Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow
Orientasi penyambungan seperti pada gambar di atas (gambar)
Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen distal yang dibuat.
20 ─30 ml saline hangat diinjeksikan
Cateter kemudian dilepas.
Biagio Zuccarello et al (2009) melakukan modifikasi teknik Kimura untuk tindakan
pembedahan pada atresia duodenal, yaitu sebagai berikut.
Gambar 7. Personal modification (inverted diamond-shaped anastomosis): (a-b)
longitudinal incision on the proximal dilated duodenum and transverse incision on the distal
duodenum; (c-d-e-) anastomosis of posterior duodenal wall in a single layer with interrupted
sutures; (f-g) anastomosis of the anterior duodenal wall.
2.11 Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila
tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti
pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks
gastroesofageal.
Penelitian Laura K et al (1998) yang dilakukan terhadap 92 neonatus dengan atresia
duodenal (Tipe I 64%, Tipe II 17%, Tipe III 18%) dengan melakukan tindakan pembedahan
Duodenoduodenostomy (86%), duodenotomy with web excision (7%) and
duodenojejunostomy (5%), didapatkan komplikasi postoperative (Postoperative
Complications) yaitu 4 neonatus (3%) dengan obstruksi, congestive heart failure (9%), ileus
paralitik yang berkepanjangan (4%), pneumonia (5%), infeksi luka superfisialis (3%).
Komplikasi lanjut termasuk perlekatan obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang
menghasilkan megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan gastroesophageal refluks
disease yang tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan pembedahan
antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).
3
Angka kematian (Operative Mortality Rate) adalah 4% (5/138). 5 Kasuskematian
terjadi dalam 30 hari postoperative dan berhubungan dengan complex congenital heart
anomalies. 14 kasus (10%) berhubungan dengan sepsis dan Multi organ system failure
termasuk gagal jantung pada 6 kasus (4%), meningitis pada 1kasus (0,7%), gagal hati pada 1
kasus (0,7%) dan penyakit jantung kongenital kompleks pada 4 kasus (3%). 2 kasus (1%)
tidak diketahui penyebab kematiannya.
2. 12 Prognosis
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun terakhir.
Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan,
angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomaly lain yang dialami khususnya
bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complexcardiac anomaly). Faktor
lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah prematuritas, BBLR
dan keterlambatan diagnosis.
BAB III
KESIMPULAN
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus)
tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang
tidak memungkinkan perjalananmakanan dari lambung ke usus.
Penyebab atresia duodenum yaitu kegagalan rekanalisasi lumen usus selama masa
kehamilan minggu ke-4 dan ke-5
Gejala atresia duodenum antara lain bisa ditemukan pembengkakan abdomen bagian
atas, muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat adanya empedu (biliosa),
muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam, tidak memproduksi
urin setelah beberapa kali buang air kecil, hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang
air besar mekonium.
Penatalaksanaan
1.Pemberian terapi cairan intravena
2.Dilakukan tindakan duodenoduodenostomi
DAFTAR PUSTAKA1.Mirza B, Ijaz L, Saleem M and Sheikh A. Multiple associated anomalies in asingle patient of duodenal atresia: a case report.Cases Journal2008, 1:2152.Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. EditorReksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.3.Laura K, Vecchia D, Grosfeld JL, West KW et al. Intestinal Atresia andStenosis:A25─Year Experience With 277 Cases.Arch Surg J ,1998;133:490─ 4974.Karrer F, Potter D, Calkins C. Duodenal Atresia. Available athttp://emedicine.medscape.com/article/932917-print. Updated: Mar 3, 2009.Diakses pada tanggal 12 Februari 2012.5.Mandell G, Karan J. Imaging in Duodenal Atresia. Tersedia padahttp://emedicine.medscape.com/article/408582-overview#showall.Diaksespada tanggal 25 Februari 2012.6.Hermanto. Atresia dan Stenosis Duodenum. Tersedia padahttp:///www.bedahanakpontianak.blogspot.com. Updated 24 April 2011.Diakses pada tanggal 22 Februari 2012.7.Merkel M. Postoperative Outcome after Small Bowel Atresia. Department of Pediatric and Adolescent Surgery at Medical University of Graz. Disertasi.2011.8.Sweed Y. Duodenal obstruction. In Puri P (ed): Newborn Surgery, 2nd ed,London, Arnold,2003, p 423.9.Lewis N.Pediatric Duodenal Atresia and Stenosis Surgery. Tersedia padahttp://emedicine.medscape.com/article/935748-overview#showall.Diaksespada tanggal 25 Februari 2012.10.Anonym. Duodenal Atresia. Available athttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/001131.htm. Updated 7 Agustus 2007.Diakses pada tanggal 25 Februari 2012.11.Mandel G. Duodenal Atresia. Available athttp://emedicine.medscape.com/article/408582-print. Updated 28 Agustus 2007. Diakses pada tanggal 25 Februari 2012.12.Traubici J. The Double Bubble Sign. Radiology2001; 220:463 – 464.13.Puri P, Höllwarth M. Pediatric surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 205.