Refrat Ckd 1 Done

63
REFERAT CHRONIC KIDNEY DISEASE Pembimbing : Dr. Lisa Kurniasari M.Sc Sp.PD Disusun oleh: Patricia Jessika Babay 11.2013.040 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 09 Juni-16 Agustus 2014

description

makalah

Transcript of Refrat Ckd 1 Done

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing :Dr. Lisa Kurniasari M.Sc Sp.PDDisusun oleh:Patricia Jessika Babay

11.2013.040KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 09 Juni-16 Agustus 2014RS. BETHESDA LEMPUYANGWANGI - JOGJAKARTABAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) atau yang disebut juga penyakit ginjal kronik merupakan permasalahan bidang nefrologi dengan angka kejadiaannya masih cukup tinggi, etiologi luas dan kompleks, sering tanpa keluhan maupun gejala klinik kecuali sudah terjun ke stadium terminal. Penyakit ginjal kronik didefinisikan adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

1.1 EpidemiologiLaporan studi empidemiologi klinik di Indonesia ternyata gagal ginjal terminal dimana akibat lanjut dari penyakit ginjal kronik menempati urutan pertama dari semua penyakit ginjal, khususnya di bidang nefrologi. Di Amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun, termasuk Indonesia. BAB II

PEMBAHASAN2.1 Anatomi dan fisiologi ginjalGinjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak pada kedua sisi tulang belakang di tengah punggung bawah.1 Merupakan organ yang terletak retroperitoneal di bagian belakang dari abdomen dan masing-masing terletak disisi kolumna vertebralis. Pada manusia, ekstremitas superior dari tiap ginjal terletak setinggi vertebra thoracalis XII dan ekstremitas inferior terletak setinggi vertebra lumbalis III.Ginjal dihubungkan ke kandung kemih melalui struktur berbentuk tabung yang disebut ureter. Urin akan disimpan dalam kandung kemih sampai terjadi proses pengosongan. Kandung kemih tersambung ke luar tubuh melalui struktur yang disebut urethra.1,2

Gambar 1.Posisi Anatomi Ginjal.1Masing-masing ginjal memiliki berat sekitar pon dan memiliki unit penyaringan yang disebut nefron.1 Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal. Setiap ginjal manusia terdiri dari 0,6 x 106 sampai 1,4 x 106 nefron. Komponen esensial dari nefron terdiri dari renal atau malpighian corpuscular (glomerulus dan kapsula Bowman), tubulus proksimal, loop of Henle, tubulus distal, dan connecting tubule.2

Gambar 2a) Potongan koronal ren dekstra; b) Komponen esensial nefron;

c) Diagram ilustrasi nephronum dan duktus ekskretoriusnya.1Fungsi utama ginjal adalah membuang produk sisa metabolisme dan cairan intravascular yang berlebihan. Proses filtrasi ginjal sekitar 200 liter darah setiap hari dan menghasilkan sekitar dua liter urin. Produk sisa metabolism dihasilkan dari metabolism normal di tubuh, termasuk pemecaran jaringan aktif, hasil pencernaan makanan, dan zat sisa lainnya. Ginjal memeberi kesempatan kita untuk mengkonsumsi berbagai makanan, obat, vitamin dan suplementambahan, dan cairan yang berlebihan tanpa takut akan menjadi bahan toksik yang berbahaya untuk kita. Ginjal juga memainkan peran penting dalam meregulasi kadar berbagai mineral seperti kalsium, natrium, dan kalium dalam darah.1,2Pembentukan UrinGinjal memproduksi urine yang mengandung zat sisa metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh melalui tiga proses utama: filtrusi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus.1,21) Filtrasi glomerular

Filtrasi glomerular adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dari kapiler glomerular, dalam gradien tekanan tertentu ke dalam kapsul Bowman. Filtrasi ini dlbantu oleh faktor berikut:

a. Membran kapilar glomerular lebih permeabel dibandingkan kapilar lain dalam tubuh sehlngga filtrasi berjalan dengan sangat cepat.b. Tekanan darah dalam kapilar glomerular lebih tinggi dibandingkan tekanan darah dalam kapiler lain karena diameter arteriol eferen lebih kecil dibandingkan diameter arteriol aferen.1Bahan-bahan yang di filtrasi antara lain klorida, natrium, kalium, fosfat, urea, asam urat, dan kreatinin.Sejumlah kecil albumin plasma dapat terfiltrasi.tetapi sebagian besar diabsorbpsi kembali dan secara normal tidak tampak pada urine.Sel darah merah dan protein tidak difiltrasi.Penampakannyadalam urine menandakan suatu abnormalitas. Penampakan sel darah putih biasanya menandakan adanya infeksi bakteri pada traktus urinaria bagian bawah.22) Reabsorpsi tubulus.Sebagian besar filtrat (99%) secara selektif direabsorpsi dalam tubulus ginjal melalui difusi pasif gradien kimia atau listrik, transpor aktif terhadap gradien tersebut. atau difusi terfasilitasi.Sekitar 85% natrium klorida dan air serta semua glukosa dan asam amino pada filtrat glomerulus diabsorpsi dalam tubulus kontortus proksimal.walaupun reabsorpsi berlangsung pada semua bagian nefron.1,2a. Reabsorpsi ion natrium Ion-ion natrium ditranspor secara pasif melalui difusi terfasilitasi (dengan carrier] dari lumen tubulus kontortus proksimal ke dalam sel-sel epitel tubulus yang konsentrasi ion natriumnya lebih rendah. Ion-ton natrium yang ditranspor secara aktif dengan pompa natrium- kalium. akan keluar dari sel-sel epitel untuk masuk ke cairan lntersisial di dekat kapilar peritubular.1b. Reabsorpsi ion klor dan ion negatif lain Karena ion natrium positif bergerak secara pasif dari cairan tubulus ke sel dan secara aktif dari sel ke cairan lnterstisial peritubular, akan terbentuk ketidakseimbangan listrik yang justru membantu pergerakan pasif ion-ion negatif. Dengan demikian, Ion klor dan bikarbonat negatif secara pasif berdifusl ke dalam sel-sel epitel dari lumen dan mengikuti pergerakan natrium yang keluar menuju cairan peritubular dan kapilar tubular.1c. Reabsorpsi glukosa, fruktosa, dan asam amino

Carrier glukosa dan asam amino sama dengan carrier ion natrium dan digerakkan melalul kotranspor. Maksimum transpor. Carrier pada membran sel tubulus memiliki kapasitas reabsorpsi maksimum untuk glukosa berbargai jenis asam amino, dan beberapa zat terabsorpsi lainnya. Jumlah ini dinyatakan dalam maksimum transpor (transport maximum (Tm).

Maksimum transpor (Tm) untuk glukosa adalah Jumlah maksimum yang dapat ditranspor (reabsorpsi) per menit. yaitu sekitar 200 mg glukosa/100 ml plasma. Jlka kadar glukosa darah melebihi nilai Tm- nya. berarti melewati ambang plasma ginjal sehlngga glukosa muncul dl urine (glikosuria).1d. Reabsorpsi air.

Air bergerak bersama Ion natrium melalui osmosis Ion natrium berpindah dari area berkonsentrasi air tinggi dalam lumen tubulus kontortus proksimal ke area berkonsentrasi air rendah dalam cairan intersisial dan kapilar peritubular.1e. Reabsorpsi urea.

Seluruh urea yang terbentuk setiap hari difiltrasi oleh glomerulus.Sekitar 50% urea secara pasif direabsorpsi akibat gradien difusi yang terbentuk saat air direabsorpsi. Dengan demikian, 50% urea yang difiltrasi akan diekskresi dalam urine.1f. Reabsorpsi ion anorganik lain, seperti kalium, kalsium, fosfat, dan sulfatserta sejumlah ion organik adalah melalui transpor aktif.13) Mekanisme sekresi tubularAdalah proses aktif yang memindahkan zatkeluar dari darah dalam kapilar peritubular melewati sel-sel tubularmenuju cairan tubular untuk dikeluarkan dalam urine.1,21. Zat-zat seperti ion hydrogen, kalium, dan amonium. Produk akhir metabolik kreatinin dan asam hipurat serta obat-obatan tertentu (penisilin) secara aktif disekresi ke dalam tubulus.

2. Ion hidrogen dan amonium diganti dengan ion natrium dalam tubulus kontortus distal dan tubulus pengumpul. Sekresi tubular yang selektif terhadap ion hidrogen dan amonium membantu dalam pengaturan pH plasma dan keseimbangan asam basa cairan tubuh.

3. Sekresi tubular merupakan suatu mekanisme yang penting untuk mengeluarkan zat-zat kimia asing atau tidak diinginkan.1Hormon pada ginjal1. Hormon yang bekerja pada ginjal

Hormon antidiuretik ( ADH atau vasopressin )

Merupakan peptida yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis posterior, hormon ini menngkatkan reabsorbsi air pada duktus kolektifus.

Aldosteron

Merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal, hormon ini meningkatkan reabsorbsi natrium pada duktus kolektivus.

Peptida Natriuretik ( NP )

Diproduksi oleh sel jantung dan meningatkan ekskresi natrium pada duktus kolektivus.

Hormon paratiroid

Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid, hormon ini meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium dan produksi vitamin D pada ginjal.22. Hormon yang dihasilkan oleh ginjal

Renin

Merupakan protein yang dihasilkan oleh apparatus jukstaglomerular, hormon ini menyebabkan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II berfungsi langsung pada tubulus proximal dan bekerja melalui aldosteron ada tubulus distal. Hormon ini juga merupakan vasokonstriktor kuat.

Vitamin D

Merupakan hormon steroid yang dimetabolisme di ginjal, berperan meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat dari usus.

Eritropoeitein

Merupakan protein yang diproduksi di ginjal, hormon ini meningkatkan pembentukan sel darah merah di sumsum tulang.

Prostaglandin

Diproduksi di ginjal, memiliki berbagai efek terutama pada tonus pembuluh darah ginjal.22.2 Definisi 1. Definisi CKD menurut NKF-K/DOQI adalah:32. Kerusakan ginjal selama 3 bulan

Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu manifestasi:

Kelainan patologi

Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urine, atau kelainan radiologi.3,43. GFR 60 ml/men/1,73m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

GFR 60 ml/men/1,73m2 3 bulan diklasifikasikan sebagai CKD tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh kerena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjaltelah kehilangan fungsinya 50% dan terdapat komplikasi. Disisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan tingkat GFR juga diklasifikasikan sebagai CKD. Pada sebagian besar kasus, biopsy ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada adanya beberapa petanda seperti proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, pyuria dengan cast), kelainan darah yang patognomonik untuk kelainan ginjal seperti sindroma tubuler (misalnya asidosis tubuler ganjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta adanya gambaran radiologi yang abnormal, misalnya hidronefrosis. Ada kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan ginjal sehingga mempunyai resiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan utama akibat CKD, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya penyakit kardiovakular.32.3 Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologis.3Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar perhitungan GFR. Pedoman K/DOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus Cockroft-Gault untuk orang dewasa, yaitu:

Klirens kreatinin (ml/men)

Tabel 1.Stadium penyakit ginjal kronik.3PenyakitTipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetesDiabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal

non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia),

Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati),

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat),

Penyakit kistik (ginjal polikstik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik,

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus),

Penyakit recurrent (glomerular), Transplant glomerulopathy

Tabel 3Klasifikasi CKD atas dasar Diagnosis Etiologis2,3Klasifikasi dari jenis penyakit ginjal didasarkan pada patologi dan etiologinya. Penyakit ginjal diabetik sebenarnya merupakan penyakit glomerular, tetapi berdasarkan NKF K/DOQI diklasifikasinya secara tersendiri oleh karena diabetes mellitus (DM) merupakan penyebab terbanyak GGT di Amerika Srikat. Sejumlah penyakit, termasuk penyakit glomerular lainnya, vascular, tubulointerstisiel serta penyakit kistik dikelompokkan dalam penyakit ginjal non diabetik. Kelompok lainnya adalah penyakit ginjal transplantasi, dimana progresi penyakit dipengaruhi oleh faktor imunologi maupun non imunologi.2,32.4 Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8 % tiap tahunnya. 26 juta penduduk dewasa Amerika menderita CKD dan jutaan lainya memiliki resiko tinggi untuk terjadi CKD. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Dinegara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.3Prevalensi penyakit ginjal kronik, umumnya dinyatakan dalam berapa lama perjalanan penyakit, penurunan fungsi ginjal yang irreversible, dan jumlahnya jauh lebih besar dari pada penderita dengan end-stage renal disease (ESRD).3,4Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk mungkin telah menderita CKD, tetapi jarang pada orang dewasa muda, dapat muncul pada 1 dari 50 orang. Bagi mereka yang telah berusia lebih dari 75 tahun, CKD dapat muncul dalam 1 dari 2 orang.Namun, banyak orang tua dengan CKD mungkin tidak 'sakit' ginjal, tetapi memiliki penuaan normal ginjal mereka. Meskipun gagal ginjal yang parah tidak akan terjadi dengan penuaan normal ginjal, ada peluang peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung atau stroke, sehingga pemeriksaan medis akan sangan membantu.3Berdasarkan stadium penyakit ginjal kronik, prevalensinya adalah sebagai berikut: stage 1, 3.1%;

stage 2, 4.1%;

stage 3, 7.6%;

stage 4 dan 5, 0.5%. Ada lebih dari 500.000 orang telah menjalani dialisis atau yang telah menerima transplantasi ginjal. Prevalensi penyakit ginjal kronis meningkat sebesar 16% dari dekade sebelumnya. Meningkatnya insiden diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dan populasi yang menua telah memberikan kontribusi untuk peningkatan penyakit ginjal. Penyakit ginjal kronis yang lebih menonjol terjadi antara individu-individu di atas 60 tahun (39,4%).32.5 Etiologi Penyebab CKD diberbagai Negara hampir sama, akan tetapi akan berbeda dalam perbandingan persentasenya.3 CKD pada umumnya dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: Penyabab umum CKD

Diabetik nefropati

Hipertensiv nefrosklerosis

Glomerulonefritis

Renovakular disesase (iskemik nefropati)

Penyakit polikistik ginjal

Refluk nefropati dan penyakit ginjal kongenital lainnya

Intersisial nefritis, termasuk nefropati analgesic

Nefropati yang berhubungan dengan HIV Transplant allograft failure (chronic rejection)

Tabel 2Penyebab umum CKD5Sumber: Harrisons Manual of Medicine 17th Edition, International Edition

2.6 Patofisiologi Patofisiologi CKD melibatkan mekanisme awal yang spesifik, yang terkait dengan penyebab yang mendasari, selanjutnya proses berjalan secara kronik progresif yang dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan massa ginjal. Sejalan dengan menurunnya massa ginjal, sebagai mekanisme kompensasi maka nefron yang masih baik akan mengalami hiperfiltrasi oleh karena peningkatan tekanan dan aliran kapiler glomerulus dan selanjutnya terjadi hipertrofi. Hipertrofi struktural dan fungsional dari sisa nefron yang masih baik tersebut terjadi akibat pengaruh molekul-molekul vasoaktif, Aktifitas aksis Renin-Angiotensin internal juga berperan dalam terjadinya hiperfiltrasi-hipertrofi dan sklerosis.2,3Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik.Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berbah strukturnya. Misalnya, lesi pada medula akan merusak susunan anatomik pada Lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens Lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemempuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.4Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan dari segi hipotesis nefron yang utuh.Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresikan oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif.Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatann kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tuubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses eksresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti makin sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan eksresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan uurine menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.4Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya, diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF ).Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointestinal.4Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, mual, muntah, badan lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan laiin sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement theraphy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.4Gangguan pengaturan juga berperan pada terjadinya gagal ginjal kronik.Berkurangnya eliminasi air dan elektrolit di ginjal terutama penting dalam timbulnya gejala gagal ginjal.Volume ekstrasel meningkat jika terdapat kelebihan NaCl dan air sehingga terjadi hipovolemia serta edema, komplikasi yang paling berbahaya adalah edema paru. Terutama jika terjadi kelebihan air, secara osmotik akan mendorong air ke dalam sel sehingga meningkatkan volume intrasel dan timbul bahaya edema serebri.4Hipovolemia menimbulkan pelepasan atrial natriuetic factor (ANF) dan mungkin juga ouabain.Ouabain menghambat Na+/K+-ATPase.Vanadat (VNO4) yang banyak diekskresikan oleh ginjal memiliki efek serupa. Klirensnya kurang lebih sama dengan GFR dan kadarnya di dalam plasma akan sangat meningkat pada gagal ginjal.4Penghambatan Na+/K+-ATPase menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di ginjal terdepolarisasi. Kensentrasi Na+ intrasel akan meningkat. Hal ini mengganggu pertukaran 3Na+/Ca2+ sehingga konsentrasi Ca2+ intrasel juga meningkat. Akibat depolarisasi terjadi gangguan esksitabilitsi neuromuskular, akumulasi Cl- di dalam sel dan pembengkakan sel. Peningkatan konsentrasi Ca2+ menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan pelepasan hormon (misal, gastrin,insulin) serta peningkatan efek homoral (misal, epinefrin).4Jika Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat, konsentrasi Ca2+akan menurun. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang (osteomalasia).Biasanya, PTH mampu membuatkonsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorpsinya di ginjal. Jadi, meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang , produknya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun, konsentrasi fosfat di plasma meningkat.Selanjutnya, CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah.oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi dan dalam lingkaran setan, bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.4Karena reseptor PTH, selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat banyak di organ lain (sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), di duga bahwa PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut. Pada kenyataanya, pengangkatan kelenjar paratiroid secara signifikan akan membuat berbagai gejala gagal ginjal menjadi membaik.4

Gambar 3. Chronic Renal Failure.4

Gambar 4. Gangguan keseimbangan garam dan air pada gagal ginjal.4

Gambar 5. Efek dari gagal ginjal pada keseimbangan mineral.4Perubahan Filtrasi GlomerulusFiltrasi bergantung pada penjumlahan gaya-gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-gaya yang mendorong reabsorpsi filtrate kembali ke dalam glomerulus. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler dan tekanan osmotic koloid cairan interstisium. Gaya-gaya yang mendorong reabsorpsi adalah tekanan cairan interstisium dan tekanan osmotic koloid plasma.2Hipertensi Renalis1. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan hipertensi dengan merangsang mekanisme renin-angiotensis. Renin dilepaskan di asparatus jukstaglomerulus, missal pada iskemia ginjal, kemudian memecah angiotensin I menjadi angiotensinogen, suatu protein plasma yang berasal dari hati. Angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II melalui perantaraan enzim pengubah yang ditemukan di berbagai jaringan. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang kuat selain itu juga merangsang pelepasan aldosterone dan ADH, yang menyebabkan retensi NaCl dan air melalui perangsangan kanal Na+ dan air secara berurutan.

2. Hipertensi disebabkan oleh retensi natrium dan air, meski tanpa mekanisme renin-angiotensis.2AnemiaAnemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal sebagaimana eritropoietin berfungsi untuk menghasilkan sel-sel darah. Berkurangnya fungsi neuron ginjal akan mengganggu fungsi ginjal sebagai penghasil hormone eritropoietin.2,3Osteodistrofi GinjalPada penyakit ginjal dapat terjadi demineralisasi tulang. Osteodistrofi ginjal terjadi karena penurunan pengaktifan dari Vitamin D3 oleh ginjal sehingga terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kalsium serum merangsang pelepasan hormone paratiroid sehingga terjadi penguraian (resorpsi) tulang. Hal ini mempermudah patah tulang.2,3Asidosis MetabolikMerupakan penurunan pH plasma yang bukan disebabkan oleh gangguan pernapasan. Penyakit ginjal kronik akan menurunkan eksresi ion hydrogen dan mengubah reabsorpsi bikarbonat. Hal ini menyebabkan peningkatan ion hydrogen plasma dan penurunan pH.Dapat terjadi takipnu, yaitu usaha pernapasan untuk membuang kelebihan ion hydrogen. Hal ini disebut kompensasi respiratorik.2,3Ensefalopati UremikMerupakan perubahan neurologic pada penyakit ginjal yang parah. Ensefalopati uremik disebabkan oleh penimbunan toksin-toksin, perubahan keseimbangan kalium, dan penurunan pH.2,3Progresivitas penyakit gagal ginjal kronik

Stadium IPenurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40%-75%). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita belum merasakan gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.4Stadium IIInsufisiensi ginjal (faal ginjal antara 20%-50%). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah-langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.4Stadium IIIUremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tidak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFRnya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang.42.7 Manifestasi klinisPada dasarnya gejala yang timbul pada CKD erat hubungannya dengan penurunan fungsi ginjal, yaitu :

1. Kegagalan fungsi ekskresi, penurunan GFR, gangguan resorbsi dan sekresi tubulus. Akibatnya akan terjadi penumpukan toksin uremik dan gangguan kesimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa tubuh.

2. Kegagalan fungsi hormonal

Penurunan eritropoitin

Penurunan vitamin D3 aktif (kalsitriol)

Gangguan sekresi rennin

Lain-lain5Keluhan gejala klinis yang timbul pada CKD hampir mengenai seluruh sistem, yaitu :Sistem OrganManifestasi Klinis

UmumLemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan debilitas, edema

KulitPucat, rapuh, gatal, bruising

Kepala dan leherFetor uremi

MataFundus hipertensi, mata merah

Jantung dan vaskulerHipertensi, sindroma overload, paying jantung, pericarditis uremik, tamponade

RespirasiEfusi pleura, nafas Kussmaul, pleuritis uremik

GastrointestinalAnoreksia, mual, muntah, gastritis, ulkus, colitis uremik, perdarahan saluran cerna

GinjalNokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria

ReproduksiPenurunan libido, impotensi, amenorrhea, infertilitas, genikomasti

SyarafLetargi, malaise, anoreksia, drowsiness, tremor, mioklonus, asteriksis, kejang, penurunan kesadaran,koma

TulangROD, kalsifikasi jaringan lunak

SendiGout, pseudogout, kalsifikasi

DarahAnemia, kecendrunganberdarah karena penurunan fungsi tromosit, defisiansi imun akibat penurunan fungsi imunologis dan fagositosis

EndokrinIntoleransi glukosa, resistensi insulin, hiperlipidemia, penuRunan kadar testosterone dan estrogen

Tabel 4. Manifestasi klinis CKD52.8 Diagnosa 1) Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, ISK, BSK, hipertensi, hiperurisemi, SLE dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, volume overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, periksrditis, kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodiatrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (K,Na,Cl).32) Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). penurunan fungsi ginjal perupa peningkatan kadar BUN, SC dan menurunan GFR. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar Hb, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, lekosuria, cast, isotenuria.33) Gambaran Radiologi

Pemeriksaan radiologis CKD meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa terlihat batu yang radio-opak. b). IVP, jarang dilakukan karena kontras tidak bisa melewati filter glomerulus dan akan terjadi pengaruh toksik pada ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad dan retrogad dilakukan sesuai indikasi.d). USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalisifikasi. e). Renografi dikerjakan sesuai indikasi.34) Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini ditujukan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi. Biopsi ginjal kontra indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.32.9 Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan CKD meliputi:

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal3DerajatGFR (ml/men/1,73m2)Rencana Tatalaksana

1 90Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular

260-89Menghambat perburukan fungsi ginjal

330-59Evaluasi dan terapi komplikasi

415-29Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5< 15Terapi pengganti ginjal

Tabel 5. Rencana tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya3UPAYA MENCEGAH PERBURUKANDengan memahami penyebab PGK dan faktor-faktor yang mempengaruhi perburukan fungsi ginjal, dapat ditentukan upaya-upaya pencegahan progresifitas gangguan fungsi ginjal.5Pengobatan Penyakit yang Mendasari Beberapa penyebab PGK dapat diobati atau dikontrol.Sebagai contoh, masalah obstruksi saluran kemih dapat diatasi dengan meniadakan obstruksinya, nefropati karena diabetes dengan mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol tekanan darah. Saat terbaik terapi penyakit dasar penyebab PGK adalah sebelum penurunan LFG < 60% sehingga tidak sampai terjadi perburukan fungsi ginjal.3-51. Modifikasi Gaya HidupBerhenti merokok adalah hal utama. Merokok diketahui dapat merusak ginjal antara lain melalui hiperfiltrasi yang dapat merusak nefron, peningkatan tekanan darah dengan hilangnya efek penurunan tekanan darah nokturnal, peningkatan kadar aldosteron plasma, dan meningkatnya agregrasi platelet. Banyak studi menunjukkan bahwa berhenti merokok terbukti menurunkan progresifitas CKD. Selain berhenti merokok, diet rendah garam (3-5 gram natrium per hari), mengurangi konsumsi alkohol, gerak badan secara teratur dapat dilakukan.3,4,62. Kontrol ketat glukosa darah Diabetes melitus (DM) merupakan penyebab utama PGK di Amerika Serikat.Prevalensinya kian meningkat dari tahun ke tahun.Kontrol ketat glukosa darah pada penderita diabetes tipe I terbukti mengurangi kejadian kerusakan ginjal. Penelitian lain oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), membandingkan kelompok pasien DM tipe 2 yang diterapi konvensional (konseling diet) dengan kelompok yang diterapi intensif (menggunakan sulfonilurea atau insulin). Pengamatan setelah 10 tahun, mendapati bahwa kejadian mikroalbuminuri dan proteinuri lebih sedikit pada kelompok terapi intensif. Target yang harus dicapai untuk pasien DM tipe 1 atau 2, adalah kadar glukosa darah puasa < 110 mg% dan kadar HbA1C 7% 7.5% ada yang menganjurkan nilai HbA1C < 7%. Pengendalian ini tetap harus memperhatikan aspek keselamatan, karena kontrol gula darah yang ketat sering dikaitkan dengan peningkatan kejadian hipoglikemi.3,4,63. Kontrol tekanan darahPengendalian tekanan darah yang adekuat diketahui dapat memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal.Sesuai panduan KDOQI (2003), target tekanan darah pasien penyakit ginjal diabetes dan non-diabetes tanpa melihat ada tidaknya proteinuria, adalah < 130/80 mmHg.National Kidney Foundation Task Force on Cardiovascular Disease memberikan panduan target tekanan darah dan beragam terapi untuk beragam derajat PGK (tabel 6). Pemilihan kombinasi obat sebaiknya mempertimbangkan komorbiditas seperti gagal jantung, pasca infark miokard, DM atau stroke. Penggunaan ACE inhibitor diketahui dapat memperlambat progresifitas PGK; dapat menurunkan hingga 50% peningkatan kadar kreatinin plasma, kematian, dan ESRD.3,4,6

Tabel 6. Target tekanan darah dan terapi farmakologi / non-farmakologi44. Penurunan Proteinuria

Penderita PGK dengan mikroalbuminuria/proteinuria meski tanpa hipertensi, harus dikontrol dengan ACE inhibitor atau ARB. Pemberian obat-obatan ini harus diikuti dengan pengawasan terhadap tekanan darah, kadar kalium dan kreatinin. Banyak studi menunjukkan bahwa pemberian ACEi atau ARB dapat menurunkan progresifitas CKD. Target penurunan proteinuria diharapkan < 0.5 g/ hari.3,4,65. Pembatasan Asupan Protein

Masalah ini masih kontroversial.Meski sejumlah studi menunjukkan bahwa pembatasan asupan protein terbukti dapat memperlambat progresifitas PGK, hal ini berdampak menimbulkan masalah malnutrisi. Malnutrisi akan menurunkan tingkat daya tahan hidup (survival) penderita PGK. Asupan protein yang dianjurkan untuk semua pasien PGK adalah 0.8 g/kg bb/hari, 0.35 0.50 g di antaranya berupa protein dengan nilai biologi tinggi. Pembatasan asupan protein menjadi 0.6 g/kg bb.per hari bila LFG < 25 ml/menit. Pembatasan dilakukan pada LFG < 60 ml/menit; bila di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.Pembatasan asupan protein ini berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat untuk mencegah hiperfosfatemi. Kondisi hiperfosfatemi dapat meningkatkan risiko kematian akibat komplikasi kardiovaskular pada penderita CKD dan ESRD.3,4,66. Kontrol Kadar Lipid

Hubungan dislipidemi dengan CKD belum sepenuhnya dipahami. Karena kondisi dislipidemi berhubungan erat dengan risiko penyakit kardiovaskuler, maka pemberian obat untuk mengontrol kadar lipid plasma perlu dilakukan. Target penurunan kadar LDL adalah < 100 mg/dL (< 2.6 mmol/L).3,4,67. Koreksi Anemia

Mortalitas CKD akan makin tinggi apabila disertai anemia. Anemia umumnya terjadi pada penderita PGK derajat 3.Pemberian Erythropoietin Stimulating Agents (ESA) sebagai tata laksana anemia terbukti dapat menurunkan progresifitas PGK. Eritropoietin hendaknya mulai diberikan pada kadar hemoglobin (Hb) < 10 g/dL dengan tujuan pemeliharaan Hb pada kisaran 11 12 g/dL. Penelitian CHOIR (The Correction of Haemoglobin and Outcomes in Renal insufficiency) mendapatkan dengan target Hb sampai 13.5 g/dL kejadian komplikasi kardiovaskular yang lebih banyak bila dibandingkan dengan target Hb yang lebih rendah. Hasil sama juga didapatkan oleh Singh dkk, dengan target Hb > 13 g/dL. 1. Hindari Obat Nefrotoksik

Penggunaan obat-obatan seperti anti inflamasi non-steroid, antibiotik aminoglikosid, dan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, sebaiknya dihindari pada penderita.PGK.3,4,68. Koreksi osteodistrofi renal

Dengan pemberian Kalsitriol 1,25(OH)2D3 , namun hati-hati dengan peningkatan absorpsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga terjadi penumpukan kalsium karbonat di jaringan. Dan juga dengan mengatasi hiperfosfatemia dengan membatasi asupan fosfat dan pemberian pengikat fosfat diharapkan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna.3Mengatasi hiperfosfatemia

a. Pembatasan asupan fosfat

Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit gagal ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

b. Pemberian pengikat fosfat

Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium asetate.

Cara/bahanEfikasiEfek samping

Diet rendah fosfatTidak selalu mudahMalnutrisi

Al (OH)3BagusIntoksikasi Al

Ca CO3SedangHipercalcemia

Ca AcetateSangat bagusMual, muntah

Mg(OH)2/MgCO3SedangIntoksikasi Mg

Tabel 7. Pengikat fosfat, Efikasi, dan Efek Sampingnya3c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)

Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.39. Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai denganluas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.4

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajad edema yang terjadi.310. Terapi pengganti ginjalTerapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dialysis atau transplantasi ginjal.2Hemodialisis Pada PGK, hemodialisi dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan yang mirip dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi.8

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibandingkan molekul dengan berat molekul yang lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.8

Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.8

Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.8

Selama proses dialisi pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Denganteknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisar berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pasca dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung minum lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.8

Dialiser dapat didaur ulang (reuse) dengan cara dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan, dialiser ini dicuci kembali untuk membuang sisa formaldehid.8

Terdapat 2 jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasoditatasi ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi.8

Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin.8

Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, harus memadahi sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula dengan arteri radialis dan ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. 8

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.8

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit) yang dalam praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

K serum > 6 mEq/L

Ureum darah > 200mg/dL

pH darah < 7,1

anuria berkepanjangan (> 5 hari)

fluid overloaded7

Gambar 6. Hemodialisis.8Dialisis peritonealDialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik, menggunakan membran peritoneum yang bersifat permeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungannya bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitasi khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modern.9

Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai stylet-catheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membrana dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sidah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.9

Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3,5-4,5 mEq/liter cairan dialisat.9

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCl, 0,294 gram CaCl2, 0,153 gram MgCl2, 4.880 gram NaLaktat dan 15.000 glukosa. Bila cairan dialisat mengandung kadar glukosa lebih dari 1,5% kita sebut cairan dialisat hipertonik. Cairan dialisat yang hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegahpembentikan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan.9Indikasi pemakaian dialisis peritoneal:

1. gagal ginjal akut

2. gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa

3. intoksikasi obat atau bahan lain

4. gagal ginjal kronik

5. keadaan klinis lain di mana DP telah terbukti manfaatnya

Kontraindikasi dialisis peritoneal:

1. Kontraindikasi absolut: tidak ada

2. Kontraindikasi relatif: keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal,operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menilai efensiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance.

Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.9Komplikasi dialisis peritoneal:

a. Komplikasi mekanis

Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati)

Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter

Gangguan drainase (aliran cairan dialisat)

Bocornya cairan dialisat

Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut

b. Komplikasi metabolik

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa

Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis

Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat

Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksi/ penurunan ureum dalam otak dan cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak.8c. Komplikasi radang

Infeksi alat pernafasan, biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta

Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis

Peritonitis8DP merupakan dialisis pilihan pada keadaan-keadaan berikut:

Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontra indikasi

Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan (hemodinamik tidak stabil)

Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock

Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis HD sukar dilakukan

Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat

Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan

Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak8CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terpai pengganti. Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DP dapat berupa:

a) Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD)

IPD dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena efisiensinya jauh dibawah HD

b) Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD)

CCPD dilakukan tiap hari dan dilakukan waktu malam hari, penggatian cairan dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12-14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 21/2-3 jam.

c) Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum (dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam perminggu, namun klirens solut dengan BM antara 1.000-5.000 Dalton (middle molecule) 4-8x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat mengendalikankeluh kesah dan gejala uremia dengan baik. Namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau IPD).9

Kebanyakan pasien yang menggunakan teknik CAPD memerlukan rata-rata 4x pergantian per hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan syarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan cairan dialisat. Ultrafiltasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Bila ultrafiltrasi dilakukan terlalu cepat dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik.9

Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis, hipertrigliseridemia familial, hernia pada dinding abdomen. Hati-hati melakukan CAPD bila ada perlengketan luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar dll.9

Gambar 7. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD).9Transplantasi GinjalTransplantasi atau cangkok ginjal adalah penempatan sebuah ginjal donor ke dalam rongga abdomen seseorang yang mengidap penyakit ginjal stadium akhir. Ginjal yang dicangkok diperoleh dari donor hidup atau mati. Semakin mirip sifat-sifat antigenik ginjal yang didonorkan dengan pasien, tingkat keberhasilan juga semakin tinggi. Individu yang mendapat pencangkokan ginjal harus tetap mendapat berbagai obat imunosupresan seumur hidup untuk mencegah penolakan ginjal. Penolakan dapat terjadi secara akut, dalam masa pascatransplantasi dini, atau beberapa bulan atau tahun setelah pencangkokkan.10

Gambar 8. Transplantasi ginjal.102.10 Komplikasi Pada CKD dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai berikut:DerajatPenjelasanGFR

(ml/men/1,73m2)Komplikasi

1

Kerusakan ginjal dengan GFR normal 90-

2Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan60-89 TD mulai (

3Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang30-59 Hiperfosfatemia

Hipokalsemia

Anemia

Hiperparatiroid

Hiperosmosisteinemia

4Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat15-29 Manutrisi

Asidosis metabolic

Cenderung hiperkalemia

Dislipidemia

5Gagal ginjal< 15 Gagal jantung

Uremia

Tabel 8.Komplikasi CKD22.11 Prognosis Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis tergantung dari derajat penurunan fungsi ginjal dan komplikasi yang terjadi. Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit kardiovaskuler, tanpa harus berada pada penurunan GFR stage V.5,6Sementara terapi penggantian ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas waktu dan memperpanjang hidup, dan akan sangat memperbaiki kualitas hidup. Transplantasi ginjal akanmeningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan CKD stage V secara signifikan jika dibandingkan dengan pilihan terapi lainnya. Namun, hal ini terkait dengan peningkatan mortalitas jangka pendek (akibat komplikasi dari operasi).6,7Untuk beberapa alasan, sekali ginjal telah rusak, mereka dapat terus menjadi lebih buruk selama beberapa bulan dan tahun, bahkan lama setelah penyakit yang menyebabkan kerusakan telah pergi. Hal ini lebih mungkin terjadi pada penderita dengan tekanan darah tinggi, dan jika terdapat banyak kebocoran protein ke dalam urin. Gagal ginjal yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal untuk tetap hidup dikenal sebagai end-stage renal failure atau ESRF.7

Grafik 1.Grafik menunjukkan fungsi ginjal pasien selama beberapa tahun.Fungsi ginjalnya rusak parah pada awalnya, tapi dengan perawatan meningkat menjadi sekitar 30% dari yang normal, sehingga dia cukup baik. Sayangnya selama 5 tahun ke depan ginjal rusak perlahan-lahan memburuk, sehingga akhirnya ia membutuhkan dialisis. Ini adalah grafikkreatinin timbal balik, yang dapat membantu untuk menunjukkan bagaimana hal tersebut berkembang.7BAB III

PENUTUP

Kesimpulan Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internalnya yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon sakit yang mempunyai kriteria kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan dan laju filtrasi glomerolus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Progresivitas penyakit gagal ginjal kronik terbagi atas 3 stadium. Dimana pada stadium pertama terjadi penurunan cadangan ginjal, pada tahap ini faal ginjal masih baik dan penderita belum merasakan gejala, pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Pada stadium kedua, dimana terjadi insufisiensi ginjal (75% jaringan yang berfungsi telah rusak). Penderita masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada tahap ini pemeriksaan laboratorium faal ginjal sudah diatas nilai normal dan pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Stadium ketiga merupakan stadium akhir dari penyakit gagal ginjal kronik yang disebut juga uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Penderita sudah merasakan gejala dan sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFRnya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang.Penatalaksanaan CKD dapat dilakukan dengan terapi konservatif ( peranan diet, kebutuhan jumlah kalori, cairan, elektrolit dan mineral), terapi penyakit mendasarinya, terapi simptomatik (asidosis metabolik, transfusi darah, hipertensi, kelainan kardiovaskular, kelainan kulit dan neuromuskular) dan terapi dialysis dan pengganti ginjal.DAFTAR PUSTAKA1. Kiersten M, Soren N, C.Craig T. Anatomy of the Kidney, In: Brenner & Rectors The Kidney 8th Edition. Saunders Elsevier, Philadelphia. 2008. Page 25-31.

2. C.A. OCallaghan, B.M. Brenner. The Kidney at a Glance. Blackwell Publishing, New York. 2000. Page 12-83. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V. Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2009. Hal 1035-40

4. Price S A, Wilson L M. Gagal Ginjal Kronik, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke VI. Jilid II. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006. Hal 912-495. Pranawa, M.Yagiantoro, Chandra I. Djoko S. Nunuk M. M.Thatha, dkk. Penyakit Ginjal Kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga University Press, Surabaya. 2007. Hal 221-9

6. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, et all. Harrisons Manual of Medicine 17th Edition, International Edition. The McGraw Hill Companies. New York. 2009. Page 794-8.7. KDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. 2002. Diunduh dari: http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm8. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V. Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2009. Hal 1050-2

9. Parsudi I, Siregar P, Roesli R. Dialisis Peritoneal, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V. Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2009. Hal 1053-8

10. Susalit E. Transplantasi Ginjal, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke V. Jilid II. Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2009. Hal 1066-70

2