Refrat Brain Death

39
Dr. George Rodonaia tiba di suatu tempat yang gelap. Sesaat kemudian ia melihat cahaya. Benda-benda seperti molekul-molekul atom, proton, dan netron be-terbangan tak teratur. Tampak gambaran seperti suatu layar film tentang perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir. Peristiwa itu terjadi saat Dr. George mengalami suatu NDE (Near Death Experiences). Suatu fenomena yang dapat terjadi saat manusia mengalami koma. Kebetulan yang dialami dokter yang sempat “mati” karena kecelakaan tersebut merupakan bentuk life review process. Ada lagi orang lain yang mengalami kejadian out of body experience. Suatu perasaan bahwa nyawa atau ruh –atau apapun yang mungkin dapat diasumsikan sebagai hal-hal tersebut—pergi keluar dari jasad fisiknya. Kisah lain menceritakan malaikat maut yang menjemput, atau bahkan setan yang menyeramkan. Tiap orang dapat mengalami NDE yang berbeda. Ada yang memiliki sensasi menyenangkan atau sebaliknya. Reaksi sesudahnya (after-effect) dapat muncul bermacam-macam. Mereka yang merasakan NDE menyenangkan mungkin akan menjadi orang yang lebih baik dan ramah. Di sisi lain, mereka dengan unpleasant NDE cenderung mengalami ketakutan dan mudah marah. Perkara NDE belum dapat dibuktikan ke-benarannya secara ilmiah. Hingga kini dunia kedok-teran belum dapat menjelaskan yang sesung-guhnya terjadi di balik misteri “mati suri” ini. “Bila diartikan mati suri itu henti napas dalam jangka waktu lama, maka tidak ada teori yang bisa menerangkan hal ini, karena kita tahu otak membutuhkan suplai makanan dan oksigen yang cukup,” demikian pendapat Dr. Salim Harris, SpS, staf pengajar bagian Neurologi FKUI-RSCM, mengenai hal tersebut. Perihal mati memang masih menjadi misteri yang belum atau tidak akan- dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia. Teori yang ada baru bisa menggambarkan

description

mvc

Transcript of Refrat Brain Death

Page 1: Refrat Brain Death

Dr. George Rodonaia tiba di suatu tempat yang gelap. Sesaat kemudian ia melihat cahaya. Benda-benda seperti molekul-molekul atom, proton, dan netron be-terbangan tak teratur. Tampak gambaran seperti suatu layar film tentang perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir.

Peristiwa itu terjadi saat Dr. George mengalami suatu NDE (Near Death Experiences). Suatu fenomena yang dapat terjadi saat manusia mengalami koma.

Kebetulan yang dialami dokter yang sempat “mati” karena kecelakaan tersebut merupakan bentuk life review process. Ada lagi orang lain yang mengalami kejadian out of body experience. Suatu perasaan bahwa nyawa atau ruh –atau apapun yang mungkin dapat diasumsikan sebagai hal-hal tersebut—pergi keluar dari jasad fisiknya. Kisah lain menceritakan malaikat maut yang menjemput, atau bahkan setan yang menyeramkan. Tiap orang dapat mengalami NDE yang berbeda. Ada yang memiliki sensasi menyenangkan atau sebaliknya. Reaksi sesudahnya (after-effect) dapat muncul bermacam-macam. Mereka yang merasakan NDE menyenangkan mungkin akan menjadi orang yang lebih baik dan ramah. Di sisi lain, mereka dengan unpleasant NDE cenderung mengalami ketakutan dan mudah marah. Perkara NDE belum dapat dibuktikan ke-benarannya secara ilmiah. Hingga kini dunia kedok-teran belum dapat menjelaskan yang sesung-guhnya terjadi di balik misteri “mati suri” ini. “Bila diartikan mati suri itu henti napas dalam jangka waktu lama, maka tidak ada teori yang bisa menerangkan hal ini, karena kita tahu otak membutuhkan suplai makanan dan oksigen yang cukup,” demikian pendapat Dr. Salim Harris, SpS, staf pengajar bagian Neurologi FKUI-RSCM, mengenai hal tersebut. Perihal mati memang masih menjadi misteri yang belum atau tidak akan- dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia. Teori yang ada baru bisa menggambarkan kematian dari sudut pandang medis. Namun bila menghubungkan proses kematian itu dengan keberadaan ruh manusia, hasilnya adalah suatu dimensi yang masih sumir.

Medis Mendefinisikan Mati Mendefinisikan mati ternyata tak kalah sulit dibanding menggali kematian itu sendiri. Arti mati bukan hanya tidak terasanya hembusan napas atau berhentinya detak jantung. Dr. Kartini Suryadi, SpAn(K), dari Bagian Anestesi FKUI-RSCM menjelaskan hal itu sebagai mati klinis. Istilah yang digunakan sebelum Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini masih memungkinkan seseorang “hidup”kembali setelah suatu resusitasi. Masih ada Istilah-istilah lain seperti mati biologis, mati sosial, dan mati jantung.

Pada mati biologis, sel-sel tubuh mengalami kerusakan ireversibel yang tidak selalu sama di setiap organ. Dapat dikatakan inilah kondisi mati sesungguhnya, karena tidak mungkin seseorang dalam keadaan ini dapat hidup kembali.

Page 2: Refrat Brain Death

Di lain sisi, seseorang yang mengalami mati sosial belum dinyatakan mati. Namun otak mengalami kerusakan cukup besar dan pasien tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan. Terjadi suatu siklus kesadaran yang menurun: tidak sadar (koma), sadar, koma, terus berulang. Tingkat intelektualitas pun mundur layaknya seorang bayi.

Sedangkan keadaan mati jantung ditegakkan apabila jantung tetap tidak berdetak meski telah dilakukan RJP selama 30 menit selaku terapi optimal. Tidak terlihatnya kompleks QRS (asistol ventrikel yang “membandel” atau mitral table) pada pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menjadi indikator.

Mati Otak Otak adalah pengendali utama seluruh fungsi tubuh. Andaikata jantung dan paru masih bekerja tetapi otak dinyatakan kehilangan fungsinya, maka seseorang dinyatakan mati. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap memasukkan kondisi henti jantung dan henti napas yang ireversibel dalam pengertian mati. Para ahli anestesi menyimpulkan indikator kematian seseorang terbagi menjadi dua. Pertama, tanda klinis mati otak, yaitu apabila telah dilakukan RJP dengan tahap-tahap Airway-Breathing-Circulation selama 15-30 menit pada seorang pasien de-wasa, namun ke-sadaran tetap tidak dapat pulih, tidak mampu bernapas spontan, serta tak adanya refleks gag (gerakan mulut/rahang) disertai dilatasi pupil. Yang kedua adalah mati jantung.

Mati otak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu

mati korteks (cerebral/cortical death), mati batang otak (MBO), dan mati seluruh otak (brain death).

Mati batang otak merupakan kondisi utama yang menunjukkan seseorang benar-benar telah mati. Di Indonesia, MBO dijadikan patokan utama guna menyatakan suatu kematian, sedangkan di Jepang pernyataan kematian dikeluarkan hanya dalam kondisi brain death.

Selain itu, MBO tidak dapat diputuskan tanpa mempertimbangkan keadaan pra kondisi, yaitu koma, apnea, dan kemungkinan adanya kerusakan struktur otak ireversibel.

Di Intensive Care Unit (ICU) RSCM, uji MBO harus dilakukan oleh kedua

2

Page 3: Refrat Brain Death

dokter spesialis anestesi dan spesialis saraf (neurolog).

Antara lain melalui uji refleks batang otak seperti refleks pupil, kornea, okulovestibuler, dan refleks motorik. Dr. Salim menambahkan standar utama pada kematian batang otak dilihat dari keadaan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Sistem ini merupakan neuron aferen nonspesifik yang mengurus kesadaran dan sangat responsif terhadap segala rangsangan dari luar. Sistem ini penting untuk mempertahankan kehidupan. Pada MBO, tidak ada gambaran pulsasi yang terlihat pada hasil pemeriksaan menggunakan electroencephalo-graphy (EEG).

Sakaratul Maut Terkadang beberapa keadaan dapat dijumpai menjelang kematian, di antaranya adalah suatu fase yang disebut sebagai koma. Pada fase ini, tak ada reaksi terhadap rangsang apapun namun reseptor tubuh masih berfungsi baik. Sehingga ia dapat mendengar, merasakan rabaan dan sebagainya. Keadaan yang sering disebut “ambang kematian” (dying) ini tidak selalu kemudian menjadi mati. Pada beberapa kasus, mereka sadar kembali dan dapat hidup normal seperti sediakala. Ilustrasi pada awal tulisan dapat menggambarkan secara nyata kasus ini. Satu hal yang pasti adalah, memasuki fase kematiannya, setiap manusia akan merasakan sakaratul maut.

sumber : http://members.lycos.co.uk/foxapin12/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=29

BAB I

PENDAHULUAN

Dahulu kematian di nilai berdasarkan keadaan dari sistem kardiopulmoner

berupa asistol dan apnea. Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon membuat istilah

sebagai coma dèpassè (koma yang irreversible ) yang menggambarkan 23 pasien

koma dengan penurunan kesadaran (koma), apneu, reflek batang otak yang

menghilang dan gambaran elektroensefalografi yang mendatar. Sejak saat itu

3

Page 4: Refrat Brain Death

berkembang kriteria kematian hingga saat ini, kalangan kesehatan mengatakan

kematian otak atau mati batang otak (MBO). 1.2

Pemakaian ventilator mekanik untuk merncegah henti-napas telah

merubah perjalanan klinis akhir penyakit saraf. Fungsi vital dapat dipertahankan

secara artifisial setelah otak berhenti bekerja, padahal secara klinis pasien telah

masuk dalam diagnosis kematian otak. Ini tidak sesuai dengan tujuan utama ilmu

kedokteran yang bertujuan untuk memperpanjang kehidupan dan bukannya

memperpanjang proses kematian. Dokter adalah satu-satunya tenaga kesehatan

yang diberi wewenang untuk menyatakan apakah seseorang sudah mati atau

belum. Sehubungan dengan hal ini, dalam praktek kedokteran,seorang dokter

tidak mungkin lepas dari pertimbangan aspek hukum, etika/moral, sosial,

ekonomis, dan lain-lain. Dengan demikian setiap dokter harus mengerti batasan

mati, baik dalam keadaan emergensi maupun dalam keadaan non-emergensi

(normal).1,3,4

Saat ini diseluruh dunia, baik kalangan medis maupun awam telah

menerima konsep bahwa seseorang dikatakan mati, bila otaknya telah mati. Di

Amerika Serikat penegakan diagnosis MBO di tegakan salah satunya oleh

neurologi dan dalam setahun dilakukan sekitar 25-30 kali. 2,4 Pada kasus dewasa

MBO sering terjadi akibat trauma kepala dan perarahan subaraknoid. Pada anak

terbanyak pada usia remaja, jarang pada bayi atau anak dibawah 1 tahun. Pada

bayi dan anak disebabkan oleh cidera kepala (30%) sebagai akibat kekerasan

anak dan kecelakaaan lalu lintas, asfiksia (14%), near drowning (9%), sudden

4

Page 5: Refrat Brain Death

infant death syndrome (5%) dan meningitis dengan edema asif dan tanda herniasi

dalam 12-24 jam perawatan. 1,2,5

Dokter adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang diberi wewenang untuk

menyatakan apakah seseorang sudah mati atau belum. Penetapan diagnosis ini

penting karena berimplikasi pada penggunaan alat bantu medis serta salah satu

prasyarat donasi organ untuk transplantasi. Sehubungan dengan hal ini, dalam

praktek kedokteran,seorang dokter tidak mungkin lepas dari pertimbangan aspek

hukum, etika/moral, sosial, ekonomis, dan lain-lain. Dengan demikian setiap

dokter harus mengerti batasan mati, baik dalam keadaan emergensi maupun dalam

keadaan non-emergensi (normal).1,3,6

Tinjauan pustaka mengenai Diagnosis mati batang otak ini berisi tentang

definisi kematian otak, inteprestasi pemeriksaan klinis dan diagnosis kematian

kematian batang otak. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat memberikan

informasi mengenai perlunya penentuan kematian otak, dan meningkatkan

pengetahuan kita tentang evaluasi klinis kematian batang otak

BAB II

DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK

2.1 DEFINISI

Mati klinis adalah keadaan henti-napas, henti-sirkulasi disertai dengan

berhentinya aktivitas otak yang masih bersifat sementara/bisa dikoreksi

(reversible). Resusitasi disertai terapi yang optimal pada keadaan emergensi ini

dapat memulihkan fungsi semua sistem organ, termasuk otak. Bila terjadi henti

5

Page 6: Refrat Brain Death

napas dan henti jantung yang lama, otak adalah organ yang paling cepat dan

sering mengalami gangguan fungsi yang irreversible (nekrotik neuron terjadi

dalam satu jam tanpa sirkulasi) kemudian diikuti gangguan pada jantung, ginjal,

paru dan hati (nekrotik dalam beberapa jam sampai hari).3

Kematian Otak/Kematian Batang Otak adalah disfungsi serebral dan

batang otak yang menetap.4,6,7 Definisi menurut Persatuan Dokter Spesialis Saraf

Indonesia (PERDOSSI) , MBO adalah suatu keadaan yang ditandai oleh

menghilangnya fungsi batang otak berupa :8

1. Tidak terdapat sikap tubuh yang abnormal (dekortikasi atau deserebrasi)

2. Tidak terdapat sentakan epileptik

3. Tidak terdapat refleks-refleks batang otak.

4. Tidak terdapat napas spontan

Menurut pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1988 yang

diperbaharui dengan Fatwa IDI tahun 1990 seseorang dinyatakan mati bila

terdapat : 3,9

a) Fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau

b) Telah terbukti terjadi mati batang otak.

Pada resusitasi darurat. Ketika diagnosis MBO tidak mungkin dilakukan,

seseorang dinyatakan mati bila terdapat tanda-tanda mati jantung atau terdapat

tanda-tanda klinis MBO , yaitu, bila setelah dimulai resusitasi pasien tetap tidak

sadar dan timbul napas spontan,atau hilangnya refleks muntah, serta pupil tetap

dilatasi selama 15-30 menit atau lebih. Ini tidak berlaku pada keadaan khusus

seperti hipotermik ataupun dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.3

6

Page 7: Refrat Brain Death

2.2 EVALUASI KRITERIA KEMATIAN BATANG OTAK

Setelah melalui berbagai evaluasi kriteria kematian otak, pada tahun 1976

The Conference Of Medical Royal Colleges United Kingdom menerbitkan

pernyataan bahwa diagnosis MBO sebagai kehilangan fungsi batang otak secara

menyeluruh dan irreversible. Konsep ini memungkinkan pembuatan panduan,

yang didalamnya termasuk tes apneu, dan batang otak dianggap sebagai pusat dari

fungsi otak.1 American Academy of Neurology (AAN) membuat panduan

diagnosis untuk mati otak (tabel 1), akan tetapi masih tidak didapatkan

keseragaman diagnosis antar negara. Belum lagi pada beberapa negara seperti

Cina, Pakistan dan Vietnam tidak mempunyai panduan diagnosis. Dengan

demikian MBO merupakan prediksi akan terjadinya kematian otak dan kematian

seseorang. 10

Gambar 1. Algoritma Penentuan mati batang otak (American Academy of Neurology 11/28/2005)

Definisi : hilangnya fungsi otak yang irreversible termasuk batang otak1. Secara klinis dan atau pencitraan radiologis terdapat bukti2. Cidera SSP akut yng sesuai dengan diagnosis mati otak3. Ekslusi keadaan medis yang menyulitkan4. Tanpa obat, alcohol atau keracunan

5. Suhu inti >32°C

1. Koma atau tidak berrespon dengan tes respon motorik2. Tidak adanya reflex batang otak, pupil di posisi tengah atau dilatasi (4-9mm),

Tidak ada respon terhadap cahaya terang3. Abnormal reflek okulovestibular4. Tidak ada reflex batuk, muntah dan kornea

7

Page 8: Refrat Brain Death

Pasien memenuhi ke-4 kriteria Pasien tidak memenuhi ke-4 kriteria. Tetapi dicurigai kematian batang otak

Tes Apneu Tes Atropin

Kematian otak ditentukan secara klinis Dibutuhkan tes konfirmasi(dengan kebijaksanaan dari dokter penanggung jawab, Dilakukan studi kedokteran nuklir seorangdokter kedua yang mengkonfirmasi temuan Teknitium aliran darah serebralklinis, dan/atau pemeriksaan kedua dalam 6 jam Tidak ada aliran darak

ke otak

Catat hasil dari kematian otak pada lembaran formulirsertifikasi kematian, Pasien dianggap mati saat ini, Beritahu keluarga pasien, Pemeriksaan tambahan dapatDirekomendasikan. Jika pasien bukan pendonor darah organ,Ekstubasi pasien dan biarkan henti jantung.

Sumber kepustakaan (3)

2.3 DIAGNOSIS KEMATIAN BATANG OTAK

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggap MBO sebagai kematian otak.

Batang otak adalah organ yang berfungsi dalam mengatur respirasi dan stabilitas

kardiovaskular. Untuk mendapatkan kesadaran harus ada kesinambungan fungsi

neuronal antara sistem saraf perifer dengan korteks. Bila batang otak yang

menghubungkan keduanya ini mati, kesinambugan sistem yang diaktifkan oleh

sistem retikuler akan terganggu dan kesadaran tidak dapat timbul. 3

8

Page 9: Refrat Brain Death

Diagnosis kematian otak mempunyai dua komponen utama, yaitu,

pemenuhan prasyarat dan tes klinis fungsi batang otak. Prasyarat yang harus

dipenuhi meliputi : 1,3,4,6,11,12

a) Secara klinis atau dibuktikan dengan pemeriksaan neuroimaging, adanya

proses akut kerusakan SSP yang sesuai dengan diagnosis klinis kematian

otak

b) Menyingkirkan semua kondisi medis yang dapat mempengaruhi penilaian

klinis kematian otak, seperti gangguan elektrolit yang berat, gangguan

asam-basa, atau gangguan endokrin.

c) Tidak terdapat riwayat intoksikasi obat-obatan seperti barbiturat dan

benzodiapin.

d) Suhu tubuh ≥ 32°C

Sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa ragu bahwa pasien

dalam keadaan koma, yang tergantung pada ventilator, dan mempunyai kondisi

yang konsisten dengan koma irreversible, serta hilangnya fungsi batang otak

(tidak bernapas spontan).

Tiga hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :3

1. Dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah demi

langkah penegakkan diagnosis kematian otak.

2. Terdapat bukti bahwa pada beberapa kasus, cidera otak berat

menyebabkan perubahan pada kehidupan sebelum terjadi cidera, namun

kematian bukan disebabkan oleh kematian batang otak. Beratnya cidera

9

Page 10: Refrat Brain Death

dapat menjadi pertimbangan untuk memutuskan apakah akan dilakukan

penghentian atau membatasi terapi aktif.

3. Diperlukan diagnosis yang diambil tanpa keraguan, bahwa pasien cidera

kepala telah berada dalam kondisi irreversible, yang cukup berat, sehingga

dapat menyebabkan koma apneustik. Diagnosis yang memungkinkan

adalah cidera kepala berat, perdarahan subaraknoid, perdarahan

intraserebral, tenggelam dan henti-jantung. Penegakkan diagnosis

memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis, serta

investigasi pencitraan otak (CT scan).

Penyebab koma yang bersifat reversible yang dapat menyulitkan ditegakkannya

diagnosis primer harus disingkirkan, seperti penggunaan obat-obatan sedatif,

analgetik, atau pelumpuh obat, gangguan metabolik, atau gangguan endokrin

dapat menggangu fungsi batang otak namun bersifat reversible, dan kematian otak

tidak dapat dipertimbangkan pada kondisi-kondisi tersebut. Elektrolit, gula darah,

dan analisis gas darah arteri hendaknya diperiksa, dan ganggguan yang cukup

menyebabkan koma hendaknya diletakkan sebagai prioritas. Selain itu upaya

sungguh-sungguh untuk mengatasi efek edema, hipoksia dan syok harus sudah

dikerjakan. Agar bisa memenuhi prasyarat diatas, dibutuhkan waktu dan tidaklah

biasa untuk menegakkan diagnosis kematian otak sebelum 24 jam perawatan di

rumah sakit. 1,3,4,6,11,12

2.4 PEMERIKSAAN KLINIS KEMATIAN OTAK/BATANG OTAK

10

Page 11: Refrat Brain Death

Pemeriksaan klinis neurologi masih merupakan standar untuk menetukan

kematian otak dan telah diadopsi oleh berbagai negara. Pemeriksaan klinis ini

harus dilakukan pada pasien dengan dugaan kematian otak dengan teliti. Deklarasi

kematian otak tidak hanya memerlukan serangkaian pemeriksaan neurologis

secara teliti, tetapi juga menentukan penyebab koma yang pasti, menentukan

irreversibilty, resolusi dari setiap tanda neurologis yang menyesatkan konklusi,

mengenali faktor pengganggu yang mungkin terjadi, interpretasi dari penemuan

pencitraan/neuroimaging dan pelaksanaan tes konfirmasi yang diperlukan.1,3,6

Pemeriksaan neurologi untuk menetukan kematian otak dapat dilakukan

hanya bila prasyaratnya dipenuhi yaitu : Setelah mengeluarkan kondisi komplikasi

medis yang dapat mengacaukan pemeriksaan klinis terutama gangguan berat

elektrolit, asam-basa, atau gangguan endokrin; tidak adanya hipotermia berat

(32°C) atau lebih rendah; hipotensi dan tidak adanya intoksikasi obat, racun dan

obat-obatan penghambat neuromuskular. 1,3

Interpretasi dari CT scan adalah penting untuk menetukan penyebab

kematian otak. Biasanya ditemukan massa dengan herniasi otak, lesi multipel di

hemisfer dengan edema atau edema luas saja. Namun temuan demikian tidak

berarti menyingkirkan upaya pencarian faktor penyulit lainnya. Sebaliknya CT

scan bisa normal pada awal henti-kardiorespirasi, juga pada pasien dengan

meningitis dan ensefalitis. Pemeriksaan cairan otak harus dilakukan pada dugaan

infeksi susunan saraf pusat. 1,3

Pemeriksaan klinis neurologis meliputi adanya koma, tidak adanya refleks

batang otak dan apneu (Lihat tabel 1) . Pemeriksaan refleks batang otak meliputi

11

Page 12: Refrat Brain Death

pemeriksaan jaras refleks di mesensefalon, pons dan medula oblangata (Lihat

gambar 2 ). Begitu terjadi MBO , pasien kehilangan refleks dalam arah rostral ke

kaudal, dan medulla oblangata adalah bagian otak yang terakhir behenti kerja.

Dibutuhkan beberapa jam untuk terjadi kerusakan komplit batang otak, dalam

masa itu masih mungkin terdapat fungsi medula. Dalam keadaan khusus, terdapat

fungsi medula persisten, dimana tekanan darah normal, refleks batuk terjadi saat

penghisapan trakea, dan takikardia setelah pemberian 1 miligram atropin.

2.5 TEHNIK PEMERIKSAAN KEMATIAN OTAK/BATANG OTAK

2.5.1 Evaluasi Koma

Dalamnya koma dapat di nilai dari ada tidaknya respon motorik terhadap

rangsangan nyeri standar, seperti penekanan pada nervus supraorbitalis,

senditemporomandibular, atau kuku dari salah satu jari. Pasien dalam status koma

tidak akan memberikan respons motorik terhadap rangsangan nyeri ini.

Tabel 1. Kriteria Kinis kematian otak untuk dewasa dan anak-anak

12

Page 13: Refrat Brain Death

*PaCO2 : tekanan parsial karbondioksida arteri†Lihat tabel 2 untuk tes konfirmasi.Sumber kepustakaan : 1

2.5.2 Evaluasi Refleks Batang Otak

Setelah evaluasi koma, dilanjutkan dengan penentuan ada tidaknya refleks batang

otak. Jika tidak ada refleks batang otak, pemeriksaan akan menunjukkan adanya

pupilyang bulat atau oval pada posisi tengah dengan dilatasi pupil (4-6 mm) tanpa

refleks cahaya. Tidak adanya refleks okulosefalik harus dibuktikan dengan

pemutaran kepala secara cepat (Doll’s eyes Phenomena). Tes ini tidak boleh

dilakukan pada pasien dengan dugaan trauma spinal servikal. Tes ini kemudian

dilanjutkan dengan stimulasi tes kalori dingin. Membran timpani diirigasi dengan

air es pada posisi kepala elevasi 30°. Seharusny tidak ditemukan deviasi tonik

13

Page 14: Refrat Brain Death

kearah stimulus dimgin. Adanya bekuan darah atau serumen dapat mengganggu

tes ini.

Respon batuk dapat diperiksa dengan melakukan penghisapan bronkial.

Rincian prosedur mengenai evaluasi batang otak dapat dibaca dalam lampiran.

Gambar 1. Tahap-tahapan pemeriksaan klinis untuk menilai kematian batang otak

Sumber kepustakaan : 1

14

Page 15: Refrat Brain Death

2.5.3 Tes Apneu

Setelah dibuktikan tidak adanya refleks batang otak, tes apneu harus

dilakukan. Apneic diffusion oxygenation adalah prosedur yang paling sering

digunakan untuk mempertahankan oksigenasi saat tes apneu. Ambang maksimal

stimulus pusat respirasi di medula oblangata (yang mungkin tidak bekerja karena

mengalami keusakan) di Amerika Serikat adalah PaCO2 (tekanan parsial

karbondioksida arteri) 60 mmHg atau 20 mmHg lebih tinggi dari nilai normal.

Preoksigenasi mengeliminasi sisa nitrogen respirasi dan mempercepat

pemindahan oksigen melalui kateter oksigen di trakea. Ventilator mekanik harus

dilepaskan agar dapat menilai pernapasan dengan benar, karena sensor ventilator

dapat memberikan bacaan salah. Peninggian tekanan parsial karbondioksida

adalah bifasik, dan terjadi pada kecepatan 3 mmHg/menit. Metode ini sederhana

dan bebas dari komplikasi bila dikerjakan dengan hati-hati. Komplikasi hipotensi

atau aritmia kordis dapat terjadi karena kegagalan dalam penyediaan sumber

oksigen yang adekuat atau kurangnya pre-oksigenasi. Sangat sedikit data yang

menunjukkan bahwa pasien dapat melanjutkan pernapasannya dengan hilangnya

refleks batang otak, tetapi jika pernapasan terjadi, itu terjadi pada awal dari tes

dan tipikal pada tekanan parsial karbondioksida arteri sekitar 40 mmHg. Tidak

banyak audit mengenai kompetensi dokter dalam menentukan kematian otak yang

dipublikasikan, tetapi tes apneu sering dilakukan tanpa tindakan pencegahan yang

cukup. 1,3 Rincian prosedur mengenai apneu tes dibaca dalam lampiran.

15

Page 16: Refrat Brain Death

Setelah kriteria MBO secara klinis dipenuhi, dokter harus melepaskan

ventilator mekanik. Proses donor organ dapat dilakukan bila telah mendapat

persetujuan dari pasien atau keluarga sebelumnya. Bila karena sesuatu hal seperti

permasalahan etika atau legalisasi hukum tentang penghentian bantuan

pernapasan. Dengan tetap memberikan bantuan napas biasanya akan terjadi

aritmia, lesi struktural miokard, penurunan perfusi koroner, peningkatan

kebutuhan inotropik jantung untuk mempertahankan tekanan darah yang semakin

tidak terpenuhi dan akhirnya terjadi henti jantung dalam beberapa hari sampai

minggu.

2.5.4 Evaluasi Klinis Kematian Otak Pada Anak

Pemeriksaan klinis kematian otak pada anak-anak mengikuti pola yang

sama dengan orang dewasa. Beberapa keadaan yang perlu mendapat perhatian

khusus antara lain banyak anak mengalami hipotermia ketika koma setelah cidera

kepala. Beberapa respon saraf kranial belum berkembang sempurna pada neonatus

baik pada prematurus maupun pada maturus, disamping itu sulit untuk dilakukan

pemeriksaan neurologi pada bayi di inkubator. Oleh karena keterbatasan

pemeriksaan neurologi pada neonatus, periode observasi 48 jam sangatlah

direkomendasikan, begitu juga dengan tes konfirmasi seperti EEG

(electroenchalography) atau pemeriksaan aliran darah otak seperti angiografi

serebral, transkranial ultrasonografi, serebral skintigrafi (technectium Tc99m

hexametazime).

16

Page 17: Refrat Brain Death

2.5.5 Tes Konfirmasi

Tes konfirmasi merupakan tambahan, tidak wajib dikerjakan pada orang

dewasa tetapi direkomendasi pada anak kurang dari 1 tahun (lihat tabel 2).

Beberapa negara di Eropa, Amerika Tengah dan Selatan, negara Asian

mewajibkan adanya tes konfirmasi. 3

EEG masih digunakan beberapa negara dan merupakan tes yang telah

divalidasi dengan baik. EEG harus menunjukkan kurangnya reaktivitas walaupun

dengan rangsangan kuat somatosensoris maupun stimulus audiovisual. 1,3,7,12

Pada angiografi erebral tidak dideteksi adanya pengisian intraserebral pada

tingkat injeksi arteri karotis maupun vertebrobasiler sampai tengkorak karena

tekanan sistolik yang tidak cukup tinggi untu memaksa darah melewati jaringan

vaskuler intrakranial. Hentinya aliran dapat terjadi di foramen magnum pada

sirkulasi posterior, dan pada porsi petrosum sistem karotis dan pengisian sinus

longitudinalis superior mungkin terlambat. 1,3,7,12

Pemeriksaan transkranial dopler memiliki sensitivitas 91-99% dan

speitifitas 100%. Harus ditemukan kurangnya diastolik atau gema aliran akibat

tekanan kontraktif arteri, indeks pulsatif yang kecil pada saat sistolik. Hilangnya

total aliran mungkin tidak dapat dipercaya karena dapat disebabkan oleh

insonasi yang tidak adekuat jendela trantemporal.

Pencitraan nuklear dengan teknitium dapat memperlihatkan tidak adanya

pengambilan tracer oleh otak. Pemeriksaan ini berkorelasi baik dengan angiografi

konvensional. 1,3,7,12

17

Page 18: Refrat Brain Death

Di Indonesia, diagnosis MBO dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik yang mencakup penilaian tingkat kesadaran, refleks batang otak yang diulang

dalam 6 sampai 12 jam diakhiri dengan tes apneu tanpa tes konfirmasi. 3

Tabel 2. Tes Konfirmasi menilai kematian batang otak

Sumber kepustakaan 1

18

Page 19: Refrat Brain Death

2.5.6. Faktor faktor yang menyulitkan Diagnosis Klinis MBO

Keadaan-keadaan dibawah ini mempengaruhi diagnosis klinis MBO

sehingga diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti berdasarkan pemeriksaan

klinis sendiri dan membutuhkan pemeriksaan konfirmasi lebih lanjut yaitu:

1. Trauma berat pada wajah dan servikal

2. Gangguan pupil sebelumnya

3. Kadar toksik dalam darah obat-obatan sedasi, aminoglikosid, antidepresan

trisiklik, mantikolinergik. Antiepilepsi, kemoterapi. Obat penghambat

neuromuskular.

4. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang menyebbkan , retensi kronk

CO2.

2.6 KEADAAN NEUROLOGIS YANG MENYERUPAI MBO

Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan salah diagnosis kematian otak

termasuk : 1.3

1. Locked-in syndrome

2. Vegetatif state

3. Hipotermia

4. Intoksikasi obat

Lock-in syndrome sering terjadi akibat kerusakan bagian basal pons. Pasien

tidak dapat menggerakan anggota geraknya, tidak dapat menyeringai atau

menelan, tetapi dapat berkedip dan melakukan gerakan mata vertikal karena

struktur rostral atas mesensefalaon masih utuh. Kesadaran terpelihara karena

19

Page 20: Refrat Brain Death

tegmentum, dan formasio retikularis tidak terpengaruh. Keadaan ini paling sering

disebabkan oleh emboli akut di arteri basilaris. Sindroma Guillain-Barre yang

melibatkan saraf perifer dan saraf kranial dapat berkembang dalam periode

beberapa hari dan dapat juga didiagnosis salah sebagai kematian otak. 1.3

Status vegetatif yang menetap atau disebut juga sindroma apalika merupakan

kerusakan otak berat irreversible pada pasien yang tidak responsif namun

memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh. Pada pasien ini masih

terdapat siklus bangun dan tidur dengan usaha napas spontan. Ini harus dibedakan

dengan kematian otak yang memiliki gambaran EEG tidak reaktif, tidak adanya

refleks batang otak dan usaha napas spontan. 1.3

Hipotermia akibat paparan lingkungan yang lama dapat menyebabkan kondisi

hilangnya fungsi otak, tetapi intoksikasi alkohol dan cidera kepala masih sering

merupakan penyulit utama. Hipotermia menyebabkan hilangnya refleks batang

otak yang berbentuk spiral kebawah dan dilatasi pupil. Respon cahaya hilang

pada suhu badan 28° sampai 32° C dan refleks batang otak hilang suhu jauh

dibawah 28°C. Defisit ini potensial reversible, bahkan setelah hipotermia ekstrim.

Efek dari sedatif dan obat anestesi dapat menyerupai kematian otak, tetapi

refleks batang otak terutma respons pupil terhadap cahaya masih utuh. 1.3

2.7 SIAPA YANG BERHAK MEMBUAT DIAGNOSIS MBO

Adalah dokter yang berhak membuat diagnosis MBO sesuai dengan

standar medik yang dapat diterima. Dokter yang membuat diagnosis MBO harus

memberikan informasi kepada keluarga atau orang dekat pasien tentang

20

Page 21: Refrat Brain Death

berlangsungnya penentuan MBO dengan mengakomodasi aspek moral dan agama

pasien dan keluarga pasien yang bersangkutan. Setiap rumah sakit harus

menetapkan standar kompetensi tertentu baik dalam latihan maupun pemeriksaan

penentuan MBO. Dokter yang dimaksud tidak harus selalu seorang ahli

ilmuPenyakit Saraf atau seorang ahli Bedah Saraf. Dokter penanggungjawab

pasien (attending physician) atau dokter lain yang mewakili sebaiknya ikut dalam

penentuan kematian otak bila memungkinkan. Di Indonesia, IDI

merekomendasikan paling sedikit dua orang dokter yang berkompetensi dalam hal

ini yaitu seorang anaesthesiologist, intensivist dan neurologist dan kedua dokter

ini tidak boleh terlibat dalam tim transplantasi organ.

21

Page 22: Refrat Brain Death

BAB III

KESIMPULAN

Kematian otak/ MBO adalah hilangnya fungsi otak secara menyeluruh

yang irreversible termasuk fungsi batang otak. Diagnosis kematian otak/MBO

bukanlah hal yang mudah, karena akan berimplikasi pada bermacam aspek.

Secara umum diagnosisnya merupakan diagnosis klinis, kendati demikian

pemeriksaan konfirmasi terkadang diperlukan pada keadaan tertentu. Penentuan

diagnosis sebaiknya melibatkan anaesthesiologis, intensivitis dan neurologis.

Meskipun sudah ada panduan diagnosis mati otak/batang otak pada dewasa dan

anak, beberapa negara mempunyai ketentuan sendiri dalam menentukan diagnosis

MBO.

22

Page 23: Refrat Brain Death

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijdicks EFM. The Diagnosis of Brain Death. N Engl J Med, Vol. 344, No.

16.1215-1221

2. Advanced Neurology Life Support program for Doctors. Mati Batang Otak.

Ed 1.Perdossi jakarta 2009.75-80

3. Ong P.A ; Diagnosis Kematian Otak; dalam Kegawatdaruratan Neurologi, ed

1.Bagian ilmu penyakit saraf UNPAD 2009.219-235.

4. American Academy of Neurology. Practice parameters : determining brain

death in adults (Summary Statement). Report of the Quality Standards

Subcommittee of the American Academy of Neurology. 1995;45: 1012-1014

5. Ashwal S, Serna-Fonseca T. Brain Death inInfants and Children. Critical care

nurse.2006;26 (2):117-128

6. Goila A.K, Pawar M; The Diagnosis of brain death. Indian J Crit Care Med,

vol 13 2009.7-11

7. Guidelines for determining brain death. New York state departement of health

2005

8. Misbach J, Hamid A.B, Mayza A, Saleh K, Penentuan Mati Batang Otak.

Dalam Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Prosedur

Operasional (SPO) Neurologi. PERDOSSI. 2006;328-329

9. Hanafiah M.J, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan ed 4. EGC

Jakarta

10. Wijdicks EFM. Brain death worldwide: Accepted fact but no global

consensus in diagnostic criteria. Neurology 2002; 58;2-25.

11. Sullivan J, Seem D.L,Chabalewski F ;Determining Brain Death. Clinical

CareNurseJournal.1999.Vol19number2.

12. Report of spesial task force. Gudelines for the determination of barain death in

children. Pediatrics 1987; 80;298-300.

23

Page 24: Refrat Brain Death

LAMPIRAN

Refleks okulovestibular1. Letakkan pasien dengan posisi kepala lebih tinggi 30°. Ini dapat dilakukan

dengan meninggikan kepala dari tempat tidur atau meninggikan tempat

tidur setinggi 30° (posisi kebalikan – trendelenberg)

2. Campur 200 cc air dengan es. Letakkan di basin bentuk ginjal dibawah

telinga. Diperlukan seorang asisten untuk membuka kedua kelopak mata.

3. Periksa kedua kanalis auditorius eksterna dan dibersihkan serumen bila

ada.

4. Dengan menggunakan siring Toomey, secara perlahan injeksikan 50 cc air

es kedalam kanalis auditorius eksterna pada salah satu telinga. Observasi

selama 5 menit untuk gerakan konjugasi mata tonik kearah stimulus.

Ulangi 50 cc air es pada telinga yang sama.

5. Setelah selang 5 menit, ulangi prosedur yang sama pada telinga yang lain

6. Jika pada kedua telinga tidak ditemukan deviasi mata kearah stimulus, tes

ini dipertimbangkan abnormal dan konsisten dengan kematian batang otak.

Refleks muntah dan batuk

1. Masukkan kateter penghisap kedalam ETT, hisap dan gerakan kateter ke

kiri dan kanan saat ditarik keluar sambil perhatikan adanya tidaknya batuk,

gerakan kepala atau perubahan ekspresi wajah.

2. Masukkan penghisap yankauer ke orofaring dan tarik maju dan mundur

sambil perhatikan ada tidaknya refleks muntah, gerakan kepala atau

perubahan ekspresi wajah.

24

Page 25: Refrat Brain Death

3. Tidak adanya respons pada kedua tes konsisiten dengan kematian batang

otak.

Refleks Kornea

1. Dengan jari dalam sarung tangan sentuh kornea diatas iris mata.

Perhatikan adanya refleks atau gerakan kelopak mata atau gerakan mata.

2. Ulangi pada mata sebelahnya.

3. Tidak ditemukannya gerakan/refleks berarti konsisten dengan kematian

batang otak.

Tes Apneu

1. Preoksigenasi pasien selama 10 menit dengan FIO2 = 1.0.

2. Atur ventilator sehingga PaCO2 diantara 35-45. Konfirmasi dengan

EtCO2 atau ABG#1 (analisa gas darah)

3. Lepaskan ventilator. Pakaikan T-piece aerosol O2 10 L/menit pada ujung

ETT.

4. Diperbolehkan maksimal 10 menit. Perhatikan adanya pergerakan dinding

dada. Dapatkan ABG#2. Jika terdapat napas spontan, hentikan tes. Jika

SaO2 jauh dibawah 92% stop tes dan sambung kembali ventilator.

5. Jika PaCO2 pada ABG#2 adalah 60 mmHg atau lebih, sambung kembali

ventilator.

6. Tes diperhitungkan sebagai positif untuk “absent hypercarbic respiratory

drive”.

25

Page 26: Refrat Brain Death

Tes Atropin

1. Detak jantung pasien di hitung

2. Atropin sebanyaaka 2 miligram disuntikkan secara intravena.

3. Jika terjadi penurunan sebanyak 10% atau tidak ada peningkatan detak

jantung, ini menyokong kematian otak. Tes konfirmasi lain tetap

diperlukan.

26

Page 27: Refrat Brain Death

27