Refrat Brain Death
-
Author
saputra-tri-nopianto -
Category
Documents
-
view
77 -
download
1
Embed Size (px)
description
Transcript of Refrat Brain Death

Dr. George Rodonaia tiba di suatu tempat yang gelap. Sesaat kemudian ia melihat cahaya. Benda-benda seperti molekul-molekul atom, proton, dan netron be-terbangan tak teratur. Tampak gambaran seperti suatu layar film tentang perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir.
Peristiwa itu terjadi saat Dr. George mengalami suatu NDE (Near Death Experiences). Suatu fenomena yang dapat terjadi saat manusia mengalami koma.
Kebetulan yang dialami dokter yang sempat “mati” karena kecelakaan tersebut merupakan bentuk life review process. Ada lagi orang lain yang mengalami kejadian out of body experience. Suatu perasaan bahwa nyawa atau ruh –atau apapun yang mungkin dapat diasumsikan sebagai hal-hal tersebut—pergi keluar dari jasad fisiknya. Kisah lain menceritakan malaikat maut yang menjemput, atau bahkan setan yang menyeramkan. Tiap orang dapat mengalami NDE yang berbeda. Ada yang memiliki sensasi menyenangkan atau sebaliknya. Reaksi sesudahnya (after-effect) dapat muncul bermacam-macam. Mereka yang merasakan NDE menyenangkan mungkin akan menjadi orang yang lebih baik dan ramah. Di sisi lain, mereka dengan unpleasant NDE cenderung mengalami ketakutan dan mudah marah. Perkara NDE belum dapat dibuktikan ke-benarannya secara ilmiah. Hingga kini dunia kedok-teran belum dapat menjelaskan yang sesung-guhnya terjadi di balik misteri “mati suri” ini. “Bila diartikan mati suri itu henti napas dalam jangka waktu lama, maka tidak ada teori yang bisa menerangkan hal ini, karena kita tahu otak membutuhkan suplai makanan dan oksigen yang cukup,” demikian pendapat Dr. Salim Harris, SpS, staf pengajar bagian Neurologi FKUI-RSCM, mengenai hal tersebut. Perihal mati memang masih menjadi misteri yang belum atau tidak akan- dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia. Teori yang ada baru bisa menggambarkan kematian dari sudut pandang medis. Namun bila menghubungkan proses kematian itu dengan keberadaan ruh manusia, hasilnya adalah suatu dimensi yang masih sumir.
Medis Mendefinisikan Mati Mendefinisikan mati ternyata tak kalah sulit dibanding menggali kematian itu sendiri. Arti mati bukan hanya tidak terasanya hembusan napas atau berhentinya detak jantung. Dr. Kartini Suryadi, SpAn(K), dari Bagian Anestesi FKUI-RSCM menjelaskan hal itu sebagai mati klinis. Istilah yang digunakan sebelum Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini masih memungkinkan seseorang “hidup”kembali setelah suatu resusitasi. Masih ada Istilah-istilah lain seperti mati biologis, mati sosial, dan mati jantung.
Pada mati biologis, sel-sel tubuh mengalami kerusakan ireversibel yang tidak selalu sama di setiap organ. Dapat dikatakan inilah kondisi mati sesungguhnya, karena tidak mungkin seseorang dalam keadaan ini dapat hidup kembali.

Di lain sisi, seseorang yang mengalami mati sosial belum dinyatakan mati. Namun otak mengalami kerusakan cukup besar dan pasien tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan. Terjadi suatu siklus kesadaran yang menurun: tidak sadar (koma), sadar, koma, terus berulang. Tingkat intelektualitas pun mundur layaknya seorang bayi.
Sedangkan keadaan mati jantung ditegakkan apabila jantung tetap tidak berdetak meski telah dilakukan RJP selama 30 menit selaku terapi optimal. Tidak terlihatnya kompleks QRS (asistol ventrikel yang “membandel” atau mitral table) pada pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menjadi indikator.
Mati Otak Otak adalah pengendali utama seluruh fungsi tubuh. Andaikata jantung dan paru masih bekerja tetapi otak dinyatakan kehilangan fungsinya, maka seseorang dinyatakan mati. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap memasukkan kondisi henti jantung dan henti napas yang ireversibel dalam pengertian mati. Para ahli anestesi menyimpulkan indikator kematian seseorang terbagi menjadi dua. Pertama, tanda klinis mati otak, yaitu apabila telah dilakukan RJP dengan tahap-tahap Airway-Breathing-Circulation selama 15-30 menit pada seorang pasien de-wasa, namun ke-sadaran tetap tidak dapat pulih, tidak mampu bernapas spontan, serta tak adanya refleks gag (gerakan mulut/rahang) disertai dilatasi pupil. Yang kedua adalah mati jantung.
Mati otak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
mati korteks (cerebral/cortical death), mati batang otak (MBO), dan mati seluruh otak (brain death).
Mati batang otak merupakan kondisi utama yang menunjukkan seseorang benar-benar telah mati. Di Indonesia, MBO dijadikan patokan utama guna menyatakan suatu kematian, sedangkan di Jepang pernyataan kematian dikeluarkan hanya dalam kondisi brain death.
Selain itu, MBO tidak dapat diputuskan tanpa mempertimbangkan keadaan pra kondisi, yaitu koma, apnea, dan kemungkinan adanya kerusakan struktur otak ireversibel.
Di Intensive Care Unit (ICU) RSCM, uji MBO harus dilakukan oleh kedua
2

dokter spesialis anestesi dan spesialis saraf (neurolog).
Antara lain melalui uji refleks batang otak seperti refleks pupil, kornea, okulovestibuler, dan refleks motorik. Dr. Salim menambahkan standar utama pada kematian batang otak dilihat dari keadaan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Sistem ini merupakan neuron aferen nonspesifik yang mengurus kesadaran dan sangat responsif terhadap segala rangsangan dari luar. Sistem ini penting untuk mempertahankan kehidupan. Pada MBO, tidak ada gambaran pulsasi yang terlihat pada hasil pemeriksaan menggunakan electroencephalo-graphy (EEG).
Sakaratul Maut Terkadang beberapa keadaan dapat dijumpai menjelang kematian, di antaranya adalah suatu fase yang disebut sebagai koma. Pada fase ini, tak ada reaksi terhadap rangsang apapun namun reseptor tubuh masih berfungsi baik. Sehingga ia dapat mendengar, merasakan rabaan dan sebagainya. Keadaan yang sering disebut “ambang kematian” (dying) ini tidak selalu kemudian menjadi mati. Pada beberapa kasus, mereka sadar kembali dan dapat hidup normal seperti sediakala. Ilustrasi pada awal tulisan dapat menggambarkan secara nyata kasus ini. Satu hal yang pasti adalah, memasuki fase kematiannya, setiap manusia akan merasakan sakaratul maut.
sumber : http://members.lycos.co.uk/foxapin12/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=29
BAB I
PENDAHULUAN
Dahulu kematian di nilai berdasarkan keadaan dari sistem kardiopulmoner
berupa asistol dan apnea. Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon membuat istilah
sebagai coma dèpassè (koma yang irreversible ) yang menggambarkan 23 pasien
koma dengan penurunan kesadaran (koma), apneu, reflek batang otak yang
menghilang dan gambaran elektroensefalografi yang mendatar. Sejak saat itu
3

berkembang kriteria kematian hingga saat ini, kalangan kesehatan mengatakan
kematian otak atau mati batang otak (MBO). 1.2
Pemakaian ventilator mekanik untuk merncegah henti-napas telah
merubah perjalanan klinis akhir penyakit saraf. Fungsi vital dapat dipertahankan
secara artifisial setelah otak berhenti bekerja, padahal secara klinis pasien telah
masuk dalam diagnosis kematian otak. Ini tidak sesuai dengan tujuan utama ilmu
kedokteran yang bertujuan untuk memperpanjang kehidupan dan bukannya
memperpanjang proses kematian. Dokter adalah satu-satunya tenaga kesehatan
yang diberi wewenang untuk menyatakan apakah seseorang sudah mati atau
belum. Sehubungan dengan hal ini, dalam praktek kedokteran,seorang dokter
tidak mungkin lepas dari pertimbangan aspek hukum, etika/moral, sosial,
ekonomis, dan lain-lain. Dengan demikian setiap dokter harus mengerti batasan
mati, baik dalam keadaan emergensi maupun dalam keadaan non-emergensi
(normal).1,3,4
Saat ini diseluruh dunia, baik kalangan medis maupun awam telah
menerima konsep bahwa seseorang dikatakan mati, bila otaknya telah mati. Di
Amerika Serikat penegakan diagnosis MBO di tegakan salah satunya oleh
neurologi dan dalam setahun dilakukan sekitar 25-30 kali. 2,4 Pada kasus dewasa
MBO sering terjadi akibat trauma kepala dan perarahan subaraknoid. Pada anak
terbanyak pada usia remaja, jarang pada bayi atau anak dibawah 1 tahun. Pada
bayi dan anak disebabkan oleh cidera kepala (30%) sebagai akibat kekerasan
anak dan kecelakaaan lalu lintas, asfiksia (14%), near drowning (9%), sudden
4

infant death syndrome (5%) dan meningitis dengan edema asif dan tanda herniasi
dalam 12-24 jam perawatan. 1,2,5
Dokter adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang diberi wewenang untuk
menyatakan apakah seseorang sudah mati atau belum. Penetapan diagnosis ini
penting karena berimplikasi pada penggunaan alat bantu medis serta salah satu
prasyarat donasi organ untuk transplantasi. Sehubungan dengan hal ini, dalam
praktek kedokteran,seorang dokter tidak mungkin lepas dari pertimbangan aspek
hukum, etika/moral, sosial, ekonomis, dan lain-lain. Dengan demikian setiap
dokter harus mengerti batasan mati, baik dalam keadaan emergensi maupun dalam
keadaan non-emergensi (normal).1,3,6
Tinjauan pustaka mengenai Diagnosis mati batang otak ini berisi tentang
definisi kematian otak, inteprestasi pemeriksaan klinis dan diagnosis kematian
kematian batang otak. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat memberikan
informasi mengenai perlunya penentuan kematian otak, dan meningkatkan
pengetahuan kita tentang evaluasi klinis kematian batang otak
BAB II
DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
2.1 DEFINISI
Mati klinis adalah keadaan henti-napas, henti-sirkulasi disertai dengan
berhentinya aktivitas otak yang masih bersifat sementara/bisa dikoreksi
(reversible). Resusitasi disertai terapi yang optimal pada keadaan emergensi ini
dapat memulihkan fungsi semua sistem organ, termasuk otak. Bila terjadi henti
5

napas dan henti jantung yang lama, otak adalah organ yang paling cepat dan
sering mengalami gangguan fungsi yang irreversible (nekrotik neuron terjadi
dalam satu jam tanpa sirkulasi) kemudian diikuti gangguan pada jantung, ginjal,
paru dan hati (nekrotik dalam beberapa jam sampai hari).3
Kematian Otak/Kematian Batang Otak adalah disfungsi serebral dan
batang otak yang menetap.4,6,7 Definisi menurut Persatuan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) , MBO adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
menghilangnya fungsi batang otak berupa :8
1. Tidak terdapat sikap tubuh yang abnormal (dekortikasi atau deserebrasi)
2. Tidak terdapat sentakan epileptik
3. Tidak terdapat refleks-refleks batang otak.
4. Tidak terdapat napas spontan
Menurut pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1988 yang
diperbaharui dengan Fatwa IDI tahun 1990 seseorang dinyatakan mati bila
terdapat : 3,9
a) Fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
b) Telah terbukti terjadi mati batang otak.
Pada resusitasi darurat. Ketika diagnosis MBO tidak mungkin dilakukan,
seseorang dinyatakan mati bila terdapat tanda-tanda mati jantung atau terdapat
tanda-tanda klinis MBO , yaitu, bila setelah dimulai resusitasi pasien tetap tidak
sadar dan timbul napas spontan,atau hilangnya refleks muntah, serta pupil tetap
dilatasi selama 15-30 menit atau lebih. Ini tidak berlaku pada keadaan khusus
seperti hipotermik ataupun dibawah pengaruh barbiturat atau anestesi umum.3
6

2.2 EVALUASI KRITERIA KEMATIAN BATANG OTAK
Setelah melalui berbagai evaluasi kriteria kematian otak, pada tahun 1976
The Conference Of Medical Royal Colleges United Kingdom menerbitkan
pernyataan bahwa diagnosis MBO sebagai kehilangan fungsi batang otak secara
menyeluruh dan irreversible. Konsep ini memungkinkan pembuatan panduan,
yang didalamnya termasuk tes apneu, dan batang otak dianggap sebagai pusat dari
fungsi otak.1 American Academy of Neurology (AAN) membuat panduan
diagnosis untuk mati otak (tabel 1), akan tetapi masih tidak didapatkan
keseragaman diagnosis antar negara. Belum lagi pada beberapa negara seperti
Cina, Pakistan dan Vietnam tidak mempunyai panduan diagnosis. Dengan
demikian MBO merupakan prediksi akan terjadinya kematian otak dan kematian
seseorang. 10
Gambar 1. Algoritma Penentuan mati batang otak (American Academy of Neurology 11/28/2005)
Definisi : hilangnya fungsi otak yang irreversible termasuk batang otak1. Secara klinis dan atau pencitraan radiologis terdapat bukti2. Cidera SSP akut yng sesuai dengan diagnosis mati otak3. Ekslusi keadaan medis yang menyulitkan4. Tanpa obat, alcohol atau keracunan
5. Suhu inti >32°C
1. Koma atau tidak berrespon dengan tes respon motorik2. Tidak adanya reflex batang otak, pupil di posisi tengah atau dilatasi (4-9mm),
Tidak ada respon terhadap cahaya terang3. Abnormal reflek okulovestibular4. Tidak ada reflex batuk, muntah dan kornea
7

Pasien memenuhi ke-4 kriteria Pasien tidak memenuhi ke-4 kriteria. Tetapi dicurigai kematian batang otak
Tes Apneu Tes Atropin
Kematian otak ditentukan secara klinis Dibutuhkan tes konfirmasi(dengan kebijaksanaan dari dokter penanggung jawab, Dilakukan studi kedokteran nuklir seorangdokter kedua yang mengkonfirmasi temuan Teknitium aliran darah serebralklinis, dan/atau pemeriksaan kedua dalam 6 jam Tidak ada aliran darak
ke otak
Catat hasil dari kematian otak pada lembaran formulirsertifikasi kematian, Pasien dianggap mati saat ini, Beritahu keluarga pasien, Pemeriksaan tambahan dapatDirekomendasikan. Jika pasien bukan pendonor darah organ,Ekstubasi pasien dan biarkan henti jantung.
Sumber kepustakaan (3)
2.3 DIAGNOSIS KEMATIAN BATANG OTAK
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggap MBO sebagai kematian otak.
Batang otak adalah organ yang berfungsi dalam mengatur respirasi dan stabilitas
kardiovaskular. Untuk mendapatkan kesadaran harus ada kesinambungan fungsi
neuronal antara sistem saraf perifer dengan korteks. Bila batang otak yang
menghubungkan keduanya ini mati, kesinambugan sistem yang diaktifkan oleh
sistem retikuler akan terganggu dan kesadaran tidak dapat timbul. 3
8

Diagnosis kematian otak mempunyai dua komponen utama, yaitu,
pemenuhan prasyarat dan tes klinis fungsi batang otak. Prasyarat yang harus
dipenuhi meliputi : 1,3,4,6,11,12
a) Secara klinis atau dibuktikan dengan pemeriksaan neuroimaging, adanya
proses akut kerusakan SSP yang sesuai dengan diagnosis klinis kematian
otak
b) Menyingkirkan semua kondisi medis yang dapat mempengaruhi penilaian
klinis kematian otak, seperti gangguan elektrolit yang berat, gangguan
asam-basa, atau gangguan endokrin.
c) Tidak terdapat riwayat intoksikasi obat-obatan seperti barbiturat dan
benzodiapin.
d) Suhu tubuh ≥ 32°C
Sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa ragu bahwa pasien
dalam keadaan koma, yang tergantung pada ventilator, dan mempunyai kondisi
yang konsisten dengan koma irreversible, serta hilangnya fungsi batang otak
(tidak bernapas spontan).
Tiga hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :3
1. Dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah demi
langkah penegakkan diagnosis kematian otak.
2. Terdapat bukti bahwa pada beberapa kasus, cidera otak berat
menyebabkan perubahan pada kehidupan sebelum terjadi cidera, namun
kematian bukan disebabkan oleh kematian batang otak. Beratnya cidera
9

dapat menjadi pertimbangan untuk memutuskan apakah akan dilakukan
penghentian atau membatasi terapi aktif.
3. Diperlukan diagnosis yang diambil tanpa keraguan, bahwa pasien cidera
kepala telah berada dalam kondisi irreversible, yang cukup berat, sehingga
dapat menyebabkan koma apneustik. Diagnosis yang memungkinkan
adalah cidera kepala berat, perdarahan subaraknoid, perdarahan
intraserebral, tenggelam dan henti-jantung. Penegakkan diagnosis
memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis, serta
investigasi pencitraan otak (CT scan).
Penyebab koma yang bersifat reversible yang dapat menyulitkan ditegakkannya
diagnosis primer harus disingkirkan, seperti penggunaan obat-obatan sedatif,
analgetik, atau pelumpuh obat, gangguan metabolik, atau gangguan endokrin
dapat menggangu fungsi batang otak namun bersifat reversible, dan kematian otak
tidak dapat dipertimbangkan pada kondisi-kondisi tersebut. Elektrolit, gula darah,
dan analisis gas darah arteri hendaknya diperiksa, dan ganggguan yang cukup
menyebabkan koma hendaknya diletakkan sebagai prioritas. Selain itu upaya
sungguh-sungguh untuk mengatasi efek edema, hipoksia dan syok harus sudah
dikerjakan. Agar bisa memenuhi prasyarat diatas, dibutuhkan waktu dan tidaklah
biasa untuk menegakkan diagnosis kematian otak sebelum 24 jam perawatan di
rumah sakit. 1,3,4,6,11,12
2.4 PEMERIKSAAN KLINIS KEMATIAN OTAK/BATANG OTAK
10

Pemeriksaan klinis neurologi masih merupakan standar untuk menetukan
kematian otak dan telah diadopsi oleh berbagai negara. Pemeriksaan klinis ini
harus dilakukan pada pasien dengan dugaan kematian otak dengan teliti. Deklarasi
kematian otak tidak hanya memerlukan serangkaian pemeriksaan neurologis
secara teliti, tetapi juga menentukan penyebab koma yang pasti, menentukan
irreversibilty, resolusi dari setiap tanda neurologis yang menyesatkan konklusi,
mengenali faktor pengganggu yang mungkin terjadi, interpretasi dari penemuan
pencitraan/neuroimaging dan pelaksanaan tes konfirmasi yang diperlukan.1,3,6
Pemeriksaan neurologi untuk menetukan kematian otak dapat dilakukan
hanya bila prasyaratnya dipenuhi yaitu : Setelah mengeluarkan kondisi komplikasi
medis yang dapat mengacaukan pemeriksaan klinis terutama gangguan berat
elektrolit, asam-basa, atau gangguan endokrin; tidak adanya hipotermia berat
(32°C) atau lebih rendah; hipotensi dan tidak adanya intoksikasi obat, racun dan
obat-obatan penghambat neuromuskular. 1,3
Interpretasi dari CT scan adalah penting untuk menetukan penyebab
kematian otak. Biasanya ditemukan massa dengan herniasi otak, lesi multipel di
hemisfer dengan edema atau edema luas saja. Namun temuan demikian tidak
berarti menyingkirkan upaya pencarian faktor penyulit lainnya. Sebaliknya CT
scan bisa normal pada awal henti-kardiorespirasi, juga pada pasien dengan
meningitis dan ensefalitis. Pemeriksaan cairan otak harus dilakukan pada dugaan
infeksi susunan saraf pusat. 1,3
Pemeriksaan klinis neurologis meliputi adanya koma, tidak adanya refleks
batang otak dan apneu (Lihat tabel 1) . Pemeriksaan refleks batang otak meliputi
11

pemeriksaan jaras refleks di mesensefalon, pons dan medula oblangata (Lihat
gambar 2 ). Begitu terjadi MBO , pasien kehilangan refleks dalam arah rostral ke
kaudal, dan medulla oblangata adalah bagian otak yang terakhir behenti kerja.
Dibutuhkan beberapa jam untuk terjadi kerusakan komplit batang otak, dalam
masa itu masih mungkin terdapat fungsi medula. Dalam keadaan khusus, terdapat
fungsi medula persisten, dimana tekanan darah normal, refleks batuk terjadi saat
penghisapan trakea, dan takikardia setelah pemberian 1 miligram atropin.
2.5 TEHNIK PEMERIKSAAN KEMATIAN OTAK/BATANG OTAK
2.5.1 Evaluasi Koma
Dalamnya koma dapat di nilai dari ada tidaknya respon motorik terhadap
rangsangan nyeri standar, seperti penekanan pada nervus supraorbitalis,
senditemporomandibular, atau kuku dari salah satu jari. Pasien dalam status koma
tidak akan memberikan respons motorik terhadap rangsangan nyeri ini.
Tabel 1. Kriteria Kinis kematian otak untuk dewasa dan anak-anak
12

*PaCO2 : tekanan parsial karbondioksida arteri†Lihat tabel 2 untuk tes konfirmasi.Sumber kepustakaan : 1
2.5.2 Evaluasi Refleks Batang Otak
Setelah evaluasi koma, dilanjutkan dengan penentuan ada tidaknya refleks batang
otak. Jika tidak ada refleks batang otak, pemeriksaan akan menunjukkan adanya
pupilyang bulat atau oval pada posisi tengah dengan dilatasi pupil (4-6 mm) tanpa
refleks cahaya. Tidak adanya refleks okulosefalik harus dibuktikan dengan
pemutaran kepala secara cepat (Doll’s eyes Phenomena). Tes ini tidak boleh
dilakukan pada pasien dengan dugaan trauma spinal servikal. Tes ini kemudian
dilanjutkan dengan stimulasi tes kalori dingin. Membran timpani diirigasi dengan
air es pada posisi kepala elevasi 30°. Seharusny tidak ditemukan deviasi tonik
13

kearah stimulus dimgin. Adanya bekuan darah atau serumen dapat mengganggu
tes ini.
Respon batuk dapat diperiksa dengan melakukan penghisapan bronkial.
Rincian prosedur mengenai evaluasi batang otak dapat dibaca dalam lampiran.
Gambar 1. Tahap-tahapan pemeriksaan klinis untuk menilai kematian batang otak
Sumber kepustakaan : 1
14

2.5.3 Tes Apneu
Setelah dibuktikan tidak adanya refleks batang otak, tes apneu harus
dilakukan. Apneic diffusion oxygenation adalah prosedur yang paling sering
digunakan untuk mempertahankan oksigenasi saat tes apneu. Ambang maksimal
stimulus pusat respirasi di medula oblangata (yang mungkin tidak bekerja karena
mengalami keusakan) di Amerika Serikat adalah PaCO2 (tekanan parsial
karbondioksida arteri) 60 mmHg atau 20 mmHg lebih tinggi dari nilai normal.
Preoksigenasi mengeliminasi sisa nitrogen respirasi dan mempercepat
pemindahan oksigen melalui kateter oksigen di trakea. Ventilator mekanik harus
dilepaskan agar dapat menilai pernapasan dengan benar, karena sensor ventilator
dapat memberikan bacaan salah. Peninggian tekanan parsial karbondioksida
adalah bifasik, dan terjadi pada kecepatan 3 mmHg/menit. Metode ini sederhana
dan bebas dari komplikasi bila dikerjakan dengan hati-hati. Komplikasi hipotensi
atau aritmia kordis dapat terjadi karena kegagalan dalam penyediaan sumber
oksigen yang adekuat atau kurangnya pre-oksigenasi. Sangat sedikit data yang
menunjukkan bahwa pasien dapat melanjutkan pernapasannya dengan hilangnya
refleks batang otak, tetapi jika pernapasan terjadi, itu terjadi pada awal dari tes
dan tipikal pada tekanan parsial karbondioksida arteri sekitar 40 mmHg. Tidak
banyak audit mengenai kompetensi dokter dalam menentukan kematian otak yang
dipublikasikan, tetapi tes apneu sering dilakukan tanpa tindakan pencegahan yang
cukup. 1,3 Rincian prosedur mengenai apneu tes dibaca dalam lampiran.
15

Setelah kriteria MBO secara klinis dipenuhi, dokter harus melepaskan
ventilator mekanik. Proses donor organ dapat dilakukan bila telah mendapat
persetujuan dari pasien atau keluarga sebelumnya. Bila karena sesuatu hal seperti
permasalahan etika atau legalisasi hukum tentang penghentian bantuan
pernapasan. Dengan tetap memberikan bantuan napas biasanya akan terjadi
aritmia, lesi struktural miokard, penurunan perfusi koroner, peningkatan
kebutuhan inotropik jantung untuk mempertahankan tekanan darah yang semakin
tidak terpenuhi dan akhirnya terjadi henti jantung dalam beberapa hari sampai
minggu.
2.5.4 Evaluasi Klinis Kematian Otak Pada Anak
Pemeriksaan klinis kematian otak pada anak-anak mengikuti pola yang
sama dengan orang dewasa. Beberapa keadaan yang perlu mendapat perhatian
khusus antara lain banyak anak mengalami hipotermia ketika koma setelah cidera
kepala. Beberapa respon saraf kranial belum berkembang sempurna pada neonatus
baik pada prematurus maupun pada maturus, disamping itu sulit untuk dilakukan
pemeriksaan neurologi pada bayi di inkubator. Oleh karena keterbatasan
pemeriksaan neurologi pada neonatus, periode observasi 48 jam sangatlah
direkomendasikan, begitu juga dengan tes konfirmasi seperti EEG
(electroenchalography) atau pemeriksaan aliran darah otak seperti angiografi
serebral, transkranial ultrasonografi, serebral skintigrafi (technectium Tc99m
hexametazime).
16

2.5.5 Tes Konfirmasi
Tes konfirmasi merupakan tambahan, tidak wajib dikerjakan pada orang
dewasa tetapi direkomendasi pada anak kurang dari 1 tahun (lihat tabel 2).
Beberapa negara di Eropa, Amerika Tengah dan Selatan, negara Asian
mewajibkan adanya tes konfirmasi. 3
EEG masih digunakan beberapa negara dan merupakan tes yang telah
divalidasi dengan baik. EEG harus menunjukkan kurangnya reaktivitas walaupun
dengan rangsangan kuat somatosensoris maupun stimulus audiovisual. 1,3,7,12
Pada angiografi erebral tidak dideteksi adanya pengisian intraserebral pada
tingkat injeksi arteri karotis maupun vertebrobasiler sampai tengkorak karena
tekanan sistolik yang tidak cukup tinggi untu memaksa darah melewati jaringan
vaskuler intrakranial. Hentinya aliran dapat terjadi di foramen magnum pada
sirkulasi posterior, dan pada porsi petrosum sistem karotis dan pengisian sinus
longitudinalis superior mungkin terlambat. 1,3,7,12
Pemeriksaan transkranial dopler memiliki sensitivitas 91-99% dan
speitifitas 100%. Harus ditemukan kurangnya diastolik atau gema aliran akibat
tekanan kontraktif arteri, indeks pulsatif yang kecil pada saat sistolik. Hilangnya
total aliran mungkin tidak dapat dipercaya karena dapat disebabkan oleh
insonasi yang tidak adekuat jendela trantemporal.
Pencitraan nuklear dengan teknitium dapat memperlihatkan tidak adanya
pengambilan tracer oleh otak. Pemeriksaan ini berkorelasi baik dengan angiografi
konvensional. 1,3,7,12
17

Di Indonesia, diagnosis MBO dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik yang mencakup penilaian tingkat kesadaran, refleks batang otak yang diulang
dalam 6 sampai 12 jam diakhiri dengan tes apneu tanpa tes konfirmasi. 3
Tabel 2. Tes Konfirmasi menilai kematian batang otak
Sumber kepustakaan 1
18

2.5.6. Faktor faktor yang menyulitkan Diagnosis Klinis MBO
Keadaan-keadaan dibawah ini mempengaruhi diagnosis klinis MBO
sehingga diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti berdasarkan pemeriksaan
klinis sendiri dan membutuhkan pemeriksaan konfirmasi lebih lanjut yaitu:
1. Trauma berat pada wajah dan servikal
2. Gangguan pupil sebelumnya
3. Kadar toksik dalam darah obat-obatan sedasi, aminoglikosid, antidepresan
trisiklik, mantikolinergik. Antiepilepsi, kemoterapi. Obat penghambat
neuromuskular.
4. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang menyebbkan , retensi kronk
CO2.
2.6 KEADAAN NEUROLOGIS YANG MENYERUPAI MBO
Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan salah diagnosis kematian otak
termasuk : 1.3
1. Locked-in syndrome
2. Vegetatif state
3. Hipotermia
4. Intoksikasi obat
Lock-in syndrome sering terjadi akibat kerusakan bagian basal pons. Pasien
tidak dapat menggerakan anggota geraknya, tidak dapat menyeringai atau
menelan, tetapi dapat berkedip dan melakukan gerakan mata vertikal karena
struktur rostral atas mesensefalaon masih utuh. Kesadaran terpelihara karena
19

tegmentum, dan formasio retikularis tidak terpengaruh. Keadaan ini paling sering
disebabkan oleh emboli akut di arteri basilaris. Sindroma Guillain-Barre yang
melibatkan saraf perifer dan saraf kranial dapat berkembang dalam periode
beberapa hari dan dapat juga didiagnosis salah sebagai kematian otak. 1.3
Status vegetatif yang menetap atau disebut juga sindroma apalika merupakan
kerusakan otak berat irreversible pada pasien yang tidak responsif namun
memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh. Pada pasien ini masih
terdapat siklus bangun dan tidur dengan usaha napas spontan. Ini harus dibedakan
dengan kematian otak yang memiliki gambaran EEG tidak reaktif, tidak adanya
refleks batang otak dan usaha napas spontan. 1.3
Hipotermia akibat paparan lingkungan yang lama dapat menyebabkan kondisi
hilangnya fungsi otak, tetapi intoksikasi alkohol dan cidera kepala masih sering
merupakan penyulit utama. Hipotermia menyebabkan hilangnya refleks batang
otak yang berbentuk spiral kebawah dan dilatasi pupil. Respon cahaya hilang
pada suhu badan 28° sampai 32° C dan refleks batang otak hilang suhu jauh
dibawah 28°C. Defisit ini potensial reversible, bahkan setelah hipotermia ekstrim.
Efek dari sedatif dan obat anestesi dapat menyerupai kematian otak, tetapi
refleks batang otak terutma respons pupil terhadap cahaya masih utuh. 1.3
2.7 SIAPA YANG BERHAK MEMBUAT DIAGNOSIS MBO
Adalah dokter yang berhak membuat diagnosis MBO sesuai dengan
standar medik yang dapat diterima. Dokter yang membuat diagnosis MBO harus
memberikan informasi kepada keluarga atau orang dekat pasien tentang
20

berlangsungnya penentuan MBO dengan mengakomodasi aspek moral dan agama
pasien dan keluarga pasien yang bersangkutan. Setiap rumah sakit harus
menetapkan standar kompetensi tertentu baik dalam latihan maupun pemeriksaan
penentuan MBO. Dokter yang dimaksud tidak harus selalu seorang ahli
ilmuPenyakit Saraf atau seorang ahli Bedah Saraf. Dokter penanggungjawab
pasien (attending physician) atau dokter lain yang mewakili sebaiknya ikut dalam
penentuan kematian otak bila memungkinkan. Di Indonesia, IDI
merekomendasikan paling sedikit dua orang dokter yang berkompetensi dalam hal
ini yaitu seorang anaesthesiologist, intensivist dan neurologist dan kedua dokter
ini tidak boleh terlibat dalam tim transplantasi organ.
21

BAB III
KESIMPULAN
Kematian otak/ MBO adalah hilangnya fungsi otak secara menyeluruh
yang irreversible termasuk fungsi batang otak. Diagnosis kematian otak/MBO
bukanlah hal yang mudah, karena akan berimplikasi pada bermacam aspek.
Secara umum diagnosisnya merupakan diagnosis klinis, kendati demikian
pemeriksaan konfirmasi terkadang diperlukan pada keadaan tertentu. Penentuan
diagnosis sebaiknya melibatkan anaesthesiologis, intensivitis dan neurologis.
Meskipun sudah ada panduan diagnosis mati otak/batang otak pada dewasa dan
anak, beberapa negara mempunyai ketentuan sendiri dalam menentukan diagnosis
MBO.
22

DAFTAR PUSTAKA
1. Wijdicks EFM. The Diagnosis of Brain Death. N Engl J Med, Vol. 344, No.
16.1215-1221
2. Advanced Neurology Life Support program for Doctors. Mati Batang Otak.
Ed 1.Perdossi jakarta 2009.75-80
3. Ong P.A ; Diagnosis Kematian Otak; dalam Kegawatdaruratan Neurologi, ed
1.Bagian ilmu penyakit saraf UNPAD 2009.219-235.
4. American Academy of Neurology. Practice parameters : determining brain
death in adults (Summary Statement). Report of the Quality Standards
Subcommittee of the American Academy of Neurology. 1995;45: 1012-1014
5. Ashwal S, Serna-Fonseca T. Brain Death inInfants and Children. Critical care
nurse.2006;26 (2):117-128
6. Goila A.K, Pawar M; The Diagnosis of brain death. Indian J Crit Care Med,
vol 13 2009.7-11
7. Guidelines for determining brain death. New York state departement of health
2005
8. Misbach J, Hamid A.B, Mayza A, Saleh K, Penentuan Mati Batang Otak.
Dalam Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Prosedur
Operasional (SPO) Neurologi. PERDOSSI. 2006;328-329
9. Hanafiah M.J, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan ed 4. EGC
Jakarta
10. Wijdicks EFM. Brain death worldwide: Accepted fact but no global
consensus in diagnostic criteria. Neurology 2002; 58;2-25.
11. Sullivan J, Seem D.L,Chabalewski F ;Determining Brain Death. Clinical
CareNurseJournal.1999.Vol19number2.
12. Report of spesial task force. Gudelines for the determination of barain death in
children. Pediatrics 1987; 80;298-300.
23

LAMPIRAN
Refleks okulovestibular1. Letakkan pasien dengan posisi kepala lebih tinggi 30°. Ini dapat dilakukan
dengan meninggikan kepala dari tempat tidur atau meninggikan tempat
tidur setinggi 30° (posisi kebalikan – trendelenberg)
2. Campur 200 cc air dengan es. Letakkan di basin bentuk ginjal dibawah
telinga. Diperlukan seorang asisten untuk membuka kedua kelopak mata.
3. Periksa kedua kanalis auditorius eksterna dan dibersihkan serumen bila
ada.
4. Dengan menggunakan siring Toomey, secara perlahan injeksikan 50 cc air
es kedalam kanalis auditorius eksterna pada salah satu telinga. Observasi
selama 5 menit untuk gerakan konjugasi mata tonik kearah stimulus.
Ulangi 50 cc air es pada telinga yang sama.
5. Setelah selang 5 menit, ulangi prosedur yang sama pada telinga yang lain
6. Jika pada kedua telinga tidak ditemukan deviasi mata kearah stimulus, tes
ini dipertimbangkan abnormal dan konsisten dengan kematian batang otak.
Refleks muntah dan batuk
1. Masukkan kateter penghisap kedalam ETT, hisap dan gerakan kateter ke
kiri dan kanan saat ditarik keluar sambil perhatikan adanya tidaknya batuk,
gerakan kepala atau perubahan ekspresi wajah.
2. Masukkan penghisap yankauer ke orofaring dan tarik maju dan mundur
sambil perhatikan ada tidaknya refleks muntah, gerakan kepala atau
perubahan ekspresi wajah.
24

3. Tidak adanya respons pada kedua tes konsisiten dengan kematian batang
otak.
Refleks Kornea
1. Dengan jari dalam sarung tangan sentuh kornea diatas iris mata.
Perhatikan adanya refleks atau gerakan kelopak mata atau gerakan mata.
2. Ulangi pada mata sebelahnya.
3. Tidak ditemukannya gerakan/refleks berarti konsisten dengan kematian
batang otak.
Tes Apneu
1. Preoksigenasi pasien selama 10 menit dengan FIO2 = 1.0.
2. Atur ventilator sehingga PaCO2 diantara 35-45. Konfirmasi dengan
EtCO2 atau ABG#1 (analisa gas darah)
3. Lepaskan ventilator. Pakaikan T-piece aerosol O2 10 L/menit pada ujung
ETT.
4. Diperbolehkan maksimal 10 menit. Perhatikan adanya pergerakan dinding
dada. Dapatkan ABG#2. Jika terdapat napas spontan, hentikan tes. Jika
SaO2 jauh dibawah 92% stop tes dan sambung kembali ventilator.
5. Jika PaCO2 pada ABG#2 adalah 60 mmHg atau lebih, sambung kembali
ventilator.
6. Tes diperhitungkan sebagai positif untuk “absent hypercarbic respiratory
drive”.
25

Tes Atropin
1. Detak jantung pasien di hitung
2. Atropin sebanyaaka 2 miligram disuntikkan secara intravena.
3. Jika terjadi penurunan sebanyak 10% atau tidak ada peningkatan detak
jantung, ini menyokong kematian otak. Tes konfirmasi lain tetap
diperlukan.
26

27