Refrat anestesiologi

55
BAB I PENDAHULUAN Seiring perkembangan di bidang kedokteran, termasuk di dalamnya adalah meningkatnya kemampuan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang membutuhkan pembedahan, maka prosedur operasi atau pembedahan semakin sering dilakukan, termasuk pada pasien-pasien yang dianggap berisiko tinggi. (Sudoyo AW, Harimurti K.2007) Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter spesialis anestesiologi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi. Dokter spesialis anestesi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien melakukan tindakan operasi, agar ia dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. (Latief, Said A.2009) Evaluasi pra anestesi memiliki tujuan yang spesifik, diantaranya mengetahui riwayat penyakit sebelumnya, membina hubungan antara dokter dan pasien, menyusun strategi manajemen untuk perawatan perioperatif anestesi, dan memperoleh persetujuan (inform consent) untuk rencana anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Evaluasi pra anestesi meliputi Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan 1

Transcript of Refrat anestesiologi

Page 1: Refrat anestesiologi

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring perkembangan di bidang kedokteran, termasuk di dalamnya adalah

meningkatnya kemampuan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang

membutuhkan pembedahan, maka prosedur operasi atau pembedahan semakin sering

dilakukan, termasuk pada pasien-pasien yang dianggap berisiko tinggi. (Sudoyo AW,

Harimurti K.2007)

Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter

spesialis anestesiologi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada

pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi. Dokter spesialis anestesi seyogyanya

mengunjungi pasien sebelum pasien melakukan tindakan operasi, agar ia dapat menyiapkan

pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. (Latief, Said A.2009)

Evaluasi pra anestesi memiliki tujuan yang spesifik, diantaranya mengetahui riwayat

penyakit sebelumnya, membina hubungan antara dokter dan pasien, menyusun strategi

manajemen untuk perawatan perioperatif anestesi, dan memperoleh persetujuan (inform

consent) untuk rencana anestesi.

Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan

operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Evaluasi

pra anestesi meliputi Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan penunjang seperti tes

laboratorium, EKG, Foto rontgen, dan lainnya(Latief, Said A.2009; Long, TJ.1993)

1

Page 2: Refrat anestesiologi

BAB II

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTESI

A. Anamnesa

Mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat tersebut

diantaranya indikasi prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan

pengobatan saat ini. Level kegiatan sehari-hari pasien, kemampuan pasien untuk

merawat dirinya sendiri, kebiasaan makan, penurunan berat badan, dan pengertian

akan kondisi medis pasien, semua hal diatas memberikan masukan akan seberapa

baiknya mereka bertahan saat periode perioperatif. (Long, TJ.1993; Barash, Paul

G.1997)

Penyakit bedah saat ini harus mencakup simptom awal, studi diagnosa yang

dilakukan, perkiraan diagnosis, terapi, dan respon. Pada pasien rawat inap, tanda

vital dan keseimbangan cairan harus di perhatikan.

Penyakit medis lain yang menyertai dapat menjadi komplikasi saat melakukan

bedah & anestesi. Dalam keadaan tertentu, konsultasi bisa disarankan sebelum

operasi. Konsultan-konsultan ini tidak menanyakan pertanyaaan umum yang

menyakut ‘clearance’ anestesi, karena hal itu adalah tanggung jawab spesifik

seorang anestesiologi.

Pengobatan bisa digunakan untuk mengobati penyakit saat ini atau penyakit

penyerta, jadwal dan dosis harus di pastikan. Kepentingan pengobatan

antihipertensi, antiangina, anti aritmia, antikoagulan, antikonvulsi, dan terapi

endokrin, harus diperhatikan. Keputusan untuk melanjutkan pengobatan-

pengobatan ini saat periode pra anestesi tergantung dari seberapa parah penyakit

yang diderita, potensi konsekuensi jika terapi tidak dilanjutkan, waktu paruh obat,

dan kemungkinan interaksi obat tersebut dengan agen anestesi yang akan

digunakan.

Alergi dan reaksi obat.

Reaksi alergi sesungguhnya yaitu apabila semua agen (dengan observasi langsung,

dokumentasi tabel data, atau penjelasan dari pasien) ketika dimasukkan akan

mengarah ke manifestasi pada kulit (pruritus, kemerahan), bengkak pada oral dan

wajah, napas pendek, tersedak, wheezing, atau kolapsnya pembuluh darah harus

dipertimbangkan bahwa telah terjadi reaksi alergi sesungguhnya. Banyak obat-

2

Page 3: Refrat anestesiologi

obatan yang digunakan anestesiologi pada pasien yang sadar menghasilkan efek

yang kurang menyenangkan seperti mual, muntah, dan gatal. Perlunya diketahui

apa yang digunakan pasien saat ia sakit kepala atau merasa sakit di bagian tertentu

tubuhnya dan bagaimana reaksi mereka terhadap obat-obat tersebut dapat dijadikan

masukan untuk kemungkinan adanya sensitivitas terhadap suatu obat dan perlunya

ada alternative obat untuk si pasien. Reaksi obat yang jarang tapi sangat mungkin

terjadi harus diantisipasi karena dapat mengancam kehidupan pasien. (Long,

Thomas J)

1. Riwayat anestesi

Data-data anestesia lama harus di perhatikan untuk informasi-informasi

berikut :

a. Respon terhadap premedikasi sedative atau analgesik dan agen anestesi

lain

b. Kemudahan dalam penggunaan masker ventilasi, laringoskopi langsung,

dan ukuran atau jenis pisau laringoskop dan tuba endotrakeal yang

digunakan dulu.

c. Kesulitan dengan tipe-tipe akses pembuluh darah dan monitoring yang

invasive.

d. Komplikasi preanestetik seperti reaksi adverse obat, instabilitas

kardiorespiratorik, infraksi myocardial post operatif, dan gagal jantung

kongestif, masuk ICU tanpa diduga-duga, dan adanya perpanjangan waktu

sadar atau intubasi

2. Pasien harus ditanya tentang anestetik sebelumnya, diantaranya:

a. Keluhan-keluhan umum seperti mual & suara serak pasca operasi

b. Peringatan dari anestesi sebelumnya, yang menjelaskan masalah-masalah

anestesi yang lalu dari si pasien.

Riwayat Keluarga

Riwayat ini mungkin didapatkan dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti

“apakah ada di keluarga anda yang pernah mengalami reaksi aneh yang tidak biasa

serta serius akibat anesthesia?”

Riwayat Sosial

1. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko yang penting pada penyakit jantung dan

paru. Mengeliminasi penggunaan rokok 2-4 minggu sebelum operasi terpilih

3

Page 4: Refrat anestesiologi

dapat mengurangi hipereaktifitas jalan napas dan komplikasi pulmonal pre

operatif. Penghentian merokok pada perokok akut selama 24 jam dapat

menurunkan jumlah karboksi hemoglobin dan meningkatkan oksigenasi, tetapi

penghentian merokok lebih dari 6 minggu dapat membersihkan mukosiliaris.

(Long, TJ.1993; Barash, PG.1997)

2. Obat-obatan dan alkohol

Intoksikasi alkohol akut akan menurunkan kebutuhan anestetik dan menjadi

predisposisi untuk terjadinya hipotermia dan hipoglikemia, dan adanya

pemberhentian tiba-tiba (withdrawal dari etanol dapat mengakibatkan

hipertensi yang parah, tremor, delirium dan kejang, juga hal ini dapat

meningkatkan kebutuhan anestetik pasien). Penggunaan rutin dari narkotik dan

benzodiazepine (baik yang diresepkan maupun illegal) dapat secara signifikan

meningkatkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan rumatan anesthesia,

atau untuk penyediaan pasca analgesia dalam jumlah yang cukup.

Penyakit penyerta.

1. Asma.

Pada pasien dengan asma, penting untuk menentukan gejala (kondisi kesehatan

yang optimal walaupun terus tersengal-sengal). Steroid berguna dalam

beberapa pasien dengan asma dalam menjalani pembedahan. (Barash, Paul G.

1997)

Bronkospasme yang akut dan parah dapat terjadi saat induksi anestesia dan

intubasi endotrakeal.(Long, Thomas J.1993)

2. Riwayat adanya infeksi pernapasan bagian atas baru-baru ini. Terutama pada

anak-anak, memungkinkan dapat terjadinya komplikasi pulmoner termasuk

didalamnya bronkospasme, dan laringospasme saat induksi dan atau saat sadar

dari anestesi umum.(Long, Thomas J.1993)

3. Hipertensi

Evaluasi pasien dengan hipertensi sangat penting untuk menentukan adanya

kerusakan pada organ-organ tubuh dan pengobatan saat ini. Hipertensi yang tak

diterapi sangat sering dihubungkan dengan labilnya tekanan darah ketika pasien

dalam fase anestesia. Bila tekanan diastolik >110mmHg maka operasi harus di

tunda. (Long, TJ.1993; Baras, Paul G.1997)

4

Page 5: Refrat anestesiologi

Table 18-5. Classification Of Hypertension

Category Systolik Blood Pressure

(mmHg)

Diastolik Blood Pressure

(mmHg)

Normal

High normal

Hypertension

Stage I (mild)

Stage 2 (moderate)

Stage 3 (severe)

Stage 4 (very severe)

< 130

130-139

140-159

160-179

180-209

>210

< 85

85-89

90-99

100-109

110-119

> 120

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 231

4. Penyakit Jantung

Pasien dengan angina yang tidak stabil dapat mengalami iskemia myocardial

lebih buruk, disfungsi ventrikular, atau infraksi myocardial yang jelas dengan

adanya stress dari operasi dan anestesia. (Long, TJ.1993)

Anamnesis mempunyai peranan penting dalam menemukan penyakit jantung

dan atau penyakit penyerta yang akan menempatkan pasien dalam kelompok

risiko operasi yang tinggi. Anamnesis harus dapat mengidentifikasi kondisi

jantung berat seperti sindrom koroner akut, riwayat angina sebelumnya, infark

miokard sebelumnya atau yang baru terjadi, gagal jantung dekompensasi,

aritmia yang bermakna dan penyakit katup berat (Tabel 1). Tanyakan juga

apakah pasien mempunyai riwayat pacu jantung atau implantable cardioverter

defibrillator (ICD) atau riwayat ortostatik. ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Tabel 18-3.Risk Factors That Increase the Likelihood of Coronary Artery Diseases

Diabetes mellitus

Hypertension

Smoking

Elevated cholesterol

Peripheral vascular disease (exercise limitation may mask angina)

5

Page 6: Refrat anestesiologi

Table 18-4.Selected Studies On Reinfarction in Patients With a Prior Myocardial Infarction

Table 18-3 & 18-4 dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 229

5. Hernia Hiatal dengan simptom-simptom reflux esofagal dapat meningkatkan

resiko aspirasi pulmoner dan dapat merubah rencana anestetik.(Long, Thomas

J.1993)

6. Kehamilan.

Semua wanita usia produktif harus ditanyai kapan mens terakhir dan

kemunkinan kehamilan baru-baru ini, karena agen-agen premedikasi dan

anestetik bisa mempengaruhi aliran darah uteroplacental dan menjadi teratogen.

(Long, Thomas J.1993)

B. Pemeriksaan Fisik Pasien

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus dilakukan agar tidak ada kelainan penting

yang terlewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ

tubuh pasien. (Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A; Dachlan M.Ruslan.2009)

Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi fokus. Perhatian

ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru, dan pemeriksaan

neurologi.( Long, Thomas J.)

6

Interval Between Prior

Myocardial Infarction and

Operation (months)

Tarhan et al.

(1972)(%)

Rao et al.

(1983)(%)

Shah et al.

(1990)(%)

0-3 37 5.8 4.3

4-6 16 2.3 4.7

>6 5.6 1.5 5.7

Age indeterminate 3.3

Page 7: Refrat anestesiologi

Preanesthesia Physical Examination

Evaluation Of the Upper Airway

Thyromental distance

Ability to flex and extend neck

Aperture opening

Cardiovascular System

Blood pressure (both arms when appropriate; consider influence of preoperative anxiety)

Auscultation of the heart (rhythm, murmurs, {systolic murmur radiating to the carotids

suggest aortic stenosis and need for further evaluation}, third or fourth heart sounds)

Peripheral pulses

Pulmonary System

Auscultation for rales (congestive heart failure) and wheezing (reactive airway disease)

Nervous System

Influenced by co-existing diseases and likelihood that surgery will change the condition

Peripheral neuropathy

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash.1997.chapter18,page 235

1. Evaluasi Kardiovaskuler Perioperatif

Evaluasi kardiovaskuler dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non

kardiak, dan dilakukan dengan hati-hati tergantung kondisi penyakit bedahnya.

Pada kasus emergensi bedah akut, evaluasi perioperatif terbatas pada tes

sederhana dan penting seperti penilaian cepat tanda vital kardiovaskular, status

volume, hematokrit, elektrolit, fungsi ginjal, analisis urin dan EKG. Pada kasus

tidak urgen, evaluasi jantung perioperatif dapat menimbulkan konsekuensi antara

lain menunda prosedur elektif. (Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Pengelolaan anestesi untuk bedah jantung membutuhkan pemahaman tentang

patofisiologis jantung; pengetahuan tentang farmakologi anestesi, obat-obatan

vasoaktif dan cardioaktif; dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan

cardiopulmonary by pass (CPB) dan prosedur operasi. ( Barash, Paul G.2007)

Menurut CCS : Canadian Cardiovascular Society; NYHA, New York Heart

Association Kondisi Jantung Aktif dimana Pasien Harus Menjalani Evaluasi Sebelum

Operasi Non Jantung (Kelas I, Level Of Evidence B)

Sindrom kororner tak stabil

Unstable angina atau angina pektoris berat (ccs Class III atau IV)

IMA baru (>7 hari dan <30 hari) dan adanya risiko iskemik secara sim

Pemeriksaan non invasif

7

Page 8: Refrat anestesiologi

Gagal jantung kongestif stadium dekompensasi (kelas IV NYHA; perburukan

jantung onset baru)

Aritmia bermakna :

Blok AV derajat tinggi, blok AV derajat III

Aritmia ventrikular simtomatik yang didasari kelainan jantung

Aritmia supraventrikular (termasuk fibrilasi atrial) yang tidak terkontrol

> 100/menit dalam istirahat)

Bradikardia simtomatik

Takikardi ventrikular

Penyakit katup yang berat :

Stenosis aorta yang berat (mean pressure gradient >40 mmHg, aortic

valve atau simtomatik)

Stenosis mitral simtomatik (sesak saat aktivitas yang progresif, prasin

Atau gagal jantung)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 23

Pemeriksaan kardiovaskuler meliputi penilaian tanda vital, pulsasi karotis dan

bruits, tekanan dan pulsasi vena jugular, auskultasi paru, palpasi dan auskultasi

prekordial, palpasi abdomen, dan pemeriksaan ekstremitas untuk menilai edem dan

integritas vaskuler.

Adanya sianosis pucat, sesak selama bicara atau aktivitas ringan, pernapasan

cheyne-stokes, status gizi buruk, obesitas, deformitas tulang, tremor dan ansietas

adalah beberapa data penyakit yang mendasari atau PJK yang dapat dikenal oleh

dokter pada pemeriksaan umum. ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Evaluasi klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan EKG biasanya

memberi data yang cukup untuk memperkirakan risiko jantung. Dalam upaya

untuk mengkode faktor klinis dan laboratorium yang dapat mempengaruhi

outcome, sejumlah peneliti telah mengembangkan indeks risiko dalam 25 tahun

terakhir berdasarkan analisis multivariabel. Enam risiko independen yang terkait

telah diidentifikasi yaitu :

a. Penyakit jantung iskemik ( didefinisikan sebagai riwayat infark miokard,

riwayat tes treadmill positif, penggunaan nitrogliserin, keluhan nyeri dada yang

baru terjadi yang diduga sekunder karena iskemia koroner, atau EKG dengan

gelombang Q abnormal).

b. Gagal jantung kongestif (didefinisikan sebagai riwayat gagal jantung, edema

paru, edema perifer, ronki bilateral, S3 atau redistribusi vaskular paru pada foto

dada)

8

Page 9: Refrat anestesiologi

c. Penyakit vaskular serebral (riwayat transient ischemic attack atau strok)

d. Operasi risiko tinggi (aneurisma aorta abdominalis atau vaskular lain, toraks,

abdomen atau operasi ortopedi)

e. Terapi insulin praoperatif pada pasien Diabetes Mellitus

f. Kadar kreatinin praoperatif lebih dari 2 mg/dl

(Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter32,page 452

Terdapat sekelompok penyakit jantung yang jika ditemukan menunjukkan risiko

klinis mayor. Adanya satu atau lebih kondisi tersebut memerlukan tatalaksana

intensif dan dapat menunda atau membatalkan operasi kecuali operasi yang bersifat

emergensi. Kondisi ini mencakup :

Sindrom koroner tak stabil; angina berat atau tak stabil, infark miokard yang

baru terjadi

Gagal jantung dekompensasi

Aritmia yang bermakna

Penyakit valvular berat

(Alwi,idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Faktor risiko klinis mencakup :

Riwayat penyakit jantung iskemik

Riwayat gagal jantung sebelumnya atau terkompensasi

Riwayat penyakit serebrovaskular

Diabetes melitus dan

Insufisiensi ginjal ( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

9

Data From Preoperative Evaluation

History of myocardial infarction

Sign of congestive heart failure

Evidence of myocardial ischemia or infarction on electrocardiogram

Chest radiograph

Left ventricular end-diastolic pressure > 18 mmHg

Ejection fraction < 0.4

Cardiac index < 2 l/min/m2

Transesophageal echocardiography (wall motion abnormalities)

Page 10: Refrat anestesiologi

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 29

2. Evaluasi Perioperatif Paru

Pasien dengan penyakit paru yang signifikan memiliki resiko lebih besar terjadi

kegagalan pernapasan postoperative daripada yang lainnya, karena anestesi dan

tindakan operasi lebih mudah menyebabkan hipoventilasi, hipoxemia, dan retensi

sekresi pada pasien dengan cadangan pernapasan terbatas. Pasien dengan penyakit

paru kronis sedang sampai berat dan yang telah melakukan pembedahan thoraks,

kardial dan abdominal bagian atas memiliki tingkat morbiditas dan mortilitas lebih

tinggi. Morbiditas dan mortalitas postoperative bisa dikurangi dengan

mengidentifikasi pasien yang memiliki resiko terkena komplikasi pernapasan

perioperative, mengoptimalkan pengobatan medis, dan merencanakan program

fisioterapi sebelum operasi. (Epstein, Paul L.Chapter 3.1993)

Komplikasi paru yang sering terjadi pasca operasi antara lain : pneumonia,

bronkospasme, atelektasis, hipoksemia sampai gagal nafas yang memerlukan

ventilator mekanik jangka panjang. Diketahui tiga faktor spesifik yang

meningkatkan risiko komplikasi paru pasca operasi tdd : penyakit paru kronik,

obesitas dan merokok.

10

Page 11: Refrat anestesiologi

Secara keseluruhan kita harus mengetahui riwayat pasien, melakukan pemeriksaan

fisik sebelum memulai penilaian preoperatif paru. Ada atau tidaknya faktor risiko

paru dan ditemukannya pemeriksaan yang mencurigakan adanya penyakit dasar

paru harus diutamakan. Kondisi fisik terakhir dan status nutrisi pasien harus

dinilai ulang untuk melihat adakah keadaan-keadaan yang mempunyai efek buruk

pada fungsi paru baik selama dan setelah operasi.

Bila pada pasien ada faktor risiko atau ditemukannya riwayat penyakit sistim

pernapasan sebelumnya yang didapat dari anamnesa atau pemeriksaan fisik, maka

evaluasi diagnostik lebih lanjut dianjurkan. Bila ditemukan adanya faktor risiko

atau ditemukannya disfungsi paru yang berpotensi buruk terhadap risiko operasi,

maka semua potensi yang akan terjadi sebagai risiko operasi harus dievaluasi.

( Alwi, idrus; Mansjoer, Arif. 2007)

Perawatan preoperative pada penyakit paru bertujuan untuk memperbaiki aspek-

aspek dari penyakit paru yang reversibel.

a. Penghentian merokok 24-48 jam sebelum operasi bisa menurunkan

karboksihemoglobin dan meningkatkan oksigenasi. Penghentian merokok

lebih dari 4 minggu bisa mengurangi resiko komplikasi paru postoperative

dengan meningkatkan fungsi ciliary dan mengurangi sekresi jalan napas dan

iritabilitas.

b. Infeksi akut harus ditangani sebelum operasi. Therapi dengan kultur sputum.

c. Fisioterapi, akan memperbaiki mobilisasi dari sekresi dan meningkatkan

volume paru, menurunkan insiden komplikasi paru postoperative.

d. Hidrasi dan humidifikasi gas-gas inspirasi akan membantu dalam

membersihkan sekresi bronkial.

e. Medical treatment

(Epstein, Paul L.1993)

Strategies to decrease Perioperative Risk in Pulmonary Surgery

Preoperatively

Cessation of smoking

Training in proper breathing (incentive spirometry)

Inhalation bronchodilator therapy

Control of infection and secretions

Weight reduction

Intraoperatively

Limited duration of anesthesia

11

Page 12: Refrat anestesiologi

Intermittent hyperinflations

Control of secretions

Prevention of aspiration

Maintenance of optimal brochodilation

Postoperatively

Continuation of preoperative measures with particular attention to :

Inspiratory capacity maneuvers

Mobilization of secretions

Early ambulation

Encouragement to cough

Control of pain without excessive use of opioids

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page232

3. Evaluasi Resiko Perdarahan dan Trombosis

Dalam mengevaluasi pasien dengan predisposisi perdarahan, harus dibedakan dari

macam-macam tipe pasien, yaitu:

a. Pasien normal tanpa riwayat pembekuan darah

b. Pasien dengan riwayat dan/atau penyakit (liver, disfungsi ginjal, kanker,

sepsis,dll) yang berpotensi mengganggu system hemostasis atau dengan

kelainan bawaan.

c. Pasien dengan pemakaian obat-obatan anti koagulan dan/anti trombotik

Untuk evaluasi pasien dengan predisposisi perdarahan, terutama dengan atau

tanpa/silent riwayat perdarahan pasca operasi, harus dilakukan anamnesis yang

cermat meliputi perdarahan pasca operasi sebelumnya, riwayat keluarga dengan

perdarahan, riwayat pemakaian obat-obatan. (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Prosedur operasi resiko rendah pada pasien “normal” tidak diperlukan

pemeriksaan tes fungsi koagulasi, namun prosedur operasi resiko menengah dan

tinggi memerlukan evaluasi PT (Protrombin time), aPTT (activated partial

thromboplastin time) dan hitung trombosit. Pasien dengan kecurigaan adanya

“defek” pembekuan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut factor pembekuan

(misal : FVIII, FIX, von Willebrand). (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Nilai PT memanjang menunjukkan kelainan di jalur ekstrinsik yang melibatkan

FII,FV, FVII atau defisiensi fibrinogen. Kemungkinan kausa adalah: APS,

kekurangan vitamin K, gangguan fungsi hati, defisiensi fibrinogen atau DIC.

12

Page 13: Refrat anestesiologi

Nilai aPTT memanjang menunjukkan kelainan pada jalur intrinsic yang

melibatkan FVIII, FIX, FX, FXI, FXII atau defisiensis fibrinogen. Kemungkinan

kausa adalah heparin, DIC, hemophilia/defisiensi factor intrinsic atau

hiperfibrinolisis. (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 45

Macam-macam obat hemostatik yaitu:

- Aprotinin

- Analog lisin : Episolon amino caproic acid (EACA) dan Tranexenamic acid

- Desmopressin (DDAVP)

- Rekombinan factor VIIA (rFVIIA)

- Agen topical : fibrin glues

Resiko thrombosis

Peningkatan resiko thrombosis perioperatif dipengaruhi oleh exposing factor

(factor-faktor yang akan dan sedang dialami pasien: jenis operasi, infeksi,

immobilisasi) dan predisposing factor (factor-faktor yang ada di pasien: HT,

NIDDM, hyperkoagulasi, etc).

Untuk menentukan posisi pasien dengan operasi mayor terhadap resiko kejadian

VTE (venous thrombo emboli) berdasarkan factor terpajan dan predisposisi

(Gambar 2). Kriteria ini dapat merujuk kesepakatan ACCP7 yang menetapkan :

13

Page 14: Refrat anestesiologi

1. Pasien dengan resiko sedang, perlu dipertimbangkan pemakaian anti

koagulan sebagai pencegahan primer atau sekunder.

2. Pasien dengan resiko tinggi, terapi anti koagulan perlu diberikan.

Sridhar et al memberikan criteria untuk pasien resiko rendah dan tinggi untuk

penggunaan antikoagulan operatif. (Tabel 4). (Irawan, Coshphiadi. 2007)

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer, 2007, hal : 48

4. Evaluasi Jalan Nafas (Mallampati)

Jalan nafas (airway) berdasarkan anatomi dibagi menjadi :

a. Jalan Napas atas (Upper) : hidung, ruang hidung, sinus paranasalis, faring

sampai epiglotis

b. Jalan Napas bawah (Lower) : plika vokalis, laring, Krikoid, krikotiroid

membran, trakea, dan karina. (Geiser, Robert. 1993)

Hubungan jalan nafas dan dunia luar melalui 2 jalan :

a. Hidung : Menuju Nasofaring

b. Mulut : Menuju Orofaring

(Latief, Said A.2009)

14

Page 15: Refrat anestesiologi

Penyakit-penyakit yang memiliki kemungkinan mengganggu jalan napas,

diantaranya :

a. Arthritis

b. Infeksi pada dasar mulut, kelenjar saliva, tonsil, atau abses faringeal.

c. Tumor

d. Obesitas

e. Trauma

f. Luka bakar

g. Trisomi 21

h. Skleroderma

i. Akromegali

j. Dwarfisme

k. Anomali kongenital

Jika terdapat data rekam medis lama, anestesi sebelumnya; gejala-gejala spesifik

yang berhubungan dengan adanya hambatan jalan napas; dan operasi pada kepala

dan leher sebelumnya harus dipertimbangkan untuk evaluasi selanjutnya. (Gaiser,

Robert.1993)

a. Hal- hal spesifik yang akan mengganggu jalan napas diantaranya :

1. Ketidakmampuan untuk membuka mulut

2. Mobilitas spinal servikal yang buruk

3. Mikrognatia

4. Gigi incisivus yang menonjol

5. Leher pendek & berotot

6. Obesitas yang morbid

b. Luka pada muka, leher, dan dada harus dievaluasi untuk mengetahui apakah

hal ini akan berpengaruh untuk terhambatnya jalan napas.

c. Tanda tanda umum akan adanya hambatan jalan napas yang akut, seperti

agitasi, cemas, perubahan jumlah dan irama RR, dan takikardi.

d. Pemeriksaan Kepala dan leher

1. Hidung

Dilihat apakah pasien terdapat deviasi septum, hal ini sangat penting jika

sewaktu-waktu perlu dilakukan intubasi nasotrakeal.

15

Page 16: Refrat anestesiologi

2. Mulut

a. Bukaan mulut. Pasien harus dapat membuka mulutnya sekurang-

kurangnya selebar 3 jari.

b. Gigi

Buruknya keadaan rongga mulut atau dentitis dapat meningkatkan

risiko dari kerusakaan pada dental dan kesalahan pemasukan

(dislodgement) saat manipulasi jalan napas. Adanya gigi goyang

harus di identifikasi saat preoperative.

c. Lidah

Makroglosia sering dijumpai pada sindroma kongenital.

3. Leher

a. Jika jarak tiromental kurang dari 3-4 jari, kemungkinan akan sulit

memvisualisasikan trakea

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter23,page289)

b. Mobilitas spinal servikal. Pasien harus dapat menempelkan dagunya

ke leher, seposterior mungkin.

c. Adanya stoma pasca trakeostomi dapat dijadikan tanda adanya

kemungkinan stenosis subglotis.

(Gaiser, Robert.1993)

e. Klasifikasi jalan napas. Menurut Mallampati dibagi menjadi :

Kelas I : Pilar faring, Palatum mole dan uvula masih jelas

16

Page 17: Refrat anestesiologi

Kelas II : Pilar faring dan palatum mole masih bisa terlihat, sedangkan

uvula tertutup oleh dasar lidah

Kelas III : Hanya palatum mole yang terlihat. Intubasi diprediksikan

akan sulit.

(Geiser, Robert.1993)

Mallampati Airway Classification

Class Classification

I Uvula, faucial pillars, soft palate visible

II Faucial pillars, soft palate visible

III Only soft palate visible

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter23,page285)

Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah

dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi

(tabel7)

Gradasi I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas

Gradasi II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak

terlihat

Gradasi III : Hanya palatum mole yang terlihat

Gradasi IV : Pilar faring, uvula, dan palatum mole tidak terlihat

17

Page 18: Refrat anestesiologi

(Latief, Said A.2009)

C. Pemeriksaan Umum

Peryaratan minimal pemeriksaan umum menyangkut hal-hal ini:

1. Vital signs (Tanda-tanda Vital)

a. Tinggi dan berat badan sangat berguna untuk mengukur dosis terapi obat dan

juga dalam menentukan kebutuhan volume dan kecukupan pengeluaran urin

preoperative.

b. Tekanan darah harus diukur pada kedua lengan dan adanya perbedaan antara

ektremitas atas dan dicatat ( perbedaan yang signifikan mungkin menandakan

adanya penyakit dari aorta thoracica atau dari salaah satu cabang arteri

tersebut)

c. Nadi saat sedang istirahat atau rileks dicatat untuk melihat irama, perfusi dan

jumlah.

d. Respirasi diobservasi untuk mengetahui ukuran jumlahnya, kedalaman, dan

pola nya ketika pasien dalam keadaan istirahat atau rileks.

2. Kepala dan leher.

Saat pemeriksaan preoperasi lakukan :

a. Mencatat ukuran dari bukaan oral dan lidah.

b. Dokumentasikan adanya gigi goyang, patah, ‘caps’, denture, dan kemungkinan

orthodentik lainnya.

c. Catat seberapa jauhnya pergerakan spinal cervical, pada saat flexi, ekstensi

dan rotasi.

d. Dokumentasikan adanya deviasi trakeal, massa di cervical, dan carotid bruits.

3. Precordium. Auskultasi jantung mungkin menangkap adanya murmur, irama

gallop, dan precordial rub.

4. Paru-paru. Auskultasi untuk mengetahui adanya wheezing, ronchi atau rales, yang

dihubungkan dengan observasi mudah atau tidak saat pasien bernapas, dan

penggunaan otot-otot aksesoris pernapasan.

5. Abdomen. Adanya bukti dari distensi, massa, atau asites harus dicatat, karena hal2

ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya regurgitasi, atau ventilasi yang tidak

baik nantinya.

18

Page 19: Refrat anestesiologi

6. Ektremitas. Kelemahan otot harus dicatat atau dilaporkan, begitu juga dengan

perfusi umum bagian distal, clubbing, sianosis, infeksi cutaneous ( terutama pada

area yang akan dilakukan kanulasi vascular atau blok saraf regional).

7. Punggung. Catat adanya deformitas, memar-memar atau infeksi

8. Neurologi. Minimal catat status mental pasien, fungsi saraf cranial, kognisi, dan

fungsi sensorimotor peripheral.

(Long, Thomas J.1993)

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan bila ada indikasi tertentu yang didapatkan dari

anamnesa dan pemeriksaan fisik. Beberapa pemeriksaan penunjang yang saat ini

dianggap penting untuk standar perawatan prabedah, seperti :

1. Hematokrit atau hemoglobin terbaru.

Hematokrit sebanyak 25-30% biasanya ditolerir untuk pasien-pasien yang sehat

tapi dapat mengakibatkan iskemik pada pasien dengan penyakit arteri koroner.

Setiap kasus harus di evaluasi secara individual untuk mencari etiologi dan

lamanya anemia. Jika tidak ada penjelasan yang pasti akan adnaya anemia,

penundaan operasi dapat diindikasikan/disarankan.( Long, TJ.1993)

Saat ini, National Blood Resource Education Committee menyarankan bahwa

Hemoglobin >7 g / dl dapat diterima pada pasien tanpa penyakit sistemik. Pada pasien

dengan penyakit arteri koroner, hemoglobin >10 g / dl penting untuk meminimalkan

risiko terjadinya miokardial iskemi dan infark miokard. Pasien dengan penyakit sistemik,

tanda-tanda pengiriman oksigen sistemik yang adekuat (takikardi, takipnea) merupakan

indikasi untuk transfusi. (Barash, Paul G.1997)

2. Serum kimiawi dan skrining koagulasi

Dilakukan hanya jika ada indikasi tertentu dari riwayat dan pemerikasaan fisik.

Misalnya seperti ada riwayat perdarahan diathesis atau penyakit sistemik serius.

Hipokalemi bukanlah hal yang jarang ditemui pada pasien yang mendapat terapi

diuretik, dan biasanya sebelum dioperasi dikoreksi dengan suplemen potassium

oral. Usaha untuk mengoreksi hipokalemi dengan cara infus intravena secara

cepat dapat mengakibatkan aritmia, bahkan juga gagal jantung (cardiac arrest).

Saat menghadapi adanya hipokalemi dengan cardiac arrest, sebaiknya operasi

ditunda dahulu. (Long, TJ.1993)

3. Elektrokardiogram (EKG)

19

Page 20: Refrat anestesiologi

Dianjurkan untuk semua pasien diatas usia 40 tahun yang akan menjalani

prosedur pembedahan resiko sedang dan tinggi. Abnormalitas EKG yang

signifikan untuk seorang anestesi termasuk gelombang Q baru, depresi atau

elevassi segmen ST, inversi gelombang T, dan gangguan irama (kontraksi

ventrikuler yang premature, fibrilasi/flutter atrial, bloking cabang kiri, dan

bloking atrioventrikuler derajat kedua atau ketiga). Penemuan-penemuan ini pada

EKG saat preoperative memerlukan adanya korelasi dengan riwayat, pemeriksaan

fisik, dan EKG sebelumnya, dan perlu dilakukan pemeriksaan dan konsultasi

dengan kardiologis yang lebih lanjut, sebelum operasi dilakukan.(Long, TJ.1993)

4. X-ray torax

Dilakukan jika ada indikasi klinis (contoh : perokok berat, lansia, pasien dengan

penyakit pada organ-organ utama).(Long, TJ.1993)

5. Pemeriksaan laboratorium untuk Hati dan Ginjal

Dilakukan pemeriksaan pada pasien yang diduga dengan penyakit hati, harus

menjalani evaluasi menyeluruh untuk fungsi hatinya meliputi pemeriksaan

konsentrasi enzim hati, albumin, dan bilirubin, dan juga evaluasi koagulopati.

Fungsi ginjal meliputi elektrolit, ureum kreatinin.(long, TJ.1993)

6. pemeriksaan gula darah

pemeriksaan gula darah dan hemoglobin A1c dilakukan untuk membedakan

kejadian perioperative stress hyperglycemia dari diabetes mellitus yang tidak

terdiagnosis. Pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes mellitus harus

kontrol gula darahnya sebelum menjalani pembedahan.(Long, TJ.1993)

20

Page 21: Refrat anestesiologi

Dikutip dari Kedokteran Perioperatif oleh Arif Mansoer.2007.hal:17

E. Klasifikasi

Klasifikasi Status Fisik

ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi yang lazim

digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi yang terdiri dari :

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas

rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

(Latief, Said A.2009)

21

Page 22: Refrat anestesiologi

American Society of Anesthesiologists Classification

ASA Class Disease State

1 No organic, physiologic, biochemical, or psychiatric disturbance

2 Mild to moderate systemic disturbance that may or may not be

related to the reason for surgery

3 Severe systemic disturbance that may or may not be related to

the reason for surgery

4 Severe systemic disturbance that is life threatening with or

without surgery

5 Moribound patient who has little chance of survival but is

submitted to surgery as a last resort (resuscitative effort)

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter18,page 239

22

Page 23: Refrat anestesiologi

BAB III

PREMEDIKASI

Pengelolaan pasien anestesi sebelum operasi diawali dengan premedikasi atau

persiapan preoperative yang meliputi persiapan psikologis (fisik) dan persiapan farmakologis

(obat-obatan), yang dilakukan ahli anestesi sehari sebelum rencana operasi. Hal ini penting

dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik dan mental pasien sebelum di operasi. Sebab hal

tersebut berpengaruh terhadap obat preanestesi, teknik yang digunakan dan keahlian seorang

ahli anestesi. Persiapan yang buruk dapat menimbulkan komplikasi setelah operasi. Idealnya

semua pasien sebelum operasi dalam keadaan tenang, terhindar dari kecemasan akan operasi

dan kooperatif. (Barash, Paul G.1997;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi

; http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html )

Tujuan dari premedikasi atau persiapan preoperative adalah meredakan kecemasan dan

ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurai sekresi kelenjar ludah dan bronkus,

meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan

amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflek yang membahayakan. Hasil

akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah sedasi dari pasien tanpa disertai

depresi pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi terhadap masing-masing pasien

dapat berbeda. (Said A.Latief.2009;

http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-mediaksi.html)

1. Persiapan Psikologis (Fisik)

Persiapan psikologis meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien

dan keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan terjadi dan

tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas pasien.

Kunjungan ini harus dilakukan secara efisien, memberikan informasi, rasa aman,

menjawab segala pertanyaan pasien dan supaya mendapatkan rasa percaya pasien

kepada ahli anestesi dan juga meningkatkan rasa percaya diri pasien. Hal-hal yang

diwawancarai pada kunjungan preoperative meliputi table 1-1.

(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi)

23

Page 24: Refrat anestesiologi

Table 1-1 Areas to be Discussed During a Preoperative Interview

Review medical history with patien

Co-existing diseases

Chronic drug therapy

Prior anesthetic experience

Describe anesthetic technique available and associated risks

Review planned preoperative medication and time of scheduled surgery

Decribe what to expect on arrival in the operating room

Describe anticipated duration of surgery and expected time to return to room

Describe methods available to manage postoperative pain

Patient-controlled analgesia

Neuraxial opioids

dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265,table21-1

Selain permasalahan psikologis, kondisi fisik pasien juga dapat menjadi permasalahan

dalam pembiusan. Agar obat-obat bius yang nantinya diberikan tidak menimbulkan

efek negative akibat kondisi tubuh yang tidak normal lagi maka harus ada jaminan

akan fungsi dan kondisi tubuh yang baik. Hal tersebut dapat diketahui dengan

pemeriksaan laboratorium berupa fungsi pembekuan darah, fungsi liver, ginjal,

endokrin, elektrolit, status gizi dan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG).

Sedangkan kondisi pasien, setidaknya 8 jam sebelum operasi harus sedang fit, tidak

batuk, pilek, dalam keadaan bersih (cuci rambut), menanggalkan aksesoris perhiasan,

gigi palsu, tidak bergincu, dan cat kuku harus dihapus. Hal ini dilakukan untuk

mencegah kontaminasi operasi dan menunjang sterilitas proses operasi.

(http://spesialisbedah.com/2009/09/persiapan-fisik-sebelum-operasi).

Hubungan dokter anestesi dengan pasien

Periode preoperative adalah saat yang sangat membuat stress emosional terutama

pada pasien yang takut pada operasinya (kanker, kelainan bentuk tubuh, kesakitan

pasca operasi, bahkan kematian) maupun terhadap anestesinya (kehilangan

kontrol, takut tidak bangun, mual pasca operasi, kebingungan, kesakitan,

lumpuh/parese, dan pusing). Dokter anestesi dapat membantu mengurangi rasa

takut ini dan menanamkan rasa percaya pasien dengan cara :

a. Wawancara yang kondusif dan tidak terburu-buru, dimana kita menunjukkan

pada pasien bahwa kita mengerti akan rasa takut dan rasa khawatir yang

dimilikinya.

24

Page 25: Refrat anestesiologi

b. Meyakinkan pasien bahwa kita akan bertemu dengannya lagi di ruang operasi.

Jika akan ada orang lain yang memasukkan anestetiknya, pasien harus

disarankan dan diyakinkan bahwa semua kekhawatiran dan kebutuhannya

telah disiapkan penanganannya.

c. Menginformasikan pasien akan hal-hal yang akan dialaminya pada masa

preoperasi, termasuk didalamnya :

- waktu saat pasien harus puasa makan & minum

- waktu yang diperlukan untuk operasi

- kebutuhan akan premedikasi sedative dan obat-obat yang harus dilanjutkan

seperti biasa pada hari-hari berikutnya.

- area kerja induksi yang akan dilakukan pada hari operasi (cth¸penempatan

IV atau kateter arterial, adanya alat monitoring yang akan digunakan,

kateter epidural) dengan kepastian obat penenang dan tambahan analgesik

IV akan disediakan bila diperlukan selama operasi. Pemulihan post

operative harus selalu diamati.

( Long, TJ.1993)

2. Persiapan Farmakologis (obat-obatan)

Persiapan farmakologis diberikan berdasarkan kondisi psikologis dan status fisik

pasien yang telah ditetapkan setelah kunjungan preoperative. Dalam memilih obat-

obat farmakologis yang akan digunakan, ahli anestesi harus mengetahui table 2-1 :

Table 2-1 .Determinant of Drug Choice and Dose

Patient age and weight

ASA Physical Status Classification

Level of anxiety

Tolerance for depressant drugs

Prior adverse experiences with premedication

Drug allergies

Elective versus emergency surgery

Inpatient versus outpatient

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266,table21-3;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi; http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-

pre-mediaksi.html).

25

Page 26: Refrat anestesiologi

tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian farmakologis sebelum operasi adalah :

table 2-2

Table 2-2 Goals for Pharmacologic Premedication

Anxiety relief

Sedation

Amnesia

Analgesia

Drying of airway secretions (antisialagogue effect)

Prevention of autonomic nervous system responses

Decrease gastric fluid volume and increase gastric fluid

pH

Antiemetic effect

Decrease in anesthetic requirements

Facilitate induction of anesthesia

Prophylaxis against allergic reactions

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265,table21-2;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi)

Obat-obat persiapan farmakologis antara lain :

a. Sedasi, hipnotis dan penenang

1. Benzodiazepin (diazepam, midazolam dan lorazepam)

Golongan obat ini merupakan paling populer untuk pengobatan

preoperative. Obat ini digunakan untuk sedasi, mengurangi rasa cemas

dan amnesia retrogard, dan juga diberikan untuk mengurangi mimpi

buruk dan delirium setelah pemberian ketamin. Kerja benzodiazepine

pada reseptor otak yang spesifik (γ aminobutyric acid) yang berefek sedikit

mendepresi pernapasan atau kardiovaskular pada dosis premedikasi. Umunya

benzodiazepin diberikan per oral karena absorbsinya baik. Yang termasuk

golongan benzodiazepin adalah diazepam, midazolam dan lorazepam.

(Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikas

i;http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-

mediaksi.html)

Diazepam merupakan obat standar terhadap benzodiazepine lainnya.

Tidak larut air dan harus berdisosiasi terhadap pelarut organic (propylene,

26

Page 27: Refrat anestesiologi

glycol, sodium benzoat). Pemberian diazepam secara oral dengan 150cc air

lebih disukai daripada pemberian injeksi intramuskuler. Lebih dari 90

persen dosis oral diazepam cepat diserap. Efek puncak dapat terjadi

setelah pemberian oral dalam waktu 0,5-1 jam pada orang dewasa dan 15-

30 menit pada anak-anak..Diazepam tidak melewati membran pasenta, dengan

level konsentrasi pada bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena

diazepam terikat kuat dengan protein, maka pasien dengan albumin yang rendah,

seperti pada sirosis hepatis atau gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan

efek dari obat. Kerugian obat ini sakit pada tempat penyuntikan i.m dan i.v dan

phlebitis pada i.v. Waktu paruh 21-37 jam pada orang normal. Dosis i.v 10mg

pada orang dewasa, 0,2-0,5 mg/kgBB pada anak-anak. (Handbook of Clinical

Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page265;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikas

i;http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-

mediaksi.html)

Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada

penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-

bahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan

metabolisme cepat. Midazolam 2 sampai 3 kali lebih poten daripada

diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepin. Dosis

biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 0,1 mg/kgBB pada

intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam.

Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak

muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5

mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Penggunaan midazolam harus

dalam pengawasan ketat karena kemungkinan terjadi depresi pernapasan.

Pada anak-anak pemberian oral lebih disukai. (Handbook of Clinical

Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikas

i;http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-

mediaksi.html).

Lorazepam 5-10 kali lebih baik dari diazepam. Lorazepam tidak larut

dalam air dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene glycol atau

27

Page 28: Refrat anestesiologi

propylene glycol. Tidak sakit pada tempat penyuntikan dan tidak ada

phlebitis. Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan intramuskuler.

Efek maksimal muncul 30-40 menit setelah injeksi intravena. Konsentrasi

puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam setelah masuknya

obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan

dengan baik sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk

efektif sebelum pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat

diberikan secara sublingual dengan dosis 25-50 g/kg. Dosis untuk

dewasa tidak boleh melebihi 4,0 mg, amnesia antegrad dapat dihasilkan

selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih tinggi menghasilkan

sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak amnesia. Kerena

onset yang lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna dengan cepat

dimana diinginkan bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan rawat

inap.(Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267

;http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

2. Barbiturat (secobarbital dan pentobarbital)

Penggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative telah digantikan pada

berbagai hal oleh benzodiazepine. Obat ini digunakan secara primer untuk

efek sedatifnya. Barbiturat dapat diberikan oral juga parenteral, dan obat-

obatan relatif tidak mahal. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat

menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal, depresi

sirkulasi minimal dan tidak menimbulakn efek mual dan muntah. Obat ini

efektif bila diberikan peroral. Kerugian penggunaan barbiturate termasuk

tidak adanya efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien

yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan

kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.

Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200 mg

ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit

setelah masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih.

Tentunya, meskipun secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai

kerja pendek barbiturat, ini dapat menunjukkan kerja selama 10-22 jam.

28

Page 29: Refrat anestesiologi

Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral

digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki

biotransformasi waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya

tidak sering cocok untuk prosedur singkat. (Handbook of Clinical

Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-

mediaksi.html; http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

3. Butyrophenones

Dosis intravena atau intramuscular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan

keadaan sedasi pada pasien sebelum operasi. Keuntungan sangat besar

dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetic yang sangat kuat, dan

bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk

digunakan pada pasien – pasien dengan resiko tinggi, misal pada operasi

mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Kerugiannya

kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan

dysphoria (pasien merasa takut mati) sehingga menolak untuk dioperasi.

Droperidol juga mempunyai efek block terhadap dopaminergik reseptor

sehingga dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada pasien yang

normal. Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang

ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Pada

pasien dengan riwayat alergi atau rhinitis vasomotorika sebaiknya

penggunaan obat ini dihindari. (Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2009/01/obat-pre-

mediaksi.html; http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

4. Obat-obat Sedatif Lain

Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine yang memiliki

aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Hydroxyzine merupakan antihistamin

dan antiemetic, memiliki bahan analgesic namun tidak menghasilkan

amnesia. Biasanya diberikan untuk menambah efek pada opioid.

Diphenhydramine merupakan reseptor histamin antagonis dengan aktifitas

sedatif dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan

bertahan 3-6 jam pada dewasa. Diphenhydramine menghambat reseptor

histamin untuk mencegah efek histamin perifer.

29

Page 30: Refrat anestesiologi

Phenothiazine (promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya

digunakan dalam kombinasi dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan

sedatif, antikolinergik, dan antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek

analgesik opiod, telah digunakan untuk medikasi preoperatif.

(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

b. Analgetik

Opioid

Opioid digunakan ketika analgesi dibutuhkan sebelum operasi. Untuk

pasien yang mengalami nyeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan

analgesia yang baik dan bahkan euphoria. Opioid digunakan sebelum

operasi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dapat muncul selama

anestesi regional atau insersi invasive kateter monitor atau jalur intravena

yang besar. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan ventilasi

selama nafas spontan dan menurunkan masuknya obat-obat inhalasi. Jika

dibutuhkan, ahli anestesi dapat menggunakan ventilasi bantuan atau

terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan efek depresi respirasi dari

opioid. Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik untuk meredakan

apprehensi, menghasilkan sedasi, atau mencegah ingatan kembali.

Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa

efek samping table 2-3. (Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Table 2-3 Side Effects of Opioids as Used for Pharmacologic Premedication

Depression of ventilation

Nausea and vomiting

Orthotastic hypotension

Delayed gastric emptying

Pruritus

Choledochoduodenal sphincter spasme

(dikutip dari :Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267,table21-5;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi intramuskuler. Onset

efeknya muncul dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam 45-90

30

Page 31: Refrat anestesiologi

menit dan bertahan selama 4 jam. Setelah masuknya intravena, efek

puncak biasanya muncul dalam 20 menit. Dengan opioid lain, depresi

ventilasi dan hipotensi orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin.

Mual dan muntah dapat muncul sebagai komponen vestibuler. Setelah

masuknya morfin, motilitas traktus gastrointestinal menurun, sekresi

gastrointestinal meningkat. (Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Meperidin memiliki efek poten sepersepuluh dari morfin. Meperidin dapat

diberikan secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal dari meperidin

biasanya berlangsung 2-4 jam. Onset setelah pemberian intramuskular

sulit diprediksi dan terdapat variasi waktu dalam mencapai efek puncak.

Meperidin secara primer dimetabolisme di hepar. Peningkatan detak

jantung dan hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pemberian meperidin.

(Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

c. Volume dan PH Cairan Lambung

Banyak pasien yang datang ke kamar operasi dengan resiko aspirasi

pneumonitis. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus

hernia atau reflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi

isi gaster dan subsequent chemical pneumonitis. Maka dari itu pentingnya

puasa sebelum dilakukan induksi anestesi pada operasi elektif. Pedoman

untuk praktek puasa untuk mengurai resiko aspirasi pulmonal :

REKOMENDASI PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI PULMONAL (The American Society of Anesthesiologists tahun 1998)Jenis Minuman Waktu Puasa Minimal (untuk semua umur)

- Air putih* 2 jam

- ASI 4 jam

- Makanan bayi 6 jam

- Susu formula 6 jam

- Makanan berat 6 jam

31

Page 32: Refrat anestesiologi

Dilakukan pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif dan

tidak dianjurkan untuk wanita bersalin. Mengikuti pedoman tidak

menjamin pengosongan gaster secara komplit.

*Termasuk air putih, jus buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi

hitam.(Handbook of Clinical Anesthesia by

Paul.G,Barash,1997,chapter21,page267;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Obat-obatan yang digunakan untuk mengurangi volume cairan lambung dan

meningkatkan PH lambung adalah tabel 2-4 dan faktor-faktor yang dapat

menghambat pengosongan lambung tabel 2-5.

Table 2-4 Drugs Used to Decrease Gastric Fluid Volume and Increase Gastric Fluid PH

Anticholinergics (do not reliably increase gastric fluid pH at clinical doses and may

relax the lower esophageal sphincter, making gastroesophageal reflux more likely)

H-2 receptor antagonists (not 100% effective in increasing gastric fluid pH)

o Cimetidine (inhibits mixed-function oxidase enzyme systems and decreases

hepatic blood flow, which may prolong the elimination half-time of some drugs)

o Ranitidine (more potent and longer lasting than cimetidine)

o Famotidine (longest duration of action of all H-2 antagonists)

Antacids (nonparticulate antacids recommended to decrease the risk of pulmonary

reaction if antacid inhaled; in contrast to H-2 antagonist, there is no lag tome before

gastric fluid pH is increased)

Omeprazole (increases gastric fluid pH by blocking secretion of hydrogen ions by

parietal cells)

Gastrokinetic agents

o Metoclopramide (onset 30-60 minutes after oral administration and 3-5 minutes

after i.v administration; gastric emptying effects may be offset by opioids,

anticholinergics, or antacids)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page268,table21-6;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Table 2-5 Factors that May Delay Gastric Emptying

Opioids - Trauma

Pregnancy - Pain

Obesity - Anxiety

Diabetes mellitus

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page268,table21-7)

32

Page 33: Refrat anestesiologi

d. Antiemetik

Faktor resiko yang diprediksi mengalami mual muntah postoperasi adalah

perempuan, riwayat motion sickness atau mual post operasi, tidak merokok,

dan menggunakan opioid postoperasi. Bila didapatkan 2 atau lebih para

peneliti mengusulkan pemberian antiemetik profilaktis saat menggunakan

anestesi volatile, sebaiknya diberikan intravena pada sesaat sebelum

operasi.selesai. Yang termasuk antiemetic adalah droperidol,

metoklopramide, dan ondansetron,

(http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

e. Antikolinergik

Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi inhalasi, diproduksinya

sekret yang berlebihan oleh saluran nafas dan pada bahaya bradikardi

intraoperatif. Indikasi khusus antikolinergik sebelum operasi tabel2-6.

Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan mengurangi sekresi

cairan lambung, namun tidak disetujui penggunaannya pada preoperatif.

Table 2-6 Indication for Anticholinergics

Antisialagogue effect (not necessary when regional anesthesia planned)

Sedation and amnesia (decrease doses in eldery patients; scopolamine most

effective)

Vagolytic action (i.m administration not as effective as i.v injection just

before the anticipated vagal stimulus)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page270,table21-10)

33

Page 34: Refrat anestesiologi

Efek samping dari antikolinergik pada tabel 2-7.

Table 2-7 Side Effects of Anticholinergic Drugs

Central nervous system toxicity (restlessness and confusion especially in

eldery patients; unlikely with glycopyrrolate because it crosses the brain

barrier minimally)

Relaxation of the lower esophageal sphincter (may not be clinically

significant)

Mydriasis and cycloplegia (continue miotic eye drops in patients with

glaucoma)

Increased physiologic dead space

Drying of airway secretions

Interfence with sweating (an important consideration in febrile patient,

especially children)

Increased heart rate (unlikely afteri.m administration)

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page270,table21-11)

Yang termasuk antikolinergik adalah atropine, scopolamine, glycopyrrolate.

Perbandingan efek antikolinergik pada tabel 2-8.

Table 2-8 Comparative Effects of Anticholinergics i.v

Atropine Scopolamine Glycopyrrolate

Antisialagogue

effect

+ +++ ++

Sedative and

amnesic effect

+ +++ 0

Central nervous

system toxicity

+ ++ 0

Relazation of

gastroesophageal

sphincter

++ ++ ++

Mydriasis and

cycloplegia

+ ++ 0

Increase heart

rate

+++ + ++

34

Page 35: Refrat anestesiologi

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page269,table21-9;

http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi).

Dosis obat-obat persiapan farmakologis terdapat pada tabel 2-9 :

Table 2-9 Drug Used for Pharmacologic Premedication

Drug Route of Administration Adult dose (mg)

Diazepam

Lorazepam

Midazolam

Secobarbital or pentobarbital

Morphine

Meperidine

Promethazine

Diphenhydramine

Cimetidine

Ranitidine

Famotidine

Metoclopramide

Atropine or scopolamine

Glycopyrrolate

Antacids

Oral

Oral, i.m

Oral (children)

i.m

i.v

Oral, i.m

i.m

i.m

i.m

Oral, i.m

Oral, i.m, i.v

Oral

Oral

Oral, i.m, i.v

i.m, i.v

i.m, i.v

Oral

5-20

1-4

0,5 mg/kg

3-5

1-2.5

50-200

5-15

50-150

25-50

25-75

150-300

50-200

20-40

5-20

0,3-0,6

0,1-0,3

10-30 ml

(dikutip dari Handbook of Clinical Anesthesia by Paul.G,Barash,1997,chapter21,page266,table21-3)

35

Page 36: Refrat anestesiologi

KESIMPULAN

Sebelum dilakukannya anestesi dalam setiap tindakan operasi sebaiknya dokter

spesialis anestesiologi melakukan evaluasi atau penilaian dan persiapan pra anestesi pada

pasien-pasien yang akan melakukan tindakan operasi.

Evaluasi pra anestesi memiliki tujuan yang spesifik, diantaranya mengetahui riwayat

penyakit sebelumnya, membina hubungan antara dokter dan pasien, menyusun strategi

manajemen untuk perawatan perioperatif anestesi, dan memperoleh persetujuan (inform

consent) untuk rencana anestesi. Sedangkan tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk

mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan.

Selain itu perlu diperhatikan pertimbangan-pertimbangan anestesi seperti anamnesa

pasien, mengetahui riwayat pasien sangatlah penting, yang termasuk riwayat adalah indikasi

prosedur operasi, informasi mengenai anestesi sebelumnya, dan pengobatan saat ini.

Pemeriksaan fisik pasien yang harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati tapi focus,

perhatian ekstra ditujukan untuk evaluasi terhadap jalan napas, jantung, paru, dan

pemeriksaan neurologi dan juga dilakukan evaluasi resiko perdarahan dan thrombosis serta

evaluasi jalan nafas (mallampati). Pemeriksaan umum seperti tanda vital, kepala dan leher,

precordium, paru-paru, abdomen, ektremitas, punggung dan neurologi. Pemeriksaan

penunjang juga dilakukan jika ada indikasi tertentu yang didapatkan dari anamnesa dan

pemeriksaan fisik. Setelah itu baru dilakukan pengklasifikasian status fisik pasien

menggunakan ASA (American Society of Anaesthesiologist) yang merupakan klasifikasi yang

lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.

Setelah pertimbangan-pertimbangan anestesi, perlu dipersiapkan juga premedikasi

yang akan digunakan untuk pasien. Premedikasi dibagi dua yaitu persiapan psikologis (fisik)

yang meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien dan keluarganya dan

persiapan farmakologis (obat-obatan) yang diberikan berdasarkan kondisi psikologis dan

status fisik pasien yang telah ditetapkan setelah kunjungan preoperative. Tujuan dari

premedikasi adalah meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,

36

Page 37: Refrat anestesiologi

mengurai sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik,

mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan

lambung, mengurangi reflek yang membahayakan. Hasil akhir yang diharapkan dari

pemberian premedikasi adalah sedasi dari pasien tanpa disertai depresi pernapasan dan

sirkulasi.

37