Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

download Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

If you can't read please download the document

Transcript of Reformasi Pendidikan Di Indonesia Pada Awal Abad Dua Puluh

Reformasi pendidikan di Indonesia pada awal abad dua puluh

Reformasi pendidikan di Indonesia pada awal abad dua puluh

Universitas Melbourne, Australia

Artikel ini menguji reformasi pendidikan yang telah terjadi di Indonesia yang disertai perubahan social politik dengan ditandai oleh jatuhnya rezim Suharto. Warganegera yang demokratis saat ini secara eksplisit menginginkan Undang-undang Pendidikan tahun 2003. sebagaimana kebijakan desentralisasi dalam pemerintahan yang telah terlaksana, otonomi pendidikan berdampak pada beberapa konsekuensi reformasi. Manajemen berbasis sekolah telah dipilih sebagai sebuah paradigma beru dalam manajemen sekolah, sedangkan kurikulum baru terfokus pada prinsip berbasis kompetensi dan perkembangan berbasis sekolah. Bagaimanapun, hambatan juga muncul termasuk kondisi budaya dan ekonomi yang secara potensial menghambat kesuksesan implementasi reformasi ini, jika tidak diperhatikan secara hati-hati dan tepat.

PENDAHULUAN

Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 di Indonesia, banyak perubahan sedang ataupun telah terjadi. Dalam istilah kebijakan, batasan terhadap dua periode pemilihan presiden, pemilihan langsung, dan implementasi kebijakan otonomi merupakan diantara reformasi yang penting. Perubahan ini berdampak pada pendidikan. Bagaimanapun, informasi mengenai beberapa perubahan dan pengaruhnya di Indonesia, ditulis dalam artikel-artikel ilmiah dan dapat diakses secara internasional, sangat sulit ditemukan. Oleh karena itu, artikel ini merupakan sebuah cara untuk mengurangi kurangnya informasi melalui pengujian reformasi pendidikan di Indonesia seputar awal abad dua puluh dan menghadirkan informasi tersebut bagi pembaca internasional. Bagian pertama menggambarkan perubahan tujuan pendidikan di Indonesia, mengambil laporan Undang-undang Pendidikan tahun 2003. Bagian kedua menguji reformasi manajemen pendidikan baru-baru ini mengikuti implementasi Undang-undang Otonomi Regional tahun 1999. Reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (SBM) sebagai sebuah paradigma manajemen baru di sekolah. Bagian ketiga mengulas reformasi kurikulum sekolah yang saat ini terfokus pada pendekatan berbasis kompetensi dalam proses pengajaran dan pendekatan berbasis sekolah dalam pengembangannya. Yang terakhir, artikel ini mengulas beberapa tantangan yang menghambat kesuksesan pelaksanaan reformasi tersebut, jika tidak ditangani dengan tepat.

TUJUAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Seiring perubahan social-politik, Undang-undang terkait dengan sistem pendidikan nasional Indonesia telah diisukan beberapa kali setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai saat baru-baru ini, termasuk pada tahun 1950, 1956, 1989 (Poerbakawatja, 1970; Tilaar, 1995) dan pada tahun 2003. Undang-undang tahun 2003 (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia atau INESA) menjadi sangat penting sejak Indonesia mengalami perubahan yang sangat dramatis utamanya dalam sistem politik dengan perubahan dari otorisasi menjadi demokrasi, yang dimulai setelah jatuhnya Soeharto atau rezim Orde Baru pada tahun 1998. Sistem pemerintahan juga berubah, dari sentralistis menjadi desentralistis, atau apa yang terkenal dengan istilah otonomi yang lebih luas yang memiliki arti otonomi lebih luas (Jalal & Supriadi, 2001).

Sebagaimana dinyatakan dalam INESA 2003, pendidikan nasional ditujukan pada pengembangan setiap kemmapuan siswa untuk menjadi orang yang percaya diri dan beriman pada Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki moral baik, kesehatan baik, pengetahuan, intelejensi, kreativitas, kebebasan dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab [terjemahan saya] (Departemen Pendidikan Nasional, edisi 2003, 2 artikel 2). Terdapat penekanan dalam Undang-undang tersebut terhadap nilai keagamaan dan moral, kemampuan intelektual, nilai-nilai demokratis.

Walaupun Indonesia bukanlah Negara theokratis, orang-orang menganggap agama sebagai salah satu pertimbangan penting dalam aktivitas-aktivitas mereka. Malahan, UUD (Undang-Undang Negara) 1945 menekankan bahwa setiap warga Negara harus menganut pada sebuah agama (Menteri Agama (MPR), 2003). Saat ini terdapat setidaknya lima Negara yang secara formal diakui oleh pemerintah Indonesia, yang utama yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa agama memiliki peran penting dalam mempengaruhi aturan pada hampir setiap aspek kehidupan di Indonesia termasuk pendidikan (Novera, 2004). Nilai-nilai agama menjadi salah satu standard dan tujuan pendidikan. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi bagian yang menyatu dengan kepribadian siswa, dan termanifestasi dalam moralitas mereka (Tilaar, 1999). Tujuan keagamaan dan moral ini telah diulang secara eksplisit dalam setiap Undang-undang Pendidikan Indonesia (Poerbakawatja, 1970; Tilaar, 1995),walaupun terdapat kekhawatiran terus menerus bahwa tujuan-tujuan tersebut masih belum dapat dicapai (Adimassana, 2000; Sudarminta, 2000).

Sebagaimana pendidikan yang dapat berkembang menjadi tujuan kognitif, psikomotor, dan afektif (Bloom, 1956), menjalankan moralitas keagamaan tidaklah cukup bagi anak untuk dapat bertahan hidup dalam era persaingan ini. Ada tanda-tanda yang diperlukan seperti kemampuan dasar dan kemampuan kehidupan (Bailin, Case, Coombs, & Daniels, 1999; Blank, 1982; Bloom, 1956; Cameron, 1986; Campbell, 1996; Metais, 1999). Bagaimanapun, sebagaimana yang dinyatakan secara kritis oleh Muhaimin, Sutiah, dan Ali (2001) serta Darmangingtyas (2004), bahwa sistem pendidikan Indonesia juga menekankan pencapaian kognitif siswa. Pengetahuan yang diajarkan dan yang dimiliki oleh siswa terpisah dari aplikasinya (Darmaningtyas, 2004). Tujuan pembelajaran nampaknya diformulasikan agar siswa dapat mencapai target isi kurikulum tertentu tanpa perhatian yang cukup yang diberikan pada isu bagaimana mempelajari pengetahuan yang dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata (Joni, 2000). Konsekuensinya, beberapa lulusan sekolah tidak dapat berperan aktif dalam masyarakat dan dapat bertahan hidup pada satu waktu manakala terjadi perubahan dan persaingan yang umum (Darmaningtyas, 2004; Joni, 2000; Tilaar, 1999).

Setelah jatuhnya Soeharto atau rezim Orde baru, Indoensia menjalani perubahan yang dramatis, utamanya dalam sistem politik, sebagaimana perubahan dari sistem otoritas menjadi demokrasi. Hal ini memberikan dampak besar bagi pendidikan, seperti pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan (Jalal & Supriadi, 2001). Para siswa perlu mendapatkan nilai-nilai demokratis dan praktek, sebagaimana yang diindikasikan dalam INESA 2003). Hochschild dan Scovronick (2002) menyatakan bahwa sekolah memiliki tempat penting untuk mendidik anak agar menjadi warga Negara yang demokratis, yang memberikan kontribusi terhadap pembentukan dan penopang Negara demokrasi. Azra (2002) menyatakan bahwa sistem pemerintahan demokratis menjadi trend yang tidak dapat dicegah lagi manakala lengsernya rezim Soeharto, baik karena kebutuhan global ataupun kebutuhan local. Jadi, sebuah tahapanpenting bagi Indonesia telah tercapai dalam phrase warga Negara yang demokratis (warga Negara demokratis) yang secara eksplisit terdapat dalam Undang-undang 2003, dan tidak ada dalam Undang-undang 1989, sebagai salah satu dari tujuan pendidikan.

Terdapat tiga aspek tujuan yang harus menyatu dalam kepribadian anak-anak Indonesia. Yakni mereka diharapkan memiliki kepribadian yang agamis dan praktek serta nilai moral, memiliki intelejensi, memiliki kemampuan dalam kehidupan, menjadi demokratis, dan bertanggung jawab terhadap bangsa. Tujuan ini tentunya memiliki implikasi penting untuk bagian-bagian sistem pendidikan nasional yang lain, utamanya manajemen dan kurikulum.

REFORMASI MANAJEMEN SEKOLAH

Sebagaimana digambarkan di muka, reformasi politik saat ini ditandai dengan permulaan jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998, yang memiliki pengaruh besar terhadap pendidikan. Kebijakan desentraslisasi dalam pemerintahan Negara secara signifikan mempengaruhi manajemen pendidikan dan kurikulum. Sebagai dampaknya, pada tahun 1999, Manajemen Berbasis Sekolah atau Manajemen Berbasis sekolah (SBM) telah dikenalkan untuk mengurangi dominasi kekuasaan pusat (Jakarta) yang berlebihan pada hampir semua aspek sekolah.

Menurut Laporan Bank Dunia pada tahun 1998, Indonesia memiliki manajemen yang sangat terpusat sampai pada pendidikan hingga tahun 1999 (Bank Dunia, 1998). Kekuasaan pendidikan terpusat ditentukan hampir pada semua aspek sekolah, sedangkan kekuasaan subordinate (pejabat pada tingkat propinsi dan kabupaten) hanya untuk menjalankan kebijakan pusat tersebut. Konsekuensinya, sebagaimana disimpulkan oleh Bank Dunia, terdapat aturan institusional yang kurang efektif dalam sistem pendidikan Indonesia. Aturan yang kurang efektifg ini berdampak pada beberapa tekanan mayor:

Pembagian tanggung jawab untuk menghantarkan pendidikan primer diantara agen-agen pemerintah yang bermacam-macam serta menteri yang dapat berdampak pada kurangnya tanggung jawab terhadap hasil;Manajemen yang sangat terpusat pada tingkat sekunder yunior;Otonomi kecil untuk kepala sekolah dan manajer tingkat yang lebih rendah, mengarah pada manajemen sekolah yang kurang efektif;Proses anggaran belanja yang kaku dan terbagi-bagi; danStruktur insentif layanan masyarakat sipil yang kurang memberikan upah baik untuk praktek pengajaran dan mengarah pada alokasi guru-guru yang tidak merata di sekolah-sekolah (Jiyono dan kawan-kawan., 2001; Bank Dunia, 1998).

Sesuai dengan manajemen terpusat, sebagaimana dinyatakan oleh Umaedi (2001) dan Jalal serta Supriadi (2001), manajemen pendidikan Indonesia memiliki orientasi makro yang sangat besar. Tilaar (1999) menerangkan bahwa kebijakan mengenai uruan sekolah diisukan berdasarkan analisa pendidikan makro. Bjork (2003) dan Tilaar menyetujui (1999) bahwa kebijakan berdasarkan studi kasus sangat sulit ditemukan. Konsekuensinya, kebutuhan-kebutuhan sekolah tertentu yang berbeda-beda tidak diarahkan berbasis individual. Semua sekolah menerima perlakuan yang sama.

Melalui Undang-undang No.22/1999 mengenai Otonomi Daerah (Otonomi Regional) bahwa desentralisasi yang besar dari kebijakan dan manajemen Negara telah terjadi. Menurut Jalal dan Supriadi (2001, hal. 124-5), tujuan desentralisasi yaitu:

mengurangi beban pemerintah pusat dan intervensinya terhadap masalah-masalah local;memperbaiki pemahaman masyarakat dan dukungan mereka untuk perkembangan social dan ekonomi;perencanaan program yang lebih baik dalam hal memperbaiki social dan ekonomi pada tingkat local;melatih orang untuk mengatur masalah-masalah mereka sendiri; danmemperkuat persatuan nasional.

Dalam bidang pendidikan, kebijakan desentralisasi tidak hanya menjadi sebuah masalah nasional, namun juga gerakan global. Bjork (2003) menjelaskan bahwa organisasi pendanaan internasional pada beberapa tahun terakhir telah menyediakan sejumlah besar uang untuk promosi sistem pendidikan desentralisasi di seluruh dunia. Pendukung dari pendekatan ini berargumen bahwa desentralisasi berdampak pada satu atau beberapa akibat berikut: (a) redistribusi kekuasaan, (b) peningkatan efisiensi, atau (c) sensitivitas yang lebih besar terhadap budaya local (Bjork, 2003). Tiga hasil ini sesuai dengan masalah-masalah bahwa Indonesia telah menghadapi manajemen dan pemusatan yang tumpang tindih, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Karena itu desentralisasi pendidikan menjadi salah satu dari perhatian penting yang berkembang setelah rezim Orde Baru yang ditandai, sebagai contoh, dengan Undang-undang No. 28/1990 (Jalal & Supriadi, 2001; Tilaar, 1999), tidak ada perubahan yang serius pada awal tahun 1990an terkait dengan hal tersebut. Kritik terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut dan keputusan-keputusan terkait termasuk kurangnya politik yang mengimplementasikan desentralisasi, serta skope masalah desentralisasi yang terbatas, hanya tertutupi pada perkembangan dan pemeliharaan fisik sekolah saja (Jalal & Supriadi, 2001). Hal ini tidak menyentuh pada aspek pendidikan yang sangat mendasar, seperti kurikulum dan intruksi, serta masalah-masalah manajerial, seperti anggaran belanja dan perekrutan pengajar serta staf lainnya.

Bagaimanapun, kebijakan desentralisasi yang ada saat ini dalam bidang pendidikan secara signifikan ditandai dengan pengenalan Manajemen Berbasis Sekolah (SBM) untuk sekolah-sekolah primer dan Sekunder pada tahun 1999 (Jalal & Supriadi, 2001; Umaedi, 2001). Pengenalan ini merupakan salah satu cara pengimplementasian kebijakan otonomi pendidikan yang dinyatakan dalam Undang-undang No. 22/1999. Hal ini juga sesuai dengan perspektif global bahwa SBM saat ini menjadi sebuah fenomena umum, dipercaya memberikan harapapan untuk perbaikan sekolah secara keseluruhan. Pendukung dari pendekatan ini telah berargumen bahwa dalam sekolah-sekolah SBM, dimana struktur dan budaya demokratis didukung, perbaikan dalam semua aspek sekolah menjadi lebih mungkin dan mudah dikerjakan (Caldwell & Spinks, 1998; Cheng, 1996; Everard & Morris, 1996; Gamage, Sipple, & Patridge, 1996; Mohrman, Wohlstetter, & Associate, 1994; Wohlstetter, Van Kirk, Robertson, & Mohrman, 1997).

Umaedi, mantan Direktur Pendidikan Sekunder dari Menteri Pendidikan Nasional (MNE) menyatakan bahwa SBM di Indonesia telah diimplementasikan untuk meningkatkan kualitas sekolah (Umaedi, 2001). Oleh karena itu, beberap afungsi harus didesentralisasi dengan sekolah-sekolah tunggal yang mendukung pencapaian harapan dimana mereka memiliki bagian terbesar terhadap tanggung jawab dan kemampuan mengerjakannya. Untuk mengembangkan beberapa fungsi termasuk proses-proses pembelajaran dan pengajaran, prencanaan dan evaluasi program sekolah, pengembangan kurikulum, manajemen dan rekrutment staff, pemeliharaan sumberdaya dan fasilitas, manajemen keuangan, layanan siswa, partnership komunitas sekolah, dan perkembangan budaya sekolah (2001, hal. 22).

Dalam menterjemahkan rencana di atas, Jiyono dan kawan-kawan. (2001, hal. 161-3) melaporkan sebuah model untuk SBM Indonesia, yang memiliki lima komponen dasar manajemen, proses pengajaran dan pembelajaran, sumber daya manusia, sumberdaya dan administrasi, serta dewan sekolah.

Manajemen terfokus pada: (a) menyediakan manajemen dan kepemimpinan organisasi sekolah, (b) mengembangkan perencanaan dan kebijakan sekolah, (c) mengatur operasi sekolah, (d) menjamin pelaksanaan komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat, (e) mendukung partisipasi komunitas, dan (f) memelihara tanggung jawab sekolah. Proses pengajaran dan pembelajaran yang berfungsi untuk (a) meningkatkan pembelajaran siswa, (b) mengembangkan program pembelajaran yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan siswa, (c) menawarkan intruksi yang efektif, dan (d) menyediakan bagi siswa program pengembangan kepribadian. Sumber Daya Manusia berfungsi untuk (a) mendistribusikan dan menempatkan staff dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan siswa, (b) memilih staff dengan pengetahuan SBM, (c) mendukung perkembangan profesional yang berlanjut, (d) menjamin kemakmuran para staff dan siswa dan (e) mendukung proses diskusi sekolah. Sumberdaya dan administrasi berfungsi untuk (a) mengidentifikasi dan mengalokasikan sumber daya yang tersedia sesuai dengan kebutuhan, (b) mengatur pendanaan sekolah, (c) menyediakan dukungan administrasi, dan (d) menyediakan pemeliharaan bangunan. Komite Sekolah, terdiri dari para partisipan pimpinan masyarakat yang aktif, para profesional, para kepala sekolah, perwakilan pengajar, perwakilan dari pejabat pendidikan wilayah, dan perwakilan orang tua, yang bertanggung jawab untuk memilih dasar-dasar, mengumpulkan dana, mengontrol pendanaan sekolah yang bersumber dari masyarakat, memblokir dana, pendanaan pemerintah pusat (kecuali gaji), dan terkait dengan perkembangan kurikulum.

Agar setiap komponen diatas berfungsi dengan baik, Jiyono dan kawan-kawan (2001) membuat dua persyaratan. (1) Dana harus dialokasikan dan secara langsung diberikan kepada sekolah, berkebalikan dengan tradisi lama dimana dana diberikan pada sekolah melalui jalur birokrasi yang panjang. (2) Staff yang memiliki skil SBM harus tersedia pertama kali untuk mendukung dan menjamin pelaksanaan yang efektif. Sekali lagi dua persyaratan tersebut harus dipenuhi, menurut Jiyono dan kawan-kawan. (2001), pelaksanaan SBM di Indonesia masih dalam garis yang benar. Sayangnya, sampai sekarang para peneliti tidak ditemukan dari literature yang dapat diakses, lebih jauh mengenai fakta-fakta yang didasarkan pada penelitain mengenai bagaimana SBM dapat dijalankan.

Beberapa kepala sekolah yang ikut serta dalam workshop SMB meakukan Pendidikan Berbasis Manajemen (MBE) telah mendefinisikan karakteristik penting bagi SBM Indonesia. Sedangkan karakteristik ini malahan tidak tergambarkan dari fenomena actual SBM Indonesia melalui sebuah penelitian ilmiah, yang menunjukkan pemahaman dan harapan kepala sekolah dari SBM. Karakteristik tersebut sebagai berikut:

Visi dan misi sekolah dirumuskan oleh kepala sekolah, para guru, perwakilan siswa, alumni sekolah dan para stakeholder lain. Perencanaan pengembangan sekolah didasarkan pada visi dan misi tersebut. Rencana anggaran belanja sekolah berpedoman pada rencana pengembangan sekolah, yang dikembangkan secara jelas oleh kepala sekolah, para guru dan komite sekolah. Otonomi sekolah dapat terealisasi, sebagaimana ditunjukkan oleh sekolah yang menjadi lebih mendorong diri sendiri serta terfokus pada pemenuhan kebutuhan local.Berpartisipasi dan pembuatan keputusan yang demokratisSekolah terbuka untuk mendapat kritikan, masukan dan saran dari seseorang guna meningkatkan programnya. Setiap orang di sekolah dipersilahkan mengajukan visi dan misi yang disetujui. Semua kekuatan stakeholder sekolah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. Bekerja dengan atmosfer yang kondusif untuk meningkatkan kemampuan sekolah. Terdapat kemampuan untuk membuat rasa bangga diantara staff dan komunitas local. Terdapat transparansi dan tanggung jawab public dalam mengimplementasikan semua aktivitas (Proyek Pendidikan Berbasis Manajemen (MBE)).

Karakteristik ini mengindikasikan beberapa masalah mendasar SBM termasuk: (a) struktur pemerintahan di sekolah, (b) otonomi sekolah, (c) pembuatan keputusan bersama, (d) kurikulum sekolah, (e) manajemen dan kepemimpinan sekoah, dan (f) pengembangan professional staff. Bagaimanapun, karakteristik-karakteristik tersebut tidak terkonsep secaar sistematis. Rubiannoor (2003), dalam penelitiannya mengenai aturan-aturan kepala sekolah dalam menjalankan SBM di sekolah di Kalimantan Selatan, menyimpulkan bahwa kepala sekolah harus memahami aturan baru ini dalam pelaksanaan SBM: (a) mengembangkan visi dan misi sekolah, (b) membentuk strategi untuk peningkatan kualitas, dan (c) mengimplementasikan manajemen partisipatif. Bagaimanapun, sekolah tidak hanya pada tahap penyiapaan untuk pelaksanaan SBM, penaksiran yang lebih baik terhadap phase implementasi yang tidak dapat dilakukan. Dia juga menemukan bahwa sumber daya manusia seperti halnya staff dan pengajar siap secara kognitif, mental dan budaya untuk menghadapi berbagai masalah yang mungkin menghambat kesuksesan pelaksanaan program tersebut (Rubiannor, 2003, hal. 146-9).

REFORMASI KURIKULUM SEKOLAH

Menurut Mohrman dan kawan-kawan. (1994) dan Wohlstetter, Van Kirk, Robertson dan Mohrman (1997), SBM harus terlihat sebagai bagian rangkaian perubahan yang sangat sistemik, bukan sebagai inovasi yang terisolasi, karenanya bukan secara otomatis meningkatkan kemampuan sekolah dan siswa. Rangkaian perubahan sistemik dalam SBM sekolah mencakup pengenalan pengajaran dan pembelajaran dengan pendekatan baru. Dengan kata lain, reformasi structural melalui pelaksanaan SBM harus terjadi menyamping, dengan dan terhubung kuat pada reformasi kurikulum dan instruksi (Wohlstetter dan kawan-kawan., 1997).

Sesuai dengan argument di atas dan mengikuti implementasi SBM, Otoritas Pendidikan Indonesia memperkenalkan sebuah kurikulum baru: Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK: Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada tahun 2003. Kurikulum ini mulai diimplementasikan pada tahun 2004. Oleh karena itu, nama resmi untuk kurikulum ini yaitu Kurikulum 2004 (kurikulum tahun 2004). Menurut MNE, kurikulum baru ini menekankan pada kompetensi terstandarisasi dimana para siswa mencapai dan memiliki otoritas besar agar stakeholder sekolah ikut serta dalam pengembangan kurikulum. Kwartolo (2002) menjelaskan bahwa tujuan pelaksanaan Kurikulum 2004 ini yaitu untuk menghasilkan lulusan siswa yang memiliki kepribadian kuat, daya saing dan keterampilan bagus, agar dapat berkembang sukses dengan kualitas bagus dalam hal tenaga kerja ataupun dalam pendidikan tinggi, serta dapat berinteraksi dengan lingkungan social, budaya dan alam.

Perbandingan antara Kurikulum 2004 dan yang sebelumnya diulas oleh MNE (2003c), yang teringkas dalam Tabel 1. Perbandingan ini mengindikasikan, sebagaimana yang digambarkan Joni (2000), Sindhunata (2000), dan Jalal dan Supriadi (2001), dalam kurikulum sebelumnya yang berorientasi pada materi, isi padat dan pengembangannya terpusat.

MNE (2003b, hal 35 7) juga memberikan pedoman yang jelas untuk perkembangan dan manajemen kurikulum pada setiap tingkatan otoritas pusat dan local, sebagaimana sekolah. Otoritas pusat memainkan peran penting untuk memberikan layanan professional bagi pengembang kurikulum regional atau local, serta seminar dan workshop untuk peningkatan kualitas kurikulum. Otoritas propinsi berfungsi untuk menyediakan, mendukung, mengawasi dan mengontrol implementasi silabus dalam distrik. Sementara itu, otoritas distrik menyediakan dan mendukung perkembangan, evaluasi, perbaikan silabus. Selain itu juga membuat panduan bagi sekolah dalam mengembangkan silabus, membentuk sebuah tim pengembang silabus wilayah, membantu dan menganalisa silabus sekolah, dan mengawasi serta memonitor pengembangan dan implementasi silabus. Sekolah diharapkan mengembangkan silabus mereka sendiri, atau menggunakan silabus sekolah lain serta untuk secara aktif berkoordinasi dengan Wilayah guna mengembangkan silabus.

Tabel 1. Perbandingan kurikulum 1994 dan 2004

Kemiripan

Kurikulum 1994

Kurikulum 2004

Wajib belajar 9 tahunMenekankan pada kemampuan membaca, menulis dan fungsi-fungsi aritmatikaKonsep-konsep dan materi penting dalam setiap subyek untuk mencapai kompetensiKurikulum kandungan localAlokasi waktu belajar 45 menit dalam satu jam belajar pada setiap level sekolahWajib belajar 9 tahunMenekankan pada kemampuan membaca, menulis dan fungsi-fungsi aritmatikaKonsep-konsep dan materi penting dalam setiap subyek untuk mencapai kompetensiKurikulum kandungan local

Alokasi waktu belajar 45 menit dalam satu jam belajar pada setiap level sekolah

Perbedaan

TerpusatBerisi kompetensi yang tidak terstandarisasitidak ada aktivitas untuk memfamiliarkan siswa pada kandungan dan konseptidak ada ICTpenilaian dengan pilihan gandapendekatan thematic untuk siswa kelas 1 dan 2 dari sekolah dasar (hanya anjuran)tidak ada kompetensi berlanjuttidak ada perbedaan kurikulumsilabus dikembangkan melalui otoritas pendidikan local atau kebergantungan sekolah terhadap kebutuhan. DesentralisasiMengandung kompetensi terstandarisasiAktivitas yang terpadu dan terprogram untuk membuat siswa familier dengan isi dan konsepPengenalan ICTPenilaian berdasarkan ruang kelasPendekatan thematic untuk siswa kelas 1 dan 2 dari sekolah dasar (wajib)Stratifikasi kompetensi berlanjut dari grade 1 sampai 12 (tingkat sekolah)Perbedaan kurikulum: kurikulum khusus dan internasionalMemberikan kesempatan bagi para guru, sekolah dan otoritas local untuk elaborasi dan adaptasi program atau menganalisa materi.

Sebagaimana diindikasikan dalam Blank (1982, hal 3 6), prinsip-prinsip berdasarkan kompetensi tidak hanya berhubungan dengan kurikulum dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan memilih kandungan yang berorientasi pada kompetensi, namun juga terkait dengan kualitas intruksi. Penting sekali untuk mengembangkan proses belajar dan mengajar guna mempersiapkan siswa berkualitas tinggi, pendesainan yang hati-hati, aktivitas yang terpusat pada siswa, dan dengan materi dan media yang didesain membantu mereka menguasai setiap tugas dan memiliki kemampuan. Untuk hal tersebut, MNE mengusulkan proses mengajar dan belajar apa yang harus diberikan dalam konteks implementasi Kurikulum 2004.

MNE (2003a, hal. 7) mendefinisikan pembelajaran sebagai sebuah langkah aktif oleh para siswa untuk membangun makna dan pemahaman, sedangkan pengajaran merupakan tanggung jawab pengajar untuk membuat situasi yang mendukung terhadap kreativitas para siswa, motivasi dan tanggung jawab untuk berjalannya pendidikan. MNE (2003a, hal 7 11) juga menyediakan sebuah daftar proses pegajaran dan pembelajaran efektif yang mencakup prinsip-prinsip berikut ini:

Makna pembelajaran terbalik: mengacu pada konsep pembangunan informasi ddan pemahaman oleh siswa, bukan transfer pengetahuan dari guru pada siswa.

Pemusatan pada siswa: Setiap siswa berbeda, dan oleh karenanya proses pengajaran dan pembelajaran harus melayani pada kebutuhan individu dari setiap siswa.

Pembelajaran dengan pengalaman. Proses yang banyak menyediakan pengalaman kehidupan nyata bagi para siswa terkait dengan pengetahuan yang mereka peroleh.

Pengembangan kemampuan social, kognitif dan emosional: hal ini menekankan pada interaksi dan komunikasi selama proses belajar.

Pengembangan rasa ingin tahu, imajinasi kreatif, dan kualitas kepercayaan pada Tuhan: proses ini memfasilitasi peningkatan keingintahuan dan imajinasi siswa. Proses ini juga membentuk kesadaran terhadap dimensi Ketuhanan.

Pembelajaran jangka panjang: proses ini mensuplai para siswa dengan mempelajari keterampilan yang mencakup percaya diri, keingintahuan, kemampuan untuk memahami orang lain, dan berkomunikasi serta bekerja sama dengan orang lain.

Kebebasan dan kebergantungan yang menyatu: ini memberikan makna bahwa proses tersebut mengembangkan jiwa persaingan dalam kebersamaan.

Selain beberapa daftar komponen tersebut di atas, MNE juga memberikan pedoman untuk pengajaran yang efektif serta manajemen pembelajaran. Beberapa pedoman tersebut penting untuk para pengajar di sekolah dalam proses implementasi kurikulum baru (Departemen Pendidikan Nasional, 2003a). Hal ini dikarenakan pemahaman yang komprehensif seperti pendekatan berbasis kompetensi dalam pengajaran, dan oleh karenanya diperlukan para guru yang lebih bertanggung jawab dan lebih kreatif.

HAMBATAN PELAKSANAAN

Literature tersebut juga menggambarkan beberapa hambatan yang mungkin menghambat kesuksesan pelaksanaan SBM dan kurikulum 2004 dalam kaitannya dengan konteks pendidikan Indoensia. Satu dari hambatan tersebut terletak pada kenyataan bahwa para guru secara cultural telah terbiasa dengan system terpusat. Penelitian Bjork (2003) mengindikasikan respon yang kurang besar dari para guru terhadap program desentralisasi dalam perkembangan kurikulum. Walaupun penelitian yang dilakukan dalam konteks program Muatan Kurikulum Lokal (LCC) pada tahun 1998, terkait dengan situasi budaya yang masih serupa antara waktu penelitiannya dengan yang ada sekarang.

Menurut Bjork (2003), tiga alas an yang teridentifikasi membenarkan respon pengajar yang masih belum cukup. Pertama, budaya masyarakat mencegah para guru menjadi para individu yang bebas yang dapat aktif, kreatif dan inovatif. Layanan budaya masyarakat penuh dengan nilai-nilai loyalitas, kepatuhan, tanggung jawab, kooperatif dan sebagainya. Sebagaimana yang diteliti oleh Emmerson (1978), budaya ini menjalar secara langsung dari pimpinan mereka lebih dari perwakilan komunitas local yang dihasilkan dari praktek-praktek otoritarian rezim Orde Baru lebih dari tiga decade. Bjork (2003, hal 205) dengan jelas menyatakan bahwa para guru Indonesia cenderung pada nilai keamanan kinerja mereka aripada kesempatan untuk memberikan pengaruh terhadap kebijakan sekolah atau membuat perbedaan dalam hidup para siswa mereka.

Yang kedua, kurangnya upah dan insentif untuk para guru dengan tanggung jawab baru atau penambahan tanggung jawab. Para guru, dalam penelitian Bjork (2003) tidak mencurahkan waktu mereka untuk segala hal, tidak tersedianya keuntungan financial yang lebih bagi mereka. Malahan, tekanan anggaran belanja yang dibuat pemerintah tidak dapat memberikan upah financial pada para guru yang telah memenuhi tanggung jawab tambahan tersebut. Tekanan anggaran belanja ini diakui oleh beberapa ahli seperti Sutjipto dan kawan-kawan. (2001) yang terkait dengan perumusan kebijakan reformasi pendidikan Indonesia. Menurut laporan Asia Times Online, anggaran belanja pendidikan di Indonesia paling rendah di Asia, yang hanya berjumlah tujuh persen dari Anggaran Belanja Negara tahun 2000, sedangkan Negara tetangganya seperti Malaysia, Philippina, Singapur dan Thailand mengalokasikan dari 25 sampai 35 persen anggaran belanja tahunan untuk pendidikan (Asia Times, 2000). Rekomendasi terhadap konstitusi untuk alokasi anggaran belanja sebesar 20 persen untuk pendidikan masih belum dapat terpenuhi.

Ketiga, hubungan local terpusat masih merupakan point yang sangat tersentralisasi dalam rangkaian kesatuan. Walaupun kekuasaan pejabat pendidikan pusat menggambarkan komitmen mereka untuk memperkuat otoritas local, namun mereka gagal untuk memberikan makna yang cukup dan memberikan bantuan guna mendukung komitmen mereka (Bjork, 2003; Rubiannor, 2003). Bjork (2003, hal 208) menggambarkan, dalam teori, mereka (orang-orang pusat) ingin meningkatkan otoritas local; pada kenyataannya mereka seringkali merusak tujuan tersebut. Weston, ketua program proyek MBE, menyatakan, dalam beberapa kasus langkah mereka [pejabat pemerintah] kontradiksi dengan kata-kata mereka (mereka berkata desentralisasi namun pada prakteknya pendekatannya adalah tersentralisasi). Tidak ada daftar fungsi yang jelas yang terkirimkan pada tingkat sekolah, dan yang lebih penting, sedikitnya datan yang teralokasi bagi sekolah (komunikasi sekolah dengan email, 2003).

Bjork (2003) menyatakan ada tiga alas an budaya gagalnya program LCC yang menggambarkan sulitnya implementasi agenda reformasi pendidikan di Indonesia. Situasi social-politik yang berjalan panjang berdampak dalam budaya loyalitas dan kepatuhan yang berdampak negative terhadap proses-proses desentralisasi. Rubiannoor (2003, hal 147) menyatakan bahwa budaya menunggu perintah dan meminta petunjuk atau menunggu perindah dan meminta arahan dari otoritas yang lebih tinggi untuk melakukan perubahan. Situasi social politik saat ini mungkin berubah sejak agenda reformasi dikeluarkan dan awal kebijakan otonomi diimplementasikan, namun memerlukan waktu untuk merubah perilaku budaya para pengajar dan orang lain yang bekerja dalam pendidikan.

KESIMPULAN

System pendidikan Indonesia telah menjalani perubahan yang besar. Perubahan ini dipicu oleh situasi social politik baru-baru ini, mencakup setidaknya tiga aspek utama pendidikan. Pertama, terdapat pendefinisian ulang terhadap tujuan pendidikan nasional, yang menekankan pada pentingnya pencapaian warga Negara untuk dapat hidup dalam sebuah demokrasi. Yang kedua, pendekatan manajemen sekolah berubah dari manajemen terpusat menjadi desentralis. Pergeseran ini terpadu dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (SBM). Ketiga, terdapat pergeseran paradigma dalam istilah: (a) pembentukan kompetensi berstandard nasional untuk siswa yang harus dicapai, (b) membuat hubungan yang jelas antara lulusan sekolah dan kebutuhan kerja, serta (c) mengakomodasi kebutuhan local dengan mengikutsertakan stakeholder sekolah local dalam pengembangan sekolah mereka.

Rintangan yang mungkin menghambat kesuksesan implementasi reformasi perlu diatasi dengan tepat, atau sebaliknya reformasi masih tetap baik dalam tulisan saja. Beberapa rekomendasi dapat dikembangkan. Pertama, dalam kerangka kerja komunitas yang terkait dengan pendidikan, sosialisasi setiap kebijakan dan permulaan yang diambil harus dilakukan secara keseluruhan. Seseorang tidak dapat tinggal diam jika mereka bukan bagian dari stakeholder pendidikan dan sekolah-sekolah. Keperluaan ini diikuti dengan program penguatan dari stakeholder kunci, utamanya para orang tua. Yang kedua, pimpinan pada setiap tingkatan pendidikan perlu dikembangkan dengan kuat sebagai literature (Fullan, 1999; Leithwood, Jantzi, & Steinbach, 1999; MacBeath, 1998) menggambarkan apa yang perlu berubah dengan cepat pada waktu tertentu merupakan pimpinan yang efektif memberikan panduan dan menyediakan arahan. Ketiga, budaya para guru pegawai negeri sipil perlu dirubah menjadi sebuah budaya yang professional. Para guru perlu melihat kinerja mereka sebagai sebuah profesi dengan tanggung jawab tertentu dan cukupnya gaji. Rencana pemerintah terhadap isu Undang-unang Profesionalisasi Guru tahun 2005 (Rancangan Undang-undang Guru) merupakan sebuah langkah yang tepat untuk mengambil dan dapat diharapkan membentuk budaya para guru yang professional (Lie, 2005). Keempat, pertumbuhan professional perlu menjadi bagian integral dari reformasi dan dikembangkan dengan cara-cara yang berguna dan disengaja. Kelima, 20 persen atau lebih anggaran belanja perlu dialokasikan untuk pendidikan sebagaimana yang direkomendasikan oleh undang-undang guna memberikan pendanaan yang cukup untuk proses pendidikan. Peningkatan anggaran belanja yang diperlukan diperlukan untuk mengurangi tingkat korupsi yang besar dalam pendidikan, yang terjadi pada setiap tingkat birokrasi, termasuk sekolah (Irawan, Eriyanto, Djani, & Sunaryanto, 2004). Yang terakhir, beberapa penelitian pada setiap aspek pendidikan di Indonesia perlu dilakukan sebagai bagian dari agenda reformasi secara keseluruhan guna memperkirakan dan mengevaluasi pelaksanaan reformasi. Studi kasus perlu diterima sebagai pendekatan yang sangat luas dimana dengan studi kasus tersebut dapat mengarahkan masalah-masalah individu dari setiap aspek yang diteliti.