Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

26
Media, budaya, dan upaya merawat citacita hidup bersama Disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen: Jakarta, 7 Agustus 2012 Yanuar Nugroho Institut Kajian Inovasi – Universitas Manchester, Inggris Manchester Institute of Innovation Research – University of Manchester, UK [email protected] Abstrak Hidup manusia modern harihari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, yang sebenarnya punya fitrah utama memperantarai yang privat dan yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan teknologi dan industri media fitrah itu masih setia dijalani? Lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis dalam satu setengah dasawarsa terakhir. Industri media berkembang pesat. Namun apakah peningkatan jumlah perusahaan media ini mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas isi? Pertanyaan ini sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia dan dinamika budaya masyarakat warga serta pesatnya kemajuan teknologi komunikasi, khususnya Internet dan media sosial, yang telah mengubah wajah media dan cara warga bermedia. Tapi apakah ini semua mampu menyediakan ruang publik alternatif yang kini dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam hype dan obsesi tentang media sosial harihari ini? Dalam konteks di mana industri media sedang bertumbuh, halhal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan, tetapi juga bagaimana perubahan struktur industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar konsumen media. Nampaknya perkembangan industri media di Indonesia telah menggeser status dan hakikat khalayak (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga negara yang punya hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka. Kata kunci media, budaya, media baru, neoliberal, globalisasi, pembentukan selera Pengantar Faktualitas hidup manusia modern harihari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, baik media konvensional seperti media cetak dan penyiaran audiovisual ataupun media baru (sering disebut media sosial berbasis Internet). Sejak era Reformasi tahun 1998, lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis. Sebelum 1998, hanya ada 279 perusahaan media 1

description

Orasi budaya Yanuar Nugroho pada resepsi18 Tahun AJI, 7 Agustus 2012

Transcript of Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Page 1: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Media, budaya, dan upaya merawat cita‐cita hidup bersama 

Disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen: Jakarta, 7 Agustus 2012 

 Yanuar Nugroho 

Institut Kajian Inovasi – Universitas Manchester, Inggris Manchester Institute of Innovation Research – University of Manchester, UK 

[email protected]   

Abstrak  Hidup manusia modern hari‐hari  ini  tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, yang sebenarnya punya  fitrah utama memperantarai  yang privat dan  yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya  'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan teknologi dan industri media fitrah itu masih setia dijalani? Lansekap media  di  Indonesia  berubah  secara  dramatis  dalam  satu  setengah  dasawarsa terakhir.  Industri  media  berkembang  pesat.  Namun  apakah  peningkatan  jumlah perusahaan  media  ini  mencerminkan  meningkatnya  keragaman  dan  kualitas  isi? Pertanyaan  ini  sentral; apalagi ketika dikaitkan dengan hak warga untuk bermedia dan  dinamika  budaya  masyarakat  warga  serta  pesatnya  kemajuan  teknologi komunikasi, khususnya Internet dan media sosial, yang telah mengubah wajah media dan cara warga bermedia. Tapi apakah ini semua mampu menyediakan ruang publik alternatif yang kini dipandang gagal disediakan oleh media seperti tercermin dalam hype dan obsesi  tentang media sosial hari‐hari  ini? Dalam konteks di mana  industri media sedang bertumbuh, hal‐hal ini layak direnungkan untuk memahami tak hanya pertumbuhan  dan  isi  media  yang  dihasilkan,  tetapi  juga  bagaimana  perubahan struktur  industri  media  mempengaruhi  dinamika  warga  negara  –bukan  sekedar konsumen  media.  Nampaknya  perkembangan  industri  media  di  Indonesia  telah menggeser status dan hakikat khalayak  (pemirsa, pendengar, pembaca) dari warga negara yang punya hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka.  

  

Kata kunci media, budaya, media baru, neoliberal, globalisasi, pembentukan selera 

 

Pengantar 

Faktualitas hidup manusia modern hari‐hari ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh media, baik media  konvensional  seperti media  cetak  dan  penyiaran  audio‐visual  ataupun media  baru (sering  disebut media  sosial  berbasis  Internet).  Sejak  era  Reformasi  tahun  1998,  lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis. Sebelum 1998, hanya ada 279 perusahaan media 

Page 2: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

cetak dan  lima  stasiun  televisi  swasta. Kurang dari  satu dekade berikutnya,  jumlah  televisi swasta bertambah dua kali lipat –belum termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal—dan media cetak meningkat tiga kali lipatnya. Namun apakah peningkatan jumlah perusahaan media ini mencerminkan meningkatnya keragaman dan kualitas  isi? Ada banyak asumsi di situ. Salah satu  yang  paling  penting  adalah  sejauh  mana  kepemilikan  perusahaan  media mempengaruhinya. Misalnya,  saat  ini  ada  455  perusahaan media  beroperasi  dari  Sabang sampai Merauke, yang dimiliki hanya oleh selusin pengusaha. Dan kita tahu bagaimana ihwal kepemilikan berpengaruh mulai dari kebijakan hingga praktik ber‐perusahaan – media atau tidak,  sama  saja.  Maka,  pertanyaan  tentang  keragaman  dan  kualitas  isi  media  menjadi sentral;  apalagi  ketika  dikaitkan  dengan  hak warga  untuk  bermedia  dan  dinamika  budaya masyarakat warga.  

Di sisi lain, ada perubahan besar dalam hal cakupan dan skala yang ditawarkan oleh Internet dan media baru, dan bagaimana hidup kita makin dimediasi olehnya (Castells, 2010; Mansell, 2004).  Kemajuan  teknologi  Internet  jelas memberi manfaat  pada  perkembangan  industri media.  Tapi  apakah  benar  ia  sungguh  menyediakan  ruang  publik  alternatif  yang  kini dipandang  gagal  disediakan  oleh media  seperti  tercermin  dalam  hype   dan  obsesi  tentang media  sosial hari‐hari  ini? Barangkali kita perlu  sedikit berjarak  (mengikuti Morozov, 2011). Ada  segumpal  asumsi  dalam  perkara  ini.  Meski  teknologi  komunikasi  dan  penggunanya berkembang  pesat,  ada  banyak  keterbatasan  yang  dihadapi  seperti  seperti  kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang hanya terpusat di daerah maju, rendahnya akses dan literasi, di antara banyak lainnya. Internet memang punya potensi besar menjadi sebuah medium baru di mana para warga dapat berpartisipasi secara lebih bebas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan  politik  (dan  di  beberapa  kesempatan  potensi  ini  sungguh  nyata  terwujud).  Tetapi  kita tahu: mewujudkan potensi butuh  strategi dan kerja keras,  yang berbeda dari  sekedar  riuh‐rendah mengejar obsesi. 

Refleksi ini bertolak dari gejala globalisasi media yang tak hanya terkait dengan pertumbuhan industri media  dan  kemajuan  teknologi  komunikasi  yang mendorong  operasi  serta  kontrol lintas‐batas media, tetapi juga keseragaman isinya lewat konsentrasi kepemilikan (Gabel and Bruner,  2003). Menjadi  penting menelisik  perkara  ini  lebih  dalam  karena  proses  globalisasi media ini terkait erat dengan dinamika budaya dan mutu masyarakat. Herman dan Chomsky (1988) malah melihat betapa tema ‘gaya‐hidup’, individualitas, dan materialitas yang diangkat media  cenderung  berdampak  negatif  pada  budaya  kolektif:  ia  memperlemah  rasa kebersamaan  dalam  kehidupan  bersama  di masyarakat.  Dalam  konteks  di mana  industri media  sedang  bertumbuh,  hal‐hal  ini  layak  direnungkan  untuk  memahami  tak  hanya pertumbuhan  dan  isi  media  yang  dihasilkan,  tetapi  juga  bagaimana  perubahan  struktur industri media mempengaruhi dinamika warga negara –bukan sekedar konsumen media.  

Dalam refleksi ini, sebagian potret lansekap industri media di Indonesia (Nugroho et al., 2012) akan  dibahas  dari  perspektif  hak  warga  negara  (Berkhout  et  al.,  2011).  Meneruskan konseptualisasi UNESCO (Joseph, 2005), ada tiga aspek hak warga dalam media: akses warga terhadap  informasi  (tanpa  akses  ini  mereka  akan  tersingkirkan  dari  pembangunan  dan transformasi hidup mereka sendiri); akses warga negara terhadap infrastruktur media (tanpa akses  ini membuat akses terhadap media menjadi mustahil); dan akses warga negara untuk ikut mempengaruhi  kerangka  regulasi  (tanpa  akses  ini warga  negara  dapat  tersingkir  dari proses  pembuatan  keputusan  yang  mempengaruhi  hidup  mereka).  Refleksi  semacam  ini  barangkali  penting  karena  industri media  yang  tumbuh  dengan  cepat    dan  ditopang  oleh logika  laba  –disadari  atau  tidak— mempengaruhi  tak  hanya  dinamika  ekonomi,  tapi  juga sosial, budaya, dan politik publik. Satu gejala menyeruak, baik di Indonesia maupun di dunia global:  sebagai  bisnis  yang  sangat  menjanjikan,  motif  pencarian  laba  industri  media 

Page 3: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

nampaknya  telah melumat  karakter  publik  dari media  itu  sendiri.  Itu  fokus  dan  titik  pijak dalam refleksi ini. 

Sebagai  panduan membaca  catatan  ini,  setelah  mencoba menguraikan  beberapa  konsep dasar, pertama‐tama kita akan menelaah tentang peran media di masyarakat dalam konteks kekinian  yang  ditandai  oleh  globalisasi.  Gejala  makin  dalamnya  media  ikut  menentukan dinamika  publik  dan  sekaligus menjadi mekanisme  akumulasi  kapital melahirkan  imperatif pertanyaan tidak saja tentang nilai‐nilai dan peran publik yang melekat padanya, namun juga potensi  pergeseran  peran  pekerja media.  Selanjutnya  kita  akan melihat  bagaimana  pasar mempengaruhi  perilaku  sosial  dan  konstruksi‐konstruksi  budaya  –yakni  cara  kita  hidup—lewat seluruh gegap‐gempitanya. Akhirnya,  refleksi singkat  ini menawarkan satu panorama masa depan media dan pekerja media dalam dunia yang makin tunggang‐langgang.  

Media, budaya, dan globalisasi 

Dari etimologinya, media (Latin, tunggal: medium) punya makna yang terkait erat pada, dan menjadi  bagian  dari,  ranah  publik—locus  publicus.  Fitrah media  yang  paling  utama  adalah memperantarai yang privat dan yang publik untuk mencari kemungkinan terbentuknya 'hidup bersama’. Apakah dalam gegap gempita perkembangan  teknologi dan  industri media  fitrah itu masih setia dijalani?  

Perkembangan  industri media di  Indonesia  tak bisa dipungkiri  telah menggeser  status dan hakikat  khalayak  (pemirsa,  pendengar,  pembaca)  dari  warga  negara  yang  punya  hak bermedia, menjadi sekedar konsumen media belaka. Jika ini benar, lantas bagaimana dengan seluruh  gagasan  luhur media  sebagai  sarana  perjumpaan  antara  faktualitas  individual  dan sebuah  ideal  sosial?  Masih  adakah  ruang  untuk  mewujudkan  gagasan  itu?  Dalam  derap kemajuan  teknologi, bagaimana media di masa depan masih bisa berperan untuk merawat cita‐cita  hidup  bersama  kita? Apa  konsekuensi  ini  semua  pada  pekerja media,  pada warga negara, dan pada perkembangan budaya kita? 

Mencoba mencari  jawab atas pertanyaan  itu dari domain media dan budaya ataupun pasar (ekonomi)  semata,  barangkali  akan  sama‐sama menabrak  jalan  buntu.  Jawabannya  bukan terletak di dalam adiluhung‐nya peran media dalam dinamika budaya masyarakat dan hidup bersama kita. Bukan pula ia ditemukan dalam pergerakan pasar yang dipandang selalu tunduk pada hukum ekonomi atas permintaan dan penawaran. Jawabannya  rupanya harus dicari di luar kedua arena itu. Perspektif ekonomi‐politik ini menawarkan penjelasan melalui pelacakan gagasan tentang kekuasaan (power) yang melingkupi sebagian perdebatan mengenai media dan masyarakat serta posisi sosialnya. Refleksi semacam  ini membidik dua  ranah sekaligus: struktur  dan  isi  media  –dan  bagaimana  keduanya  berkaitan,  khususnya  lewat  sistem pengorganisasian  dan  pengendalian  di  mana  isi  media  diproduksi,  didistribusikan,  dan dikonsumsi.  

Mengendalikan  media  makin  berarti  mengendalikan  publik  dalam  hal  cara  pandang, kepentingan, dan bahkan selera (Curran, 1991). Substansi media, baik fisik dan non‐fisik, telah bergeser  dari  fungsinya  sebagai medium  dan mediator  ruang  publik  yang memungkinkan terjadinya  interaksi kritis antar warga (Habermas, 1984; 1987; 1989), menjadi alat kekuasaan untuk 'merekayasa kesadaran' (Herman and Chomsky, 1988) dan bahkan alat propaganda dan monopoli  (Bagdikian, 2004). Gagasan  ini sentral untuk memahami dinamika media hari‐hari ini  ‐khususnya  berbagai  bentuk media massa—dan  bagaimana  ia mempengaruhi  dinamika dan membentuk budaya masyarakat kita. Tetapi,  apa  itu budaya? Kata budaya atau kultur digunakan di sini secara umum untuk menunjuk pada keseluruhan cara hidup manusia (bdk: 

Page 4: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

tak hanya untuk menunjuk pada kinerja dan konteks seni, khususnya proses penemuan dan proses  kreatif  karya  seni).  Dan  kita  tahu,  hidup  kita  hari‐hari  ini,  dalam  sebuah  refleksi kultural, tengah diserbu oleh apa yang kerap disebut dengan globalisasi. 

Di sini mesti disadari bahwa gagasan globalisasi adalah salah satu gagasan yang  tak pernah usai  didiskusikan  dan  terus  diperdebatkan.  Tanpa  bermaksud menambah  perdebatan  itu, refleksi  ini menggunakan  istilah  globalisasi  sebagai  penanda  tiga  perkara  (Herry‐Priyono, 2006). Satu,  sebuah  set proses  sosial yang mentransformasi  kondisi  sosial manusia, dengan jantungnya adalah pemampatan ruang dan waktu1. Dua, intensifikasi cara pandang, cara pikir dan  cara merasa manusia  tentang  dunia  sebagai  satu  kebersatuan  (globality)  (Robertson, 1992). Tiga, transformasi corak aktivitas manusia yang makin  intensif, cepat dan berdampak yang tercermin dalam jejaring aktivitas, interaksi dan praktik kekuasaan (Held, 2000). Segera bisa  dilihat,  bahwa  dalam  tiga  perkara  ini  inovasi  dan  teknologi,  khususnya  teknologi informasi‐dan‐komunikasi  mengambil  peran  sentral.  Manuel  Castell  menyebut  bahwa perkembangan teknologi adalah substrat globalisasi – tak mungkin globalisasi melaju secepat saat  ini  tanpa ada perkembangan  teknologi, khususnya  Internet  (Castells, 1996; 1997; 2001; 2005). Dengan memahami globalisasi sebagai penanda tiga perkara ini dan peran teknologi di dalamnya, mudah‐mudahan  akan  lebih mudah  bagi  kita  untuk memahami  geliat  berbagai gejala yang mengepung kita hari‐hari ini. 

Ketiga, pada  inti globalisasi  tersebut  adalah ekonomi neoliberal dan  faham neoliberalisme, yang sayangnya banyak orang salah kaprah memahaminya2. Meminjam penyederhaan yang diusulkan  Herry‐Priyono  (2003)  untuk  memahami  perkara  globalisasi  ini,  pada  jantung neoliberalisme ada dua  lapis gagasan berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus.  Artinya,  cara‐cara  kita  bertransaksi  dalam  kegiatan  ekonomi  bukanlah  salah satu  dari  berbagai  corak  hubungan  antar  manusia,  melainkan  satu‐satunya  corak  yang mendasari semua  tindakan dan  relasi antar manusia  (Becker, 1976; Evensky, 2005). Dengan kata  lain,  tindakan dan hubungan antar pribadi kita maupun  tindakan dan hubungan  legal, sosial,  politis dan  kultural  kita hanyalah ungkapan  dari model hubungan menurut  kalkulasi untung‐rugi  dalam  transaksi  ekonomi.  Kedua,  gagasan  ekonomi‐politik  neoliberal  adalah argumen  bahwa  pertumbuhan  ekonomi  akan  optimal  jika  dan  hanya  jika  lalu‐lintas modal (finansial)  yang  dimiliki  oleh  pribadi  (orang‐perorangan)  dilepaskan  dari  kaitannya  dengan proses  survival  sosial dan ditujukan  semata untuk akumulasi  laba. Neoliberalisme,  jelasnya, adalah  finansialisasi  segalanya  (Harvey,  2005).  Bagi  mereka  yang  pernah  sedikit  belajar ekonomi, mungkin jelas bedanya dua hal  ini. Bila dalam liberalisme klasik kepemilikan privat masih  dianggap  punya  tugas  sosial  untuk menyejahterakan  seluruh masyarakat  (misalnya Smith,  [1776]  2000),  dalam  neoliberalisme  kepemilikan  privat  tersebut  sudah  demikian absolut  dan  keramat,  tanpa  peran  sosial  apapun  juga  kecuali  untuk  akumulasi  laba  privat (seperti Friedman, 1962). Singkatnya, dalam faham neoliberal, “tidak cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar” (Treanor, 2005). Karena itu mudah dipahami mengapa neoliberalisme  juga  dianggap  sebagai  “bangkitnya  kembali  faham  pasar  bebas”  (Gamble, 2001:127) yang pernah dalam sejarah ditinggalkan. 

Maka, ketika kita berbicara mengenai globalisasi, kita sesungguhnya tengah bicara mengenai tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada  (1)  tataran  tindakan,  tata kekuasaan global  ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa  lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan‐perusahaan transnasional dan 

1   Definisi ini barangkali paling dekat dengan yang dirumuskan oleh Giddens dalam bukunya tentang dunia 

yang tunggang‐langgang (Giddens, 1999) 2   Lihat catatan Herry‐Priyono di Kompas (2009) 

Page 5: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

(3) proses kultural  idelologis yang dibawa adalah konsumerisme  (Sklair, 2002). Bagaimana  ia bekerja?  Secara  terbatas,  saya  gambarkan  sebagai  berikut3 .  Dalam  globalisasi,  praktik perdagangan  dan  bisnis  transnasional  didiorong  dan  didukung  oleh  regulasi/kesepakatan internasional dalam kerangka pasar bebas. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didesakkan  oleh  kekuasaan  luar  biasa  dari  bisnis  periklanan  dalam  bentuk  logo, merk  dan label  –di  bawah  sadar menanamkan  prinsip  ‘kenikmatan‐prestise‐status‐kemewahan’  pada banyak individu (Tomlinson, 1990).  

Karenanya, segera  terlihat bahwa globalisasi  terjadi bukan hanya  ‘di  luar sana’ –dalam  rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksakan pada kebijakan publik melalui tiga  ‘mantra  sakti’:  deregulasi–privatisasi–liberalisasi.  Namun,  globalisasi  juga  terjadi  ‘di dalam sini’ –yang diinjeksikan ke dalam berbagai pilihan  individu yang merujuk pada  ragam budaya,  identitas  dan  gaya  hidup  global.  Alih‐alih  menawarkan  keragaman  pilihan  bagi konsumen –sebagaimana ia mengklaim dirinya—globalisasi justru menyeragamkan  ‘rasa dan selera’.  Meminjam  nama  sebuah  waralaba,  masyarakat  global  digambarkan  tengah mengalami  “McDonalds”‐isasi  (Ritzer,  1993)  –atau  kasarnya,  pendangkalan  (banalisation). Dan sebagaimana kita tahu, proses penyeragaman ‘rasa dan selera’ ini mendapatkan ‘bahan‐bakar’nya  dari  insting  dasar  manusia  untuk  mengkonsumsi  yang  lalu  dimanipulasi  untuk menjadi bagian dari permintaan dalam kurva ekonomi pasar. Bagi mereka yang mempelajari psikologi  industri  atau  manajemen  periklanan,  permintaan  konsumen  itu  adalah  sekedar manifestasi insting konsumsi yang bisa direkayasa melalui advertensi (iklan) dan diinjeksikan dalam kesadaran konsumen (Sklair, 2002). Implikasinya dalam ekonomi (dan ekonomi politik pasar): tak ada lagi fondasi untuk mempercayai bahwa permintaan konsumen adalah alamiah. 

Media di tengah globalisasi: Tegangan abadi 

Lantas  bagaimana  media  mesti  dinilai  saat  ini  –  dalam  masa  globalisasi  yang  dikepung gagasan  neoliberal? Masihkah media menawarkan  ruang  publik  dimana masyarakat warga bisa berinteraksi  secara kritis  (seperti berulang‐ulang diidealisasikan Habermas, 1984; 1987; 1989; 2001) dan mendapatkan  informasi yang  independent dan terpercaya – dan karenanya ‘sakral’?  

Sementara sebagian (kecil) pekerja media (seperti AJI) mempercayai posisi sakral media dan berupaya mempertahankannya,  ekonomi neoliberal memberi  jawaban  lugas: media  adalah bagian dari pasar; isi media adalah komoditas; dan dinamika media tunduk pada hukum pasar (tentu  selalu  ada  kekecualian,  tapi  itu  hanyalah  anomali). Beberapa  buru‐buru menyergap: apakah  ini  pertanda  bahwa media  kehilangan  otoritasnya? Bukankah  neoliberalisme  justru seharusnya  sejalan  dengan  semangat  media  yang  mengagungkan  kebebasan  (libre)  – khususnya dalam berkespresi? Benar, namun  itu hanya separuh cerita, dan  itupun ada pada tingkat perkara yang berbeda. Pertama  (pada tingkat mikro), pekerja media bisa saja bebas berkarya dan mencipta isi media, tetapi kalau pasar tidak menerimanya meski itu bermutu, ia harus mengubah karyanya –bahkan kalaupun ia tidak mau. Kedua (pada tingkat makro), kalau bagi  pekerja media  kebebasan  itu  diwujudkan  konkret  lewat  informasi  dan  isi media  yang valid dan bermutu, bagi para pemikir neoliberal, ia diwujudkan melalui penataan masyarakat lewat logika pasar. Dan barangkali karena para pekerja media tidak seambisius para ekonom dalam  mengajukan  gagasannya,  isi  media  yang  bermutu‐informatif‐dan‐valid  terpaksa ‘tunduk’ pada hukum pasar. Gampangnya, cara masyarakat dididik untuk menghargai mutu isi media adalah lewat mekanisme harga. Lewat apa? Rating dan periklanan. 

3   Hal ini pernah saya sampaikan sebelumnya (Nugroho, 2002; 2005a; 2005b) 

Page 6: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Dalam  bisnis media,  laba  didapat  dari  konten melalui  iklan.  Sangat  jelas,  perkembangan industri media sangat  tergantung pada periklanan yang membuat  industri  tetap hidup. Dua dasawarsa terakhir ini sekelompok kecil perusahaan media multinasional mendominasi pasar global untuk hiburan, berita, televisi dan film. Pada tahun 2006, dua pertiga dari pemasukan industri  komunikasi  global  senilai  US$250‐275  milyar  dikuasai  oleh  delapan  konglomerat media: Yahoo, Google, AOL/Time Warner, Microsoft, Viacom, General Electric, Disney dan News Corporation. Paruh pertama tahun itu juga, volume merger dalam media global, Internet dan telekomunikasi mencapai US$300 milyar, tiga kali lebih besar dari pada paruh pertama tahun 1999.  Padahal,  limabelas  tahun  yang  lalu,  tak  ada  satupun  dari  semua  perusahaan  ini  ada dalam  wujud  serupa  saat  ini  sebagai  perusahaan  media.  Apa  sebabnya?  Besarnya  nilai ekonomi bisnis media ini ditopang oleh iklan komersial. Sekedar agar kita tahu, nilai iklan TV di AS membubung drastis dari US$3,6 milyar pada tahun 1970 menjadi US$50,44 milyar pada tahun 1999. Siapa pemirsa iklan ini? Dipukul rata, seorang anak yang berumur 12 tahun di AS menonton rata‐rata 20 ribu  jam  iklan TV per tahun, dan bahkan anak‐anak berumur 2 tahun pun  sudah  punya  kesetiaan  pada  merk  tertentu  (Steger,  2009:78‐79).  Indonesia  sendiri memiliki belanja  iklan  terbesar di Asia Tenggara, naik 24% dari 1,7 milyar USD pada  tahun 2010 menjadi 2,1 milyar USD pada tahun 2011.4 Pertumbuhan  iklan di  Indonesia disebabkan oleh stabilnya pertumbuhan ekonomi, serta didorong oleh kuatnya konsumsi dan permintaan domestik.  

Semakin banyak konten yang dikonsumsi oleh pemirsa, semakin besar laba yang akan dikeruk media.  Logikanya  jelas:  operator  media  harus  berusaha  sebisa  mungkin,  untuk  dapat menciptakan konten yang menarik sebanyak mungkin pemirsa. Pemikiran seperti  ini sangat logis dan jelas dalam bisnis media – dan sepertinya tidak menimbulkan masalah yang serius. Tetapi hal  ini terus berlanjut: untuk menjaga permintaan konten yang menguntungkan agar tetap  tinggi,  share  pemirsa  harus  dijaga  sedemikian  rupa  dengan  cara  memanipulasi kebutuhan konsumen. Terlebih lagi, untuk meraih keuntungan lebih, konten harus diproduksi dan didistribusikan dengan cara yang lebih ekonomis. Turunan dari logika ini sangat merusak, tetapi inilah yang sedang terjadi pada media di Indonesia.  

Bisnis  penyedia  konten  dan  bisnis  iklan  telah  berkembang  seiring  dengan  perkembangan industri media. Saya tidak mengetahui secara pasti jumlah rumah produksi yang beroperasi di republik  ini,  tetapi  jumlahnya  tentu  tidak kecil dan pastilah akan meningkat  seiring dengan pertumbuhan  industri media.  Sebagian  besar  dari  rumah  produksi  yang  ada memproduksi sinetron,  karena  sinetron merupakan  acara  yang paling banyak ditonton di  televisi. Survey Nielsen pada  tahun 2001 menunjukkan bahwa pemirsa menghabiskan  rata‐rata 26% waktu mereka  di  televisi  dengan menyaksikan  sinetron,  ini merupakan  angka  tertinggi  dibanding semua tipe program5. RCTI dan Indosiar menyatakan secara jelas bahwa sinetron merupakan konten utama mereka karena memiliki  rating  tertinggi dari  semua program  (MPA Analysis, 2011). Sebagaimana amanat dari  logika bisnis, duplikasi konten adalah suatu hal yang  tidak bisa dihindari. Multivision Plus adalah salah satu rumah produksi terbesar dan tersukses dalam memproduksi  sinetron,  dan  telah  menghasilkan  lebih  dari  250  sinetron  dalam  10  tahun terakhir ini.  

Media dapat menghasilkan konten yang lebih edukatif dan berkualitas, tetapi seringkali, laba memainkan peran yang krusial di dalam perkembangan media dan proses produksi konten. Kecenderungan konten  yang diproduksi dengan motif profit dan diduplikasi dengan  tujuan  4   Lihat Belanja Iklan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara 

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/20/14403449/Belanja.Iklan.Indonesia.Tertinggi.di.Asia.Tenggara  

5   Berdasarkan Penghitungan Audience milik Nielsen yang dilakukan di 10 kota besar dari 2007‐2011. 

Page 7: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

menekan  biaya  produksi  telah  mengikis  keberagaman  informasi  dan  mengesampingkan informasi  lain yang lebih bermanfaat untuk warga. Kita bisa mudah membayangkan sulitnya mencari  pemasang  iklan  untuk  program  dokumenter  yang  lebih  mendidik,  misalnya, ketimbang di program populer  tak  terlalu mendidik seperti sinetron. Saat  ini,  rumah‐rumah produksi  dan  agensi‐agensi  periklanan  sudah menjadi  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari perusahaan media  itu  sendiri.  Bahkan  pada  kenyataannya,  perusahaan‐perusahaan media juga memiliki  in‐house production dan agensi periklanannya sendiri. Group MNC, contohnya, memiliki  produsen  konten  sendiri  bernama MNC  Pictures  dan  Innoform Media,  juga  agensi kreatif milik mereka yaitu Star Media Nusantara. 

Ketika  konvergensi  konten  terlihat  secara  jelas pada  televisi,  hal  yang  sama  juga  terjadi di kanal media  lainnya. Kita dapat melihat dengan  jelas bagaimana ruang‐ruang di surat kabar dan  majalan  yang  diambil  oleh  iklan  berdampingan  dengan  rubrik  ‘hiburan’  dengan mengorbankan  berita‐berita  lain  yang  lebih  berkualitas.  Hal  serupa  juga  terjadi  pada penyiaran  radio.  Sekedar menambah  beberapa  detil: Beberapa  grup media  berita,  sebagai respons  terhadap  situasi  ini,  telah  mendirikan  penyedia  konten  sendiri  di  dalam perusahaannya.  Tempo memiliki  penyedia  konten  berbasis  jurnalisme  bernama  TempoTV. Tidak seperti MNC, yang fokus produksinya ada pada sinetron, TempoTV memfokuskan pada produksi  konten  untuk  stasiun  televisi  lokal  dan  dokumenter  untuk  LSM.  Kompas  juga mendirikan  sebuah penyedia konten bernama KompasTV; yang  sebagian besar produksinya adalah  dokumenter  dan  biografi. Meskipun mereka mempunyai model  bisnis  yang  serupa, tetapi kehadiran mereka dapat menjadi alternatif untuk warga dalam mendapatkan konten yang lebih baik dibandingkan hanya sinetron saja (lihat lebih detil dan lebih jauh di Nugroho et al., 2012). 

Dari  uraian  ini,  mudah‐mudahan  jelas  bahwa  isi  media  makin  dalam  memasuki  arena komoditas  publik  dan  tanpa  terhindarkan menjadi  sebuah  bagian  dari mekanisme  kapital. Inilah  jenius  ekonomi  yang  secara  halus  menekuk  kesakralan  isi  media  menjadi  sekedar komoditi  industri.  Tentu  ini  membawa  berbagai  implikasi,  salah  satunya  adalah  pantas‐tidaknya media hari ini masih dilekatkan dengan nilai‐nilai luhur alasan‐adanya (raison d’etre) yakni menyediakan ruang publik bagi interaksi kritis warga. 

Saya  tak  fasih  dengan  kerumitan menilai  kepantasan  itu.  Akan  tetapi,  juga  dalam  segala keterbata‐bataan  ini,  saya  melihat  gejala  bahwa  nilai‐nilai  luhur  media  makin  tidak tertangkap oleh publik karena ia dikepung oleh hiruk‐pikuk materialitas yang melingkupinya. Celakanya,  sementara  para  insan  dan  pekerja media  yakin  bahwa  dibutuhkan  upaya  keras untuk  mendidik  publik  lewat  corak  dan  isi  media  yang  bermutu,  ekonomi  kembali menghempaskannya  lewat mekanisme  pasar  dan  ini  kerap  berujung  pada  pendangkalan. ‘Status’ yang dulunya tercermin dari mutu isi media, bergeser menjadi nilai ekonomi semata. Gampangnya, kalau dulu Tempo atau Kompas mewakili  sebuah prestis  tertentu karena nilai simboliknya menjaga kesakralan mutu isinya, kini prestis itu –di banyak media lain—tak lebih dari  rekayasa harga dan main mata dengan pemasang  iklan. Fenomena  iklan  jaket, adalah satu contohnya. 

Apakah  karena  ini  lantas  sebaiknya  fungsi  publik  media  ditinggalkan  begitu  saja?  Tidak. Media dan pekerja media harus  tetap mengusung panggilan  luhur  itu. Mirip  seperti perang gerilya,  fungsi  publik  media  harus  terus  diperjuangkan  di  tengah  kepungan  kedangkalan jaman yang menilai segala sesuatu lewat nilai finansial. Gerilya ini akan abadi sepanjang kita hidup dalam masa dimana pasar menjadi panglima. Apa yang saya haturkan di sini hanyalah sedikit peran serta memahami perkara. 

Page 8: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Medium dan pesan: Antara kemajuan dan ketercerabutan 

Dari  semua  situasi  ini  timbul  sebuah  pertanyaan  yang  menarik:  sejauh  mana  gagasan ‘medium  adalah  pesannya’  (McLuhan,  1964)  berlaku?  Apakah  kita  dapat  tetap  berpegang pada asumsi McLuhan bahwa medium  televisi  itu  sendiri –dan bukan konten di dalamnya– yang karakteristiknya mampu memberikan dampak kepada masyarakat? Saya  tak yakin  itu yang  terjadi.  Pemirsa  justru  cenderung  terfokus  pada  konten  (misalnya  sinetron),  dan menyerap  elemen  struktural  (seperti  gaya  hidup)  yang  diperkenalkan  secara  halus, melalui periode  waktu  yang  cukup  panjang.  Seringkali  kita  tidak  menyadari  implikasi  sosial  dari medium  hingga  berubahnya  nilai‐nilai  dan  norma‐norma  masyarakat  karena  teknologi. Implikasi ini dapat berupa implikasi budaya, agama, sosial, politik dan lain‐lain. Hal inilah yang kita amati dan alami sekarang ini dengan media yang ada –seperti yang terlihat secara jelas di televisi: penyebaran gaya hidup yang Jakarta‐ (atau Jawa‐) sentris secara masif melalui acara‐acara seperti sinetron, dan  telah menjadi sebuah obsesi di seluruh negeri,  terjadi  tanpa kita sadari. Hal  ini mungkin adalah konsekuensi yang tidak diharapkan dari praktek bisnis media yang  lazim  terjadi.  Bagaimanapun,  praktek  ini  memiliki  konsekuensi  yang  besar  pada masyarakat Indonesia. 

Gagasan  ‘medium  adalah  pesannya’  nampaknya  lebih mengena  pada media  baru  berbasis Internet  –  di mana warga memiliki  lebih  banyak  ruang  untuk menciptakan  ‘pesan’ mereka sendiri. Terlebih lagi, Internet telah menciptakan jenis aktivisme dan keterlibatan sipil baru di Indonesia  (Lim, 2002; 2003; 2004; Nugroho, 2008; 2010a; 2010b) –  sebagaimana  juga yang terjadi dengan  ledakan media  sosial  (Nugroho, 2011; Nugroho and Syarief, 2012). Gagasan McLuhan bahwa medium  itu  sendiri  (Internet)  adalah pesannya  (adanya  ruang  yang bebas dan keterlibatan warga) lebih terlihat nyata di sini. Meskipun Internet dan media sosial dapat secara potensial membantu membangun  ruang publik untuk warga, hal  ini  terhambat oleh distribusi  infrastruktur  yang  tidak merata,  dan  hanya  terkonsentrasi  di  kota‐kota  besar  di Sumatra dan Jawa‐Bali  (Kominfo, 2010; 2011). Situasi seperti  ini,  jika tidak diperbaiki, dapat menciptakan kesenjangan infrastruktur yang kemudian akan memicu terjadinya kesenjangan informasi di antara warga. Mengapa ini penting? 

Kalau kita sejenak melihat beberapa  indikator ekonomi, kita tahu bahwa Indonesia lolos dari krisis finansial yang menghantam di akhir tahun 90an. Dan kita makin  ‘maju’. GNI per kapita konstan meningkat  (saat  ini USD 4.200 per capita PPP), walaupun pertumbuhan GDP naik‐turun. Enam tahun terakhir ini rasio orang miskin per kepala yang berada di garis kemiskinan (USD 2 per hari) menurun, yang seharusnya menunjukkan bahwa  jumlah orang miskin  juga menurun6.  Namun,  data  dari  Bank  Dunia  ini  ditentang  banyak  pihak  dan  menimbulkan banyak pertanyaan utamanya apakah kemiskinan aktual sungguh menurun7. Prakarsa, pada akhir 2011 merilis risetnya sendiri dan, bertentangan dengan BPS yang datanya dipakai Bank Dunia, menunjukkan  bahwa  kemiskinan  total  di  Indonesia meningkat  dari  40,4  juta  pada tahun 2008 menjadi 43,1 juta pada tahun 2010. Ini membuat Indonesia menjadi satu‐satunya negara  di Asia  Tenggara  yang  kemiskinannya meningkat  (Prakarsa,  2011). Walau  ekonomi negeri  ini  nampaknya membaik,  kesenjangan  juga meningkat. Menurut  Bank Dunia,  pada tahun  2005  10%  orang  terkaya  negeri  ini menguasai  28,51%  total  pendapatan,  sementara 20%  termiskin  hanya mendapatkan  remah‐remah  8,34%8.  Situasi  ini  tak membaik  sampai detik ini. Laporan World FactBook tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia duduk di ranking 

6   Lihat database Bank Dunia http://databank.worldbank.org/ddp/home.do. 7   Misal, http://www.economist.com/blogs/banyan/2011/08/indonesias‐poverty‐line. 8   Perhitungan dari World Development Indicators and Global Development Finance Bank Dunia – lihat 

http://databank.worldbank.org/ddp/home.do. 

Page 9: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

81 dari  144 dalam hal Gini  Index  (ukuran  kesenjangan pendapatan). Di banyak negara  lain, kesenjangan  ekstrem  semacam  ini  telah  terbukti menjadi  lahan  subur  konflik‐konflik  sosial yang mudah tersulut menjadi kekerasan – yang kini juga terbukti di Indonesia.  

Dalam hal penggunaan Internet, prestasi (kalau boleh disebut demikian) Indonesia barangkali sedikit  lebih  baik.  Indonesia  duduk  di  urutan  keempat  di  Asia  (setelah  China,  India  dan Jepang), dan ke delapan di dunia dalam hal  jumlah pengguna  Internet yakni  sekitar 55  juta orang  menggunakannya  saat  ini.  Namun,  dalam  hal  penetrasi,  Indonesia  tertinggal  di belakang  negara  lain  dengan  hanya  22,4%  populasi  terhubung  ke  Internet  –  walau  ini sebenarnya  adalah  lompatan  dari  14.1%  pada  bulan  Maret  20119.  Di  ASEAN,  penetrasi tertinggi adalah Brunei Darussalam (79,4%),  lalu Singapura (77,2%), diikuti Malaysia (61,7%), Filipina (29,2%) dan Thailand (27,4%)10.  

Sebagai  salah  satu  pengguna  Internet  terbesar  di  dunia,  apa  yang  dilakukan  netter  dari Indonesia? Baik data dari pemerintah (Kominfo, 2010) dan lembaga peneliti pasar independen IPSOS11 mengkonfirmasi bahwa mereka adalah pengguna  social media kelas berat: mereka selalu  ber‐mediasosial  ketika  online.  83%  dari  pengguna  Internet  di  Indonesia  adalah  juga pengguna media  sosial  –  ini angka  tertinggi di dunia,  yang disusul Argentina  (76%), Russia (75%), Swedia  (72%) dan Afrika Selatan  (73%)  – mengalahkan  Inggris  (65%), AS  (61%) dan Perancis  (50%)12.  Tercatat  di  bulan Mei  2012  Indonesia  adalah  ‘negara  Facebook’  terbesar keempat di dunia (setelah AS, Brazil dan  India) dengan 42,6  juta pengguna (17,6% populasi, 142% populasi online)  (Socialbakers, 2012). Saat  ini ada 19,5  juta akun Twitter di  Indonesia, menjadikannya pengguna terbesar kelima di dunia tahun 2012 ini13. Begitu populernya media sosial  ini,  seperti  twitter, hingga  apapun di’twit’  – mulai dari makanan, hingga  topik  serius yang melahirkan seri panjang twit hingga disebut kultwit  (kuliah twitter). Jika saja Descartes masih hidup, barangkali ia akan menandai corak ini dengan ungkapan “Communico ergo sum” – I share therefore I am. 

Namun  demikian,  data  publik  terakhir  yang  tersedia  (Kominfo,  2010),  barangkali  bisa memaksa  kita  sedikit  berpikir  kritis.  Jawa  dan  Sumatra  serta  wilayah  barat  Indonesia menikmati  infrastruktur  telepon  kabel  dan  nirkabel  yang  lebih  baik.  Pada  tahun  2005, terdapat  24.257  desa  (34,68%  dari  seluruh  desa)  di  Indonesia  yang  memiliki  sambungan telepon  kabel.  Pada  tahun  2008,  jumlah  ini meningkat menjadi  24.701  desa,  tapi  dari  segi persentase menurun menjadi hanya 32,76% dikarenakan  jumlah desa yang  juga meningkat. Sebagian  besar  desa  yang  tersambung  ini  ada  di  Jawa‐Bali  dan  Sumatra. Gambaran  yang sama  juga terjadi untuk sambungan nirkabel. Desa‐desa di Jawa adalah wilayah yang paling terhubung secara nirkabel (Kominfo, 2010:34). 

Setelah  reformasi  1998,  ada  harapan  besar  bahwa  demokratisasi  tidak  hanya menyentuh sistem  politik  tapi  juga  pemerintahan  serta  mengalihkan  prioritas  kepada  pembangunan regional.  Akan  tetapi,  paling  tidak  di  sektor  telekomunikasi,  kita  melihat  bahwa 

9   Lihat Nielsen – Indonesia, “Indonesia The Most Reliant On Mobile Internet Access Across Southeast Asia: 

Nielsen” 11 July 2011, http://id.nielsen.com/news/Release110711.shtml diakses Desember 2011. 10   Lihat InternetWorld Stats – www.Internetworldstats.com/stats3.htm. 11   Lihat http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564.  12   Lihat “Most Global Internet Users Turn to the Web for Emails (85 per cent) and Social Networking Sites (62 

per cent)”, IPSOS press release, available http://www.ipsos‐na.com/news‐polls/pressrelease.aspx?id=5564  13   Lihat 

http://semiocast.com/publications/2012_01_31_Brazil_becomes_2nd_country_on_Twitter_superseds_Japan diakses 2 Mei 2012. 

Page 10: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

pembangunan  masih  belum  terdistribusi  dengan  merata.  Keadaan  tersebut  semakin diperburuk oleh adanya kesenjangan di  lapisan berikut dari pembangunan TIK, yaitu antara kabel  (serat  optik)  vs  nirkabel.  Infrastruktur  kabel  tertinggal  jauh  dalam  hal  pembangunan dibanding  infrastruktur  nirkabel.  Data  resmi  pemerintah  mengkonfirmasi  bahwa  selama kurun waktu 2004‐2009  terjadi pertumbuhan sangat  rendah dalam hal penetrasi kabel  (4%) sementara  jaringan nirkabel tumbuh sepuluh kali  lipat (41%). Pelanggan kabel selama 2005‐2009  menurun  dengan  laju  rata‐rata  0,67%  per  tahun  sementara  pelanggan  nirkabel meningkat dengan laju fantastis 34% per tahun (Kominfo, 2010:33). 

Bagaimana dengan media kita? Tak banyak bedanya. Media berjalan dan berkembang seiring dan menyatu dengan  teknologi komunikasi; dengan konsentrasinya yang  terpusat hanya di daerah‐daerah maju dan  kesenjangan  yang  sangat besar dengan daerah‐daerah  tertinggal, penyebaran  infrastruktur media  tetap  tidak  terdistribusi  secara merata. Ditambah  lagi, kita tahu  dari  pengalaman  langsung  betapa  publik  juga  terpaksa mengkonsumsi  konten  acara yang bermutu rendah dan tidak mendidik—tanpa memiliki pilihan lain. Dalam konteks ini, tak heran  jika  di  samping  maraknya  media  sosial  digunakan  sebagai  media  alternatif menyuarakan  kegelisahan  publik,  jauh  lebih  dahulu  sebelumnya  stasiun  televisi  lokal  dan media  komunitas  (utamanya  radio)  muncul  di  berbagai  daerah  sebagai  sebuah  respon gagalnya  media  berita  utama  menghadapi  beragamnya  kebutuhan  sosial  (lihat  juga Bagdikian, 2004). Namun, meski media komunitas dan media lokal menawarkan cara kepada warga untuk mengakses  informasi yang  lebih berorientasi sosial dan  lebih  relevan  terhadap keseharian mereka (dan dengan demikian lebih berdampak pada kehidupan mereka), ia juga jadi sasaran bisnis. Nyata di depan mata bahwa demi  laba kelompok‐kelompok bisnis besar mulai membeli media lokal untuk menjadi bagian dari jaringan bisnis mereka.  

Apa yang kita amati di sini adalah fenomena yang mungkin dapat dikonseptualisasikan secara tepat  sebagai  ‘ketercerabutan’ atau disembeddedness  (jika meminjam  istilah Polanyi,  1957), yaitu sebuah situasi di mana perkembangan (penciptaan, difusi, adopsi) teknologi –termasuk teknologi media—tercerabut dari konteks sosial yang menjadi landasan eksistensinya. Didikte oleh  revolusi  teknologi  internal, media  semakin  cepat  terlepas  dari  keterkaitannya  dengan evolusi  masyarakat  dalam  populasi  massa.  Makin  banyaknya  keterkaitan  yang  terlepas menjadikan  media  kehilangan  peran‐peran  yang  tersisa  dalam  merepresentasikan permasalahan  sosial  yang  dihadapi  populasi massa  karena  telah menjadi  produk  revolusi teknologi  internal.  Lihatlah  kontras  pertumbuhan  (eksponensial)  pengguna  Internet  di Indonesia  (dalam persentase populasi) dengan perkembangan  (linear) atas beberapa  indeks pembangunan,  misalnya.  Sementara  perkembangan  teknologi  mengikuti  tren  yang eksponensial (atau setidaknya  logistik)– perkembangan masyarakat selalu meningkat secara linier.  Terciptanya  konten  yang mencabut  audiens  dari  realitasnya  adalah  gejala  penanda ketercerabutan ini. 

Dalam  terang  ini, perkembangan media yang  serampangan  tanpa pertimbangan  (mindless) dapat  memperburuk  situasi.  Media  bisa  jadi  bertindak  sebagai  pelaku  utama  virtualisasi ekonomi, politik, kebudayaan, dan hukum  seperti yang  terjadi  saat  ini. Dampak dari hal  ini bisa sangat buruk. Yang paling mengemuka: digerusnya hak warga bermedia. 

Antara dinamika industri dan hak warga bermedia 

Isu  hak warga  dalam  bermedia,  juga  terhadap  partisipasi warga  dalam media,  telah  lama didiskusikan  baik  di  tingkat  lokal  maupun  global.  Pada  prinsipnya,  gagasan  hak  warga bermedia bisa dipahami oleh semua pemangku kepentingan media. Namun pemahaman dan penerimaan, apalagi penjaminan, adalah perkara lain. Ketika isu ini makin mengemuka akhir‐

10 

Page 11: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

akhir  ini, dan dipakai  sebagai perspektif untuk membedah kinerja media,  jelaslah  isi media makin  kehilangan mutunya,  dan  fungsi  publiknya makin  tergerus.  Perkembangan  industri media lebih kentara untuk mendukung motif profit mereka semata. 

Hak  warga  terhadap  informasi,  di  sisi  lain,  hanya  merupakan  salah  satu  aspek  dari keseluruhan  isu  hak  warga  dalam  bermedia  yang  harus  dipenuhi  (Joseph,  2005).  Media memiliki  tugas  untuk melindungi  dan memungkinkan  warga  untuk menggunakan  haknya dengan  cara mempertahankan  karakter  publik  dan menyediakan  ruang  untuk  keterlibatan sipil. Akan  tetapi,  tugas  suci  ini  kerap  diabaikan  karena  kepentingan  bisnis  yang menyetir industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan kelompok media di semua sektor media.  

Kepemilikan media di  Indonesia sangat terkonsentrasi, didominasi oleh dua belas kelompok besar  (Nugroho  et  al.,  2012:  Tabel  4.1.).  Struktur  yang  terkonsentrasi  ini  mencerminkan sebuah  kendali  tinggi  pada  tindakan  maupun  aliran  informasi  dari  titik  pusat  hingga  ke periferal.  Jaringan  seperti  ini  tidak  hanya menampilkan  hubungan  konsentrasi  kepemilikan dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan secara logis bagaimana kendali medium dan konten terjadi. Apa implikasi langsungnya? 

Menjalankan media  secara murni  sebagai  bisnis, menjadikan  berita  dan  informasi  sebagai komoditas serta mengkapitalisasi konten, sebagai bagian dari strategi bisnis, telah membuat warga menjadi tidak berdaya. Dengan pertumbuhan industri yang eksponensial sekarang ini, media tidak dalam posisi untuk menyediakan ruang atau ranah yang dibutuhkan oleh warga untuk terlibat satu sama lain. Alih‐alih membudayakan masyarakat, media saat ini sepertinya telah  kehilangan  karakter  pembudayaannya.  Apa  yang  dimaksud  di  sini  terutama  adalah situasi  di  mana  industri  media  telah  membiarkan  motif  profit  menghancurkan  dan menghapuskan  karakter  publik  dari media. Dalam  gambaran  seperti  ini,  tidak  ada  tempat untuk warga. Apa yang tersisa hanyalah pemirsa sebagai konsumen (yang mempunyai daya beli, tetapi harus menerima program apapun yang ditayangkan) bukan sebagai warga negara (dengan hak‐haknya). 

Sepertinya saat  ini  lebih  jelas terlihat, bahwa media di Indonesia  lebih mewakili kepentingan pasar  daripada  kepentingan warga  atau  negara. Hal  ini  terkadang  terlihat  sebagai  sebuah standar ganda: sensitif terhadap kegagalan‐kegagalan di badan‐badan publik atau komunitas sipil,  tetapi  tidak  sensifit  terhadap  kegagalan‐kegagalan  yang  sama  pentingnya  di  sektor pasar,  terutama  yang  berdampak  pada  dunia  korporasi  swasta.  Berikut  ini  satu  contoh mengenai  Kelompok  Lippo.  Para  pemilik  saham  Kelompok  Lippo  hanya  tertarik  dengan informasi atau berita yang bersinggungan dengan kepentingan bisnis kelompoknya. Karena Kelompok Lippo  juga mempunyai bisnis di sejumlah sektor publik seperti  jasa kesehatan dan properti,  berita mengenai  sektor‐sektor  ini  akan  dilaporkan  oleh  Beritasatu Media  Holding dengan  gaya  yang  cenderung  subjektif,  sementara  informasi  atau  berita  yang  berasal  dari sektor lain dapat dilaporkan secara lebih objektif di kanal‐kanal media mereka. 

Bias keterwakilan  ini bukan  sekadar melindungi  sistem korporasi, karena bias  ini  juga  telah merebut  kesempatan  publik  untuk  memahami  dunia  yang  sebenarnya  (Bagdikian, 2004:xviii)14.  Dengan  begitu,  ia  menyembunyikan  informasi  yang  mungkin  penting  bagi publik. Kita melihat saat  ini, bagaimana pemilik media menggunakan medianya sebagai alat untuk menyampaikan  kepentingan‐kepentingannya.  Situasi  ini  semakin memburuk  ketika 

14   Mungkin layak juga untuk dicatat bahwa menurut Hermann dan Chomsky (1988), pilihan yang paling bias 

dalam media muncul dari pre‐seleksi orang‐orang berpikiran kanan, internalisasi konsepsi‐ulang, dan adaptasi personal terhadap hambatan kepemilikan, organisasi, pasar dan kekuasaan politik. 

11 

Page 12: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

pemilik media  juga menjadi politisi dan menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk  mempengaruhi  opini  publik.  Karena  meskipun  para  pemilik  media  tidak  terafiliasi dengan  politik,  media  masih  mempunyai  kecenderungan  untuk  mengarah  kepada  satu pandangan politik tertentu, dan ini mempengaruhi netralitas dari media. Memastikan bahwa mereka memiliki  lingkungan politik yang bersahabat merupakan keinginan yang tidak dapat ditolak  oleh  sebagian  besar  korporasi‐korporasi  besar.  Hal  ini  mendukung  mereka  untuk memaksimalkan tingkat profit mereka, sementara mereka tidak terlalu peduli dengan faktor‐faktor lain seperti keadaan sosial, lingkungan, kebudayaan dan lain‐lain. 

Hal  ini menjadi  dilema  bagi media  yang  pemiliknya  terlibat  dalam  politik.  Intervensi  dari pemilik telah menciptakan tekanan di dalam media. Di satu sisi, tidak diragukan lagi, pemilik dan  para  pemegang  saham  adalah  penting  bagi  media.  Di  sisi  lain,  media  harus memperjuangkan  integritasnya untuk memastikan berita dan  informasi yang disajikan tidak bias, terutama untuk publikasi berita yang mengecilkan pemilik media. Bagaimana caranya? Tampaknya,  menyeimbangkan  berita  yang  berkaitan  dengan  kepentingan  pemilik  (misal vivanews)  telah  menjadi  sebuah  pilihan  di  mana  media  dapat  memperjuangkan  dan menunjukkan integritasnya. Namun, hal ini juga menunjukkan besarnya dampak dari persepsi publik  terhadap media.  Itu  sebabnya beberapa media berusaha untuk  tidak menyampaikan isu‐isu sensitif yang berkaitan dengan pemiliknya dengan tujuan untuk menjaga agar persepsi publik  terhadap medianya  tetap  positif. Hal  ini  terdengar  seperti  bias  dalam media,  tetapi kemudian,  netralitas  dalam  media  memang  sangat  sulit  ditemukan  (Bagdikian,  2004). Penelitian doktoral Nurhayani Saragih (2012) misalnya menunjukkan tujuh dari dua belas grup tersebut  teridentifikasi mendukung  gerakan  “Pilpres  Satu  Putaran”  (Viva‐Visi Media  Asia, MNC group, CT Corp, Elang Mahkota Teknologi, Tempo Inti Media, Kompas Gramedia, Jawa Pos) yang melibatkan dana dari sejumlah konsultan politik (termasuk Fox Indonesia, LSI, dan lain‐lainnya).  

Pada  titik  ini  kita  dapat  merangkum  sejumlah  isu‐isu  utama  di  dalam  industri  media  di Indonesia dalam kaitannya dengan hak warga bermedia. Pertama, konten. Sebagaimana telah didiskusikan  di  bagian  awal  laporan  ini,  konten  telah  menjadi  sebuah  isu  yang menghubungkan aspek‐aspek dalam media mulai dari hulu (produksi) hingga hilir (distribusi). Meskipun  begitu,  inti  dari  isu  konten dapat  terkait  dengan  alasan  utama  eksistensi media, yaitu  menyediakan  ruang  publik  untuk  warga  negera  agar  dapat  terlibat  dalam  sebuah masyarakat  yang  demokratis  dan  rasional  (Habermas,  1984;  1989).  Konten media  adalah media  itu  sendiri di mana dengannya warga dapat  terlibat, dan pesan dari media  itu, yang melaluinya warga  dapat  terlibat. Di  satu  sisi,  produksi  konten  harus  didasarkan  pada,  dan cerminan dari, kebutuhan warga negara. Namun, gagasan tentang ‘kebutuhan’ sendiri cukup problematis  karena  sangat  mudah  disalahartikan  sebagai  ‘keinginan’:  tidak  semua  yang diinginkan adalah yang dibutuhkan. Tetapi, bisnis, termasuk media, beroperasi tepat di logika ‘merekayasa keinginan manusia’ dan mengartikannya  sebagai  ‘kebutuhan manusia’. Secara teori, satu kebaikan media adalah bahwa media mempunyai kekuatan untuk mendidik warga mengenai  apa  yang mereka  butuhkan  –  bukan  sekedar  apa  yang mereka  inginkan. Media harus,  dan  sudah  seharusnya, mendidik  dan  ‘memberadabkan  publik’ melalui  kontennya. Sayangnya, pernyataan ini sepertinya tidak berhasil. Sebaliknya, konten media telah menjadi sangat tergantung pada rating, yang mencerminkan tidak lebih dari ‘keinginan manusia’ (lebih tepatnya: keinginan yang ter‐rekayasa) daripada  ‘kebutuhan manusia’. Rating, telah menjadi norma yang baru. 

Kedua,  perkembangan  tekno‐ekonomi.  Sementara motif  profit  sudah  secara  jelas  menjadi pendorong utama perkembangan industri media saat ini, inovasi dalam teknologi media juga menjadi  faktor  yang  tidak  kalah  pentingnya.  Seperti  yang  sudah  didiskusikan  sebelumnya, kemajuan teknlogi, khususnya Internet dan media baru, telah mengubah struktur dan model 

12 

Page 13: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

bisnis media, tidak hanya menyediakan platform baru untuk distribusi konten seperti saat ini, tetapi  juga  untuk  konvergensi media  dan  strategi  digitalisasi  yang  akan  datang  (Lawson‐Borders,  2006).  Sayangnya,  kebijakan  media  sepertinya  tidak  mampu  mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi dan ekonomi. Ketika kebijakan‐kebijakan yang ada saat ini  tidak dijalankan untuk membatasi  konsentrasi  kepemilikan media, belum  ada  kebijakan yang  disiapkan  untuk  mengantisipasi  dampak  dari  model‐model  bisnis  baru  yang berkembang, sebagai konsekuensi dari konvergensi dan digitalisasi media yang akan datang. 

Sebagian  besar  peraturan  media  hanya  terfokus  pada  konten  (terlepas  dari ketidakmampuannya  untuk menjamin  keberagaman),  dan mengabaikan  cara‐cara  di mana praktek‐praktek bisnis baru akan berdampak  terhadap hak warga dalam bermedia  (Joseph, 2005) 

Ketiga, kebijakan media. Seperti yang telah disebutkan di atas, kebijakan‐kebijakan yang ada saat  ini  amat  tertinggal  di  belakang  perkembangan  bisnis  media.  Beberapa  kebijakan sebenarnya  telah  dirumuskan  dengan  baik,  namun  diimplementasikan  secara  buruk. Kebijakan  lainnya  terlalu  ambigu  dan  secara  sengaja  diterjemahkan  sebagai  hal  yang menguntungkan  bisnis  media.  KIDP  mengajukan  tuntutan  mengenai  UU  Penyiaran  no. 32/2002 Pasal  18(1) dan Pasal  34(4). Meskipun kedua pasal  tersebut mengatur kepemilikan dan  membatasi  jumlah  ijin  yang  diberikan  kepada  institusi  penyiaran  tunggal,  tidak  ada pernyataan yang jelas bagaimana efek yang diberikan oleh pembatasan ini. Interpretasi yang tidak  jelas  dari  pasal‐pasal  ini  diinterpretasikan  oleh  KIDP  sebagai  dukungan  legal  atas konglomerasi  di  bisnis media,  yang  telah memiliki  dampak  sangat  besar  dalam  hal  akses media dan konten. 

Terakhir, profesionalisme para jurnalis. Jurnalisme adalah sebuah profesi yang memiliki fungsi sosial:  jurnalis menyampaikan berita dan  informasi kepada warga  sebagai pemirsa.  Jurnalis memiliki pengaruh  tentang apa yang diinformasikan kepada warga, dan sebaliknya,  terlibat dengan realitas yang disampaikan dalam  informasi atau berita tersebut. Telah menjadi sifat dari  jurnalis –  sebagai profesi – untuk mewakili kepentingan publik dengan menyampaikan informasi yang dapat dipercaya dan berarti bagi publik  . Namun, pada kenyataannya,  tidak semua  jurnalis  memenuhi  tugas  mereka  seperti  yang  dimandatkan  karena  mereka  juga berkaitan  dengan,  dan  harus  melayani,  korporasi  media  di  mana  mereka  bekerja  serta kepentingan‐kepentingannya.  Ini menunjukkan adanya  tekanan antara  ‘komitmen’  (sebagai seorang  jurnalis)  dan  ‘pekerjaan’  (sebagai  seorang  pegawai).  Tekanan  tersebut  akan  selalu ada, karena mengabaikan  salah  satu dari dua hal  tersebut merupakan  suatu hal yang  tidak mungkin.  Sebagaimana  pun  publik  mempertanyakan  kemandirian  dan  kredibilitas  para jurnalis, para jurnalis pun sebenarnya ada di bawah tekanan dalam bekerja untuk kepentingan media. Meskipun  begitu,  apa  yang  dalam  keseharian  semakin  tampak  oleh warga  adalah pelemahan  secara  sistematis  terhadap  pekerjaan  jurnalis  sebagai  perwujudan  sebuah komitmen. Kerja  jurnalis  (yang  lemah  secara  sistematis)  seperti ditunjukan dalam  sebagian besar  media15  menunjukkan  bahwa  mereka  lebih  peduli  pada  jurnalis  sebagai  sebuah pekerjaan, daripada jurnalis sebagai sebuah komitmen. 

Dalam pemahamannya mengenai karakter publik dari media, Lippman  (1922) menekankan bahwa  manusia  –termasuk  jurnalis–  mempunyai  kecenderungan  untuk  lebih  percaya ‘gambaran‐gambaran  di  kepala’  daripada  memberikan  pendapat  yang  didasarkan  pada pemikiran  kritis. Di  sini,  jurnalisme merupakan metode  yang  tidak  efektif  dalam mendidik 

15   Sering, meskipun tak banyak, TEMPO direferensikan sebagai salah satu kanal yang masih 

mempertahankan jurnalisme berkualitas tinggi. Operator media lain yang dulu memiliki reputasi untuk kualitas tingginya, seperti Kompas, di sisi lain, menunjukkan penurunan standar jurnalismenya. 

13 

Page 14: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

publik. Oleh karena  itu, pemberitaan bukanlah merupakan cermin dari kondisi sosial,  tetapi laporan dari  sebuah aspek  yang  telah menonjolkan dirinya  sendiri. Meskipun begitu, berita yang dibuat oleh jurnalis akan cenderung subjektif karena ia menyampaikan tafsir kebenaran dari  jurnalis,  dan  berita  itu  sendiri  dibatasi  oleh  bagaimana  para  jurnalis mengkonstruksi realitas. 

Pembahasan  mengenai  peran  dari  jurnalis,  sementara  menyimpulkan  isu‐isu  yang menyangga media di Indonesia, membawa kita kembali kepada  isu utama dari media dalam pemahaman McLuhan (1964): keterpautan antara medium dan pesan. 

Konstruksi budaya dan mekanisme pasar dalam media: Implikasi 

Jika  refleksi  ini diteruskan  selangkah  lagi, barangkali yang perlu ditelisik adalah apa makna semua  ini  bagi  insan  media?  Apa  peran  pekerja  media  karena  di  balik  tiap  media  ada keterlibatan  mereka?  Apakah  pekerja  media  saat  ini  masih  berada  dalam  posisi  sebagai bagian eksklusif dari masyarakat yang bisa mengarahkan orientasi budaya atau menciptakan inovasi budaya? Ataukah mereka harus menerima posisi mereka sebagai ‘profesional’ sebagai bagian dari kelas pekerja, beserta struktur pembagian kerja dan standarnya sendiri?  

Akan  tetapi  jangan  pernah  lupa,  jantung  globalisasi  adalah  ekonomi  yang membutuhkan sumber  daya  manusia  yang  bisa  saling  menggantikan  (interchangeable)  dan  bisa  saling mengisi  (modular)  untuk  memompa  kinerja  ekonomi.  Jika  seorang  pekerja  tidak  bekerja (entah  karena  sakit,  cuti,  PHK  atau  pensiun), maka  tempatnya  harus  bisa  digantikan  oleh seorang pekerja  lainnya. Kini gantilah kata “pekerja” dengan  insinyur, analis, akuntan –atau dalam  fokus kita, pekerja media. Di sinilah kaitannya: di mata neoliberal,  fungsi pendidikan media  tak  lain  adalah  untuk  (1)  membuat  pekerja  media  bisa  saling  menggantikan  dan mengisi  satu  sama  lain;  dan  (2)  mencetak  generasi  konsumen  media  yang  baru  yang memastikan  roda  pasar media  tetap  berputar.  Kedengarannya  kejam,  tetapi  inilah  realita hbungan langsung antara pendidikan media/komunikasi dan globalisasi. 

Mudah‐mudahan  sampai  di  sini  kita  melihat  perkara  penting  ini:  acapkali  serbuan neoliberalisme  lewat media  justru  terjadi  lewat  berbagai  kerumitan  yang  seolah  tak  kasat mata. Hanya jika kita memaksa diri berefleksi, kebrutalan itu baru kentara. Ditarik lebih luas, hal yang mirip juga terjadi pada konstruksi budaya dan perilaku sosial lewat mekanisme pasar. 

Bagaimana pasar sebenarnya mempengaruhi perilaku sosial dan konstruksi budaya? Budaya apa yang dibawa globalisasi neoliberal ini? Ketika menelaah rasionalitas pemerintah di tengah gempuran  neoliberalisme  dengan menggunakan  kajian  kekuasaan warisan  Foucault,  Colin Gordon akhirnya menyimpulkan bahwa dunia kini tengah hidup dalam sebuah budaya (kultur) yang baru, yakni,  “tatakelola  identitas diri dan  relasi‐relasi yang didasarkan pada  kapitalisasi kehidupan” (Gordon, 1991:44). Tetapi bukankah kapital (modal) bukan hanya uang/finansial? Benar, tetapi bagi ekonomi neoliberal itu hanyalah soal pelintiran kata‐kata belaka.  

Seorang ekonom, Ben Fine (2000), meneliti karya empat pemikir besar: Pierre Bourdieu, Gary Becker,  James Coleman dan Robert Putnam  yang mendasari gagasan  ‘modal  sosial’  (social capital)  yang  didalamnya mencakup  ‘modal  budaya’  (cultural  capital)  dan  ‘modal  spiritual’ (spiritual  capital).  Kesimpulannya  menyesakkan.  Ia  bilang,  bahwa  modal  sosial  “hanyalah kiasan belaka. Jika tidak, pasti ada modal yang bukan sosial, yang secara relatif punya potensi 

14 

Page 15: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

berbeda dari modal sosial”  (Fine, 2000:26)16 , dan pasti ada kemungkinan untuk memisahkan ruang produksi sosial dari ekonomi. Konsekuensinya, ini berarti bahwa beberapa jenis modal bukanlah sosial. Kalau tidak, pembedaan bentuk sosial dari modal  jenis  lain tak ada artinya. Nyatanya tidak. Anggapan bahwa modal adalah asosial  itu keliru. Sebaliknya, seluruh modal itu sosial dan tak ada produksi yang berada di luar konteks sosial dan institusional.  

Ekonomi neoliberal, menurut Fine,  justru membuat orang berpikir bahwa  segalanya adalah modal  (capital):  uang,  barang  dan  properti,  tetapi  juga  kepintaran,  pengaruh,  kepercayaan dan jaringan. Jadi kalau apa yang pada mulanya digagas oleh Bourdieu, Becker, Coleman dan Putnam mengenai  ‘modal sosial’ sebenarnya ditujukan untuk memahami sebentuk kapasitas warga untuk terlibat dalam dinamika kekuasaan guna menentukan berbagai keputusan yang mempengaruhi hidup bersama mereka  (misalnya dalam Putnam, 1993a; Putnam, 1993b),  ia kini dipelintir habis‐habisan: modal sosial tak lebih adalah idiom neoliberal. 

Lalu  bagaimana  konstruksi  budaya  (culture)  mesti  dipahami?  Menurut  Anthony  Giddens (1984),  reproduksi  sosial  (dan  budaya)  berlangsung  lewat  dualitas  yang  jarang  kita pertanyakan  antara  praktik  sosial  dan  struktur  sosial:  tindakan  dan  praktik  sosial  selalu mengandaikan  struktur  sosial  tertentu;  sementara  struktur  adalah  ‘hasil’  (outcome)  dari berulangnya praktik sosial 17. Ini bisa kita  lihat  jelas mulai dari anak‐anak yang selalu rebutan ke MacDonald’s  hingga  pengusaha  yang  rutin menyogok  polisi  atau  bea  cukai; mulai  dari kebiasaan menonton sinetron hingga keinginan menghadiri pameran di museum.  

Apa yang sentral dalam dualitas praktik‐dan‐struktur ini, namun kerap lolos dari pengamatan, adalah  fungsi  sarana‐antara  (modality).  Berebutannya  anak‐anak  mendatangi  waralaba MacDonalds, misalnya, bertumpu pada  sarana‐antara berupa  status yang melekat padanya. Dalam  budaya,  sarana‐antara  ini  berwujud  ‘bingkai  tafsir’  (interpretation  scheme).  Yang membedakan apakah orang menonton  sinetron atau dokumenter, membeli Kentucky Fried Chicken atau Ayam Goreng Kalasan, ikut dalam Indonesian Idol atau lomba baca puisi adalah ‘bingkai tafsir’  ini. Dan  jelas, kepadanya melekat erat citarasa‐selera  (taste). Pertanyaannya, bagaimana citarasa ini terbentuk? 

Dulu, seorang pujangga Inggris Bernard Shaw, dalam karyanya Man and Superman tahun 1903 menyampaikan petuah bagi kaum revolusioner (“Maxims for Revolutionaries”). Petuah nomor satu berbunyi “Do not do unto others as you would that they should do unto you. Their tastes may  not  be  the  same”  (“Jangan  lakukan  pada  orang  lain  agar  orang  lain  melakukannya kepadamu sesuai keinginanmu. Selera mereka belum tentu sama”). Petuah ini memenangkan hati banyak orang,  termasuk para ekonom, dalam waktu cukup  lama. Namun, dua ekonom George  Stigler  dan  Gery  Becker,  pada  tahun  1977  mencoba  menekuk  petuah  ini. Menggunakan  teori  pilihan  rasional  (rational  choice  theory),  esai mereka  yang  terkenal De gustibus non est disputandum  (dalam hal citarasa,  tak ada perdebatan), menyatakan bahwa semua  individu punya  selera  yang  sama  sehingga perbedaan dalam perilaku mereka  selalu bisa  dijelaskan  lewat  perbedaan  yang  teramati  lewat  kendala  yang  dihadapi  ketika 

16   Kutipan aslinya, “Social capital is simply an oxymoron. To be otherwise, there would have to be some sort of 

capital that is not social relative to which social capital has the potential to be distinctive” (Fine, 2000:26). 17   Apa yang dipahami sebagai struktur di sini bukanlah melulu benda atau organisasi, melainkan skemata 

(cara berpikir, cara bertindak, dll.). Ada tiga gugus struktur: (1) struktur signifikasi (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan dan wacana; (2) struktur dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi) dan (3) struktur legitimasi (legitimacy) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam tata‐hukum (Giddens, 1979:82; 1984:29‐33). 

15 

Page 16: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

menentukan  kegunaan  (utility)  dan  bukannya  dari  perbedaan  yang  tak  teramati  dalam  hal selera (taste) (Stigler and Becker, 1977).  

Setelah  sekian  lama para  ekonom percaya  (walau  sulit menjelaskan) bahwa  citarasa  setiap orang berbeda  thesis  ini  tentu mengejutkan.  Ia  segera disambut dengan  sorak‐sorai karena menjelaskan, atau  tepatnya  justru meniadakan, apa yang selama  ini susah dijelaskan dalam teori  ekonomi  tentang  selera,  yang  dianggap  tidak  rasional  (Blaug,  2001).  Becker  bahkan menerima  Hadiah  Nobel  Ekonomi  pada  tahun  1992  karena  pandangannya  tentang rasionalitas  tindakan  manusia.  Bisa  dimengerti  karenanya  kalau  tesis  ini  tak  mendapat tentangan  dari  para  ekonom  mainstream,  kecuali  dari  mereka  di  kubu  ekonomi  budaya (cultural economics).  

Para ekonom budaya, sejak Baumol dan Bowen  (1966), mengajukan berbagai bukti empirik bahwa  selera  sangat  bisa  dibedakan  menurut  pendapatan,  umur,  pekerjaan,  tingkat pendidikan, dan  lebih‐lebih  lagi  lamanya mereka dididik secara  formal  (misalnya Dickenson, 1992; Dobson and West, 1990). Bahkan sebelumnya, Bourdieau juga menegaskan bahwa ada kaitan erat antara citarasa kelas sosial dan modal pendidikan (Bourdieu, 1979). Selain itu juga banyak  bukti  lain  tentang  pentingnya  pendidikan  dini  tentang  budaya  yang  nantinya  akan mempengaruhi berbagai bentuk partisipasi dalam beragam kegiatan kebudayaan (mulai dari sekedar menonton  hingga  partisipasi  aktif  berkebudayaan)  terlepas  dari  perbedaan  dalam pendapatan  atau  biaya menghadiri  kegiatan  tersebut  (O'Hagan,  1996).  Singkatnya,  bahwa citarasa dan  selera  itu  sudah  secara endogen ada dan  tak bisa diabaikan begitu  saja hanya karena ia tak teramati seperti klaim Stigler dan Becker. Lebih‐lebih lagi, bukankah ‘kegunaan’ (utility)  yang  melekat  dalam  barang  ekonomi  juga  sama‐sama  tak  bisa  diamati  seperti ‘selera’? 

Namun  juga bahkan ketika para ekonom budaya  itu benar, bahwa citarasa  itu berbeda dan pembentukannya  sangat  dipengaruhi  oleh  berbagai  jenis  situasi  dan  relasi  sosial,  faktanya ekonomi  modern  berhasil  menjinakkannya  secara  cerdik.  Pertama,  misalnya  kenyataan bahwa berbagai produk  industri klutural modern umumnya bersifat  ‘pengalaman berjangka’ (experience goods) – di mana citarasa  terbentuk  lewat proses konsumsi dalam  jangka waktu tertentu  dan  bahkan  mengakibatkan  ‘ketagihan  rasional’  (rational  addiction).  Lihatlah berbagai  jenis  game mulai  dari  Play  station  hingga Nintendo,  atau  saksikanlah  acara‐acara macam sinetron atau Pop Idol, dan anda akan segera paham maksud saya. Sebenarnya sambil diam‐diam mengakui bahwa selera itu tidak seragam dan stabil, melalui konstruksi konsumsi semacam  ini  ekonomi  modern  mempengaruhi  citarasa  itu  seraya  mencoba menyeragamkannya,  baik  bentuk  maupun  isinya.  Kedua,  akhirnya  soal  selera,  dalam ekonomi,  tetaplah berujung pada permintaan dan penawaran. Di sini, para ekonom budaya pun  terkecoh. Dalam ekonomi,  yang penting adalah pasar, bukan  individual. Maka  soalnya segera mengerucut pada elastisitas harga dan permintaan akan  teater, opera, konser,  film, tarian, lukisan, dan lain sebagainya (Blaug, 2001).  

Namun jika kita ingat bahwa berbagai produk kultural adalah experience goods seperti dibahas sebelumnya,  apakah  kita bisa  sungguh‐sungguh  yakin bahwa permintaan  komoditi budaya terpisah dari suplai (yang menyangkut biaya dan harga) –dan sebaliknya? Tentu meragukan. Seperti  halnya  dalam  ekonomi  kesehatan  yang  berdasarkan  pada  permintaan  yang dipengaruhi  penawaran  (rumah  sakit  dan  perusahaan  farmasilah  yang  akhirnya mempengaruhi  permintaan  akan  jasa  kesehatan  dan  obat),  ekonomi  kultural  pun  berjalan dalam  corak  serupa.  Juga,  seperti  dokter  yang  seharusnya  tak  berpihak  namun  nyatanya justru menggunakan  jubah  ‘keahlian’  (expertise) mereka  untuk  bermain  sebagai Tuhan  dan mempengaruhi permintaan dalam ekonomi kesehatan, budayawan dan para ahli budaya pun terpeleset dalam jebakan yang sama.  

16 

Page 17: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Dalam  diskusi  ini,  barangkali  pelan‐pelan  mulai  disadari  betapa  sentralnya  peran  media. Semata‐mata bukan karena ia membawa informasi dinamika perkembangan budaya dan nilai ekonomi budaya, melainkan,  lebih penting  lagi, karena  ia  terlibat erat dalam pembentukan citarasa  itu  sendiri.  Namun,  kembali  kita  berhadapan  dengan  kenyataan  bahwa  di  ujung perkara, media adalah  satuan bisnis yang  tidak bisa mengelak dari  tujuan akumulasi modal dan laba. Omongan bahwa insting dan rasa‐merasa kita adalah hal yang alami makin menjadi omongan yang kehilangan makna. Kalau setiap hari anak‐anak kita diserbu  iklan TV tentang bergengsinya  McDonald’s,  dalam  diri  anak  berlangsung  proses  pembentukan  jenis  status sosial  yang  berkisar  pada  tersedianya  burger  itu  di  tangan  mereka.  Kalau  tiap  hari  kita menyaksikan  tayangan  film‐film  yang menawarkan mimpi dan gaya hidup a  la Hollywood, dalam diri kita sendiri berlangsung proses pembentukan selera dan gagasan  tentang sukses seperti itu. Maka, seperti anak‐anak yang akan sedih dan tidak merasa hebat jika tidak makan burger McDonald’s, kita  juga merasa belum puas  jika belum menghidupi gaya hidup seperti mereka  yang  kita  lihat  di  media  kita.  Maka,  yang  sebenarnya  ada  bukanlah  konsumsi, melainkan konsumerisme –konsumsi yang mengada‐ada.  

Bahkan  kalaupun  ilustrasi  di  atas  terlihat  komikal,  ia  menggambarkan  seperti  apa  hidup bersama (sosialitas) kita sedang dibentuk oleh kultur global ini lewat media. Dan tentu jangan lupa bahwa gaya hidup global  ini tengah diekspor ke seluruh penjuru dunia. Apalagi, seperti halnya akumulasi  laba adalah motivasi kunci kinerja bisnis media,  logika bisnis  juga  lah yang akan lebih menentukan arah, corak, dan isi media. Hal‐hal selain itu –misalnya apakah sajian media  mendidik  publik  dalam  menghadapi  berbagai  perkara  hidup  (termasuk  mendidik citarasa publik akan isi media sendiri)— tidak pernah menjadi soal utama. Gampangnya, kalau bermanfaat, ya syukurlah. Tetapi kalau tidak, toh tujuan mendidik publik untuk menghadapi perkara hidup tidak pernah menjadi tujuan media hari‐hari ini.  

Sekedar contoh, lihatlah pop idol yang menjamur mulai dari X‐factor di Inggris, American Idol hingga  versi  lokalnya  Indonesian  Idol.  Kalaupun  ada,  ‘bingkai  tafsir’ macam  apakah  yang dibawanya? Bagi bisnis,  itu  tak penting  sepanjang  laba yang dikeruk dibelakangnya  lestari. Lihat saja, dalam dunia media, TV dan studio film AS mengeruk 50%‐60% keuntungannya di luar AS dan dan angka itu mencapai 70% untuk perusahaan rekaman musik. Hanya ada tujuh perusahaan  pembuat  film,  bagian  dari  konglomerasi  dunia,  yang mendominasi  pasar  film global  dan  hanya  ada  lima  perusahaan  yang menguasai  industri musik  dunia.  Hollywood mengeruk  US$11  milyar  dari  pembelian  acaranya  yang  disiarkan  TV‐TV  di  seluruh  dunia (termasuk  Indonesia) pada tahun 2002 – naik dari 7 milyar di tahun 1998 (Gabel and Bruner, 2003:106).  Ini semua dimungkinkan dengan adanya 180 satelit geostasioner komersial yang memancarkan komunikasi suara, data dan gambar ke seluruh muka bumi (h.78).  

Jadi, mungkin  ibarat mendulang  angin  kalau  kita meletakkan  harapan  pada media  untuk membantu  merumuskan  ‘bingkai  tafsir’  atas  kebudayaan  dan  keberadaban  publik.  Yang terjadi malah sebaliknya. Karena ingin segera memburu laba, bisnis media malah terpelanting menjadi bisnis  intip‐mengintip murahan atas dasar komersialisasi  insting sensual dan pamer gaya hidup. Dan kita  tahu bahwa dalam komersialisasi  insting murahan macam  itu estetika tidak  lagi  punya  tempat. Maka  kini  kita mengerti,  persoalan  kebudayaan  tidak  lagi  karena ketidaktahuan (ignorance) seperti yang dikeluhkan para ahli budaya setengah abad yang lalu. Soal budaya hari‐hari ini adalah soal kedangkalan (banality), dan ia makin mengkhawatirkan.  

Kekhawatiran  ini muncul  karena  cara produksi  kultur  kontemporer dalam masyarakat hari‐hari ini dilakukan lewat desakan atau program (entah itu karena tujuan komersial atau semata filantropi  bisnis)  dan  bukannya  tercipta  sebagai  proses  konstruksi  tradisi  alamiah  yang dimaksudkan menjadi  sarana  fungsi‐fungsi  sosial‐budaya.  Kalau  kultur  dipandang  sebagai produk,  kesamaan  akan  mempermudah  segala  prosesnya  (baik  produksi  maupun 

17 

Page 18: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

distribusinya). Atas dasar  itulah warna‐warni budaya dalam globalisasi hanya dimungkinkan dalam homogenisasi budaya.  

Dalam  hal  bahasa, misalnya,  pada  abad  ke‐16  hanya  ada  tujuh  juta  orang  yang  berbicara dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1990an angka ini membengkak menjadi lebih dari 350 juta lebih pengguna asli dan 400  juta  lebih menggunakannya sebagai bahasa kedua. Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, jumlah bahasa yang dipakai di dunia anjlok dari sekitar 14.500  bahasa  pada  abad  ke‐15 menjadi  kurang  dari  7  ribu  saja  pada  tahun  2007. Dengan kecepatan  ini, para ahli bahasa memperkirakan bahwa 50%‐90% dari bahasa yang sekarang ini ada akan lenyap di akhir abad ke‐21 (Steger, 2009:81‐83).  

Itu mengapa kita menyaksikan munculnya kultur populer yang makin homogen yang selain termediasi lewat Bahasa Inggris juga didesakkan oleh ‘industri kultural barat’ yang berpusat di New York, Hollywood,  London  dan Milan. Dalam  kemelut  lenyapnya  berbagai  bahasa  asli, sudah  –dan  akan makin—jamak  kita  dapati  orang  Indian mengenakan  sepatu Nike  di  tepi sungai  Amazon,  anak muda  Palestina mengenakan  kaos  Chicago  Bulls  di  Ramallah,  atau warga Indonesia menyantap Kentucky Fried Chicken di sebelah warung gudeg di Yogyakarta18 . Walau  ada  negara‐negara  yang  mencoba  mencegah  ‘imperialisme  kultural’  ini  (misalnya dilarangnya  antena  parabola  untuk  menangkap  siaran  satelit  di  Iran,  atau  pemerintah Perancis menerapkan tarif dan kuota untuk film impor, atau semua film buatan luar negeri di‐dubbing di Italia), tetapi penyebaran kultur populer ini tak akan bisa dihentikan.  

Apa etos kultur populer ini? Benyamin Barber amat sinis. Dalam bukunya Consumed (2007) ia bilang, kalau pun ada etos, kapitalisme  ini hanya punya satu etos, yakni  ‘etos pengkerdilan’ (ethos of infantilisation). Etos pengkerdilan ini mengubah orang dewasa menjadi kanak‐kanak dan  menelan  warga  negara  bulat‐bulat,  melalui  iklan  dan  barang‐barang  konsumsi  yang membodohi, sementara tetap mentargetkan anak‐anak sebagai konsumennya (Barber, 2007). Etos  ini berdiri di atas  sikap bahwa akhir  itu  tak pernah ada bagi barang‐barang konsumsi. Untuk memperluas pasar dan mengeruk laba, produk global yang homogen perlu direkayasa bagi  anak‐anak dan  kaum muda  yang makmur. Seperti halnya  kesenjangan pendapatan di dunia  justru  akan membuat warga‐warga  di  negara miskin makin  terobsesi, mereka  yang sudah berumur pun (entah di negara kaya atau miskin) ingin kembali ‘muda’ melalui konsumsi itu.  Maka  bisalah  kita  kini  memahami  mengapa  sementara  Danau  Toba  atau  Candi Prambanan  tidak bertambah pengunjungnya secara berarti,  jumlah keluarga yang berpiknik dan  liburan  di  mall‐mall  atau  amusement  centre  malah  melonjak  jauh.  SINETRON  vs dokumenter. 

Barangkali  semua kisah dan angka‐angka di atas  justru makin menyesakkan bagi kita yang tengah  mencoba  memahami  pembentukan  kultur.  Karena  ia  dibentuk,  pasti  ada  media pembentukannya  –  dan  kembalilah  kita  terbentur  pada  persoalan media.  Tak  sulit  untuk memahami bahwa aliran kultur global  ini bergantung pada kekuasaan bisnis media. Seperti kita  tahu,  laba  adalah  keutamaan  bisnis media,  dan  kalau  isi media  yang membombardir masyarakat  dengan  kultur  globalnya  itu  makin  menggemukkan  pundi‐pundinya,  kloplah sudah. Dan itulah yang tengah terjadi. Membuat kenyataan kultur global makin jenuh dengan formula  pertunjukan  TV  yang  beragam‐namun‐seragam  dan  berbagai  iklan  yang  dungu (mindless),  perusahaan‐perusahaan  media  ini  makin  membentuk  identitas  dan  struktur keinginan  –atau  ‘kerangka  tafsir  dalam  struktur  citarasa  kultural’—kita  (meminjam  teori Giddens).  

18   Gudeg adalah makanan khas dari kota Yogyakarta, Indonesia. 

18 

Page 19: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Media dan pekerja media: Panorama masa depan 

Nilai‐nilai yang disebarkan oleh perusahaan media transnasional ini tak hanya mengukuhkan hegemoni kultur populer. Ia juga mengakibatkan depolitisasi realitas sosial dan melemahnya ikatan antar warganegara. Depolitisasi  sosial  terjadi  lantaran  transformasi  siaran berita dan program‐program pendidikan menjadi  info‐tainment yang dangkal. Karena penyajian  siaran berita  hanya membawa  separuh  laba  dibandingkan  sajian  hiburan,  perusahaan media  pun tergoda mengejar  laba  lebih tinggi dengan mengabaikan pemisahan keramat antara praktik kantor  berita  dan  keputusan  bisnis.  Justru makin  banyak  aliansi  antara  kantor  berita  dan perusahaan  hiburan  dan  makin  luaslah  gejala  jurnalis  ditekan  agar  bekerjasama  dengan operasi bisnis mereka.  

Sementara  itu, media  pun mencecar  kohesi warganegara. Dengan menginduksikan  logika bisnis  lewat  berbagai  isi  media,  pelan‐pelan  gagasan  warganegara  digerogoti  tanpa  ada perlawanan  berarti  baik  dari  pemerintah  (yang  terbeli)  maupun  warga  (yang  terlena). Memang, di mata pasar tak ada warganegara – yang ada hanyalah konsumen. Maka lalu tidak relevan misalnya membicarakan  hak‐hak warganegara  atas  kesehatan,  pendidikan  atau  air bersih. Yang berlaku  adalah hukum pasar  (walau  ada undang‐undang):  yang berhak  sehat, tersekolahkan  atau  bisa  minum  adalah  mereka  yang  punya  uang.  Bahkan  kinerja pemerintahan  pun  dinilai  dari  keberhasilan  ekonominya, misalnya  berapa  jumlah  investasi luar  negeri  atau  peningkatan  pertumbuhan  ekonomi.  Peran  pemerintah  akhirnya  bergeser menjadi serupa pengusaha – dan ini pun terjadi di negara kita.  

Di  tengah  hiruk  pikuk  dunia  dangkal  yang  tunggang‐langgang  karena  serbuan  globalisasi neoliberal ini, lantas bagaimana dengan masa depan media dan peran insan/pekerja media? 

Perkembangan teknologi seperti pencetakan dan penerbitan buku menyebabkan perubahan sosial besar lewat literasi: tak hanya orang makin bepikir secara linier, individualistis, tapi juga memungkinkan pengekangan pikiran dan rasa, ketercerabutan, desakan atas spesialisasi, dan bahkan  praktik militerisasi modern.  Karena  itu, McLuhan merayakan munculnya  teknologi media  baru  seperti  radio, TV,  telepon  dan  komputer  (dan  kemudian  Internet):  ia meyakini bahwa teknologi ini akan mengembalikan fungsi otak‐kanan yang ditekan oleh literasi. Dalam argumennya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message) bagi McLuhan yang  lebih penting adalah  struktur media ketimbang  isinya karena  struktur  itu membentuk kesadaran  manusia  secara  lebih  mendalam.  Misalnya,  sementara  struktur  media  cetak konvensional mengkotak‐kotakkan mereka yang membacanya secara pribadi, struktur media baru mendorong  keterhubungan  dan membangun  komunitas  internasional  (global  village) yang melompati batas‐batas politik sempit  (McLuhan and Fiore,  [1967] 2001). McLuhan  tak begitu  tertarik  dengan  siapa  yang  menguasai  produksi  dibandingkan  dengan  jenis‐jenis pemikiran dan kesadaran sensorik yang difasilitasi lewat TV.  

Nampaknya,  McLuhan  terkecoh.  Ambillah  film  seri  TV  atau  sinetron  sebagai  contoh. McLuhan  benar,  bahwa  kebanyakan  film  seri  di  TV  tidak  mendorong  pemikiran  linier (misalnya lewat alur cerita yang beragam). Namun ironisnya, kebanyakan isinya menceritakan drama  yang  itu‐itu  juga  (percintaan,  si  baik  melawan  si  jahat,  atau  sekedar  orang  biasa menjadi  sosok  tenar).  Dan  seringkali,  berbagai  acara  itu  menampilkan  episode‐episode ulangan – Hal ini juga bahkan terjadi dengan berita. Jadi, sementara mediumnya tidak linier, isinya tetap saja linier. Tapi bagi raksasa media, siapa yang peduli akan hal ini? Sejauh acara‐acara  itu ditonton dan membawa untung, dan sejauh  ia dan  iklan‐iklannya membuat makin banyak  orang  berintegrasi  dengan  budaya  global  (artinya  membeli  produk‐produk  kultur global) seperti mengenakan Levi’s, membawa Master Card, dan Cadillacs – hal  itu  tak akan pernah menjadi soal. 

19 

Page 20: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Bagaimana kita bisa memetakan panorama media dan budaya kita di masa depan, di dalam dunia  dangkal  yang  berlari  tunggang‐langgang  ini?  Pertama‐tama,  nampaknya perkembangan  teknologi  (informasi dan komunikasi)  sudah  jelas memunculkan pertanyaan akan  peran  publik  media  memediasi  berbagai  kemungkinan  terciptanya  hidup  bersama. Internet  dan media  sosial,  jelaslah  saat  ini, menjadi  kanal  pelepasan  atas  kegusaran  akan ketidakmampuan media  konvensional menjalankan  peran  publiknya.  Yang  akan  kita  tuju, barangkali di depan mata ini, adalah sebentuk citizens media yang pada jantungnya disokong oleh  social media  ‐media warga yang muncul dan berkembang  intrinsik dalam  social media. Apa  yang  saat  ini  kita  amati  tumbuh  dengan  cepat  –blogging, micro  blogging,  photo/video blogging,  social  networking  sites,  dan  lain‐lain–  adalah  penanda  akan makin  segeranya  kita menjejak  masa  social‐media‐based  citizens  media  ini.  Barangkali  kalau  tidak  disebut mengalami transformasi, media akan mendapatkan konteks yang sungguh baru. Tanpa harus buru‐buru meratap atau bersorak, kita mesti peka memindai konsekuensi‐konsekuensi yang bisa  jadi  segera menghantam  ke  pokok  perkara:  isi media  dan  dinamika  pekerja media  di masa depan.  

Internet,  khususnya  web2.0,  makin  akan  menjadi  alat  utama  produksi  –atau  setidaknya diseminasi—media. Tak hanya karena ini menggenapi visi Habermas (dan Marshall McLuhan dalam beberapa hal) tentang media yang demokratis, melainkan karena web2.0 akan makin menjadi  landasan berbagai  tindakan ekonomi,  sosial dan politik di masa depan. Tentu  saja apa yang membuat Morozov sinis tentang potensi web2.0‐social media yang justru delusional harus diperhatikan. Didorong teknologi digitalisasi, Internet akan menjadi ether interaksi yang makin  luas.  Isi  dan  corak  media  serta  hidup  masyarakat  bermedia  akan  makin  banyak tergantung pada teknologi online dan menghadirkan beragam karya  insan media  lewat web. Namun ingat: ada jarak luas, dan akan makin membentang, antara penyajian sebuah isi media dan upaya membangun kesadaran lewat isi itu.  

Berikutnya,  di masa  depan  kapitalisme  kultural  ini,  satu  situasi  hampir  pasti. Bagi  ekonom seperti  Jeremy  Rifkin  (2000), masa  depan  budaya  hanya  satu:  ia  akan makin  terjerembab dalam  komersialisasi. Kapitalisme  kultural  ini bukan hanya berarti prioritisasi  ekonomi  jasa dan  informasi atas ekonomi  industri, namun  lebih dalam  lagi: komersialisasi pengalaman  itu sendiri.  Pendorongnya  jelas:  inovasi  teknologi  –  internet  dan media. Dalam  perspektif  ini, budaya  (culture), seperti halnya alam  (nature) bisa  terus dikeruk sampai habis.  Industri gaya hidup, misalnya,  adalah  tambang  besar  komodifikasi  kultur  dan  keberagaman. Dan  dalam masa  ketika  ‘apapun  bisa  dikomodifikasi’  seperti  saat  ini,  tidak  mudah  memikirkan tandingannya.  Kecenderungan  counter‐cultural  justru menjadi  target  jeli  pemasaran. Mulai dari  soal musik  (perjalanan musik hip‐hop dan  rap  sejak  ia menjadi bagian  radikalisasi kulit hitam  hingga  kini malah menjadi mainstream  budaya  kulit  putih  –  dan  kehilangan  pesan radikalnya) hingga makanan (produk organik atau fair trade sebagai instrumen keadilan bagi produsen kecil hingga  jadi gaya hidup bergengsi kelas menengah atas). Media di sini   sudah, sedang, dan akan terus memainkan peranan sangat penting. 

Mencermati masa depan memang tidak mudah, dan sering kita  justru terjebak pada obsesi. Salah  satu  obsesi  studi media  dan  budaya  hari‐hari  ini  nampaknya  berpusat  pada  upaya menafsir  berbagai  karya  di  media,  sembari  berupaya  menemukan  penjelasan  untuk memahami kinerjanya, dan tentu saja kaitannya dengan bagaimana dunia bekerja. Tentu tak ada  salahnya  obsesi  semacam  ini,  namun  ia  tak  cukup  untuk  meneropong  masa  depan. Refleksi media dan budaya, apalagi dalam kaitan merawat cita‐cita hidup bersama  ini, mesti lebih peka memahami corak konsumsi dan berbagai ‘tipu‐muslihat’ dalam dinamika produksi isi media  karena di  situlah  terletak  kunci memahami masa depan. Kalau  tidak,  ia  tak  akan peka  membedakan  antara  pemirsa  aktif,  pengelana  cyber,  pembaca,  tukang‐belanja, 

20 

Page 21: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

pengamat,  pengintip,  atau  jurnalis  warga,  karena  semuanya  dianggap  konsumen  oleh ideologi pasar neoliberal ini.  

Oleh  karena  itu,  perlu  diingat  bahwa  citarasa  kebanyakan  (mayoritas)  belum  tentu  selalu merupakan  pandu  yang  baik  bagi  arah  kebudayaan.  Bahkan, merenungkan  data‐data  dan kajian literatur dalam seluruh rangkaian riset media di CIPG‐Hivos yang saya pimpin ini, saya cenderung mengatakan  ‘tidak’. Saya kira di  sini ada  satu pokok penting. Tidak cukup kalau kita hanya merefleksikan  situasi  kedangkalan  kultural  ini dan  refleksi  itu  ternyata  tak  lebih dari apologi. Kita harus beranjak  lebih  jauh:  refleksi  itu haruslah menyangkut gerakan kritik terhadap situasi pendangkalan yang akan  terus  terjadi  ini dan membangun  tindakan sedikit lebih  konkrit. Di  sinilah  pentingnya memasukkan  kembali  agenda  keadaban  (civility)  untuk beberapa kemungkinan intervensi. 

Pada akhirnya: Keterlibatan nyata 

Pertama  adalah  kebutuhan  publik  untuk  mengatasi  kekhawatiran  mengenai  besarnya perkembangan  konglomerasi  media  dan  hasilnya,  yaitu  konsentrasi  kepemilikan  yang berdampak  terhadap  kualitas  jurnalisme  dan mengancam  keberagaman  konten/informasi. Hal  ini untuk memastikan bahwa perkembangan  industri media  tidak  akan menghilangkan raison  d’être media  sebagai  locus  publicus,  ranah  publik  yang memediasi  kehidupan warga negara sipil. 

Kedua,  dalam  keprihatinan  yang  sama,  poin  aksi  selanjutnya  adalah  untuk merevitalisasi peran  pengaturan  dari  badan‐badan  sektor  publik,  khususnya  Komisi  Penyiaran  Indonesia (KPI). KPI  seharusnya memiliki  kewenangan  untuk mengendalikan  lansekap  industri media dan  cara di mana perusahaan‐perusahaan media bekerja. Tanpa otoritas penuh, KPI hanya akan mendampingi  Kemenkominfo  dalam meregulasi  lanskap media.  Dengan  adanya  KPI sebagai  institusi  publik  yang  independen  dan  memiliki  otoritas,  juga  akan  memastikan eksistensi kanal publik untuk menyampaikan kekhawatiran terkait kinerja media di Indonesia. 

Ketiga,  melanjutkan  proses  revisi  UU  Penyiaran.  Meskipun  agenda  politik  di  dalamnya tampak  jelas,  sulit  untuk melibatkan  publik  dalam  proses  pembuatan  kebijakan. Di  sinilah muncul permintaan bagi warga negara yang aktif dan peduli untuk secara terbuka menuntut proses revisi dibuat transparan agar dapat dilihat publik. Revisi UU Penyiaran harus digunakan sebagai momentum publik untuk menetapkan landasan baru bagi keterlibatan warga negara dalam memastikan perlindungan terhadap hak‐hak mereka atas media. 

Keempat,  sebesar  apapun  keprihatinan  kami  terhadap  perkembangan media  industri  yang berbasis keuntungan, menghidupkan kembali media publik yaitu TVRI dan RRI merupakan hal yang  sangat  penting.  Tanpa memiliki  penyiaran  publik  yang  kuat  dan  berkualitas  tinggi, tidaklah  mungkin  memastikan  pembentukan  ranah  publik  di  mana  warga  negara  dapat menyuarakan  pandangan‐pandangan mereka  dan  ikut  terlibat  dalam  interaksi  yang  sehat, atau untuk memastikan pemenuhan hak warga negara dalam bermedia. 

Kelima,  temuan‐temuan kami menunjukkan bahwa media  (atau  forum) alternatif  sangatlah penting untuk memberi kesempatan warga negara mengambil peran aktif dalam isu‐isu yang secara langsung berhubungan dengan mereka. Seperti yang kami perlajari dari riset ini, media komunitas menawarkan  lebih  dari  sekadar wacana  publik: media  komunitas menyediakan akses untuk pengalaman komunal dan, yang paling penting, menawarkannya sebagai bagian dari  jaringan proyek  sosio‐kultural dan  sosio‐politik. Kebijakan‐kebijakan media  tidak boleh membahayakan eksistensi media alternatif di Indonesia, tetapi justru harus memeliharanya. 

21 

Page 22: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Tentu  saja, kelima bentuk  intervensi keterlibatan praktis  itu punya  sejumlah  catatan19.  Jika memang angin zaman saat  ini berhembus ke sisi  ‘kebebasan  individual’  (dibandingkan pada ‘otoritas  publik’),  beragam  upaya  untuk  memperbaiki  ‘otoritas  publik’  (misalnya  melalui aparat  administratif  negara,  agen  publik,  dan  kebijakan  publik)  dapat  dipastikan  akan menghadapi  penolakan  yang  kuat.  Prasangka  timbul  bukan  karena  upaya‐upaya  ini  tidak didasari niat yang baik, melainkan karena di Indonesia, idiom jaman akan menganggap upaya semacam  ini  tak  layak  dilakukan  (persis  dengan  bekerjanya  prinsip  kawanan  atau  ‘herd principles’).  

Melihat kondisi yang ada, sekecil apapun kemungkinannya, harapan harus  ‘ditemukan’ atas dasar  ‘kebebasan  individual’.  Karenanya,  meski  berisiko  klise,  isu  ini  menggarisbawahi perlunya re‐edukasi atas selera masyarakat. Namun, ada keterkaitan di sini: upaya re‐edukasi atas selera masyarakat akan mustahil  jika mediumnya  (yaitu media massa) yang digunakan untuk menyebarkannya  juga kosong melompong. Karena  itu  cara dari  sisi yang  lain adalah dengan memberikan re‐edukasi kepada para pekerja dan profesional media. Namun, gagasan ini  hanya  masuk  akal  jika  kita  berasumsi  bahwa  pekerja  media  masih  mempertahankan independensi mereka—sebuah asumsi yang dalam kenyataannya terlalu dangkal—dan bahwa ada  institusi  yang mampu melakukannya. Kami  sangat menyadari  kesulitan  ini. Namun,  di sinilah kesempatan bagi masyarakat, warga negara, dan  jurnalis yang peduli: seperti AJI dan KPI seharusnya didorong untuk menjalankan lembaga pendidikan yang mampu mere‐edukasi pekerja media. Hasilnya akan memiliki efek jangka panjang, sayangnya upaya ini masih belum dikembangkan dengan serius.  

Bagaimana memikirkannya? 

Pada mulanya  adalah  sebuah premis  –dan premis  ini  sangat  antropologis—bahwa manusia adalah ‘homo educationis’ – yakni makhluk yang bisa untuk dididik dan bisa berubah dari satu kondisi  ke  kondisi  lain, baik dalam hal  kebiasaan,  cara berpikir,  selera, dan  lain‐lain. Hidup bersama kita terbentuk sebagian karena adanya struktur, kerangka, sistem. Namun  ini tidak akan pernah menihilkan fakta bahwa manusia itu bisa dididik. Nyatanya, kita sudah demikian keras  berusaha  mencoba  merancang  berbagai  inovasi  institusional,  strategi  struktural, intervensi  sistem  dan  kebijakan  media  –  tetapi  kita  tahu  bahwa  walau  semua  itu  sudah dilakukan, praktik bermedianya sama saja tak berubah. Kalau kita belajar dari negara‐negara dan peradaban‐peradaban yang  lebih dewasa, terlihat bahwa yang antropologis  itu ternyata ditata dan direncanakan sebaik yang struktural. Kita, di sisi lain, nampaknya kita belum cukup memberi perhatian pada hal tersebut. Inilah inti perkara pendidikan kembali (re‐edukasi). 

Sekali  lagi  perlu  diingat  bahwa  sejak  lama  dan  hingga  hari‐hari  ini media  adalah  sekaligus arena perang kepentingan (war of interest) dan ceruk pekerjaan (niche of employment). Karena pendidikan formal selalu adalah upaya menginjeksikan  inti pekerjaan (employment), maka  ia perlu sejak awal diimbangi dengan injeksi komitmen. 

Kelompok seperti AJI secara praktis bisa bekerjasama dengan para ‘supplier commiment’ ini, yakni FISIP dan FIKOM universitas atau PT untuk menginjeksikan pentingnya isu komitmen ini pada  para  calon  pekerja media  dan  jurnalis.  AJI  bisa mengambil  langkah  strategis  lewat rancangan kerjasama per daerah atau regio. Apakah bisa langsung kelihatan hasilnya? Tentu tidak. Ketika bicara pendidikan, barangkali paling  cepat kita akan merasakan hasilnya  lima tahun lagi – kalau ada. Kita tahu ada kemungkinan kegagalan atas upaya ini. Tapi tetaplah ia pantas dilakukan, karena kita juga tahu pasti bahwa kedangkalan ini akan makin menjadi‐jadi jika ini dibiarkan.  

19  Dikontribusi oleh Dr. B. Herry‐Priyono, penasihat dan peninjau penelitian ini. 

22 

Page 23: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Menerawang  soal media dan dinamika  sosietal dan mencoba memahaminya dalam gejolak gejala hari‐hari barangkali memang tidak mudah. Berbagai teori tentang media, budaya, dan globalisasi  sering membuat orang mundur  teratur  ketika menyadari kerumitannya. Apalagi ketika berbagai data dan  statistik menyerbu dan kita gagap memberinya makna. Akhirnya banyak  orang  menyerah  memahaminya.  Karena  itu,  apa  yang  akan  disampaikan  dalam refleksi ini tidaklah lebih dari sekedar tawaran cara memahami kaitan antara media, budaya, dan  cita‐cita  hidup  bersama  kita  yang  tengah  dikepung  oleh  gejala  globalisasi.  Ujungnya adalah kepedulian agar peran publik media dikembalikan demi mutu hidup dan budaya kita sendiri, persis karena kita tidak bisa menyerahkan hidup bersama kita begitu saja pada logika akumulasi laba. 

 

Manchester – Jakarta, Agustus 2012 

 

23 

Page 24: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Referensi 

Bagdikian, B., 2004. The New Media Monopoly. Beacon Press, Boston, MA. 

Barber, B.R., 2007. Consumed: How markets corrupt children, infantilize adults, and swallow citizens whole. W.W. Norton, New York. 

Baumol, W.J.,   Bowen, W.G., 1966. Performing arts: The economic dilemma. The Twentieth Century Fund, New York. 

Becker, G., 1976. The Economic Approach to Human Behavior. University of Chicago Press, Chicago IL. 

Berkhout, R., Koster, K.d., Kieboom, M., Pieper,  I.,  Fernando, U.,   Ruijmschoot,  L.,  2011. Civic Driven Change: Synthesising implications for policy and practice. Report. Development Policy Review Network. 

Blaug, M., 2001. Where are we now on cultural economics? Journal of Economic Surveys 15(2), 123‐143. 

Bourdieu, P., 1979. Distinction: A social critique of the judgement of taste. Routledge (Translated by R. Nice, 1984). 

Castells, M., 1996. The Rise of Network Society. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume I. Blackwell, Oxford. 

Castells, M.,  1997.  The  Power  of  Identity.  The  Information Age  –  Economy,  Society,  and  Culture  – Volume  II. Blackwell, Oxford. 

Castells, M., 2001. The Internet galaxy: Reflections on the Internet, business, and society. Oxford University Press, New York. 

Castells, M., 2005. The Network Society: A Cross‐Cultural Perspective. Edward Elgar, London. 

Castells, M., 2010. The Rise of Network Society. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume I (2nd Ed.). Wiley‐Blackwell, West Sussex. 

Curran, J., 1991. Rethinking the media as public sphere, in: Dahlren, P., Sparks, C. (Eds.), Journalism and the public sphere. Routledge, London and New York, pp. 27‐57. 

Dickenson, V., 1992. Museum Visitor Surveys: An Overview, 1930‐1990,  in: Towse, R., Khakee, A. (Eds.), Cultural Economics. Springer‐Verlag, Berlin, Heidelberg, pp. 141‐150. 

Dobson, L.C.,  West, E.G., 1990. Performing arts subsidies and future generations. Journal of Behavioral Economics 19(1), 23‐33. 

Evensky, J., 2005. "Chicago Smith" versus "Kirkaldy Smith". History of Political Economy 37(2), 197‐203. 

Fine,  B.,  2000.  Social  Capital  versus  Social  Theory:  Political  economy  and  social  science  at  the  turn  of  the millennnium. Routledge, London. 

Friedman, M., 1962. Capitalism and Freedom. University of Chicago Press, Chicago IL. 

Gabel, M.,  Bruner, H., 2003. Global, Inc. An Atlas of the Multinational Corporation. The New Press, New York. 

Gamble, A., 2001. Neoliberalism. Capital and Class 75, 127–134. 

Giddens, A., 1979. Central Problems in Social Theory. Macmillan, London. 

Giddens, A.,  1984. The Constitution of Society: Outline of  the Theory of Structuration. University of California Press, Berkeley. 

Giddens, A., 1999. Runaway world: How globalization is reshaping our lives. Profile, London. 

Gordon, C.,  1991. Governmental Rationality: An  Introduction,  in: Burchell, G., Gordon, C., Miller, P.  (Eds.), The Foucault Effect: Studies in Governmentality. Chicago University Press, Chicago IL, pp. 1‐51. 

Habermas,  J.,  1984.  The  Theory  of  Communicative  Action.  Vol.  I:  Reason  and  the  Rationalization  of  Society. Beacon. [German, 1981, vol. 1], Boston. 

Habermas, J., 1987. The Theory of Communicative Action. Vol. II: Lifeworld and System. Beacon. [German, 1981, vol. 2], Boston. 

Habermas, J., 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press. [German, 1962], Cambridge, MA. 

Habermas, J., 2001. The Postnational Constellation. MIT Press. [German, 1998], Cambridge MA. 

24 

Page 25: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

Harvey, D., 2005. A brief history of neoliberalism. Oxford University Press, Oxford. 

Held, D., 2000. Regulating globalization? The reinvention of politics. International Sociology 15(2), 394–408. 

Herman, E.S.,  Chomsky, N., 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media. Pantheon Books New York. 

Herry‐Priyono, B., 2003. Dalam Pusaran Neoliberalisme,  in: Wibowo,  I., Wahono, F.  (Eds.), Neoliberalisme. CPS, Yogyakarta, pp. 47‐84. 

Herry‐Priyono, B., 2006. Proyek  Indonesia dalam Globalisasi: Mencari terobosan Hak Asasi Ekonomi,  in: FISIP UI (Ed.), Restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Brighten Press, Bogor, pp. 376‐412. 

Herry‐Priyono, B. (2009) Sesat Neoliberalisme. Kompas, 28 May 2009,  

Joseph,  A.,  2005. Media matter,  citizens  care:  The who, what, when, where, why,  how,  and  buts  of  citizens’ engagement  with  the  media.  UNESCO.  Available  online http://portal.unesco.org/ci/en/files/19137/11164945435advocacy_brochure.pdf/advocacy_brochure.pdf. 

Kominfo, 2010. Komunikasi dan Informatika Indoneisa: Whitepaper 2010. 2010 Indonesia ICT Whitepaper. Jakarta: Pusat Data Kementrian Komunikasi dan Informatika. 

Kominfo, 2011. Indikator TIK Indonesia. Report. Jakarta: Pusat Data Kementrian Komunikasi dan Informatika. 

Lim, M., 2002. Cyber‐civic Space. From Panopticon  to Pandemonium?  International Development and Planning Review 24(4), 383‐400. 

Lim, M., 2003. From Real  to Virtual  (and Back again): The  Internet and Public Sphere  in  Indonesia,  in: Ho, K.C., Kluver, R., Yang, K. (Eds.), Asia Encounters the Internet. Routledge, London, pp. 113‐128. 

Lim, M., 2004. Informational Terrains of Identity and Political Power: The Internet in Indonesia. Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology 27(73), 1‐11. 

Lippmann, W., 1922. Public Opinion. Free Press Paperbacks, New York. 

Mansell, R., 2004. Political economy, power and new media. New Media & Society 6(1), 96‐105. 

McLuhan, M., 1964. Understanding Media: The extensions of man. McGraw‐Hill, New York. 

McLuhan, M.,  Fiore, Q., [1967] 2001. The Medium is the Massage: An Inventory of Effects. Penguin, London. 

Morozov, E., 2011. The Net Delusion: How not to liberate the world. Penguin Books, London. 

MPA Analysis, 2011. Prospektus Awal Visi Media Asia  (Initial prospectus of Visi Media Asia).  Jakarta: Visi Media Asia. http://www.vivanews.com/appaux/propektus_awal_pt_visi_media_asia_tbk.pdf. 

Nugroho, Y. (2002) Reinventing Globalisation. The Jakarta Post, 30 December 2002, Jakarta. 

Nugroho,  Y.,  2005a.  Globalisation:  Neither  nirvana  nor  armageddon  (Globalisasi:  Antara  berkah  dan  kutuk). Business Watch Indonesia (Bilingual), Solo. 

Nugroho,  Y.,  2005b.  Rekayasa merawat  neoliberalisme: Menggagas  kembali  peran  teknologi  untuk  akumulasi laba. Wacana INSIST 19(7), 51‐79. 

Nugroho, Y., 2008. Adopting Technology, Transforming Society: The  Internet and the Reshaping of Civil Society Activism in Indonesia. International Journal of Emerging Technologies and Society 6(22), 77‐105. 

Nugroho, Y., 2010a. Localising  the global, globalising  the  local: The  role of  the  Internet  in shaping globalisation discourse in Indonesian NGOs. Journal of International Development. 

Nugroho,  Y.,  2010b.  NGOs,  The  Internet  and  sustainable  development:  The  case  of  Indonesia.  Information, Communication and Society 13(1), 88‐120. 

Nugroho,  Y.,  2011.  Citizens  in @ction:  Collaboration,  participatory  democracy  and  freedom  of  information  – Mapping contemporary civic activism and the use of new social media in Indonesia. Report. Manchester and Jakarta: MIOIR and HIVOS. 

Nugroho,  Y.,  Putri,  D.A.,    Laksmi,  S.,  2012.  Mapping  the  landscape  of  the  media  industry  in  contemporary Indonesia  Report.  Engaging Media,  Empowering  Society:  Assessing media  policy  and  governance  in Indonesia  through  the  lens  of  citizens’  rights.  Jakarta:  Centre  for  Innovation  Policy  and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia. 

Nugroho,  Y.,    Syarief,  S.S.,  2012.  Beyond  click‐activism? New media  and  political  processes  in  contemporary Indonesia. Friedrich‐Ebert‐Stiftung, Jakarta and Berlin. 

25 

Page 26: Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI

26 

O'Hagan,  J.W.,  1996. Access  to  and  participation  in  the  arts:  The  case  of  those with  low  incomes/educational attainment. Journal of Cultural Economics 20(4), 269‐282. 

Prakarsa,  2011.  Kemiskinan  melonjak,  jurang  kesenjangan  melebar  (Poverty  jumps,  inequality  gap  widens). November  2011.  Prakarsa,  available  http://www.theprakarsa.org/uploaded/lain‐lain/Prakarsa‐Policy‐Review.pdf. Last accessed 15 May 2012. 

Putnam, R., 1993a. Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton University Press, Princeton. 

Putnam, R., 1993b. The Prosperous Community – Social Capital and Public Life. American Prospect 13, 35‐42. 

Rifkin, J., 2000. The Age of Access: How the Shift from Ownership to Access is Transforming Capitalism. Penguin, London. 

Ritzer, G., 1993. MacDonaldization of Society. Pine Forge Press, Thousand Oaks, London, New Delhi. 

Robertson, R., 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. Sage, Newbury Park, CA. 

Saragih,  N.,  2012.  Studi  Kritis  Ekonomi‐Politik  Komunikasi  Aktivitas  Bisnis  Konsultan  Politik  Melalui  Konsep Komodifikasi. PhD thesis. Bandung: Universitas Pajajaran. 

Sklair, L., 2002. Globalization: Capitalism and Its Alternatives. Basil Blackwell, Oxford. 

Smith, A., [1776] 2000. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. The Modern Library, New York. 

Socialbakers,  2012.  Indonesia  Facebook  Statistics.  Socialbakers.  http://www.socialbakers.com/facebook‐statistics/indonesia visited 30 May 2012. 

Steger, M.B., 2009. Globalization. A very short introduction. Oxford University Press, Oxford. 

Stigler, G.J.,  Becker, G.S., 1977. De gustibus non est disputandum. American Economic Review 67, 76‐90. 

Tomlinson,  A.,  1990.  Consumption,  identity  and  style: Marketing, meanings,  and  the  packaging  of  pleasure. Routledge, London. 

Treanor,  P.,  2005.  Neoliberalism:  Origins,  Theory,  Definition.  http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neo‐liberalism.html, viewed 14 August 2009