REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

21
CATATAN KRITIS MEMPERINGATI 5 TAHUN BERLAKUNYA PARIS AGREEMENT: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM INDONESIA Seri Analisis Kebijakan Keadilan Iklim ICEL

Transcript of REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

Page 1: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

CATATAN KRITIS MEMPERINGATI

5 TAHUN BERLAKUNYA PARIS AGREEMENT:

REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM

INDONESIA

Seri Analisis Kebijakan Keadilan Iklim

ICEL

Page 2: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

2

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

Photo by Pixabay

A. PENGANTAR

Akhir tahun 2015 merupakan momen yang luar biasa bagi pengaturan perubahan iklim. Hal ini disebabkan pada 12 Desember 2015, Persetujuan Paris atau Paris Agreement diadopsi pada Conference of Parties (COP) United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ke-21 di Paris. Konvensi ini bertujuan untuk menguatkan respon global terhadap ancaman perubahan iklim, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan, dengan cara: menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius hingga menekannya

Page 3: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

3Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

Pengantar

sampai 1,5 derajat Celcius di bawah tingkat pra-industrialisasi.1 Pada dasarnya, Persetujuan Paris merupakan tonggak penting dalam isu perubahan iklim dunia mengingat posisinya sebagai perjanjian internasional pertama yang merincikan UNFCCC dengan kekuatan hukum yang mengikat dan berhasil membawa seluruh negara untuk mencapai tujuan bersama dengan melakukan upaya ambisius guna memerangi perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya.2 Selain itu, Persetujuan Paris merupakan konvensi internasional di bidang lingkungan yang cepat dan banyak diratifikasi berbagai negara karena memiliki arsitektur hybrid yang disusun secara hati-hati yakni kombinasi atas klausula yang mengikat dan klausula yang tidak mengikat serta pendekatan dari bawah ke atas/bottom-up dan dari atas ke bawah/top-down.

Lebih lanjut, Perjanjian Paris memberikan tanggung jawab kepada negara pihak untuk menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) yaitu kewajiban negara-negara pihak untuk menyusun rencana penurunan emisi yang spesifik, yang dapat dihitung dengan rentang waktu yang jelas secara nasional.3 Menariknya, NDC ini merupakan pengaturan yang menggunakan pendekatan dari bawah ke atas, jadi para negara pihak memiliki diskresi dalam penentuan kontribusinya terhadap respon global. Ditambah lagi, NDC ini wajib dikomunikasikan setiap lima tahun sekali kepada sekretariat UNFCCC4 dan dapat ditingkatkan setiap waktu. Pada 2020, Persetujuan Paris mengundang negara-negara pihak untuk merumuskan dan menyerahkan strategi pembangunan rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang. Strategi tersebut bersifat tidak wajib, namun bertujuan untuk memberikan peta jalan jangka panjang pembangunan nasional yang telah diintegrasikan dengan komitmen dalam NDC.5

Indonesia sendiri telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 serta menyusun dan mengomunikasikan NDC pertamanya pada November 2016. Dalam NDC tersebut, Indonesia menetapkan

1 Perserikatan Bangsa Bangsa, Paris Agreement, UN MTDSG C.N.92.2016.TREATIES-XXVII.7.d., ps.2.2 UNFCCC, “The Paris Agreement”, unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris agreement, diakses pada 11

Desember 2020.3 Perserikatan Bangsa Bangsa, Op.Cit., ps.4 ayat (2)4 Ibid., ps. 4 ayat (9).5 UNFCCC, “The Paris Agreement”, unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement, diakses pada 11

Desember 2020.

Page 4: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

4

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

total target penurunan sebesar 2.869 GtCO2e pada tahun 2030,6 dengan rincian target penurunan emisi sebesar 29% dengan bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional. Pengurangan ini didasari oleh Skenario BAU dari proyeksi emisi mulai tahun 2010. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

No. Sektor

Tingkat EmisiGRK 2010

Tingkat Emisi GRK 2030

(MTon CO2e)

Penurunan Emisi GRK RerataPer-tum-

buhan Tahu-

nan BAU

Re-rataPer-tum-

buhan2000-2012

MTon CO2e %of Total BaU

MTon CO2e BaU CM1 CM2 CM1 CM2 CM1 CM2

1. Energi 453.2 1,669 1,355 1,271 314 398 11% 14% 6.7% 4.50%

2. Limbah* 88 296 285 270 11 26 0.38% 1% 6.3% 4.00%

3. IPPU 36 69,6 66.85 66.35 2.75 3.25 0.10% 0.11% 3.4% 0.10%

4. Pertanian 110.5 199.66 110.39 115.86 9 4 0.32% 0.13% 0.4% 1.30%

5. Kehutanan** 647 714 217 64 497 650 17.2% 23% 0.5% 2.70%

TOTAL 1,334 2,869 2,034 1,787 834 1,081 29% 38% 3.9% 3.20%

*Termasuk Fugitive *Termasuk Kebakaran Gambut

Notes : CM1 : Counter Measures 1 (Kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi - Unconditional)CM2 : Counter Measures 1 (Kondisi skenario tanpa persyaratan mitigasi - Conditional)

Dari tabel tersebut, ada lima kategori sektor dan proporsi kontribusinya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca sejumlah 29% dengan usaha sendiri terdiri dari sektor kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Namun, perincian penurunan emisi gas rumah kaca dengan bantuan internasional tidak sesuai dengan janji 41%, melainkan 38%.

Walaupun begitu, Indonesia menjabarkan strategi implementasi NDC untuk dilakukan dalam tiga tahap:7 1) Tahap pertama yakni penyiapan prakondisi yang harus diselesaikan sebelum tahun 2020. Tahap pertama ini terdiri dari pengembangan ownership dan komitmen, pengembangan kapasitas, enabling environment, penyusunan kerangka kerja, dan jaringan komunikasi, kebijakan satu data GRK, penyusunan kebijakan, rencana dan program intervensi, dan penyusunan pedoman implementasi NDC, termasuk review kesiapan memasuki periode komitmen 2020-2030; 2) Tahap kedua

6 First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia (First NDC RI), November 2016, hlm. 9.7 Nur Marispatin (ed.), Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, 2017), hlm. 25.

Page 5: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

5Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

merupakan implementasi pada periode komitmen pertama mulai tahun 2020 - 2030; dan 3) Tahap ketiga, yakni pemantauan dan review NDC selama periode komitmen, yang mencakup capaian target baik dari sisi pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas adaptasi serta peningkatan resiliensi termasuk pelaporan internasional, serta capaian target pembangunan. Artinya, tahap pertama atau tahap prakondisi merupakan tahap yang krusial dalam meletakan tonggak pengaturan dan kebijakan implementasi NDC.

Berangkat dari uraian tersebut, maka tulisan ini akan memberikan refleksi kebijakan terhadap tahap pertama strategi implementasi NDC. Refleksi ini merupakan analisis dari pengaturan dan kebijakan nasional di tiga sektor utama yang berkontribusi paling besar atas emisi gas rumah kaca, yakni sektor kehutanan, energi, dan pertanian pasca diformulasikannya NDC guna melihat arah kebijakan perubahan iklim Indonesia.

Pengantar

Page 6: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

6

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

B. REFLEKSI TAHAP PERTAMA IMPLEMENTASI NDC PADA TIGA SEKTOR UTAMA

1. Catatan Terhadap Sektor Kehutanan dan Lahan

Sektor kehutanan merupakan sektor dengan kontribusi penurunan emisi terbesar dalam NDC yakni sebesar 17,2%. Kontribusi ini akan dicapai dengan:8

1) menekan laju deforestasi, utamanya dengan menghentikan deforestasi tidak terencana pada tahun 2030;

2) memberantas pembalakan liar;

3) meningkatkan laju pertumbuhan tanaman; serta

4) restorasi gambut dan rehabilitasi lahan tidak produktif

Pada tahap implementasi pertama, pemerintah indonesia salah satunya menyiapkan enabling environment dengan mengidentifikasi peraturan-perundangan dan kebijakan

8 First NDC RI, Op.Cit., hlm. 14-15.

Photo by Pok Rie from Pexels

Page 7: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

7Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

perubahan iklim untuk melihat celah dan tumpang tindih, serta mencari potensi harmonisasi peraturan perundangan pada April hingga Mei 2017.9 Adapun peraturan perundang-undangan dan kebijakan di sektor kehutanan termasuk, tetapi tidak terbatas pada:10

1) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem;

2) Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;

3) Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;

4) Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;

5) Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan;

6) Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut;

7) Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut;

8) Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan;

9) Instruksi Presiden No. 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Namun, analisis terhadap peraturan perundang-undangan ini belum dapat ditemukan dengan mudah melalui penelusuran internet.

Walaupun demikian, ada beberapa praktik baik yang sudah dilakukan oleh pemerintah di sektor kehutanan. Pertama, pada tahun 2016 Presiden Republik Indonesia mendirikan Badan Restorasi Gambut yang bertugas mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Hal ini tentunya sejalan dengan upaya implementasi NDC merestorasi gambut dan merehabilitasi lahan tidak produktif.

Kedua, masih pada tahun 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri No. P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial yang memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat, peraturan ini meunifikasi peraturan perhutanan sosial yang sebelumnya tersebar dalam beberapa peraturan. Dengan adanya peraturan ini, proses pemberian akses kelola menjadi relatif cepat. Pemberian akses kelola kepada masyarakat berguna menghindari konflik dan pembalakan liar. Lebih lanjut, perhutanan sosial dapat menjadi solusi dalam penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan yang

9 Nur Masripatin, Op. Cit., hlm. 13.10 Ibid., hlm. 13-15.

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Page 8: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

8

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

diatur dalam Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Dengan demikian, laju deforestasi dapat ditekan dan pembalakan liar dapat diberantas.

Ketiga, pada 2018, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang dikenal dengan moratorium sawit. Pada intinya, kebijakan ini menunda penerbitan izin baru perkebunan sawit selama 2 tahun dan memandatkan untuk mengevaluasi izin perusahaan sawit. Namun, pada akhir tahun 2020 ini, evaluasi izin perusahaan sawit belum terdengar kabarnya dan keberlanjutan kebijakan ini belum jelas.

Keempat, pada 2019, moratorium hutan alam primer menjadi permanen dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 5 tahun 2019 Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Moratorium hutan ini dimulai pada 2011 dengan Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 yang merupakan awal mula proyek REDD+ antara Indonesia dan Norwegia. Pada mulanya moratorium ini dilakukan dan diperpanjang setiap 2 tahun sekali sampai 2017. Namun, secara normatif dan implementasi kebijakan ini banyak menuai kritik. Secara normatif, kebijakan ini dikritik salah satunya karena hutan alam primer berada di kawasan konservasi yang pemanfaatannya sangat terbatas. Sementara, secara implementatif, kebijakan ini dikritik salah satunya karena peta indikatif penghentian pemberian izin baru tidak terintegrasi dengan RTRW.

Photo by Rich Carey/Shutterstock.com

Page 9: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

9Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

Di sisi lain, terdapat hal-hal yang dapat meningkatkan penurunan emisi gas rumah kaca tetapi belum dilaksanakan. Pertama, luasan 4,2 juta ha perhutanan sosial yang dicapai pada 2020 barulah sebuah capaian awal, masih banyak perhutanan sosial yang belum diselenggarakan. Jika perhutanan sosial diselenggarakan dengan baik, maka tidak hanya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat tetapi juga berkontribusi terhadap pencapaian NDC.11 Selain itu, pendelegasian kewenangan untuk menetapkan perhutanan sosial kepada pemerintah daerah yang sudah memenuhi persyaratan perlu dilakukan agar proses penetapan menjadi lebih cepat.

Kedua, penegakan hukum dan pelaksanaan putusan lingkungan hidup yang sudah inkracht penting untuk ditegakkan. Hal ini agar karbon yang lepas dari perbuatan melawan hukum baik perdata maupun pidana dapat dikembalikan ke asalnya. Efeknya, tidak hanya memulihkan lingkungan hidup yang rusak atau tercemar yang dapat berupa penanaman kembali sehingga meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, tetapi tanaman baru tersebut juga dapat menyerap karbon lebih cepat.12

Lebih jauh, eksekusi putusan lingkungan hidup memang masih menjadi pekerjaan rumah. Dari gugatan perdata kasus karhutla dan pembalakan liar misalnya. Hingga tahun 2020 berdasarkan data putusan yang dapat diakses dari direktori Mahkamah Agung, KLHK sudah memenangkan gugatan senilai sekitar 20 triliun rupiah untuk 12 perusahaan akibat kasus karhutla dan illegal logging, dengan rincian untuk ganti rugi 5,29 triliun rupiah dan untuk biaya pemulihan 14,73 triliun rupiah.13 Namun putusan tersebut belum dapat dieksekusi. Pemulihan lingkungan juga sulit tercapai karena Permen LH No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar perhitungan menganggap ganti rugi sebagai penerimaan negara bukan pajak tanpa adanya mekanisme earmarking lebih lanjut untuk pemulihan lingkungan.14 Padahal earmarking ini sangat penting untuk memastikan bahwa memang benar penggunaan dana ini adalah untuk kepentingan lingkungan hidup.

Ketiga, penekanan laju deforestasi dengan mengutamakan deforestasi terencana dapat menjadi pedang bermata dua. Deforestasi terencana memang merupakan bagian dari kebijakan kehutanan Pemerintah Indonesia sejak lama. Deforestasi terencana ini sendiri

11 Chenny Wongkar, “Mencapai Target NDC Indonesia melalui Perhutanan Sosial : Catatan Refleksi Singkat”, https://icel.or.id/isu/

mencapai-target-ndc-indonesia-melalui-perhutanan-sosial-catatan-refleksi-singkat/#_ftn10, diakses pada 11 Desember 202012 Tom Pungh, “Are young trees or old forests more important for slowing climate change?”, https://theconversation.com/are-young-

trees-or-old-forests-more-important-for-slowing-climate-change-139813, diakses pada 14 Desember 2020.13 Data ini diambil dari rangkuman putusan pengadilan di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk kasus per-

data 12 perusahaan berikut: a) Kallista Alam; b) Surya Panen Subur; c) Bumi Mekar Hijau; d) Jatim Jaya Perkasa; e) National Sago Prima; f) Waringin Agro Jaya; g) Ricky Kurniawan Kertapersada; h) Waimusi Agro Indah; i) Palmina Utama; j) Kaswari Unggul; k) Agro Tumbuh Gemilang Abadi.

14 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan

Lingkungan Hidup, ps. 8

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Page 10: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

10

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

merupakan proses konversi lahan yang secara legal dari yang berstatus hutan menjadi lahan non-hutan. Di satu sisi, hal ini menjadi baik karena pemanfaatan hutan menjadi terencana dengan tentunya melihat daya dukung lingkungan hidup dengan instrumen pencegahan tentunya. Namun, di sisi lain justru dikhawatirkan dalam implementasinya akan terdapat inkonsistensi, salah satunya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salah satu hal penting yang menjadi catatan kritis terkait UU Cipta Kerja adalah dengan dihapuskannya 30% batas minimum kawasan hutan yang perlu untuk dipertahankan dari luas daerah aliran sungai dan pulau.15 Ketentuan ini dihapus tanpa adanya alasan yang jelas apa peruntukannya. Justru dalam Naskah Akademik UU Cipta Kerja, penghapusan ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung investasi dan pembangunan serta meningkatkan iklim investasi.16 Tentunya hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi apabila tidak diatur secara ketat.

2. Catatan Terhadap Sektor Energi

First Biennial Update Report mengomunikasikan emisi GRK Indonesia menunjukan peningkatan sebesar 0,452 GtCO2e dari tahun 2000, dengan proporsi sumber emisi terbesar kedua adalah dari sektor energi, yakni sebesar 34,9%.17 Untuk itu, Pemerintah perlu untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk menekan peningkatan emisi ini. Pada Dokumen Ringkasan NDC, beberapa hal yang seharusnya menjadi tumpuan untuk upaya mitigasinya, meliputi: a) Efisiensi penggunaan energi final; b) Pemanfaatan Teknologi Clean Coal Technology - CCT; c) Produksi Listrik Energi Baru Terbarukan; d) Penggunaan bahan bakar nabati - BBN B30; e) Penambahan jaringan Gas; dan f) Penambahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas.18

Di satu sisi, langkah-langkah ini menuai kritik, mengingat berbagai usaha justru masih mengandalkan energi fosil, utamanya batubara. Dorongan untuk moratorium pembangunan PLTU Batubara baru atau dengan ‘memensiunkan’ PLTU tua terus bergulir. Sekalipun begitu, saat ini bauran energi Indonesia justru masih bergantung pada energi fosil, khususnya batubara. Peralihan ke energi terbarukan dan pengoptimalan konservasi energi menjadi penting sebagai upaya untuk memitigasi perubahan iklim. Sayangnya, refleksi terhadap tren kebijakan beberapa tahun ini, menunjukan berbagai catatan kritis yang perlu diperhatikan:

15 Perubahan pasal 18 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja16 Naskah Akademik Undang-Undang Cipta Kerja, hlm. 171 dan 18917 Direktorat jenderal pengendalian perubahan iklim kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, Indonesia First Biennial Update

Report, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015), hlm. v.18 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Summary: Nationally Determined Contribution dan Progress, (Jakarta: Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017), hlm. 6.

Page 11: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

11Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Pertama, tren kebijakan beberapa tahun ini justru menunjutkan pengembangan energi fosil, utamanya batubara, masih menjadi menjadi tumpuan. Hal mendasar yang perlu diperhatikan adalah Kebijakan Energi Nasional Indonesia yang seharusnya menjadi dasar pengembangan energi ke depannya. Kebijakan Energi Nasional Indonesia justru menetapkan target minimum untuk pemanfaatan batubara dibandingkan target maksimum.19 Terlebih lagi, pengesahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Revisi UU Minerba) dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan memberikan kemudahan dan insentif untuk industri batubara. Beberapa contoh kemudahan dan insentif yang diberikan Revisi UU Minerba antara lain:

1) royalti 0% bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara (atau hilirisasi).20

2) adanya jaminan perpanjangan kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis dua kali perpanjangan untuk masing-masing 10 tahun tanpa melalui lelang.21

3) pelemahan instrumen lingkungan hidup, khususnya tata ruang, untuk mengakomodasi usaha pertambangan batubara. Misalnya adanya jaminan bahwa tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) maupun Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang telah diberikan izinnya.22 Hal ini tentunya tidak sejalan dengan konsepsi tata ruang yang perlu mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Sehingga, ketika daya dukung lingkungan sudah terlewati, suatu kawasan tidak dapat dipaksakan untuk ditetapkan sebagai wilayah untuk pertambangan.

Kedua, promosi ‘energi baru’ dalam kebijakan energi di Indonesia saat ini menjadi refleksi. Definisi Energi Baru diperkenalkan dalam UU No. 30 Tahun 2007, yakni sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, meliputi nuklir, hidrogen, gas metana batubara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan.23 Dari definisi tersebut terlihat bahwa energi baru merupakan energi tak terbarukan yang diperbarui dengan teknologi, atau dengan kata lain masih mengandalkan batu bara. Sementara itu, dalam berbagai kebijakan, terminologi ini digunakan bersamaan dan tidak dipisahkan dengan energi terbarukan, menjadi energi baru dan terbarukan. Contohnya, hal ini dapat terlihat pada

19 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, ps. 9, menyatakan bahwa target pemanfaatan

batubara dalam bauran energi Indonesia adalah minimal 30% pada 2025 dan 25% pada 2050. 20 Perubahan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 dalam UU Cipta Kerja, LN Tahun 2020 Nomor 245, TLN Nomor 6573, ps.128A.21 Undang Undang No. 3 Tahun 2020, LN Tahun 2020 Nomor 147, TLN Nomor 6525, ps.169A.22 Undang Undang No. 3 Tahun 2020, LN Tahun 2020 Nomor 147, TLN Nomor 6525, ps. 172B.23 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007, ps. 1 angka 4, LN Tahun 2007 Nomor 96, TLN Nomor 4746.

Page 12: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

12

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

target bauran energi Indonesia di tahun 2025 yang menargetkan minimal 23% energi baru dan energi terbarukan. Hal ini juga dapat ditemukan pada RUU Energi Baru Terbarukan yang saat ini sedang dibahas, energi baru merupakan salah satu jenis energi yang akan mendapatkan insentif dan dukungan untuk dapat dioptimalkan.24 Bahkan, energi baru juga dianggap sebagai salah satu jenis energi yang memiliki peran penting dalam rangka akselerasi transisi energi serta berperan dalam mengatasi dampak perubahan iklim.25

Hal ini tentu merupakan dilema, mengingat energi baru merupakan energi yang berdampak besar terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, bahkan tidak sejalan dengan komitmen perubahan iklim Indonesia. Contohnya, pengembangan batubara tergaskan, yang saat ini juga hendak dikembangkan di Indonesia.26 Department of Trade and Industry (DTI) United Kingdom menyatakan bahwa berdasarkan analisis daur hidup (life cycle assessment), pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batubara akan menghasilkan CO2 dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik dari gas alam.27 Belum lagi ketika dibandingkan dengan energi terbarukan. Ketika secara life cycle gasifikasi batubara akan menghasilkan 800 kgCO2 / MWh, pembangkit listrik tenaga angin hanya akan menghasilkan 14-21 kgCO2/MWh, sementara itu Solar PV hanya akan menghasilkan emisi sekitar 79 kgCO2/MWh, dan untuk PLTA berkisar 3-27 kgCO2/

24 Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan versi September 2020 memberikan kemudahan perizinan dalam pengusahaan

Energi Baru, kemudian ada kewajiban untuk memfasilitasi penelitian pengembangan energi baru, selain itu mendapatkan insentif dalam pengembangan energi baru.

25 Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan, bagian Menimbang.26 Finna Ulfah, “Siap Garap Proyek Gasifikasi, saham Bukit Asam Langsung Membara”, https://market.bisnis.com/read/20201214/192/1330461/

siap-garap-proyek-gasifikasi-saham-bukit-asam-ptba-langsung-membara, diakses pada 15 Desember 2020.27 Friends of the Earth International, Fuelling the Fire: The Chequered History of Underground Coal Gasification and Coal Chemicals

around the world, (FoEI, Amsterdam: 2016), hlm, 6. Dijelaskan bahwa UK DTI menyatakan bahwa emisi dari pembangkit gasifikasi batubara dapat mencapai 800kgCO2/MWh, sementara itu untuk pembangkit listrik dari gas alam menghasilkan 400kgCO2/MWh.

Photo by Tom Fisk from Pexels

Page 13: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

13Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

MWh.28 Apabila melihat semangat untuk mengurangi emisi secara masif agar dapat menahan laju pemanasan global, tentu pengembangan gasifikasi batu bara ini bukan merupakan pilihan yang tepat melihat besaran CO2 yang akan dihasilkannya.

Ketiga, regulasi untuk mendorong energi terbarukan masih kurang efektif untuk dapat meningkatkan bauran energi terbarukan. Sebagai contoh, skema penentuan harga yang diatur dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 dan terakhir diubah dengan Permen ESDM No. 4 Tahun 2020 menetapkan skema pengaturan harga untuk energi terbarukan maksimum 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) setempat yang dianggap kurang menumbuhkan minat investasi pengembangan energi terbarukan. Selain itu, kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)29 dianggap memberatkan. Sebagai contoh, penetapan TKDN untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai secara bertingkat mencapai TKDN minimum sebesar 80% pada 2026.30 Tidak hanya itu, ketentuan TKDN minimal 60% untuk modul surya juga dianggap memberatkan.31 Hal ini dikarenakan belum siapnya komponen dalam negeri. Memang, penerapan TKDN merupakan hal yang penting, namun perlu dilakukan dengan cermat. Dalam konteks pengembangan energi terbarukan yang baru saja dimulai, penerapan local content yang tidak dilakukan dengan cermat dapat membuat proyek energi terbarukan lebih mahal dan berdampak negatif terhadap penggunaan energi terbarukan. Hal ini berbeda dengan pengembangan energi fosil yang tidak begitu bergantung pada transfer teknologi baru, sehingga aturan local content cenderung berdampak lebih besar pada sektor energi terbarukan. Jika industri dalam negeri masih belum kompetitif di tingkat internasional, penerapan ketentuan ini dapat berdampak negatif pada pengembangan proyek energi terbarukan dengan membuatnya lebih mahal.32

Keempat, peta jalan untuk implementasi konservasi energi belum banyak menjadi fokus. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah konservasi energi nyatanya memiliki peran untuk menurunkan emisi sebagaimana disebutkan Hayes dan Kubes dalam penelitiannya “Saving Energy, Saving Lives.”33 Penelitian mereka di beberapa negara bagian di Amerika Serikat menemukan bahwa dengan pengurangan konsumsi listrik sebesar 15% per tahun nyatanya akan berpengaruh terhadap penurunan emisi CO2 sebesar 14%, SO2 sebesar 23%,

28 Ibid., hlm. 7.29 TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri, yakni besaran kandungan dalam negeri pada barang, jasa, serta gabungan barang dan

jasa.30 Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk

Transportasi Jalan, LN Tahun 2019 Nomor 146, ps. 8.31 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5/M-IND/PER/2/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor

54/M-IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Berita Negara RI Tahun 2017 Nomor 275, ps.13B.

32 Organisation for Economic Co-operation and Development Trade Policy Brief, “Local Content Requirements” https://www.oecd.org/trade/topics/local-content-requirements/ , diakses pada 15 Desember 2020

33 Sara Hayes and Cassandra Kubes, “Saving Energy, Saving Lives- The Health Impacts of Avoiding Power Plant Pollution with Energy Efficiency,” Februari 2018.

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Page 14: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

14

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

NOx sebesar 18%.34 WRI Indonesia juga menyatakan bahwa mengoptimalkan konservasi energi akan berpengaruh terhadap potensi pengurangan emisi yang signifikan.35

Jika dari skenario business as usual pencapaian target bauran energi terbarukan dapat mengurangi emisi menjadi sekitar 266 MtCO2 pada tahun 2030, dengan mengoptimalkan konservasi energi potensi pengurangan tersebut dapat meningkat menjadi 544 MtCO2 pada 2030.36

Sayangnya, usaha konservasi energi ini masih menjadi pekerjaan rumah. Meskipun telah memiliki payung hukum, yakni PP No. 70 Tahun 2009, namun dalam implementasinya, peta jalan untuk konservasi energi belum terlihat jelas. Berbagai peraturan di tingkat implementatif yang sebelumnya sudah diamanatkan dalam RUEN dan seharusnya dapat berperan untuk membentuk peta jalan juga masih menjadi pekerjaan rumah.37 Ditambah lagi, minimnya insentif untuk mendorong konservasi energi menjadi persoalan. Padahal, seharusnya hal ini dapat menjadi fokus untuk dapat mengoptimalkan pengurangan emisi di Indonesia.

3. Catatan Terhadap Sektor Pertanian

Sektor pertanian menyumbang penurunan emisi dalam NDC sebesar 0,32%. Kontribusi ini akan dicapai dengan: 1) Penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah; 2) Penerapan sistem pengairan sawah lebih hemat air; 3) Pemanfaatan limbah ternak untuk biogas; dan 4) Perbaikan suplemen pakan. Hal ini kemudian diterjemahkan dalam rangkaian program dari Kementerian Pertanian. Misalnya saja penetapan rangkaian program guna mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebagai contoh, paket inovasi teknologi seperti Kalender Tanam Terpadu untuk tanaman pangan dan Varietas Unggul Adaptif. Adapun Kalender Tanam Terpadu dibentuk dengan tujuan untuk mengantisipasi variabilitas iklim yang dapat diakses oleh banyak pihak, sehingga terbentuk penyesuaian waktu dan pola tanam tanaman pangan serta teknologi budaya yang paling tepat.38 Sementara Varietas Unggul Adaptif direncanakan untuk dapat tahan pada kekeringan, genangan, hingga rendah emisi gas rumah kaca.39 Terkait Kalender Tanam Terpadu, meski kiranya merupakan inovasi yang terbilang baik, namun eksekusi dari program tersebut terbilang tidak holistik mengingat tidak sesuai dengan sikap dan kapabilitas pihak penerima manfaat, yakni petani. Hal ini misalnya berupa penggunaan

34 Ibid., hlm. 6.35 Arief Wijaya, et. al., “How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions

from Energy and Land-Use Policies,” (Jakarta: World Resources Institute, 2017), hlm. 3.36 World Resources Institute, “How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions

Reductions from Energy and Land-Use Policies”, World Resources Institute Working Paper September 2017, hlm. 337 Grita Anindarini, https://icel.or.id/isu/pekerjaan-rumah-pemerintah-untuk-akselerasi-penerapan- konservasi-energi-di-indonesia/,

diakses pada 15 Desember 2020.38 Suhendra, “Langkah Kementan Hadapi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/2602999/

langkah-kementan-hadapi-perubahan-iklim-di-sektor-pertanian, diakses pada 15 Desember 2020.39 Ibid.

Page 15: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

15Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

media elektronik yang sekiranya menyulitkan petani, serta belum didukungnya kebijakan dengan mekanisme evaluasi dan pendampingan yang mumpuni.40

Lebih lanjut, pada tahun 2018, Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 yang menghendaki penerapan evaluasi perizinan perkebunan sawit diterbitkan. Sayangnya, hingga kini evaluasi tersebut belum dilakukan secara maksimal akibat tidak adanya audit perizinan lingkungan dan keterbukaan data,41 persiapan dan koordinasi antar kementerian yang lemah serta respon pemerintah daerah yang masih minim akibat belum adanya alokasi anggaran dan panduan teknis yang lengkap dan jelas.42

Selanjutnya, pada tahun 2020 pemerintah mencanangkan pembangunan food estate sebagai respon peringatan krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Kebijakan ini kemudian menuai kritik, utamanya karena program food estate ini dicanangkan sebagai program strategis nasional yang akan dilakukan di hutan lindung.43 Hal ini tentu

40 Akbar, et.al., “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Kalender Tanam Terpadu di Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul”, Jurnal Agritexts Volume 42 Nomor 2 Oktober 2018, hlm. 144.

41 Elisabet, et.al., “Dua Tahun Berjalan, Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit?”, www.mongabay.co.id/2020/09/19/dua-tahun-berjalan-bagaimana-implementasi-inpres-moratorium-sawit/, diakses pada 15 Desember 2020.

42 Indra Nugraha, “Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit? Ini Kajian Sawit Watch”,www.mongabay.co.id/2019/07/30/bagaimana-implementasi-inpres-moratorium-izin-kebun-sawit-ini-kajian-sawit-watch/, diakses pada 30 Juli 2019.

43 Permen LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 17 Estate

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Photo by Pixabay

Page 16: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

16

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

merupakan kebijakan yang kontradiktif. Mengingat sebelumnya, Indonesia telah memiliki regulasi terkait perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Seharusnya, lahan pertanian ini ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.44

Sayangnya, ketentuan dalam UU ini memperbolehkan adanya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan untuk kepentingan umum, yang mana kepentingan umum ini sendiri cukup luas.45 Seharusnya, perlu ada pengaturan yang tegas untuk tidak mengalihfungsikan lahan pertanian yang ditujukan untuk pangan berkelanjutan, dibandingkan dengan membuka lahan baru, yang dikhawatirkan akan berakibat meningkatnya laju deforestasi.

Selain itu, kebijakan ini juga menuai kritik karena adanya pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup dengan mencetuskan mekanisme KLHS Cepat. Metode KLHS Cepat sendiri menimbulkan polemik akibat prosesnya yang minim akuntabilitas.46

Pemilihan penggunaannya pun didasarkan pada alasan ketidaktersediaan data yang memadai dan keterbatasan waktu dan sumber daya. Lebih lanjut, alasan pemilihan KLHS Cepat sebagai instrumen yang digunakan juga tidak jelas dijabarkan pemerintah. Jika minimnya data adalah alasan pemilihan KLHS Cepat, maka pemilihan KLHS Cepat untuk program food estate tidaklah tepat. Ketidakmampuan pemerintah untuk menjabarkan alasan yang mendasari pemilihan metode KLHS Cepat dan bagaimana KLHS Cepat bekerja menimbulkan ketidakpastian yang besar. Pengkajian KLHS yang tidak dilakukan dengan cermat, berpotensi besar menghambat upaya Indonesia dalam pemenuhan target NDC, sebab salah satu variabel yang dikaji dalam KLHS adalah mengenai dampak perubahan iklim.47 Variabel inilah yang tidak jelas pengajiannya apakah akan dikaji dalam KLHS Cepat atau tidak.

C. Penutup

Dari uraian di atas terlihat bahwa refleksi terhadap tahap pertama strategi implementasi NDC Indonesia yang merupakan analisis dari pengaturan dan kebijakan nasional di tiga sektor utama yang berkontribusi paling besar atas emisi gas rumah kaca, yakni sektor kehutanan, energi, dan pertanian menunjukan perkembangan yang berbeda-beda. Secara umum, ketiga sektor telah menunjukan adanya kemajuan dalam menyiapkan pengaturan dan kebijakan untuk mencapai target NDC, tetapi inkonsistensi juga ditemukan dalam penyiapan pengaturan dan kebijakan ini. Secara khusus, sektor kehutanan telah menerbitkan beberapa peraturan terkait upaya kontribusi pelaksanaan NDC dan

44 Undang Undang Nomor 41 tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068, ps. 1 angka 3.45 Ibid., ps. 4446 Dadang Sukarsa, “Metode Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat”,

Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1., No.2., April 2017, hlm. 223.47 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 Nomor 140, ps. 16.

Page 17: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

17Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

melaksanakannya. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang masih bisa di tingkatkan dalam pelaksanaannya. Sedangkan, upaya di sektor energi tidak terlalu ambisius melainkan paling banyak terjadi inkonsistensi dalam upaya kontribusi pelaksanaan NDC. Begitu pula dengan sektor pertanian, upaya sektor pertanian dapat dibilang paling minim untuk mencapai target NDC dan tidak konsisten. Harapannya, pemerintah dapat lebih serius mengupayakan tercapainya target NDC dan tidak hanya berhenti di situ. Melainkan, pemerintah harus terus meningkatkan ambisinya dalam pengurangan gas rumah kaca, bahkan menyusun strategi pembangunan rendah gas rumah kaca jangka panjang sesuai dengan pasal 5 Perjanjian Paris.

Refleksi Tahap Pertama Implementasi NDC Pada Tiga Sektor Utama

Page 18: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

18

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, et.al. “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Kalender Tanam Terpadu di Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul”. Jurnal Agritexts Volume 42 Nomor 2. Oktober 2018

Wijaya, Arief. et. al. “How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-Use Policies.” Jakarta: World Resources Institute, 2017.

Direktorat jenderal pengendalian perubahan iklim kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, Indonesia First Biennial Update Report, (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).

Elisabet, et.al. “Dua Tahun Berjalan, Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Sawit?”, www.mongabay.co.id/2020/09/19/dua-tahun-berjalan-bagaimana-implementasi-inpres-moratorium-sawit/. diakses pada 15 Desember 2020

First Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia. November 2016

Friends of the Earth International, Fuelling the Fire: The Chequered History of Underground Coal Gasification and Coal Chemicals around the world. Amsterdam: FoEI, 2016.

Anindarini, Grita. https://icel.or.id/isu/pekerjaan-rumah-pemerintah-untuk-akselerasi-penerapan- konservasi-energi-di-indonesia/. diakses pada 15 Desember 2020.

Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Summary: Nationally Determined Contribution dan Progress. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017.

Indonesia. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5/M-IND/PER/2/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54/M-IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Berita Negara RI Tahun 2017 Nomor 275

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. LN Tahun 2011 Nomor 2, TLN Nomor 5185

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. LN Tahun 2017 Nomor 77, TLN Nomor 6042.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi

Page 19: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

19Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

Nasional. LN Tahun 2014, Nomor 300, TLN Nomor 5609

Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). LN Tahun 2016 Nomor 4.

Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan. LN Tahun 2019 Nomor 146.

Indonesia. Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan versi September 2020

Indonesia. Undang Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 44 UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, LN Tahun 2020 Nomor 245, TLN Nomor 6573.

Indonesia. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. LN Tahun 2020 Nomor 147, TLN Nomor 6525

Indonesia. Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. LN Tahun 2007 Nomor 96, TLN Nomor 4746.

Indonesia. Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 Nomor 140, TLN Nomor 5059.

Indonesia. Undang Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. LN Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068

Menteri Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Marispatin (ed.). Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution. (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017)

Nugraha, Indra. “Bagaimana Implementasi Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit? Ini Kajian Sawit Watch”, www.mongabay.co.id/2019/07/30/bagaimana-implementasi-inpres-moratorium-izin-kebun-sawit-ini-kajian-sawit-watch/. diakses pada 15 Desember 2020

Organisation for Economic Co-operation and Development Trade Policy Brief. “Local Content Requirements” https://www.oecd.org/trade/topics/local-content-requirements/. diakses pada 15 Desember 2020

Daftar Pustaka

Page 20: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

20

Catatan Kritis Memperingati 5 tahun Berlakunya Paris Agreement: Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia

Perserikatan Bangsa Bangsa. Paris Agreement. UN MTDSG C.N.92.2016.TREATIES-XXVII.7.d

Pungh, Tom. “Are young trees or old forests more important for slowing climate change?”. https://theconversation.com/are-young-trees-or-old-forests-more-important-for-slowing-climate-change-139813. diakses pada 14 Desember 2020

Hayes, Sara. and Cassandra Kubes. “Saving Energy, Saving Lives- The Health Impacts of Avoiding Power Plant Pollution with Energy Efficiency.” Februari 2018.

Suhendra. “Langkah Kementan Hadapi Perubahan Iklim di Sektor Pertanian”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/2602999/langkah-kementan-hadapi-perubahan-iklim-di-sektor-pertanian. diakses pada 15 Desember 2020

Sukarsa, Dadang. “Metode Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat”, Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1., No.2., April 2017

Ulfah, Finna. “Siap Garap Proyek Gasifikasi, saham Bukit Asam Langsung Membara”, https://market.bisnis.com/read/20201214/192/1330461/siap-garap-proyek-gasifikasi-saham-bukit-asam-ptba-langsung-membara, diakses pada 15 Desember 2020.

United Nations Framework Convention on Climate Change, “The Paris Agreement”, unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris agreement. diakses pada 11 Desember 2020

Wongkar, Chenny. “Mencapai Target NDC Indonesia melalui Perhutanan Sosial : Catatan Refleksi Singkat”, https://icel.or.id/isu/mencapai-target-ndc-indonesia-melalui-perhutanan-sosial-catatan-refleksi-singkat/#_ftn10. diakses pada 11 Desember 2020

World Resources Institute. “How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-Use Policies”. World Resources Institute Working Paper. September 2017

Page 21: REFLEKSI SINGKAT ARAH KEBIJAKAN PERUBAHAN IKLIM …

21Indonesian Center for Environmental Law icel.or.id

Penulis:

Etheldreda E.L.T Wongkar

Marsya Mutmainah

Grita Anindarini

Narahubung:

Grita Anindarini (Deputi Direktur Bidang

Program): [email protected]

Marsya Mutmainah(Peneliti, Divisi Tata Kelola

Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim):

[email protected]