Referrat Sepsis Neonatorum

26
Sepsis Neonatorum 1. Definisi Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. Tabel 1 Kriteria SIRS Usia Neonatus Suhu Laju Nadi Permeni t Laju Nafas Permenit Jumlah Leukosit x 10 3 /mm 3 Usia 0-7 hari >38,5°C atau <36,5 °C > 180/<10 0 >50 >34 Usia 7-30 hari >38,5°C atau <36,5 °C > 180/<10 0 >40 >19,5 atau <5 3

description

Bahan bagus buat Sepsis Neonatorum

Transcript of Referrat Sepsis Neonatorum

Page 1: Referrat Sepsis Neonatorum

Sepsis Neonatorum

1. Definisi

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik

dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh

tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis.

Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences

(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic

Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu

proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat,

renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.

Tabel 1 Kriteria SIRS

Usia

Neonatus

Suhu Laju Nadi

Permenit

Laju Nafas

Permenit

Jumlah Leukosit

x 103/mm3

Usia 0-7 hari >38,5°C atau

<36,5 °C

> 180/<100 >50 >34

Usia 7-30

hari

>38,5°C atau

<36,5 °C

> 180/<100 >40 >19,5 atau <5

Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam

tabel. Salah satu di antaranya adanya kelainan suhu atau leukosit.

Tabel 2 Kriteria Infeksi, Sepsis, sepsis Berat, Syok Sepsis

Kriteria Definisi

Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman

penyebab, atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila

terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan penunjang lain)

Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka

Syok Sepsis Sepsis dan disfungsi organ kardiovaskular

2. Epidemiologi

Angka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10 kasus per

1000 kelahiran hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur. Angka kejadian sepsis

3

Page 2: Referrat Sepsis Neonatorum

neonatorum di negara maju 1-4 per 1000 kelahiran, di Asia Tenggara berkisar

2,1-16 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk angka kejadian sepsis

neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia berkisar antara

1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai 37,09%-80%9,10 Keragaman

angka kejadian pada masing-masing rumah sakit dapat dihubungkan dengan

angka prematuritas, perawatan prenatal, pelaksanaan persalinan, dan kondisi

lingkungan di ruang perawatan.

Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan

berat badan lahir rendah dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-

tanda korioamnionitis seperti ketuban pecah lama (>18 jam), demam

intrapartum ibu(>37,5°C), leukositosis ibu (>18.000), pelunakan uterus, dan

takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor risiko host untuk sepsis

neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau kongenital,

galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskular, anomali

kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus),

omfalitis, dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang terinfeksi).

Prematuritas merupakan faktor risiko baik pada SNAD maupun SNAL.

3. Etiologi

Penyebab dari timbulnya sepsis pada neonatus dapat berupa bakteri,

virus, jamur, dan protozoa (jarang). Bakteri penyebab SNAD umumnya

berasal dari traktus genitalia maternal yang tidak menimbulkan penyakit pada

ibu seperti Streptococcus Grup B dan bakteri enterik. SNAL umumnya

disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti Enterococcus, dan Staphylococcus

aureus. Penyebab SNAL lainnya seperti Streptococcus Grup B, E. coli,

Listeria monocytogenes, virus herpes simpleks, enterovirus, serta bakteri

Staphylococcus coagulase-negatif dan jamur Candida albicans yang menjadi

penyebab SNAL tersering pada bayi dengan berat badan lahir rendah.

4. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan

menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal

4

Page 3: Referrat Sepsis Neonatorum

sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).

Sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) merupakan infeksi perinatal yang

terjadi segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya

diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman

tersering yang ditemukan pada kasus SNAD adalah Streptokokus Grup B

(SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria

monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia,

mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gramnegatif. Sepsis neonatorum

awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan

angka mortalitas sebesar 15-50%.

Sepsis neonatorum awitan lambat (SNAL) merupakan infeksi postnatal

(lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit

(infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi

dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SNAL lebih rendah daripada

SNAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative

Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama

SNAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme

batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).

5. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis bayi baru lahir merupakan interaksi respon kompleks

antara mikroorganisme patogen dan pejamu. Keadaan hiperinflamasi yang

terjadi pada sepsis melibatkan beberapa komponen, yaitu : bakteri, sitokin,

komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi,

koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang peran penting dalam

patofisiologi sepsis. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molecular

dan seluler untuk menimbulkan respons sepsis tergantung mikroorganisme

penyebab, sedangkan tahapan-tahapan pada respons sepsis sama dan tidak

tergantung penyebab. Respons inflamasi terhadap bakteri gram negatif

dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari

dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel

5

Page 4: Referrat Sepsis Neonatorum

imun non spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit

mononuklear. LPS terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi.

Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang

bersirkulasi. Kompleks lipopolisakarida berinteraksi dengan kelompok

molekul yang disebut toll like receptor (TLR). Reseptor TLR menterjemahkan

sinyal ke dalam sel dan terjadi aktifasi regulasi protein (nuclear factor kappa β

/NFkB). Organisme gram positif, jamur dan virus memulai respons inflamasi

dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan komponen antigen sel.

Eksotoksin bakteri gram positif juga dapat merangsang proses yang sama.

Molekul TLR2 leukosit berperan terhadap pengenalan bakteri gram positif dan

TLR4 untuk pengenalan endotoksin bakteri gram negatif. Sitokin

proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumour necrosis factor (TNF) α,

interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN) γ. Peningkatan IL-6 dan IL-8

mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat

mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui

mediator sekunder (nitricoxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating

factor (PAF), prostaglandin), dan komplemen. Mediator proinflamasi ini

mengaktifasi berbagai tipe sel, memulai kaskade sepsis dan menghasilkan

kerusakan endotel Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai

respons infeksi bakteri intrauterin adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada

usia kehamilan 10 minggu yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat

terpapar infeksi selama kehamilan. Peningkatan kadar IgM merupakan

indikasi adanya infeksi fetal. Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus

yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal, saat persalinan / intranatal, atau

setelah lahir / pascanatal.

6

Page 5: Referrat Sepsis Neonatorum

Gambar 1 Interaksi faktor inisiasi dan mediator proinflamasi host (+) dan

antiinflamasi (-) pada infeksi dan proses terjadinya SIRS dan syok sepsis

Paparan infeksi pranatal terjadi secara hematogen dari ibu yang

menderita penyakit tertentu, antara lain infeksi virus atau parasit seperti

Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH),

ditansmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus. Infeksi

transplasenta dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat

menyebabkan aborsi spontan lahir mati, penyakit akut selama masa neonatal

atau infeksi persisten dengan sekuele. Infeksi bakteri lebih sering di dapat saat

intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan janin terlindung dari

bakteri ibu karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila terjadi kerusakan

lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui amnionitis.

Neonatus terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan

amnion yang mengandung lekosit maternal dan debris seluler

mikroorganisme, berakibat pneumonia. Paparan bayi terhadap bakteri terjadi

pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi melalui jalan lahir.

7

Page 6: Referrat Sepsis Neonatorum

Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas sehingga

kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal).

Paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan

dimasukkan ke dalam kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal

sepsis) dengan gejala klinis sepsis, terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah

lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran biasanya berasal dari

lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara

pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis

semacam ini dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal

sepsis). Selain perbedaan dalam waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi

ini (early onset dan late onset) sering berbeda dalam jenis kuman penyebab

infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala klinik, dan tata laksana dari

kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda.

8

Page 7: Referrat Sepsis Neonatorum

Gambar 2 Patofisiologi Sepsis Neonatorum

Faktor risiko terjadinya sepsis pada neonatus dapat berasal dari faktor ibu,

bayi dan faktor lain. Faktor risiko ibu:

a. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban

pecah lebih dari 24 jam maka kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar

1% dan bila disertai korioamnionitis maka kejadian sepsis meningkat

menjadi 4 kali.

b. Infeksi dan demam (> 38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,

infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (group

B streptococi = GBS), kolonisasi perineal oleh E. Coli, dan komplikasi

obstetric lainnya.

9

Page 8: Referrat Sepsis Neonatorum

c. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau

d. Kehamilan multipel.

Faktor risiko pada bayi:

a. Prematuritas dan berat lahir rendah.

b. Resusitasi pada saat kelahiran misal pada bayi yang mengalami fetal

distress, dan trauma pada proses persalinan.

c. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan.

d. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek

imun atau asplenia.

e. Asfiksia neonatorum

f. Cacat bawaan.

g. Tanpa rawat gabung.

h. Pemberian nutrisi parenteral.

i. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

Faktor risiko lain:

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih

sering terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan, lebih sering pada

bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih, lebih sering pada bayi dengan status

sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan

yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien.

6. Manifestasi Klinis

Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik, berhubungan dengan

karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman.

Neonatus dengan sepsis hipertermia, distres pernapasan, apnea, sianosis,

kuning, hepatomegali, hipotermia, anoreksia, letargi, kesulitan minum,

muntah, distensi abdomen, dan diare.

Tabel 3 Manifestasi klinis sepsis neonatorum.

Keadaan umumDemam, hipotermia, “tidak merasa

baik”, tidak mau makan, sklerema

10

Page 9: Referrat Sepsis Neonatorum

Sistem GastointestinalPerut kembung, muntah, diare,

hepatomegali

Sistem PernapasanApnea, dispnea, takipnea, retraksi,

grunting, sianosis

Sistem Saraf Pusat

Iritabilitas, lesu, tremor, kejang,

hiporefleksia, hipotonia, refleks Moro

abnormal, pernapasan tidak teratur,

fontanela menonjol, tangisan nada

tinggi

Sistem KardiovaskulerPucat, mottling, dingin,kulit lembab,

takikardi, hipotensi, bradikardi

Sistem HematologiIkterus, splenomegali, pucat, petekie,

purpura, perdarahan

Sistem Ginjal Oliguria

Neonatus dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala

nonspesifik atau tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak

stabil, hipotensi, perfusi buruk (pucat dan atau berbercak-bercak), asidosis

metabolik, takikardi atau bradikadi, apnoe, distres pernafasan, merintih,

sianosis, irritable, letargi, kejang, intoleransi makanan, distensi abdomen,

ikterus, petechiae, purpura, dan perdarahan. Manifestasi awal biasanya

terbatas pada gejala pada satu sistem organ saja seperti apnoe saja atau takipnu

dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat pula langsung bermanifestasi berat

dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus dire-evaluasi secara berkala untuk

menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan menjadi berat.

Komplikasi lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi pulmonal, gagal

jantung, syok, gagal ginjal, disfungsi hepar, udem serebral atau trombosis,

perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi sum-sum tulang (neutropenia,

trombositopenia, anemia), dan DIC.

7. Diagnosis

11

Page 10: Referrat Sepsis Neonatorum

Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor

atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu:

Tabel 4 Faktor Risiko Sepsis

FAKTOR RISIKO MAYOR FAKTOR RISIKO MINOR

Ketuban pecah dini >18 jam Ketuban pecah dini >12jam

Demam intrapartum >38 C Demam intrapartum >37,5 C

Korioamnionitis Skor APGAR rendah

Ketuban berbau BBLSR

Denyut jantung janin >160 x/menit Usia kehamilan <37 minggu

Kembar

Keputihan

Infeksi Saluran kemih

Sepsis neonatorum didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan

disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa:

a. Laboratorium

1) Darah rutin

Darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit, dan preparat

darah hapus. Pada preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah

jumlah leukosit imatur (neutropenia < 1800/ul) sehingga dapat

diperhitungkan rasio netrofil imatur dengan netrofil total. Dimana

dikatakan terinfeksi apabila I:T rasio > 0,2. Preparat darah hapus

menunjukkan gambaran hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi,

toksik granulasi. Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mendukung

diagnosis neonatus sepsis menurut sistem skor.

Tabel 5 Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum

(Kriteria Rodwell)

12

Page 11: Referrat Sepsis Neonatorum

Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar

sepsis.

2) Kultur

Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi

dari kultur darah atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal,

cairan sendi, cairan peritoneal dan pleura. Kultur darah merupakan gold

standard dalam diagnosis sepsis. Cairan lumbal diperiksa pada neonatus

sakit kritis dengan kultur darah positif, gambaran klinik septikemia,

sebab meningitis ditemukan pada 1 dari 4 sepsis neonatorum. Hasil

kultur positif merupakan tanda definitif terdapatnya bakteri patogen,

hasil biakan baru diperoleh minimal 3-5 hari. Kultur dapat negatif

disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen darah kurang, proses

spesimen yang tidak optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.

3) C-Reaktif Protein (CRP)

Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam

dengan puncaknya 36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber

infeksi tereliminasi. Kadar normal CRP bayi cukup bulan dan prematur

2-5 mg/L, kadar >10 mg/L berhubungan dengan infeksi-sepsis. Karena

protein ini meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh maka

13

Page 12: Referrat Sepsis Neonatorum

pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indikator tunggal dalam

menegakkan diagnosis sepsis neonatal. Nilainya bermakna apabila

dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon

antibiotik, menentukan lamanya pengobatan dan kekambuhan.

4) Prokalsitonin

Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya

termasuk CRP, dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87-

100%. Selain itu prokalsitonoin juga berguna untuk mengindikasikan

keparahan infeksi, memantau kemajuan pengobatan dan memperkirakan

hasil keluaran. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan

immunoluminometric assay (ILMA) dengan 2 antibodi monoklonal.

5) Interleukin

Interleukin -6 (IL-6) adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam

berbagai aspek dari sistem imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai

macam sel seperti monosit, sel endotel, dan fibroblas, setelah stimulasi

TNF dan IL-1. Petanda ini mengindukasi sintesis protein fase akut

hepatik termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis

neonatorum, interleukin-6 meningkat secara cepat. Peningkatan terjadi

beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun

sampai kadar tidak terdeteksi dalam 24 jam.

b. Gangguan fungsi organ

Adanya proses inflamasi sistemik akan mengakibatkan gangguan

fungsi organ yang selanjutnya menimbulkan gangguan koagulasi,

hipotensi, gangguan perfusi jaringan, dan akhirnya kegagalan fungsi

organ serta kematian. Manifestasi klinis gangguan fungsi paru berupa

takipnu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Jika keadaan berat

terjadi ARDS (acute respiratory distress syndrome). Pemeriksaan untuk

mengetahui fungsi paru adalah Analisis Gas Darah (AGD).

14

Page 13: Referrat Sepsis Neonatorum

Adanya kerusakan hati dapat diketahui dengan peningkatan Serum

Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvat

Transaminase (SGPT) bilirubin serum, amonia, dan alkali fosfatase.

Gangguan fungsi ginjal terjadi karena adanya hipovolemia dan

vasodilatasi yang menyebabkan hipoperfusi renal, sehingga

menimbulkan akut tubular nekrosis, uropati obstruktif, nefritis

interstisial rabdomiolisis dan glomerulonefritis. Gagal ginjal akut terjadi

pada 50% penderita sepsis.

Keterlibatan sistem hematologi ditandai dengan adanya anemia,

leukopenia dan trombositopenia. Diseminated Inntravascular

Coagulophaty (DIC) menyebabkan terjadinya konsumsi trombosit yang

berlebihan. Akibat adanya pembentukan formasi trombus mikrovaskular

dan inhibisi dari fibrinolisis menyebabkan semakin banyaknya pelepasan

sitokin, molekul adhesi dari sel proinflamasi dari kaskade sepsis.

Petanda yang dapat dijumpai adalah kenaikan Prothrombin Time, Partial

Thromboplastine Time, D-Dimer dan produk-produk pemecahan

fibrinogen.

8. Penatalaksanaan

Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi

sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan

insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten

terhadap ampisilin. Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,

seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram

negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi.

Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida

sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut.

Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme

pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan

memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem

secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-

laktamase. Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di

unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi

15

Page 14: Referrat Sepsis Neonatorum

hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan

sefalosporinase. Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis

(pada bayi dengan intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain)

karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh

pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan

profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan

tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan

resistensi terhadap antibiotik.

a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini

Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli,

dan Listeria monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah

aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya

efektif terhadap semua organisme penyebab SNAD. Kombinasi ini sangat

dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat

Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga

digunakan untuk terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain

penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun

terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin,

gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih

dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap

proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang

diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan

aminoglikosida lain.

Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter

vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah

aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus endemik

MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi Pseudomonas

(terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin

(golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim

(sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif

terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di

16

Page 15: Referrat Sepsis Neonatorum

beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin

atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SNAD dan SNAL.

Keuntungan utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah

aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis,

termasuk bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu,

sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan serebrospinal

dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga

sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif

terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan

akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten

dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan

penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida.

Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida

atau penisilin spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang

disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten

terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.

Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal:

penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci

sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten penisilinase (misal:

oksasiklin, nafsilin, dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SNAD dan

SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang

dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan

dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan

neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus

dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih

antibiotic.

c. Terapi suportif (adjuvant)

1) Immunoglobulin intravena

Imunoglobulin intravena saat ini belum dianjurkan untuk pemberian rutin

sebagai profilaksis maupun terapi SNAD. Banyak penelitian mengenai hal

17

Page 16: Referrat Sepsis Neonatorum

ini menggunakan jumlah sampel yang kecil dan belum ada sediaan

imunoglobulin yang spesifik, beberapa efek samping dan komplikasi telah

dilaporkan seperti infeksi, hemolisis, dan supresi kekebalan tubuh pada

pemberian imunoglobulin hiperimun. Pada kondisi tertentu seperti sepsis

berat atau infeksi berulang pada neonatus kurang bulan, ada penelitian

yang menganjurkan pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis 500-

1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.

2) Transfusi fresh frozen plasma (FFP)

Fresh frozen plasma (FFP) mengandung antibodi, komplemen, dan protein

lain seperti C-Reactive Protein dan fibronektin. Antibodi bayi baaru lahir

terbatas pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk

antibodi protektif terhadap patogen patogen tertentu. FFP mengandung

antibodi protektif, namun dalam dosis 10 ml/kg, jumlah antibodi tidak

adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada pemberian

secara kontinu (seperti 10 ml/kg setiap 12 jam), kadar proteksi dapat

tercapai.

3) Transfusi sel darah putih

Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan infeksi

neonatus umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum dianjurkan

penggunaannya. Hanya beberapa pusat kesehatan di Amerika Serikat yang

mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan transfusi. Transfusi

granulosit juga potensial mempunyai komplikasi seperti infeksi dan reaksi

transfusi di samping biaya yang tinggi dan teknik pembuatannya yang

sulit.

4) Pemberian G-CSF dan GM-CSF

Saat ini, banyak peneliti yang mempelajari tentang colony-stimulating

factors, yaitu suatu protein spesifik yang penting untuk proliferasi dan

diferensiasi progenitor granulosit serta mempengaruhi fungsi granulosit

matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut yang banyak diteliti

18

Page 17: Referrat Sepsis Neonatorum

berkaitan dengan infeksi neonatus yaitu granulocyte-colony stimulating

factor (G-CSF) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor

(GM-CSF). Suatu penelitian melaporkan peningkatan jumlah neutrofil

absolut, eosinofil, monosit, limfosit, dan trombosit dengan pemberian GM-

CSF rekombinan pada neonatus yang sepsis. Namun masih diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas terapi ini.

5) Transfusi tukar

Secara teoretis, transfusi tukar menggunakan whole blood segar pada

sepsis neonatorum bertujuan: 1) mengeluarkan/mengurangi toksin atau

produk bakteri serta mediator-mediator penyebab sepsis, 2) memperbaiki

perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen

dalam darah, dan 3) memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahn

neutrofil dan berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah

donor. Transfusi tukar juga memiliki beberapa kelemahan seperti kesulitan

teknik pelaksanaan, potensial terjadinya infeksi, dan reaksi transfusi.

6) Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid intravena pada sepsis neonatorum masih

kontroversial. Walaupun kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi

sepsis, namun kemanjurannya masih diragukan, karena pemberiannya

berlangsung setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.10,28

9. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik;

tetapi bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat,

akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada

15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali

lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio

kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada

SNAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 %

(pada infeksi SGB pada SNAL kira – kira 2 %).

19