Referensi #3

12
Belakangan ini, isu soal kepemimpinan menjadi perbincangan yang ramai di media sosial. Pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa pemimpin yang adil, meskipun non-Muslim itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tetapi zalim disalahartikan. Potongan pernyataan tersebut disebarkan di media sosial, seolah- olah KH Said Aqil mendukung kepemimpinan non-Muslim, mengingat isu tersebut sedang kencang terkait kepemimpinan di Jakarta yang saat ini dipimpin oleh non-Muslim dan ingin melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Pernyataan tersebut kemudian dijadikan meme dan disandingkan dengan pernyataan pemimpin umat lain bahwa masih banyak pemimpin Muslim yang jujur dan adil. Segera saja, hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam. Apa yang disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj tersebut harus dilihat dalam konteksnya, tidak berdiri sendiri dan tidak untuk mendukung kepemimpinan non- Muslim. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi di mana semua warga negara berhak untuk menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin yang baik, syarat utama yang harus dipenuhi adalah kejujuran dan keadilan. Sifat-sifat seperti ini bisa dimiliki oleh penganut agama apa saja, Muslim atau non-Muslim. Tetapi jika ada dua pilihan antara Muslim dan non-Muslim yang memiliki kualifikasi yang sama, tentu pemimpin Muslim yang harus diutamakan. Prinsip seperti ini sudah menjadi keputusan NU dalam Muktamar ke-30 di Pesantren Lirboyo Kediri pada 1999. Apa yang dikatakan oleh KH Said Aqil Siroj juga merujuk pada pernyataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah bahwa negara yang adil akan kekal sekalipun ia negara kafir. Sebaliknya negara yang zalim akan binasa sekalipun ia negara Islam. Kita tentu prihatin dengan upaya mendiskreditkan Ketua Umum PBNU melalui media sosial. Perilaku seperti ini juga menunjukkan sikap tidak islami. Kelompok Islam yang memiliki pandangan bahwa Muslim harus dipimpin oleh Muslim itu merupakan pandangan yang sah, tetapi harus dilakukan dengan mekanisme yang ada. Jika ada non- Muslim yang ternyata dipercaya oleh masyarakat menjadi pemimpin, ini seharusnya menjadi otokritik bagi kelompok pendukung bahwa pemimpin harus Muslim, kenapa tidak berhasil menempatkan tokohnya sebagai pemimpin. Di sini menjadi pertanyaan bagi partai-partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam untuk mendudukkan calonnya sebagai pemimpin masyarakat. Dalam sistem demokrasi, para politisi berusaha menarik simpati dengan menggunakan isu agama, etnis, kelompok dan identitas lainnya. Ini merupakan salah satu sisi buruk dari demokrasi. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan benturan atau konflik dalam masyarakat. Kita sendiri saat ini masih belajar bagaimana berdemokrasi dengan baik. Seharusnya, para calon pemimpin menyampaikan visi misinya ke mana umat akan dibawa bukan dengan mengkampanyekan agama, etnisitas, dan identitas kelompok lainnya. Jika ini dilakukan, maka Indonesia akan dipimpin oleh orang-orang terbaik, apapun agamanya, dari manapun sukunya, atau dari manapun kelompoknya. Rakyat juga akan menikmati keberadaan pemimpin yang baik, apapun agama mereka. Dengan sistem demokrasi, India yang mayoritas Hindu pernah memiliki Presiden Muslim, yaitu Abdul Kalam. Di Kanada yang mayoritas non-Muslim Naheed Nenshi berhasil menjadi walikota beragama Islam pertama dan berprestasi sebagai walikota terbaik di dunia. Kita tentu akan semakin bangga jika semakin banyak Muslim yang berkontribusi dalam membangun peradaban di dunia, baik ketika memimpin masyarakat mayoritas Muslim atau non-Muslim. (Mukafi Niam)

description

referensi ngopi gani

Transcript of Referensi #3

Page 1: Referensi #3

Belakangan ini, isu soal kepemimpinan menjadi perbincangan yang ramai di media sosial. Pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa pemimpin yang adil, meskipun non-Muslim itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tetapi zalim disalahartikan. Potongan pernyataan tersebut disebarkan di media sosial, seolah-olah KH Said Aqil mendukung kepemimpinan non-Muslim, mengingat isu tersebut sedang kencang terkait kepemimpinan di Jakarta yang saat ini dipimpin oleh non-Muslim dan ingin melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Pernyataan tersebut kemudian dijadikan meme dan disandingkan dengan pernyataan pemimpin umat lain bahwa masih banyak pemimpin Muslim yang jujur dan adil. Segera saja, hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam. 

Apa yang disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj tersebut harus dilihat dalam konteksnya, tidak berdiri sendiri dan tidak untuk mendukung kepemimpinan non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi di mana semua warga negara berhak untuk menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin yang baik, syarat utama yang harus dipenuhi adalah kejujuran dan keadilan. Sifat-sifat seperti ini bisa dimiliki oleh penganut agama apa saja, Muslim atau non-Muslim. Tetapi jika ada dua pilihan antara Muslim dan non-Muslim yang memiliki kualifikasi yang sama, tentu pemimpin Muslim yang harus diutamakan. Prinsip seperti ini sudah menjadi keputusan NU dalam Muktamar ke-30 di Pesantren Lirboyo Kediri pada 1999. Apa yang dikatakan oleh KH Said Aqil Siroj juga merujuk pada pernyataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah bahwa negara yang adil akan kekal sekalipun ia negara kafir. Sebaliknya negara yang zalim akan binasa sekalipun ia negara Islam. 

Kita tentu prihatin dengan upaya mendiskreditkan Ketua Umum PBNU melalui media sosial. Perilaku seperti ini juga menunjukkan sikap tidak islami. Kelompok Islam yang memiliki pandangan bahwa Muslim harus dipimpin oleh Muslim itu merupakan pandangan yang sah, tetapi harus dilakukan dengan mekanisme yang ada. Jika ada non-Muslim yang ternyata dipercaya oleh masyarakat menjadi pemimpin, ini seharusnya menjadi otokritik bagi kelompok pendukung bahwa pemimpin harus Muslim, kenapa tidak berhasil menempatkan tokohnya sebagai pemimpin. Di sini menjadi pertanyaan bagi partai-partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam untuk mendudukkan calonnya sebagai pemimpin masyarakat. 

Dalam sistem demokrasi, para politisi berusaha menarik simpati dengan menggunakan isu agama, etnis, kelompok dan identitas lainnya. Ini merupakan salah satu sisi buruk dari demokrasi. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan benturan atau konflik dalam masyarakat. Kita sendiri saat ini masih belajar bagaimana berdemokrasi dengan baik. Seharusnya, para calon pemimpin menyampaikan visi misinya ke mana umat akan dibawa bukan dengan mengkampanyekan agama, etnisitas, dan identitas kelompok lainnya. Jika ini dilakukan, maka Indonesia akan dipimpin oleh orang-orang terbaik, apapun agamanya, dari manapun sukunya, atau dari manapun kelompoknya. Rakyat juga akan menikmati keberadaan pemimpin yang baik, apapun agama mereka. Dengan sistem demokrasi, India yang mayoritas Hindu pernah memiliki Presiden Muslim, yaitu Abdul Kalam. Di Kanada yang mayoritas non-Muslim Naheed Nenshi berhasil menjadi walikota beragama Islam pertama dan berprestasi sebagai walikota terbaik di dunia. Kita tentu akan semakin bangga jika semakin banyak Muslim yang berkontribusi dalam membangun peradaban di dunia, baik ketika memimpin masyarakat mayoritas Muslim atau non-Muslim. (Mukafi Niam)

Page 2: Referensi #3

Pandangan Ulama : Hukum Non Muslim Menjadi Penguasa Bagi Kaum Muslim

27 Nov 2015 in Tsaqofah, Tsaqofah Islam Leave a comment

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Pada zaman sekarang, umat Islam banyak mendapatkan ujian. Diuji dengan orang-orang yang tampangnya bertampang ulama’, ustadz dan mufti, tetapi celakanya mereka mengeluarkan fatwa yang menyalahi al-Qur’an, as-Sunnah dan apa yang disepakati oleh para ulama’ Muktabar. Mereka memaksakan diri untuk beragumentasi dengan argumen yang janggal, aneh dan jauh dari Islam. Bahkan, tidak segan membajak nash-nash syariat untuk mendukung pandangan mereka.

Di antaranya, fatwa tentang kebolehan memberikan mereka kewenangan yang besar kepada orang Kafir, agar mereka menjadi penguasa kaum Muslim di negeri Islam. Mengurus dan mengelola urusan mereka. Dia juga berhak untuk ditaati.[1] Alasan mereka, antara lain, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, telah diangkat menjadi penguasa dalam sistem pemerintahan Kafir.

Yang benar adalah, bahwa pendapat tersebut jauh dari kebenaran. Bahkan, jelas-jelas menyalahi kebenaran itu sendiri. Alasannya, antara lain:

Pertama, bahwa tugas utama penguasa kaum Muslim adalah menegakkan syariat Allah, menjunjung tinggi kalimah-Nya, mengurus dunia dengan agama, menjaga ketentuan hukum Allah, agama-Nya serta hak-hak hamba-Nya. Dalam hal ini, Khilafah merupakan wakil Nabi dalam menjaga agama, mengurus dunia dengan agama, dan bukan sekedar biasa. Imam al-Mawardi berkata, “Imamah itu dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama, mengurus politik, serta memberikan akad kepadanya bagi siapa saja sanggup memikulnya di tengah-tengah umat, hukumnya wajib.”[2]

Ibn Tamiyyah mengatakan, “Yang menjadi maksud yang wajib dalam kekuasaan itu adalah memperbaiki agama makhluk. Sebab, ketika agama itu hilang dari mereka, maka mereka pasti rugi serugi-ruginya. Dunia yang menjadi nikmat mereka pun tak ada gunanya. Untuk memperbaiki urusan duia mereka yang hanya bisa ditegakkan dengannya.”[3]

Logikanya, bagaimana mungkin orang Kafir yang tidak mengimani Islam bisa mengerjakan tugas ini? Bagaimana mungkin kita bisa meletakkan amanah untuk menjaga agama di depan orang yang jelas-jelas mengingkarinya?

Kedua, nash-nash syara’ telah menjelaskan, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang Kafir yang memang asli Kafir, meski boleh jadi dia murtad setelah diangkat, namun begitu murtad, dia harus diberhentikan, dan kepemimpinannya pun gugur. Allah SWT. berfirman:

 

﴿  ه يجعل ولن [141: النساء ]﴾ سبيال[ المؤمنين على للكافرين الل

 “Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 141]

Al-Qadhi Ibn al-‘Arabi menyatakan: “Allah SWT secara syar’i tidak memberikan jalan kepada orang Kafir untuk menguasai orang Mukmin. Jika pun ada, maka itu jelas menyalahi syara’.” [4] 

Allah SWT berfirman:

﴿  ها يا ذين أي ه أطيعوا آمنوا ال سول وأطيعوا الل [59: النساء ]﴾ منكم األمر وأولي الر

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta pemimpin di antara kalian.” [Q.s. an-Nisa’: 59]

Dengan frasa, “Minkum” [di antara kalian], menunjukkan bahwa pemimpin tersebut wajib dari kalangan umat Islam yang beriman. Karena seruannya dari permulaan ayat tersebut diarahkan kepada mereka.

Allah SWT juga berfirman:

Page 3: Referensi #3

﴿  ها يا ذين أي خذوا ال آمنوا ال م ما ودوا خباال[ يألونكم ال دونكم من بطانة[ تت  عنت  أكبر صدورهم تخفي وما أفواههم من البغضاء بدت قد ا قد ن [118: عمران آل ]﴾ تعقلون كنتم إن اآليات لكم بي

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” [Q.s. Ali ‘Imran: 118]

Imam al-Qurthubi mengatakan, “Melalui ayat ini, Allah telah melarang orang Mukmin untuk menjadikan kaum Kafir, Yahudi dan pemuja hawa nafsu untuk dijadikan sebagai teman kepercayaan yang keluar masuk [tempat kita] untuk bertukar pandangan, dan mereka menyerhkan urusan mereka kepadanya.” [5]

Jadi, bagaimana mungkin menjadikan mereka sebagai penguasa dan pemimpin untuk mengurusi berbagai urusan kita?

Allah SWT juga berfirman:

﴿  ها يا ذين أي خذوا ال آمنوا ال [144: النساء ]﴾ المؤمنين دون من أولياء الكافرين تت

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung [pemimpin] selain orang Mukmin.” [Q.s. an-Nisa’: 144]

 Ibn Katsir berkata, “Allah SWT. melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung [pemimpin], selain orang Mukmin. Artinya, Allah melarang mereka untuk dijadikan sahabat, teman, penasehat, dicintai serta tempat menyampaikan rahasia orang Mukmin.” [6]

Imam al-Qurthubi menambahkan, “Artinya, janganlah menjadikan mereka sebagai orang istimewa kalian dan kepercayaan kalian.” [7] 

Jika menjadikan mereka sebagai teman, membeberkan rahasia orang Mukmin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai kepercayaan merupakan bentuk ber-muwalah yang dilarang ayat tersebut, maka tidak diragukan lagi, bahwa mengangkat mereka sebagai pemimpin urusan kaum Muslim, dan penguasa mereka jelas-jelas merupakan bentuk  muwalah yang lebih nyata dan sangat diharamkan.

Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiya-Llahu ‘anhu, berkata, “Kami diundang Rasulullah saw. Kami membai’at baginda, maka di antara yang baginda minta dari kami, hendaknya kami membai’at [baginda] untuk mendengar dan taat, baik ketika kami lapang maupun sempit, susah maupun senang.. dan hendaknya kami tidak merebut urusan tersebut dari yang berhak.” Baginda saw. bersabda, “Kecuali, jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dimana kalian mempunyai bukti di hadapan Allah SWT.” [8]

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Kalau tampak kekufuran, mengubah syariat atau melakukan bid’ah, maka dia telah keluar dari hukum sahnya kepemimpinan. Ketaatan kepadanya pun gugur. Wajib bagi kaum Muslim untuk menentangnya, dan memberhentikannya. Lalu, mengangkat imam yang adil, jika memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya. Jika itu hanya bisa dilakukan sekelompok orang, maka mereka wajib memberhentikan orang Kafir tersebut.”[9]

Kedua, Ijmak kaum Muslim menyepakati, bahwa syarat Muslim bagi orang yang memegang tampuk pemerintahan, yang memerintah dan mengurus kaum Muslim. Orang Kafir tidak mempunyai hak memerintah dan mengurus urusan kaum Muslim, apapun alasan dan kondisinya.

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Ulama’ kaum Muslim sepakat, bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada orang Kafir. Jika kemudian tampak kekufuran padanya, maka dengan sendirinya diberhentikan. Begitu juga kalau meninggalkan kewajiban mendirikan shalat dan mengajak untuk mendirikan shalat.”[10]

Ibn al-Mundzir berkata, “Bahwa telah disepakati oleh Ahli Ilmu yang dihapal riwayatnya dari mereka, bahwa orang Kafir tidak berhak mempunyai kekuasaan terhadap seorang Muslim, apapun alasannya.” [11]

Page 4: Referensi #3

Ibn Hazm berkata, “Mereka sepakat, bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada seorang wanita, orang Kafir dan anak kecil.” [12]

Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Sesungguhnya seorang imam [kepala negara] akan terhenti dengan sendirinya, berdasarkan Ijmak, begitu dia kufur. Maka, kaum Muslim wajib untuk melakukannya [menghentikannya]. Siapa yang sanggup untuk melakukannya, maka dia akan mendapatkan pahala. Dia yang tidak serius melakukannya, maka dia berhak mendapatkan dosa. Siapa saja yang tidak mampu, maka dia wajib hijrah dari negeri tersebut.” [13]

Keempat, Jumhur ulama’ menguatkan, bahwa kefasikan seorang penguasa secara nyata, dan diketahui, bisa menyebabkan gugurnya haknya untuk memimpin dan mengurus [urusan kaum Muslim], menjadi alasan yang membenarkan untuk meninggalkannya, ketika aman dari pertumpahan darah dan terjadinya fitnah. Itu karena kefasikannya boleh jadi akan membuatnya berdiam diri dari kewajiban syar’inya, baik menegakkan hudud, mengurus hak-hak [rakyat], menjaga agama dan kehidupan rakyatnya.

Imam al-Qurthubi berkata, “Seorang imam, jika dia diangkat, kemudian menjadi fasik setelah berlangsungnya akad, maka Jumhur ulama’ berpendapat, bahwa kepemimpinannya batal, dan dia harus diberhentikan karena kefasikan yang nyata dan diketahui. Sebab, telah ditetapkan [dengan nash syariah], bahwa seorang imam diangkat hanya untuk menegakkan hudud, menunaikan hak, menjaga harta anak-anak yatim dan mujanin, memperhatikan urusan mereka dan sebagainya.. Kefasikannya juga akan membuatnya berdiam diri dari menunaikan urusan ini, dan bangkit untuk mengerjakannnya.

Kalau kami membenarkan orang fasik menjadi imam, tentu itu akan menyebabkan dibatalkannya apa yang seharusnya dia ditegakkan, dimana dia ada untuk itu. Tidakkah Anda melihat, jika sejak awal tidak boleh kekuasaan diberikan kepada orang fasik, itu tak lain agar dia tidak membatalkan apa yang justru seharusnya dia tegakkan. Begitu juga orang yang seperti dia.” [14]

Jika pandangan mereka tentang seorang penguasa yang berhak memimpin dan mengurus [urusan umat Islam], serta dibaiat, kemudian tampak kefasikan pada dirinya saja seperti ini, lalu bagaimana dengan orang yang aslinya memang Kafir, yang tidak berhak dibaiat, dan tidak berhak mempimpin dan mengurus urusan kaum Muslim? Bagaimana mungkin, bisa dibenarkan syara’ maupun nalar, bahkan kekuasaan dan pemerintahan kaum Muslim itu diberikan kepada orang yang memang aslinya sudah Kafir?

Kelima, mengenai apa yang dijadikan argumentasi para ulama’ itu, yaitu kasus Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, maka sesungguhnya argumentasi mereka tidak ada nilainya sama sekali. Argumentasi ini selain batil, tentu saja harus ditolak, dengan beberapa alasan:

Sesungguhnya syariat Nabi atau umat sebelum kita [Syar’u man qablana] telah dinyatakan dalam Ushul Fiqih bukan merupakan syariat bagi kita, juga tidak bisa digunakan sebagai hujah. Terlebih, jika bertentangan dengan syariat Islam.[15]

Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam juga tidak ada bukti yang bisa digunakan untuk menyatakan, bahwa Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam mengakui kepemimpinan orang Kafir. Tindakan Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam hanya untuk menegakkan keadilan, menjaga hak, mencegah kezaliman, disia-siakannya harta bukan kepada yang berhak, karena itu beliau memberi alasan, “Hafidz[un] ‘alim[un].” [yang menjaga dan mengetahui].

Al-Qadhi Ibn al-‘Arabi memberikan catatan, “Bagaimana mungkin, bisa diterima [dengan nalar] beliau menerima pengangkatan orang Kafir sebagai penguasa, sementara beliau orang Mukmin dan Nabi?”  Ibn ‘Arabi menjawab, “Kami tegaskan, beliau tidak pernah meminta jabatan. Tetapi, minta ditinggalkan dan dibiarkan.. Jika Allah mau, Allah bisa menjadikannya berkuasa.. Tetapi, Allah menjalankan sunah-Nya sebagaimana yang berlaku untuk para Nabi dan umatnya.. itulah yang ditunjukkan oleh firman-Nya:

﴿  ا وكذلك ن  األرض في ليوسف مك [56: يوسف ]﴾ المحسنين أجر نضيع وال نشاء من برحمتنا نصيب يشاء حيث منها يتبوأ

 “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [Q.s. Yusuf: 56]

 Kesimpulan

Page 5: Referensi #3

Berdasarkan paparan dalil-dalil syara’ di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat, serta pandangan para ulama’ tentang kepemimpinan orang Kafir dan Fasik, bisa disimpulkan, bahwa:

Jelas Islam merupakan syarat mutlak dan merupakan harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Jika ada penguasa yang asalnya Muslim, kemudian setelah berkuasa menjadi murtad, maka dengan sendirinya kekuasaan lepas. Dia diberhentikan secara outomatis, begitu syarat Islam-nya hilang. Jika tidak mau berhenti, maka para ulama’ sepakat, orang seperti harus diberhentikan dengan paksa.

Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa orang Kafir boleh berkuasa, pendapat seperti ini tidak pernah dinyatakan oleh ulama’ di masa lalu. Argumentasi yang mereka gunakan pun lemah, dan tidak mempunyai nilai sedikit dalam pengambilan hukum syara’.

Jika saat ini yang berpendapat tentang kebolehan non-Muslim menjadi penguasa kaum Muslim, maka orang seperti ini ada dua kemungkinan: Pertama, jahil tentang hukum Islam. Kedua, menjual diri dan agamanya untuk kepentingan dunia.

Wallahu a’lam.

Page 6: Referensi #3

Tahun 2013 merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 akan digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam.Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi.Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam  sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.Apa itu DemokrasiDemokrasi  adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll)  pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal:(1)    Hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al sya’bi). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan.(2)    Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority).Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan.   Maka dari itu, munculah kebebasan di segala aspek kehidupan. Sistem demokrasi melahirkan beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: (a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hak-hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.Demokrasi vs IslamJelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak  bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat. Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am [6]: 116).

Page 7: Referensi #3

Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan.  Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta menjadi penguasa boneka Barat. Kedua: demokrasi merupakan pemikiran utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga: sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena tidak bersumber dari syariah Islam.Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut ‘Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44).Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:a.     Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw.b.     Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208).c.     Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.d.     Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam.Syura bukan DemokrasiAnggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya.Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.

Page 8: Referensi #3

Hukum syura adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159.Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atu ketua oraganisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah.Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi.KhatimahDemokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan.Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah.WalLahu a’alam bi ash-shawwab. [Hanif Kristianto; Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim]Daftar RujukanApakah Demokrasi Itu? 1991, hlm. 4-5. Terbitan United States Information Agency.Ibid, hlm. 6.

Page 9: Referensi #3

Abdul Qadim Zallum. 2004. Pemikiran Politik Islam, hlm. 202-203. Al-Izzah.Abdul Qadim Zallum, 1990. Demokrasi Sistem Kufur. (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir)Abdul Qadim Zallum, 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Cetakan VI (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir).Taqiyyudin An-Nabhani, 2001. Nizham al-Islam. Cetakan VI

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa hari ini kami mendapat pertanyaan seputar perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah –rahimahullah– yang bunyinya,

ظالم مسلم حاكم من الله عند خير عادل كافر حاكم

“pemimpin kafir yang berlaku adil lebih baik disisi Allah ketimbang pemimpin muslim yang dzalim”.

Apakah benar pernyataan diatas merupakan pernyataan Ibnu Taimiyah..?Apakah Ibnu Taimiyah membolehkan orang kafir menjadi pemimpin dengan syarat berlaku adil.?

Jawabannya tentu tidak benar, kalimat diatas sudah mengalami tahrif (perubahan). Memang benar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa

اس فإن  عاقبة أن في يتنازعوا لم الن ه : ” يروى ولهذا كريمة العدل وعاقبة وخيمة الظلم كافرة[ كانت وإن العادلة الدولة ينصر الل مؤمنة[ كانت وإن الظالمة الدولة ينصر وال

“Manusia tidak berselisih bahwa balasan dari perbuatan zalim adalah kebinasaan sementara balasan dari sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil sekalipun kafir, dan akan membinasakan Negara yang zalim sekalipun beriman“”.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak bisa difahami sepotong-sepotong. Perkataan beliau harus difahami secara utuh, hal ini telah kami jelaskan pada tulisan kami sebelumnya yang membahas tentang hal-hal yang harus diperhatikan pembaca sebelum membaca karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Bila kita membaca pernyataan beliau secara utuh di dalam risalah Al Hisbah, sama sekali tidak ada indikasi bahwa Syaikhul Islam merestui kepemimpinan orang kafir sekalipun dia adil. Karena hal ini merupakan masaalah pokok yang sudah difahami dalam islam, dimana agama kita secara tegas menolak kepemimpinan orang kafir terhadap orang islam. Dan Syaikhul Islam merupakan ulama yang dikenal tegas dalam masalah ini.

Pernyataan beliau didalam risalah Al Hisbah adalah penjelasan tentang pentingnya keadilan serta bahayanya kedzaliman terhadap eksistensi sebuah bangsa. Karena dalam urusan dunia Allah tidak pilih kasih. Dia memberi rahmat kepada seluruh makhluk, baik kepada orang mukmin ataupun orang kafir bila ia telah melakukan ikhtiar. Akan tetapi orang mukmin akan mendapakan balasan kebaikannya di dunia dan di akhirat, sementara orang kafir hanya akan mendapatkan balasan kebaikannya di dunia saja. Jadi pertolongan Allah kepada orang-orang kafir semata-mata nikmat dunia yang disegerakan kepada mereka, tanpa menyisahkan nikmat tersebut untuk kehidupan akhirat mereka.

Hal ini semakna dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

الدنيا، في لله بها عمل ما بحسنات فيطعم الكافر وأما اآلخرة، في بها ويجزى الدنيا، في بها يعطى حسنة، مؤمنا يظلم ال الله إن مسلم رواه. بها يجزى حسنة له تكن لم اآلخرة إلى أفضى إذا حتى

Page 10: Referensi #3

“Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi seorang mukmin yang berbuat baik. Di dunia dia akan mendapatkan balasan dan di akhirat ia akan mendapatkan pahala. Sementara itu, orang kafir (yang berbuat baik) akan diberi kebaikan oleh Allah di dunia, sementara di akhirat ia tidak akan mendapatkan pahala”. (HR. Muslim)

Jadi tidak ada yang salah dari pernyataan Ibnu Taimiyah. Tafsirannya saja yang keliru, karena berangkat dari redaksi yang sudah mengalami perubahan.

Catatan:

1. Syaikhul islam seolah mengisyaratkan bahwa kebinasaan merupakan akhir dari sebuah kedzaliman, itulah sunnatullah yang berlaku. Keadilan dan kedzoliman pasti akan berbalas, walau untuk waktu yang lama. Dan ini berlaku di negara yang tidak megenal tuhan sekalipun. Karena Allah tidak akan menzhalimi siapapun diantara makhluk-Nya. Maha besar Allah dengan segala Keadilan-Nya.

2. Sebuah negara hanya akan meraih kejayaannya bila pemimpinnya adil, dan keadilan yang hakiki hanya bisa diwujudkan bila syariat Allah tegak sebagai dustur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Tidak ada keadilan hakiki diluar Islam. Islam tidak pernah merasa aman selama dipimpin orang kafir. Sebaliknya islam selalu memberi rasa aman pada semua orang bila berkuasa. sejarah telah membuktikan itu.

Ataukah sejarah harus berulang untuk membuktikan semua itu.?

Semoga Allah menjaga bumi pertiwi dari berbagai makar jahat.

Wallahu a’lam

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sayyidina Ali pernah ditanya; mana yang lebih baik? Penguasa muslim yang dzalim atau kafir yang adil? Ali menjawab; kafir yang adil lebih baik.. karena keadilannya bagi kita semua, dan kekafirannya bagi dirinya sendiri.. penguasa muslim yang dzalim, ke-muslim-annya hanya untuk dirinya sendiri dan kedzalimannya merugikan seluruh umat....

Sumber : Syeikh Mufid, Kitab Amali, hlm 310-- Mula Muhammad Shaleh Mazandarani, Syarh Ushul Kafi, jld 9, hlm 383.

Jangan terkesima dulu. Yang menjadi rujukan orang tersebut adalah syarah dari kitab Ushul al-Kafi, yang merupakan kitab utama haditsnya orang-orang Syi'ah rafidhah. Posisi kitab tersebut sama seperti kitab sahih Bukhori bagi orang-orang Sunni. Nah isi kitab tersebut banyak yang menyimpang bahkan secara aqidah.

Di antara penyimpanan yang fatal mereka mengimani ada versi Qur'an lain. Berikut contohnya:

Dalam kitab al-Kafi karya Muhammad Ya’qub al-Kulaini—yang bagi kaum Syiah kedudukannya seperti kitab Shahih al-Bukhari bagi kaum muslimin—, al-Kulaini meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah Ja’far as-Shadiq, ia berkata,

ذي القرآن أن الم عليه جبريل به جاء ال م وآله عليه الله صلى محمد إلى الس آية ألف عشر سبعة وسل

“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril ‘Alaihisslam kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berjumlah 17.000 ayat.”(Ushul al-Kafi, karya al-Kulaini, Kitab Fadhlul Qur’an, bab “an-Nawadir”,2/134)

Page 11: Referensi #3

Kalo Malaikat Jibril saja berani difitnah sama orang-orang Syi'ah rafidhah, apalagi Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu? [www.tribunislam.com]

Sumber : facebook Yudha Pedyanto