Referat Trauma Hidung Fix!!
-
Upload
oktaria-lutfiani -
Category
Documents
-
view
499 -
download
3
Transcript of Referat Trauma Hidung Fix!!
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera di dalam hidung biasanya terjadi ketika benda asing masuk ke dalam hidung atau
ketika seseorang memakai obat-obatan melalui hidung. Cedera di luar hidung biasanya
berhubungan dengan aktifitas olahraga, kekerasan, penyiksaan atau kecelakaan.
Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering patah karena tulang tersebut
adalah tulang dengan posisi paling depan pada wajah. Meskipun tidak mengancam jiwa, patah
tulang hidung dapat menyebabkan kelainan bentuk baik secara estetik dan fungsional. Patah
tulang hidung juga dapat merusak selaput yang melapisi jalan nafas melalui hidung,
menyebabkan terbentuknya jaringan parut sehingga menyumbat jalan nafas dan merusak indera
penciuman seseorang.
Seseorang yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami trauma hidung adalah seorang
atlet. Trauma hidung dapat menyebabkan komplikasi diantaranya adalah kebocoran cairan
serebrospinal dan peradangan selaput hidung.
Penanganan dan pengobatan Trauma Hidung dapat berbeda tergantung pada kondisi
pasien dan penyakit yang dideritanya. Pilihan pengobatan adalah pembedahan hidung.
Pencegahan trauma hidung berupa menghindari faktor risiko yang memungkinkan terjadinya
trauma hidung.
1
BAB II
ANATOMI dan FISIOLOGI HIDUNG
2.1.1 Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang
anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum
terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau
kelainan.
2.1.2 Embriologi hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala
berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal
dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung
pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang
hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan
perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah
konka.
Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis
yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan
empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari
invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian
dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding
lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh
daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
2
perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus
etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.
2.1.3. Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga
bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-
bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum
nasi), 3) puncak hidung (hip),4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares
anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal)
, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.
2.1.4. Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan
meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan
sebelah atas konka media disebut meatus superior.
2.1.4.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os
vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
2.1.4.2. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
3
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.
Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior
4
disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-
kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka
superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
2.1.4.3. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior
bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya
bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus
sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
2.1.4.4. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan
bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula
etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior
muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang- kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
2.1.4.5. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas
posterior nostril.
2.1.4.5. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
5
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer,
bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus
os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang
berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya
berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-
sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus
yang menghasilkan sel-sel goblet.
2.1.5. Kompleks ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa
celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM
terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang
keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum
masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui
celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.
Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid
atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.
6
Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)
2.1.6 Pendarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya
adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach
(Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
7
2.1.7. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V).
Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
2.1.8. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tek-
anan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa
olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
8
BAB III
TRAUMA HIDUNG
Trauma hidung didefinisikan sebagai setiap keadaan cedera hidung atau struktur terkait
yang dapat menyebabkan perdarahan, cacat fisik, berkurangnya kemampuan untuk bernapas
normal karena obstruksi, atau gangguan indera penciuman. Trauma dapat dipengaruhi oleh
faktor internal maupun eksternal.
Hidung manusia terdiri dari tulang, tulang rawan dan jaringan lunak. Ini berfungsi
sebagai saluran untuk udara masuk dari lingkungan luar ke dalam saluran pernafasan dan paru-
paru. Pada saat yang bersamaan, udara yang masuk ke dalam tubuh mengalami humidifikasi
dan dihangatkan oleh hidung.
Trauma internal pada hidung biasanya terjadi ketika sebuah benda asing (termasuk jari)
dimasukkan didalam hidung atau ketika seseorang mengonsumsi obat-obatan penyalahgunaan
(inhalants atau kokain) melalui hidung. Trauma eksternal hidung biasanya disebabkan
kekerasan atau trauma tumpul yang dapat berhubungan dengan olahraga, tindakan pidana
(pemukulan), kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak, kecelakaan mobil atau sepeda.
Jenis trauma ini dapat mengakibatkan fraktur hidung.
Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering fraktur ( patah) karena tulang
tersebut adalah tulang dengan posisi paling depan pada wajah. Meskipun tidak mengancam
jiwa, fraktur tulang hidung dapat menyebabkan kelainan bentuk, baik secara estetika dan
fungsional. Fraktur tulang hidung juga dapat merusak selaput yang melapisi jalan nafas melalui
hidung, menyebabkan terbentuknya jaringan parut sehingga menyumbat jalan nafas dan
merusak indera penciuman seseorang. Hanya sebesar 30g kekuatan yang diperlukan untuk
mematahkan atau memecahkan tulang hhidung dibandingkan tulang rahang yang memerlukan
kekuatan sebesar 70g . Bentuk fraktur tergantung pada arah datangnya trauma terhadap hidung,
apakah dari depan, samping, atau atas hidung.
Fraktur tulang akibat trauma ke hidung dapat melibatkan tulang septum ( partisi tulang
dan tulang rawan membagi hidung menjadi dua rongga ) serta tulang sekitar mata. Tulang-
tulang ini termasuk hidung, maxilla, lakrimal dan tulang frontal. Trauma langsung ke jembatan
hidung mungkin juga mengakibatkan kerusakan pada bagian dasar tengkorak yang dikenal
sebagai lamina kribriformis. trauma ini dapat memungkinkan cairan serebrospinal akan bocor
9
keluar dari tengkorak dan meninggalkan tubuh melalui hidung. Selain fraktur tulang, jaringan
lunak sekitar hidung dapat terluka yang dapat diakibatkan oleh gigitan (manusia atau hewan),
sengatan serangga, gunting, atau goresan. Luka tembus di sekitar hidung dapat disebabkan oleh
pistol udara atau senjata api lainnya. Terakhir, hidung piercing (tindik hidung), sebagai fashion
cenderung mengakibatkan trauma hidung jenis disengaja yang memiliki beberapa komplikasi,
termasuk infeksi tulang rawan dan jaringan lunak di hidung, penyumbatan jalan napas.
3.1.1 ETIOLOGI
Trauma eksternal pada hidung dapat terjadi secara tidak sengaja (kecelakaan lalulintas,
gigitan hewan, pistol udara, dan cedera olahraga) ataupun disengaja (berkelahi, kejahatan
kriminal, kekerasan dalam rumah tangga, ataupun piercing hidung). Trauma hidung dari cedera
olahraga dapat disebabkan oleh kontak dengan tubuh antar pemain ataupun alat. Jenis olahraga
yang dapat menyebabkan trauma hidung misalnya, sepak bola khususnya ketika dua pemain
berebut bola di atas kepala, olahraga yang menggunakan raket misalnya ketika smash, raket
dapat mengayun ke depan atau belakang dan dapat memukul hidung, karate, dan tinju.
Dalam beberapa kasus, trauma hidung eksternal dapat bersifat iatrogenik, atau
disebabkan oleh perawatan medis. Sebagian besar cedera ini terjadi saat melakukan
pemeriksaan kesehatan hidung dalam keadaan darurat atau sebagai komplikasi dari bedah
plastik. Dalam beberapa kasus kerusakan hidung disebabkan oleh terapi radiasi untuk kanker.
Trauma hidung internal mungkin mekanis (yang disebabkan oleh benda asing di hidung atau
dengan memilih atau menggaruk jaringan lapisan hidung) atau kimia (yang disebabkan oleh
iritasi lingkungan atau penyalahgunaan zat).
Trauma hidung akibat zat kimia dapat disebabkan secara sengaja ataupun tidak sengaja
saat bernapas atau mengendus zat iritan. Termasuk di dalamnya adalah asap tembakau,zat
pembersih rumah tangga ( amonia dan klorin pemutih ) dan furnitur perabotan, ozon dan
polutan udara yang lain, kokain, lem, pelarut cat, dan produk-produk rumah tangga yang
menghasilkan uap beracun. Trauma hidung yang disebabkan zat kimia juga sering ditemukan
pada anak- anak yang umumnya disebabkan luka bakar alkali akibat kebocoran baterai kecil
yang dimasukkan dalam hidung.
3.1.2. TANDA DAN GEJALA
Gejala trauma fisik pada hidung mencakup antara lain:
- Bentuk hidung rata atau deformitas lainnya.
10
- Infeksi tulang rawan atau jaringan lunak.
- Epistaxis atau perdarahan dari hidung.
- Krepitasi . Krepitasi adalah berderak tulang hidung yang dapat dirasakan saat palpasi
daerah hidung. Terdengar suara ketika ujung tulang dipalpasi, rasa sakit dan
pembengkakan jaringan hidung yang menyumbat saluran napas.
- Rhinitis.
- Hematoma septum.
- Kebocoran cairan serebrospinal melalui lubang hidung.
Gejala trauma truma hidung yang disebabkan zat kimia antara lain:
- Rinorrhea (hidung meler) dan lakrimasi.
- Rasa sakit.
- Berkurangnya penciuman.
- Hidung tersumbat dan kemerahan.
- Bersin.
- Pembengkakan pada membran mukosa yang melapisi hidung.
- Kerusakan tulang rawan di septum hidung dan jaringan yang melapisi hidung lainnya.
Beberapa iritan yang umum ditemui di rumah dan tempat kerja antara lain:
- Pelarut atau bubuk pembersih pakaian (detergen).
- Zat amoniak.
- Asap tembakau.
- Pemutih.
- Ozon.
- Belerang dioksida.
- Cat thinners .
- Arsenik.
- Asam kromat.
- Debu tembaga dan kabut.
Reaksi lanjutan yang mengikuti akibat paparan bahan kimia ini didasarkan tidak hanya pada
konsentrasi iritan tetapi juga pada faktor khusus untuk individu. Reaksi bervariasi antar
individu, bahkan dengan eksposure yang serupa.
11
3.1.3. DIAGNOSIS
Diagnosis fraktur tulang hidung biasanya berdasarkan adanya riwayat trauma hidung
dan gejala klinis. Epistaksis mungkin dapat terjadi ataupun tidak sama seklali. Pemeriksaan
intranasal dilakukan dalam rangka mencari sebuah defek berupa hematoma yang dapat
mengakibatkan konsekuensi yang serius seperti matinya jaraingan kartilago yang mengalami
defek. Pemeriksaan fisik pada hidung dilakukan untuk menentukan ada tidaknya nyeri,
mobilitas, kestabilan, dan krepitasi. Biasanya pemakaian sinar X belum diperlukan, namun pada
keadaan fraktur yang lebih hebat misal yang melibatkan beberapa tulang sebuah computed
tomography (CT scan) mungkin diperlukan. Sseorang dokter harus mencari klinis cedera terkait
seperti ekimosis periorbital ( sekitar mata ), mata berair, atau diplopia (penglihatan ganda) yang
menunjukkan adanya cedera orbital. Selain itu, fraktur gigi-geligi dan kebocoran cairan
serebrospinal ( csf ) harus dicari. Kebocoran cairan serebrospinal mengindikasikan adanya
sebuah cedera yang lebih parah dan memungkinkan terjadinya fraktur tulang etmoid.
Dokter mungkin juga meminta foto yang diambil sebelum cedera dalam rangka untuk
menentukan tingkat deformitas. Foto juga dapat diambil untuk dokumentasi kasus trauma yang
berhubungan dengan kasus hukum. Untuk mendiagnosis trauma yang disebabkan zat kimia,
riwayat kontak terpapar zat kimia beracun yang berpotensi harus dipastikan. Selain itu, pasien
juga harus membawa informasi yang berhubungan dengan jenis bahan kimia yang kontak
dengannya. Jika cedera terjadi di tempat kerja, lembar data keamanan materialatau bahan harus
tersedia di pusat kontrol pekerja. Pengukuran udara dari area kerja pasien juga dapat diperoleh.
Gejala perbaikan yang di nilai baik pada hari kerja maupun libur ditandai oleh kembalinya
gejala ketika kembali bekerja dan dijelaskan bahwa penyakit yang diderita berhubungan dengan
pekerjaan terkait. Dokter harus melakukan pemeriksaan intranasal untuk menentukan sejauh
mana luka kimia. Rontgen dada serta tes fungsi paru-paru dapat dianjurkan untuk menentukan
apakah ada keterlibatan saluran pernapasan bawah.
3.1.4. TATALAKSANA
Waktu
Trauma hidung harus segera mungkin ditanggulangi untuk mencegah komplikasi.
Baterai yang berada di dalam hidung harus segera dikeluarkan dalam waktu empat jam untuk
mencegah terjadinya luka bakar dan kerusakan jaringan hidung lainnya kebocoran zat kimia.
Jika sudah terbentuk hematoma, dokter harus mengobati segera mungkin untuk mencegah
12
infeksi atau kematian jaringan septum hidung. Terakhir jika anak digigit oleh hewan, trauma
tersebut harus dibersihkan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko penyakit rabies.
Perawatan fraktur hidung terbaik dilakukan selama tiga jam pertama setelah cedera. Jika
hal ini tidak dapat dilakukan, manajemen fraktur hidung harus dilakukan dalam tiga sampai
tujuh hari. Waktu merupakan hal penting dalam perawatan fraktur hidung karena penundaan
lebih lama dari tujuh sampai sepuluh hari dapat memungkinkan fraktur tulang untuk mengatur
tanpa kesejajaran yang tepat atau menyebabkan komplikasi seperti obstruksi jalan nafas dan
pembentukan jaringan parut. Buruknya perbaikan fraktur hidung biasanya memerlukan koreksi
bedah.
Prosedur Spesifik
Benda asing di dalam hidung umumnya dapat dikeluarkan dengan cara suction (sedot
hidung). Sementara itu bila terjadi epistaksis atau perdarahan dari hidung dilakukan penekanan
hidung dari luar selama 10-15 menit, dengan kepala pasien dipertahankan dalam posisi tegak.
Pemasangan tampon hidung dari lubang hidung (tampon sementara) dengan perban yang
dilapisi dengan petroleum jelly juga dapat dilakukan. Jika perdarahan tidak berhenti, atau jika
ini tampaknya berasal dari hidung atas, dokter akan berkonsultasi dokter bedah kepala dan leher
atau otolaryngologist untuk evaluasi khusus perdarahan. Senapan atau BB pelet yang sudah
menembus hidung atau dekat sinus umumnya ditangani dengan bantuan endoskopi, yang
merupakan sebuah alat tubular ramping yang memungkinkan dokter untuk memeriksa bagian
dalam rongga tubuh.
Tatalaksana pada fraktur tulang hidung tergantung pada tingkat cedera atau trauma,
kesulitan terbesar pada tatalaksana fraktur tulang hidung adalah pada mereka yang mengalami
fraktur melibatkan septum nasi. Dokter yang menatalaksana fraktur, yang berarti bahwa dia
akan mengembalikan posisi kerusakan tulang dengan tepat dan alignment. Meskipun pembiusan
lokal biasanya cukup untuk diberikan pada fraktur tulang hidung pada orang dewasa dan
remaja, namun pada kasus anak- anak dan orangtua biasanya diberikan anestesi umum.
Penanganan fraktur tulang hidung dapat dilakukan secara terbuka (open reduction) ataupun
tertutup (closed reduction). Penanganan tertutup melibatkan manipulasi tulang tanpa memotong
ke dalam overlying kulit. Penanganan jenis ini dilakukan pada fraktur tulang hidung yang
terbatas dalam ukuran dan kompleksitas. Open reduction dilakukan pada kasus fratur tulang
hidung yang lebih kompleks. Pada open reduction, dipindahkan ke posisi asli mereka setelah
dokter bedah membuat sayatan di overlying kulit. Prosedur ini dilakukan pada fraktur tulang
13
hidung yang melibatkan dislokasi dari septum serta tulang hidung. Selain itu open reduction
dilakukan jika anak memiliki defek hematoma atau fraktur terbuka dimana kulit telah terbuka.
Jika telah terbentuk hematoma, dokter akan melakukan drainase untuk mencegah
akumulasi darah dalam jaringan. Selanjutnya tulang hidung ditempatkan pada posisi yang tepat
dengan splints eksternal maupun internal, dan splint di pasang selama tujuh sampai sepuluh
hari. Pasien diberikan antibiotik untuk menurunkan risiko infeksi dan dievaluasi lebih lanjut
oleh seorang otolaryngologist atau bedah plastik. Kompres dingin dapat dilakukan di rumah
untuk mengurangi pembengkakan. Dalam kasus gigitan binatang, pasien dapat diberikan
imunisasi aktif atau pasif terhadap rabies jika ada kemungkinan bahwa anjing atau binatang lain
terinfeksi. Tindakan pencegahan ini sangat penting untuk kasus gigitan hewan pada hidung atau
bagian lain dari wajah, seperti masa inkubasi virus rabies jauh lebih pendek untuk gigitan pada
kepala dan leher daripada untuk gigitan di tempat lain di tubuh. Komplikasi bisa timbul setelah
pengobatan dan karenanya tindak lanjut diperlukan. Masalah yang mungkin terjadi menyerupai
gejala fraktur hidung.
Lainnya termasuk infeksi, kebocoran CSF, terbentunya jaringan parut, dan sebuah
kelainan bentuk hidung pelana dimana jembatan hidung sangat tertekan. Pengobatan untuk
trauma yang disebabkan oleh iritasi inhalasi meliputi membersihkan pasien dari daerah yang
terkontaminasi atau penurunan waktu paparan. Langkah-langkah lainnya termasuk
menggunakan saline nasal spray atau topikal steroid.
3.1.5. PROGNOSIS
Pada umunya kasus trauma tulang hidung memiliki prognosis yang baik. Epistaksis
(mimisan) atau kerusakan jaringan yang disebabkan oleh mengorek hidung dapat membaik
dengan menghentikan kebiasaan tersebut. Infeksi atau reaksi alergi yang disebabkan oleh benda
asing di hidung biasanya membaik setelah segera dikeluarkan dari hidung. Fraktur tulang
hidung yang tidak melibatka septum nasi atau tulang wajah lainnya dan mendapatkan
pengobatan segera umumnya membaik tanpa cacat hidung, kehancuran tulang rawan, dan
komplikasi lainnya. Fraktur pada wajah yang lebih luas memerlukan tindakan bedah yang
bertujuan memperbaiki posisi tulang dan mengembalikan penampilan tulang (estetika).
Prognosis untuk trauma jaringan lunak hidung tergantung pada penyebab dan sejauh
mana luka yang terjadi. Seperti cedera robek yang disebabkan oleh gigitan memakan waktu
lebih lama untuk sembuh daripada luka yang sederhana, dan mungkin memerlukan bedah
plastik di kemudian hari untuk mengembalikan penampilan hidung. Kerusakan jaringan lapisan
14
hidung yang disebabkan oleh paparan iritasi asap atau tembakau dalam lingkungan biasanya
reversibel setelah pasien dijauhkan atau menghindar dari kontak dengan zat yang merusak.
Erosi atau kerusakan tulang rawan hidung karena inhalant atau penyalahgunaan obat, kokain,
biasanya memerlukan pembedahan.
3.1.6. PENCEGAHAN
Meski kebanyakan kasus trauma hidung terjadi secara tidak sengaja, beberapa langkah
dapat digunakan sebagai pencegahan. Pasien harus mengetahui gejala hidung patah dan harus
mencari pertolongan medis sesegera mungkin untuk mencegah bahaya lebih lanjut atau
komplikasi. Peralatan pelindung juga harus dikenakan ketika berolahraga. Karyawan juga harus
mewaspadai dari iritasi kimia di tempat kerja dan manajemen yang baik harus diambil untuk
menghindari paparan.
15
16
17