REFERAT TRAUMA FISIK (EDIT 1).docx
-
Upload
santi-lestari -
Category
Documents
-
view
61 -
download
5
description
Transcript of REFERAT TRAUMA FISIK (EDIT 1).docx
REFERAT
“TRAUMA FISIK”
Dosen Penguji:
Dr. Intarniati Nur Rohmah, SpKF, Msi Med
Residen Pembimbing:
Dr. Julia Ike Hartono
Disusun oleh:
Mohamed Asri Bin Mohamed Zaini 112013193
Veresa Chintya 112013215
Santi Lestari 112013312
Harprema Sonia Raj Kaur 112013131
Tommy Arean 10101042
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOETIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
1
PERIODE 12 OKTOBER 2015 – 7 NOVEMBER 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari
sejarah dan perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui bahwa
kejahatan yang terjadi di muka bumi ini sama usia tuanya dengan sejarah
manusianya itu sendiri. Luka merupakan salah satu kasus tersering dalam Ilmu
Kedokteran Forensik. Luka bisa terjadi pada korban hidup maupun korban mati.
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Luka
merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antara jaringan (discontinuous
tissue) seperti jaringan kulit, jaringan lunak, jaringan oto, jaringan pembuluh
darah, jaringan saraf dan tulang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal luka
kelalaian atau karena yang disengaja. Luka yang terjadi ini disebut “Kejahatan
Terhadap Tubuh atau Misdrijven Tegen Het Lijf”. Kejahatan terhadap jiwa ini
diperinci menjadi dua yaitu kejahatan doleuse (yang dilakukan dengan sengaja)
dan kejahatan culpose (yang dilakukan karena kelalaian atau kejahatan). Jenis
kejahatan yang dilakukan dengan sengaja diatur dalam BAB XX, pasal-pasal
351-358. Jenis kejahatan yang disebabkan karena kelalaian diatur dalam pasal
359,360 dan 361 KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut dijumpai kata-kata, “mati,
menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan sementara”,
yang tidak disebabkan secara langsung oleh terdakwa, akan tetapi ‘karena
salahnya’ diartikan sebagai kurang hati-hati, lalai, lupa dan amat kurang
perhatian.
2
Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak
hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban korban
perlukaan. Dokter sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan mengenai jenis
luka apa yang ditemui, jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka
dan bagaimana kualifikasi dari luka itu. Sebagai seorang dokter, ia tidak
mengenal istilah penganiayaan. Jadi istilah penganiayaan tidak boleh
dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan tetapi sebaiknya dokter tidak
boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai misalnya luka lecet yang satu-
dua hari akan sembuh sendiri secara sempurna dan tidak mempunyai arti medis,
tetapi sebaliknya dari kaca mata hukum.
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan
material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang
pengadilan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan atas
jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu. Traumatologi adalah
cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma atau perlukaan, cedera
serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang kelainannya
terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang
menimbulkan jejas.
2.2 Penyebab trauma
Kekerasan yang mengenai tubuh seseorang dapat menimbulkan efek pada fisik
maupun psikisnya. Efek fisik berupa luka- luka yang kalau di periksa dengan
teliti akan dapat di ketahui jenis penyebabnya, yaitu:
1. Trauma mekanik
2. Trauma fisik fisik
3. Kombinasi trauma mekanik dan fisik
4. Trauma zat-zat kimia korosif
2.3 Trauma Fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang disebabkan oleh benda-benda fisik,
antara lain:
Benda bersuhu tinggi
Benda bersuhu rendah
Sengatan listrik
4
Petir
Tekanan (barotrauma)
2.3.1 Trauma thermik
2.3.1.1 Luka bakar
Luka bakar adalah jenis luka (kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan)
yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu yang tinggi, sumber listrik,
bahan kimiawi, cahaya, radiasi, dan friksi. Kerusakan yang terjadi tergantung
dari tinggi suhu, lama kontak, dan luas kontak. Luka lepuh adalah akibat
cairan /uap panas dari caiaran dengan temperatur titik didih atau hampir
mencapai titik didih, serta akibat bentuk gas dari suatu cairan.
2.3.1.2 Karakteristik
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada
kecelakaan mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban
yang terbakar sering tidak mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut
keadaan umum yang ditemukan pada mayat dengan luka bakar.
a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit
dari epidermis dan korium yang sering menyebabkan artefak yang
menyerupai luka sayat dan sering disalah artikan sebagai kekerasan tajam.
Artefak postmortem ini dapat mudah dibedakan dengan kekerasan tajam
antemortem oleh karena tidak adanya perdarahan dan lokasinya yang
bervariasi disembarang tempat. Kadang-kadang dapat terlihat pembuluh
darah yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.
5
Gambar 1. Skin split dikutip dari kepustakaan
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran partial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan
keluarnya sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini.
Biasanya ini terjadi tanpa perdarahan, apakah perdarahan yang terletak
diluar atau didalam rongga abdomen.
Gambar 2. Skin split menyebabkan organ dalam mencuat ke luar dikutip dari
kepustakaan
c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan
pembentukan uap didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan
mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan
terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak. Pada luka bakar yang
hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat terlihat
artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak
penah diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.
6
Gambar 3. Skull fracture dikutip dari kepustakaan
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan
kepala yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau
epidural hematom postmortem. Untuk membedakan dengan epidural
hematom antemortem tidak sulit oleh karena pseudo epidural hematom
biasanya berwarna coklat, mempunyai bentukan seperti honey comb
appearance, rapuh tipis dan secara tipikal terletak pada daerah frontal, parietal,
temporal dan beberapa kasus dapat meluas sampai ke oksipital.
Gambar 4. Pesudo epidural hemorrhage dikutip dari kepustakaan
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan
pada korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu
lama dengan api dan asap. Tulang – tulang yang terbakar mempunyai warna
abu-abu keputihan dan sering menunjukan fraktur kortikal pada
permukaannya. Tulang ini biasanya hancur bila dipegang sehingga
memudahkan trauma postmortem pada waktu transportasi ke kamar mayat
atau selama usaha memadamkan api. Mayat sering dibawa tanpa tangan dan
kaki, dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena sudah mengalami
fragmentasi.
7
Gambar 5. Fraktur termal dikutip dari kepustakaan 7
f. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi
“pugilistic”. Koagulasi dari otot-otot oleh karena panas akan
menyebabkan kontraksi serabut otot otot fleksor dan mengakibatkan
ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi seorang boxer dengan
tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi sebagian
atau seluruhnya. Posisi “pugilistic” ini tidak berhubungan apakah
individu itu terbakar pada waktu hidup atau sesudah kematian.
“pugilistic” attitude atau heat rigor ini akan hilang bersama dengan
timbulnya pembusukan
Gambar 6. Pugilistic Posture dikutip dari kepustakaan
2.3.1.4 Tingkat Keparahan Luka Bakar
Tingkat keparahan luka bakar tiap individu masing – masing bergantung pada :
Luas area yang terbakar
Usia korban
8
Adanya trauma inhalasi 2
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule of
nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar ditentukan
dengan presentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari
perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang
dalam menentukan luas luka bakar.
Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat
pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar
dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomik,
dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 %.2
Gambar 7. Wallace Rule of Nine dikutip; Lund and Browder Chart dikutip dari
kepustakaan
Klasifikasi kedalaman luka bakar pada lapisan kulit, yaitu:
Derajat 1 (luka superfisial) : Mengenai lapisan epidermis. Terdapat erythema
(kemerahan) dan nyeri.4 Secara mikroskopis, terdapat dilatasi pembuluh darah di
dermis. Epidermis intak, namun terdapat beberapa kerusakan sel. Luka bakar
9
derajat 1 dapat disebabkan oleh paparan berkepanjangan dari panas atau cahaya
intensitas rendah (misal : sunburn), atau paparan jangka pendek dari panas atau
cahaya berintensitas tinggi.
Derajat 2 (Partial thickness) : hancurnya epidermis dan trauma pada dermis (tidak
melewati subkutan). Luka tampak basah, merah, sangat nyeri, dan terdapat blister.
Luka dibagi dalam superfisial, moderate, dan dalam. Pada luka superfisial,
terdapat kerusakan stratum granulosum dan korneum, dengan lapisan dasar tidak
rusak total dan edema pada dermal – epidermal junction. Luka sembuh tanpa
meninggalkan bekas luka. Pada luka dalam, terdapat gangguan total pada
epidermis dan dektruksi pada sebagian besar lapisan dasar. Mungkin terdapat
blister. Bagian epidermis lain (kelenjar keringat dan rambut) masih ada dan
menjadi sumber regenerasi epidermis. Luka bakar derajat 2 sembuh tanpa
meninggalkan bekas luka.
Derajat 3 (Full Thickness) : kerusakan luas meliputi seluruh lapisan dermis.
Terdapat nekrosis koagulatif pada epidermis dan dermis dengan destruksi bagian –
bagian dermis. Dari luar, lesi tampak, kering, putih, dan kasar. Tidak terdapat
blister. Lesi dapat pula coklat atau hitam karena formasi arang. Kulit tidak nyeri
dengan sentuhan ringan. Luka ini sembuh meninggalkan bekas luka.
Derajat 4 (Full Thickness+) : meliputi jaringan subkutan dasar, fasia, otot, tendo,
dan tulang. tampak karbonisasi. Sulit menentukan tepatnya kedalaman luka hingga
di ruang operasi. Dibutuhkan eksisi lengkap untuk jaringan yang masih hidup.
Sering membutuhkan amputasi segera.
10
11
2.3.1.5 Patofisiologi
Terdapat tiga zona konsentris untuk trauma jaringan yang muncul setelah luka bakar
derajat 3, yaitu koagulasi, stasis, dan hyperemia. Daerah yang kontak langsung
dengan sumber panas adalah zona koagulasi, tampak sebagai daerah nekrosis
koagulatif yang ireversibel. Area terlihat putih, seperti kulit, atau arang. Area yang
mengelilingi daerah ini yaitu zone stasis dan tampak berupa perfusi jaringan lebam.
Daerah ini terluka, namun tidak hancur, tampak seperti penumbra iskemik; oleh
karena itu, penting untuk mencegah hipotensi, infeksi, dan edema untuk meyakinkan
bahwa area ini tidak kurang menerima aliran darah dan berkembang menjadi
kehilangan jaringan seutuhnya. Daerah di luar hyperemia telah meningkatkan perfusi
jaringan untuk pelepasan lokal mediator inflamasi, menghasilkan penampakan yang
merah dan hiepremis. Area ini biasanya sembuh, bila tidak ada trauma lanjutan yang
terjadi. Ketiga zona tersebut merupakan area tiga dimensi dan kehilangan jaringan di
zona stasis akan menjadikan luka lebih luas dan lebar.
Gambar 9. Burns Zone dikutip dari kepustakaan3
2.3.1.6 Penyebab kematian
Pada kematian yang terjadi segera, efek dekstruktif yang sebenarnya, asfiksia, syok
yang disebabkan nyeri, inhalasi udara panas yang membakar saluran respirasi,
12
keracunan karbonmonoksida, dan efek dari gas mematikan lain, semuanya dapat
menjadi penyebab atau berkontribusi pada kematian.
Pada kematian yang tertunda, dehidrasi dan gangguan elektrolit yang disebabkan
kehilangan plasma pada daerah yang terbakar merupakan penyebab awal.
Selanjutnya, kegagalan ginjal, toksemia yang disebabkan oleh zat yang terserap pada
daerah yang terbakar, dan infeksi dari luka bakar yang luas dapat menjadi penyebab.
“Luka bakar yang mematikan” jarang digunakan sebagai diagnosis pasti pada korban
kebakaran rumah. Penyebab kematian utama yang paling sering adalah inhalasi asap,
termasuk keracunan karbonmonoksida dan banyak zat beracun lain, seperti sianida,
nitrogen oksida, fosgen, dan lain-lain. Kebanyakan zat racun ini terbentuk dari
pembakaran perabot dan kain, plastik tertentu, seperti polipropilen, polivinyl, dan
lain-lain, yang melepaskan spektrum gas racun yang luas saat terbakar. Hipoksia
adalah faktor lain yang berperan pada kematian akibat kebakaran, sebagaimana
karbonmonoksida terbentuk akibat insufisiensi oksigen yang tersedia untuk oksidasi
lengkap menjadi karbondioksida pada material yang mudah terbakar. Meskipun,
hampir tidak mungkin untuk mengidentifikasi elemen hipoksik didasarkan pada
banyaknya gas beracun.
Mekanisme yang menyebabkan kematian pada luka bakar, bila akut, kematian
biasanya merupakan akibat dari syok terbakar. Bila terjadi hari dan minggu
berikutnya, penyebab utama kematian adalah infeksi. Kematian yang tertunda
sesekali dapat terjadi dari bekas luka yang kemudian menjadi ganas. Beberapa
mekanisme pada luka bakar yang menyebabkan kematian,yaitu: Syok akibat terbakar,
infeksi (pneumonia, septikemia, sindrom syok toksik), emboli paru-paru, ulserasi
lambung, gagal ginjal akut, luka terkait keganasan
2.3.1.7 Syok akibat terbakar
Syok akibat terbakar ini menggambarkan kegagalan sirkulasi hipovolemik yang
terjadi dengan cepat yang terlihat dalam 72 jam pertama setelah luka bakar.
Perubahan fisiologis yang menyebabkan syok ini terjadi secara kompleks.
13
Pembakaran kulit diikuti oleh hipovolemia, curah jantung rendah, hipoproteinemia,
hiponatremia, dan peningkatan hematokrit. Syok akibat terbakar adalah akibat dari
hipovolemia dan efek dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya. Hipovolemia
sendiri merupakan hasil dari kombinasi antara edema interstisial masif, edema
intraseluler akibat penurunan umum dari fungsi sel, dan penguapan dari bagian yang
terbakar. Kulit dewasa normal kehilangan kurang dari 40 ml air setiap jam, tetapi
dengan luka bakar yang luas kehilangan dapat meningkat menjadi 300 ml/jam.
Edema interstisial merupakan hasil dari vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
mikrovaskuler dan peningkatan aktivitas osmotik ekstravaskuler di sekitar jaringan
terbakar. Puncak edema biasanya terjadi dalam 1 sampai 3 jam.
Terjadi penurunan jumlah yang besar pada curah jantung yang terjadi beberapa menit
setelah cedera, sebagian besar diakibatkan hipovolemia, namun curah jantung ini
tidak kembali normal hingga 12 sampai 24 jam setelah luka bakar, bahkan dengan
resusitasi cairan yang cepat dan efektif. Situasi ini tidak hanya disebabkan oleh
hilangnya cairan, tetapi juga diakibatkan efek dari sitokin dan mediator inflamasi
lainnya. Penyebab langsung kematian pada kasus-kasus tersebut sering diakibatkan
kegagalan multi organ.
2.3.1.8 Pemeriksaan (Tanda intravital dan post mortem)
Merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil untuk membedakan luka bakar
antemortem dari postmortem, terutama dengan adanya kerusakan yang terjadi.
Pemeriksaan mikroskopis pun kurang membantu, kecuali bila korban hidup cukup
lama untuk membentuk reaksi inflamasi. Luka bakar antemortem biasanya luas,
dengan batas kemerahan dan terdapat lepuhan, baik pada daerah yang terbakar
maupun pada tepi luka. Meskipun demikian, berbeda dengan buku teks lama, tidak
diragukan bahwa panas yang diberikan pada mayat baru (setidaknya 60 menit setelah
henti jantung) masih dapat mengakibatkan eritema.
Lepuhan lebih sering terbentuk postmortem, meskipun biasanya lepuhan tersebut
tidak memiliki dasar ataupun batas merah. Juga dijelaskan bahwa lepuhan yang
14
terjadi antemortem mengandung cairan berprotein tinggi, dimana vesikel postmortem
memiliki cairan yang lebih jernih, namun hal ini jarang dapat dibedakan dalam
prakteknya.
Dahulu adanya tepi merah pada luka bakar telah dianggap sebagai bukti reaksi
penting. Namun, tepi merah juga sering terlihat di sekitar luka bakar postmortem,
sehingga perbedaan ini tidak dapat digunakan. Lepuhan biasanya merupakan bagian
dari luka bakar antemortem tetapi juga dapat terbentuk setelah kematian, di mana
mereka cenderung pucat, kuning, dan tidak memiliki dasar merah. Pemeriksaan
histologi untuk bukti reaksi inflamasi dapat dilakukan dan mungkin bermanfaat.
Eritema kulit ditandai dengan kapiler membesar, kadang-kadang sel-sel epidermis
nekrotik, kondensasi kromatin nukleus, pembengkakan inti sel epidermis, dan edema
dari jaringan ikat subepidermal. Luka bakar derajat pertama menunjukkan nekrosis
epidermal, pembentukan lepuhan subepidermal, dan adanya sel inflamasi
perivaskular. Nekrosis koagulatif pada dermis dapat terlihat dengan luka bakar yang
lebih dalam. Epidermis utuh yang berdekatan menunjukkan adanya pemanjangan sel
dan inti sel. Setelah 6 sampai 8 jam, infiltrasi leukosit jelas terlihat, namun dalam
beberapa kasus mungkin ada penundaan lebih dari 16 jam. Sehingga tidak adanya
reaksi jaringan tidak berarti bahwa luka bakar adalah postmortem.
Tanda umum pada tubuh yang terbakar dengan adanya hangus pada kepala adalah
adanya epidural hematoma postmortem. Seharusnya tidak ada kesulitan dalam
membedakan ini dari epidural hematoma antemortem. Epidural hematoma
postmortem berwarna coklat dan terlihat rapuh atau menyerupai sarang lebah.
Bentuknya besar, cukup tebal (hingga 1,5 cm), dan biasanya terjadi pada daerah
frontal, parietal, dan daerah temporal, dalam beberapa kasus dengan perluasan ke
daerah oksipital.
Ketika tengkorak terpapar dengan panas yang mendidihkan, darah keluar dari ruang
dalam tengkorak dan sinus venosus dan terkumpul dalam lapisan tipis antara
duramater dan tengkorak. Ini yang disebut heat hematoma. Darah dari heat hematoma
memiliki konsistensi seperti busa, berwarna coklat, tipis, dan bilateral. berbeda
15
dengan hematoma ekstradurasl sejati yang lokal unilateral, tebal, dan biasanya
temporal hematoma dengan darah warna gelap juga terlihat. Hematoma subdural
bukan merupakan akibat dari trauma panas. Heat hematoma mungkin atau mungkin
juga tidak berhubungan dengan fraktur tengkorak terkait panas. Duramater mungkin
terpisah disebabkan adanya herniasi otak yang dilapisinya, akibat serangan panas
yang tajam. Otak sendiri biasanya menyusut, memadat, dan berwarna kuning hingga
coklat. perdarahan Saat ini, perdarahan artifaktual telah dilaporkan di otak,
sebagaimana air mata dalam bagian putih otak pada individu yang diyakini mati pada
awal kebakaran.
Apabila didapatkan adanya karboksihemoglobin dalam darah perifer, maka akan
didapatkan pula pada hematoma panas palsu. Namun hematoma ekstradural sejati
yang disebabkan oleh trauma sebelum kebakaran terjadi, maka darah tersebut tidak
akan mengandung karboksihemoglobin dengan jumlah yang bermakna, dimana dapat
menjadi tes yang berguna bagi ahli patologis.
2.3.1.9 Identifikasi korban
Pada tubuh yang diselamatkan, apabila ditutupi oleh jelaga dan tidak terbakar parah,
jelaga dapat dibersihkan untuk memungkinkan pengenalan visual dari wajah dan fitur
eksternal lainnya. Pakaian dan barang pribadi, jika tidak terbakar, dapat membantu
dalam identifikasi. Jaringan yang hangus dapat mengaburkan identifikasi pada fitur
eksternal. Berkurangnya tinggi badan disebabkan adanya kontraksi panas
mengindikasikan bahwa fitur ini tidak akurat untuk identifikasi. Perubahan warna
rambut juga dapat mempengaruhi identifikasi. Menurut pengamatan Spitz, rambut
keabuan akan berubah menjadi pirang pada suhu sekitar 120 ° C (250 ° F). Setelah 10
sampai 15 menit pada suhu 205 ° C (400 ° F), rambut cokelat akan berubah menjadi
berwarna kemerahan. Sedangkan rambut hitam tidak mengalami perubahan warna.
Sebuah tangan terkepal yang diakibatkan kontraksi panas dapat mempertahankan
sidik jari. Jika ada identifikasi tentatif, catatan gigi dan rekam medis yang tersedia
16
harus diperoleh oleh pemeriksa. Pemanfaatan catatan ini bergantung pada spesifikasi
dan akurasinya.
Pada tubuh yang terbakar hingga tingkat struktur wajah sudah termutilasi dan tidak
ada sidik jari yang bisa didapatkan, catatan gigi harus dipersiapkan dan X-ray rahang
harus dilakukan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan catatan gigi orang yang
dicurigai sebagai korban, dengan korban tersebut. Pengambilan X-ray rahang ini
dapat dilakukan in situ maupun dengan melepaskan rahang korban. Bahkan,
identifikasi dental positif dapat dibuat hanya dengan menggunakan sebuah gigi. Bila
digunakan dan diinterpretasi secara tepat, identifikasi dental ini sama dapat
dipercayanya dengan sidik jari.
Jika pencocokan dari informasi antemortem dan postmortem tidak dapat dilakukan,
konsistensinya masih dapat dikonfirmasi oleh ahli patologi dan ahli lain yang terlibat.
Apabila metode perbandingan konvensional tidak mungkin dilakukan, gigi atau
tulang dapat digunakan untuk analisis DNA. Jika tidak ada metode identifikasi
tersebut adalah mungkin, maka hanya identifikasi tentatif berdasarkan keadaan; milik
pribadi, atau karakteristik spesifik seperti tato, bekas luka, atau tidak adanya organ,
dapat dibuat.
Selama kebakaran, terdapat perubahan yang terjadi dapat meniru trauma dan
menghalangi identifikasi, yaitu:
• Sisa-sisa pakaian di sekitar leher meniru pencekikan ligatur.
• "Postur seperti petinju" karena kontraksi otot dari panas menyerupai posisi
"melawan atau lari".
• Pelepasan kulit dan terbukanya lapisan subkutaneus dapat menunjukkan luka gores
• Lepuhan panas dapat terbentuk, baik utuh ataupun terbuka. Sebuah daerah terbuka
yang kering berubah menjadi kuning sampai coklat tua. Lepuhan ini tidak selalu
merupakan tanda antemortem. Bahan bakar (minyak tanah, bensin) dapat
meningkatkan pembentukan lepuhan dan pelepasan kulit.
17
• Sebuah "garis merah" di pinggiran kulit yang terbakar atau hangus meniru
peradangan dan mengindikasikan korban masih hidup ketika terjadi luka bakar.
Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan darah pada subepidermal.
• Patah tulang akibat panas tidak berhubungan dengan perdarahan jaringan lunak.
Amputasi ekstremitas distal akibat panas dikenali dengan adanya tanda hangus
pada ujung distal tulang yang terkena. Demikian pula, tepi fraktur tengkorak yang
hangus adalah indikasi dari efek panas. Patah tulang akibat panas pada ekstremitas
diperkirakan timbul dari penyusutan otot. Pembakaran pada bagian tabula luar
mengurangi kekuatan tulang. Patah tulang tengkorak akibat panas disebabkan baik
oleh peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh uap (fraktur "blow-
out", yakni fragmen yang bergeser ke luar) atau pembakaran dari luar tengkorak.
Efek panas dapat menyebabkan lubang bulat di tengkorak seperti luka tembak.
Herniasi jaringan otak melalui cacat pada tulang yang patah dapat terlihat.
Observasi mengenai panas akibat patah tulang tengkorak bertentangan. Garis
fraktur yang berjalan dari suatu cacat tengkorak yang dapat menunjukkan cedera
yang sebenarnya. Fraktur calvarium akibat panas digambarkan berbentuk elips
atau lingkaran yang tidak memiliki garis fraktur. Sebaliknya, Spitz mengamati
adanya beberapa garis fraktur yang muncul dari titik umum di tengkorak terbakar.
Fraktur panas calvarium biasanya terletak di atas tempurung dan kadang-kadang
bilateral. Patah tulang ini jarang terbatas pada tabula eksternal. Sutura kranial
cenderung tidak meledak bahkan pada individu muda, namun ledakan pada sutura
koronal atau sagital diamati dalam serangkaian kremasi.
• Disintegrasi tubuh yang terbakar selama memadamkan api, baik dengan
pendinginan cepat dari sisa-sisa panas atau dengan disiram oleh air di bawah
tekanan tinggi dapat menghambat penilaian trauma.
• Perdarahan epidural, biasanya bilateral dan terkait dengan hangusnya kulit kepala
dan calvarium, bukanlah akibat dari trauma.
• Perdarahan semu dari lubang hidung dan mulut diamati sebagai darah yang
terdorong oleh dari paru-paru ke dalam saluran udara
18
• Masuknya jelaga ke dalam trakea, baik pada penyayatan di leher yang hangus pada
saat otopsi atau diakibatkan disintegrasi dari pembakaran, memberikan kesan palsu
inhalasi asap.
TRAUMA DINGIN (JARINGAN LOKAL)
A. Jenis-jenis Trauma Dingin
1. Frostnip ditandai adanya rasa nyeri, tampak pucat, anastesi di daerah yang
terkena. Keadaan di atas reversibel akan pulih setelah tindakan pemansaan dan tidak
terdapat kehilangan jaringan, kecuali bila keadaan ini berulang dalam beberapa tahun
(akan menyebabkan kehilangan bantalan lemak atau terjadi atroti).
2. Frostbite ditandai adanya pembekuan jaringan yang terjadi karena
pembentukan kristal intraselluler dan oklusi mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia
jaringan. Beberapa dari kerusakan jaringan terjadi akibat reperfusion Injury setelah
upaya penghangatan tubuh.
a) Derajat I : Hiperemia dan edema tanpa rekrosis kulit
b) Derajat II : Pembentukan vesikel dan bulla serta hiperemia dan edema dengan
nekrosis sebagian lapisan kulit
c) Derajat III : Terjadi nekrosis seluruh lapisan kulit dan jaringan subkutan,
biasanya disertai pembentukan vesikel hemoragik
d) Derajat IV : Nekrosis seluruh lapisan kulit termasuk ganggren dari otot dan
tulang
e) Klasifikasi : frostbite superfisial dan frostbite profunda.
3. Trauma dingin tidak membekukan (Non Freezing Injury)
Terjadi karena kerusakan endotel mikrovaskuler, stasis dan oklusi vaskuler "Trench
frost "(kaki parit) atau kaki dan tangan tercelup (Immersion foot or hand )
menjelaskan satu keadaan nonfreezing injury dari tangan atau kaki, khususnya sering
terjadi pada tentara, pelaut dan para nelayan, sebagai akibat kontak menahun dengan
19
"keadaan basah", suhu dingin diatas titik beku, misalnya pada suhu 1,6 °C - 10 °C (35
°F - 50 °F ).Meskipun kaki tampak hitam, tetapi tidak terjadi kerusakan jaringan
dalam.
Terjadi keadaan-keadaan vasospasme dan vasodilatasi pembuluh darah dengan akibat
bahwa jaringan yang terkena mula-mula dingin dan anestetik berlanjut menjadi
hiperemia dalam waktu 24 hingga 48 jam.
Dengan keadaan hiperemia, terjadi rasa nyeri hebat seperti terbakar dan "disestesi",
disertai timbulnya gambaran perusakan jaringan (ex : edema, timbulnya vesikel/
bulla, kemerahan, ekhimosis dan ulserasi). Dapat terjadi penyakit infeksi berupa
sellulitis, limfangitis atau gangren.
Perasaan gatal pada tangan dan kaki (Chilblain atau Pernio) merupakan manifestasi
kulit sebagai akibat kontak berulang dengan keadaan atau suasana lembab dan dingin
seperti terjadi pada para nelayan, atau kontak dengan keadaan dingin dan kering pada
pendaki gunung. Keadaan ini terutama terjadi pada daerah muka, tibia anterior,
bagian daerah dari tangan dan kaki, pada daerah-daerah. tubuh yang tidak terlindung
dengan baik. "Chilblain atau pernio " di tandai dengan adanya perasaan gatal, timbul
makula-makula, "plakat" atau dungkul berwarna merah keunguan. Apabila keadaan
berlanjut, akan terjadi ulserasi atau pendarahan dan dapat terjadi parut, fibrosis atau
atrofi disertai rasa gatal bergantian dengan rasa nyeri. Penanggulangannya ialah
dengan memberikan perlindungan tubuh dari keadaan dingin serta pemberian obat-
obatan anti adrenergik atau "calcium channel blockers " (sering dapat mencegah
penyakit-penyakit tersebut di atas).
B. Penanganan Frostbite Dan Trauma Dingin Non Beku (Non Freezing
Cold Injury)
Penanganan harus sesegera mungkin dilakukan untuk mengurangi waktu pembekuan
jaringan. Upaya pemanasan hendaknya tidak dilakukan bila penderita berisiko untuk
mengalami pembekuan ulang. Baju-baju yang sempit dan lembab harus dilepaskan
dan diganti dengan selimut hangat. Apabila penderita bisa minum, berikan minuman
20
hangat. Rendam bagian tubuh yang kedinginan dengan air hangat bersuhu 40°C
( kalau mungkin air tersebut berputar) hingga warna kulit dan perfusi kembali normal
(lazimnya memerlukan waktu 20 - 30 menit). Hindari pemanasan kering dan jangan
melakukan tindakan mengurut. Tindakan penghangatan dapat menimbulkan rasa
nyeri yang hebat sehingga memerlukan pemberian obat-obatan analgesik. Dianjurkan
untuk melakukan monitoring jantung sewaktu tindakan penghangatan tubuh.
C. Perawatan Luka Frostbite
Tujuan penanganan luka frostbite ialah mencegah terjadinya infeksi, tidak
memecahkan vesikula (yang tidak terinfeksi) dan elevasi luka. Luka hendaknya
dilindungi menggunakan cungkup tenda dan jangan dipasang verban tekan. Pada
frostbite, jarang terjadi kehilangan cairan yang memerlukan resusitasi cairan
(meskipun penderita mengalami dehidrasi). Pemberian ATS profilaksis terhadap
tetanus, tergantung pada status immunisasinya. Antibiotik diberikan bila terjadi
infeksi . Luka hendaknya dijaga tetap bersih dan bulla/vesikula yang tidak mengalami
infeksi dibiarkan selama 7 - 10 hari (akan berguna sebagai pembalut biologis yang
steril). Penderita dilarang untuk merokok dan jangan diberi obat-obatan
vasokonstriktor. Dilarang berjalan sampai edemanya hilang.
TRAUMA DINGIN (HIPOTERMIA SISTEMIK)
Hipotermia adalah suhu tubuh di bawah 35°C (95°F). Klasifikasi (tanpa disertai
trauma lain) : ringan (35°C - 32°C), sedang (32°C - 30°C), berat (di bawah 30°C).
Pengukuran suhu tubuh inti (core) yang sebaiknya dilakukan di daerah esofagus
penting untuk diagnosis hipotermia maka diperlukan termometer khusus yang dapat
mencatat penurunan suhu tubuh penderita. Pada penderita trauma hipotermia
diartikan bila suhu tubuh inti (core) di bawah 36°C dan hipotermia berat bila suhu
tubuh inti di bawah 32°C.
A. Gejala-Gejala Hipotermia
21
Penurunan suhu tubuh inti (core), penurunan kesadaran.
Penderita teraba dingin dan tampak kelabu dan sianotik (tanda-tanda vital : frekwensi
denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah bervariasi nilainya). Bila terjadi pada
penderita yang sudah pulih dari hipotermia, pernafasan dan kerja jantungnya belum
pulih.
B. Penanganan Hipotermia
Perhatian segera ditujukan pada evaluasi ABCDE-nya, termasuk resusitasi kardio-
pulmoner dan pemasangan infus bila terjadi henti jantung (cardiopulmonary arrest).
Perhatikan apakah kerja jantung penderita diatur oleh alat pacu jantung atau tidak.,
Apabila kerja jantung diatur oleh alat pacu jantung, maka bila terjadi penurunan
metabolisme tubuh, sirkulasi masih mungkin berlangsung normal, tetapi massase
dada dapat menyebabkan irama jantung tersebut mengalami fibrilasi.
Berikan oksigen melalui cungkup (harus dirawat di ruang gawat darurat/ICU dan
jantungnya perlu dimonitor terus).
Penentuan mati pada penderita hipotermia sulit dilakukan. Penderita yang tampak
mengalami candiac arrest (henti jantung) atau tampak mati sebagai akibat hipotermia,
jangan dinyatakan mati sebelum dilakukan rewarming (pemanasan tubuh).
Kekecualian dari pernyataan ini ialah apabila penderita hipoterrnia yang sebelumnya
telah mengalami anoksia semasa penderita tersebut masih dalam keadaan
normotermia, pada pemeriksaan menunjukkan, nadi tidak teraba atau tidak bernafas
dan mempunyai kalium darah lebih besar dari 10 mol/L.
Curah jantung (cardiac out put) menurun sesuai derajat hipotermia dan gangguan
fungsi jantung mulai terjadi bila suhu tubuh sudah mencapai 33°C. Fibrilasi
ventrikuler makin nyata apabila suhu tubuh turun di bawah 28°C dan pada suhu di
bawah 25°C jantung mengalami asistole.
Obat-obatan penolong jantung (Bretilium tosilat) dan tindakan defibrilasi bisanya
tidak efektif bila sudah terjadi asidosis, hipoksia, hipotermia. Dopamine adalah satu-
22
satunya obat inotropik yang mempunyai khasiat untuk mengobati penderita
hipotermia.
Berilah oksigen 100 % sewaktu penderita dilakukan penghangatan. Bila dilakukan
analisa gas darah sebaiknya dinterpretasikan sebagai "uncorrected " (contoh darah
dihangatkan sampai suhu 37°C dan nilai analisanya digunakan sebagai acuan untuk
pemberian natrium bikarbonat dan perhitungan ventilasi sewaktu penghangatan dan
resusitasi)
Trauma listrik
Listrik merupakan suatu bentuk energy yang pada keadaan tertentu dapat
melukai tubuh bahkan dapat menyebabkan kematian. Di alam listrik dihasilkan oleh
gumpalan awan listrik di udara yang berupa petir. Listrik buatan dapat dihasilkan
dengan menggunakan alat pembangkit listrik, misalnya generator, dynamo,dll.1
Arus listrik ialah muatan listrik yang bergerak dari tempat yang berpotensial
tinggi ke potensial rendah. Arah arus listrik adalah sama dengan arah gerak muatan-
muatan positif ,sehingga di dalam pengantar logam elektron-elektron bergerak
berlawanan arah dengan arah arus. 1
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Efek Aliran Listrik Pada Tubuh
Terjadinya luka akibat sengatan listrik dipengaruhi oleh faktor – faktor antara lain:
Jenis / macam aliran listrik
Arus searah (DC) dan arus bolak-balik (AC). Banyak kematian akibat
sengatan arus listrik AC dengan tegangan 220 volt. Suatu arus AC dengan
intensitas 70-80 mA dapat menimbulkan kematian, sedangkan arus DC
dengan intensitas 250 mA masih dapat ditolerir tanpa menimbulkan
kerusakan.
23
Tegangan / voltage
Hanya penting untuk sifat-sifat fisik saja, sedangkan pada implikasi
biologis kurang berarti. Tegangan yang paling rendah yang sudah dapat
menimbulkan kematian manusia adalah 50 volt. Makin tinggi tegangan akan
menghasilkan efek yang lebih berat pada manusia baik efek lokal maupun
general. +60% kematian akibat listrik arus listrik dengan tegangan 115 volt.
Kematian akibat aliran listrik tegangan rendah terutama oleh karena terjadinya
fibrilasi ventrikel, sementara itu pada tegangan tinggi disebabkan oleh karena
trauma elektrotermis.
Tahanan / resistance
Tahanan tubuh bervariasi pada masing-masing jaringan, ditentukan
perbedaan kandungan air pada jaringan tersebut. Tahanan yang terbesar
terdapat pada kulit tubuh, akan menurun besarnya pada tulang, lemak, urat
saraf, otot, darah dan cairan tubuh. Tahanan kulit rata-rata 500-10.000 ohm.
Di dalam lapisan kulit itu sendiri bervariasi derajat resistensinya, hal
ini bergantung pada ketebalan kulit dan jumlah relatif dari folikel rambut,
kelenjar keringat dan lemak. Kulit yang berkeringat lebih jelek daripada kulit
yang kering. Menurut hitungan Cardieu, bahwa berkeringat dapat menurunkan
tahanan sebesar 3000-2500 ohm. Pada kulit yang lembab karena air atau
saline, maka tahanannya turun lebih rendah lagi antara 1200-1500 ohm.
Tahanan tubuh terhadap aliran listrik juga akan menurun pada keadaan
demam atau adanya pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan produksi
keringat meningkat.
Pertimbangkan tentang ”transitional resistance”, yaitu suatu tahanan
yang menyertai akibat adanya bahan-bahan yang berada di antara konduktor
dengan tubuh atau antara tubuh dengan bumi, misalnya baju, sarung tangan
karet, sepatu karet, dan lain-lain.
Kuat arus / intensitas /amperage
24
Adalah kekuatan arus (intensitas arus) yang dapat mendeposit berat
tertentu perak dari larutan perak nitrat perdetik. Satuannya : ampere. Arus
yang di atas 60 mA dan berlangsung lebih dari 1 detik dapat menimbulkan
fibrilasi ventrikel.
Berikut ini disajikan sebuah tabel mengenai efek aliran listrik terhadap
tubuh :
mA Efek
1,0 Sensasi, ambang arus
1,5 Rasa yang jelas, persepsi arus
2,0 Tangan mati rasa
4,0 Parestesia lengan bawah
15,0 Kontraksi otot-otot fleksor mencegah terlepas dari
aliran listrik
40,0 Kehilangan kesadaran
75-100 Fibrilasi ventrikel
Dikatakan bahwa kuat arus sebesar 30 mA adalah batas ketahanan
seseorang, pada 40 mA dapat menimbulkan hilangnya kesadaran dan
kematian akan terjadi pada kuat arus 100 mA atau lebih.
Koeppen menggolongkan akibat kecelakaan listrik dalam 4 kelompk
antara lain:
a. Kelompok I: Kuat arus dibawah 25 mA AC (untuk DC antara
25-80 mA) dengan transitional resistance yang tinggi, tidak
memberikan efek yang membahayakan.
b. Kelompok II: Kuat arus antara 25-80 mA AC (DC antara 80-
300 mA dengan transitional resistance lebih rendah dari
kelompok I dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, aritmia
dan spasme pernapasan.
25
c. Kelompok III: Kuat arus antara 800-100 mA arus AC (untuk
arus DC antara 300 mA-3 A dengan transitional resistance
lebih rendah dari kelompok II. Bila waktu kontak antara 0,1
dan 0,3 detik, efek biologisnya sama dengan kelompok II. Bila
lebih dari 0,3 detik maka dapat terjadi fibrilasi ventrikel yang
irreversibel.
d. Kelompok IV: Kuat arus lebih besar dari 3 A dapat
menimbulkan Cardiac arrest.
Adanya hubungan dengan bumi / earthing
Sehubungan dengan faktor tahanan, maka orang yang berdiri pada
tanah yang basah tanpa alas kaki, akan lebih berbahaya daripada orang yang
berdiri dengan mengggunakan alas sepatu yang kering, karena pada keadaan
pertama tahanannya rendah.
Lamanya waktu kontak dengan konduktor
Makin lama korban kontak dengan konduktor maka makin banyak
jumlah arus yang melalui tubuh sehingga kerusakan tubuh akan bertambah
besar & luas. Dengan tegangan yang rendah akan terjadi spasme otot-otot
sehingga korban malah menggenggam konduktor. Akibatnya arus listrik akan
mengalir lebih lama sehingga korban jatuh dalam keadaan syok yang
mematikan Sedangkan pada tegangan tinggi, korban segera terlempar atau
melepaskan konduktor atau sumber listrik yang tersentuh, karena akibat arus
listrik dengan tegangan tinggi tersebut dapat menyebabkan timbulnya
kontraksi otot, termasuk otot yang tersentuh aliran listrik tersebut.
Aliran arus listrik (path of current)
Adalah tempat-tempat pada tubuh yang dilalui oleh arus listrik sejak
masuk sampai meninggalkan tubuh. Letak titik masuk arus listrik (point of
entry) & letak titik keluar bervariasi sehingga efek dari arus listrik tersebut
bervariasi dari ringan sampai berat. Arus listrik masuk dari sebelah kiri bagiah
tubuh lebih berbahaya daripada jika masuk dari sebelah kanan. Bahaya
26
terbesar bisa timbul jika jantung atau otak berada dalam posisi aliran listrik
tersebut. Bumi dianggap sebagai kutub negatif. Orang yang tanpa alas kaki
lebih berbahaya kalau terkena aliran listrik, alas kaki dapat berfungsi sebagai
isolator, terutama yang terbuat dari karet.
Faktor-faktor lain
a) Adanya penyakit-penyakit tertentu yang sudah ada pada korban
sebelumnya,seperti penyakit jantung, kondisi mental yang menurun
dan sebagainya yang dapat memperberat efek listrik pada tubuh
manusia sampai timbulnya kematian.
b) Antisipasi terhadap suatu shock. Hal ini walaupun bermakna akan
tetapi bukan merupakan perlindungan yang memadai. Apabila
seseorang menyadari kemungkinan akan datangnya suatu shock,
korban tersebut dapat melawan/ menghadapi hal-hal yang mungkin
membahayakan tersebut.
c) Kelengahan atau kekurang hati-hatian. Hal ini sangat berperan pada
kasus-kasus kecelakaan akibat trauma listrik.
Etiologi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, trauma listrik terjadi saat seseorang
menjadi bagian dari sebuah perputaran aliran listrik atau bisa disebabkan pada saat
berada dekat dengan sumber listrik. Klasifikasi yang paling sering untuk membagi
trauma karena listrik adalah karena petir, aliran listrik tegangan rendah arus bolak
balik (AC), aliran listrik tegangan tinggi arus bolak balik (AC) dan arus searah.2
1. Arus Bolak-Balik (AC)
Tegangan tinggi pada kasus ini tegangan listrik lebih dari 600 volt. Luka listrik
karena tegangan tinggi sering terjadi pada saat terdapat objek yang bersifat konduktif
disentuh yang tersambung dengan sumber listrik bertegangan tinggi.2
27
Tegangan rendah adalah 600 volt atau kurang dari 600 volt. Secara umum, ada
2 tipe luka listrik tegangan rendah dengan arus bolak-balik yang memungkinkan :
Anak yang menggigit kawat listrik yang bisa menyebabkan luka berat pada bibir,
wajah, dan lidah, kemudian anak-anak atau orang dewasa yang terjatuh saat
menyentuh objek yang dialiri energi listrik.2
2. Arus searah (DC)
Luka listrik karena arus searah biasanya terjadi saat laki-laki usia muda secara
tidak sengaja menyentuh rel kereta dari sebuah kereta listrik yang sedang berjalan.
Arus searah (DC) kurang berbahaya dibanding arus bolak-balik (AC); arus dari 50-80
mA AC dapat mematikan dalam hitungan detik, dimana 250 mA DC dalam waktu
yang sama sering dapat selamat. Arus bolak-balik adalah 4-6 kali menyebabkan
kematian, sebagian karena efek bertahan, yang merupakan hasill dari spasme otot
tetanoid dan mencegah korban lepas dari konduktor hidup.
Patofisiologi
Secara umum, energi listrik membutuhkan aliran energi (elektron-elektron)
dalam perjalanannya ke objek. Semua objek bisa bersifat konduktor (menghantarkan
listrik) atau resistor (menghambat arus listrik). Kulit berperan sebagai penghambat
arus listrik yang alami dari sebuah aliran listrik. Kulit yang kering memiliki resistensi
sebesar 40.000-100.000 ohm. Kulit yang basah memiliki resistensi sekitar 1000 ohm,
dan kulit yang tebal kira-kira sebesar 2.000.000 ohm. Anak dengan kulit yang tipis
dan kadar air tinggi akan menurunkun resistensi, dibandingkan orang dewasa.
Tahanan dari alat-alat tubuh bagian dalam diperkirakan sekitar 500-1000 ohm,
termasuk tulang, tendon, dan lemak memproduksi tahanan dari arus listrik. Pembuluh
darah, sel saraf, membran mukosa, dan otot adalah penghantar listrik yang baik.
Dengan adanya luka listrik , pada sayatan melintang akan memperlihatkan kerusakan
jaringan.3
28
Elektron akan mengalir secara abnormal melewati tubuh yang menyebabkan
perlukaan ataupun kematian dengan cara depolarisasi otot dan saraf, menginisiasi
aliran listrik abnormal yang dapat menggangu irama jantung dan otak, atau produksi
energi listrik menyebabkan luka listrik dengan cara pemanasan yang menyebabkan
nekrosis dan membentuk porasi (membentuk lubang di membran sel).2,3
Aliran sel yang melewati otak, baik tegangan tinggi atau tegangan rendah,
dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan secara langsung menyebabkan
depolarisasi sel-sel saraf otak. Arus bolak balik dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel
jika aliran listrik melewati daerah dada. Hal ini dapat terjadi saat aliran listrik
mengalir dari tangan ke tangan, tangan ke kaki, atau dari kepala ke tangan/kaki.3
Mekanisme Kerusakan Kulit Akibat Sengatan Listrik
Pada trauma listrik umumnya menyebabkan luka bakar. Luka tumpul
sekunder juga dapat terjadi jika korban terjatuh dari ketinggian setelah tersengat arus
listrik. Secara umum, luka bakar listrik dapat diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu: 2
a. Kontak langsung ( direct contact )
Trauma tipe ini, jika terjadi pada tegangan yang tinggi (Voltase di atas 1000
V) dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang parah, nekrosis jaringan lunak dan
tulang, kerusakan otot, dan gagal ginjal.
Lesi yang muncul pada tubuh berupa Lesi kontak, terjadi pada kulit yang
kontak atau bersentuhan dengan konduktor arus listrik. Kulit yang melepuh, biasanya
pada ujung-ujung jemari atau telapak tangan. Kadang-kadang daerah yang melepuh
ini dipenuhi dengan cairan atau gas dan setelah kematian, baik sebagian ataupun
keseluruhan akan mengempis. Terdapat sedikit atau tidak ada reaksi inflamasi dan
gambarannya menyerupai lepuh post mortem. Kesemua efek ini disebabkan karena
pengaruh panas oleh arus listrik terhadap keratin dengan sifat resisten tinggi.
b. Kontak tidak langsung ( indirect contact )
Contohnya seperti karena kilasan (flash), lidah/nyala api (flame) dan bunga
api listrik (arc). Trauma tipe ini hanya menyebabkan luka bakar superfisial pada kulit,
29
wajah, dan tangan. Kontak yang sebentar atau sedikit akan menyebabkan percikan
atau loncatan antara kabel dengan kulit. Menyebabkan suatu lesi berupa nodul-nodul
kecil diatasnya terdapat keratin yang kaku dan berwarna kekuningan. Karena
meleburnya lapisan paling luar dari stratum korneum, yang kemudian mengeras.
Sekitar lesi: kulit yang mengeras karena kontraksi dari kapiler. Pada semua kasus
kematian karena listrik tegangan tinggi mendapat luka bakar di tubuhnya. Pada listrik
tegangan rendah, luka bakar umumnya terjadi pada titik masuk, titik keluar listrik
atau pada jarak tertentu antara keduanya jika arus memasuki areal yang luas dengan
hambatan minimal, mungkin tidak akan ditemukan luka bakar. Contoh terbaik dalam
hal ini ialah bunuh diri di bak mandi. Jika hanya terjadi kontak yang singkat dengan
kawat beratus, mungkin tidak terjadi suatu luka bakar. Orang dapat pingsan karena
fibriliasi ventrikel dan terlempar dari kabel. Jika kontak tetap berlangsung, akan
timbul luka bakar yang berat. Luka bakar disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh
listrik.
Ada empat mekanisme yang menyebabkan timbulnya luka bakar pada kulit
akibat listrik yaitu:3
1) Pemanasan electrothermal (electrothermal burn) merupakan pola klasik akibat
kontak langsung dengan konduktor, luka bakar terlihat pada titik masuk dan titik
keluar arus listrik.
2) Lengkung elektrik adalah suatu percikan arus listrik yang timbul diantara dua
permukaan objek yang tidak bersentuhan memiliki beda potensial yang sangat besar,
biasanya pada sumber arus tegangan tinggi dengan ground. Karena besarnya
perbedaan potensial ini, dapat timbul panas sampai temperatur 2500°C. Panas ini
dapat menimbulkan luka bakar yang sangat hebat pada titik kontak dengan kulit.
3) Nyala api karena percikan api yang dihasilkan oleh listrik mengenai pakaian
4) Arus listrk akibat Petir.
Dari keempat mekanisme diatas dapat dilihat bahwa penyebab kerusakan kulit
adalah perubahan energi listrik menjadi panas. Energi listrik ini berubah menjadi
panas karena kulit mempunyai tahanan yang cukup tinggi. Perubahan energi listrik
30
menjadi energi panas ini menyebabkan luka bakar (electrical burn) yang ditandai
dengan kerusakan jaringan yang berat dan nekrosis koagulasi. Lapisan kulit yang
terkena panas akan mengalami pemisahan lapisan epidermis dengan lapisan dermis
yang akhirnya timbul luka lepuh. Sel kulit yang terkena panas akan mengalami
kerusakan. Parahnya kerusakan tergantung pada besarnya energi panas. Jika energi
panas kecil maka sel kulit hanya mengalami kerusakan sel yang reversibel. Secara
potensial perubahan-perubahan sublethal ini yang dikenal sebagai perubahan
degeneratif. Dua gambaran perubahan seluler sublethal yang umum terlihat ialah
perubahan hidrofik dan perubahan lemak. Sedangkan bila energi panas denaturasi
protein termasuk protein enzim yang akhirnya sel mengalami nekrosis koagulatif.1
Walaupun perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik
dapat melibatkan sitoplasma sel, intilah yang paling jelas menunjukkan perubahan–
perubahan kematian sel. Biasanya inti sel yang mati akan melisut, batasnya tidak
teratur, dan berwarna gelap dengan zat warna yang biasa digunakan ahli patologi.
Proses ini dinamakan piknosis, dan inti sel disebut piknotik. Kemungkinan lain, inti
dapat hancur, dan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di
dalam sel. Proses ini disebut karioreksis. Akhirnya, pada beberapa keadaan, inti sel
yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja, proses
ini disebut kariolisis.
Gambaran Makroskopis Kerusakan Kulit
Kulit merupakan resistor primer terhadap aliran arus listrik dalam tubuh.
Resistensi kulit yang pertama adalah stratum korneum yang berperan sebagai isolator
arus 50 volt selama 6-7 detik mengakibatkan timbulnya lepuh pada area yang
resistensinya terganggu.1
Gambaran makroskopis kerusakan kulit akibat sengatan listrik tergantung
pada beberapa hal antara lain.1
1. Kelembaban dan luas permukaan kulit yang kontak dengan konduktor.
Kelembaban kulit berkaitan dengan tahanan kulit seperti dijelaskan di
atas. Semakin lembab kulit maka tahanannya menjadi semakin kecil. Makin
31
tinggi tahanan dapat menyebabkan jumlah energi yang dikeluarkan pada
permukaan kulit sebagai panas yang menyebabkan luka bakar pada kulit tetapi
kerusakan organ internal yang minimal. Tetapi kerusakan organ internal akan
lebih parah jika konduktor kontak langsung dengan kulit yang lembab. Jadi
gambaran luka bakar lebih jelas terlihat jika konduktor kontak langsung pada
kulit dalam keadaan kering (tahanan tinggi) daripada kulit dalam keadaan
lembab (tahanan rendah). Luas Permukaan berbanding lurus dengan tahanan
konduktor. Sehingga semakin luas ( tahanan tinggi ) daerah kulit yang kontak
langsung dengan konduktor kerusakan lebih ringan dari pada luas kontak yang
sempit.
2. Ketebalan kulit.
Bermacam – macam histomorfologi alami kulit dengan perbedaan
ketebalan lapisan tanduk (stratum korneum) pada lapisan epidermis dan
kandungan fibroblas (pembentuk serabut kolagen) pada lapisan dermis
mempengaruhi gambaran kerusakan kulit. Gambaran kerusakan kulit tampak
jelas pada telapak tangan dan telapak kaki karena mempunyai lapisan tanduk
yang tebal dan kandungan fibroblas yang tinggi.
3. Tegangan konduktor listrik.
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar
akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Sesuai dengan hukum Ohm yang
menyebutkan bahwa energi panas yang dihasilkan dari listrik sama dengan I2R.
Dengan demikian maka produksi panas berbanding langsung dengan kuadrat
intensitas listrik dan resistensi listrik. Sehingga efek luka bakar yang paling besar
terjadi pada bagian tubuh yang paling besar resistensinya ( kulit ). Selain itu
yang mempengaruhi berat ringanya luka adalah besarnya tegangan. Luka yang
disebabkan dari listrik bertegangan rendah ( <1000 ) akan menyebabkan luka
bakar derajat 1 dan 2. Luka bakar ini disebut electrical mark yang biasanya
ditemukan pada tempat arus listrik masuk. Hal ini terjadi karena kulit kontak erat
dengan konduktor listrik, maka aliran listrik yang melaluinya memanaskan
32
cairan jaringan dan menghasilkan uap. Uap tersebut dapat memisahkan lapisan
epidermis atau demo-epidermal junction dan terbentuk lepuh yang menonjol ke
permukaan kulit. Bila lepuh menjadi dingin dan kolaps maka terbentuk
gambaran seperti cincin berwarna kelabu atau putih yang tepinya meninggi dan
tengahnya cekung. Di sekeliling lepuh dikelilingi oleh daerah hiperemis,
kemudian di sebelah luar dikelilingi oleh berturut-turut daerah pucat akibat
spasme arteriol dan daerah hiperemis lagi. Listrik dengan tegangan tinggi
( >1000 V ) akan menyebabkan luka bakar yang lebih berat ( derajat 3 – 4 ).
Luka akibat tegangan listrik tinggi ini disebut exogenous burn dimana selain arus
listriknya juga karena energi panas yang dikandungnya, misalnya pada listrik
tegangan 330 Volt. Tubuh korban akan hangus terbakar, tak jarang disertai
dengan patah tulang.
Gambar 1. Klasifikasi Luka Bakar
4. Lama Kontak dengan konduktor listrik
33
Bila kontak dengan sumber listrik dalam waktu cukup lama akan terjadi
Joule burn atau endogenous burn, sehingga daerah yang tadinya pucat pada
electrical mark menjadi hitam hangus terbakar.
Gambaran Mikroskopis Kerusakan Kulit
Gambaran pada kulit berupa rongga-rongga pada lapisan epidermis, dan
kadang pada dermis. Hal ini disebabkan karena adanya ruang udara yang berasal dari
pemisahan jaringan panas dari sel-sel tersebut. Bagian terluar epidermis dapat
terlepas. Pada beberapa luka trauma listrik ditemukan vakola – vakuola kecil pada
stratum korneum.Vakuola berasal dari kelenjar keringat di tempat masuk dan
keluarnya arus listrik, sebagai akibat produksi uap panas berlebih yang
mengakibatkan pelebaran kelenjar keringat tersebut, dikenal sebagai ”honeycomb
atau Swiss cheese-like apparance”.2,3
Bohm (1967) dan Sellier (1975) melaporkan bahwa pada bagian tengah
epidermis yang kontak dengan konduktor tampak kulit tertekan, tipis, membentuk
saluran terputus-putus disertai pengarangan dan robekan pada pinggir luka tersebut.
Selain itu terkadang timbul luka lepuh berisi cairan kaya protein dan leukosit. Pada
tahun 1981 Thomsen mengamati luka sengatan listrik dengan mikroskop elektron,
tampak gambaran perubahan partikel inti sel. Partikel inti sel berubah bentuk, berisi
gumpalan kromatin, homogen, dan bergranuler halus. Ditemukan pula perpanjangan
inti sel menjadi piknotik.3
Semakin besar energi panas yang dihasilkan oleh arus listrik maka semakin
luas kerusakan pada epidermis yang kontak dengan konduktor. Epidermis dapat
terlepas dari ikatannya dengan dermis. Sedangkan pada tepi luka, epidermis
mengalami penebalan, homogen, dan tampak vakuola-vakuola di dalamnya.
Gambaran ini tampak nyata jika konduktor kontak dengan telapak tangan dan telapak
kaki. Pada sel-sel basal epidermis tepi luka ditemukan pemanjangan inti sel yang
piknotik. Elongasi tiap-tiap sel tersebut dapat tersusun spiral, loop, whorls, palisade
satu sama lain. Gambaran yang sama juga ditemukan pada organ-organ kulit asesoris
misalnya pada folikel rambut.3
34
Seharusnya perhatian perlu ditujukan kepada distribusi nekrosis,
pembengkakan dan perdarahan yang tidak merata di dermis di bawah epidermis yang
kontak dengan konduktor. Gambaran nekrosis akan lebih jelas terlihat di sel basal
epidermis kulit. Pemeriksaan hendaknya juga dilakukan terhadap daerah-daerah yang
berada di sekitar luka.2
Gambaran mikroskopis sengatan listrik pada kulit belum pernah ada yang meneliti
tetapi diduga gambaran kerusakan sel dengan paparan listrik yang cukup akan timbul
karena sengatan listrik dapat menghasilkan panas. Kerusakan yang timbul
diperkirakan hampir sama dengan kerusakan sel karena panas pada umumnya yaitu
timbul denaturasi protein yang akhirnya menimbulkan nekrosis sel. Hal ini
dibuktikan oleh Lestari (2008) yang menunjukan kerusakan sel otot pada sengatan
listrik di air. Gambaran kerusakan otot yang hampir sama dengan kerusakan akibat
panas.
Cara Kematian
Kematian karena terkena aliran listrik paling sering terjadi karena kecelakaan,
jarang terjadi karena pembunuhan atau bunuh diri. Oleh karena itu pemeriksaan
Tempat Kejadian Perkara (TKP) sangat penting untuk dapat memperkirakan cara
kematiannya.
Sebab Kematian
Penyebab kematian kebanyakan oleh energi listrik itu sendiri. Sering trauma
listrik disertai trauma mekanis. Ada kasus karena listrik yang menyebabkan korban
jatuh dari ketinggian, dalam hal ini sukar untuk mencari sebab kematian yang segera.3
Sebab kematian karena arus listrik yaitu :
a. Fibrilasi ventrikel
Bergantung pada ukuran badan dan jantung. Dalziel (1961) memperkirakan
pada manusia arus yang mengalir sedikitnya 70 mA dalam waktu 5 detik dari lengan
ke tungkai akan menyebabkan fibrilasi. Yang paling berbahaya adalah jika arus listrik
masuk ke tubuh melalui tangan kiri dan keluar melalui kaki yang berlawanan/kanan.
35
Kalau arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan yang satu dan keluar melalui tangan
yang lain maka 60% yang meninggal dunia.2
b. Paralisis respiratorik
Akibat spasme dari otot-otot pernafasan, sehingga korban meninggal karena
asfiksia, sehubungan dengan spasme otot-otot karena jantung masih tetap berdenyut
sampai timbul kematian. Terjadi bila arus listrik yang memasuki tubuh korban di atas
nilai ambang yang membahayakan, tetapi masih di batas bawah yang dapat
menimbulkan fibrilasi ventrikel. Menurut Koeppen, spasme otot-otot pernafasan
terjadi pada arus 25-80 mA, sedangkan ventrikel fibrilasi terjadi pada arus 75-100
mA.2
c. Paralisis pusat nafas
Jika arus listrik masuk melalui pusat di batang otak, disebabkan juga oleh
trauma pada pusat-pusat vital di otak yang terjadi koagulasi dan akibat efek
hipertermi. Bila aliran listrik diputus, paralisis pusat pernafasan tetap ada, jantung
pun masih berdenyut, oleh karena itu dengan bantuan pernafasan buatan korban
masih dapat ditolong. Hal tersebut bisa terjadi jika kepala merupakan jalur arus
listrik.2
Pemeriksaan Korban
1. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Pada pemeriksaan korban di TKP. Langkah pertama kali adalah mematikan
aliran listrik atau menjauhkan kawat listrik dari dengan kayu kering. Pastikan korban
apakah masih hidup atau sudah meninggal. Bila lebam mayat (-), maka mungkin mati
suri dan perlu pertolongan segera sampai timbul tanda kematian pasti.1,2
2. Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Dalam pemeriksaan luar yang harus dicari adalah tanda-tanda listrik atau
current mark/electric mark/stroomerk van jellinek/joule burn.
Tanda-tanda listrik tersebut antara lain:
Electric mark
36
Electric mark adalah kelainan yang dapat dijumpai pada tempat
dimana listrik masuk ke dalam tubuh. Electric mark berbentuk bundar
atau oval dengan bagian yang datar dan rendah di tengah, dikeliilingi
oleh kulit yang menimbul. Bagian tersebut biasanya pucat dan kulit
diluar elektrik mark akan menunjukkan hiperemis. Bentuk dan
ukurannya tergantung dari benda yang berarus listrik yang mengenai
tubuh.Penting sekali karena justru kelainan yang menyolok adalah
pada kulit korban. 2
Cara mencari current mark pada tubuh korban terutama adalah
pada telapak tangan dan telapak kaki dan sebelumnya harus dicuci
terlebih dahulu dengan sabun dan bila perlu disikat. Dapat terjadi
metalisasi pada kulit yang bersentuhan dengan kabel atau kawat yang
berarus listrik. Metalisasi terjadi akibat panas yang ditimbulkan
sedemikian besar sehingga ion-ion asam jaringan bereaksi dengan ion-
ion logam dari kawat atau kabel membentuk garam dan menyebar di
jaringan. 2
Gambar 2. Electrik mark
Joule burn (endogenous burn)
Dapat terjadi bilamana kontak antara tubuh dengan benda yang
mengandung arus listrik cukup lama, dengan demikian bagian tengah
37
yang dangkal dan pucat pada electric mark dapat menjadi hitam
hangus terbakar.2
Gambar 3. joule burn
Exogenous burn
Dapat terjadi bila tubuh manusia terkena benda yang berarus
listrik dengan tegangan tinggi, yang memang sudah mengandung
panas; misalnya pada tegangan di atas 330 volt. Tubuh korban hangus
terbakar dengan kerusakan yang sangat berat, yang tidak jarang
disertai patahnya tulang-tulang.2
Gambar 4. exogenous burn
38
b. Pemeriksaan Dalam
Biasanya tidak ditemukan kelainan yang khas. Pada otak dapat terjadi
perdarahan kecil-kecil, terutama daerah ventrikel III dan IV. Pada pemeriksaan
jantung, terjadi fibrilasi bila dilalui aliran listrik dan berhenti pada fase diastole,
sehingga terjadi dilatasi jantung kanan. Pada paru didapatkan edema dan kongesti.
Pada pemeriksaan organ viscera terjadi kongesti yang merata. Peteki / perdarahan
mukosa Traktus Gastrointestinal ditemukan pada 1 dari 100 kasus fatal akibat listrik.
Pada hati didapat lesi yang tidak khas. Pada tulang, karena tulang mempunyai
tahanan listrik yang besar, maka bila ada aliran listrik akan terjadi panas sehingga
tulang menjadi leleh dan terbentuklah butiran-butiran calcium phosphat yang
menyerupai mutiara atau pearl like bodies.2
c. Pemeriksaan Tambahan
Yang dilakukan adalah pemeriksaan PA pada current mark .Walaupun
pemeriksaan itu tidak spesifik untuk tanda kekerasan oleh listrik tetapi sangat
menolong untuk menegakkan bahwa korban telah mendapatkan kekerasan dengan
listrik. Hasil pemeriksaan akan terlihat sebagai berikut: 1,3
Ada bagian sel yang memipih, pengecatan dengan metoxy lineosin akan
berwarna lebih gelap dari yang normal.
Sel-sel stratum corneum menggelembung dan vacuum
Sel dan intinya dari stratum basalis menjadi lonjong dan tersusun secara
palisade
Ada sel yg mengalami karbonisasi dan ada pula bagian sel-sel yang rusak dari
stratum Corneum
39
Gambar 5. Gambaran histologis trauma listrik
Terapi
Terlebih dahulu, sebelum penderita ditangani, arus listrik harus diputus.
Harus diingat bahwa penderita mengandung muatan listrik bila masih berhubungan
dengan sumber arus. Kemudian, kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung dengan
masase jantung dan napas buatan mulut ke mulut. Cairan parenteral harus diberikan.
Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan yang lebih
banyak dari yang diperkirakan sebab sering kerusakan jauh lebih luas dari pada yang
disangka. Kalau banyak terjadi kerusakan otot , urin akan berwarna gelap oleh
mioglobin, penderita ini perlu diberi manitol dengan dosis awal 25 gr disusul dosis
rumat 12,5 gr/jam. Kalau perlu manitol diberikan sampai enam kali, untuk
memperbaiki filtrasi ginjal dan mencegah gagal ginjal. Bila ada udem otak dapat
diberikan diuretik dan kortikosteroid.1
Pada luka bakar yang dalam dan berat, perlu pembersihan jaringan mati secara
bertahap karena tidak semua jaringan mati jelas tampak pada hari pertama. Bila luka
pada ekstermitas, mungkin perlu fisiotomi pada hari pertama untuk mencegah
sindrom kompartemen. Selanjutnya dilakukan rekonstruksi kulit.
Petir
Tekanan (Barotrauma)
40
Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat kegagalan untuk
menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti telinga tengah)
dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan pesawat terbang
atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga, wajah (sinus), dan
paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara di dalamnya.
Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat yang tiba-
tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang temporal, yang diakibatkan oleh
kegagalan tuba eustakius untuk menyamakan tekanan dari bagian telinga tengah dan
terjadi paling sering selama turun dari ketinggian atau naik dari bawah air saat
menyelam. Barotrauma telinga tengah merupakan cedera terbanyak yang dapat terjadi
pada saat menyelam.
Hukum Boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan
lingkungan akan memperbesar atau menekan suatu volume gas dalam ruang tertutup.
Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak
karena ekspansi atau kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi
gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) mejadi ruang tertututup dengan menjadi
buntunya jaras-jaras ventilasi normal.
I. Etiologi dan Klasifikasi
Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas dalam tubuh
menjadi ruang tertutup dengan menjadi buntunya jaras-jaras ventilasi yang normal.
Kelainan ini terjadi pada keadaan-keadaan:5
a. Saat menyelam
Saat seseorang menyelam, ada beberapa tekanan yang berpengaruh yaitu
tekanan atmosfer dan tekanan hidrostatik. Tekanan atmosfer yaitu tekanan
yang ada di atas air. Tekanan hidrostatik yaitu tekanan yang dihasilkan oleh air
yang berada di atas penyelam. Barotrauma dapat terjadi baik pada saat
penyelam turun ataupun naik. Diver’s depth gauges digunakan hanya untuk
mengetahui tekanan hidrostatik (kedalaman air) dan berada pada angka nol
pada permukaan laut. Ini tidak dapat mengetahui 1 atmosfer (1 ATA)
41
diatasnya. Jadi, gauge pressure selalu 1 atmosfer lebih rendah dari tekanan
yang sebenarnya dan tekanan absolut.9
Tekanan atmosfer
Tekanan atmosfer yang ada di laut yaitu 1 atmosfer atau 1 bar. 1
Atmosfer diperkirakan mendekati dengan 10 meter kedalaman laut, 33 kaki
kedalaman air laut, 34 kaki kedalaman air segar, 1 kg/cm2, 14,7 Ibs/in2 psi,
1 bar, 101,3 kilopascals, 760 mmHg.9
Tabel 1. Tekanan atmosfer dan Tekanan Gauge di bawah laut9
Tekanan Absolute Tekanan Gauge Kedalaman Laut
1 ATA 0 ATG Permukaan
2 ATA 1 ATG 10 meter (33ft)
3 ATA 2 ATG 20 meter (66 ft)
4 ATA 3 ATG 30 meter (99 ft)
42
Gambar 9. Tekanan di berbagai lapisan bumi
(dikutip dari kepustakaan 9)
Tekanan Absolut
Tekanan absolut merupakan tekanan total yang dialami seorang penyelam ketika
berada di kedalaman laut yang merupakan jumlah dari tekanan atmosfer yang berada
di permukaan air ditambah tekanan yang dihasilkan oleh massa air di atas penyelam
(tekanan hidrostatik). Tekanan total yang dialami penyelam disebut tekanan absolut.
Tekanan ini menggambarkan keadaan atmosfer dan disebut sebagai absolut atmosfer
atau ATA.9
Tekanan Gauge
Seperti yang telah dijelaskan, tekanan hidrostatik pada penyelam secara umum
diukur dengan suatu tekanan atau depth gauge. Seperti alat ukur yang telah dijelaskan
tekanan pada permukaan laut dan mengabaikan tekanan atmosfer (1 ATA). Tekanan
gauge dapat diubah menjadi tekanan absolute dengan menambahkan 1 tekanan
atmosfer. 9
Tekanan Parsial
Pada campuran gas, proporsi tekanan total yang dimiliki oleh masing-masing gas
disebut sebagai tekanan parsial (bagian atas tekanan). Tekanan parsial yang dimiliki
oleh masing-masing gas sebanding dengan persentase campuran. Setiap gas memiliki
43
proporsi yang sama dengan tekanan total campuran, seperti proporsinya dalam
komposisi campuran. Misalnya, udara pada 1 ATA mengandung oksigen 21%, maka
tekanan parsial oksigen adalah 0,21 ATA dan udara pada 1 ATA mengandung
nitrogen 78%, maka tekanan parsial nitrogen adalah 0,78 ATA.9
Barotrauma pada saat menyelam dapat terjadi pada saat turun ke dalam air yang
disebut sebagai squeeze, sedangkan barotrauma pada saat naik ke permukaan air secara
cepat disebut reverse squeeze atau overpressure.9
b. Saat penerbangan
Seseorang dalam suatu penerbangan akan mengalami perubahan ketinggian yang
mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara sekitar. Tekanan udara akan menurun
pada saat lepas landas ( naik / ascend ) dan meninggi saat pendaratan ( turun / descend ).
Tekanan Lingkungan yang menurun, menyebabkan udara dalam telinga tengah
mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba auditiva. Jika perbedaan tekanan
antara rongga telinga tengah dan lingkungan teralu besar, maka tuba auditiva akan
menciut. Untuk memenuhi regulasi tekanan yang adekuat, terjadi perbedaan tekanan
telinga tengah dengan tekanan atmosfir yang besar selama lepas landas dan mendarat,
menyebabkan ekstensi maksimal membran tympani. Keadaan ini dapat mengakibatkan
pendarahan. Pada ekstensi submaksimal, akan timbul perasaan penuh dalam telinga dan
pada ekstensi maksimal berubah menjadi nyeri.11
c. Ledakan
Secara garis besar, peledakan bom adalah transformasi kimia cepat dari padat atau cair
menjadi gas. Gas berekspansi radial luar sebagai gelombang ledakan bertekanan tinggi
yang melebihi kecepatan suara. Udara sangat padat di tepi terkemuka gelombang ledakan
menciptakan sebuah front shock.7
Bahan peledak energi tinggi menghasilkan sebuah gelombang kejut supersonik
tekanan tinggi. Tekanan ini ditransmisi melalui medium di sekitarnya (udara, air, dan
tanah) membentuk blast wave. Blast wave mempunyai 3 gambaran :
1. Fase positif
2. Fase negative
3. Mass movement of air (blast wind) dan kemudian kembali normal. 4,8
44
Pada fase positif, terdapat peningkatan yang cepat dari tekanan dalam gelombang
sesuai dengan besarnya ledakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan udara
lingkungan yang menyebar secara radial dengan kecepatan yang kurang lebih sama
dengan kecepatan suara, yaitu sekitar 3000-8000 meter per detik. Overpressure ini
disebabkan oleh kompresi udara di depan gelombang ledakan yang mengakibatkan
pemanasan dan percepatan molekul udara. Tekanan ini mengeluarkan tenaga yang
luar biasa pada objek dan manusia. Gelombang ini kehilangan tekanan dan
kecepatannya sesuai dengan jarak dari sumber ledakan. Besarnya tekanan puncak
pada fase positif serta lamanya fase positif ini berperan penting dalam keparahan
cedera. Sebaliknya, kedua variabel ini sendiri ditentukan oleh jenis dan jumlah bahan
peledak serta lokasi terjadinya ledakan, apakah berlangsung dalam ruangan atau di
ruang terbuka. Cedera yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan ini disebut cedera
ledakan primer (primary blast injuries). 4
Pada fase negatif (fase vakum), terjadi penurunan tekanan di bawah tekanan udara
lingkungan. Hal ini mengakibatkan terhisapnya objek, seperti jendela-jendela tertarik
ke luar. Efek fase negatif ledakan terhadap tubuh manusia ternyata mirip dengan
cedera primer yang ditimbulkan fase positif ledakan. 4
Blast wind terjadi akibat udara dalam volume besar bergeser akibat gas yang
dihasilkan ledakan. Blast wave kemudian menghilang dan kemudian kembali ke
tekanan atmosfer normal. Dalam ruang tertutup, gambaran gelombang ledakan
berbeda. Ini diakibatkan oleh refleksi gelombang pada dinding dan objek-objek di
sekitarnya. Terjadi puncak tekanan yang diikuti oleh beberapa puncak tekanan yang
lebih kecil. Puncak-puncak kecil tekanan ini menambah kekuatan overpressure yang
terjadi. Oleh karena itu, cedera yang terjadi pada ruang tertutup lebih disebabkan
oleh perubahan tekanan yang terjadi selama waktu tertentu daripada puncak
overpressure maksimum saja. 4,8
45
Gambar 2. Diagram Gelombang Ledakan dan Komponen Terkait7
Kecepatan dari gelombang ledakan di udara mungkin sangat tinggi, tergantung pada
jenis dan jumlah bahan peledak yang digunakan. Seseorang yang berada di jalur
ledakan tidak hanya terkena tekanan dari barotrauma, melainkan juga tekanan dari
udara berkecepatan tinggi tepat setelah kejutan dari gelombang ledakan. Besarnya
kerusakan akibat gelombang ledakan tergantung pada: 1) puncak gelombang tekanan
positif yang awal (mengingat bahwa tekanan antara 60-80 PSI atau 414-552 kPa
berpotensi mematikan), 2) durasi tekanan, 3) media di mana ia meledak, 4) jarak dari
kejadian gelombang ledakan; dan 5) tingkat fokus dalam kaitan area terbatas atau
dinding. Sebagai contoh, ledakan di dekat atau dalam permukaan bendapadat keras
menjadi diperkuat 2-9 kali karena refleksi gelombang kejut. Akibatnya, individu
diantara ledakan dan bangunan umumnya menderita dua sampai tiga kali derajat
cedera dibandingkan dengan yang ada di ruang terbuka.1,2,5
II. Patofisiologi
Penyakit yang disebabkan oleh perubahan tekanan secara umum ditemukan oleh
hukum fisika Boyle dan Henry. Hukum boyle menyatakan “suatu penurunan atau
peningkatan pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan)
suatu volume gas dalam ruang tertutup” atau P1 x V1 = P2 x V2, dimana P adalah tekanan
dan V adalah volume.3
Perubahan tekanan terjadi ketika menyelam, pada ruang hipo dan hiperbarik,
perjalanan udara, dan pada beberapa pendakian serta pada lift yang cepat. Tekanan
46
meningkat sebesar 1 atmosfer setiap kedalaman laut 33 ft (10 m). Hal ini menunjukkan
bahwa balon (atau paru-paru) dengan volume udara 1 kaki kubik pada kedalaman 33 kaki
akan memiliki volume 2 kaki kubik pada permukaan laut. Jika udara ini terperangkap,
udara tersebut akan mengembang dan memberi tekanan yang hebat pada dinding ruang
tersebut. Pada pendakian cepat, insiden pneumotoraks dan pneumomediastinum serta
penekanan sinus dan trauma telinga dalam dapat terjadi. Penekanan sinus beserta
disfungsi dari tuba eustakius akan menyebabkan perdarahan pada telinga dalam, robekan
membran labirin, atau fistula perilimfatik.2,3,12
Normalnya, tekanan udara di luar dan di dalam telinga sama. Tuba eustakius,
berfungsi sebagai penyeimbang kedua sisi tersebut dengan mengeluarkan atau
memasukkan udara ke telinga tengah. Barotrauma dapat terjadi ketika ruang-ruang bersis
gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) menjadi ruang tertutup dengan menjadi
buntunya jaras-jaras ventilasi normal. Bila gas tersebut terdapat dalam struktur yang
lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi ataupun kompresi. Barotrauma
sering terjadi pada telinga tengah, hal ini terutama karena rumitnya fungsi tuba eustakius.
Tuba eustakius secara normal selalu tertutup namun dapat terbuka pada gerakan menelan,
mengunyah, menguap, dan dengan manuver Valsava. 1,2,4
Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cm Hg, maka otot yang normal aktivitasnya
tidak mampu membuka tuba. Jika perbedaan tekanan antaara rongga telinga tengah dan
lingkungan sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai 100 mmHg), maka bagian
kartilaginosa dari tuba eustakius akan sangat menciut. Jika tidak ditambhakan udara
melalui tuba eustakius untuk memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-struktur
dalam telinga tengah dan jaringan didekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya
perbedaan tekanan. Pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah,
dimana mula-mula membran timpani tertarik ke dalam menyebabkan membran teregang
dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga cairan keluar dari pembuluh
darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah,
sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah dan tampak sebagai
gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gendang telinga. Dengan makin meningkatnya
tekanan, pembuluh-pembuluh darah kecil pada mukosa telinga tengah juga akan
47
berdilatasi dan pecah, menimbulkan hemotimpanum. Kadang-kadang tekanan dapat
menyebabkan ruptur membran timpani.1,2
Terdapat dua mekanisme yang dapat menyebabkan barotrauma pada telinga dalam.
Ketika penyelam menyelam ke bawah dan mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan
tekanan dan terus melanjutkan menyelam lebih dalam, dalam usaha menyeimbangkan
tekanan, dapat terjadi terbukanya tuba eustakius secara tiba-tiba sehingga udara masuk ke
telinga tengah. Hal ini akan menyebabkan rupturnya salah satu tingkap antara telinga
tengah dan telinga dalam entah fenestra rotundum ataupun fenestra ovalis ke telinga
dalam. Kebalikannya, jika penyelam menyelam lebih dalam dengan kesulitan untuk
menyeimbangkan tekanan dan tuba eustakius tidak terbuka, maka tekanan diteruskan
melalui cairan spinal, menuju ke saluran koklear ke ruang perlimfatik pada telinga dalam.
tingkap bundar atau lonjong dapat ruptur.12
Untuk pasien dengan barotrauma pada penerbangan, skenario yang mungkin adalah
saat penumpang pesawat mengalami infeksi pernafasan dan pembengkakan mukosa tuba
eustakius. Saat lepas landas, tekanan udara di lingkungan turun dan tekanan pada telinga
tengah sangat tinggi. Akan tetapi, tekanan akan turun oleh tuba eustakius ketika menelan,
dan gejala menjadi tidak terlalu berat. Sayangnya, mukosa tuba bertindak sebagai keran
satu arah, dan masalah yang sebenarnya terjadi ketika pesawat mendarat. Pada saat
pesawat hendak mendarat, tekanan atmosfer di lingkungan meningkat secara cepat dan
tuba eustakius yang bengkak pada nasofaring mencegah aerasi telinga tengah. Hal ini
menyebabkan kolapsnya gendang telinga ke dalam, dan pembuluh darah pada telinga
tengah dapat ruptur dan mengalami perdarahan kemudian menyebabkan hemotimpanum.
Hal ini dapat berlangsung hingga berhari-hari.1
Hukum henry menyatakan bahwa daya larut udara pada cairan secara langsung
sebanding dengan tekanan pada udara dan cairan. Sehingga, ketika tutup botol soda
dibuka, terbentuk gelembung pada saat udara dilepaskan dari cairan. Sebagai tambahan,
ketika nitrogen pada tank udara penyelam larut pada jaringan lemak atau cairan sinovial
penyelam saat menyelam, nitrogen akan dilepaskan dari jaringan tersebut ketika penyelam
naik menuju lingkungan dengan tekanan yang lebih rendah. Hal ini akan terjadi secara
perlahan dan bertahap jika penyelam naik secara perlahan dan bertahap, dan nitrogen akan
memasuki pembuluh darah dan menuju ke paru-paru dan dikeluarkan saat bernafas. Akan
48
tetapi, jika penyelam naik secara cepat, nitrogen akan keluar dari jaringan secara cepat dan
membentuk gelembung udara. Gelembung yang terbentuk akan mempengaruhi jaringan
dalam banyak cara. Gelembung dapat membentuk obstruksi pada pembuluh darah yang
dapat mengarah ke cedera iskemik. Hal ini dapat berakibat fatal bila terjadi pada area
tertentu pada otak. Kehilangan pendengaran (tuli mendadak) dapat terjadi bila gelembung
udara membentuk oklusi pada pembuluh darah arteri labirin yang kemudian meyebabkan
iskemik pada koklea.Gelembung juga dapat membentuk suatu permukaan dimana protein
dari pembuluh darah dapat melekat, terurai, dan membentuk gumpalan atau sel-sel radang.
Sel-sel radang ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan kerusakan jaringan yang
permanen.3
Pada trauma akibat ledakan, jenis trauma dapat dibagi menjadi 3 bentuk :
a. Cedera primer adalah cedera langsung yang disebabkan oleh ledakan tekanan
gelombang yang sangat tinggi, atau gelombang kejut. Cedera primer terutama
mengenai organ-organ berongga yang mengandung udara karena adanya perubahan
physiological anatomi dari gaya yang dihasilkan oleh gelombang ledakan sehingga
mempengaruhi permukaan dan struktur tubuh. Organ-organ tersebut seperti paru-paru,
usus, dan telinga. Namun, yang paling sering adalah telinga karena dipengaruhi oleh
overpressure, diikuti oleh paru-paru dan organ-organ berongga dari saluran
pencernaan (usus). 4,5,9 Mekanisme kerusakan organ yang terjadi pada cedera ledakan
primer dapat melalui efek spalling, implosion (ledakan), dan inersia dan perbedaan
tekanan. Jika blast shock wave berjalan dari satu medium ke medium lain yang
densitasnya lebih kecil, seperti cairan jaringan ke udara pada alveolus, akan terjadi
peningkatan tekanan lokal pada medium pertama. Fenomena ini disebut spalling dan
mengakibatkan sobekan mikroskopis serta makroskopis pada jaringan yang
menghubungkan kedua medium, yang mengakibatkan perdarahan ke dalam alveolus.
Pada kasus-kasus yang berat, perdarahan ini dapat terjadi sampai bronkus terminal.
Implosion terjadi jika gelombang tekanan yang melalui organ berongga
mengakibatkan kompresi dan dekompresi segera. Ekspansi yang tiba-tiba terjadi
mengakibatkan ledakan "sekunder". Inersia merupakan kekuatan sobekan yang
49
terbentuk jika gelombang tekanan melalui medium dengan densitas yang berbeda dan
dengan kecepatan berbeda pula. 4,5,9
Cedera yang terjadi adalah barotrauma, yaitu cedera yang disebabkan oleh perbedaan
tekanan antara organ internal dengan permukaan luar tubuh saat terjadi gelombang
tekanan. Derajat kerusakan organ ditentukan oleh kekuatan bahan ledakan, lama dan
tekanan puncak fase positif, lokasi ledakan, serta jarak korban terhadap sumber
ledakan. Lokasi ledakan dalam ruang tertutup berperan dalam meningkatkan mortalitas
dan derajat keparahan cedera yang terjadi. Insiden cedera ledakan primer juga lebih
tinggi pada ledakan dalam ruang tertutup. 4
Cedera Pada Telinga/Cedera Pada Sistem Auditorius
Telinga merupakan organ yang paling sensitif mengalami kerusakan akibat trauma
ledakan. Tekanan yang mengenai membran timpani berperan penting dan ini dipengaruhi
oleh orientasi kepala terhadap gelombang tekanan. 4,5
Gambaran khas cedera ledakan primer pada sistem auditorius adalah kerusakan telinga
tengah dan dalam. Gambaran paling sering adalah kehilangan pendengaran, dengan atau
tanpa disertai ruptur membran timpani. Perforasi membran timpani terutama terjadi pada
bagian anteroinferior dari pars tensa. Penyembuhan spontan terjadi pada 50-80% pasien
dengan perforasi. Penelitian lain menemukan 100% pasien kehilangan pendengaran
permanen setelah ledakan. 4,5
Perforasi membran timpani dulu dianggap sebagai petanda kemungkinan terjadinya
cedera ledakan pada paru-paru dan gastrointestinal, sehingga pasien dengan perforasi
membran timpani harus diobservasi selama 6 sampai 12 jam. Namun, dalam penelitian
terakhir yang dilakukan di Israel selama 1994 sampai dengan 1996 terhadap 770 pasien
korban ledakan bom, didapat kesimpulan bahwa adanya ruptur membran timpani bukan
merupakan petanda adanya cedera primer paru yang tersembunyi atau mengancam. Pasien-
pasien ini dapat dipulangkan setelah dilakukan pemeriksaan radiologis toraks dan observasi
dalam waktu singkat. 4,5
Cedera pada Paru
Cedera pada paru merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar akibat ledakan
bom. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kematian segera paling banyak disebabkan oleh
50
perdarahan pulmonal yang disertai dengan sufokasi. Emboli udara masif juga merupakan
penyebab kematian segera. Besar tekanan yang dapat mengakibatkan cedera primer paru
lebih dari 40 psi. Kompresi dinding dada yang terjadi berpengaruh terhadap keparahan
cedera. 4
Di dalam rongga toraks, gelombang tekanan akan mengalami refleksi dan peningkatan
besar tekanan. Ini mengakibatkan adanya konsentrasi tekanan yang besar pada beberapa
tempat, terutama yang dekat dengan organ padat seperti mediastinum dan hepar, sehingga
cedera pada daerah ini lebih parah. 4,5,9
Istilah blast lung digunakan untuk menggambarkan cedera ledakan primer pada paru
berupa kontusio paru dan insufisiensi pernapasan, yang disertai atau tanpa disertai tanda-
tanda barotrauma pulmonal. 4,5,9
Pada cedera paru-paru primer, terjadi mikrohemoragik pada alveoli, disrupsi perivaskular
dan peribronkial, serta dinding alveolus sobek yang mengakibatkan paru-paru penuh darah
dan emfisematosa. 4,9
Barotrauma dapat mengakibatkan sobeknya septa-septa alveolus. Sobekan ini
mengakibatkan hubungan antara rongga pleura dengan udara luar, yang pada akhirnya
mengakibatkan pneumotoraks. 4,5,9
Pada cedera primer paru, terjadi edema di mana alveolus terisi eosinofil. Edema ini dapat
membentuk membran hialin pada dinding-dinding saluran napas kecil. Membran hialin yang
terbentuk ini berperan dalam proses pembentukan sikatriks. 4,5,9
Dalam penelitian yang dilakukan di Swedia, atelektasis dijumpai pada seluruh subjek
penelitian. Atelektasis ini terjadi karena pada cedera paru primer terjadi peningkatan
produksi mukus, penurunan kemampuan evakuasi mukus, serta penurunan produksi
surfaktan. Ketiga faktor tersebut mengakibatkan kolapsnya alveolus. 4
Akibat lain yang ditakutkan pada trauma ledakan adalah adanya emboli udara. Emboli
udara hanya terjadi pada pasien dengan kontusio paru dan mengakibatkan kematian dalam
jam pertama. Emboli terjadi akibat adanya fistula bronkovaskular yang dapat merupakan
akibat langsung trauma ledakan maupun sebagai komplikasi penatalaksanaan gagal napas. 4
Pada cedera ledakan yang ringan, fungsi respirasi dapat segera kembali normal dalam 24
jam. Sedangkan pada cedera lebih berat, fungsi ini mengalami penurunan 24 jam pasca
trauma. Efek jangka panjang cedera ledakan primer pada paru-paru dapat berupa resolusi
51
total atau fibrosis. Foto toraks umumnya mengalami perbaikan dalam waktu satu minggu dan
mengalami resolusi sempurna setelah lima bulan. Pemeriksaan fungsi paru-paru kembali
normal dalam jangka waktu satu tahun pasca trauma. Efek jangka panjang pada pasien kedua
belum dapat ditentukan karena belum dilakukan pemeriksaan fungsi paru. 4
Cedera Pada Gastrointestinal
Cedera pada gastrointestinal tidak selalu terjadi. Cedera pada sistem ini terjadi terutama
pada kasus-kasus ledakan di dalam air atau dalam ruangan tertutup. Hal ini terjadi karena
traktus gastrointestinal mempunyai ambang yang lebih tinggi dibanding traktus respiratorius.
Mekanisme cedera yang terjadi sama dengan mekanisme cedera primer paru-paru. 4,5,9
Cedera primer pada gastrointestinal ini penting secara klinis karena sulit dideteksi. Lesi
pada usus sering tidak terdiagnosis sampai timbul komplikasi antara lain perforasi sekunder.
Cedera terutama mengenai caecum dan kolon karena volume udara lebih besar dan
dindingnya lebih tipis. 4,5,9
Cedera primer pada gastrointestinal dibagi menjadi cedera primer dengan perforasi dan
cedera primer tanpa perforasi. Cedera yang disertai dengan perforasi dibagi lagi menjadi
perforasi primer dan sekunder. Perforasi primer terjadi sebagai akibat langsung gelombang
tekanan, sedangkan perforasi sekunder terjadi dalam beberapa tahap perubahan morfologis
dinding usus. 4,5,9
Perforasi primer terjadi pada cedera yang berat yang mengakibatkan laserasi usus dengan
perdarahan per anum yang masif. Sedangkan bentuk kelainan yang lebih ringan dapat berupa
edema dan kontusio usus. Pada kontusio usus, terjadi perdarahan di bawah peritoneum
viseral yang berlanjut ke mesenterium. Pada kontusio usus ini dapat terjadi perforasi yang
dapat muncul 24-48 jam bahkan 5 hari pasca trauma. Perforasi sekunder ini terjadi karena
nekrosis akibat iskemi pada tempat hematom. Perforasi sekunder ini terjadi mulai dari
mukosa dan menyebar secara sentrifugal ke arah serosa. 4,5,9
Terdapat klasifikasi histologis cedera primer gastrointestinal. Pada cedera ringan,
kerusakan hanya meliputi mukosa. Cedera yang ringan dapat mengalami resolusi sempurna
dalam 3 sampai 7 minggu pasca trauma. Semakin berat cedera yang terjadi, semakin dalam
lapisan yang mengalami kerusakan. Cedera pada lapisan serosa secara pasti merupakan bukti
52
adanya cedera yang berat. Cedera derajat IV dan V mempunyai risiko tinggi perforasi
sekunder. 4,5,9
Efek jangka panjang cedera ledakan primer pada gastrointestinal dapat berupa adhesi.
Carter et al, menemukan adanya adhesi pada usus halus 57 tahun pasca trauma ledakan.
Adhesi ini dapat menyebabkan obstruksi usus atau akan menyulitkan pembedahan rutin
lainnya. 4
b. Sekunder
Cedera fase sekunder merupakan akibat dari fragmen-fragmen bom dan objek lain yang
didorong oleh ledakan seperti puing-puing benda, pecahan kaca, potongan logam dan beton.
Pasien umumnya menderita luka multipel, dengan kedalaman yang bervariasi dan sangat
terkontaminasi. Cedera ini dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh dan kadang-kadang
menyebabkan penetrasi trauma dengan perdarahan. Kadang-kadang, objek yang terdorong
dapat tertanam dalam tubuh, menghalangi aliran darah ke luar tubuh.2, 6, 7
c. Tertier
Pergerakan udara oleh ledakan menciptakan ledakan angin yang dapat melempar korban
mengenai objek-objek padat. Dampak luka-luka yang timbul dari jenis trauma ini disebut
sebagai cedera tersier dari ledakan. Luka tersier dapat hadir karena kombinasi trauma tumpul
dan penetrasi, termasuk patah tulang dan cedera coup countre-coup. Cedera yang terjadi
polanya mirip dengan korban yang terlempar dari sebuah kendaraan. Tingkat keparahan yang
terjadi tergantung pada jarak lemparan dan titik tumbuk di tubuh korban.2,6
Cedera pada sistem muskuloskeletal sering dijumpai, yang disebabkan oleh energi yang
dialirkan melalui tulang atau akibat menabrak benda stasioner. Pada kasus-kasus yang berat
dapat berupa amputasi avulsif. 4,5,9,10
Cedera tersier ditemukan pada pasien berupa fraktur tulang temporal dan cedera kepala
berat. Cedera tersier yang terjadi kemungkinan akibat terbenturnya kepala pada objek
stasioner. Kemungkinan terjadi perdarahan epidural mengingat lokasi fraktur pada regio
temporal. Saat pasien masuk RSCM, kemungkinan besar sudah terjadi herniasi unkus
mengingat adanya pin point pupil dan refleks cahaya yang menurun. 4,5,9,10
Trauma kepala terjadi pada 6% korban ledakan dan merupakan penyebab kedua kematian
akibat trauma ledakan. Sebagian besar korban cedera otak (91%) meninggal dalam waktu 24
53
jam. Cedera otak yang terjadi, selain diakibatkan oleh cedera langsung juga dapat bersifat
sekunder akibat emboli udara. 4,5,9,10
d. Kuarter
Cedera Kuarter merupakan ke semua jenis cedera selain dari kalsifikasi luka primer,
sekunder dan tersier. Yang termasuk dalam tipe cedera kuarter yakni luka bakar, luka remuk,
dan cedera pernapasan. Gangguan psikologis akut dan kronik sering dijumpai pada korban-
korban ledakan bom.2,4,5,9,10
Api yang dihasilkan akibat ledakan dapat mengakibatkan luka bakar karena temperatur
gas dapat mecapai 3000o C. Derajat luka bakar ditentukan oleh besarnya peningkatan
temperatur dan lama terjadinya peningkatan ini1. Luka bakar yang terjadi akibat ledakan
pada ruang tertutup mempunyai luas yang lebih besar. Prevalensi luka bakar pada trauma
ledakan sangat bervariasi. Beberapa kepustakaan menyebutkan luka bakar jarang ditemukan
pada orang yang selamat. Di Israel, prevalensi sekitar 30% dari orang-orang yang selamat.
Umumnya luka bakar yang terjadi superfisial dengan lokasi yang terekspos. Luka bakar yang
berat (derajat 3) terjadi pada korban-korban yang berada dekat dengan sumber ledakan,
seperti pada pasien pertama. Luka bakar pada traktus respiratorius atas jarang ditemukan. 3,5,9,10
Sistem Kondisi Luka
Pendengaran Ruptur membrane timpani, pecahnya ossicular,
kerusakan koklea, benda asing
Mata, orbita, wajah Perforasi bola mata, benda asing, emboli udara,
fraktur
Pernapasan trauma paru, hemotoraks, pneumotoraks, luka
memar pada paru-paru, dan perdarahan, fistel
arteri-vena (sumber dari emboli udara),
kerusakan epitel jalan napas, pneumonitis
aspirasi, sepsis
Pencernaan Perforasi usus, perdarahan, ruptur hati atau
limpa, sepsis, iskemia mesenterika dari emboli
54
udara
Sirkulasi Contusio jantung, infark miokard dari emboli
udara, shock, hipotensi vasovagal, luka
vaskuler perifer, luka yang disebabkan oleh
emboli udara
Trauma CNS Geger otak, luka otak terbuka dan tertutup,
stroke, trauma medulla spinalis, luka yang
disebabkan oleh emboli udara
Trauma ginjal Contusio ginjal, laserasi,gagal ginjal akut yang
disebabkan oleh rabdomiolisis, hipotensi, dan
hipovolemi
Trauma ekstremitas Amputasi traumatik, fraktur, crush injury,
sindrom kompartamen, terbakar, terpotong,
laserasi, penutupan arteri akut, luka yang
disebabkan oleh emboli udara
a. Manifestasi Klinis dan Mekanisme
Tiga gejala klinis yang terdapat pada barotrauma secara umum adalah : efek pada sinus
atau telinga tengah, penyakit dekompresi, dan emboli gas arteri.Barotrauma yang terjadi
pada saat penurunan disebut squeeze. Gejala Knilis pada barotrauma bergantung pada
daerah yang mengalami gangguan, yaitu sebagai berikut:
1. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Luar
Barotrauma pada telinga luar dapat terjadi bila telinga bagian luar mengalami
obstruksi, sehingga volume gas tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi
selama proses turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung yang
ketat, wax pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau eksostosis atau menggunakan
penutup telinga. Biasanya obstruksi pada saluran telinga bagian luar ini akan
menyebabkan penonjolan membran timpani disertai perdarahan, swelling dan hematom
pada kulit yang melapisi saluran telinga bagian luar. Kondisi seperti ini dapat
ditemukan pada saat menyelam dengan kedalaman sedikitnya 2 meter.9,13
55
Gambar 10. Barotrauma penurunan (squeeze) pada telinga luar
(dikutip dari kepustakaan 14)
Gambar di atas menunjukkan patofisiologi pada telinga luar dimana adanya
obstruksi pada telinga luar (seperti penutup telinga) dapat menimbulkan suatu ruang
udara yang dapat berubah volumenya sebagai respon terhadap perubahan tekanan
lingkungan. Ketika menyelam, volume pada ruang ini menurun dan menyebabkan
membran timpani terdorong keluar (ke arah meatus eksterna). Hal ini dapat
menyebabkan nyeri dan perdarahan kecil pada membran timpani.14
Blok atau obstruksi pada telinga luar mungkin dapat mencegah suatu penyamaan
tekanan saat menyelam. Oleh karena itu, penutup telinga tidak boleh digunakan saat
menyelam. Gejala yang ditemukan dapat berupa perdarahan pada telinga luar hingga
perdarahan pada membran timpani. Tidak ada terapi spesifik yang diperlukan dan
penyelamam dapat dilakukan kembali ketika jaringan telah sembuh.15
2. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Tengah
Barotrauma pada telinga tengah merupakan barotrauma yang paling umum.
Membran Timpani merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang telinga
tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar gendang telinga, untuk
menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan udara harus mencapai bagian dalam dari
gendang telinga, melalui tuba eustakius. Ketika tabung eustakius ditutupi oleh mukosa,
56
maka telinga tengah memenuhi empat syarat terjadinya barotrauma (adanya gas dalam
rongga, dinding yang kaku, ruang tertutup, penetrasi pembuluh darah). 9,13
Jika seorang penyelam terus turun pada kedalaman, maka akan terjadi
ketidakseimbangan tekanan. Jika terjadi peningkatan tekanan maka gendang telinga
akan terdorong ke dalam, awalnya akan terjadi penekanan gas yang berada pada
telinga tengah, sehingga pada batasan tertentu terjadi tekanan pada telinga tengah lebih
rendah dari tekanan air diluar, menciptakan vakum relatif dalam ruang telinga tengah.
Tekanan negatif ini menyebabkan pembuluh darah pada gendang telinga dan lapisan
pertama telinga tengah akan terjadi kebocoran dan akhirnya dapat pecah. Jika terus
menurun, selain pecahnya gendang telinga yang menyebabkan udara atau air dapat
masuk kedalam telinga tengah untuk menyamakan tekanan, dapat pula terjadi pecahnya
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan ke dalam telinga tengah untuk
menyamakan tekanan.9,13
Gejala yang dapat ditemukan jika terjadi tekanan pada telinga tengah yaitu nyeri
akibat terjadi peregangan pada gendang telinga. Rasa sakit sering dirasakan sebelum
pecahnya gendang telinga. Gejala tersebut dapat sedikit berkurang dengan berhenti
untuk menyelam yang lebih dalam dan segera naik beberapa meter secara perlahan. 9,13
Jika penyelaman ke bawah terus berlanjut, meskipun ada rasa sakit, dapat terjadi
pecahnya gendang telinga. Ketika pecah terjadi, nyeri akan berkurang dengan cepat.
Kecuali penyelam memakai pakaian diving dengan topi keras, rongga telinga tengah
dapat terkena air ketika pecahnya gendang telinga tersebut. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya infeksi telinga tengah, dan disarankan agar tidak menyelam sampai
kerusakan yang terjadi sembuh. Pada saat membran timpani pecah, penyelam dapat
tiba-tiba mengalami vertigo. Hal tersebut dapat menyebabkan disorientasi, mual dan
muntah. Vertigo ini terjadi akibat adanya gangguan dari maleus, inkus dan stapes, atau
dengan air dingin yang merangsang mekanisme keseimbangan telinga bagian dalam.
Barotrauma pada telinga tengah terjadi tidak harus disertai dengan pecahnya membran
timpani. 9,13
57
Gambar 11. Barotrauma Penurunan (Squeeze) pada telinga tengah
(Dikutip dari kepustakaan 14)
Masalah yang paling sering terjadi ketika penerbangan dan menyelam adalah
kegagalan dalam menyamakan tekanan antara telinga tengah dan tekanan lingkungan.
Persamaan tekanan terjadi melalui tuba eustakius, yang merupakan jaringan lunak
berbentuk tabung yang berasal dari belakang hidung hingga ruang telinga tengah.
Kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan kecepatan dari perubahan tekanan
lingkungan. Ketika penyelam menyelam hanya 2,6 kaki dengan kesulitan menyamakan
tekanan pada telinga tengahnya, membran timpani dan tulang-tulang pendengaran akan
tertarik, dan penyelam merasakan suatu tekanan dan rasa nyeri. Pada tekanan yang
lebih tinggi, tuba eustakius mungkin tertutup oleh tekanan negatif dari telinga tengah.
Hal ini dapat terjadi pada kedalaman 3,9 kaki dibawah laut. Peningkatan yang lebih
tinggi lagi dapat menyebabkan ruptur membran timpani.14
Gejala dari barotrauma berupa nyeri dan ketulian. Tinnitus dan vertigo tidak
terlalu terlihat pada kasus ini. Tergantung pada luas cederanya, pada otoskopi dapat
terlihat injeksi pembuluh darah atau perdarahan pada membran timpani, perforasi
membran timpani, atau darah pada telinga tengah. Audiometri memberikan suatu
diagnosis tuli konduktif tanpa komponen sensorineural. Pengobatan yang dilakukan
adalah berdasarkan gejalanya. Dalam beberapa hari hingga minggu, gejala menghilang
dan penampilan membran timpani dapat kembali normal.15
58
3. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Dalam
Terjadi bila pada saat penyelam naik ke permukaan dengan cepat sehingga
tekanan pada membran timpani diteruskan pada tingkap bulat dan lonjong sehingga
meningkatkan tekanan telinga dalam. Ruptur tingkap bulat dan lonjong dapat terjadi
dan mengakibatkan gangguan telinga dalam sehingga gejala yang ditemukan adalah
gangguan keseimbangan dan pendengaran seperti vertigo persisten dan kehilangan
pendengaran. 9,13
Gejala klinis yang biasa terjadi pada barotrauma telinga dalam yaitu adanya
tinnitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, adanya vertigo, mual dan muntah.
Kehilangan pendengaran juga dapat disebabkan oleh adanya emboli pada pembuluh
darah arteri labirin yang mensuplai darah pada koklea. Dimana fungsi koklea sangat
sensitif terhadap pembuluh darah yang memberi suplai ke koklea. Adanya emboli pada
arteri labirin yang mensuplai koklea akan mengganggu fungsi dari koklea. Emboli,
trombus, penurunan aliran darah atau vasospasme pada pembuluh darah arteri labirin
dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.2,16
Gambar 12. Barotrauma telinga dalam
(Dikutip dari kepustakaan 14)
Cedera pada telinga dalam selama penyelaman dikaitkan dengan adanya
ketidakmampuan untuk menyamakan telinga tengah. Perubahan tekanan yang tiba-tiba
dan besar pada teling tengah dapat diteruskan ke telinga dalam, meyebabkan
kerusakan pada mekanisme telinga dalam. Hal ini dapat menyebabkan adanya vertigo
berat dan ketulian. Terdapat dua mekanisme teori unutk menjelaskan telinga dalam :
implosif dan eksplosif. Pada teori implosif, tekanan diteruskan melalui retraksi ke
dalam membran timpani, menyebabkan tulang-tulang pendengaran bergerak menuju
telinga dalam pada tingkap lonjong. Tekanan ini diteruskan ke telinga dalam dan
menyebabkan pendorongan pada tingkap bundar. Jika penyelam melakukan manuver
59
politzer dan tuba eustakius terbuka secara tiba-tiba, tekanan telinga tengah meningkat
dengan sangat cepat. Hal ini menyebabkan tulang pendengaran kembali ke posisi
semula, sehingga tingkap bundar rusak. Sedangkan pada teori ekslosif, penyelam tidak
dapat membuka tuba eustakius, sehingga tekanan intrakranial terus meningkat selama
penyelam melakukan manuver politzer. Karena cairan otak berhubungan dengan
cairan pada telinga dalam, maka tekanan ini akan diteruskan ke telinga dalam. Hal ini
akan menyebabkan tingkap bundar ataupun tingkap lonjong telinga dalam pecah.14,15
4. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Sinus Paranasalis
Barotrauma pada sinus terjadi bila pasase yang menghubungkan sinus dan
ruangan lainnya tertutup karena mukosa maupun jaringan. Gejala yang ditemukan
adalah adanya nyeri pada sinus yang terkena dan pendarahan dari hidung yang berasal
dari sinus yang terkena. 9,17
Barotrauma yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat disebut
reverse squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk mengeluarkan isi dari
ruangan untuk menyesuaikan tekanan. Overpressure memiliki beberapa gejala yang
berbeda dengan squeeze yaitu:
1. Barotrauma saat naik (Overpressure) Telinga Tengah
Pada overpressure telinga tengah, peregangan dan ruptur membran timpani dapat
terjadi dan mengakibatkan nyeri yang sama dengan squeeze. Sebagai tambahan, dapat
terjadi facial baroparesis dimana peningkatan tekanan mengakibatkan kurangnya suplai
darah pada nervus facialis karena tekanan pada telinga tengah diteruskan ke os
temporalis. Dibutuhkan overpressure selama 10 sampai 30 menit untuk gejala dapat
terjadi, dan fungsi nervus facialis kembali ke normal setelah 5 - 10 menit setelah
penurunan overpressure. 9,13
2. Barotrauma saat naik (Overpressure) Sinus Paranasalis
Gejala pada overpressure sinus sama dengan squeeze pada sinus.9
Kedua mekanisme yang menyebabkan barotrauma telinga dalam akan menyebabkan
terbentuknya fistula perilimfatik. Tingkap bundar lebih sering terkena dibandingkan
tingkap lonjong, tetapi biasanya keduanya dapat ruptur. Gejala berupa tinnitus, vertigo
60
dengan mual dan muntah, hilang pendengaran, akan muncul ketika menyelam. Biasanya
terdapat bukti barotrauma telinga tengah, tetapi membran timpani mungkin terlihat normal.
Tuli berupa tuli sensorineural, diikuti oleh nistagmus dan tes fistula yang positif.18,19
Kategori Karakteristik Bagian tubuh yang
terkena
Tipe dari luka
PRIMER Khusus untuk ledakan
yang besar, hasil dari
pengaruh gelombang
tekanan udara yang
berlebih dengan
permukaan tubuh
Organ berisi gas
sangat mudah terkena,
seperti paru-paru,
saluran cerna, dan
telinga tengah
-ledakan pada paru-
paru (barotrauma
paru-paru)
-ruptur membrane
timpani dan kerusakan
telinga tengah
-perforasi dan
perdarahan abdomen
-ruptur mata
-geger otak
SEKUNDER Hasil dari puing-puing
yang beterbangan dan
fragmen bom
Setiap bagian tubuh
mungkin terkena
-peluru yang menusuk
(fragmentasi) atau
luka tumpul
-penembusan ke mata
TERSIER Hasil dari individu
yang terbentur objek
padat
Setiap bagian tubuh
mungkin terkena
-fraktur dan amputasi
traumatik
-luka otak terbuka dan
tertutup
KUARTER -semua ledakan-
dihubungkan dengan
luka,penyakit atau
penyakit yang tidak
disebabkan oleh
kategori primer,
Setiap bagian tubuh
mungkin terkena
-luka bakar (percikan,
parsial, dan general)
-crush injury
-Trauma kepala
terbuka dan tertutup
-asma, COPD, atau
61
sekunder atau tersier
-termasuk eksaserbasi
atau komplikasi dari
kondisi yang terjadi
masalah pernapasan
lainnya yang berasal
dari debu, asap, atau
gas beracun
-angina
-hiperglikemia,
hipertensi
Medikolegal
Aspek Medikolegal
Kematian oleh arus listrik biasanya tidak disengaja dari peralatan listrik rusak atau
kelalaian dalam penggunaan peralatan. Dalam industri, kematian dapat dihasilkan dari kontak
dengan kabel yang berarus, atau dari alat-alat penerangan, alat-alat elektronik, ataupun saklar-
saklar. Kematian dapat terjadi selama terapi kejang untuk pasien dengan gangguan jiwa namun
kasus tersebut jarang, kecuali sebagai kasus bunuh diri, dan bahkan pembunuhan telah terjadi.
Organ dalam harus dianalisis untuk mengetahui apakah korban telah rusak pada saat kecelakaan.
Bunuh diri jarang terjadi. Orang biasanya menggulung kawat ke pergelangan tangan atau jari-
jarinya, yang kemudian dihubungkan ke arus listrik, dimana saklar terlihat dalam posisi on.
Kurang dari setengah korban sambaran petir meninggal. Mati akibat petir adalah selalu
akibat dari kecelakaan. Kadang-kadang, mayat korban luka petir terlihat sebagai korban
kekerasan. Korban tersebut dapat ditemukan di lapangan terbuka dengan gambaran memar, luka
robek, dan fraktur. Pada kasus ini, diagnosis harus ditegakkan berdasarkan riwayat badai petir di
wilayah lokal tersebut, bukti adanya efek dari sambaran petir, dan magnetisasi terhadab bahan
logam.
Prosedur Medikolegal1,2
Dalam ilmu kedokteran forensik, peranan ilmu kedokteran forensik berfungsi membantu
penegakan hukum antara lain pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim
oleh polisi (penyidik). Tujuan pemeriksaan forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui
penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut, dimaksudkan untuk
62
memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Peristiwa yang dapat mengakibatkan tindak pidana
antara lain peristiwa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan,
perkosaan, maupun korban meninggal. Korban dengan luka ringan merupakan salah satu hasil
tindak pidana tersebut, yaitu berupa penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), korban dengan luka
sedang merupakan hasil dari tindak penganiayaan, dan korban dengan luka berat.
Pada kasus tersebut, penyidik membutuhkan bantuan dari ahli, salah satunya dokter
maupun ahli kedokteran kehakiman, untuk mengungkap kasus dan membuat perkara menjadi
lebih terang agar kasus bisa terselesaikan. Hal ini dikarenakan, dokterlah seseorang yang paling
memahami tubuh manusia. Peranan dokter maupun ahli kedokteran kehakiman tersebut tertuang
dalam Pasal 133 ayat 1 KUHAP yang berbunyi, “Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Yang dimaksud keterangan ahli tertuang dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang berbunyi,
“keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Surat
keterangan ahli ini dinyatakan dalam surat yang disebut visum et repertum, sesuai dengan Pasal
133 ayat 2 KUHAP, dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah di pengadilan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum juga berguna dalam proses penyidikan.
Keterangan ahli yang berupa Visum et Repertum (VER) tersebut adalah keterangan yang
dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik
terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan. Seorang dokter
juga berkewajiban memberikan keterangan ahli seperti yang diminta penyidik yang berwenang
tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 179 KUHAP yang berbunyi, “Setiap orang yang
diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan.”
Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV) perlu diperiksa kelengkapannya sebelum
dokter atau ahli kedokteran kehakiman melakukan pemeriksaan dan membuat visum et repertum.
63
Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983, bahwa kelengkapan SPV
harus memenuhi kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban,
dugaan penyebab kematian, permintaan jenis pemeriksaan, jabatan peminta visum, dan tanda
tangan peminta visum. VER pun memiliki lima komponen tetap yang terdiri dari Pro Justitia,
bagian Pendahuluan, bagian Pemberitaan, bagian Kesimpulan, dan bagian Penutup.
VER merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai otentik karena dibuat atas sumpah
jabatan sebagai seorang dokter. Sesuai dengan Stb 350 tahun 1937 yang menyatakan bahwa
visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah sewaktu
mulai menjabat sebagai dokter. Pada kasus perlukaan, korban yang dimintakan visum et
repertumnya adalah kasus dengan dugaan adanya tindak kekerasan yang diancam hukuman oleh
KUHP. Seorang dokter untuk membantu peradilan, wajib membuktikan adanya luka atau memar.
Derajat luka sangat diperlukan untuk menentukan hukuman yang akan diterima oleh korban,
sehingga dokter harus menentukan derajat luka dengan benar. Dokter harus menuliskan luka-
luka, cedera, atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebab, serta derajat perlukaan, pada
visum et repertum.
Penganiayaan1,2
Untuk mengetahui peyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakit pada korban
hidup maka diperlukan pemeriksaan kedokteran forensik. Hal ini dimaksudkan utuk memenuhi
rumusan delik dalam KUHP. Oleh karena itu, catatan medic pada setiap pasien harus lengkap
hasil pemeriksaannya, terutama korban yang diduga tindak pidaa. Hal ini diperlukan untuk
pembuatan visum et repertum.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan
ringan, seperti yang tertuang dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap
orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
64
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada korban dengan luka sedang, dapat pula merupakan hasil dari tindak penganiayaan,
seperti yang disebutkan pada Pasal 351 KUHP ayat (1) yang berbunyi “Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak
4500 rupiah” dan Pasal 353 KUHP ayat (1) yaitu: “Penganiayaan dengan rencana lebih
dahulu, diancam dengan pidana pejara palig lama 4 tahun.”
Korban dengan luka berat seperti yang disebutkan pada pasal 90 KUHP adalah sebagai
berikut:
Luka berat berarti:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindra;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya piker selama empat minggu lebih;
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Hasil dari tindak penganiayaan tersebut dengan akibat luka berat diatur dalam pasal 351
ayat (2) yang berbunyi: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana pejara paling lama 5 tahun” atau Pasal 353 ayat (2) yaitu “Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikarenakan pidana pejara palig lama tujuh
tahun”. Sementara, jika korban dengan luka berat merupakan akibat penganiayaan berat,
undang-undang mengaturnya dalam Pasal 354 ayat (1) yang berbunyi “Barang siapa dengan
sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun” atau Pasal 355 ayat (1) yaitu “Penganiayaan berat
yang dilakukan dengan rencaa lebih dahulu, diancam degan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”
Sementara dalam KUHP, yang dimaksud penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau halangan pekerjaan,
65
seperti bunyi Pasal 352 KUHP. Umumnya, korban datang tanpa luka, atau dengan luka lecet atau
memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu.
Luka-luka ini dimasukkan ke kategori luka ringan atau luka derajat satu.
Hoge Road pada tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan pengertian penganiayaan yang tidak
disebutkan di KUHP, bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka.
Dalam hal ini, semua keadaan yang “lebih berat” dari luka ringan dimasukkan ke dalam kategori
luka sedang (luka derajat dua) dan luka berat (luka derajat tiga). Luka sedang adalah keadaan
yang terletak di antara luka ringan dan luka berat.
Penentuan derajat luka ini penting utuk membuat visum et repertum, sehingga dokter
harus memeriksa dengan teliti korban yang datang. Uraian yang dibuat meliputi keadaan umum
sewaktu datang, letak, jenis dan sifat luka serta ukuran, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan
medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit, dan keadaan akhir saat perawatan. Secara
objektif, dapat dimasukkan gejala yang ditemukan pada korban.
Pembunuhan
KUHP Pasal 338 ( pembunuhan)
“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
KUHP Pasal 340 (pembunuhan)
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan hukuman penjara
seumur hidup/penjara selama-lamanya 20 tahun”.
KUHAP Pasal 133 (otopsi)
Pasal 133 KUHAP :
• Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
• Ayat 2:
66
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
• Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki
atau bagian lain badan mayat.
KUHP Pasal 345 (bunuh diri)
“ Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”.
KUHP Pasal 359 (kecelakaan)
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Daftar Pustaka (PETIR)
1. Hoediyanto, H. Trauma Listrik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Universitas
Airlangga, Surabaya. [online]. 2012. [cited 3 september 2012]. Available from :
http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/Tr.%20Listrik.pdf
2. Mansjoer, Arif, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta,
2000; p 218, 222-223
67
3. Wright RK., Electrical Injuries [online] July 25th 2007 [cited on 2008 March 26 th] available
at : http:// www.emedicine.com/EMERG/topic162.htm - 105k
DAFTAR PUSTAKA (TRAUMATOLOGI )
Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 67-91.
De Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 67-8.
Kumar, Vinay, Ramzi S. Cotran dan Stanley L. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta:
EGC. 35-84.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1. Jakarta: EGC. 56-75.
DAFTAR PUSTAKA(BLASTRAUMA)
1. Tamiri T. Seigel J, Knupfer G, eds. Explosions in Encyclopedia of Forensic Science, Three
Volume Set. 2000: Academic Press; p. 732-734, 761-767
2. DePalma RG, Burris DG, Champion HR, et all. Blast Injuries. Updates March 32, 2005.
Available on: N Engl J Med 2005; 352:1335-1342. www.nejm.org
3. Saputra, YE. Mekanisme Ledakan Bom. 20 Januari 2008. www.chemistry.org
4. Diah, E. Trauma Ledakan. [cited Jan, 8th 2011]. Avalaible from URL
http://www.localhost.com.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Explosions and Blast Injuries: A Primer for
Clinicians. Updates June 14, 2006. Available on:
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/explosions.asp
6. Goh SH. Bomb Blast Mass Casualty Insidents: Initial Triage and Management of Injuries.
Updartes March 8, 2009. Available on: SMJ 3B CME Programme.
http://smj.sma.org.sg/5001/5001me1.pdf
7. Born, Departement of Orthopaedic Surgery, Rhode Islands Hospital, Brown University,
Medical Office Center. Blast Trauma: The Fourth Weapon of Mass Destruction. Updates
October 5, 2005. Available on: http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS42005-279.pdf
8. Anonimous. Blast Injury. Updates January 12, 2011. Available on:
http://en.wikipedia.org/wiki/Blast_injury
68
9. Leung SH, Cheung KY, Yau HH, Kam CW. Case Report : Blast Injury. Hon kong Journal Of
Emergency Medicine. 2002: 46-51.
10. Bhatoe, M. Ch Col Harjinder S. Blast injury and the neurosurgeon. Department of
neurosurgery. Indian Journal of Neurotrauma. 2008;3-6.
DAFTAR PUSTAKA(BAROTRAUMA)
1. Soepardi E, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Hal. 10-13, 65
2. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC. 1997. Hal.
90-2.
3. Kaplan J. Barotrauma. http://www.emedicine.medscape.com/article/768618.htm (diakses
tanggal 16 januari 2014).
4. Safer, D. Barotrauma. Spain: EBSCO Publishing. 2011.
5. Aly, Rusly, dr. Barotrauma. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
2010;35-8.
6. Cummings, Charles W. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery Fourth
Edition. Maryland: Elsevier.2005.
7. Netter, F. Interactive Atlas Of Human Anatomy. England : Novahte. 2004. P. 215-26
8. Dosen Bagian Ilmu Penyakit THT. Anatomi Sinus Paranasalis. Medan: Bagian Ilmu
Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2012;1-13.
9. Edmonds, Carl MD, et al. Physics Diving Chapter 2 dalam Diving Medicine for SCUBA
Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 11-28.
10. Direction of Commander, Naval Sea Systems of Command. Mixed Gas Surface Supplied
Diving Operations in US Navy Diving Manual Revision 6. 2011; 180-199.
11. Ajeng, Darmafindi dan Indriawati Ratna. Pengaruh Frekuensi Penggunaan Pesawat
Terbang dengan Kejadian Barotrauma. Yogyakarta: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2011.;1-6.
12. Ballenger, JJ. Etc. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. USA:
PMPH-USA. 2009. P. 215-6
69
13. Edmonds, Carl MD, et al. Ear Barotrauma Chapter 9 dalam Diving Medicine for SCUBA
Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 90-107.
14. Bentz, BG. Barotrauma. American Hearing Research Foundation. 2012
15. Becker, G. Medical Aspect of Scuba Diving. Current concepts in otolaryngology. P. 40-
54
16. Bailey, BT. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Londong : Lippincott Williams &
Wilkins . 2006. P.4-5
17. Edmonds, Carl MD, et al. Sinus Barotrauma Chapter 10 dalam Diving Medicine for
SCUBA Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 108-112.
18. Mirza, S. etc. Otic Barotrauma from Air Travel. UK : The Journal of Laryngology &
Otology. 2005.
19. Lalwani, AK. Current Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and Neck Surgery.
2nd Edition. NY: The McGraw Hill Companies. 2007. P. 57
20. MedlinePlus. Ear Barotrauma.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001064.htm (diakses tanggal 16
Janurai 2014)
21. Metin, TO. Diagnosis in Othorhinolaryngology- An Illustrated Guide. Turkey : Springer.
2009. P. 33
22. Andrianto P. Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1993. Hal. 114-5
23. Zhang, JH.Oxygen Therapy in Ischemic Stroke.American Heart Association Journal.
2003
24. Menner, AL. A Pocket Guide to The Ear. New York : Thieme Stuttgart. 2003. P. 85
DAFTAR PUSTAKA(luka termal)
1. Grace, Pierce A., MCh, FRCSI, FRCS. Borley, Neil R. FRCS, FRCS (Ed). Burns in
Surgery at a Glance. Second edition. Oxford: Blacwell Science. 2002. Hal 75.
2. Di Maio, Vincent J. Dominick J. Di Maio. Fire Death. in Forensik Pathology, Second
Edition. CRC Press LCC. 2001. Hal. 385-397
3. Shehan Hettiaratchy, Peter Dziewulski. ABC of Burns.
70
4. Potenza, Bruce. dkk. Burn Injuries. in Wilson, William C. MD, MA, dkk. Trauma -
Emergency Resuscitation, Perioperative Anesthesia, Surgical Management. Volume 1.
Informa Healthcare USA, Inc. hal: 645, 648-651, 654
5. ---. Luka Bakar. [online] 4 Juni 2012. [cited] 16 Juli 2012. Available from url:
http://id.wikipedia.org/wiki/Luka_bakar
6. Heller, Jacob L. MD, MHA. Zieve, David MD, MHA. Burns. [online] 4 Juni 2012. [cited]
16 Juli 2012. Available from url:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000030.htm
7. Dix, Jay. Color Atlas of Forensic Pathology. CRC Press LLC. 2000. hal. 116-121
8. Knight, Bernard. Simpson’s Forensic Medicine. Eleventh edition. A Member of Header
Headline Group co-published Oxford University Press. Inc. New York. Hal. 144-146
9. Rutty, Guy N (ed). Death from Burns in Essentials of Autopsy Practice, Current Method and
Modern Trends. Springer. 2006. Hal 221-226
10. Skhrum, Michael J. MD., Ramsay, David A., MB, ChB. Thermal Injury in Forensic
Pathology of Trauma. Humana Press. 2007. Hal 188-190, 193-194.
11. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012.p.151-163
12. Kanitakis, J. Anatomy, histology and immunohistochemistry of normal humanskin. Volume
12. European Journal of Dermatology, 2002. p. 390-401
13. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,Rudiman R. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010.p 103-120
14. Moenadjat Y. Luka bakar pengetahuan klinik praktis. Ed.2. Jakarta: FKUI; 2003. p 11-130.
15. Grace PA, Borley NR. At a Glance Ilmu Bedah.Edisi ke-3. Jakarta:Erlangga Medical Series;
2006.p.86-89
16. James M Becker. Essentials of Surgery.1th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. p
118-129
17. Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. 12thedition.New York :
McGraw- Hill Companies; 2010.p 245-259
18. Holmes JH,Heimbach DM. Schwartz’s Principles of Surgery. 18t th edition. New York:
McGraw-Hill; 2010. p.189-216
19. Schwartz S, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.Jakarta: EGC; 2000.p.97-127
DAFTAR PUSTAKA( MEDIKOLEGAL)
71
1. Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik
FKUI; 1997.
2. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran
Forensik FKUI; 1994.
72