Referat TIA

39
HALAMAN SAMPUL REFERAT Transient Ischemic Attack Oleh: Bagus Gede Krisna Astayogi (092011101010) Abcharina Rachmatina (102011101099) Pembimbing: dr. Hj. Supraptiningsih, Sp.S SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSD. dr. SOEBANDI JEMBER 1

Transcript of Referat TIA

HALAMAN SAMPUL

REFERAT

Transient Ischemic Attack

Oleh:

Bagus Gede Krisna Astayogi (092011101010)

Abcharina Rachmatina (102011101099)

Pembimbing:

dr. Hj. Supraptiningsih, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSD. dr. SOEBANDI JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

1

HALAMAN SAMPUL

REFERAT

Transient Ischemic Attack

diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF Saraf

RSD dr. Soebandi Jember - Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Oleh:

Bagus Gede Krisna Astayogi (092011101010)

Abcharina Rachmatina (102011101099)

Pembimbing:

dr. Hj. Supraptiningsih, Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RSD. dr. SOEBANDI JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

20142

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Stroke atau penyakit serebrovaskuler mengacu kepada setiap gangguan

neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran

darah melalui sistem suplai arteri otak (Price dan Wilson, 2006). WHO

mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat

akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa

adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 2006).

Secara global, penyakit serebrovaskular (stroke) merupakan penyebab

kematian kedua. Ini adalah penyakit yang dominan terjadi pada orang dewasa

usia pertengahan dan lebih tua. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2005,

stroke menyumbang 5,7 juta kematian di dunia, setara dengan 9,9% dari

seluruh kematian. Lebih dari 85% dari kematian ini akan terjadi pada orang

yang hidup di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dan

sepertiga terjadi pada orang berusia kurang dari 70 tahun (WHO, 2006).

Di Indonesia, prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000

penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe

Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua

(3,8 per 1.000 penduduk). Menurut Riskesdas tahun 2007, stroke, bersama-

sama dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung

lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di

Indonesia. Stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian

utama semua usia di Indonesia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2008).

Otak mengontrol fungsi tubuh kita, bagaimana kita berpikir, melihat,

berbicara, dan bergerak. Sinyal-sinyal ke dan dari otak yang ditransmisikan

melalui medulla spinalis ke seluruh tubuh. Sisi kanan otak mengendalikan sisi

kiri tubuh, dan sisi kiri otak mengendalikan sisi kanan tubuh (Rothwell,

2007).  

3

Suplai darah ke otak berasal dari arteri karotis (dikenal sebagai

sirkulasi anterior) dan arteri vertebralis yang berasal dari medulla spinalis

(disebut sebagai sirkulasi posterior). Ketika area otak kehilangan atau

terhentinya suplai darah dan bagian tubuh yang dikendalikan juga berhenti

bekerja, hal inilah yang menjadi penyebab stroke atau CVD (Cerebro Vascular

Desease) (Rothwell, 2007). Penyebab stroke didominasi oleh plak

arteriosklerotik yang terjadi pada satu atau lebih arteri yang memberi aliran

darah berupa nutrisi dan makanan ke otak. Plak biasanya mengaktifkan

mekanisme pembekuan darah, dan menghasilkan bekuan untuk membentuk

dan menghambat arteri, dengan demikian menyebabkan hilangnya fungsi otak

secara akut pada area yang terlokalisasi (Guyton, 2005).

Ketika otak kehilangan suplai darah, otak akan mencoba memulihkan

aliran darah. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari sel-sel otak

yang terkena dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA

(Transient Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara atau mini stoke

(Rothwell, 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk

membuat suatu referat yang berjudul “Transient Ischemic Attack”.

4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara

tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari

24 jam) (Sidharta, 2012). Sekelompok ahli baru-baru ini mendefinisikan TIA

sebagai episode singkat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik otak

fokal atau retina, dengan gejala klinis biasanya berlangsung < 1 jam, dan tanpa

bukti infark akut. Setiap definisi memiliki kelebihan dan kekurangan, dan definisi

yang tepat saat ini masih dalam perdebatan. Kebanyakan penelitian yang

dilakukan telah menggunakan definisi klasik, yaitu defisit neurologis berlangsung

< 24 jam karena iskemik fokal di otak atau retina (Johnston, 2007).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Sekitar 200.000 sampai 500.000 TIA didiagnosis setiap tahun di Amerika

Serikat. TIA membawa risiko jangka pendek sangat tinggi stroke, dan sekitar 15

% dari stroke didiagnosis didahului oleh TIA .

Insiden TIA meningkat dengan bertambahnya usia, dari 1-3 kasus per

100.000 pada usia yang lebih muda dari 35 tahun meningkat menjadi 1.500 kasus

per 100.000 pada usia lebih dari 85 tahun. Kurang dari 3 % dari semua infark

serebral besar terjadi di anak-anak. Stroke Pediatric sering memiliki etiologi yang

sangat berbeda dari stroke dewasa dan cenderung terjadi dengan frekuensi lebih

sedikit.

Insiden TIA pada pria (101 kasus per 100.000 penduduk) secara signifikan

lebih tinggi dibandingkan pada wanita (70 per 100.000). Insiden TIA di kulit

hitam (98 kasus per 100.000 penduduk) lebih tinggi dibandingkan dalam putih (81

per 100.000 penduduk) (Nanda, 2013).

2.3 ETIOLOGI

Transient Ischemic Attack (Serangan Iskemik Sesaat) disebabkan oleh

faktor penyebab yang sama dengan stroke. Iskemia adalah istilah kedokteran yang

5

biasa digunakan untuk menggambarkan penurunan suplai darah dan oksigen pada

sel. Stroke iskemik terjadi saat arteri yang mensuplai perdarahan otak mengalami

gangguan. Keadaan ini bisa disebabkan oleh stenosis dari arteri, yang

mengganggu aliran darah, kemudian menyebabkan turbulensi yang dapat

membentuk trombus. Klot tersebut dapat terbentuk pada arteri yang

memperdarahi otak, atau dapat terjadi pada bagian tubuh lainnya yang kemudian

terbawa sampai ke otak.

Partikel bebas yang terbawa arus dinamakan embolus, dan klot yang

terbawa bebas dinamakan tromboemboli. Klot lokal dan yang berasal dari bagian

tubuh lainnya merupakan penyebab utama dari stroke dan TIA. Emboli otak yang

paling sering menjadi penyebab stroke berasal dari arteri carotis pada leher.

Faktor resiko terjadinya TIA sama dengan faktor resiko penyebab stroke,

yaitu:

- Hipertensi

Merupakan penyebab utama pada stroke. Meskipun seseorang dengan

peningkatan tekanan darah sedang, tetap memiliki resiko lebih tinggi

untuk terkena stroke dibandingkan seseorang dengan tekanan darah

yang normal. Tekanan darah yang lebih tinggi berarti resiko yang

meningkat. Meskipun pengurangan tekanan diastol yang hanya sebesar

6 mmHg, nilai tersebut dapat menurunkan resiko stroke sebesar 42%.

- Merokok

Merupakan faktor resiko kedua pada stroke. Konsumsi tembakau lebih

dari satu bungkus sehari dapat melipatgandakan resiko terkena stroke.

Berhenti merokok selama 5 tahun akan mengurangi resiko terjadinya

stroke hingga sama dengan resiko pada orang yang tidak pernah

merokok.

- Penyakit Jantung dan Aritmia

6

Keadaan ini juga sering menjadi penyebab stroke, namun beberapa

keadaan tersebut bersifat kongenital. Tipe aritmia yang dinamakan

atrial fibrilasi seringkali dihubungkan dengan terjadinya stroke.

- Konsumsi alkohol berlebihan

Mengurangi jumlah alkohol yang dikonsumsi setiap hari atau berhenti

mengkonsumsi alkohol dapat menurunkan resiko stroke.

Berikut merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi:

- Peningkatan usia akan menyebabkan peningkatan resiko terhadap

stroke

- Diabetes melitus meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler dan

serebrovaskuler. Kadar gula darah yang terkontrol dapat menurunkan

resiko terjadinya stroke (chealth canoe).

Beberapa penyebab potensial terjadinya stroke telah dapat diindentifikasi,

termasuk di antaranya:

- Aterosklerosis pada arteri karotis eksterna dan arteri vertebral serta

arteri intrakranial.

- Embolus: akibat dari penyakit katup, trombus pada ventrikel,

pembentukan trombus akibat atrial fibrilasi, kelainan pada arkus aorta,

pembentukan emboli akbibat foramen oval yang paten (PFO) atau

defek pada septum atrium (ASD).

- Disesksi pembuluh darah arteri

- Arteritis yang disebabkan proses inflamasi pada arteri yang terjadi

terutama pada usia lanjut, lebih sering pada wanita; karena

noninfectious necrotizing vasculitis (penyebab utama); obat-obatan;

radiasi, trauma lokal, dan penyakit jaringan ikat.

- Obat-obatan simpatomimetik

- Lesi akibat masa (tumor atau subdural hematoma), kejadian ini jarang

menimbulkan gejala yang sesaat (TIA), lebih mengarah kepada gejala

yang progresif dan presisten.

7

Hiperkoagulasi (akibat genetik, kanker, maupun proses infeksi)

2.4 PATOFISIOLOGI

Patogenesis Infark Otak

Derajat ambang batas aliran darah otak yang secara langsung berhubungan

dengan fungsi otak, yaitu:

a. Ambang fungsional adalah batas aliran darah otak (50-60cc/100gr/menit),

yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal,

tetapi integritas sel-sel masih tetap utuh.

b. Ambang aktivitas listrik otak (threshold of brain electrical activity), adalah

batas aliran darah otak (15cc/100gr/menit) yang bila tidak tercapai, akan

menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti, berarti sebagian struktur

intrasel telah berada dalam proses disintegrasi.

c. Ambang kematian sel (threshold of neuronal death), yaitu batas aliran

darah otak yang bila tidak terpenuhi, akan menyebabkan kerusakan total

sel-sel otak (CBF < 15cc/100gr/menit)

Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain

akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah 8

sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,

memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:

a. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat

dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara

klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA), yang

dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yang

berlangsung selama ≤24 jam.

b. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF

regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi mampu

memulihkan fungsi neurologic dalam waktu beberapa hari sampai dengan

2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik terdapat sedikit gangguan.

Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurology

Deficit).

c. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas,

sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tidak dapat mengatasinya.

Dalam keadaan ini akan timbul defisit neurologis yang berlanjut.

Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogeny akibat

perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:

1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat

karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran

pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di

daerah ini tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami

nekrosis.

2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi

masih lebih tinggi daripada daerah ischemic-core. Walaupun sel-sel

tidak mengalami kematian, namun terjadi functional paralysis. Pada

daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi, dan asam laktat meningkat. Tentu

saja terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan

akibat bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan

berwarna pucat. Biasanya disebut sebagai ischemic penumbra. Daerah

9

ini masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen

yang tepat.

3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan

edema. Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2

tinggi dan kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi

sehingga disebut sebgai daerah luxury perfusion.

2.5 TANDA DAN GEJALA KLINIS

Gejala TIA sangat bervariasi antara pasien, namun gejala pada individu

tertentu cenderung sama. Beberapa gejala yang dapat ditemukan:

onsetnya tiba-tiba dan tanpa peringatan, dan pemulihan biasanya terjadi

dengan cepat, sering dalam beberapa menit

mati rasa mendadak atau kelemahan pada wajah, lengan atau kaki ,

terutama pada satu sisi tubuh

kesulitan tiba-tiba melihat pada satu atau kedua mata

kebingungan mendadak , kesulitan berbicara atau memahami

kesulitan mendadak berjalan , pusing , kehilangan keseimbangan atau

koordinasi

tiba-tiba sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya

10

Gejala TIA juga dapat tergantung dari daerah otak yang mengalami

kekurangan dara. Jika iskemik terjadi di daerah karotis, gejala umum yang terjadi

adalah kelemahan dan beratnya lengan, kaki, atau wajah kontralateral, atau

kombinasi dari ketiganya. Mati rasa atau parestesia juga dapat terjadi sebagai

satu-satunya manifestasi dari serangan atau dalam kombinasi dengan defisit

motorik. Ketika arteri ophthalmic (cabang pertama dari arteri karotis interna)

terserang, dapat menimbulkan kebutaan sementara satu mata (amaurosis fugax).

Selama serangan, didapatkan kelemahan falccid dengan distribusi piramidal,

perubahan sensorik, hiperrefleksia atau respon plantar ekstensor pada sisi yang

terkena, disfasia, atau kombinasi dari temuan ini. Selanjutnya, dari hasil

pemeriksaan tidak ditemukan kelainan neurologis, tetapi adanya bruit karotis atau

kelainan jantung dapat memberikan petunjuk untuk penyebab gejala.

Serangan iskemik vertebrobasilar dapat ditandai dengan vertigo, ataksia,

diplopia, dysarthria, keremangan atau kaburnya penglihatan, mati rasa perioral

dan parestesia, dan kelemahan atau keluhan sensorik pada satu, dua, atau

bergantian sisi tubuh. Gejala-gejala ini dapat terjadi secara tunggal atau dalam

kombinasi (Mcphee dan Papadakis, 2011).

2.6 DIAGNOSIS

Gejala dan tanda-tanda TIA kebanyakan telah menghilang pada saat

individu yang terkena tiba di rumah sakit. Oleh karena itu, riwayat kesehatan

orang yang terkena mungkin menjadi dasar konfirmasi diagnosis TIA. Setelah tiba

di rumah sakit, pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis dan

pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan. Beberapa pemeriksaan penunjang

juga dibutuhkan untuk mendiagnosis TIA.

1. Laboratorium

Pada evaluasi awal dari gejala TIA, kadar glukosa darah dan serum

elektrolit sebaiknya diukur untuk menyingkirkan adanya hipoglikemia atau

elektrolit imbalans yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Pemeriksaan

darah lengkap dan waktu koagulasi dapat membantu dalam menemukan adanya

penyakit yang menyangkut proses perdarahan dan terbentuknya trombosis. Pada

11

pasien muda, saat terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP, intoksikasi obat, atau

penyakit pembekuan darah, pemeriksaan tambahan untuk menyingkirkan penyakit

tersebut sebaiknya dilakukan, seperti rapid plasma reagen testing, pemeriksaan

CSF, screening obat pada urin, dan pemeriksaaan hiperkoagulabilitas lengkap.

Kadar lipid puasa juga harus diukur untuk mengetahui adanya resiko

kardiovaskular. Pemeriksaan kadar kolesterol berguna untuk penentuan dosis

penggunaan awal statin untuk mencapai target kadar LDL (AMFP).

Pada perawatan penderita di rumah sakit, maka pemeriksaan rutin

laboratorium selalu dikerjakan, misalnya: hemoglobin (Hb), LED, eritrosit,

trombosit, leukosit, hitung jenis, hematokrit (Ht), serta pemeriksaan hemostasis

lengkap termasuk kadar fibrinogen dan viskositas darah. Selain itu dilakukan juga

pemeriksaan kimia darah lengkap termasuk kolesterol, lipid, dan trigliserida. Dari

pemeriksaan ini diketahui kemungkinan polisitemia dan hiperviskositas darah

(buku stroke).

Pemeriksaan foto kepala dan servikal juga merupakan pemeriksaan yang

dikerjakan pada penderita TIA. Foto vertebra servikal, lateral, dan oblique kanan

dan kiri bermanfaat untuk melihat foramina vertebralis, apakah ada osteofit yang

akan mengganggu atau menekan arteri vertebralis, dan pada gerakan leher dapat

menyebabkan TIA.

AHA/ASA merekomendasikan pemeriksaan neroimaging dalam 24 jam

pertama setelah onset. MRI DWI dipilih sebagai modalitas karena lebih sensitif

dibandingkan CTscan. CT scan masih yang paling sering digunakan dibanding

MRI karena faktor ketersediaan dan keakuratan untuk mengidentifikasi adanya

perdarahan intraserebral. Jika pasien telah menjalani CT scan emergensi, MRI

harus dilakukan sebgai follow-up karena superioritasnya dalam mengidentifikasi

infark serebri (AMFP).

Elektrokardigrafi harus dilakukan dalam perawatan pertama. Transthoracic

atau transesofageal ekokardiografi dapat digunakan untuk untuk melihat sumber

12

emboli jantung dan untuk mengetahui adanya patensi pada foramen oval, penyakit

vaskuler, trombosis jantung, dan aterosklerosis (AMFP).

Pemeriksaan kardiologi merupakan pemeriksaan penting karena gangguan

irama sering menjadi penyebab TIA. Sering dilupakan bahwa hipotensi ortostatik

dapat juga menjadi penyebab TIA oleh karena itu pemeriksaan tekanan darah

waktu tidur, duduk, dan berdiri harus dilakukan.

Secara klinis, TIA dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:

a. TIA sistem karotis (hemisferik TIA)

b. TIA sistem vertebrobasiler

2. Pemeriksaan Non Invasif

Pemeriksaan klinis neovaskuler ditujukan untuk menilai keadaan vaskuler

sistem karotis yang pemeriksaannya bersifat non invasif sebagai berikut:

1. Pemeriksaan bising nadi dan denyut nadi leher

2. Pemeriksaan oftalmodinamometri dan oftalmoskopi

3. Pemeriksaan termografi fasial

4. Pemeriksaan ultrasonografi karotis (ultrasonic imaging) + transkranial

Doppler

5. Pemeriksaan ekhokardiografi/transesofageal indikasi PSCE (Potensial

Source of Cardiac Emboli)

2.1 Pemeriksaan Bising Nadi dan Denyut Nadi Leher

Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada setiap penderita TIA untuk menilai

keadaan perubahan besar dan perbedaan antara denyut nadi karotis kiri dan kanan,

perbedaan atau perbandingan antara denyut nadi arteri temporalis superfisialis kiri

dan kanan. Setelah itu dengan stetoskop didengar akan kemungkinan adanya

bising nadi (arterial bruits); sungkup stetoskop diletakan di daerah orbita, di

bagian lateral bifuraksio karotis di leher dan retinoaurikuler.

Terdapatnya bising nadi atau berkurangnya denyut nadi pada salah satu

sisi menunjukan kemungkinan kelainan morfologik pada pembuluh darah,

13

sehingga lebih lanjut harus ditentukan dengan pemeriksaan penunjang lain. Jadi

adanya intracranial bruits pada seseorang dengan TIA menunjukan adanya

kemungkinan besar gangguan pada pembuluh nadi utama yang ke otak.

2.2 Pemeriksaan Oftalmodinamometri

Pemeriksaan ini mengukur tekanan darah pada pangkal arteri oftalmika,

baik diastolik maupun sistolik dengan cara memberikan tekanan dari luar terhadap

arteri karotis retina / bola mata, yang kemudian tekanan ini dikurangi secara

bertahap kemudian denyutan arteri sentralis retina dideteksi dengan oftalmoskop.

Tekanan dari luar yang diaplikasikan pada bola mata diukur dengan

oftalmodinamometer yang telah diterapkan secara empirik. Secara prinsipil,

pengukuran tekanan darah ini berbeda dengan pengukuran tekanan darah pada

arteri brakialis. Aplikasi tekanan pada bola mata ditera dalam gram dan

dikonversikan ke dalam mmHg.

Jika terjadi penurunan tekanan pada salah satu sisi terutama tekanan

diastolik lebih daripada 25% maka perbedaan ini dianggap bermakna atau

penurunan tekanan sistolilk dan diastolik >20%. Hal ini berarti bahwa pada sisi

yang tekanannya menurun telah terjadi penurunan pressure-gradient yang terjadi

akibat gangguan aliran darah atau sumbatan pada bagian proksimal arteri karotis

interna atau arteri oftalmika.

Pada umumnya kelainan tersebut paling sering disebabkan karena proses

aterosklerosis pada bifuraksio karotis, pada pangkal arteri karotis interna atau

pada arteri karotis komunis. Dalam frekuensi yang lebih kecil sumbatan terjadi

pada pembuluh nadi yang lebih proksimal atau pada pangkal areteri karotis

komunis. Pemeriksaan oftalmodinamometri sangat berguna pada penderita TIA

yang mengenai sitem karotis dengan derajat akurasi 70-75%. Pengukuran

dilakukan dalam posisi setengah duduk supaya faktor gravitasi dapat memperjelas

ketajaman pengukuran.

Pada keadaan ini, hasil pengukuran oftalmodinamometri, hasil pengukuran

menjadi sulit diintepretasikan, yaitu pada:

a. Aritmia Jantung

b. Glaukoma berat

14

c. Penderita yang gelisah atau nonkoperatif

d. Penderita dengan kelainan dan asimetri pada arteri sentralis retina serta

cabang-cabangnya.

Pengukuran harus dilakukan beberapa kali dan selalu harus diukur tekanan

sistemik sebagai pembanding.

2.3 Pemeriksaan Funduskopi

Pemeriksaan oftalmoskopi merupakan pemeriksaan bedside yang sangat

bermanfaat pada penderita TIA, terutama TIA sistem karotis. Pada kasus-kasus

TIA akibat proses tromboembolik pada sistem karotis seringkali terjadi gangguan

visus homolateral yang menyertai gejala neurologik fokal kontralateral. Gejala

neurooftalmologik ini berupa transient monocular blindness, dimness of vision,

transient homonymus hemianopia, dan altitudinal hemianopic scotoma.

Beberapa pemeriksaan oftalmoskop yang penting adalah:

a. Teradapat emboli pada pembuluh darah retina ipsilateral

Adanya white plaque pada arteri retina sewaktu serangan TIA dengan

stenosis karotis yang jelas. Emboli ini terdiri atas materi fibrin trombosit.

Jenis kedua, emboli regional dengan adanya yellow plaques yang tidak

mengganggu retinal flow secara berarti. Penemuan adanya plaques ini

membantu diagnosis TIA kearah ateroma pembuluh karotis.

b. Retinopati hipertensif asimetrik.

Pada penderita hipertensi sering ditemukan berbagai perubahan yang khas

berupa arteriosklerosis retina.

c. Terdapat atrofi atopik primer yang tidak jelas sebabnya pada satu sisi.

Keadaan ini dapat disebabkan karena flow yang sangat berkurang pada sisi

karotis yang tersumbat karena ateroma sehingga terjadi iskemia retina

sesisi dan berakibat atrofi optik primer.

d. Oklusi arteria karotis retina sesisi atau neuropati optic iskemik (ischemic

optic neuropathy) yang akut.

Pada keadaan ini perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya emboli

pada sistem karotis.

15

2.4 Pemeriksaan Termografi Fasial

Prinsip pemeriksaan ini adalah sebagai berikut: penderita dengan oklusi

karotis atau insufisiensi karotis, maka peredaran darah yang ke wajah ipsilateral

juga akan berkurang termasuk sirkulasi ke kulit, terutama daerah orbita. Keadaan

ini mengakibatkan berkurangnya derajat penguapan panas (heat emission), yang

dengan cepat dapat dideteksi dengan infra red thermogram.

2.5 Pemeriksaan ultrasonografi karotis (ultrasonic imaging)-duplex songrafi

Dengan alat ini maka gambaran sistem karotis pada daerah leher atau

bifuraksio dapat diproyeksikan pada suatu layar. Demikian pula bila suatu

stenosis atau oklusi dapat dideteksi dengan alat ini.

Pemeriksaan ultrasonografi transkranial Doppler (TCD) dapat menilai

blood flow yang bersifat dinamis. Dengan pemeriksaan TCD ini dapat

diketahui/diperkirakan kelainan hemodinamik aliran darah otak berupa

terdapatnya penyubatan, aneurisme, atau malformasi. Pemeriksaan computed

axial tomography scanning (CAT-scan) dapat juga membantu melihat

kemungkinan adanya infark pada penderita TIA terutama silent infarct; jika

positif, maka kemungkinan tromboemboli serebral diperkuat.

Pemeriksaan lain yang lebih canggih adalah pemeriksaan SPEC (Simple

Photon Emission Computed Tomography) dan PET (Positive Emission

Tomography). Dua pemeriksaan ini menggunakan radiostop dan dapat

memperlihatkan secara dinamik perubahan-perubahan aliran darah pada otak pada

kegiatan mental ataupun fisik.

Pada pemeriksaan SPECT, aliran darah otak diproyeksikan secara global

dan dapat pula menilai perfusi radioisotop ke dalam darah di otak secara kualitatif.

Sedangkan pada PET dapat memperlihatkan adanya pengurangan aliran darah

secara kuantitatif. Dengan PET juga dapat dilihat aliran metabolisme oksigen

glukosa dan lain-lain di daerah sehat maupun sakit.

3. Pemeriksaan Invasif

Dari penderita TIA yang dianggap menderita gangguan hemodinamik,

maka 87% menunjukan adanya lesi vaskuler yang sesuai dengan gejala klinisnya.

16

Terhadap penderita ini telah dilakukan tindakan bedah pada pembuluh darah

ekstrakranial serta anastomosis arteri serebri media temporalis. Pemeriksaan

angiografi ini tidak dapat diganti dengan pemeriksaan apapun.

Pada setiap penderita TIA dimana penyebabnya adalah gangguan

hemodinamik, maka setidaknya 4 versi angiogram harus dikerjakan. Hal ini perlu

untuk melihat patensi pembuluh darah ekstrakranial dengan tidak memandang

apakah TIA karotis atau TIA vertebrobasiler. Sering ditemukan, bahwa pada TIA

vertebrabasiler pembuluh-pembuluh karotis telah mengalami stenosis, atau oklusi,

atau sebaliknya. Selain melihat derajat stenosis, jenis sumbatan dapat pula

divisualisasi, misalnya bagaimana permukaan suatu plak, apakah terdapat

ireguleritas atau stenosis itu bersifat smooth dan multiple (plak labil atau stabil).

Meskipun arteriografi merupakan pemeriksaan penunjang yang terpentin

dan memiliki banyak keunggulan, namun kelemahannya adalah bahwa sangat

sedikit informasi yang dapat diperoleh mengenai proses hemodinamiknya sendiri.

Sebagai contoh, tidak jarang ditemukan penderita dengan oklusi karotis bilateral

yang hampir total tetapi asimtomatik.

Belakangan ini telah ada pemeriksaan transkranial Doppler (TCD) yang

menilai secara tidak langsung keadaan hemodinamik pembuluh darah otak utama.

Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui besarnya aliran darah (flow) masing-

masing pembuluh darah otak. Perubahan aliran darah otak pada aneurisma ini

dapat juga diperkirakan dengan pemeriksaan TCD ini. Pemeriksaan yang non

invasif ini selain dapat dipakai sebagai penilaian hemodinamik pada strok juga

dapat digunakan untuk menilai kelainan struktural pembuluh darah otak pada pre

dan post tindakan ballooning/stenting.

2.7 PENATALAKSANAAN

Begitu terdapat suspek terhadap TIA, penatalaksanaan segera yang

dilakukan adalah mengembalikan fungsi optimal perfusi otak dan mencegah

terjadinya stroke. Pertimbangkan beberapa strategi penatalaksanaan berikut: (1)

Pertahankan posisi kepala pada bidang lunak yang datar. Posisi ini telah terbukti

17

dapat meningkatkan perfusi otak hingga 20%, dibandingkan dengan posisi

menekuk ke atas 30o. (2) Pertahankan euvolemi dan keseimbangan elektrolit. (3)

Optimalisasi perfusi jaringan dengan mencegah terjadinya hipoksia. Pemberian

oksigen telah terbukti memiliki hubungan dengan peningkatan perbaikan sel-sel

saraf (EM).

1.1 Antihipertensi

AHA/ASA menentukan batas tekanan darah yang diperbolehkan pada

pasien iskemia serebral yang akut adalah hingga 220/120. Alasannya adalah otak

yang iskemik dapat kehilangan kemampuannya dalam autoregulasi dan MAP

yang lebih tinggi diperlukan untuk memaksimalkan perfusi ke jaringan melalui

pembuluh darah kolateral. Keadaan ini sebenarnya lebih bisa diterapkan pada

stroke iskemik yang akut dibandingkan TIA, dan lain halnya dengan stroke,

belum ada percobaan pengunaan antihipertensi yang menghasilkan perburukan.

Pasien yang dalam 24 jam berada dalam keadaan stabil saat terkena TIA

atau stroke, merupakan suatu indikasi dalam pemberian antihipertensi. Target

tekanan darah yang harus dicapai tiap individu dapat berbeda, tapi umumnya,

penggunaan diuretik atau penghambat ACE untuk mencapai penurunan tekanan

darah 10/5 mmHg atau hingga standar normal <120/80 mmHg dianggap dapat

memberikan manfaat (EM).

1.2 Antiplatelet

Aspirin adalah regimen yang paling banyak telah dipelajari dan diterima

sebagai obat antiplatelet, dan memiliki alasan yang kuat digunakan sebagai terapi

awal. Obat ini dapat menurunkan resiko rekurensi stroke hingga 15%, pada dosis

yang berkisar antara 50mg hingga 1500mg. Dosis yang lebih rendah (61mg-325

mg per hari) juga efektif dan memiliki insiden perdarahan gastrointestinal yang

lebih rendah. Dosis aspirin yang berkisar antara 25 mg 2 kali sehari hingga 325

mg 4 kali sehari telah menunjukan manfaat dalam pencegahan stroke pasca TIA

(EM).

1.3 Antiplatelet lain dan kombinasinya

Ticlodipin adalah antagonis reseptor adenosin difosfat pada platelet yang

menunjukan hasil yang sama dibandingkan dengan aspirin dalam mencegah

18

terjadinya kejadian vaskuler pasca stroke. Obat ini memiliki resiko terjadinya

discariasis hematologi, sehingga penggunaannya sangat jarang.

Clopidogrel secara kimiawi memiliki struktur yang mirip dengan

ticlodipin dan bekerja dengan menghambat agregasi platelet. Clopidogrel

memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan

Ticlodipin. Batas keamaanan penggunaanya dianggap setara dengan aspirin,

meskipun kejadian timbulnya diare dan ruam kulit lebih tinggi pada penggunaan

clopidogrel. Clopidogrel dapat digunakan pada pasien dengan intoleransi aspirin.

Kombinasi clopidogrel dan aspirin tidak memberikan manfaat tambahan dan

sering dihubungkan dengan peningkatan resiko perdarahan dibandingkan

penggunaannya secara tunggal (ASA).

1.4 Antikoagulan

Pasien dengan atrial fibrilasi atau sumber cardioemboli lainnya pada

pasien TIA atau stroke iskemik akut, direkomnedasikan penggunaan antikoagulasi

dengan antagonis vitamin K. Pada pasien dengan fibrilasi atrial, warfarin

menunjukan efektifitas yang maksimal dengan aspirin atau dengan aspirin

ditambah clopidogrel untuk mencegah terjadinya serangan stroke sekunder.

Sebaliknya pada pasien yang tidak memiliki cardioemboli, warfarin tidak

menunjukan manfaat dan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan (EM)

19

Generasi antikoagulan oral baru yang tidak memerlukan pengawasan pada

penggunaannya telah banyak digunakan untuk menggantikan warfarin pada pasien

ini. Dabigatran, penghambat trombin, memiliki efek yang sangat baik dalam

mencegah stroke dibandingkan dengan warfarin dengan dosis 150 mg dua kali

sehari. Obat ini memiliki resiko yang rendah terhadap kejadian perdarahan.

Penghambat faktor Xa termasuk diantaranya Rivaroxaban dan Apixaban juga

menunjukan manfaaat untuk menurunkan resiko terjadinya stroke pada pasien

dengan fibrilasi atrial. Apixaban menunjukan hasil yang lebih baik dan memiliki

resiko perdarahan yang lebih kecil (EM).

Pada TIA juga terdapat langkah pengobatan awal dan pengobatan lanjutan,

yaitu:

a. Pengobatan awal pada pasien TIA

- Aspirin 300 mg, kemudian dilanjutkan 75 mg (berikan PPI jika

pasien mengalami dispepsia)

- Gunakan clopidogrel hanya apabila pasien memiliki intoleransi

aspirin dan dispepsia berat

- Nasehati pasien untuk tidak mengemudi selama 1 bulan

- Pertimbangkan pemeriksaan ulang apabilan TIA terjadi lebih dari

sekali dalam 7 hari, fluktuasi gejala, dan sakit kepala yang

signifikan.

b. Pengobatan lanjutan

- Simvastatin 20mg – 40mg jika kadar kolesterol total > 3,5

- Penurunan tekanan darah dengan diuretik thiazid dan penghambat

ACE jika tekanan darah meningkat terutama pada pasien usia muda,

dengan diabetes, atau gagal ginjal.

20

- Dipyridamole MR 200mg 2 kali sehari (stop setelah 2 tahun)

(Clinical Manual)

2. Terapi Pembedahan

2.1 Endarterektomi Carotis

Aterosklerosis pada arteri karotis interna pada bifuraksio karotis adalah

penyebab yang umum pada TIA dan stroke. Penelitian telah membuktikan,

endarterektomi carotis menunjukan manfaat pada pasien TIA dengan stenosis

carotis derajat berat. Endarterektomi tidak memiliki manfaat pada pasien dengan

stenosis derajat sedang. Manfaat pembedahan didapatkan terutama pada pasien

dengan stroke dibandingkan dengan TIA, dan pada pasien dengan hemiparese

secara klinis (ASA).

2.2 Angioplasti dan Pemasangan Stent21

Transluminal angioplasty dengan pemasangan stent sebagai terapi pada

stenosis carotis sedang dievaluasi sebagai alternatif dari penggunaan

endaterektomi karotis. Beberapa penelitian menyatakan tindakan ini memiliki

komplikasi yang rendah dan digunakan untuk pasien dengan resiko tinggi

pembedahan karena penyakit jantung atau faktor komorbid lainnya.

2.3 Ekstrakranial-Intrakranial Bypass

Ekstrakranial-Intrakranial Bypass adalah suatu prosedur yang didesain

untuk meningkatkan aliran darah otak melalui pipa penyalur dari sirkulasi karotis

eksterna ke sirkulasi karotis interna.

2.4 Pembedahan pada Kelainan Vertebrobasiler

TIA yang mengacu pada sirkulasi posterior biasanya disebabkan oleh

kelainan pada sistem vertebrobasiler. Bagian dari arteri vertebrae yang paling

sering mengalami kejadian ateroma adalah pangkal dari arter vertebrae dan

sebelah bawah dari perbatasan cabang ekstrakranial ke intrakranial. Pada pasien

dengan lesi di bagian tengah dari vertebra dengan gejala iskemik akibat stenosis

dan obstruktif, terapi rekonstruksi bedah dan dekompresi dapat bermanfaat dalam

mengurangi gejala.

3. Modifikasi Faktor Resiko

Modifikasi faktor resiko merupakan salah satu terapi bagi TIA. Namun

pelaksaannya masih belum diuji menggunakan uji klinis randomisasi.

1. Setelah mendapatkan penyebab TIA, hipertensi sebaiknya diobati, dan

pertahankan tekanan darah < 140/90 mmHg. Pada pasien dengan

diabetes, tekanan darah yang dianjurkan adalah < 130/85 mmHg.

2. Berhenti merokok. Konseling, terapi pengganti nikotin, bupropion, dan

program penghentian merokok dapat dipertimbangkan.

3. Penyakit jantung koroner, aritmia jantung, gagal jantung, dan penyakit

katup jantung harus diobati.

4. Konsumsi alkohol berlebih harus dihentikan.

22

5. Pengobatan terhadap hiperlipidemia sangat disarankan. Diet yang

disarankan adalah diet AHA dengan ≤ 30% kalori diperoleh dari lemak,

< 7% dari lemak jenuh, dan konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

6. Kadar gula darah puasa yang disarankan adalah <126 mg/dl. Jika

memiliki diabetes, diet dan obat oral serta insulin sangat diperlukan.

7. Aktivitas fisik (30-60 menit dalam > 3 atau 4 kali seminggu)

8. Penghentian obat pengganti estrogen pascamenopause tidak disarankan.

(ASA).

2.8 PROGNOSIS

Sekitar 40 persen dari semua orang yang mengalami TIA akan mengalami

stroke. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari semua stroke

terjadi dalam dua hari pertama setelah TIA. Bahkan dalam waktu dua hari setelah

TIA, 5 persen orang akan mengalami stroke, dan dalam waktu tiga bulan setelah

TIA, 10 sampai 15 persen orang akan mengalami stroke (National Stroke

Association, 2011).

23

BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN

Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan suatu defisit neurologis secara

tiba-tiba dan defisit tersebut berlangsung hanya sementara (tidak lebih lama dari

24 jam). Resiko TIA meningkat pada: Hipertensi, hiperkolesterol, aterosklerosis,

penyakit jantung (kelainan katup atau irama jantung), diabetes, merokok, riwayat

stroke dan usia (pria >45 tahun dan perempuan >55 tahun). Gejala pada TIA yaitu

hemihipestesia, hemiparese, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran,

diplopia dan sakit kepala. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap,

skening ultrasonik dan teknik Doppler, angiografi serebral dan pemeriksaan darah

lengkap. Penatalaksanaan TIA obat-obatan seperti aspirin, bisulfate

clopidogrel atau aspirin dipyridamole ER untuk mengurangi kecenderungan

pembentukan bekuan darah, yang merupakan penyebab utama dari stroke dan

pembedahan endarterektomi jika tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. Adapun

pencegahan untuk TIA dengan mengurangi faktor resiko, modifikasi gaya hidup

sehat dan mengikuti serta berperan aktif dalam sosialisasi TIA. TIA dapat

menyebabkan stroke jika pengobatan dan pencegahan tidak adekuat.

Diharapkan di kemudian hari akan lebih banyak penelitian-penelitian

tentang TIA agar penanggulangan TIA dapat dilakukan sedini mungkin dan tidak

berkembang menjadi stroke. Oleh sebab itu perbaikan dan pembuatan referat ini

perlu dilakukan di kemudian hari untuk meningkatkan wawasan para calon-calon

dokter mengenai TIA. Penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam

referat ini dan semoga bermanfaat.

24

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Nasional: Ringkasan

Dasar (RISKESDAS) 2007.

Guyton, A et al. 2005. Aliran Darah Serebral, Aliran Serebrospinal dan

Metabolisme Otak . Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta : EGC.

McPhee, J. S.dan Papadakis A. M. 2011. Current Medical Diagnosis and

Treatment. 50th Anniversary Edition. New York: Mc Graw-Hill.

Nanda, A. 2013. Transient Ischemic Attack. Medscape.

National Stroke Association, 2011

Price, A. S., Wilson M. L. 2006. Penyakit Serebrovaskuler. Patofisiologi edisi 6.

Jakarta: ECG

Rothwell, PM .2007. "Effect of urgent treatment of transient ischemic attack and

minor stroke on early recurrent stroke (EXPRESS study): a prospective

population-based sequential comparison.”

Sidharta P, Mardjono M. 2012. Stroke. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.

Surabaya: Dian Rakyat.

Sonni, S., Thaler, DE. 2013. Transient Ischemic Attack: Omen and opportunity. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 

WHO, 2006.

25